Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PERANGKAT PEMBELAJARAN
SILABUS
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
HANDOUT
Mata Kuliah:
ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA
Oleh :
Emizal Amri
Dibiayai Oleh:
Fellowship and Curriculum Development Program the Reconstruction
and Upgraiding Project State University of Padang
dengan Surat Perjanjian Kontrak Kerja
No. 1284/pr2p/unp/2014
Tanggal 8 Juli 2014
I. PENDAHULUAN
Tulisan ini merupakan perangkat pembelajaran dalam mata kuliah Antropologi
Sosial Budaya sebagai sub-disiplin tersendiri dalam Antropologi. Antropologi Sosial
merupakan mata kuliah wajib bidang studi dalam struktur kurikulum Program Studi
Pendidikan Sosiologi Antropologi FIS UNP, baik dalam kurikulum lama maupun
dalam Kurikulum berbasis KKNI yang baru mulai diterapkan. Hanya saja nama mata
kuliah ini dalam kurikulum lama Prodi Pendidikan Sosiologi FIS UNP adalah
Antropologi Sosial (sejak tahun 2001 sd. 2009). Lalu isinya juga sarat dengan muatan
aspek budaya dalam upaya memahami realitas sosial yang dikaji.
Adapun yang menjadi fokus kajian dalam mata kuliah Antropologi Sosial
Budaya meliputi. Pertama, kajian kritis tentang konsep dasar Antropologi Sosial
Budaya dengan mencermati hakikat dan substansi dari Antropologi Sosial di satu
pihak; dan Antropologi Budaya di pihak lain. Kedua, mencermati dinamika adaptasi
manusia dan lingkungan dalam suatu masyarakat dengan bentuk/ tipe tertentu akan
dikaji secara khusus. Dengan begitu interelasi (saling keterkaitan) antara manusia dan
lingkungannya, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, maupun hubungan manusia
dengan khaliknya berpeluang untuk dimengerti secara proporsional. Ketiga,
membandingkan profil masyarakat petani tradisional (agraris) dengan masyarakat
pastoral, termasuk pandangan dunia dari kedua tipe masyarakat tersebut. Keempat,
mengupas interelasi desa – kota, dinamika pertubuhan kota, serta peluang perubahan
masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat perkotaan. Kelima,
47
Bertolak dari alur pikir seperti diungkapkan di atas, maka dalam pembelajaran
Antropologi Sosial Budaya akan digunakan kombinasi pendekatan sinkronik dan
diakronik tersebut. Bagaimana pun penggunaan model ini dinilai dapat melatih
mahasiswa untuk memahami suatu fenomena secara komprehensif: tidak hanya
terbelenggu oleh realitas yang muncul ke permukaan di era kontemporer ini, tetapi
juga memahami akar dan proses (dinamika) yang mendorong terbentuknya fenomena
dimaksud. Dengan begitu pemahaman mereka terhadap realitas sosio-kultural yang
muncul ke permukaan akan ditopang oleh fakta dan perspektif historis yang kuat,
sehingga analisis yang dihasilkan akan lebih tajam.
48
***
49
A. Learning Outcome:
Mampu menguraikan substansi dan perkembangan studi Antropologi Sosial Budaya
B. Materi Pokok
(1) Antropologi Sosial Budaya: Suatu Telaahan Konseptual
(2) Sejarah Perkembangan Studi Antropologi Sosial Budaya.
(3) Penggunaan Kombinasi Pendekatan Sinkronik dan Diakronik
dalam Kajian Antropologi Sosial Budaya
(4) Ruang lingkup kajian Antropologi Sosial Budaya
(5) Overview perkuliahan Antropologi Sosial Budaya
C. Substansi Pembelajaran
1. Uraian Materi
\
kebudayaan etnik di dunia. Puncak dari proses kerja demikian pada gilirannya
melahirkan beranekaragam kajian etnografi.
Jika diklasifikasikan hasil-hasil etnologi (yang menjadi cikal bakal kajian
etnografi) itu, secara umum dapat dibedakan ke dalam dua kategori pokok, yaitu:
descriptive integration; dan, generalizing approach. Dalam konteks descriptive
integration bahan-bahan etnografi diolah menjadi suatu dengan hasil penelitian
entolinguistik, prehistori, dan etnografi. Bahkan hasil kajian etnografi itu juga
diintegrasikan dengan bahan keterangan paleo-antropologi dan somatologi dalam
cakupan daerah yang sama. Tujuannya tidak lain adalah untuk mencapai pengertian
tentang asal-usul dan sejarah perkembangan kelompok etnik yang dikaji, terutama
dengan menggunakan pendekatan diakronik. Di pihak lain generalizing approach
yang menjadi cikal bakal dari social anthropology, menekankan pada upaya untuk
menemukan prinsip-prinsip kesamaan di belakang aneka ragam kelompok etnik/
masyarakat dengan kebudayaan berbeda-beda yang tersebar di muka bumi ini. Pada
prinsipnya, metode yang digunakan untuk maksud tersebut adalah: (1) melakukan
kajian mendalam dan komprehensif terhadap sejumlah masyarakat dan kebudayaan
tertentu guna menemukan beberapa kesamaan di balik keberagaman yang muncul ke
permukaan; dan (2) melakukan studi komparasi terhadap sejumlah masyarakat/
kebudayaan masing-masing guna mendapatkan pemahaman tentang keragaman antar
masyarakat/ kebudayaan yang diteliti, sekaligus juga bisa diungkap kesamaan-
kesamaan di balik keberagaman itu.
Secara implisit uraian di atas mengisyaratkan, bahwa dalam batas-batas
tertentu kajian Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya memang berbeda, tetapi
keduanya memiliki titik persentuhan yang sangat esensial dalam rangka memahami
realitas masyarakat dan kebudayaan yang menjadi fokus kajiannya. Bukan hanya
itu, melainkan dalam kehidupan riil masyarakat, amat sulit untuk memisahkan
dimensi sosial dan kebudayaan yang mereka hasilkan, sebab keduanya sudah
membaur (menggelimang) menjadi satu. Berolak dari pokok pikiran demikian,
sejalan dengan ide monumental Immanuel Wellerenstain tentang lintas batas ilmu-
ilmu sosial, maka kuliah ini mencoba mengkombinasikan dua sub-disiplin
Antropologi di atas menjadi Antropologi Sosial Budaya.
Dalam konteks ini, Antropologi Sosial Budaya tidak dimaksudkan sebagai
kompilasi dari dua sub-disiplin ilmu Antropologi di atas, melainkan bahan atau fokus
kajiannya akan diseleksi dengan mempertimbangkan sub-disiplin Antropologi yang
dikaji di Jurusan Sosiologi FIS UNP seperti Etnologi, Antropologi Kebudayaan
Indonesia, dan Antropologi Agama, dsb. Tujuannya tidak lain adalah agar tidak
terjadi tumpang tindih bahan kajian antar beberapa mata kuliah terkait. Oleh karena
51
itu kajian Antropologi Sosial Budaya di sini akan difokuskan pada kecenderungan
dan dinamika beberapa aspek sosial dan budaya dari berbagai masyarakat yang
tersebar di permukaan bumi ini, terutama berkaitan dengan: adaptasi manusia dengan
lingkungannya; sistem mata pencaharian hidup; manusia dan sumber daya ekonomi;
sistem perkawinan dalam kaitannya dengan keluarga, rumah tangga, dan
kekerabatan; serta kesatuan sosial, kepemimpinan dan pengendalian sosial.
juga akan dicermati pandangan dunia (word views) dari kedua tipe masyarakat
dimaksud.
Selajutnya pada minggu keenam dan ketujuh, akan dikupas interelasi desa –
kota, dinamika pertubuhan kota (baik secara alamiah maupun hasil rekayasa
pengembangan sebuah kota). Selanjutnya juga akan dikritisi peluang perubahan
masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat kota, baik pada taraf kota
kecil maupun kota besar).
Berngkat dari hasil kajian pada minggu-minggu sebelumnya, maka pada
minggu kedelapan akan diperbincangkan eksistensi manusia sebagai homo-
economicus. Di bawah topik/ tema ini akan diidentifikasi sumber daya ekonomi,
sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat
yang sedang berubah. Kemudian pada minggu berikutnya akan diadakan ujian
tengah semester.
Seminggu setelah ujian tengah semester, yakni pada minggu kesepuluh dan
kesebelas akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan. Secara khusus di
sini akan dikritisi dinamikan dan interelasi antara perkawinan, keluarga, dan rumah
tangga sebagai institusi sosial terpenting dalam realitas kehidupan sosial masyarakat
beradab.
Sebagai lanjutan dari kajian minggu sebelumnya, pada minggu kedua belas
pembahasan masih berkaitan dengan perkawinan. Pada sesi ini akan dikritisi secara
mendalam hakikat dan konsekuensi perkawinan dalam pembentukan institusi
keluarga dan kekerabatan dengan segala variannya.
Terakhi pada minggu ke-13 sd. ke-15, akan dikupas berbagai hal di sekitar
konsep dan bentuk komunitas, solidaritas sosial, diferensiasi dan stratifikasi sosial,
serta kepemimpinan dan pengendalian sosial dengan segala kosekuensi yang
ditimbulkannya. Tema ini merupakan penutup dari kajian dalam mata kuliah
Antropologi Sosial Budaya, sebelum akhirnya dikunci dengan ujian akhir semester
pada minggu berikutnya.
1. Rangkuman
Berbeda dengan Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya sebagai dua sub-
disiplin dalam Antropologi, maka kuliah Antropologi Sosial Budaya hanya akan
difokuskan pada kecenderungan dan dinamika beberapa aspek sosial dan budaya dari
berbagai masyarakat yang tersebar di permukaan bumi ini, khususnya berkaitan
dengan: adaptasi manusia dengan lingkungannya; sistem mata pencaharian hidup
manusia mulai dari masa foodgathering sampai ke foodproducing (masyarakat
56
hortikultural, pastoral, masyarakat agraris yang mencakup peisan dan farmer, sera
masyarakat perkotaan); sistem dan seluk-beluk perkawinan dalam kaitannya dengan
keluarga, rumah tangga, dan kekerabatan; serta kesatuan sosial (sistem dan stuktur
sosial, kepemimpinan dan kontrol sosial dengan segala konsekuensinya).
Kajian dalam mata kuliah ini segaja difokuskan pada beberapa aspek di atas
(tidak mencakup semua kajian dalam kedua sub-disiplin antropologi yang menjadi
akar dari Antropologi Sosial Budaya) dengan pertimbangan agar jangan terjadi
tumpang tindih pembahasan dengan mata kuliah Etnografi, Antropologi Kebudayaan
Indonesia, Antropologi Agama, dll yang sudah menjadi mata kuliah tersendiri dalam
struktur kurikulum prodi Sosiologi Antropologi. Sementara pendekatan yang
digunakan untuk mengupas topik-topik yang termaktup dalam fokus di atas adalah
kombinasi pendekatan sinkronik dan diakronik. Pertimbangannya adalah kombinasi
kedua pendekatan itu akan membuka pemahaman yang komprehensif dan mendalam
tentang fenomena sosio-kultural yang dikaji.
D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan Penilaian Sikap.
E. Bacaan Pendalaman
Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
-------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta
Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya. Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Fathoni, Abdurrahman. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta
Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
***
57
Kegiatan Belajar 3 - 4
A. Learning Outcome:
B. Materi Pokok
Adaptasi Manusia dalam Upaya Pemenuhan Kebutuhannya
(1) Adaptasi manusia dengan lingkungan alamiah, sosial, dan budaya.
(2) Dinamika kebutuhan hidup manusia dari era foodgathering ke foodproducing:
o Kehidupan manusia pada masa berburu dan meramu
o Kehidupan masyarakat penghasil pangan (hortikultural)
- Asal mula bercocok tanam
- Bercocok tanam di ladang
o Bercocok tanam menetap
(3) Perkembangan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Makhluk Manusia
C. Substansi Pembelajaran
1. Uraian Materi
a. Adaptasi Manusia dengan Lingkungan Alamiah, Sosial, dan Budaya
Bertolak dari perspektif teori evolusi, makhluk manusia itu telah mengalami
proses evolusi yang panjang mulai dari tingkat yang paling sederhana sampai ke
tingkat yang sangat kompleks seperti sekarang ini. Dengan bekal pemikiran (mind,
otak), jiwa, dan nafsu yang dikaruniakan sang Maha Pencipta, manusia berhasil
mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi segala tantangan yang ada. Para
peneliti dan pengamat budaya cenderung sependapat, bahwa kemampuan beradaptasi
merupakan salah satu kunci sukses manusia membangun peradaban dalam sejarah
perkembangan umat manusia.
58
sangat tinggi kepada alam. Dalam rentang waktu hampir dua juta tahun, manusia
hidup secara nomaden, tidak/ belum mengenal kehidupan menetap. Manusia ketika
itu hidup seperti sekawanan binatang, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain di
sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang tersedia di alam. Dalam
kajian prehistori dan paleo-antropologi, pola hidup seperti dikemukakan di atas lebih
dikenal dengan food gathering.
Konsep food gathering itu pada hakikatnya mengandung dua elemen (sub-
konsep) pokok, yaitu: gathering (meramu/ pengumpul) di satu sisi; dan hunting
(berburu/ menangkap ikan) di sisi lain. Untuk memenuhi kebutuhan pokok (makan)
manusia prasejarah (zaman paleolitikum dan mesolitikum) mengumpulkan (baca
meramu, bukan mengumpulkan untuk disimpan) umbi-umbian yang tersedia di alam.
Maksudnya manusia-manusia nomad itu bergerak dari satu tempat ke tempat lain
untuk mencari umbi-umbian: setelah didapat lalu mereka makan; kemudian setelah
kenyang mereka tinggalkan sisanya begitu saja. Demikian pula, mereka memburu
berbagai jenis binatang ataupun menangkap ikan untuk dimakan, setelah dapat lalu
mereka makan dan jika berlebih mereka tinggalkan begitu saja.
Sistem peralatan yang mereka pakai pun pada zama paleolitikum (batu tua)
hanya memanfaatkan apa yang disediakan alam tanpa mengolahnya sedikit pun.
Selanjutnya sejalan dengan perkembangan pemikiran makhluk manusia, pada zaman
mesolitikum (batu tengah) manusia sudah mulai mengolah alat-alat yang dibutuhkan
dalam hidup dengan cara yang amat sederhana (masih kasar). Dengan peralatan dan
pola hidup seperti itu, manusia prasejarah itu selalu bergerak (nomad) dari suatu
tempat ke tempat lain secara terus menerus, tanpa mengenal tempat menetap.
