Está en la página 1de 88

45

PERANGKAT PEMBELAJARAN

SILABUS
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
HANDOUT

Mata Kuliah:
ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA

Oleh :
Emizal Amri

Dibiayai Oleh:
Fellowship and Curriculum Development Program the Reconstruction
and Upgraiding Project State University of Padang
dengan Surat Perjanjian Kontrak Kerja
No. 1284/pr2p/unp/2014
Tanggal 8 Juli 2014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGI


JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL


UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014
46

I. PENDAHULUAN
Tulisan ini merupakan perangkat pembelajaran dalam mata kuliah Antropologi
Sosial Budaya sebagai sub-disiplin tersendiri dalam Antropologi. Antropologi Sosial
merupakan mata kuliah wajib bidang studi dalam struktur kurikulum Program Studi
Pendidikan Sosiologi Antropologi FIS UNP, baik dalam kurikulum lama maupun
dalam Kurikulum berbasis KKNI yang baru mulai diterapkan. Hanya saja nama mata
kuliah ini dalam kurikulum lama Prodi Pendidikan Sosiologi FIS UNP adalah
Antropologi Sosial (sejak tahun 2001 sd. 2009). Lalu isinya juga sarat dengan muatan
aspek budaya dalam upaya memahami realitas sosial yang dikaji.

Kemudian dengan mempertimbangkan substansi perkuliahan, dan perdebatan


klasik di sekitar Antropologi Sosial dan/ atau Antropologi Budaya, akhirnya dalam
revisi kurikulum 2010 mata kuliah dimaksud dirubah menjadi Antropologi Sosial
Budaya. Alasannya tidak lain adalah karena obyek kajian Antropologi Sosial dan
Antropologi Budaya pada hakikatnya relatif sama: hanya saja terminologi dan
perspektif yang digunakan dalam batas-batas tertentu memang berbeda. Meskipun
demikian, dalam realitas kehidupan masyarakat dimensi sosial dan budaya itu sulit
untuk dipisahkan secara tegas, sebab ia sudah menggelimang menjadi suatu fenomena
yang khas dan unik. Bertolak dari pokok pikiran demikian, maka dalam rangka
pengembangan Kurikulum Berbasis KKNI, mata kuliah Antropologi Sosial Budaya
tetap dipertahankan sebagai sebuah mata kuliah wajib prodi Pendidikan Sosiologi
Antropologi, Jurusan Sosiologi FIS UNP.

Adapun yang menjadi fokus kajian dalam mata kuliah Antropologi Sosial
Budaya meliputi. Pertama, kajian kritis tentang konsep dasar Antropologi Sosial
Budaya dengan mencermati hakikat dan substansi dari Antropologi Sosial di satu
pihak; dan Antropologi Budaya di pihak lain. Kedua, mencermati dinamika adaptasi
manusia dan lingkungan dalam suatu masyarakat dengan bentuk/ tipe tertentu akan
dikaji secara khusus. Dengan begitu interelasi (saling keterkaitan) antara manusia dan
lingkungannya, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, maupun hubungan manusia
dengan khaliknya berpeluang untuk dimengerti secara proporsional. Ketiga,
membandingkan profil masyarakat petani tradisional (agraris) dengan masyarakat
pastoral, termasuk pandangan dunia dari kedua tipe masyarakat tersebut. Keempat,
mengupas interelasi desa – kota, dinamika pertubuhan kota, serta peluang perubahan
masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat perkotaan. Kelima,
47

memperbincangkan manusia sebagai homo-economicus, serta mngidentifikasi sumber


daya ekonomi, sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural
masayarakat yang sedang berubah. Keenam, mengkaji konsep perkawinan, keluarga,
dan rumah tangga sebagai institusi sosial terpenting dalam realitas kehidupan sosial
dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Ketujuh, masih berkaitan dengan
perkawinan, pada sesi ini dikritisi secara mendalam hakikat dan konsekuensi
perkawinan dalam pembentukan institusi keluarga dan kekerabatan dengan segala
variannya. Kedelapan, memperbincang berbagai hal di sekitar konsep dan bentuk
komunitas, solidaritas sosial, diferensiasi dan stratifikasi sosial tertentu dengan segala
kosekuensinya

Di dalam pembahasan masing-masing tema di atas akan digunakan kombinasi


pendekatan sinkronik dan diakronik. Pendekatan sinkronik merupakan pendekatan
yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial secara konvensional, tujuannya adalah untuk
memahami struktur dan hukum-hukum (pola) yang terbentuk dan muncul dalam
realitas kehidupan kekinian. Sementara pendekatan diakronik yang secara
konvensional lazim digunakan dalam studi sejarah, fokusnya adalah pada upaya
memahami proses terjadinya suatu fenomena sosial tertentu. Pada abad ke-19,
pendukung masing-masing pendekatan itu saling meniadakan eksistensi yang lainnya:
pendukung pendekatan sinkronik menyatakan lawannya tidak ilmiah; sebaliknya
pendukung pendekatan diakronik menuduh lawannya tumpul dan tidak tahu proses
(ahistoris). Kemudian pada akhir abad ke-20 para ahli menyadari bahwa kedua
pendekatan itu sebenarnya memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri, dan jika
keduanya dikombinasikan maka ia akan membantu dalam memahami realitas tertentu
secara lebih komprehensif dan proporsional.

Bertolak dari alur pikir seperti diungkapkan di atas, maka dalam pembelajaran
Antropologi Sosial Budaya akan digunakan kombinasi pendekatan sinkronik dan
diakronik tersebut. Bagaimana pun penggunaan model ini dinilai dapat melatih
mahasiswa untuk memahami suatu fenomena secara komprehensif: tidak hanya
terbelenggu oleh realitas yang muncul ke permukaan di era kontemporer ini, tetapi
juga memahami akar dan proses (dinamika) yang mendorong terbentuknya fenomena
dimaksud. Dengan begitu pemahaman mereka terhadap realitas sosio-kultural yang
muncul ke permukaan akan ditopang oleh fakta dan perspektif historis yang kuat,
sehingga analisis yang dihasilkan akan lebih tajam.
48

II. KOMPETENSI PEMBELAJARAN


Antropologi Sosial Budaya sebagai sub-disiplin ilmu Antropologi diharapkan
bisa membantu pengembangan wawasan akademik (knowledge dan psikomotorik), serta
sikap sosial dan religius mahasiswa dalam memahami realitas sosio-kultural yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dengan bekal tersebut, tentu mahasiswa bisa bisa
mengerti/ memahami setiap fenomena sosio-kultural yang bersifat krusial secara
obyektif dan proporsional, tidak terjebak pada sikap apriori, apatis, taklid, dan
emosional (like dan dislike).
Setelah mengalami pembelajaran dalam mata kuliah Antropologi Sosial Budaya
dalam rentang waktu satu semester, diharapkan mahasiswa mampu:
(1) menguraikan substansi dan perkembangan studi Antropologi Sosial Budaya
(2) menjelaskan dinamika adaptasi makhluk manusia dengan lingkungan dalam upaya
pemenuhan kebutuhannya
(3) membandingkan masyarakat hortikultural dan papastoral: organisasi dan pandangan
dunia keduanya.
(4) mampu menjelaskan dinamika masyarakat: dari masyarakat agraris dan non-agrais
menjadi masyarakat perkotaan.
(5) mengidentifikasi sumber daya ekonomi, sistem produksi, distribusi, dan konsumsi
dalam konteks sosiokultural masayarakat yang sedang berobah.
(6) menjelaskan konsep dasar dan dinamika perkawinan, keluarga, dan rumah tangga.
(7) menjelaskan hakikat dan konsekuensi perkawinan terhadap pembentukan institusi
keluarga dan kekerabatan dengan segala variannya
(8) menjelaskan konsep komunitas dan bentuk-bentuk komunitas kecil, solidaritas
sosial, diferensiasi dan stratifikasi dengan segala kosekuensinya

***
49

III. SUBSTANSI PEMBELAJARAN

Kegiatan Belajar 1 & 2

ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA:


KULIAH PENGANTAR

A. Learning Outcome:
Mampu menguraikan substansi dan perkembangan studi Antropologi Sosial Budaya

B. Materi Pokok
(1) Antropologi Sosial Budaya: Suatu Telaahan Konseptual
(2) Sejarah Perkembangan Studi Antropologi Sosial Budaya.
(3) Penggunaan Kombinasi Pendekatan Sinkronik dan Diakronik
dalam Kajian Antropologi Sosial Budaya
(4) Ruang lingkup kajian Antropologi Sosial Budaya
(5) Overview perkuliahan Antropologi Sosial Budaya

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi
\

a. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Telaahan Konseptual


Antropologi Sosial Budaya pada hakikatnya berakar pada dua sub disiplin
Antropologi, yaitu: Antropologi Budaya di satu pihak; dan Antropologi Sosial di
pihak lain. Kedua sub-disiplin itu mulai menemukan wujudnya pada paroan kedua
abad ke-19, dan makin meningkat perkembangannya pada dekade kelima abad ke-
20. Hal itu ditandai dengan penajaman fokus kajian dan metode yang digunakan
untuk memahami realitas sosio-kultural masyarakat diteliti.
Dalam kajian-kajian klasik, Antropologi Budaya lebih memusatkan
perhatiannya pada keunikan-keunikan (unique) dari beranekaragam masyarakat etnik
yang tersebar di berbagai penjuru dunia ini, khususnya menyangkut aspek prehistori,
etnolinguistik, maupun etnologinya masing-masing. Melalui kajian tersebut bisa
dipahami bagaimana perbedaan-perbedaan dan keunikan dari masing-masing
50