Manusia prasejarah baru mulai mengolah (membakar) berbagai jenis umbi-
umbian, daging binatang dan ikan yang mereka dapatkan sebelum memakan
(mengkonsumsi) nya setelah penemuan api. Kemudian disusul dengan penemuan
garam sebagai bahan pengawet daging binatang,hal itu diperkiraan terjadi pada
pergantian zaman mesolitikum dan neolitikum. Sejak itu ketergantungan yang tinggi
terhadap alam, secara berangsur-angsur mulai berkurang di kalangan kelompok-
kelompok tertentu yang sudah agak lebih maju daripada banyak kelompok lain yang
masing amat tergantung pada alam. Artinya, manusia pra sejarah di berbagai tempat
di penjuru dunia ini mengalami tingkat perkembangan yang sangat variatif.
permukaan bumi ini, yakni di daerah-daerah aliran sungai besar, danau dan pantai di
benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Kedelapan kawasan itu adalah sebagai
berikut: (1) daerah sungai-sungai besar di Asia Tenggara seperti Mekong, Salwin,
dan Irawadi dengan produk unggulannya adalah padi dan keladi Dari sana menyebar
ke Gangga, Indonesia, dan Filipina; (2) daerah aliran sungai di Asia Timur seperti
Yang-tse dan Hoangho. Tanaman yang dikembangkan di sini adalah sayur-sayuran,
murbei, dan kedele; (3) daerah aliran sungai Eufrat dan Tigris di Asia Barat Daya
(Teluk Parsi), kemudian menyebar ke Iran, Afganistan, terus ke hulu sungai Shindu
di Pakistan. Janis tanaman yang dikembangkan anatar lain, gandum, anggur, dan
berbagai jenis buah-buahan yang kini banyak dibudidayakan di Eropa; (4) di daerah
aliran sungai yang bermuara ke Laut Tengah, seperti delta Nil, daerah lembah-
lembah sungai di Italia dan Spanyol, serta Palestina. Di kawasan ini banyak ditanam
zaitun, ara, dan sayur-sayuran; (5) daerah Abesinia di Afrika Timur dengan produk
unggulannya gandum; (6) daerah hulu sungai Sinegal (Afrika Barat) dengan tanaman
utamanya berbagai varietas gandum; (7) daerah Mexico dan daerah aliran sungai
Missisippi dengan produk unggulannya jagung, kapas, kasava, dan ubi; serta (8)
daerah Peru di Amerika Latin dengan tanaman unggulannya kentang, kasava, dan
ubi. Berbagai produk unggulan setiap kawasan tesebut, ternyata erat kaitannya
dengan kondisi tanah, iklim/cuaca, dan kebutuhan subsistensi manusia setempat.
Dari kedelapan kawasan itu, kemudian kepandaian bercocok tanam itu secara
bertahap tersebar ke berbagai penjuru bumi ini. Sebagian ahli menduga kepandaian
bercocok tanam itu baru masuk dan mulai dikenal di Nusantara oleh kelompok
tertentu, sekitar 6.000 tahun yang lalu. Sementara yang lainnya menduga jauh lebih
kemudian, yakni sekitar 5 abad Sebelum Masehi. Bagaimana pun, kedua pendapat
itu masih merupakan dugaan para ahli, sementara bukti-bukti yang kuat tentang hal
itu belum ditemukan. Namun demikian, para ahli cenderung sependapat bahwa
kepandaian bercocok tanam itu sudah mulai tumbuh di Nusantara ini pada pergantian
zaman mesolitikum dan neolitikum.
mereka bisa mengkalkulasikan kapan lahan harus ditebang dan dibakar, dan kapan
pula proses penanaman harus dilakukan. Lain halnya dengan bercocok tanam di
sawah, hal ini sudah memerlukan teknik pengolahan yang lebih rumit, serta juga
harus ditopang dengan pengelolaan air secara lebih teknis dan terorganisir.
memelihara binatang dan/ atau tenaga buruh untuk digunakan dalam mengolah
lahan. Dilihat dari segi jenisnya bajak itu dapat dibedakan kedalam dua kategori: (1)
bajak kecil yang biasanya disebut ard; dan (2) bajak berat yang dilengkapi dengan
roda yang lebih dikenal dengan plough.
Ard adalah alat pertanian yang terbuat dari cangkul yang dihubungkan dengan
bajak dan ditarik oleh binatang ataupun manusia. Bajak ini lebih kecil dan relatif
ringan, tetapi kemampuannya untuk ‘membalik’ tanah jauh lebih efektif dan efisien
dibandingkan dengan hanya menggunakan cangkul. Teknik ini ditemukan sekitar
500 tahun yang lalu di Mesopotamia dan di Mesir, kemudian menyebar ke daerah-
daerah lain dalam periode sesudahnya. Sementara plough adalah bajak beroda
dengan ukuran yang lebih berat, sehingga untuk menariknya dibutuhkan 4 ekor sapi
atau kuda. Bajak seperti ini ditemukan sekitar abad ke-4 SM di Jerman dan
Skandinavia, kemudian menyebar hampir ke seluruh penjuru Eropah dalam abad-
abad berikutnya.
Bercocok tanam menetap, serta teknik pengolahan lahan dengan bajak (baik
Ad maupun Plough) itu jangan hanya dipahami sebagai pengolahan lahan basah
belaka seperti lazimnya di Indonesia, melainkan juga mencakup pengolahan lahan
kering. Bercocok tanam menetap hanya mungkin dilakukan bila kesuburan tanah
bisa dipelihara, sehingga tanah dimaksud dapat memberikan hasil sepanjang musim.
Berbeda dengan kesuburan tanah yang disandarkan pada pemberian alam pada
perladangan berpindah, dalam pertanian menetap kesuburan tanah harus diusahakan
sendiri oleh petani. Untuk maksud tersebut, setidaknya ada empat cara yang bisa
dilakukan petani: (1) mengintesifkan pengolahan tanah agar tingkat kesuburannya
tidak menurun secara drastis; (2) memperbaiki cara pemupukan, sehingga tanah
tidak menjadi aus; (3) pengaturan pergantian tanaman (tanaman sela, “tumpang
sari” dalam istilah sekarang); dan (4) pengaturan irigasi agar tanah tidak mengalami
kekeringan (gersang), apalagi pada musim kemarau. Dalam kaitan dengan item
terakhir ini, sistem/ organisasi Subak di Bali dapat dijadikan contoh yang paling
aktual dan terlembaga sejak era tradisional dalam hal pengaturan pengairan lahan
pertanian. Keempat cara di atas, tentu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
kongkrit dan nyata, bukan pada kejakinan terhadap jampi-jampian dari seorang
dukun seperti yang masih ditemukan pada banyak kelompok petani di Indonesia.
Sejalan dengan berkembangnya tradisi bercocok tanam menetap itu,
kesadaran akan hak atas kepemilikan tanah pun mulai muncul di kalangan petani
setempat. Kepemilikan atas tanah itu pun bermula dari kemilikan oleh kelompok
atau klen yang dalam era kemudian lebih dikenal dengan tanah komunal (wulayat
kaum). Dalam perkembangan pada abad-abat berikutnya, secara bertahap mulai
65
dikenal kepemilikan pribadi (privat) atas sebidang atau beberapa bidang tanah.
Sjalan dengan itu, keberadaan bercocok tanam menetap semakin eksis dalam sejarah
perkembangan peradaban manusia.
2. Rangkuman
Dengan memanfaatkan akal pikir dan jiwa yang dikaruniakan sang Maha
Pencipta, manusia merupakan makhluk paling unggul dalam beradaptasi dibandingkan
dengan makhluk mana pun yang diciptakan-Nya. Melalui proses adaptasi itu, manusia
bisa survive dalam hidupnya hingga kini. Sementara berbagai jenis makhluk ciptaan
Yang Maha Kuasa yang tidak mampu (gagal) dalam beradaptasi dengan lingkungan
baru atau situasi yang selalu berubah, akhirnya tidak bisa bertahan hidup dan hilang dari
permukaan bumi ini.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia harus bisa beradaptasi
dengan lingkungan fisik (alamiah), sosial, dan budaya. Dalam perjalan sejarah umat
manusia, homo sapiens ini sudah mencatatkan serangkaian keberhasilan. Pada periode
awal kehadirannya dengan potensi akal yang masih sangat terbatas dan pola hidup
nomaden, manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara meramu dan
berburu. Selanjutnya sejalan dengan peningkatan akal budinya, manusia berhasil
mengurangi ketergantungannya pada alam. Hal itu ditandai dengan dikembangkannya
pola hidup menetap dan dengan menggunakan produk budaya prasejarah yang sudah
67
D. Evaluasi
E.
F. Bacaan Pendalaman
Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
-------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta
Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
------------------. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Havilland, William A . 1985. Antropologi, Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Fathoni, Abdurrahman. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta
Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
***
68
Kegiatan Belajar 5 - 6
A. Learning Outcome:
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
membandingkan esensi masyarakat petani dan pastoral, serta membedakan pandangan
dunia keduanya.
B. Materi Pokok
Dinamika Kehidupan Masyarakat Agraris (petani peternak), Pastoral, dan Masyarakat
Perkotaan:
(1) Batasan Konseptual
(2) Dari Peasant ke Farmer
(3) Organisasi Sosial Petani
(4) Masyarakat Peternak: Dialektika Ekonomi Subsistensi dan Ekonomi Pasar
(5) Pandanga Dunia (World Views) Masyarakat Petani dan Pastoral
C. Substansi Pembelajaran
1. Uraian Materi
a. Batasan Konseptual
Masyarakat agraris merupakan masyarakat yang memanfaatkan tanah untuk
membudidayakan tanaman pertanian, dan sekaligus hal menjadi sumber mata pencarian mereka.
Dalam perkembangannya, konsep ini mencakup dua sub-konsep penting, yaitu: petani (peasant,
peisan); dan, farmer. Dalam kajian antropologi budaya dan botani, konsep peisan sering
dipahami sama dengan masyarakat hortikultural. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat
hortikultural adalah profil masyarakat yang berusaha/ bekerja mengolah tanah (lahan)
dengan menggunakan tenaga dan pelatan sederhana memenuhi kebutuhan hidup mereka
sendiri. Di pihak lain farmer (dalam istilah populer di Indonesia lazim disebut ‘petani
berdasi’ atau ‘petani bermodal), yaitu petani bermodal besar yang mengolah lahan
pertaniannya dengan memanfaatkan tenaga manusia (buruh tani) dan/ atau teknologi
moderen guna melipatgandakan margin keuntungan. Berbeda dengan peisan, produksi/
69
dalam masyarakat agraris jaringan perdagangan mulai tumbuh dengan pesat, dan uang
mulai digunakan sebagai alat tukar. Fenomena terakhir ini sudah tercatat dengan tegas
dalam sejarah masyarakat petani di sekitar Babilonia, Sumeria, dan Mesir Kuno.
Penemuan uang tersebut ternyata juga ibarat pisau bermata dua: di satu sisi ia
berkontribusi pada peningkatan taraf hidup manusia; tetapi di sisi lain uang juga telah
mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial dalam masyarakat. Kelompok yang
terkategori ekonomi mapan cenderung mendominasi kelompok ekonomi lemah.
Kelompok mapan akan memanfaatkan kekayaan (uang) dan kedudukan mereka guna
meraup keuntungan secara ekonomi. Kelompok dominan itu lazimnya mengerahkan
individu-individu dari kelompok subordinat (petani penggarap dan/ atau budak) untuk
memenuhi kebutuhan subsistensinya. Dalam perkembangannya, ketimpangan sosial
dalam masyarakat agraris itu semakin melebar dan permanen. Bahkan di era modern
ini dalam masyarakat agraris itu akan ditemukan perbedaan yang tajam antara: petani
pemilik modal (farmer); petani pemilik lahan (peasant, peisan); dan petani penggarap
(buruh tani) yang nasibnya selalu ‘diujung tanduk’ atau termarginalkan.
Masyarakat agraris yang berhasil menjadi farmer hanyalah segelintir saja,
sebagian besar justeru terjerat sebagai peasant (petani pemilik lahan terbatas, dan
mereka juga langsung sebagai pekerja dalam mengolah lahan pertaniannya). Lain
halnya dengan farmer, mereka adalah petani bermodal yang memiliki lahan luas, dan
selalu memanfaatkan kekayaan (modalnya) dan teknologi canggih (shopisticated) dalam
mengolah lahan pertaniannya guna melipatgandakan keuntungan secara ekonomi.
Orientasi produksinya tidak lagi untuk pemenuhan ekonomi subsistensi, melainkan
adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dewasa ini farmer itu bisa ditemukan (dalam
ukuran terbatas jumlahnya) di semua bangsa yang bercorak agraris dan juga di negara
industri besar. Salah seorang contoh paling tersohor sebagai farmer di pergantian abad
ke-20 dan 21 ini adalah Jimmy Carter (pendahulu Bill Clinton, kini mantan Presiden
Amerika Serikat).
Uraian di atas mengisyaratkan, masyarakat hortikultural dan masyarakat agraris
(khususnya peasant dan sub-ordinatnya seperti petani penggarap) pada hakikatnya
orientasi ekonomi mereka masih bercorak ekonomi subsistensi. Dengan kata lain,
produksi pertanian yang mereka hasilkan dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan
secukupnya (sufficiently), dan kalau ada surplus, barulah dilempar ke pasar. Di pihak
lain farmer menggeluti sektor pertanian dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan
pasar. Contohny para pemilik perkebunan (besar) seperti perkebunan teh, sawit, tebu,
kopi, kina, jati, dll. Dalam batas tertentu farmer tidak selalu berasal dari petani
(peasant), tetapi justeru dari pengusaha/ industrialis yang menginvestasikan modalnya
di sektor perkebunan guna meraih margin keuntungan yang lebih prospektif.
72
Bahkan pandangan dunia farmer relatif dekat dengan world views masyarakat perkotaan
dan industri.
2. Rangkuman
Masyarakat agraris yang dibangun di atas masyarakat hortikultural, pada
prinsipnya mencakup dua profil masyarakat yang bisa disederhanakan ke dalam dua
konsep penting, yaitu: peasant (peisan, petani kecil) dan pastoral (peternak) yang
embrionya juga berakar pada masyarakat hortikultural. Peasant dan pastoral dalam
konteks masyarakat agraris ini memiliki ciri utama: (1) memiliki tempat yang tetap
untuk membudidayakan bidang pekerjaannya, seperti lahan pertanian yang tetap untuk
bercocok tanam (ladang dan/ atau sawah) maupun areal padang rumput untuk
peternakan; (2) memanfaatkan teknologi untuk mengolah lahan, seperti bajak dan
peralatan lainnya; (3) mulai tumbuhnya keterampilan disertifikasi lahan; (4) surplus
produksi dan kelebihan dari kebutuhan subsistensi, sudah mulai dilempar ke pasar; dan
(5) muncul diferensiasi pekerjaan di luar sektor pertanian dan peternakan, seperti
kerajinan, pertukangan, perdagangan, dan sebagainya. Semakin lama diferensiasi dan
variasi pekerjaan itu semakin komplek dan berkembang terus.