kebudayaan etnik di dunia. Puncak dari proses kerja demikian pada gilirannya
melahirkan beranekaragam kajian etnografi.
Jika diklasifikasikan hasil-hasil etnologi (yang menjadi cikal bakal kajian
etnografi) itu, secara umum dapat dibedakan ke dalam dua kategori pokok, yaitu:
descriptive integration; dan, generalizing approach. Dalam konteks descriptive
integration bahan-bahan etnografi diolah menjadi suatu dengan hasil penelitian
entolinguistik, prehistori, dan etnografi. Bahkan hasil kajian etnografi itu juga
diintegrasikan dengan bahan keterangan paleo-antropologi dan somatologi dalam
cakupan daerah yang sama. Tujuannya tidak lain adalah untuk mencapai pengertian
tentang asal-usul dan sejarah perkembangan kelompok etnik yang dikaji, terutama
dengan menggunakan pendekatan diakronik. Di pihak lain generalizing approach
yang menjadi cikal bakal dari social anthropology, menekankan pada upaya untuk
menemukan prinsip-prinsip kesamaan di belakang aneka ragam kelompok etnik/
masyarakat dengan kebudayaan berbeda-beda yang tersebar di muka bumi ini. Pada
prinsipnya, metode yang digunakan untuk maksud tersebut adalah: (1) melakukan
kajian mendalam dan komprehensif terhadap sejumlah masyarakat dan kebudayaan
tertentu guna menemukan beberapa kesamaan di balik keberagaman yang muncul ke
permukaan; dan (2) melakukan studi komparasi terhadap sejumlah masyarakat/
kebudayaan masing-masing guna mendapatkan pemahaman tentang keragaman antar
masyarakat/ kebudayaan yang diteliti, sekaligus juga bisa diungkap kesamaan-
kesamaan di balik keberagaman itu.
Secara implisit uraian di atas mengisyaratkan, bahwa dalam batas-batas
tertentu kajian Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya memang berbeda, tetapi
keduanya memiliki titik persentuhan yang sangat esensial dalam rangka memahami
realitas masyarakat dan kebudayaan yang menjadi fokus kajiannya. Bukan hanya
itu, melainkan dalam kehidupan riil masyarakat, amat sulit untuk memisahkan
dimensi sosial dan kebudayaan yang mereka hasilkan, sebab keduanya sudah
membaur (menggelimang) menjadi satu. Berolak dari pokok pikiran demikian,
sejalan dengan ide monumental Immanuel Wellerenstain tentang lintas batas ilmu-
ilmu sosial, maka kuliah ini mencoba mengkombinasikan dua sub-disiplin
Antropologi di atas menjadi Antropologi Sosial Budaya.
Dalam konteks ini, Antropologi Sosial Budaya tidak dimaksudkan sebagai
kompilasi dari dua sub-disiplin ilmu Antropologi di atas, melainkan bahan atau fokus
kajiannya akan diseleksi dengan mempertimbangkan sub-disiplin Antropologi yang
dikaji di Jurusan Sosiologi FIS UNP seperti Etnologi, Antropologi Kebudayaan
Indonesia, dan Antropologi Agama, dsb. Tujuannya tidak lain adalah agar tidak
terjadi tumpang tindih bahan kajian antar beberapa mata kuliah terkait. Oleh karena
51

itu kajian Antropologi Sosial Budaya di sini akan difokuskan pada kecenderungan
dan dinamika beberapa aspek sosial dan budaya dari berbagai masyarakat yang
tersebar di permukaan bumi ini, terutama berkaitan dengan: adaptasi manusia dengan
lingkungannya; sistem mata pencaharian hidup; manusia dan sumber daya ekonomi;
sistem perkawinan dalam kaitannya dengan keluarga, rumah tangga, dan
kekerabatan; serta kesatuan sosial, kepemimpinan dan pengendalian sosial.

b. Sejarah Perkembangan Studi Antropologi Sosial Budaya.


Antropologi Sosial Budaya yang kini sering dianggap sebagai sebuah sub-
disiplin tersendiri dalam Antropologi, sesungguhnya sudah mengalami perjalan yang
panjang. Ia berakar dari karya-karya etnologi yang dihasilkan para pelancong,
pedagang, dan misionaris dari Eropa pasca Abad Pertengahan. Bangsa Eropa yang
sudah tercerahkan oleh gerakan Renaissance, Reformasi, dan Aufklarung, ternyata
memiliki kebiasaan yang pada gilirannya berkontribusi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan modern. Kebiasaan dimaksud adalah, mereka menuliskan berbagai
keunikan dan keanehan di kalangan masyarakat etnik tertentu yang mereka temukan
di luar Eropa (Afrika, Asia, Amerika Latin, dan berbagai suku bangsa di Laut
Fasifik. Kemudia hasil pelukisan mereka tentang masyarakat etnik tersebut tersebar
di Eropa, terutama di berbagai museum terkemuka di benua biru itu.
Kemudian karya-karya etnografi tersebut diolah oleh para sarjana dengan
menggunakan perspektif teori (terutama teori evolusi) dan pendekatan/ metode
tertentu pada abad ke-19. Hasil pengolahan itulah yang melahirkan kajian etnografi
yang menjadi cikal-bakal dari antropologi pada umumnya, dan Antropologi Sosial
Budaya khususnya. Dalam perkembangannya, ketika Antropologi berubah dari ilmu
praktis menjadi disiplin ilmiah (tahun 1930-an), maka terjadilah penajaman fokus,
konsep/teori dan metode kajian Antropologi. Sejalan dengan itu lahirlah berbagai
sub-disiplin Antropologi, termasuk Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya.
Perkembangan kedua disiplin itu, banyak sedikitnya diwarnai oleh karya
monumental dua orang tokoh penting dalam antropologi, yaitu: Malinowski tentang
perdagangan Kula dalam Masyarakat Trobrian; dan Radclife-Brown tentang Tradisi
Meratapi Mayat dalam Masyarakat kepulauan Andaman (Andaman Islan). Karya
Malinowski tersebut menjadi inspirator bagi perkembangan studi Antropologi
Budaya di Amerika Serikat dan negara-negara lain yang berkiblat padanya.
Sebaliknya, karya Radclife-Brown menjadi awal dari tumbuh suburnya kajian
Antropologi Sosial di Inggris dan Negara-negara lain yang berada di bawah
pengaruhnya. Namun kalau dicermati hakikat yang dikaji kedua tokoh terkemuka itu
pada prinsipnya tidak berbeda: mereka sama-sama mengkaji masyarakat dan budaya
52

di masing-masing daerah penelitiaanya; hanya saja istilah yang dipopulerkan


keduanya berbeda. Malinowski menggunakan istilah kebudayaan, sedangkan
Radclife-Brown memakai istilah sosial.
Mungkin berangkat dari realitas seperti diungkapkan di atas, sejak beberapa
dasa warsa terakhir ini batas-batas antara Antropologi Budaya dan Antropologi
Sosial sudah semakin kabur. Realitas sosial dan budaya yang selama ini dikaji
secara terpisah olah ahli masing-masing pihak, kini justeru dikaji oleh ilmuan
kompeten dengan menggunakan konsep/ teori relevan dari dua sub-disiplin ilmu
terkait, bahkan juga meminjam konsep/teori ilmu-ilmu sosial dan humanitis yang
dinilai relevan. Dengan begitu mata kuliah Antropologi Sosial Budaya semakin eksis
di dunia akademik, termasuk di Indonesia.

c. Pendekatan Sinkronik dan Diakronik dalam Kajian Antropologi Sosial Budaya


Dalam perkembangan sejarah ilmu pengetahuan, tercatatat dua pendekatan
keilmuan yang memberikan kontribusinya tersendiri. Kedua pendekatan dimaksud
adalah: pendekatan sinkronik di satu pihak; dan, pendekatan diakronik di pihak lain.
Secara konvensional, pendekatan pertama lazim dipakai dalam ilmu-ilmu sosial
(ekonomi, sosiologi, antropologi, ilmu politik, georafi, dan lain-lain). Sementara
pendekatan kedua lebih popular dalam ilmu dan penelitian sejarah. Pendekatan
sinkronik berupaya untuk memahami dan menemukan pola-pola, struktur-struktur
ataupun hukum-hukum yang terbentuk dari realitas sosial yang terjadi. Mereka lebih
terkesimak oleh struktur-struktur yang terbentuk, dan cenderung mengabaikan akar
persoalan dari realitas terkait. Di pihak lain, pendekatan kedua menitikberatkan
perhatian pada proses yang terjadi, tanpa mempedulikan struktur yang terbentuk.
Sejak abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, pendukung masing-masing
pendekatan itu cenderung menggap merekalah yang paling benar, dan memendang
remeh yang lainnya. Bahkan tidak jarang masing-masing pihak meniadakan/
membatalkan eksistensi pihak lainnya: ilmuan-ilmuan sosial menilai sejarah itu tidak
ilmiah, sebab ia hanyalah menyibukkan diri untuk merekonstruksi peristiwa tertentu
di masa lampau, dan tidak berhasil membangun struktur/ hukum dari kajian-
kajiannya. Sebaliknya, sejarawan menilai hasil kajian ilmuan sosial amat dangkal,
sebab mereka tidak tahu tentang akar dari suatu fenomena yang dikaji. Komplain
dari kedua pihak, kiranya tidak berlebihan, bahkan hingga kini hal itu dengan mudah
ditemukan di ‘dunia akademik’ dan kehidupan paraktis. Sejarawan terlalu sibuk
untuk mendeskripsikan proses terjadinya suatu peristiwa dan tidak menggunakan
pendekatan sinkronik (konsep/ teori sosial relevan), maka uraiannya akan cenderung
membosankan, kering tanpa makna. Sebaliknya ilmuan sosial yang mengkaji
53

realitas yang muncul ke permukaan di masa kini tanpa menggunakan pendekatan


diakronik, maka hasilnya tidak akan mendalam. Bahkan bisa diibaratkan laksana
membuat rumah di awang-awang, tanpa mempunyai tiang dan fondasi di tanah.
Berkaitan dengan pokok pikiran di atas, berikut dikemukakan dua buah
contoh. Fenomena rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia telah menimbulkan
kerisauan banyak pihak di negeri ini. Lalu utuk mengatasinya, ilmuan sosial yang
tidak memiliki wawasan historis merekomendasikan agar guru disertifikasi supaya
pendapatannya meningkat. Kalau sudah begitu maka komitmen mereka akan
meningkat pula, sehingga kualitas pendidikan pun akan membaik. Namun setelah
sertifikasi berlangsung, kualitas pendidikan tetap stagnan, bahkan ada indikasi
semakin mengalami penurunan. Contoh lain, kasus korupsi di instansi pemerintah/
birokrasi yang kian marak akhir-akhir ini. Lalu para ilmuan sosial yang ahistoris
cenderung mengaitkan hal itu dengan rendahnya gaji pegawai, sehingga banyak
orang yang tergoda melakukan korupsi. Berangkat dari alur pikir ahistoris semacam
itu, lalu mereka merekomendasikan untuk digulirkan program remunerasi agar gaji
pegawai meningkat. Kalau gaji mereka sudah mencukupi, maka kasus korupsi di
kalangan pegawai akan menurun dengan sendirinya. Namun hasil penelitian Dirjen
Otoda (2013) menunjukkan: kasus korupsi di enam departemen yang sudah
menerapkan remunerasi justeru tidak menunjukkan penurunan, bahkan cenderung
meningkat. Apabila rendahnya mutu pendidikan ataupun kasus korupsi yang
dicontohkan di atas dikaji dengan menggunakan kombinasi pendekatan sinkronik
dan diakronik, maka pemahaman terhadap kasus itu akan lebih detail, mendalam,
dan kompleks. Jika sudah demikian, tentu rekomendasi yang dihasilkan para peneliti
untuk para pengambil kebijakan akan lebih cocok dan bermakna, tidak dangkal
(‘gampangan) seperti diungkapkan di atas.
Bertolak dari pokok pikiran sebagaimana dipaparkan di atas, maka dalam
mata kuliah Antropologi Sosial Budaya akan digunakan kombinasi pendekatan
sinkronik dan diakronik. Pendekatan pertama akan banyak manfaatnya untuk
menjelaskan/ memahami realitas sosio-kultural dengan menggunakan konsep/ teori
ilmu-ilmu sosial dan humaniora relevan. Sementara pendekatan diakronik akan
menyumbangkan data historis terkait dengan pokok permasalahan yang dikaji.
Dengan begitu, pemanfaatan pendekatan sinkronik dan diakronik dalam menelaah
realitas sosial dan budaya yang dikaji akan menghasilkan analisis yang tajam, kritis,
argumentatif, dan mendalam, serta didukung oleh data/ fakta relevan.
54