Sejalan dengan perkembangan di atas, dengan memanfaatkan uang dan status,
serta otoritas yang dimilikinya, sebagian dari masyarakat agraris (peasant dan juga
pastoral) berhasil melalui lompatan lebih jauh dalam bidang ekonomi. Sebagian kecil
dari kalangan peasant itu tumbuh menjadi farmer (petani pemilik modal). Dalam
usahanya meningkatkan ‘material surplus’ bidang pertanian, yang bersangkutan
memanfaatkan modal, buruh, dan teknologi maju secara lebih efektif dan efisien. Di
pihak lain, sebagian kecil dari masyarakat pastoral juga telah berhasilannya dalam
mengembangkan peternakan yang lebih besar dan maju dengan orientasi produksi untuk
kebutuhan pasar.
Mengingat hanya sebagian kecil saja dari peasant dan pastoral itu yang berhasil
meningkatkan taraf hidup dan usaha mereka, sementara yang lainnya tetap terperangkap
dalam pola kehidupan petani dan peternak tradisional, maka menarik untuk memahami
world views keduanya. Pandangan dunia masyarakat petani dan pastoral pada prinsip-
nya: “mereka lebih berorientasi ke dalam (inward looking), memiliki keterikatan yang
kuat pada tradisi lama, dan relatif lemah dalam mengatasi tantangan alam, serta kurang
kompetitif melakukan perersaingan dengan pihak lain dalam rangka meraih kualitas
kehidupan yang lebih baik dan lebih maju.” Pandangan ini jelas sangat berbeda dengan
pandangan dunia masyarakat perkotaan dan masyarakat industri yang lebih berorientasi
77
keluar, mengandalkan sain dan teknologi, serta kompentitif dalam persaingan untuk
meraih kemajuan.
D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.
E. Bacaan Pendalaman
***
78
Kegiatan Belajar 7
DINAMIKA MASYARAKAT:
DARI MASYARAKAT AGRARIS DAN NON-AGRARIS
MENUJU MASYARAKAT PERKOTAAN
A. Learning Outcome:
B. Materi Pokok
(1) Evolusi Pertumbuhan Kota
(2) Dari Masyarakat Petani dan Pastoral Menuju Masyarakat Kota
(3) Kompleksitas Kehidupan Kota: Kota sebagai Pusat Pemerintahan, Industri, dan
Jasa
C. Substansi Pembelajaran
1. Uraian Materi
a. Evolusi Pertumbuhan Kota
Kota merupakan areal pemukiman yang realatif luas dengan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi, dan bersifat heterogen, baik dari segi latar belakang etnik, sosial,
budaya, pekerjaan, maupun ekonomi. Dilihat dari perspektif historis, kehadiran sebuah
kota dalam sejarah peradaban manusia pada hakikatnya sudah mengalami proses
evolusi yang panjang. Secara alamiah, akar perkembangan kebanyakan kota-kota yang
menjadi pusat peradaban kuno berasal dari band yang berkembang menjadi desa
(village) zaman neolitikum. Mesopotamia, Iskandariah, Mohenyodaro-Harappa, Sian,
Mesoamerika, merupakan beberapa contoh kota besar yang dibangun antara abad ke-6
sampai dengan abad ke-3 Sebelum Masehi (perkembangan kota secara alamiah tersebut
akan dibahas lebih lanjut dalam poin b di bawah ini). Di pihak lain, sebuah kota
(apalagi di era modern ini) bisa saja lahir tanpa melalui proses evolusi yang panjang,
melainkan dibangun dan direkayasa dari sebidang tanah untuk menjadi sebuah kota.
79
Menurut Kingsley Davis, tahap perkembangan kota adalah sebagai berikut: co-
polis; polis; metropolis; megapolis; oligopolis; dan, nakropolis. Di bawah ini akan
dipaparkan karakteristik dari setiap pertumbuhan kota tersebut secara simultan.
Pertama, co-polis (embrio kota). Konsep ini dapat diartikan sebagai kawasan pedesaan
di mana mata pencaharian penduduknya tidak lagi bertumpu pada sektor agraris belaka,
melainkan sektor non-agraris sudah mulai menunjukkan perkembangan di sana.
Artinya mata pencaharian pokok sebagian penduduknya sudah beralih dari sektor
pertanian ke sektor jasa (perdagangan, industri, jasa dan/ atau pegawai).
Kedua, polis (kota). Areal pemukiman yang sudah mengalami perkembangan
lebih pesat dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Pengembangan pemukiman
sudah mulai beralih dari yang bersifat horizontal ke vertikal: rumah-rumah penduduk
tidak lagi dikembangkan ke samping, melainkan sudah muncul rumah-rumah/ gedung
bertingkat. Di samping itu, sebagian besar mata pencarian pokok penduduknya sudah
beralih ke sektor jasa, sperti pedagang, pegawai, dan bidang jasa lainnya. Sementara
penduduk yang bergerak di sektor agraris sudah semakin berkurang jumlahnya,
sehingga ciri-ciri pedesaannya sudah semakin terkikis.
Ketiga, metropolis (ibu kota). Maksudnya adalah kota yang sudah semakin
berkembang, baik dilihat dari segi fisik maupun lingkungan sosialnya. Pada taraf ini
kota dimaksud sudah menjadi ibu kota bagi polis, copolis, dan desa-desa yang ada di
sekitarnya. Dengan kata lain ia sudah menjadi pusat pemerintahan, di samping itu
sektor jasa semakin menunjukkan perkembangan berarti dan pola kehidupan agraris
sudah semakin berkurang. Di samping sebagai pusat pemerintahan, metropolis juga
menjadi satelit dan barometer perkembangan berbagai aspek kehidupan moderen bagi
kota-kota kecil dan desa-desa di sekitarnya.
Keempat, megapolis (kota besar). Konsep ini mengandung makna, bahwa kota
tersebut sudah semakin luas wilayahnya, dan di sana juga sudah menjulang gedung-
gedung bertingkat. Gedung-gedung itu umumnya difungsikan sebagai kantor-kantor
birokrasi pemerintahan, badan usaha, perusahaan, industri, toko-toko grosir, lembaga
pendidikan (mulai dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi). Penduduk
metropolis sudah sangat majemuk dengan sektor jasa sebagai mata pencarian pokok
warganya. Sementara sektor agraris hampir dapat dikatakan sudah tidak ditemukan di
kota-kota besar tersebut.
Kelima, oligopolies (kota berantai). Oligopolis merupakan sebuah kota besar
yang sudah berantai dengan kota tetangganya (kota kembar): kedua kota hanya dibatasi
dengan rambu-rambu atau petunjuk praktis batas kota. Jadi tidak seperti biasanya,
antara satu kota dengan kota lainnya dibatasi oleh tanah kosong ataupun wilayah
pedesaan yang cukup luas. Kehidupan masyarakatnya sudah sangat individualis, dan
80
sumber ekonomi warganya bertumpu pada sektor industri dan jasa. Kompetisi dan
persaingan dalam berbagai aspek kehidupan mulai berlangsung dengan tajam.
Keenam, nakropolis (kota mati). Apabila perkembangan kota sudah tidak bisa
dikendalikan, kejahatan dan tindakan kekerasan terjadi di mana-mana ataupun terjadi
peperangan dahsyat yang berkepanjang di sebuah kota, maka waganya cenderung pergi
meninggalkan kota untuk menyelamatkan diri. Akibatnya kota tersebut menjadi
kosong, tinggal hanya puing-puing bangunan yang tidak terurus, sehingga ia sering juga
diibaratkan sebagai ‘kuburan besar’ yang sunyi dari aktifitas dan hiruk pikuk warganya.
Jika sudah demikian halnya, maka ia lazim disebut sebagai nakropolis (berakar dari
suku kata nacros = mati dan polis = kota). Dalam sejarah dunia, kondisi kota semacam
itu ditemukan di berbagai kawasan, misalnya di Babilonia, Yunani dan Romawi Kuno,
Mesir Kuno, Meksiko, dan belahan dunia lainnya. Bahkan di zaman sekarang hal
serupa juga terjadi di beberapa negara, seperti di Afganistan, Palestina, Sudan, Irak,
Suriah, Libiya, dan beberapa negara lainnya.
desa-desa di sekitarnya. Mirip dengan trend di era modern ini, kota-kota kuno itu sudah
menjadi satelit bagi masyarakat desa dan masyarakat pastoralis yang ada di sekitarnya.
Untuk beberapa aspek kehidupan kedua profil masyarakat yang disebut belakangan ini,
mendapat pengaruh kuat dari kota-kota satelitnya.
Mengacu pada pokok pikiran dan ilustrasi yang disebutkan terakhir ini, menarik
untuk menjawab sebuah pertanyaan elementer berikut: bagaimanakah proses masuknya
pengaruh kota ke derah pedesaan? Jawaban terhadap pertanyaan ini mengindikasikan,
setidaknya ada tiga mekanisme masuknya pengaruh kota ke desa. Pertama, terjadinya
urbanisasi: perpindahan masyarakat desa ke kota, baik karena ada faktor pendorong
(push factor) dari desa ataupun faktor penarik (pull factor) dari kota. Apapun penyebab
dari urbanisasi yang terjadi, konsekuensinya masyarakat pedesaan itu secara berangsur-
angsur harus beradaptasi dengan pola-pola kehidupan masyarakat kota. Lama
kelamaan ciri-ciri kehidupan rural society dan pastoralism yang mereka junjung tinggi
selama ini secara bertahap akan berubah menjadi pola kehidupan urban society. Kedua,
urbanisme. Maksudnya, meluasnya pengaruh kota ke daerah pedesaan yang berpangkal
pada intensifnya kontak antara kedua tipe masyarakat dan perkembangan media
komunikasi. Orang-orang kota yang datang ke desa dan perantau yang pulang ke
kampung halamannya, serta media informasi (elekronik dan cetak) yang masuk ke
derah pedesaan, pada gilirannya secara bertahap (baik disadari atau tidak) akan
berpengaruh pada masyarakat desa. Pengaruh itu bisa menyangkut sikap mental, gaya
hidup ataupun gaya berbicara. Ketiga, perluasan administratif sebuah kota. Akibatnya
masyarakat desa ataupun suburb (masyarakat pinggiran kota) yang terkena perluasan
kota, secara bertahap tetapi pasti warga setempat harus menyesuaikan pola hidup
mereka secara bertahap dengan masyarakat kota. Jika tidak, mereka hampir dapat
dipastikan akan menjadi warga kota yang termarginalkan.
Bertolak dari uraian di atas, dapat diambil konkluasi: dalam batas-batas tertentu
rural society dan pastoralism bisa berkembang menjadi urban society. Secara kasat
mata hal itu bisa dideteksi dari beralihnya: pola hidup mereka dari sektor agraris dan
bertenak ke sektor industri dan jasa; dari masyarakat homogen ke masyarakat yang
heterogen. Jika kedua karakter pokok itu belum terlihat dominan dalam kehidupan
suatu masyarakat, maka berarti mereka masih tergolong ke dalam masyarakat pedesaan:
rural society dan/ atau pastoralism. Dikatakan demikian, karena pada hakikatnya
masyarakat perkotaan (urban society) adalah profil masyarakat non-agraris. Urban Society
adalah warga yang bermukim di daerah perkotaan dengan mata pencaharian utamanya
bertumpu pada sektor jasa dan industri. Berbeda dengan masyarakat agraris yang banyak
terikat oleh hubungan-hubungan yang berbasis pada kebersamaan (sosial) dan ikatan
kekerabatan, masyarakat perkotaan lebih bersifat individualis.
82
2. Rangkuman
Kota merupakan areal pemukiman yang realatif luas dengan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi, dan bersifat heterogen, baik dari segi latar belakang etnik, sosial,
budaya, pekerjaan, maupun ekonomi. Dilihat dari perspektif historis, asal usul kota
dapat dibedakan ke dalam dua kategori. Pertama, berasal dari sebuah pemukiman
penduduk yang sederhana berubah menjadi desa, dan selanjutnya secara bertahap
berubah menjadi kota dalam segala tingkatannya. Kedua, sebidang lahan yang cukup
luas dirancang/ dibangun menjadi sebuah kota, dan dalam perjalannya berkembang
menjadi kota yang semakin besar dan kompleks. Jika kita bermaksud mempelajari
sebuah kota, maka kita bisa mlihat latar sejarahnya melalui salah satu dari fua kategori
tersebut.
Pokok pikiran di atas mengisyaratkan bahwa masyarakat desa (rural society)
dengan pola kehidupan agraris, tetap terbuka untuk berubah menjadi masyarakat
perkotaan (urban society). Seiring dengan penemuan uang dan meningkatnya
difeferensias pekerjaan masyarakat desa di luar sektor agraris, maka sebagian warganya
mulai menekuni usaha di bidang jasa, keterampilan, dan industri. Jika pembangunan
fisik areal pemukiman itu semakin pesat, pekerjaan di luar sektor agraris semakin
berkembang, pengaruh kehidupan moderen semakin mendalam di kalangan warga
dimaksud, maka ciri-ciri kehidupan abrarisnya makin luntur dan berubah menjadi
masyarakat perkotaan.
Ketika sebuah desa telah berubah statusnya menjadi kota, maka ia akan
memperlihatkan heterogenitas dalam berbagai aspek. Heterogenitasnya itu dapat dilihat
dari segi latar belakang penduduk (ras, etnik, sosial budaya), tingkat pendidikan, taraf
ekonomi, afiliasi politik, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, realitas demikian
akan semakin komplek sifatnya, mengingat kota sering diposisikan sebagai agen
modernisasi, pusat perkembangan ekonomi/ perdagangan, pusat industri, pusat
pendidikan, dan juga pusat birokrasi/ pemerintahan tertentu. Dengan demiakian
kehidupan kota akan menjadi semakin kompleks, apalagi ia akan menjadi satelit dan
barometer dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (kota maupun desa) sekirtanya.
84
D. Evaluasi
E. Bacaan Pendalaman
***
85
Kegiatan Belajar 8
PERTUMBUHAN EKONOMI:
SUMBER DAYA EKONOMI, SISTEM PRODUKSI, DISTRIBUSI, DAN
KONSUMSI DALAM MASYARAKAT YANG SEDANG BERUBAH
A. Learning Outcome:
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
mencermati pertumbuhan ekonomi, sembari mengidentifikasi sumber daya ekonomi,
sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat
yang sedang berubah.
B. Materi Pokok
C. Substansi Pembelajaran
1. Uraian Materi
a. Manusia sebagai Homo-economicus
Uraian pada topik-topik sebelumnya secara implisit sudah membawa kita pada
pemahaman, bahwa manusia sesungguhnya merupakan makhluk multidimensional, di
samping sebagai homo socius (makhluk sosial) dan homo faber (makhluk budaya/
pembuat alat), manusia sekaligus juga merupakan homo economicus. Konsep terakhir
ini mengandung makna bahwa manusia adalah makhluk ekonomi. Maksudnya untuk
memenuhi kebutuhan materialnya: manusia tidak hanya mengandalkan instingnya,
melainkan ia berusaha mengolah alam dengan memanfaatkan akal pikirnya. Dengan
jalan demikian, manusia tidak hanya sekedar berusaha bertahan hidup, melainkan lebih
dari itu, ia berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup dari waktu ke waktu.
Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, sudah dikupas bagaimana
ketergantungan manusia pada alam di awal kehadirannya di muka bumi ini. Kemudian
86
setelah melalui proses yang panjang, dengan memanfaatkan akal budinya, manusia
berhasil mengurangi ketergantungan pada alam dan akhirnya mampu mengolah alam.
Bahakan dalam era modern itu, manusia sudah melangkah lebih jauh dari sekadar hanya
mengolah alam, menjadi makhluk yang berhasrat untuk mengeksploitasi alam. Dalam
kaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, setelah terjebak dengan pola berburu
dan meramu selama jutaan tahun, akhirnya pada penghujung era mesolitikum manusia
mulai memanfaatkan kemampuannya untuk mengolah alam (bercocok tanam dan
memelihara binatang). Kemudian kedua cara pemenuhan kebutuhan ekonomi itu
berhasil mereka kembangkan: mulai dari teknik pengolahan dengan menggunakan
peralatan sederhana ke teknik yang lebih maju (kompleks); dari orientasi subsistensi
(pemenuhan kebutuhan sendiri) ke orientasi pasar untuk mendapatkan keuntungan
(profit). Ilustrasi di atas secara implisit mengindikasikan telah terjadinya dinamika
ekonomi dalam perkembangan peradaban umat manusia.
seseorang atau suatu badan usaha. Kekayaan dan asset itu bisa saja dikelompokkan
pada sumber daya ekonomi; individu, rumah tangga, keluarga, ataupun badan usaha
(terutama dalam masyarakat modern). Sementara dalam masyarakat kuno/ tradisional
sumber daya ekonomi itu umumnya merupakan asset keluarga/ suku/ klen (komunal),
sedangkan asset individu relatif belum dikenal ketika itu.
memenuhi kebutuhan mendasar dalam hidup, lalu mereka pun melengkapinya dengan
berburu dan meramu. Hal terakhir ini dalam prehistori lebih dikenal dengan era
meramu dan berburu tingkat lanjut. Orientsi ekonomi mereka pada masa itu masih
bersifat untuk memenuhi kebutuhan sendiri yang dalam ilmu ekonomi lebih dikenal
dengan pemenuhan kebutuhan subsistensi (sufficiently, ekonomi secukupnya).
Walaupun demikian para ahli menduga, bahwa pada masa itu sudah mulai berlangsung
tukar menukar barang yang dibangun di atas prinsip sistem barter dan reciprocitas. Hal
itu adalah konsekuensi logis dari perbedaan lingkungan tempat tinggal yang berbeda
dan kebutuhan manusia yang beragam. Lalu melalui sistem barter dan hubungan timbal
balik itu terjadilah distribusi barang untuk memenuhi kebutuhan pihak konsumen.
Kedua, sejalan dengan perkembangan pemikiran dan kemampuannya, manusia
berhasil menemukan cara/ proses produksi dan memanfaatkan lahan secara menetap.
Untuk memberi nuansa perbedaan dengan pola sebelumnya: sistem ini lebih cocok
disebut dengan istilah bertani; dan masyarakatnya disebut dengan masyarakat agraris.
Sistem produksi masyarakat petani dan juga masyarakat pastoralis pada zaman kuno itu
masih tetap berorientasi pada pamanuhan kebutuhan sensiri (ekonomi subsistensi),
tetapi kelebihan produksi sudah mulai didistribusikan ke luar kelompok produsen, baik
melalui barter, reciprocitas, maupun jual beli dengan menggunakan benda yang
diperlakukan sebagai uang. Lain halnya dengan masyarakat pastoralis, binatang ternak
mereka memang dimaksudkan untuk dipertukarkan dengan berbagai kebutuhan dasar
yang tidak bisa mereka hasilkan, terutama karena keterbatasan alam di padang rumput.
Selain melalui dua proses distribusi di atas, beredarnya barang dari pihak konsumen ke
produsen bisa terjadi melalui tukar menukar secara ekonomi, apa lagi sejak masyarakat
mengenal uang. Dengan begitu, hubungan produsen - konsumen semakin terjalin
melalui proses distribusi barang dan jasa, baik inter maupun antar kelompok terkait.
Ketiga, berbeda dengan petani tradisional, petani dan peternak modern justru
memproduksi sesuatu dengan tujuan utama untuk menyuplai kebutuhan pasar. Profil
petani/peternak seperti ini tidak lagi mengandalkan tenaga mereka untuk menggerakkan
usahanya, melainkan mereka menggunakan modal yang dimiliki, tenaga buruh untuk
memaksimalkan produksi. Sementara kebutuhan subsistensi mereka diperoleh dengan
membeli segala sesuatu dari pihak produsen melalui jasa pihak distributor terkait.
Dengan kata lain, dalam tahap perkembangan ini, proses produksi, distribusi, dan
konsumsi sarat dengan hal-hal bersifat profit.
d. Anekaragam Distibusi
Uraian pada poin c di atas, secara implisit mengisyaratkan proses distribusi
barang dari pihak produsen ke konsumen, berlangsung melalui berbagai macam cara,
89
yang terpendting diantaranya adalah: tukar menukar sosial; reciprocitas; tukar menukar
ekonomi; dan redistribusi kekayaan. Berikut ini akan dijelaskan implementasi masing-
masing konsep tersebut dalam kaitan dengan perkebangan peradaban manusia.
Tukar Menukar (Sosial) diduga merupakan mekanisme distribusi barang dan
jasa yang paling tua dalam sejarah perkembangan umat manusia. Dalam masyarakat
bersahaja pun tukar menukar seperti ini sudah lazim dilakukan oleh berbagai eleman
masyarakat, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebab tidak satupun
manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya secara mandiri, didorong oleh kenyataan
demikian hidup dan tumbuhlah tukar menukar soiial. Pola tukar-menukar seperti itu
tidak hanya dikenal dalam masyarakat bersahaja dan kuno, tetapi dalam masyarakat
modern prinsip itu masih berlangsung dengan modifikasi dalam beberapa aspeknya.
Selajutnya, reciprositas (hubungan timbal balik). Konsep ini juga menjadi
landasan berlangsungnya distribusi barang dari pihak produsen ke pihak konsumen,
sehingga barang yang dihasilkan pihak lain bisa beredar di kalangan konsumen
(pemakai). Mirip dengan tukar menukar sosial, reciproritas juga dilandasi oleh
kesurelaan pihak terkait, tanpa maksud untuk meraih keuntungan dari proses tersebut.
Pertukaran barang melalui reciprocitas itu biasanya tidak berlangsung pada momen
yang sama (seperti jual beli), melain tukar menukar itu terjadi pada momen berbeda.
Melalui hubungan timbal balik yang dilandasai kesukarelaan itu, terjadilah peredaran
barang secara luas dengan harapan untuk membangun kebersamaan dan solidaritas
dalam suatu masyarakat dan/ atau antara individu-individu yang berasal dari masyarakat
berbeda. Pemahaman konsep ini akan semakin mendalam jika dikaitkan dengan konsep
the gift (pemberian) yang diperkenalkan Marcell Mauss. The Gift juga amat besar
kontribusinya bagi terbinanya hubungan timbal balik antar pihak-pihak terkait, sehingga
integrasi masyarakat akan semakin kuat.
Selain tukar menukar sosial dan reciprositas sebagaimana yang telah disinggung
di atas, para ahli menduga sejak manusia mengenal hidup menetap, manusia sudah
mulai mengembangkan tukar menukar ekonomi. Pertukaran tersebut diawali dari pola
yang bersifat sederhana, yakni melalui sistem yang kemudian lebih dikenal dengan
barter. Manusia pra sejarah yang hidup dalam kelompok-kelompok di kawasan terentu,
telah mulai menghasilkan untuk kebutuhan sufficience mereka dengan memanfaatkan
tanah dengan jenis dan tingkat kesuburan berbeda-beda. Beranjak dari keterbatasan
demikian, tidak mungkin bagi suatu kelompok untuk memproduksi sendiri kebutuhan
mereka, sehingga mereka harus membangun hubungan dengan kelompok lain yang
menghasilkan sesuatu yang mereka perlukan itu. Dalam konteks masyarakat sederhana,
terjadilah transaksi ekonomi yang paling elementer, yaitu pertukaran barang dengan
barang (barter). Dalam perkembangannya kemudian, mekanisme perturana ekonomi
90
yang amat sederhana itu makin disempurnakan dari waktu ke waktu, baik berkaitan
dengan proses produksi, mekanisme, dan alat yang digunakan dalam proses pertukaran.
Setelah menggunakan alat yang diberlakukan sebagai alat tukar dan logam mulia,
akhirnya kelompok tertentu menemukan uang sebagai alat tukar. Berbeda dengan
barter yang memiliki berbagai keterbatasan, penggunaan uang sebagai alat tukar
memiliki banyak kelebihan dan memberikan keuntungan. Dengan demikian, mucullah
perdagangan sebagai salah satu mekanisme penting dalam proses distribusi barang dari
produsen ke pihak konsumen.
Terakhir, redistribusi kekayaan. Tukar menukar sosial, reciprositas, dan tukar
menukar ekonomi di atas, terjadilah ikatan antara individu dan kelompok, inter dan
antar kelompok, terutama berkaitan dengan barang dan jasa sebgai wahananya. Sejalan
dengan itu, secara implisit juga terjadi distribusi kekayaan di dalam kelompok dan/ atau
antar kelompok yang terimplementasikan dalam bentuk distribusi barang dan jasa di
kalangan pihak terkait. Bukan hanya itu, dalam banyak kasus disribusi kekayaan itu
tidak hanya berhenti pada dua pihak, melainkan ia akan beredar lebih jauh dalam
bentuk distribusi kekayaan dalam skop yang lebih luas. Realitas demikian, merupakan
salah satu daya dorong bagi terwujudnya dinamika ekonomi masyarakat yang semakin
kompleks, apalagi di era kontemporer ini.
2. Rangkuman
Dalam kapasitasnya sebagai homo economicus, untuk memenuhi kebutuhan
materialnya manusia memanfaatkan akal budinya dalam mengelola “sumber daya
ekonomi” guna mendapatkan material surplus dari aktifitas yang dijalankannya.
Setelah terjebak dengan pola berburu dan meramu selama jutaan tahun, akhirnya pada
penghujung zaman mesolitikum manusia mulai menunjukkan kemampuan untuk
mengolah alam (bercocok tanam dan memelihara binatang). Kemudian kedua cara
pemenuhan kebutuhan ekonomi itu berhasil mereka kembangkan, baik dari segi
peralatan yang digunakan maupun orientasnya.
Sumber daya ekonomi yang diolah manusia dalam upaya memperbaiki kualitas
ekonominya, pada hakikatnya mencakup: sumber daya alam (SDA); dan sumber daya
manusia (SDM) yang bisa memberikan manfaat/ keuntungan (benefit). Sumber daya
ekonomi itu sering juga dipahami sebagai sebuah bentuk sumber daya konsumen.
Dalam konteks ini, setidaknya sumber daya ekonomi dapat dikelompokkan menjadi: (1)
sumber daya alam, yaitu semua sumber/ kekuatan yang berasal dari alam; (2) sumber
daya manusia, yaitu segala potensi manusia yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan
produksi; (3) sumber daya modal, yakni segala sesuatu yang bisa dijadikan modal
untuk proses produksi; (4) sumber daya kewirausahaan, yaitu segala potensi yang
91
berkaitan dengan sikap, prilaku, etos kerja, dan semangat untuk menggerakkan sebuah
usaha/ kegiatan ekonomi yang menguntungkan. Penguasaan sumber daya ekonomi oleh
seseorang maupun sekelompok orang akan berkorelasi dengan pendapatan dan
kekayaan yang bersangkutan.
Mengingat kemampuan manusia tidak sama dan kebutuhan mereka juga
beragam, sementara sumber daya ekonomi yang mereka miliki juga berbeda, maka
otomatis manusia tidak bisa mengasilkan semua kebutuhannya. Dihadapkan pada
kenyataan itu, dalam batas tertentu ada manusia yang menjadi produsen kebutuhan
tertentu, dan di pihak lain ada pula yang menjadi konsumen. Lalu untuk menjaga
ketimpangan dan mendapatkan nilai tambah dalam hubungan produsen dan konsumen
itu, maka kegiatan distribusi menjadi hal yang sangat krusial.
Interelasi yang konstruktif di antara produsen, konsumen, dan distributor akan
memberikan nilai tambah bagi semua eleman masyarakat terkait, sekaligus juga
mencerminkan dinamika ekonomi suatu masyarakat. Distribusi barang dari produsen
ke pihak konsumen itu berlangsung melalui berbagai macam cara dan yang terpenting
di antaranya adalah: pertukaran (sosial), reciprocitas, the gift, dan barter, dan tukar
menukar ekonomi (jual-beli dengan menggunakan uang sebagai alat tukar).
D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.
E. Bacaan Pendalaman
Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Tukar-menukar di Masyarakat
Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Mansur, M. Yahya. et al. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta:
Pustaka Grafika
Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers
Myron Weiner, ed., 1984. Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gama
Press.
Sajogyo, Ny Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: IKIPJkt–BKKBN.
Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.
***
92
Kegiatan Belajar 10 - 11
A. Learning Outcome:
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
menjelaskan hakikat, konsekuensi dan perkembangan perkawinan dalam kaitannya
dengan keluarga, dan rumah tangga.
B. Materi Pokok
1. Uraian Materi
dalam pengaturan pergaulan antar individu berlainan jenis, dan juga dalam penataan
hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
Untuk memahami hakikat perkawinan itu, menarik untuk mencari jawaban
terhadap pertanyaan pokok: apakah yang dimaksud dengan perkawinan? Para ahli dari
berbagai latar belakang disiplin ilmu dan profesi, cenderung merumuskan konsep
perkawinan sesuai dengan latar belakang keilmuan, keyakinan keagamaan dan sosio-
kultural yang bersangkutan. Antropolog, sosiolog, pakar hukum, rohaniawan, dan
budayawan misalnya, ketika mendefinisikan perkawinan, maka rumusan masing-
masing cenderung berbeda satu dengan lainnya.