d. Ruang lingkup kajian Antropologi Sosial Budaya


Adapun yang menjadi ruang lingkup kajian mata kuliah Antropologi Sosial
Budaya adalah realitas dan dinamika kehidupan sosial budaya umat manusia. Dalam
kaitan itu akan dilihat kecenderungan pola-pola yang hidup dan berkembang pada
berbagai masyarakat dalam rentang waktu tertentu.
Setelah mendudukkan konsep dasar dan perkembangan studi Antropologi
Sosial Budaya, selanjutnya secara berurutan akan dibahas: dinamika adaptasi
manusia dan lingkungannya; membahas masyarakat hortikultural dan pastoralis;
membandingkan masyarakat petani dan pastoralis, termasuk pandangan dunia
keduanya; dinamika masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat
perkotaan; mencermati keberadaan manusia sebagai homo-economicus dalam
kaitannya dengan telaahan sumber daya ekonomi, sistem produksi, distribusi, dan
konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat yang sedang berubah; mengkaji
konsep dasar dan dinamika perkawinan, keluarga, rumah tangga, dan kekerabatan;
serta, kajian tentang konsep dan bentuk-bentuk komunitas kecil, solidaritas sosial,
diferensiasi dan stratifikasi, serta pengendalian sosial dengan segala kosekuensinya.

e. Overview perkuliahan Antropologi Sosial Budaya


Berikut akan dikemukakan overview perkuliahan Antropologi Sosial Budaya
yang akan dipresentasikan selama satu semester ini. Dalam kaitan ini ada delapan
tema/ topik perkuliahan yang akan dikupas secara simultan. Pada Minggu pertama
dan kedua akan dibahas konsep dasar, dan substansi perkuliahan Antropologi Sosial
Budaya dengan jalan mencermati hakikat Antropologi Sosial di satu pihak; dan
Antropologi Budaya di pihak lain. Seiring dengan hal itu, juga akan dicermati
perkembangan kajian dan pendekatan dalam studi Antropologi Sosial Budaya.
Pada minggu ketiga dan keempat akan dicermati dinamika adaptasi manusia
dan lingkungan dalam berbagai masyarakat dengan menggunakan kombinasi
pendekatan sinkronik dan diakronik. Melalui kajian dan pendekatan seperti itu,
interelasi (saling keterkaitan) antara manusia dan lingkungannya, baik lingkungan
fisik, sosial, budaya, maupun hubungan manusia dengan khaliknya berpeluang untuk
dibahas secara proporsional. Di bawah topik ini akan dilihat dinamika adaptasi
manusia mulai dari era foodgatering sampai ke era foodproducing dengan segala
karakter dan konsekuensinya masing-masing.
Berikutnya, pada pertemuan kelima dan keenam akan dikupas topik tiga,
yaitu: kajian kritis terhadap masyarakat hortikultural dan masyarakat pastoral yang
akarnya sudah mulai muncul pada era prasejarah. Dalam kaitan ini, secara khusus
55

juga akan dicermati pandangan dunia (word views) dari kedua tipe masyarakat
dimaksud.
Selajutnya pada minggu keenam dan ketujuh, akan dikupas interelasi desa –
kota, dinamika pertubuhan kota (baik secara alamiah maupun hasil rekayasa
pengembangan sebuah kota). Selanjutnya juga akan dikritisi peluang perubahan
masyarakat agraris dan non-agrais menjadi masyarakat kota, baik pada taraf kota
kecil maupun kota besar).
Berngkat dari hasil kajian pada minggu-minggu sebelumnya, maka pada
minggu kedelapan akan diperbincangkan eksistensi manusia sebagai homo-
economicus. Di bawah topik/ tema ini akan diidentifikasi sumber daya ekonomi,
sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat
yang sedang berubah. Kemudian pada minggu berikutnya akan diadakan ujian
tengah semester.
Seminggu setelah ujian tengah semester, yakni pada minggu kesepuluh dan
kesebelas akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan. Secara khusus di
sini akan dikritisi dinamikan dan interelasi antara perkawinan, keluarga, dan rumah
tangga sebagai institusi sosial terpenting dalam realitas kehidupan sosial masyarakat
beradab.
Sebagai lanjutan dari kajian minggu sebelumnya, pada minggu kedua belas
pembahasan masih berkaitan dengan perkawinan. Pada sesi ini akan dikritisi secara
mendalam hakikat dan konsekuensi perkawinan dalam pembentukan institusi
keluarga dan kekerabatan dengan segala variannya.
Terakhi pada minggu ke-13 sd. ke-15, akan dikupas berbagai hal di sekitar
konsep dan bentuk komunitas, solidaritas sosial, diferensiasi dan stratifikasi sosial,
serta kepemimpinan dan pengendalian sosial dengan segala kosekuensi yang
ditimbulkannya. Tema ini merupakan penutup dari kajian dalam mata kuliah
Antropologi Sosial Budaya, sebelum akhirnya dikunci dengan ujian akhir semester
pada minggu berikutnya.

1. Rangkuman
Berbeda dengan Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya sebagai dua sub-
disiplin dalam Antropologi, maka kuliah Antropologi Sosial Budaya hanya akan
difokuskan pada kecenderungan dan dinamika beberapa aspek sosial dan budaya dari
berbagai masyarakat yang tersebar di permukaan bumi ini, khususnya berkaitan
dengan: adaptasi manusia dengan lingkungannya; sistem mata pencaharian hidup
manusia mulai dari masa foodgathering sampai ke foodproducing (masyarakat
56

hortikultural, pastoral, masyarakat agraris yang mencakup peisan dan farmer, sera
masyarakat perkotaan); sistem dan seluk-beluk perkawinan dalam kaitannya dengan
keluarga, rumah tangga, dan kekerabatan; serta kesatuan sosial (sistem dan stuktur
sosial, kepemimpinan dan kontrol sosial dengan segala konsekuensinya).
Kajian dalam mata kuliah ini segaja difokuskan pada beberapa aspek di atas
(tidak mencakup semua kajian dalam kedua sub-disiplin antropologi yang menjadi
akar dari Antropologi Sosial Budaya) dengan pertimbangan agar jangan terjadi
tumpang tindih pembahasan dengan mata kuliah Etnografi, Antropologi Kebudayaan
Indonesia, Antropologi Agama, dll yang sudah menjadi mata kuliah tersendiri dalam
struktur kurikulum prodi Sosiologi Antropologi. Sementara pendekatan yang
digunakan untuk mengupas topik-topik yang termaktup dalam fokus di atas adalah
kombinasi pendekatan sinkronik dan diakronik. Pertimbangannya adalah kombinasi
kedua pendekatan itu akan membuka pemahaman yang komprehensif dan mendalam
tentang fenomena sosio-kultural yang dikaji.

D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman
Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
-------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta
Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya. Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Fathoni, Abdurrahman. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta
Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

***
57

Kegiatan Belajar 3 - 4

ADAPTASI MANUSIA DALAM


UPAYA PEMENUHAN KEBUTUHAN

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk


menjelaskan dinamika adaptasi makhluk manusia dengan lingkungan dalam upaya
pemenuhan kebutuhannya

B. Materi Pokok
Adaptasi Manusia dalam Upaya Pemenuhan Kebutuhannya
(1) Adaptasi manusia dengan lingkungan alamiah, sosial, dan budaya.
(2) Dinamika kebutuhan hidup manusia dari era foodgathering ke foodproducing:
o Kehidupan manusia pada masa berburu dan meramu
o Kehidupan masyarakat penghasil pangan (hortikultural)
- Asal mula bercocok tanam
- Bercocok tanam di ladang
o Bercocok tanam menetap
(3) Perkembangan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Makhluk Manusia

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi
a. Adaptasi Manusia dengan Lingkungan Alamiah, Sosial, dan Budaya
Bertolak dari perspektif teori evolusi, makhluk manusia itu telah mengalami
proses evolusi yang panjang mulai dari tingkat yang paling sederhana sampai ke
tingkat yang sangat kompleks seperti sekarang ini. Dengan bekal pemikiran (mind,
otak), jiwa, dan nafsu yang dikaruniakan sang Maha Pencipta, manusia berhasil
mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi segala tantangan yang ada. Para
peneliti dan pengamat budaya cenderung sependapat, bahwa kemampuan beradaptasi
merupakan salah satu kunci sukses manusia membangun peradaban dalam sejarah
perkembangan umat manusia.
58

Dalam menata kehidupan ini, manusia telah memperlihatkan kemampuan


mereka dalam beradaptasi dengan lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, maupun
budaya. Berikut ini akan ditelusuri ketiga hal itu secara simultan. Pertama, adaptasi
dengan lingkungan fisik/ alamiah. Sejak awal kehadiran makhluk manusia di muka
bumi ini, manusia sudah menunjukkan kemampuan adaptasi melalui penyesuaian
kehidupan mereka dengan lingkungan fisik di mana mereka berada, sehingga mereka
bisa bertahan hidup dan survive. Mengingat kemampuan dan potensi otak mereka
yang masih terbatas, maka untuk mempertahankan hidupnya manusia beradaptasi
dengan lingkungan fisik/alamiah di mana mereka berada. Bahkan pada periode awal
sejarah kehidupan manusia, manusia memperlihatkan ketergantungan yang tinggi
pada alam: lingkungan alamlah yang menentukan cara hidup dan sistem teknologi
yang mereka pakai.
Kedua, adaptasi dengan lingkungan sosial. Adaptasi manusia tidak hanya
terbatas pada lingkungan fisik, melainkan juga dengan lingkungan sosial. Jika pada
zaman paleolitikum dan mesolitikum manusia hidup secara nomaden, maka pada
pergantian mesolitikum dan neolitikum manusia mulai mengenal hidup menetap.
Dengan dikenalnya hidup menetap, maka secara bertahap manusia pun mulai
mengenal dan membentuk kelompok/ kesatuan sosial. Sejalan dengan meningkatnya
kemampuan manusia, maka terjadi proses adabtasi dengan suasana dan lingkungan
baru itu, sehingga terjadi modifikasi dan perbaikan terhadap sistem sosial yang ada.
Pada gilirannya lingkungan sosial yang semula bersifat sederhana kemudian secara
bertahap berubah menjadi kesatuan-kesatuan sosial yang semakin kompleks.
Ketiga, adaptasi dengan lingkungan budaya. Selain adaptasi sosial, manusia
juga melakukan proses adaptasi dengan lingkungan budaya. Dengan kemampuannya
itu manusia mampu mengolah lingkungan alamiah menjadi lingkungan budaya.
Produk-produk budaya yang semula mereka ciptakan melalui proses trial and error
melalui proses adaptasi, kemudian semakin menemukan kesempurnaan sejalan
dengan perkembangan pemikiran makhluk manusia itu sendiri. Melalui proses
adaptasi yang dilakukan manusia, lahirlah keanekaragaman budaya melalui rekayasa
yang semula berawal dari hasrat untuk menguasai alam, kemudian dalam batas-batas
tertentu justru berkembang seolah-olah lepas kendali menjadi keinginan untuk
mengeksploitasi alam dengan segala konsekwensinya di bidang sosial budaya.