Walaupun demikian, dari berbagai rumusan yang amat beragam itu pada
hakikatnya untuk kepentingan ilmu-ilmu sosial dapat dibuat rumusan yang relatif
netral, tanpa meniadakan eksistensi rumusan lainnya. Rumusan dimaksud adalah
sebagai berikut: “perkawinan merupakan hubungan yang permanen antara laki-laki dan
perempuan berdasarkan adat istiadat (sistem norma) tertentu, serta diakui sah oleh
masyarakat.” Coba bandingkan batasan ini dengan konsep perkawinan dalam Undang-
undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia: rumusannya pasti berbeda, tetapi
substansi perkawinan dalam undang-undang itu tetap terakomodasi di dalam rumusan di
atas. Substansi perkewinan dimaksud adalah: (1) ikatan yang bersifat permanen antara
laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk membina rumah tangga. Maksudnya
hubungan itu tidak terikat oleh jangka waktu tertentu (kontrak), dan jika perlu hanya
maut yang membatasi ikatan dimaksud; (2) hubungan itu harus antara laki-laki dan
perempuan, dalam artian bukan hubungan antar individu sejenis (homo seksual,
lesbian); (3) hubungan itu harus dibangun di atas sistem adat-istiadat atau norma
tertentu yang didukung dan diyakini pihak terkait; dan (4) hubungan tersebut harus
mendapat pengakuan dari masyarakat di mana mereka hidup dan bertempat tinggal.
Resepsi pernikahan pada hakikatnya adalah wahana yang paling strategis untuk
mendapatkan legitimasi/ pengakuan dari warga masyarakat terkait.
Apabila keempat hal di atas terpenuhi, maka barulah terjadi perkawinan antar
insan berlainan jenis. Sebaliknya, jika salah satu dari empat persyaratan itu tidak
terpenuhi, maka hubungan keduanya tidak bisa disebut sebagai perkawinan. Apa bila
terjadi hubungan antara laki-laki dan perempuan seperti disebut terakhir, maka ia akan
dikategorikan sebagai penyimpangan dalam perkawinan. Di era kontemporer ini,
dikenal beraneka ragam penyimpangan tersebut, seperti: ‘kumpul kebo,’ kawin piaraan,
samenleven, key-mariage, sek bebas, dan penyimpangan seksual lainnya. Bahkan ada
pula penyimpangan itu yang diklaim sebagai suatu keyakinan keagamaan tertentu,
seperti Children of God, Kawin Kontrak, ‘Zakat Badan,’ dan lain-lain sejenisnya.
94
perempuan boleh bersuami lebih dari satu dalam rentang waktu yang sama. Dengan
begitu, dalam konteks kekinian konsep tersebut amat keliru, sebab matri berarti ibu
(perempuan) dan archaad (archy) adalah ibu. Jadi matriarchaat mengandung arti
kekuasaan berada di tangan ibu (perempuan). Pada hal yang dimaksud adalah seorang
perempuan dibenarkan bersuami lebih dari satu, dan konsep yang tepat untuk fenomena
demikian adalah “poliandri.” Menurut Bachofen dan Morgan, sistem perkawinan ini
diduga dibolehkan pada periode awal manusia mengenal “hidup menetap.” Alasannya,
pada saat itu manusia belum bisa memenuhi kebutuhan dasar (sufficiently) mereka dari
lingkungan tempat tinggalnya, melainkan mereka harus meramu dan berburu ke luar
lingkungan tempat tinggal mereka untuk beberapa hari. Dihadapkan pada kenyataan
demikian, maka seorang perempuan diperbolehkan bersuami lebih dari satu: sementara
suami ke- (1, 2, dan 3) pergi mencari makanan dan/ atau berburu misalnya, maka suami
ke (4, 5, dan 6) bisa mengawasi isteri dan anak-anak di sekitar goa tempat tinggal
mereka. Kemudian pada tahap berikutnya kelompok suami yang lain pula yang pergi
berburu dan meramu. Di Indonesia fenomena ini dianggap asing dan aneh, tetapi pada
beberapa kelompok etnik di Mongolia, Asia Tengah dan di India poliandri hingga kini
masih diperbolehkan. Sebagai ilustrasi dapat dinikmati tayangan AN TV (2014) dalam
kisah Mahabrata, di mana Draupadi bersuamikan 5 orang Padawa (Pandawa Lima).
Keempat, ‘Patriarchaad dengan poligami’ (baca: poligini). Bachofen dan
Morgan menyatakan dalam ‘Patriarchaad dengan poligami’ seorang laki-laki boleh
beristeri lebih dari satu. Kalau begitu konsep yang tepat untuk fenomena ini adalah
poligini, bukan kekuasaan berada di tangan bapak (laki-laki). Poligini dikenal pada
hampir semua kelompok etnik di Indonesia, bahkan elit tradisional cenderung
menerapkan sistem ini. Bahkan bukan hanya kelompok elit, melaikna tidak sedikit
kalangan orang kebanyakan (massa) juga menjalankan paktek poligini.
Kelima, Monogami (perkawinan tunggal). Menurut Bachofen dan Morgan,
monogami merupakan puncak dari evolusi perkawinan. Yang dimaksud dengan
monogamy adalah: seorang laki-laki hanya boleh beristeri satu orang dalam suatu
rentang waktu; dan sebaliknya seorang perempuan hanya boleh bersuamikan satu orang
laki-laki. Kebanyakan warga masyarakat di berbagai belahan dunia menganut azas
perkawinan monogam di era modern ini. Bahkan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, prinsipnya menganut azas monogami.
Dikatakan demikian, karena seorang laki-laki (PNS/ ABRI) hanya boleh kawin lebih
dari satu, kalau mendapat izin dari istrinya yang pertama. Dalam keadaan normal dan
tanpa mengalami penyakit yang kronis, hampir tidak mungkin bagi seorang perempuan
memberi izin suaminya untuk menikah lagi (kedua dan seterusnya). Begitu juga dalam
Islam, seorang suami boleh menikahi perempuan sampai empat orang dengan syarat dia
96
yakin akan mampu berlaku adil. Ini tentu berlawanan dengan falsafah alam seperti
termaktup dalam ungkapan tradisional Minangkabau: condong mato ka nan rancak,
condong salero ka nan lamak. Dalam konteks demikian, keadilan itu adalah suatu yang
riskan untuk diwujudkan.
Kembali pada poin keempat dan kelima di atas, di dalamnya ada dua konsep
penting, yaitu: poliandri; dan, poligini. Kedua konsep itulah yang disebut dengan
istilah poligami. Maksunya, seorang perempuan dan/ atau laki-laki boleh kawin dengan
beberapa orang dalam rentang waktu tertentu. Apabila seorang perempuan dan/ atau
laki-laki sudah kawin dan kemudian mereka bercerai, selanjutnya yang bersangkutan
kawin kembali, ini tidak termasuk ke dalam poligami. Tegasnya, poligami mengandung
arti ‘kawin jamak’ yang dilakukan seseorang dalam suatu rentang waktu tertentu.
diberikan pembatasan yang tegas, misalnya: endogami kasta, endogami desa, endogami
nagari (di Minangkabau). Dalam masyarakat Hindu Bali sebagaimana masyarakat
India, seseorang harus mencari pasangan dalam kasta yang sama, dan tabu mencari
pasangan di luar kastanya (apalagi dari kasta yang lebih rendah).
Bertolak dari uraian di atas, orang Minang yang sangat dikenal berazaskan
Eksogami, tetapi pada hakikatnya mereka juga penganut Endogami. Oleh karena itu
konsep yang lebih tepat bagi orang Minang adalah: penganut azas “Eksogami Suku dan
Endogami Nagari.” Maksudnya, seseorang pemuda harus mencari pasangan untuk
dikawini ke luar sukunya, tetapi kalau dapat harus dari nagari yang sama. Di beberapa
nagari di Minangkabau, seorang pemuda yang mencari pasangan di luar nagari-nya
akan dikenakan denda adat, yaitu membayar “uang lompek paga” dan/ atau “uang
lompek banda”. Denda itu dibayarkan oleh niniak mamak (kepala sukunya yang
biasanya bergelar Dt., akronim dari Datuak ……) dalam sebuah jamuan adat yang
dihadiri oleh para niniak mamak di nagari bersangkutan. Setelah denda dibayarkan,
barulah sang niniak mamak akan dianggap selevel dengan para niniak mamak lainnya,
seperti diungkapkan: duduak samo randah, tagak samo tinggi dengan para niniak
mamak (penghulu) lainnya. Mengapa dia harus membayar denda secara adat?
Jawabannya relatif sederhana, yaitu: anak kemenakan sang niniak mamak itu telah
melanggar tabu/ sumbang dalam perkawinan.
Selain tabu yang sudah ditelusuri di atas, pada tataran etnik/ lokal tertentu juga
dikenal berbagai macam yang dianggap tabu atau sumbang. Misalnya pada beberapa
masyarakat etnik, tabu mengawini seseorang yang tidak jelas ayah/ bapaknya, di
samping ada pula kelompok sosial tertentu yang menganggap tabu kawin dengan orang
dari status sosial yang lebih rendah.
untuk kawin.” Mekanisme pemberian mas kawin itu juga berbeda-beda pada tiap
masyarakat: ada yang mengharuskan pemberian itu sebelum pelaksanaan perkawinan;
sementara dalam kebanyakan masyarakat pemebrian itu dilaksanakan pasca perkawinan
(ritual pernikahan). Jadi konsep ini harus dibedakan secara tajam dengan “mahar”
(dalam Islam), sebab mahar mengandung makna: “serahan wajib yang harus diberikan
oleh si pemuda kepada calon isterinya (sesuai dengan permintaan si perempuan)
sebagai syarat sahnya perkawinan antar kedua insan.” Secara umum budaya dari hampir
semua kelompok etnik di berbagai penjuru bumi ini mensyaratkan mas kawin itu
sebagai pemberian dari pemuda terhadap calon istri dan atau keluarganya sebagai
persyaratan perkawinan. Namun pada segelintir etnik/ sub etnik, pemberian tersebut
dilakukan oleh si gadis kepada calon suami dan/ atau keluarganya. Apa dan bagaimana
pun prosedurnya, mas kawin itu merupakan persyaratan perkawinan paling esensial
dalam adat/ kebudayaan hampir semua kelompok etnik.
Kedua, Bride-service (penyerahan tenaga). Konsep ini mengandung arti: “untuk
melamar/ mengawini seorang gadis, sang pemuda harus bekerja pada keluarga pihak
perempuan.” Para ahli menduga tradisi ini tumbuh dalam masyarakat tradisional, karena
ada anggapan pada kebanyakan etnik, bahwa setiap orang merupakan aset penting
sebuah keluarga. Lalu ketika seorang gadis dikawini oleh seorang pemuda, maka si
perempuan akan tercabut dari keluarganya, dan masuk menjadi anggota keluarga
suaminya (terutama pada adat menetap patrilokal dan virilokal). Oleh sebab itu, sebagai
penggantinya seorang laki-laki disyaratkan bekerja pada keluarga pihak perempuan
ketika ia berniat menyunting si gadis. Lalu ‘penyerahan tenaga’ oleh pemuda terkait
dapat dilakukan sebelum dan/ atau setelah pelaksanaan perkawinan.
Ketiga, Bride-exchange (pertukaran gadis). Bride-exchange: suatu kewajiban
yang dibebankan kepada seorang pemuda yang bermaksud melamar seorang gadis
untuk menyediakan gadis dari kerabatnya yang bersedia menikah dengan pemuda dari
pihak keluarga calon isterinya. Dari mekanisme seperti itu, terlihat bahwa perkawinan
tersebut mengandung makna sebagai pertukaran gadis antar keluarga dari yang terlibat
dalam suatu ikatan perkawinan. Adat semacam ini sangat terbatas pendukungnya,
antara lain ditemukan dalam bebera kelompok suku di Irian, Melanesia, orang Aborigin
(Australia) dan pada segelintir suku di Afrika dan Amerika Latin.
Hal lain yang perlu disinggung di sini adalah prosedur yang harus dilakukan
oleh dua pihak yang bermaksud untuk melakukan hubungan perkawinan. Berkaitan
dengan hal ini, setiap masyarakat memiliki aturan/adat-istiadat yang berbeda-beda pula.
Bahkan pihak mana yang harus mengambil inisiatif terlebih dahulu juga berbeda
ketentuan adatnya: masyarakat tertentu mengharuskan inisiatif datang dari pihak laki-
laki; sementara yang lain harus dari pihak pihak perempuan terlebih dahulu. Manapun
99
adat yang dipakai, secara umum proses yang lazim dilakukan adalah sebagai berikut:
penjajakan; peminangan; penetapan jadwal perkawinan; upacara perkawinan; dan upara
adat saling mengunjungi antar kedua kerabat setelah perkawinan.
maupun perempuan. Adat menetap seperti ini lazim ditemukan dalam masyarakat
perkotaan, terutama di negara-negara maju. Namun dalam batas-batas tertentu pola
tersebut sudah mulai menjalar pengaruhnya ke kota-kota besar di luar Eropah dan
Amerika, terutama di kalangan pasangan dengan latar belakang ekonomi kuat. Hanya
saja fenomena tersebut belum dapat dikategorikan sebagai adat menetap setelah kawin
dalam hampir semua kelompok etnik di Indonesia, mengingat keberlakuannya hanya
terbatas pada individu dari kalangan profesional dan/ atau pasangan yang berlatar
belakang ekonomi menengah ke atas..
f. Rumah Tangga
Rumah tangga (household) merupakan unit sosial yang terbentuk sebagai
konsekuensi dari sebuah perkawinan. Dikatakan demikian, karena dua insan yang
terikat oleh hubungan perkawinan itu akan hidup bersama di suatu rumah. Jika
pasangan itu sudah berhasil membentuk unit sosial yang mencerminkan suatu kesatuan
ekonomi yang berdiri sendiri, berarti terbentuklah rumah tangga baru. Dengan begitu,
rumah tangga sebagai suatu konsep dapat diartiakan sebagai unit sosial yang
mencerminkan suatu kesatuan ekonomi yang berdiri sendiri. Di dalam banyak
kelompok etnik, kesatuan tersebut ditandai dengan “dapur.” Jadi konsep rumah tangga
tidak bisa disamakan dengan keluarga inti atau pun rumah sebagai tempat tinggal
pasangan dimaksud.
Dalam banyak kasus di Indonesia, apalagi pada masyarakat tradisional berbagai
kelompok etnik di tanah air (kecuali dalam era modern ini), pasangan penganten baru
biasanya menumpang di rumah orang tuanya untuk beberapa lama. Oleh karena itu
pada suatu rumah, misalnya rumah gadang di Minangkabau bisa saja ditempati oleh
dua keluarga inti atau lebih: keluarga inti senior; dan keluarga inti junior. Selama
keluarga inti junior itu belum membetuk sebuah unit ekonomi sendiri yang terpisah dari
keluarga inti senior, maka ia tidak bisa dianggap sebagai rumah tangga. Lain halnya
ketika keluarga inti yunior itu membentuk ‘dapur’ (baca: unit ekonomi tersendiri),
meskipun secara fisik dapurnya sama, maka berarti pasangan baru itu telah membentuk
“rumah tangga” tersendiri. Dengan kata lain, rumah tangga dapat diartikan sebagai
suatu kesatuan ekonomi (dapur) dari sebuah keluarga inti/ nuclear family (ayah, ibu,
dan anak-anaknya yang belum kawin).
sering disebut dengan istilah nuclear family (keluarga inti, keluarga batih). Secara
konseptual, Keluarga Konjungal dapat diartikan sebagai kesatuan sosial terkecil yang
terbentuk dari perkawinan monogami dengan anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan
anak-anaknya.
Di pihak lain, Keluarga Konsanguin dalam studi antropologi lebih dikenal
dengan extended family (keluarga luas, bukan keluarga besar). Extended family selalu
terbentuk dari beberapa keluarga batih yang memiliki ikatan/ hubungan yang erat satu
dengan lainnya. Selain itu dalam kelompok etnik tertentu, keluarga luas juga dipahami
sebagai keluarga inti minus suami dan/atau isteri sesuai dengan sistem kekerabatan
yang dianut masyarakat setempat, misalnya kesatuan sosial dalam bentuk suku di
Minangkabau atau pun marga di Batak.
Di pihak lain, di kalangan etnik-etnik tertentu, keluarga luas juga dihubungkan
dengan tempat tinggal (menetap) dari beberapa keluarga batih terkait. Dalam
hubungan ini keluarga luas dapat dibedakan menjadi: (1) keluarga luas utrolokal,
yakni suatu keluarga yang terdiri dari keluarga inti senior ditambah dengan beberapa
keluarga batih dari anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun perempuan; (2)
keluarga luas virilokal, yaitu keluarga yang dibangun di atas adat virilokal dengan
anggotanya satu keluarga inti senior ditambah dengan keluarga-keluarga batih dari
anak lelakinya; dan (3) keluarga luas uxorilokal yang terbentuk berdasarkan adat
uxorilokal dengan keanggotaanya terdiri dari satu keluarga inti senior ditambah dengan
beberapa keluarga batih dari anak-anak perempuannya. Contoh dalam masyarakat
Minang, di sebuah rumah gadang atau di lingkungan rumah gadang tertentu tinggal
beberapa keluarga inti dari keturunan yang sama. Kesatuan hidup yang disebut
terakhir ini melahirkan konsep campound. Para peneliti sosio-kultur Minangkabau
cenderung sependapat: perkampungan tradisional yang berazaskan ikatan darah
(lineal) seperti Kampueng Koto, Kampueng Piliang, Kampueng Bodi, Kampung
Caniago, Kampueng Melayu, Kampung Tanjung, dsj itu, tidak lain adalah kesatuan
sosial yang terbentuk dari adat uxorilokal dimaksud.
Uraian ringkas di atas, setidaknya menggiring kita pada dua rumusan konseptual
dari keluarga luas sebagai berikut. Pertama, keluarga luas merupakan kesatuan sosial
yang terbentuk dari perkawinan dan/ atau ikatan tempat tinggal di mana para
anggotanya memiliki hubungan yang erat. Kedua, keluarga luas adalah kesatuan sosial
yang berbasiskan ikatan kekerabatan yang erat, di mana para anggotanya ‘meyakini’
bahwa mereka berasal dari satu nenek dan/ atau kakek yang sama. Kedua batasan ini
sekaligus mengisyaratkan, bahwa Keluarga Luas (extended family) memang tidak bisa
disamakan dengan istilah Keluarga Besar sebagai lawan dari Keluarga Kecil yang
dipopulerkan oleh BKKBN sejak beberapa tahun terakhir ini.
103
1. Rangkuman
Perkawinan merupakan suatu institusi sosial yang sangat penting dalam realitas
sosial semua masyarakat di muka bumi ini. Perkawinan bukan hanya berfungsi untuk
mengatur hubungan biologis antara insan yang berlainan jenis, melainkan ia sarat
dengan muatan nilai-nilai sosial dan budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat
terkait.
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, perkawinan dapat dipahami sebagai
“hubungan yang permanen antara laki-laki dan perempuan berdasarkan adat istiadat/
sistem norma tertentu, serta diakui sah oleh masyarakat.” Kaum evolusionis
berkeyakinan bahwa perkawinan itu sudah mengalami proses panjang: bermula dari
hubungan biologis tanpa ikatan yang jelas berkembang menjadi hubungan yang tegas
berlandaskan adat/ketentuan hukum yang tegas. Menurut Bachofen dan Morgan.
perkawinan berkembang melalui tahap-tahap berikut: (1) Promescited (promiscuity);
(2) ‘Kawin Kelompok’; (3) Matriarchaad dengan poligami (baca: poliandri); (4)
Patriarchaad dengan poligami (baca: poligini); dan (5) Monogami (perkawinan
tunggal). Poliandri dan poligini itu dalam antropologi lebih dikenal dengan poligamy.
Setiap kelompok etnik memiliki konsepsi tentang tabu (sumbang, incest) dalam
perkawinan, sehingga muncul pembatasan jodoh dalam perkawinan. Hampir semua
masyarakat di dunia ini melarang kawin sedarah (antara ayah dan/ ibu dengan anak-
anaknya, saudara kandung), bahkan ada larangan kawinan dengan saudara sepersusuan.
Selain itu setiap kelompok etnik juga memiliki pembatasan tersendiri dalam pemilihan
jodoh. Dalam masyarakat yang menganut azas exogamy, seseorang dilarang mencari
pasangan dalam kelompoknya. Sebaliknya pada masyarakat yang menganut azas
endogamy, seseorang dilarang mencari pasangan dari luar kelompokknya.
Perkawinan pada prinsipnya bukan hanya urusan dua insan yang berinisiatif
untuk kawin, melainkan mencakup urusan adat dan budaya suatu masyarakat. Setiap
masyarakat memiliki “persyaratan perkawinan” tertentu. Pada hakikatnya persyaratan
perkawinan itu dapat disederhanakan ke dalam tiga kategori: Bride-price (mas kawin);
Bride-service (penyerahan tenaga); dan, Bride-exchange (pertukaran perempuan).
Selain ketiga persyaratan pokok itu, setiap masyarakat juga menetapkan persyaratan
perkawinan lainnya sesuai adat setempat.
Setelah menempuh serangkaian aktifitas yang panjang di sekitar perkawinan
mulai dari pemilihan jodoh, pinang-meminang, pernikahan, resepsi perkawinan dan
berbagai upacara yang mengitarinya, lalu pasangan pengantin baru itu akan berurusan
dengan adat menetap setelah kawin. Di dalam kajian budaya, dikenal bermacam-
macam adat menetap (tempat pasangan baru itu bermukim/ bertempat tinggal) sesudah
kawain. Dari beraneka ragam “adat menetap sesudah kawin” yang dianut berbagai
104
masyarakat dari latar belakang kebudayaan berbeda, dapat disederhana sebagai berikut:
(1) matrilokal: pasangan penganten baru tinggal di rumah orang tua perempuan isteri;
(2) uxor lokal: pasangan pengenten baru tinggal di sekitar rumah orang tua perempuan
isteri; (3) patrilokal: pasangan penganten baru tinggal di rumah orang tua laki-laki sang
suami; (4) virilokal: pasangan pengenten baru tinggal di sekitar rumah orang tua laki-
laki sang suami; (5) bilokal: penganten baru tinggal secara bergantian (pada rentang
waktu tertentu tinggal di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak suami; kemudian
pada rentang waktu yang lain mereka tinggal di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak
perempuan); (6) utrolokal: pasangan penganten baru bebas memilih tempat menetap:
di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak suami ataukah pihak isteri; (7) natalokal:
pasangan penganten baru tinggal di rumah orang tua masing-masing untuk beberapa
lama, sampai saat upacara penentuan rumah tangga yang akan mereka jalani; dan, (8)
neo-lokal: pasangan penganten baru tinggal di rumah baru, di luar lingkungan rumah
orang tua pihak laki-laki maupun perempuan.
Setelah melakukan perkawinan dan menjalankan adat menetap setelah kawin,
maka terbukalah peluang terhadap pembentukan rumah tangga (household) yang
merupakan konsekuensi logis dari sebuah perkawinan. Dikatakan demikian, karena dua
insan yang terikat oleh hubungan perkawinan itu akan hidup bersama di suatu rumah.
Jika pasangan itu sudah membentuk unit sosial yang mencerminkan suatu kesatuan
ekonomi yang berdiri sendiri, berarti terbentuklah rumah tangga baru.
Mengingat perkawinan itu sarat dengan muatan sosial dan budaya, maka pada
gilirannya ia melahirkan konsep keluarga. Keluarga pada hakikatnya dapat dibedakan
kepada: Keluarga Konjungan; dan, Keluarga Konsanguin. Keluarga Konjunggal
biasanya terbentuk dari sistem perkawinan monogami. Dalam antropologi, keluarga
konjungal sering disebut dengan nuclear family (keluarga inti, keluarga batih). Secara
konseptual, Keluarga Konjungal dapat diartikan sebagai kesatuan sosial terkecil yang
terbentuk dari perkawinan monogami dengan anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan
anak-anaknya. Di pihak lain, Keluarga Konsanguin dalam studi antropologi lebih
dikenal dengan extended family (keluarga luas). Extended family selalu terbentuk dari
beberapa keluarga batih yang memiliki ikatan/ hubungan yang erat satu dengan lainnya.
Selain itu keluarga luas juga dipahami sebagai keluarga inti minus suami dan/atau isteri
sesuai dengan sistem kekerabatan yang dianut masyarakat setempat.
D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.
105
E. Bacaan Pendalaman
***
106
Kegiatan Belajar 12
A. Learning Outcome:
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
menjelaskan konsep kelompok keturunan dengan segala bentuknya, sistem istilah
kekeraban, dan sopan santun pergaulan kekerabatan.
B. Materi Pokok
Kelompok Keturunan dan Esensi Kekerabatan:
(1) Batasan Konseptual: Kelompok Keturunan, Kekerabatan, dan Sopan Santun
Pergaulan Kekerabatan
(2) Prinsip-prinsip Keturunan
(3) Sistem Istilah Kekerabatan: Term of Adress; dan Term of Reference.
(4) Sopan Santun Pergaulan Kekerabatan
C. Substansi Pembelajaran
1. Uraian Materi
a. Batasan Konseptual
Semua masyarakat pada hakikatnya mengenal unit sosial yang sepadan dengan
konsep kelompok keturunan, kekerabatan, dan sopan santun pergaulan kekerabatan.
Hanya saja setiap kelompok cenderung memahaminya secara berbeda dalam batas
ruang dan rentang waktu tertentu. Selain itu terminologi kelompok keturunan dan
kekerabatan dalam masyarakat tertentu dipahami sebagai hal yang sama, dalam arti
keduanya tidak dibedakan denga tegas. Bagaimanapun secara biologis, seseorang dapat
menyebut kerabatnya meliputi semua orang yang memiliki hubungan darah (genes)
dengannya. Sementara terminologi genes/ lineal adalah terma kunci dalam konsep
keturunan.
107
Bertolak pada ilustrasi di atas, berikut ini akan dikemukakan pengertian pokok
yang lebih praktis dari konsep kelompok keturunan dan kekerabatan. Secara sederhana
kelompok keturunan dapat diartikan sebagai unit sosial yang anggotanya terdiri dari
orang-orang yang memiliki hubungan darah yang jelas/ tegas, baik yang diperhitungkan
berdasarkan darah ibu dan/ atau darah ayah. Sementara kelompok kekerabatan adalah
unit sosial yang jangkauannya lebih luas daripada kelompok keturunan. Kelompok
kekerabatan itu dapat diartikan sebagai kesatuan sosial yang terbentuk dari hubungan
perkawinan, di mana para anggotanya terdiri dari orang-orang memiliki hubungan
daerah atau orang-orang yang mengaku mereka berasal dari satu keturunan, ditambah
dengan kerabat ayah dan ibunya. Minangkabau dengan sistem matrilineal-nya: yang
dianggap kerabat adalah sekumpulan orang yang memiliki hubungan darah, ditambah
orang-orang yang ‘diyakini’ berasal dari nenek yang sama (sepersukuan). Bahkan
karib-kerabat (keluarga matrilineal) ayah pun masih dikelompokkan sebagai kerabat.
Selanjutnya dalam konteks hubungan kelompok keturunan dan kekerabatan,
dikenal pula adat sopan santun pergaulan kekerabatan (kinship behavior). Yang
dimaksud dengan konsep ini adalah aturan tentang bagaimana sesorang harus bersikap
atau berprilaku, dan bertutur-kata bila berhubungan dengan kerabat tertentu, dan
bagaimana pula jika mengahadapi kerabat lainnya yang menempati posisi berbeda.
Seseorang anggota kerabat harus menunjukkan sikap, tindakan, dan cara berkomunikasi
berbeda bila ia berhadapan dengan: pamannya, saudara-saudaranya yang sejenis, kakak/
adiknya yang berlainan jenis, keponakan laki-laki, keponakan perempuannya, kerabat
yang hubungan darahnya sangat dekat, kerabat yang hubungan darahnya sudah relatif
jauh, dan seterusnya.
b. Prinsip-prinsip Keturunan
Batas kekerabatan sosiologis seseorang (individu) dalam konteks kehidupan
bermasyarakat umumnya mengacu pada keseluruhan kaum “kerabat biologisnya,”
sementara diluar itu dianggap bukan kerabat. Namun termilogi dari kerabat biologis itu
sendiri tidak jelas batas-batasnya, sehingga setiap orang bisa memberi arti dan makna
berbeda-beda. Oleh karena itu, konsepsi tersebut perlu dijernihkan agar mudah untuk
dipahami.