b. Dinamika kebutuhan hidup manusia: dari foodgathering ke foodproducing

(1) Kehidupan Manusia pada Masa Meramu dan Berburu


Pada awal kehadiran makhluk manusia (homo sapiens) sekitar dua juta tahun
yang lalu, ciri pokok kehidupan manusia mengindikasikan ketergantungan yang
59

sangat tinggi kepada alam. Dalam rentang waktu hampir dua juta tahun, manusia
hidup secara nomaden, tidak/ belum mengenal kehidupan menetap. Manusia ketika
itu hidup seperti sekawanan binatang, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain di
sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang tersedia di alam. Dalam
kajian prehistori dan paleo-antropologi, pola hidup seperti dikemukakan di atas lebih
dikenal dengan food gathering.
Konsep food gathering itu pada hakikatnya mengandung dua elemen (sub-
konsep) pokok, yaitu: gathering (meramu/ pengumpul) di satu sisi; dan hunting
(berburu/ menangkap ikan) di sisi lain. Untuk memenuhi kebutuhan pokok (makan)
manusia prasejarah (zaman paleolitikum dan mesolitikum) mengumpulkan (baca
meramu, bukan mengumpulkan untuk disimpan) umbi-umbian yang tersedia di alam.
Maksudnya manusia-manusia nomad itu bergerak dari satu tempat ke tempat lain
untuk mencari umbi-umbian: setelah didapat lalu mereka makan; kemudian setelah
kenyang mereka tinggalkan sisanya begitu saja. Demikian pula, mereka memburu
berbagai jenis binatang ataupun menangkap ikan untuk dimakan, setelah dapat lalu
mereka makan dan jika berlebih mereka tinggalkan begitu saja.
Sistem peralatan yang mereka pakai pun pada zama paleolitikum (batu tua)
hanya memanfaatkan apa yang disediakan alam tanpa mengolahnya sedikit pun.
Selanjutnya sejalan dengan perkembangan pemikiran makhluk manusia, pada zaman
mesolitikum (batu tengah) manusia sudah mulai mengolah alat-alat yang dibutuhkan
dalam hidup dengan cara yang amat sederhana (masih kasar). Dengan peralatan dan
pola hidup seperti itu, manusia prasejarah itu selalu bergerak (nomad) dari suatu
tempat ke tempat lain secara terus menerus, tanpa mengenal tempat menetap.
Manusia prasejarah baru mulai mengolah (membakar) berbagai jenis umbi-
umbian, daging binatang dan ikan yang mereka dapatkan sebelum memakan
(mengkonsumsi) nya setelah penemuan api. Kemudian disusul dengan penemuan
garam sebagai bahan pengawet daging binatang,hal itu diperkiraan terjadi pada
pergantian zaman mesolitikum dan neolitikum. Sejak itu ketergantungan yang tinggi
terhadap alam, secara berangsur-angsur mulai berkurang di kalangan kelompok-
kelompok tertentu yang sudah agak lebih maju daripada banyak kelompok lain yang
masing amat tergantung pada alam. Artinya, manusia pra sejarah di berbagai tempat
di penjuru dunia ini mengalami tingkat perkembangan yang sangat variatif.

(2) Kehidupan Masyarakat Penghasil Pangan


Para ahli pre-histori dan paleo-antropologi cenderung sependapat, bahwa pada
akhir zaman mesolitikum dan awal neolitikum sebagaian manusia prasejarah sudah
mulai mengenal hidup menetap. Namun kurun waktu pengenalan pola menetap itu
60

tidak sama di antara kelompok-kelompok manuasia prasejarah, bahkan perbedaan


waktunya kadang-kadang mencapai ratusan ribu tahun. Sebagai ilustrasi, sebagian
ahli berpendapat manusia pra sejarah di Indonesia meneganal kehidupan menetap
lima ribu tahun lebih kemudian dari manusia yang merintis pola hidup menetap di
daratan Asia.
Pola hidup menetap itu dinilai amat strategis dalam perkembangan peradaban
umat manusia. Dikatakan demikian karena dengan dikenalnya hidup menetap, maka
terjadi perkembangan luar biasa dalam kehidupan manusia, misalnya manusia mulai
mengenal kesatuan-kesatuan/ kelompok sosial, sistem perkawinan. Sejalan dengan
itu kemampuan manusia untuk mengolah alam mulai berkembang secara bertahap.
Berangkat dari alur pikir seperti itu, maka para ahli menyatakan hidup menetap itu
sebagai “revolusi kehidupan” pada zaman prasejarah. Konsep revolusi kehidupan di
sini harus dipahami sebagai perubahan yang sangat mendasar (fundamental) dalam
pola kehidupan manusia, jangan dipahami sebagai perubahan yang berlangsung
cepat. Dikatakan demikian karena untuk menemukan pola hidup menetap, manusia
prasejarah membutuhkan waktu hampir dua juta tahun lamanya. Jika dilihat dari
perspektif itu perubahan yang terjadi sebenarnya berlangsung secara evolusi, bahkan
bisa dikatakan sangat lamban.
Perubahan yang sangat mendasar dimaksud di atas tidak lain adalah perubahan
dari food gathering ke food procing (menghasilkan makanan). Dalam kaitan dengan
konsep terakhir ini, manusia mulai memiliki kemapuan mengolah alam untuk
menghasil sesuatu yang dibutuhkannya dalam hidup. Melalui proses trial and eror,
manusia mencoba menanam umbi-umbian yang diambil dari alam liar pada lahan di
sekitar kediaman mereka (goa-goa batu): jika berhasil, maka dikembangkan lebih
lanjut; sebaliknya jika gagal, lalu dicoba dengan cara dan teknik yang lain. Dari
sinilah asal dari era bercocok tanam (mengasilkan pangan, horticulture) yang akan
dikupas secara khusus di bawah ini. Selain itu, manusia prasejarah tersebut juga
mulai belajar menjinakkan binatang, baik untuk menjaga lingkungan maupun untuk
dikonsumsi. Dari sinilah asal dari masyarakat peternak (pastoralism) yang akan
dibahas secara khusus dalam topik/ tema tersendiri dalam perkuliahan berikut.

(a) Asal Mula Bercocok Tanam


Sebagaimana dikemukakan di atas, manusia prasejarah tidak serentak
mengenal tradisi bercocok tanam, melainkan berbeda antara satu kelompok dengan
lainnya. Menurut para ahli paleo-antropologi dan prehistori, kepandaian bercocok
tanam itu mulai dikenal manusia sekitar 10.000 (sepuluh ribu) tahun yang lalu. N.I.
Vavilov menyatakan kepandaian bercocok tanam itu berawal di delapan kawasan di
61

permukaan bumi ini, yakni di daerah-daerah aliran sungai besar, danau dan pantai di
benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Kedelapan kawasan itu adalah sebagai
berikut: (1) daerah sungai-sungai besar di Asia Tenggara seperti Mekong, Salwin,
dan Irawadi dengan produk unggulannya adalah padi dan keladi Dari sana menyebar
ke Gangga, Indonesia, dan Filipina; (2) daerah aliran sungai di Asia Timur seperti
Yang-tse dan Hoangho. Tanaman yang dikembangkan di sini adalah sayur-sayuran,
murbei, dan kedele; (3) daerah aliran sungai Eufrat dan Tigris di Asia Barat Daya
(Teluk Parsi), kemudian menyebar ke Iran, Afganistan, terus ke hulu sungai Shindu
di Pakistan. Janis tanaman yang dikembangkan anatar lain, gandum, anggur, dan
berbagai jenis buah-buahan yang kini banyak dibudidayakan di Eropa; (4) di daerah
aliran sungai yang bermuara ke Laut Tengah, seperti delta Nil, daerah lembah-
lembah sungai di Italia dan Spanyol, serta Palestina. Di kawasan ini banyak ditanam
zaitun, ara, dan sayur-sayuran; (5) daerah Abesinia di Afrika Timur dengan produk
unggulannya gandum; (6) daerah hulu sungai Sinegal (Afrika Barat) dengan tanaman
utamanya berbagai varietas gandum; (7) daerah Mexico dan daerah aliran sungai
Missisippi dengan produk unggulannya jagung, kapas, kasava, dan ubi; serta (8)
daerah Peru di Amerika Latin dengan tanaman unggulannya kentang, kasava, dan
ubi. Berbagai produk unggulan setiap kawasan tesebut, ternyata erat kaitannya
dengan kondisi tanah, iklim/cuaca, dan kebutuhan subsistensi manusia setempat.
Dari kedelapan kawasan itu, kemudian kepandaian bercocok tanam itu secara
bertahap tersebar ke berbagai penjuru bumi ini. Sebagian ahli menduga kepandaian
bercocok tanam itu baru masuk dan mulai dikenal di Nusantara oleh kelompok
tertentu, sekitar 6.000 tahun yang lalu. Sementara yang lainnya menduga jauh lebih
kemudian, yakni sekitar 5 abad Sebelum Masehi. Bagaimana pun, kedua pendapat
itu masih merupakan dugaan para ahli, sementara bukti-bukti yang kuat tentang hal
itu belum ditemukan. Namun demikian, para ahli cenderung sependapat bahwa
kepandaian bercocok tanam itu sudah mulai tumbuh di Nusantara ini pada pergantian
zaman mesolitikum dan neolitikum.