Batasan kerabat sosiologis di atas dalam kerangka kehidupan bermasyarakat,
pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam tiga kategori. Pertama, batas kesadaran
kekerabatan (kinship awerenes). Konsep ini mengandung arti, kesadaran orang akan
batas-batas kekerabatan (siapa saja yang dianggap kerabat dan siapa pula yang bukan
kerabat) amat bervasiasi antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Kaum
bangsawan (termasuk priayi) Jawa misalnya, memiliki kesadaran kekerabatan yang
108
lebih luas dibandingkan dengan ‘orang kebanyakan’ (massa) di pedesaan Jawa. Contoh
lain, secara kultural etnik Sunda memiliki kesadaran kekerabatan yang jauh lebih luas
daripada orang Minang dalam kurun waktu yang sama. Kedua, batas pergaulan
kekerabatan (kinship affiliations). Masyarakat atau kelompok etnik tertentu ada yang
memiliki pergaulan kekerabatan yang cukup luas, terutama karena pengetahuan
kekerabatan mereka memang relatif tinggi. Sementara yang lainnya cukup terbatas
pergaulan kekerabatannya. Kaum priayi Jawa misalnya memiliki pengetahuan dan
pergaulan kekerabatan yang amat luas, misalnya mencapai 9 angkatan ke atas dan 9 ke
samping. Sementara kelompok tertentu dalam etnik lain, hanya memiliki pergaulan
kekerabatan tiga angkatan ke atas dan tiga ke samping. Ketiga, batas hubungan-
hubungan kekerabatan (kinship relations). Konsep ini mengandung makna batas dari
hubungan pergaulan kekerabatan yang mengindikasi-kan hak-hak dan kewajiban
tertentu. Batas hubungan kekerabatan ini cenderung juga beragam antar masyarakat dari
latar belakang kebudayaan berbeda.
Batas-batas hubungan kekerabatan di atas, pada hakikatnya juga ditentukan oleh
prinsip-prinsip keturunan (principle of descent). Prinsip-prinsip keturunan itu sekaligus
mempunyai fungsi kekerabatan, apalagi dalam kelompok-kelompok kekerabatan yang
bersifat lineal atau ancestor oriented. Dari sudut pandang seperti itu, setidaknya prinsip
keturunan dapat dibedakan kepada empat kategori. Pertama, prinsip patrilineal
(patrilineal descent); yakni penghitungan hubungan kekerabatan hanya melalui lineal
laki-laki saja. Bagi setiap individu dalam masyarakat yang menganut prinsip ini, semua
kerabat ayahnya dikelompokkan sebagai kerabatnya. Sementara semua kerabat ibunya
dikategorikan sebagai yang bukan kerabatnya. Kedua, prinsip matrilineal (matrilineal
descent) yakni penghitungan hubungan kekerabatan melalui ‘darah’ ibu (perempuan)
saja, sementara kerabat ayah tidak dianggap sebagai kerabatnya; Ketiga, prinsip
bilineal (bilineal descent) yaitu penghitungan hubungan kekerabatan berdasarkan: ayah
saja untuk beberapa hak dan kewajiban tertentu; dan berdasarkan darah ibu untuk
beberapa hak dan kewajiban yang lainnya. Sebagai sebuah ilustrasi misalnya pada etnik
Umbundu di Anggola, yaitu masyarakat peternak yang hidup di padang rumbut yang
subur. Etnik ini menjunjung tinggi hubungan kekerabatan yang unik: anak
mendapatkan sejumlah hak dan kewajiban dalam beternak dari kerabat ayah; sementara
dari kerabat ibunya dia mendapat hak-hak dan kewajiban dalam bertani. Keempat,
prinsip bilateral (bilateral discent), yaitu prinsip keturanan yang menghitung hubungan
kekerabatan melalui dua lineal: kali-laki (ayah) dan sekaligus juga perempuan (ibu).
Bilateral tersebut pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam empat prinsip
pokok, yakni: ambilineal; konsentris; promogenitur; dan prinsip ultimogenetur. Berikut
akan ditelusuri esensi masing-masing prinsip itu secara simulatan: (1) prinsip
109
2. Rangkuman
Semua masyarakat pada hakikatnya mengenal unit sosial yang sepadan dengan
konsep kelompok keturunan, kekerabatan, dan sopan santun pergaulan kekerabatan.
Hanya saja terminologi yang dipakai cenderung berbeda-beda. Bahkan istilah kelompok
keturunan dan kekerabatan dalam masyarakat tertentu dipahami sebagai hal yang sama
oleh masyarakat tertentu. Hal itu bisa dipahami, mengingat secara biologis, seseorang
dapat menyebut kerabatnya meliputi semua orang yang memiliki hubungan darah
(genes) dengannya. Sementara terminologi genes/ lineal adalah terma kunci dalam
konsep keturunan.
Batas kekerabatan sosiologis seseorang dalam kehidupan bermasyarakat
umumnya mengacu pada keseluruhan kaum “kerabat biologisnya,” sementara diluar itu
dianggap bukan kerabat. Untuk menghindari kerancuan pemahaman, batasan
kekerabatan sosiologis itu bisa dibedakan ke dalam: (1) batas kesadaran kekerabatan
(kinship awerenes), yakni kesadaran orang akan batas-batas kekerabatan (siapa saja
yang dianggap kerabat dan siapa yang bukan); (2) batas pergaulan kekerabatan (kinship
affiliations), yaitu cakupan pergaulan kekerabatan dalam masyarakat tertentu yang
dipengruhi oleh pengetahuan dan kesadaran kekerabatan; (3) batas hubungan-hubungan
kekerabatan (kinship relations), yakni batas dari hubungan pergaulan kekerabatan yang
mengindikasikan hak-hak dan kewajiban tertentu.
Dalam kaitan dengan kekerabatan tersebut, setiap masyarakat memiliki sistem
istilah kekerabatan (sistem of kinship terminology), khususnya berkaitan dengan
terminologi yang digunakan untuk menyebut dan menyapa kaum kerabat. Istilah
menyapa (term of address), maksudnya adalah istilah yang dipakai oleh “ego” untuk
memanggil kerabat tertentu bila dia berhadapan secara langsung dengan yang
bersangkutan. Sementara istilah menyebut (term of reference) maksudnya adalah
istilah yang dipakai ‘ego” ketika ia berhadapan dengan orang lain untuk menyebut
kerabat tertentu dalam kapasitasnya sebagai orang ketiga.
Hubungan antar individu dalam sistem kekerabatan tiap-tiap kelompok etnik
pada hakikatnya dibangun di atas adat sopan santun pergaulan (kinship behavior) yang
berlaku dan dijunjung tinggi masyarakat terkait. Adat sopan santun pergaulan
kekerabatan itulah yang menentukan bagai mana sesorang harus bersikap, berbicara,
dan bertingkah laku dalam berhadapan dengan anggota kerabatnya yang menempati
status dan peran yang berbeda-beda. Adat sopan santun pergaulan kekerabatan itu
menuntun semua eksponen kerabat untuk bersikap terhadap anggota lainnya. Secara
ekstrim sikap dan prilaku tersebut dapat dibedakan ke dalam dua sisi yang ekstrim:
amat hormat (sungkan) kepada kerabat tertentu di satu sisi; dan, sikap bebas (bergurau)
113
di sisi lainnya. Di antara dua sisi ekstrim itu, terdapat sikap yang lebih moderat yang
bisa dipakai untuk kerabat dalam statusnya masing-masing.
D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.
E. Bacaan Pendalaman
***
114
Kegiatan Belajar 13 - 15
8
KEANEKARAGAMAN DALAM MASAYARAKAT:
KONSEP DAN BENTUK KOMUNITAS KECIL, SERTA
DIFERENSI DAN STRATIFIKASI SOSIAL
A. Learning Outcome:
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
menjelaskan konsep komunitas dan bentuk-bentuk komunitas kecil, solidaritas sosial,
diferensiasi dan stratifikasi dengan segala kosekuensinya
Materi Pokok
Keragaman Masyarakat: Diferensiasi, dan Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat:
(1) Batasan Konseptual
(2) Bentuk-bentuk Komunitas Kecil
(3) Solidaritas dalam Masyarakat Kecil
(4) Gotongroyong (Tolong menolong / kerjasama vs. Kerja bakti)
(5) Sistem dan Struktur Sosial
(6) Pengelompokan Sosial
(7) Kepemimpinan dan Kontrol Sosial
(8) Kategori Kepemimpinan dalam Masyarakat
(9) Dinamika dan Kontrol Sosial dalam Masyarakat:
B. Substansi Pembelajaran
1. Uraian Materi
a. Batasan Konseptual
Kesatuan hidup manusia, pada hakikatnya dapat diklasifikasi ke dalam beberapa
konsep penting, seperti bangsa, masyarakat, komunitas, kelompok sosial, organisasi
sosial, dan sebagainya. Topik ini hanya dibatasi pada komunitas dengan berbagai
persoalan yang terkait dengannya, seperti penegrtian, bentuk-bentuk komunitas kecil,
struktur sosialnya (stratifikasi dan diferensiasi), solidaritas dalam masyarakat kecil,
serta kepemimpinan dan pengendalian sosial. Untuk memudahkan dalam mendapatkan
persetujuan awal dan sekaligus untuk memudahkan dalam memahami uraian dan
interelasi antar berbagai eleman dalam topik ini, terlebih dahulu akan dipaparkan
115
batasan konseptual dari terminologi kunci terkait. Banyak sekali batasan konseptual
tentang terminologi di bawah ini yang dirumuskan para ahli, namun di sini hanya akan
dipilihkan batasan yang lebih netral dan dinilai mengakomodasi beraneka ragam
batasan yang dipublikasikan para perumusnya.
Pertama, Komunitas. Konsep ini mengandung arti sebagai suatu kesatuan hidup
manusia yang menempati wilayah tertentu, berinteraksi satu dengan lainnya secara
kontinu berdasarkan adat istiadat tertentu, serta memiliki rasa identitas komunitas.
Batasan ini mengandung arti, bahwa konsep komunitas mengandung empat elemen
pokok: (1) kesatuan hidup manusia yang mendiami wilayah yang tegas; (2) anggota
komunitas itu membangun interaksi secara kontiniu; (3) interaksi itu dibangun di atas
adat istiadat, nilai, dan norma tertentu; dan (4) memiliki identitas komunitas. Para ahli
tertentu, menekankan bahwa kesadaran wilayah dan identitas komunitas merupakan
teminologi kunci dari konsep Komunitas. Terakhir perlu ditegaskan di sini, jika salah
satu dari keempat persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka secara konseptual ia tidak
bisa dikatakan komunitas, meskipun unit itu menyebut dirinya sebagai komunitas.
Kedua, Stratifikasi Sosial. Secara sederhana, stratifikasi sosial dapat diartikan
sebagai pengelompokan seseorang dalam suatu struktur sosial secara bertingkat
(berlapis). Dengan kata lain, pengelompokkan ini mencerminkan urutan yang tegas,
misalnya dengan mengambil kubus sosial Pareto sebagai ilustrasi, struktur sosial paling
sederhana dimiliki suatu masyarakat dapat dibedakan kepada: elit pada lapisan atas;
dan massa menempati lapisan bawah. Kemudian lapisan elit dan massa itu dapat dibagi
lebih lanjut kepada tingkatan-tingkatan yang lebih kompleks berdasarkan kriteria
tertentu. Dalam realitas kehidupan masyarakat, kelompok elit itu jumlahnya relatif
sedikit, tetapi otoritas/ kewenangannya lebih luas. Sebaliknya massa merupakan
kelompok mayoritas dari segi jumlah, tetapi otoritas dan kewengannya sangat terbatas.
Ketiga, Diferensiasi Sosial. Dari berbagai batasan yang dirumuskan para ahli,
konsep diferensiasi sosial dapat disimpulakan sebagai pengelompokan sosial secara
horizontal. Artinya, pengelompokan individu dalam suatu struktur sosial tertentu secara
mendatar (dalam artian tidak mencerminkan tinggi rendahnya posisi seseorang dalam
suatu struktur sosial). Contoh pengelompokan warga masyarakat berdasarkan: etnis,
kebudayaan, dan agama/ keyakinan tertentu.
Keempat, Gotongroyong. Banyak batasan yang dirumuskan ahli terkait tentang
konsep ini. Namun dari berbagai definisi itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa Gotong
Royong adalah tolong menolong (kerja sama) antar individu dalam suatu masyarakat
yang dilandasi oleh kesukarelaan, tanpa mengharapkan pambrih (imbalan). Kata kunci
dari konsep ini adalah “tolong-menolong yang dilandasi oleh sikap kesukarelaan.”
Artinya juka tolong menolong (kerja sama) yang berlangsung didasarkan atas
116
keterpaksaan atau mengharapkan imbalan tertentu, maka secara konseptual ia tidak bisa
disebutkan sebagai Gotong Royong.
Kelima, Kepempinan. Konsep ini berakar pada terminologi pemimpin (leader),
dan secara antropologis ia bisa dipahami dari dua sisi: pertama, pemimpin dapat
dipahami sebagai suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh
seseorang/ suatu badan yang menenpati status yang lebih tinggi. Kedua, sebagai suatu
proses sosial, pemimpin meliputi segala kewenangan yang dapat dilakukan oleh
seseorang/ suatu badan dalam menggerakkan warga masyarakat untuk maksud-maksud
tertentu. Jadi konsep kepemimpinan sosial itu meliputi hak dan kewajiban, serta
otoritas seseorang/ suatu badan dalam menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya
berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan tertentu yang menjadi kewenangannya.
Keenam, Kontrol Sosial. Konsep ini mengandung makna: pengendalian yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas tertentu untuk menjaga tatanan
sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat. Pengendalian itu dinilai amat krusial
menginga, perbedaan kepentingan dan interes antar individu yang menjadi anggota
masyarakat bisa merusak tatanan sosial yang menjadi wadah integritas sosial. Oleh
karena itu perlu pengendalian (kontrol) dari pihak-pihak yang diberikan otoritas untuk
itu, sehingga tindakan (prilaku) yang bercorak deviant bisa diminimalisir dan kesatuan
sosial dalam masyarakat terkait bisa ditumbuhkembangkan.
Dalam bahasa Indonesia, ada konsep lain tentang tolong menolong yang sering
dicampuradukkan dengan gotong royong, yaitu kerja bakti. Berbeda dengan gotong
royong, konsep kerja bakti mengandung makna: kerja sama sejumlah warga komunitas
dan/ atau masyarakat untuk pengerjaan fasilitas umum. Kerja bakti tidak dilandasi oleh
kesukarelaan, melainkan lebih kental dengan nuansa pengerahan tenaga atau mobilisasi
warga komunitas/ masyarakat untuk mengerjakan fasilitas umum tertentu. Namun
dalam konteks tersebut, kerja bakti bisa dibedakan atas sifat dari fasilitas umum yang
dikerjakan bersama-sama. Pertama, proyek-proyek yang tumbuh dari masyarakat
(bottom-up). Mengingat proyek semacam itu biasanya relevan dengan kebutuhan suatu
komunitas, biasanya nuansa kesukarelaannya masih kental, tidak sepenuhnya
mengindikasikan mobilisasi massa untuk pengerjaannya secara bersama-sama. Kedua,
proyek-proyek yang dipaksakan/ turun dari atas (top-down), dan dalam banyak kasus ia
tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kerja sama untuk pengerjaan proyek-
proyek sejenis ini, biasanya sarat dengan nuansa mobilisasi daripada kerelaan warga
setempat.
itu dipahami oleh penganutnya sebagai agama yang paling tinggi dan paling benar.
Dalam ritual keagamaan hal itu adalah suatu pandangan yang wajar, tetapi dalam
reliatas kehidupan sosial pandangan tersebut tidak bisa diperjuangkan secara radikal,
sebab ia bisa memicu terjadinya disintegrasi dalam masyarakat.
kekuatan psikis (termasuk kemampuan magic) yang dimiliki pemimpin; (5) sifat-sifat
pemimpin yang sesuai/ relevan dengan sistem nilai dan norma yang dijunjung tinggi
masyarakat; (6) memiliki simbol-simbol kepemimpinan sesuai dengan yang ketentuan
adat dan/ atau ketentuan formal yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
Dilihat dari segi legalitas kehadirannya, pemimpin (kepemimpinan) itu dapat
dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu: pemimpin formal (resmi); dan pemimpin non-
formal (tidak resmi). Berikut akan dipaparkan secara ringkas sifat dari kepemimpinan
dimasud secara simultan. Pertama, pemimpin formal adalah pemimpin yang diangkat
secara resmi untuk mengatur aspek-aspek kehidupan tertentu. Eksistensi dan
kewenangan pemimpin formal selalu didapatkan dengan adanya legalitas formal yang
diberikan kepada orang dan/ atau badan yang akan menjalankan kepemimpinannya.
Dalam masyarakat tradisional wujudnya bisa berupa pembaiatan yang dilakukan secara
adat melalui upacara tertentu. Sementara dalam masyarakat modern, legalitas formal
itu didapatkan melalui Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh pihak yang
berwewenang. Jika belum mendapatkan SK, maka kepemimpinan yang bersangkutan
tidak/ belum dianggap sah. Kedua, pemimpin tidak resmi. Dalam tataran ini seorang
pemimpin tidak perlu mendapatkan SK, melaikan eksistensinya akan diterima sejalan
dengan mengalirnya pengakuan dari masyarakat, baik melalui ungkapan (penyataan),
sikap, dan prilaku yang ditampilkan warga dalam berhadapan dengan sang pemimpin.
akan muncul pemimpin yang menjadi panutan anggota kelompok dalam aspek khusus
itu saja. Contoh ketika mereka akan melakukan kegiatan berburu, maka mereka akan
mengambil seorang pemimpin yang memiliki kekuatan, keberanian, pengalaman,
kemampuan untuk bergerak dengan cepat dari suatu tempat ke tempat lain disekitarnya.
Begitu pula, ketika akan melakukan kegiatan menangkap ikat, maka kelompok akan
mengikuti seorang sebagai pemimpin karena pengalaman dan keterampilan yang
bersangkuntan dalam menggunakan trisula, menyelam, dan sebagainya. Kemudian
ketika terjadi konflik antara dua band, maka mereka bisa saja mengambil pemimpin
dari band ketiga yang dinilai terpercaya, berpengalaman dan memiliki kearifan guna
mencari solusi yang bisa diterima kedua pihak yang bersengketa.
Ketiga contoh di atas, mengindikasikan bahwa kehadiran dan kewenangan
seorang pemimpin itu hanyalah berkaitan dengan suatu kasus, dan eksistensinya sebagai
pemimpin diperoleh karean kelebihan (keunggulan) yang bersangkutan dibandingkan
yang lainnya untuk menuntaskan pekerjaan/ kasus dimaksud. Setelah aktifitas/ kasus
dimaksud tuntas, maka keberadaan kepemimpinan yang bersangkutan akan hilang
dengan sendirinya, dan ia akan menjadi penganut (pengikut) pimpinan lain khusus
untuk aspek kehidupan yang lainnya. Profil kepemimpinan semacam itu lebih dikenal
dengan istilah ‘primus inter pares.’ Namun perlu diingat, bahwa pemimin kadangkala
itu bukan hanya terjadi dalam masyarakat tradisional, melainkan dalam masyarakat
modern pun hal itu banyak ditemukan.
Kedua, pemimpin terbatas. Konsep ini mengandung arti, kepemimpinan yang
diperoleh seseorang dari pimpinan tetap untuk mengurusi aspek-aspek khusus, karena
keunggulan yang bersangkutan dalam bidang itu. Dalam masyarakat bersaja contohnya
pada band-band berburu dan meramu suku Tindiga di Tanganyika (Afrika Timur).
Band-band dalam suku tersebut sudah memiliki pemimpin tetap yang diwariskan
menurut prinsip keturan patrilinial. Kewenangan pimpinan tetap itu mencakup semua
aspek kehidupan masyarakat, tetapi untuk aspek tertentu pemimpin tetap memberi
peluang munculnya pimpinan yang bisa dijadikan panutan untuk aktifitas tertentu,
seperti: penentuan arah untuk melakukan aktifitas meramu dan berburu; memilih
tempat untuk mendirikan tenda guna tempat peristirahatan dalam pengembaraan;
menentukan kapan harus melangkah untuk memulai aktifitas tertentu; mengatur
aktivitas dalam ritual tertentu, dsb. Pimpinan terbatas itu hanya akan menjadi panutan
dalam aktifitas yang terbatas, trutama karena kelebihan/ keunggulannya dalam sebuah
bidang itu. Sementara kewenangan dalam aspek kehidupan secara keseluruhan tetap
dipegang oleh pimpinan tetap.
Ketiga, pemimpin mencakup. Yang dimaksud dengan pimpinan mencakup
adalah pimpinan tetap dengan cakupan kewenangan meliputi hampir semua lapangan
125
norma, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (3) memberikan sanksi hukum
yang berat untuk membuat efek jera bagi warga masyarakat yang melakukan ataupun
terindikasi melakukan pelangaaran sistem nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (4)
memberikan sanksi sosial bagi pelanggar aturan yang berlaku; (5) gossip atau
memperbicangkan secara sembunyi (dari mulut ke mulut) tentang prilaku seseorang
yang dianggap melanggar aturan yang berlaku dalam nasyarakat; dan lain-lain
sebagainya. Serangkaian cara pengendalian di atas mengindikasikan, bahwa untuk
memerangi pelanggaran dalam masyarakat bisa dilakukan melalui cara-cara yang
bersifat: persuasif - edukatif dan/ atau represif.
Untuk mengefektifkan pengendalian sosial di setiap masyarakat, diperlukan
komitmen dan partisipasi semua elemen masyarakat. Jadi hal ini bukan hanya tanggung
jawab elit ataupun aparat yang berwewenang semata. Bagaimana pun perlu disadari
bahwa pengendalian sosial itu memang diperlukan oleh semua masyarakat, terutama
untuk menjaga keharmonisan dan integrasi masyarakat terkait. Dengan kata lain,
pengandalian sosial adalah prasyarat untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat,
tetapi perlu juga diingat pengendalian yang dilakukan secara serampangan bisa pula
menghambat perkembangan suatu masyarakat.
Cara pengendalian sosial dan pihak yang memiliki otoritas untuk menjadi ujung
tombak dalam pelaksanaannya akan berbeda dalam setiap masyarakat. Bahkan pada
masyarakat yang sama dalam kurun waktu berbeda juga tidak akan sama. Cara-cara
pengendalian sosial yang dipilih biasanya akan disesuaikan dengan realitas dan
tantangan yang dihadapi suatu masyarakat (kontekstual). Sementara lembaga yang
menjalankannya juga bisa beragam, mulai dari lembaga adat/ sosial tertentu sampai ke
lembaga resmi yang sengaja dibentuk dengan tupoksi untuk melakukan pengendalian,
sehingga pelanggaran di dalam masyarakat bisa diminimalisir di tengah-tengah
dinamika dan perkembangan yang berlangsung pesat di era moderen ini.
2. Rangkuman
Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati wilayah
tertentu, berinteraksi satu dengan lainnya secara kontinu berdasarkan adat istiadat
tertentu, serta memiliki rasa identitas komunitas. Lebih jauh para ahli cenderung
menekankan kesadaran wilayah dan community identity sebagai kata kunci dari konsep
komunitas. Unit sosial apa pun (meskipun ia dilabeli dengan kata-kata kumunitas),
secara konseptual ia tidak bisa disebut sebagai komunitas, dan ia tidak relevan untuk
kajian akademik.
128
Dilihar dari perspektif historis, komunitas itu sebenarnya bukan hal yang baru
dalam realitas kehidupan manusia, bahkan ia sudah muncul sejak manusia mengenal
hidup menetap yang dalam kajian antropologi budaya disebut dengan komunitas kecil.
Suatu komunitas kecil memiliki ciri-ciri pokok berikut: (1) warganya masih saling
mengenal satu dengan lain dan saling bergaul secara lebih intensif; (2) tidak ada
perbedaan yang menonjol antar sub-kelompoknya; dan (3) pada umumnya warga
setempat mampu menghayati seluk-beluk lapangan kehidupan komunitasnya secara
komprehensif dan mendalam.
Wujud komunitas kecil itu dalam masyarakat bersahaja dan tradisional adalah:
band dan desa. Band adalah kelompok berburu pada zaman pra sejarah yang hidup
berpindah-pindah, tetapi mereka sudah memiliki kesadaran wilayah. Sementara, desa
(village) merupakan suatu kesatuan hidup dengan jumlah anggota relatif kecil dan
menetap pada wilayah tertentu. Fenomena desa yang berakar era pra sejarah itu hingga
kini masih berlanjut dengan beberapa modifikasi. Adapun ujud komunitas kecil di era
kontemporer ini selain desa, adalah Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),
Kelurahan, Kota dan/ atau Kabupaten. Semua persyaratan dari komunitas bisa
terpenuhi oleh kesatuan-kesatuan sosial yang disebut terakhir ini.
Pada kesatuan hidup manusia yang berbentuk komunitas di mana pun di
permukaan bumi ini, terdapat rasa saling tolong menolong (solidaritas) yang mengikat
mereka satu dengan lainnya. Solidaritas itu tumbuh bukan semata karena adanya sikap
altruisme, tetapi juga karena ada kesadaran dan kenyataan saling membutuhkan di
kalangan warga komunitas. Solidaritas itu terbangun berkat adaya principle of
reciprocity (prinsip timbal balik); pertukaran sosial; the gift (pemberian); dan gotong
royong berazaskan kesukarelaan, bukan paksaan/ mobilisasi seperti kerja bakti. Wujud
gotong royong dalam “komunitas kecil” dapat berupa tolong menolong dalam aktifita:
pertanian; aktivitas di sekitar rumah tangga; persiapan/ pelaksanaan pesta dan upaca
tertentu; menghadapi musibah tertentu.
Dilihat dari satu sisi, tiap-tiap komunitas itu memiliki struktur sosial tersendiri
sesuai dengan cakupannya masing-masing. Sebagai sebuah konsep, komunitas itu
mengandung dua sub-konsep, yaitu: stratifikasi dan diferensiasi sosial. Pertama,
Stratifikasi sosial adalah pengelompokan seseorang dalam suatu struktur sosial secara
bertingkat (berlapis), misalnya: elit dan massa; uper class, midle class, dan lower class;
serta, bangsawan, rakyat biasa, dan budak. Stratifikasi itu selalu akan ada di setiap
masyarakat, selama ada sesuatu yang dihargai oleh warga terkait. Kedua, Diferensiasi
sosial, yakni pengelompokan individu dalam suatu struktur sosial tertentu secara
mendatar/ horizontal (tidak mencerminkan tinggi rendahnya posisi seseorang), misalnya
berdasarkan etnik, kebudayaan, agama/ religi, dsj.
129
Dilihat dari sisi lain, konsep struktur sosial secara implisit juga mengindikasi-
kan adanya pemimpin dan yang dipimpin dalam setiap unit sosial. Pemimpin itu yang
bersifat resmi dan ada pula yang tidak resmi. Dalam kajian antropologi sosial, dilihat
dari segi sifat, bentuk, dan kewenangannya, setidaknya pemimpin (kepemimpinan)
dalam masyarakat di berbagai penjuru bumi ini dapat dibedakan ke dalam empat
kategori: Pertama, pemimpin kadangkala, yaitu pemimpin yang hadir hanya untuk
momen-momen tertentu dan sifatnya tidak resmi, dan tidak berkelanjutan. Kedua,
pemimpin terbatas adalah kepemimpinan yang diperoleh seseorang dari pimpinan tetap
untuk mengurusi aspek-aspek khusus, karena keunggulan yang bersangkutan dalam
bidang tertentu. Ketiga, pemimpin mencakup, yakni pimpinan tetap dengan cakupan
kewenangan dalam hampir semua lapangan kehidupan masyarakat. Keempat, pemimpin
pucuk (paramount chief) yaitu pimpinan mencakup dengan otoritas dan kewenangan
kepemimpinannya jauh lebih luas, meliputi sujumlah community, band, dan village.
Dalam implementasinya, pimpinan pucuk memegang kewenangan tertinggi, dan
pelaksanaannya di lapangan bisa dijalankan oleh para pemimpin yang berada di bawah
kendali dan kuasa pimpinan pucuk dimaksud.
Sebuah masyarakat/ komunitas terbentuk dari sekumpulan individu dengan
persyaratan seperti yang telah ditegaskan sebelumnya. Mengingat setiap individu itu
memiliki kepentingan, pengetahuan, sikap, dan tujuannya sendiri, maka dalam banyak
hal terjadi pelanggaran terhadap adat dan sistem nilai yang dijunjung tinggi mayoritas
warganya. Jika hal terakhir ini terjadi, maka integrasi masyarakat akan terancam.
Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi hal itu, maka diperlukan adanya pengendalian
sosial.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk pengendalian sosial, dan yang
terpenting di antaranya adalah: (1) mempertebal dan memperkuat komitmen warga
masyarakat tentang adat, norma, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakatnya;
(2) memberikan ganjaran (reinforcement) bagi yang taat kepada adat istiadat, norma,
dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (3) memberikan sanksi hukum yang
berat untuk membuat efek jera bagi warga masyarakat yang melakukan ataupun
terindikasi melakukan pelangaaran sistem nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (4)
memberikan sanksi sosial bagi pelanggar aturan yang berlaku; (5) gossip atau
memperbicangkan secara sembunyi (dari mulut ke mulut) tentang prilaku seseorang
yang dianggap melanggar aturan yang berlaku; dll. Serangkaian cara pengendalian yang
dikemukakan di atas mengindikasikan bahwa untuk memerangi pelanggaran dalam
masyarakat bisa dilakukan melalui tindakan yang bersifat: persuasif- edukatif dan/ atau
represif.
130
D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.
E. Bacaan Pendalaman
***
131
DAFTAR BACAAN
23. Sajogyo, Ny Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: IKIP Jkt – BKKBN.
24. Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan
Antropologis.
25. Kartodirdjo, Sartono, ed. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:
LP3ES.