(b) Bercocok Tanam di Ladang


Terlepas dari perbedaan kapan manusia prasejarah di Indonesia mengenal
kepandaian bercocok tanam, para ahli kompeten cenderung sependapat bahwa
bercocok tanam di ladang (lahan kering, tanah gurun dalam terminologi Minang)-
lah yang mula-mula dikenal di daerah ini. Dengan mencermati cara dan teknik
bercocok tanam di ladang dalam periode awal tersebut, lalu para ahli menamakan
pola itu dengan berbagai terminologi, seperti: slash and burn agriculture (pertanian
dengan teknik tebang dan bakar) atau shifting cultivation (ladang berpindah).
62

Di banyak kawasan tempat awalnya tradisi bercocok tanam yang telah


dikemukakan di atas, tempat yang dijadikan areal perladangan itu adalah hutan
rimba di Asia, Amerika dan di seputar Laut Tengah, serta hutan sabana terutama di
Afrika Timur dan Barat. Secara umum teknik yang digunakan masih sederhana, baik
dalam cara pengolahan maupun peralatan yang dipakai. Bahkan dalam periode yang
lebih awal teknologi yang digunakan masih berupa alat-alat dari batu, tetapi sudah
dihaluskan (diasah). Dalam perkembangannya, ketika manusia mulai mengenal
logam, barulah secara berangsur-angsur mereka membuat dan menggunakan
peralatan pertanian yang masih sederhana sifatnya, tetapi sudah memanfaatkan
bahan bakunya dari logam, seperti kapak, parang, alat penetak, cangkul, dsb.
Bercocok tanam di ladang tersebut umumnya dilakukan sebagai berikut: (1)
penentuan lahan yang akan dijadikan sebagai ladang, baik di kawasan hutan rimba
ataupun sabana; (2) kemudian hutan itu di tebang dan dibersihkan, serta ditunggu
sampai dedaunannya kering; (3) kemudian daun-daun yang sudah kering itu dibakar;
(4) beberapa hari kemudian, lalu ditanami dengan jenis tanaman tertentu; dan (5)
tanaman yang sudah tumbuh disiangi dan dipelihara sampai masa panen. Dilihat
dari cara pengolahan lahan seperti digambarkan di atas, maka sebagian ahli
kompeten mengistilahkan teknik ini dengan slash and burn agriculture. Biasanya
ladang yang dibuka itu akan dimanfaatkan untuk beberapa musim, sampai tingkat
kesuburan (humos) tanahnya menjadi rendah atau habis.
Setelah tingkat kesuburan tanah habis, umumnya mereka pindah dan
membuka lahan perladangan baru di sekitar ladang pertama dengan teknik
pengolahan yang relatif sama. Kemudian setelah humus tanahnya habis, mereka pun
akan pindah ke lahan baru di seputar lokasi semula. Dalam rentang waktu dua atau
tiga kali pindah, bekas ladang sebelumnya sudah tumbuh kembali menjadi hutan
belukar (rimba). Hutan rimba itu tentu telah membentu humos baru, sehingga
tingkat kesuburan tanah meningkat kembali. Setelah itu mereka bisa membuka
lahan baru di situ dengan teknik pengolahan lahan relatif sama. Bertolak dari
mekanisme seperti itu, maka sebagian ahli menyebutnya dengan istilah shifting
cultivation. Pada zaman prasejarah ladang berpindah itu terbuka untuk dilakukan
mengingat: tanah yang tersedia amat luas; dan, jumlah penduduk masih sedikit.
Para ahli cenderung sependapat, bahwa bercocok tanam di ladang lebih awal
dikenal dan dipraktekkan manusia dibandingkan dengan bercocok tanam di sawah.
Alasannya, bercocok tanam di ladang tidak membutuhkan teknik pengolahan lahan
yang rumit, tidak membutuhkan pengelolaan pengairan, cukup dengan hanya dengan
memanfaatkan air hujan saja secara alamiah, serta mengetahui perputaran musim/
cuaca berdasarkan pengalaman yang diwarisi secara turun temurun. Dengan begitu,
63

mereka bisa mengkalkulasikan kapan lahan harus ditebang dan dibakar, dan kapan
pula proses penanaman harus dilakukan. Lain halnya dengan bercocok tanam di
sawah, hal ini sudah memerlukan teknik pengolahan yang lebih rumit, serta juga
harus ditopang dengan pengelolaan air secara lebih teknis dan terorganisir.

(3) Bercocok Tanam Menetap


Bercocok tanam menetap (di lahan kering/ ladang ataupun di lahan basah/
sawah) adalah suatu tipe berccok tanam yang dilakukan individu/ kelompok tertentu
(bukan oleh pemilik perkebunan besar) di sebuah areal pertanian secara tetap, tidak
berpindah-pindah. Pelaku bercocok tanam tipe ini lazim disebut sebagai masyarakat
agraris, dan kategori petaninya dikenal dengan peasant (peisan, ‘petani kecil’).
Sistem ini mulai tumbuh, ketika manusia semakin banyak tinggal di daerah-daerah
subur di berbagai penjuru dunia ini, sementara lahan pertanian kian terbatas. Pada
saat itulah manusia mulai menumbuhkembangkan pola bercocok tanam menetap.
Berbeda dengan bercocok tanam di ladang, bercocok tanam menetap ternyata sangat
variatif sifatnya, baik di daerah tropik, sub-ropik, di hutan rimba, maupun hutan
sabana. Jika dilihat dari perspektif teori dan mekanisme yang dikembangkan oleh
ahli pertanian maupun geografi lingkungan, maka waktu yang tersedia tidak
mungkinkan untuk melakukan hal tersebut dalam perkuliahan ini.
Bertolak dari pemikiran demikian, maka bercocok tanam menetap di sini
hanya akan dilihat dari perspektif antropologi budaya dengan pengkategorian yang
lebih sederhana. Pengkategorian dimaksud dibuat berdasarkan pada sistem peralatan
yang digunakan dalam sistem bercocok tanam tersebut. Dari aneka ragam bercocok
tanam menetap yang pernah ada, pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam dua
kategori pokok. Pertama, bercocok tanam tanpa bajak (hand agriculture/ hoe
agriculture/ horticulture). Dalam konteks ini sebelum menanam berbagai jenis
varietas di lahan pertanian, terlebih dahulu petani mengolah tanah dengan cangkul
(hoe). Peralatan ini tentu saja sifatnya sudah lebih maju dari sebelumnya yang hanya
menggunakan tugal (tuga). Dengan menggunakan cangkul, akhirnya tanah sudah
diolah secara lebih dalam dan intensif, sehingga lebih berpeluang untuk menjaga
tingkat kesuburan tanah.
Kedua, bercocok tanam dengan bajak (plough agriculture). Sebelum sebidang
tanah ditanami, terlebih dahulu petani mengolahnya dengan menggunakan bajak,
baik bajak yang ditarik oleh binatang maupun manusia. Dengan memanfaatkan
binatang atau tenaga kuli/ buruh, maka petani amat terbantu (lebih efisien dan
praktis) dalam mengolah lahan jika dibandingkan dengan menggunakan cangkul,
apalagi tugal. Hanya saja agar lebih efektif, teknik ini mengharuskan petani untuk
64

memelihara binatang dan/ atau tenaga buruh untuk digunakan dalam mengolah
lahan. Dilihat dari segi jenisnya bajak itu dapat dibedakan kedalam dua kategori: (1)
bajak kecil yang biasanya disebut ard; dan (2) bajak berat yang dilengkapi dengan
roda yang lebih dikenal dengan plough.
Ard adalah alat pertanian yang terbuat dari cangkul yang dihubungkan dengan
bajak dan ditarik oleh binatang ataupun manusia. Bajak ini lebih kecil dan relatif
ringan, tetapi kemampuannya untuk ‘membalik’ tanah jauh lebih efektif dan efisien
dibandingkan dengan hanya menggunakan cangkul. Teknik ini ditemukan sekitar
500 tahun yang lalu di Mesopotamia dan di Mesir, kemudian menyebar ke daerah-
daerah lain dalam periode sesudahnya. Sementara plough adalah bajak beroda
dengan ukuran yang lebih berat, sehingga untuk menariknya dibutuhkan 4 ekor sapi
atau kuda. Bajak seperti ini ditemukan sekitar abad ke-4 SM di Jerman dan
Skandinavia, kemudian menyebar hampir ke seluruh penjuru Eropah dalam abad-
abad berikutnya.
Bercocok tanam menetap, serta teknik pengolahan lahan dengan bajak (baik
Ad maupun Plough) itu jangan hanya dipahami sebagai pengolahan lahan basah
belaka seperti lazimnya di Indonesia, melainkan juga mencakup pengolahan lahan
kering. Bercocok tanam menetap hanya mungkin dilakukan bila kesuburan tanah
bisa dipelihara, sehingga tanah dimaksud dapat memberikan hasil sepanjang musim.
Berbeda dengan kesuburan tanah yang disandarkan pada pemberian alam pada
perladangan berpindah, dalam pertanian menetap kesuburan tanah harus diusahakan
sendiri oleh petani. Untuk maksud tersebut, setidaknya ada empat cara yang bisa
dilakukan petani: (1) mengintesifkan pengolahan tanah agar tingkat kesuburannya
tidak menurun secara drastis; (2) memperbaiki cara pemupukan, sehingga tanah
tidak menjadi aus; (3) pengaturan pergantian tanaman (tanaman sela, “tumpang
sari” dalam istilah sekarang); dan (4) pengaturan irigasi agar tanah tidak mengalami
kekeringan (gersang), apalagi pada musim kemarau. Dalam kaitan dengan item
terakhir ini, sistem/ organisasi Subak di Bali dapat dijadikan contoh yang paling
aktual dan terlembaga sejak era tradisional dalam hal pengaturan pengairan lahan
pertanian. Keempat cara di atas, tentu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
kongkrit dan nyata, bukan pada kejakinan terhadap jampi-jampian dari seorang
dukun seperti yang masih ditemukan pada banyak kelompok petani di Indonesia.
Sejalan dengan berkembangnya tradisi bercocok tanam menetap itu,
kesadaran akan hak atas kepemilikan tanah pun mulai muncul di kalangan petani
setempat. Kepemilikan atas tanah itu pun bermula dari kemilikan oleh kelompok
atau klen yang dalam era kemudian lebih dikenal dengan tanah komunal (wulayat
kaum). Dalam perkembangan pada abad-abat berikutnya, secara bertahap mulai
65

dikenal kepemilikan pribadi (privat) atas sebidang atau beberapa bidang tanah.
Sjalan dengan itu, keberadaan bercocok tanam menetap semakin eksis dalam sejarah
perkembangan peradaban manusia.

c. Perkembangan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Makhluk Manusia


Apabila dicermati dari perspektif ilmu ekonomi yang bercorak diakronik,
cara-cara manusia memenuhi kebutuhan pokok (material)-nya mulai dari era
prasejarah sampai kini, dapat dikelompokkan kepada tahap-tahap sebagai berikut:
(1) pengumpul; (2) penghasil pangan; (3) fabrikasi; (4) industri; dan (5) pasca-
industri. Untuk memahami esensi dari masing-masing tahap itu, serta membedakan
antara satu tahap dengan lainnya, berikut akan diuraikan secara ringkas setiap tahap
itu, lengkap dengan contohnya yang relevan.
Pertama, pengumpul. Maksudnya adalah profil manusia yang memenuhi
kebutuhan pokoknya dengan cara mengumpulkan makanan dari yang disediakan
oleh alam. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua cara yang ditempuh manusia
ketika itu, yakni: meramu (gathering); dan berburu (hunting). Pola demikian
merupakan profil kehidupan makhluk manusia nomaden: secara umum berlangsung
sejak kehadiran manusia di muka bumi ini sampai mereka mengenal hidup menetap.
Pola hidup sebagai pengumbul dan pemburu tersebut, secara implisit mencerminkan
ketergantungan manusia yang sangat tinggi terhadap alam.
Kedua, penghasil pangan (horticultural). Konsep ini mengendung arti, untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya manusia tidak lagi mengantungkan hidup
sepenuhnya pada alam, melainkan mereka sudah menghasilan sesuatu dengan cara
mengolah alam. Contohnya untuk memenuhi kebutuhan makan, mereka sudah
mengembangkan keterampilan bercocok tanam (terutama di lahan kering, ladang),
serta menyinakkan atau beternak binatang tertentu (pastoral). Selanjutnya
berkembang menjadi masyarakat agraris (peasant, peisan). Jadi ketika itu manusia
sudah mampu mengolah alam fisik menjadi alam budaya guna memenuhi kebutuhan
pokok mereka.
Ketiga, fabrikasi. Pada tahap ini manusia sudah memiliki skill (keterampilan)
untuk mengolah hasil-hasil pertanian atau peternakan mereka menjadi bentuk lain
dengan menggunakan peralatan tradisional (sederhana, ‘seadanya’). Tujuan
utamanya adalah untuk memberikan nilai tambah terhadap hasil-hasil pertanian/
peternakan mereka. Contohnya antara lain keterampilan manusia untuk mengolah:
kacang kedele menjadi tempe; ketela pohon dan juga beras ketan (merah/ hitam)
menjadi tapai; tebu menjadi gula merah (gulo saka); mengolah air aren (‘nira’
mejadi minuman beralkohol, dan banyak lagi yang lainnya.
66

Keempat, masyarakat industri. Pada tataran ini manusia sudah mampu


mengolah segala sesuatu yang dihasilkan dengan memanfaatkan mesin (teknologi
canggih) guna menghasilkan produk tertentu. Produk tersebut sudah bersifat massal,
tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga ataupun masyarakat
setempat, melainkan diproduksi dalam partai besar untuk dilempar ke pasar.
Sebagian dari margin keuntungan yang mereka peroleh, kemudian digunakan untuk
membeli sesuatu berkaitan dengan kebutuhan primer mereka, di samping untuk
akumulasi modal, serta juga untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tertier bagi
yang bersangkutan.
Kelima, masyarakat pasca industri, merupakan masyarakat negara-negara
maju yang tidak lagi mengandalkan pembukaan/ pengelolaan pabrik atau industri di
negara mereka, melainkan memindahkannya ke dunia ketiga. Hal itu mereka lakukan
dengan berbagai pertimbangan, dan yang terpenting di antaranya adalah: (1)
menhindari volusi atau pencemaran akibat limbah pabrik; (2) tenaga kerja di dunia
ketiga dan negera terkebelakang realtif murah; (3) menekan biaya produksi dan
distribusi barang ke daerah konsumen. Meskipun pabrik/ perusahaan dimaksud
dialihkan ke negara lain, tetapi kendali produksi dan quality control tetap dipegang
oleh investor atau pemilik perusahaan yang berasala dari negara maju dengan jalan
memanfaatkan teknologi canggih (shopisticated) berupa softwer tertentu.

2. Rangkuman
Dengan memanfaatkan akal pikir dan jiwa yang dikaruniakan sang Maha
Pencipta, manusia merupakan makhluk paling unggul dalam beradaptasi dibandingkan
dengan makhluk mana pun yang diciptakan-Nya. Melalui proses adaptasi itu, manusia
bisa survive dalam hidupnya hingga kini. Sementara berbagai jenis makhluk ciptaan
Yang Maha Kuasa yang tidak mampu (gagal) dalam beradaptasi dengan lingkungan
baru atau situasi yang selalu berubah, akhirnya tidak bisa bertahan hidup dan hilang dari
permukaan bumi ini.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia harus bisa beradaptasi
dengan lingkungan fisik (alamiah), sosial, dan budaya. Dalam perjalan sejarah umat
manusia, homo sapiens ini sudah mencatatkan serangkaian keberhasilan. Pada periode
awal kehadirannya dengan potensi akal yang masih sangat terbatas dan pola hidup
nomaden, manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara meramu dan
berburu. Selanjutnya sejalan dengan peningkatan akal budinya, manusia berhasil
mengurangi ketergantungannya pada alam. Hal itu ditandai dengan dikembangkannya
pola hidup menetap dan dengan menggunakan produk budaya prasejarah yang sudah
67

mulai dihaluskan, muncul masyarakat penghasil pangan (hortikultural). Pemenuhan


kebutuhan manusia ketika itu dilakukan melalui dua cara, yaitu: (1) bercocok tanam
(berladang berpindah), terutama di hutan-hutan tropis; dan (2) memelihara binatang
ternak (masyarakat pastoral), khususnya di daerah-daerah padang rumput.
Kemudian dengan semakin meningkatnya akal budi, kemampuan, dan budaya
makhluk manusia, secara bertahap masyarakat hortikultural itu berubah menjadi
masyarakat agraris — peasant dengan pola pertanian menetap, baik di lahan kering
(ladang) maupun basah (sawah). Sementara segelintir dari masyarakat pastoral pun
berhasil meningkatkan usaha peternakan mereka dengan junlah binatang ternak yang
berlipatganda. Dalam periode selanjutnya, dari masyarakat agraris itu tumbuh dan
berkembang pula petani bermodal (farmer) dengan komoditi pertanian berorientasi
pasar. Dalam perjalanan panjang perkembangan masyarakat yang dikemukakan di atas,
muncul pula berbagai jenis pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan manusia di luar
sektor pertanian, seperti kerajinan, pertukangan, perdagangan, dan sebagainya.

D. Evaluasi
E.

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan


di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan Penilaian Sikap.

F. Bacaan Pendalaman
Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
-------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta
Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
------------------. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Havilland, William A . 1985. Antropologi, Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Fathoni, Abdurrahman. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta
Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

***
68

Kegiatan Belajar 5 - 6

MASYARAKAT PETANI DAN PASTORAL,


SERTA PANDANGAN DUNIANYA

A. Learning Outcome:
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
membandingkan esensi masyarakat petani dan pastoral, serta membedakan pandangan
dunia keduanya.

B. Materi Pokok
Dinamika Kehidupan Masyarakat Agraris (petani peternak), Pastoral, dan Masyarakat
Perkotaan:
(1) Batasan Konseptual
(2) Dari Peasant ke Farmer
(3) Organisasi Sosial Petani
(4) Masyarakat Peternak: Dialektika Ekonomi Subsistensi dan Ekonomi Pasar
(5) Pandanga Dunia (World Views) Masyarakat Petani dan Pastoral

C. Substansi Pembelajaran
1. Uraian Materi

a. Batasan Konseptual
Masyarakat agraris merupakan masyarakat yang memanfaatkan tanah untuk
membudidayakan tanaman pertanian, dan sekaligus hal menjadi sumber mata pencarian mereka.
Dalam perkembangannya, konsep ini mencakup dua sub-konsep penting, yaitu: petani (peasant,
peisan); dan, farmer. Dalam kajian antropologi budaya dan botani, konsep peisan sering
dipahami sama dengan masyarakat hortikultural. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat
hortikultural adalah profil masyarakat yang berusaha/ bekerja mengolah tanah (lahan)
dengan menggunakan tenaga dan pelatan sederhana memenuhi kebutuhan hidup mereka
sendiri. Di pihak lain farmer (dalam istilah populer di Indonesia lazim disebut ‘petani
berdasi’ atau ‘petani bermodal), yaitu petani bermodal besar yang mengolah lahan
pertaniannya dengan memanfaatkan tenaga manusia (buruh tani) dan/ atau teknologi
moderen guna melipatgandakan margin keuntungan. Berbeda dengan peisan, produksi/
69

hasil pertanian farmer tidak dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi,


melainkan adalah untuk disuplai ke pasar.
Sejalan dengan kehadiran masyarakat hortikultural, muncul pula masyarakat pastoralis.
Yang dimaksud dengan masyarakat pastoralis (pastoral) adalah masyarakat peternak yang
menerapkan teknologi domestikasi hewan dalam pembudidayaan binatang (ternak) yang
mereka pelihara. Masyarakat tipe ini muncul dan berkembang di daerah-derah padang rumput
di Afrika, Asia, dan Amereka Latin. Di beberapa kawasan masyarakat pastoral itu masih
ditemukan hingga kini, namun sebagian di antaranya sudah berkembang lebih pesat menjadi
pengusaha peternakan moderen dalam era sekarang.

b. Dari Peasant ke Farmer


Kelompok berburu dan meramu merupakan bentuk ‘masyarakat’ paling
sederhana dalam perkembangan peradaban manusia. Kegiatan utama mereka hanya
terfokus pada meramu (gathering) hasil tumbuh-tumbuhan non-budidaya dan berburu
(hunting) binatang liar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sistem peralatan yang
mereka gunakan pun masih sangat sederhana, yakni berupa alat-alat yang tersedia di
alam (belum diolah) sebagai produk budaya. Akibatnya teknologi yang mereka gunakan
hanya mampu mengolah alam secara pasif, sehingga waktu mereka habis hanya untuk
mencari makanan demi untuk memenuhi kebutuhan secukupnya (subsistensi).
Setelah menempuh perjalan panjang (hampir 2 juta tahun), akhirnya terjadi
perubahan mendasar dalam pola kehidupan manusia sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Ketika itu manusia yang semula memperlihatkan ketergantungan yang tinggi pada
alam, mulai memanfaatkan potensinya untuk mengolah alam dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Hal itu ditandai dengan munculnya masyarakat hortikultural
dan pastoral, masing-masing merupakan perkembangan lebih lanjut dari kelompok
manusia meramu (gathering) dan berburu (hunting) pada zaman sebelumnya.
Walaupun masyarakat hortikultural dan masyarakat pastoral sudah mulai
memanfaatkan potensinya untuk mengolah alam. Hanya saja dalam periode awal
perkembangannya, mereka hanya menggunakan tenaga dan pelatan sederhana untuk
memproduksi sesuatu (kebutuhan mereka). Walaupun demikian, berbeda dengan zaman
sebelumnya, penghasilan masyarakat hortikultural dan pastorial sudah lebih dari cukup
sebagaimana diungkapkan J.J. Macionis: “material surplus –jumlah kebutuhan subsisten
mereka lebih besar daripada hanya sekadar untuk bertahan hidup…….” Lebih jauh dia
menegaskan, produksi makanan mereka bisa ditingkatkan karena teknologi yang
digunakan (meskipun sifatnya masih sederhana) sudah memungkinkan campur tangan
manusia untuk meningkatkan produksi atas tanaman maupun hewan peliharaan. Hal itu
berkontribusi terhadap tingkat kesehatan manusia, dan lebih lanjut berkorelasi dengan
peningkatan populasi masyarakat hortikultural dan pastorial. Seiring dengan itu,
70

masyarakat hortikultural mulai mendirikan pemukiman dan tempat bercocok tanam


menetap untuk beberapa waktu (selama tanahnya dianggap masih subur).
Ketika suatu masyarakat mengalami surplus material, maka memungkinkan bagi
sebagian anggotanya memiliki waktu luang. Lebih jauh bagi sebagian kecil individu,
waktu luang itu mendorong munculnya kreatifitas teknologi, dan berwujud dalam
spesialisasi pekerjaan baru, seperti kerajinan, aneka ragam pertukangan, dagang, dsb.
Hal ini memungkinkan semakin berkembang, mengingat semakin banyak orang yang
tidak perlu lagi terlibat langsung dalam kegiatan subsistensi, sebab pemanfaatan
teknologi bisa mempercepat penyelesaian pekerjaan mereka. Lebih lanjut, kemunculan
sebuah teknologi biasanya akan disusul oleh penemuan teknologi baru yang lebih maju
(shopisticated) pada zamannya, sehingga peluang peningkatan taraf hidup manusia
makin terbuka.
Perkembangan teknologi dalam masyarakat hortikultural dan pastoral secara
tidal langsung telah mendorong munculnya kelompok yang lebih kaya dan berkuasa,
sehingga ketimpangan sosial pun mulai muncul. Dengan begitu, dalam masyarakat itu
akan muncul pihak yang mendominasi pihak lainnnya. Kelompok dominan biasanya
berupaya untuk memanfaatkan ‘sumber daya politik’ yang ada mempertahankan dan
menambah kuat posisinya. Hanya saja harus diakui, bahwa jangkauan kekuasaan
kelompok dominan dalam masyarakat hortikultural dan pastoral masih sangat terbatas
sifatnya, terutama karena populasi penduduk dan disparitas pekerjaan ketika itu masih
belum berkembang secara signifikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian dari kelompok dominan dalam
masyarakat hortikultural dan pastoral kian berhasil mengungguli yang lainnya, hal itu
ditandai dengan munculnya masyarakat agraris (pertanian). Ciri pokok dari masyarakat
agraris itu antara lain: (1) sudah memiliki tempat bercocok tanam menetap secara
permanen; (2) kegiatan bercocok tanamnya sudah mulai berskala besar (tetapi bukan
dalam artian berorientasi pasar); (3) sudah menafaatkan teknologi untuk meningkatkan
produksi, seperti tenaga binatang dan juga tenaga manusia (dari kelompok yang
didominasi, inferior). Masyarakat agraris ditenggarai sudah mengenal bajak, sistem
irigasi, dan peralatan yang terbut dari logam untuk pengolahan lahan, serta mulai bisa
melakukan revitalisasi kesuburan tanah garapan. Diduga masyarakat agraris itu sudah
mulai berkembang di sekitar pergantian zaman neolitikum dan zaman logam, dan kian
menemukan kesempurnaan dalam periode-periode selanjutnya (kuno dan modern).
Dengan memanfaatkan teknogi untuk mengolah lahan, masyarakat agraris
berhasil melipat-gandakan produksi pertanian. Peningkatan ‘material surplus’ itu
ternyata berkorelasi dengan komposisi penduduknya: populasinya semakin meningkat;
diferensiasi dan spesialisasi pekerjaan pun semakin kompleks. Sejalan dengan itu,
71

dalam masyarakat agraris jaringan perdagangan mulai tumbuh dengan pesat, dan uang
mulai digunakan sebagai alat tukar. Fenomena terakhir ini sudah tercatat dengan tegas
dalam sejarah masyarakat petani di sekitar Babilonia, Sumeria, dan Mesir Kuno.
Penemuan uang tersebut ternyata juga ibarat pisau bermata dua: di satu sisi ia
berkontribusi pada peningkatan taraf hidup manusia; tetapi di sisi lain uang juga telah
mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial dalam masyarakat. Kelompok yang
terkategori ekonomi mapan cenderung mendominasi kelompok ekonomi lemah.
Kelompok mapan akan memanfaatkan kekayaan (uang) dan kedudukan mereka guna
meraup keuntungan secara ekonomi. Kelompok dominan itu lazimnya mengerahkan
individu-individu dari kelompok subordinat (petani penggarap dan/ atau budak) untuk
memenuhi kebutuhan subsistensinya. Dalam perkembangannya, ketimpangan sosial
dalam masyarakat agraris itu semakin melebar dan permanen. Bahkan di era modern
ini dalam masyarakat agraris itu akan ditemukan perbedaan yang tajam antara: petani
pemilik modal (farmer); petani pemilik lahan (peasant, peisan); dan petani penggarap
(buruh tani) yang nasibnya selalu ‘diujung tanduk’ atau termarginalkan.
Masyarakat agraris yang berhasil menjadi farmer hanyalah segelintir saja,
sebagian besar justeru terjerat sebagai peasant (petani pemilik lahan terbatas, dan
mereka juga langsung sebagai pekerja dalam mengolah lahan pertaniannya). Lain
halnya dengan farmer, mereka adalah petani bermodal yang memiliki lahan luas, dan
selalu memanfaatkan kekayaan (modalnya) dan teknologi canggih (shopisticated) dalam
mengolah lahan pertaniannya guna melipatgandakan keuntungan secara ekonomi.
Orientasi produksinya tidak lagi untuk pemenuhan ekonomi subsistensi, melainkan
adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dewasa ini farmer itu bisa ditemukan (dalam
ukuran terbatas jumlahnya) di semua bangsa yang bercorak agraris dan juga di negara
industri besar. Salah seorang contoh paling tersohor sebagai farmer di pergantian abad
ke-20 dan 21 ini adalah Jimmy Carter (pendahulu Bill Clinton, kini mantan Presiden
Amerika Serikat).
Uraian di atas mengisyaratkan, masyarakat hortikultural dan masyarakat agraris
(khususnya peasant dan sub-ordinatnya seperti petani penggarap) pada hakikatnya
orientasi ekonomi mereka masih bercorak ekonomi subsistensi. Dengan kata lain,
produksi pertanian yang mereka hasilkan dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan
secukupnya (sufficiently), dan kalau ada surplus, barulah dilempar ke pasar. Di pihak
lain farmer menggeluti sektor pertanian dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan
pasar. Contohny para pemilik perkebunan (besar) seperti perkebunan teh, sawit, tebu,
kopi, kina, jati, dll. Dalam batas tertentu farmer tidak selalu berasal dari petani
(peasant), tetapi justeru dari pengusaha/ industrialis yang menginvestasikan modalnya
di sektor perkebunan guna meraih margin keuntungan yang lebih prospektif.
72

c. Organisasi Sosial Petani


Dengan mencermati dinamika masyarakat hortikultural menuju masyarakat
agraris (peasant, ‘peisan’) dalam poin b di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi
sosial petani itu sangat variatif. Keberagaman itu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
tempat tinggal, di samping tingkat perkembangan pemikiran dan peradaban masyarakat
petani setempat. Artinya masyarakat petani di lain tempat atau pun masyarakat petani
tertentu dalam kurun waktu berbeda, cenderung memiliki dan menumbuhkembangkan
organisasi sosial berbeda-beda pula. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari
pengaruh lingkungan dan jiwa zaman (zetgeist) suatu masyarakat terhadap realitas
sosiokultural yang dikembangkan tiap-tiap masyarakat.
Bertolak dari pokok pikiran di atas, pada kini hanya akan diperbinacngkan
karakteristik pokok dari organisasi sosial petani (dalam artian peasant), dan contoh-
contohnya dicarikan sendiri oleh pembaca dengan jalan mencermati realitas masyarakat
tertentu. Berbeda dengan masyarakat moderen, organisasi sosial masyarakat petani
kebanyakan dibangun di atas kesamaan kepentingan antar warganya. Kebanyakan dari
organisasi itu bertumpu pada ikatan-ikatan kekerabat dan kedekatan sosial antar warga.
Di samping itu, skopnya bisa pada tataran rumah tangga, keluarga (nuclear dan/ atau
exteded family) maupun komunitas. Dalam masyarakat tradisional, organisasi sosial itu
sifatnya non-formal dan informal, bukan bercorak organisasi resmi.
Sekedar untuk inspirasi, organisasi sosial yang masih banyak ditemukan dalam
masyarakat petani tradisional, antara lain: oraganisasi dalam lapangan pertanian dan
pengerjaan lahan dengan nama yang bermacam-macam; organisasi adat dengan
terminologi yang beragam pula; organisasi sosial yang berbasis tempat tinggal (rukun
kampung, rukun warga, dsj); organisasi pemuda/ pemudi. Berikut akan dikemukakan
salah satu contoh dari bermacam-macam organisasi berbasis adat/ budaya: dalam
masyarakat nagari di Minangkabau misalnya, dikenal organisasi Kerapatan Adat
Nagari (KAN). Organisasi ini beranggotakan niniak mamak (pimpinan suku), ditambah
dengan unsur alim ulama dan cediak pandai sebagai eleman pimpinan tradisional pada
tingkat nagari Minangkabau yang dikenal dengan “tali tigo sapilin.” KAN memiliki
tupoksi untuk menjaga keberlanjutan adat dan budaya di tengah-tengah masyarakat dan
pembangunan nagari sebagai unit sosial terpenting di Minangkabau. Kemudian contoh
lainnya akan diidentifikasi secara detail dalam proses perkuliahan.

d. Masyarakat Peternak: Dialektika Ekonomi Subsistensi dan Ekonomi Pasar


Ketika membahas masyarakat hortikultural, beberapa segi dari masyarakat
pastoral sudah disinggung. Pada kesempatan ini hanya akan diuraikan beberapa hal
penting yang perlu diungkap tentang masyarakat pastoralis. Sebagaimana dikemukakan
73

sebelumnya, masyarakat pestoral bukanlah masyarakat menetap secara permanen,


melainkan mereka meniti kehidupan secara nomaden. Hanya saja berbeda dengan
profil nomad pada era foodgathering, mereka sudah memiliki kesadaran wilayah yang
tegas. Lalu pengembaraan yang mereka lakukan adalah dari suatu lokasi ke lokasi lain
di dalam wilayah yang sama. Siklus perpindah itu berlangsung dalam dua atau tiga
generasi, tergantung potensi dan tingkat keamanan warga dalam mengembalakan
binatang ternak di kawasan padang rumput yang diklaim sebagai daerah mereka.
Selain itu, sedikit berbeda dengan masyarakat hortikultural, masyarakat pastoral
menerapkan teknologi domestikasi hewan guna meningkatkan produksi binatang
peliharaannya. Mereka memelihara binatang ternak bukan semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan subsistensinya, melainkan juga diedarkan (dipertukarkan) dengan
bahan makanan yang mereka butuhkan, khususnya untuk jenis tumbuhan yang tidak
bisa mereka hasilkan sendiri. Oleh karena itu, mekanisme pertukaran (sosial dan barter)
yang lazim dilakukan masyarakat pastoral dalam rangka memenuhi kebutuhan
sufficiently mereka, merupakan akar dari keterlibatan mereka dalam perdagangan yang
menggunakan uang sebagai alat tukar dalam periode berikutnya.
Dengan dikenalnya uang sebagai alat tukar, maka teterlibatan masyarakat
pastoral dalam perdagangan menunjukkan peningkatan di beberapa kawasan. Surplus
yang mereka dapatkan dalam berdagang tersebut, ternyata juga berkontribusi pada
peningkatan populasi penduduk setempat. Sejalan dengan itu diferensiasi penduduknya
juga semakin meningkat: individu/kelompok pengembala yang lebih eksis cenderung
mendominasi kelompok pengembala yang lebih kecil. Kemudian kelompok yang lebih
dominan, berhasil mengusai kelompok pengemla yang tersubordinasi, sekaligus mereka
juga menjadi ujung tombak dalam membuka jaringan dengan masyarakat hortikultural
di sekitarnya. Dalam periode kemudian, ditengarai kelompok dominan itu pulah yang
berhasil membangun jaringan perdagangan dengan masyarakat agraris dan kota di
zaman kuno, dan surplus perdagangan yang mereka raih pada gilirannya mendorong
munculnya diferensiasi pekerjaan yang lebih kompleks. Sejalan dengan itu, sebagian
kecil di antara mereka berpindah melakoni pekerjaan sebagai pedagang binatang ternak,
serta pemasok barang-barang dari daerah pedesaan dan perkotaan di sekitarnya.
Dalam perkembangannya kemudian, terutama sejak zaman kuno sebagian kecil
dari masyarakat pastoral itu pun mengembangkan peternakan secara menetap dengan
populasi binatang peliharaan lebih banyak. Hal inilah yang menjadi embrio kelahiran
peternakan moderen, baik di beberapa tempat di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Lalu
mereka itu menjadi penyuplai berbagai kebutuhan protein hewani bagi masyarakat desa
(village) dan kota lain, bukan hanya pada taran lokal, melainkan juga pada tingkat
regional maupun global.
74

e. World Views Masyarakat Petani dan Pastoral


Yang dimaksud dengan world views di sini adalah “pandangan dunia”
masyarakat petani (peasant) dan pastoral). Maksudnya, bagaimana masyarakat petani
dan/ atau pastoral itu memandang dunia mereka. Jadi world viws petani, bukan berarti
bagaimana dunia memahami petani (mohon hal ini dicamkan, sebab banyak sekali
mahasiswa memahami konsep ini sebagai pandanga publik terhadap petani).
Para ahli sebenarnya memang memiliki pemahaman berbeda terhadap petani,
bahkan kadang-kadang terlihat kontradiktif. Sebagai contoh dua ilmua terkemuka
(Popkin dan Scott) yang meneliti beberapa kelompok/ masyarakat petani di kawasan
Asia Tenggara, ternyata keduanya menghasilkan temuan yang sangat berbeda. Popkin
dalam penelitiannya yang kemudian dipublikasikan dalam sebuah buku terkenal “Petani
Rasional,” mengungkapkan: petani adalah orang-orang yang rasional, penuh
perhitungan dan kehati-hatian dalam menentukan pilihan, serta visioner dalam bersikap.
Sebaliknya Scott dalam penelitiannya yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku
dengan judul “Moral Ekonomi Petani,” menyatakan petani itu sebagai kelompok yang
tidak berdaya, tunduk pada alam, tidak independen, lemah pendiriannya, serta
termarginalkan dalam hidup dan kehidupann ini. Bahkan dia mengibaratkan petani itu
bagaikan ‘orang yang terapung-apung di tengah lautan, sedikit saja ombak menerpa,
maka ia akan tenggelam.’ Kedua temuan ilmuan yang reputasinya tidak perlu
diragukan lagi itu, tentu berangkat dari realitas kehidupan petani di masing-masing
tempat. akhirnya Popkin melihat petani dengan penuh optimis, sebaliknya Scott
melihatnya dengan pesimis.
Problem serupa juga akan ditemukan ketika kita merumuskan “pandangan
dunia” dari petani, terasa amat sulit untuk membuat batasan yang bisa diterima semua
pihak. Alasannya terdapat keberagaman pandangan petani terhadap dunianya,
perbedaan itu juga dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu. Artinya pandangan
dunia petani di suatu daerah/ kawasan akan berbeda dengan petani di belahan bumi
lainnya. Bukan hanya itu, masyarakat petani di sebuah daerah dalam kurun waktu yang
berbeda, hampir dapat dipastikan pandangan dunia mereka tidak akan persis sama.
Hanya saja dalam keberagaman itu, meskipun terasa rumit, tetapi pasti bisa ditemukan
kecenderungan yang bisa dijadikan dasar berpijak untuk merumuskan world views
petani dimaksud.
Berangkat dari kerumitan itu, berikut ini akan dicoba merumuskan pandangan
dunia petani dengan mengacu pada kerangka Kluckhohn tentang lima masalah dasar
dalam hidup yang benentukan orientasi nilai budaya sekelompok orang. Kelima
masalah dasar itu berkaitan dengan hakikat hidup; kakikat karya; hakikat waktu;
hakikat hubungan manusia dengan alam; serta hakikat hubungan manusia dengan
75

sesamanya. Berangkat dari kerangka tersebut di bawah ini dicoba merumuskan


kecenderungan pandangan petani (peisan, petani tradisional) terhadap dunianya,
sebagai berikut. Pertama, petani cenderung melihat hidup itu sebagai sesuatu yang
baik. Mengingat hidup itu hanya sebentar, maka ia harus dinikmati dan tidak harus
bersusah payah dalam menjalankan hidup dan kehidupan ini. Kedua, umunya petani
bekerja (berkarya) untuk mencari nafkah hidup, dan jika kebutuhan hidup (subsistensi,
sufficiently) mereka sudah terpenuhi, maka mereka tidak perlu bekerja keras lagi untuk
mendapatkan taraf hidup yang lebih tinggi. Ketiga, kebanyakan petani berorientasi ke
masa kini dan masa lampau. Mereka kurang/ kurang berorintasi ke masa depan yang
belum jelas ujungnya. Dalam ungkapan Melayu hal itu tergambar dengan jelas:
maambiak contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan manang (mengambil contoh ke
yang sudah terjadi, dan mengambil pembelajaran dari yang menang); di mano tumbuah,
di situ disiang (ketika terjadi suatu kasus, barulah dicarikan solusinya) Keempat,
umumnya petani tunduk pada alam: mereka cenderung pasrah dalam menghadapi
kedahsyatan alam; tidak kreatif mengolah alam. Contohnya, tidak sedikit dari petani
yang mewarisi sawah ‘tadah hujan’ dari nenek moyangnya, kemudia setelah puluhan
generasi tetap tidak ada ikhtiar untuk membangun irigasi meskipun peluang ke arah itu
terbuka lebar. Kelima, dalam kaitan dengan hubungan antar sesama, petani cenderung
berorientasi kolateral dan mengindikasdikan ketergantungan terhadap sesama. Rasa
kebersamaan yang berlebihan mengakibatkan motivasi dan kreativitas individu untuk
menunjukkan potensi dirinya rendah. Akibatnya skala prioritas untuk kepentingan
individu hanyut di bawah arus kepentingan bersama (kelompok).
Pandangan dunia petani seperti dikemukakan di atas tentu masih terbuka untuk
diperdebatkan, sebab tidak semua petani tradisional memiliki pandangan demikian.
Oleh sebab itu, dalam paparan di atas selalu ditekankan kata-kata kecenderungan/
umumnya petani (dalam artian ada juga yang tidak seperti itu). Di pihak lain
pandangan dunia masyarakat pastoralis untuk poin 1, 2, dan 3 relatif sama,
perbedaannya terdapat pada poin 4 dan 5. Berkaitan dengan poin keempat, masyarakat
pastoral lebih menekankan pada usaha menjaga keselarasan dengan alam. Hal itu
terjadi karena padang rumput tempat mereka mengembalakan ternak relatif terbatas,
yakni terletak di sela-sela hutan sabana yang mengitarinya. Kemudian poin kelima,
masyarakat pastoral dengan tantangan alam yang lebih keras, orientasi vertikal dan
ketergantungan kepada atasan (kepala-kepala suku) lebih menonjol, sembari tidak
mengabaikan hubungan kolateral (terutama dalam hubungan internal masing-masing
kelompok). Bertolak belakang dengan pandangan dunia petani (peisan) di atas,
pandangan dunia farmer hampir dapat dikatakan bertolak belakang sama sekali.
76

Bahkan pandangan dunia farmer relatif dekat dengan world views masyarakat perkotaan
dan industri.

2. Rangkuman
Masyarakat agraris yang dibangun di atas masyarakat hortikultural, pada
prinsipnya mencakup dua profil masyarakat yang bisa disederhanakan ke dalam dua
konsep penting, yaitu: peasant (peisan, petani kecil) dan pastoral (peternak) yang
embrionya juga berakar pada masyarakat hortikultural. Peasant dan pastoral dalam
konteks masyarakat agraris ini memiliki ciri utama: (1) memiliki tempat yang tetap
untuk membudidayakan bidang pekerjaannya, seperti lahan pertanian yang tetap untuk
bercocok tanam (ladang dan/ atau sawah) maupun areal padang rumput untuk
peternakan; (2) memanfaatkan teknologi untuk mengolah lahan, seperti bajak dan
peralatan lainnya; (3) mulai tumbuhnya keterampilan disertifikasi lahan; (4) surplus
produksi dan kelebihan dari kebutuhan subsistensi, sudah mulai dilempar ke pasar; dan
(5) muncul diferensiasi pekerjaan di luar sektor pertanian dan peternakan, seperti
kerajinan, pertukangan, perdagangan, dan sebagainya. Semakin lama diferensiasi dan
variasi pekerjaan itu semakin komplek dan berkembang terus.
Sejalan dengan perkembangan di atas, dengan memanfaatkan uang dan status,
serta otoritas yang dimilikinya, sebagian dari masyarakat agraris (peasant dan juga
pastoral) berhasil melalui lompatan lebih jauh dalam bidang ekonomi. Sebagian kecil
dari kalangan peasant itu tumbuh menjadi farmer (petani pemilik modal). Dalam
usahanya meningkatkan ‘material surplus’ bidang pertanian, yang bersangkutan
memanfaatkan modal, buruh, dan teknologi maju secara lebih efektif dan efisien. Di
pihak lain, sebagian kecil dari masyarakat pastoral juga telah berhasilannya dalam
mengembangkan peternakan yang lebih besar dan maju dengan orientasi produksi untuk
kebutuhan pasar.
Mengingat hanya sebagian kecil saja dari peasant dan pastoral itu yang berhasil
meningkatkan taraf hidup dan usaha mereka, sementara yang lainnya tetap terperangkap
dalam pola kehidupan petani dan peternak tradisional, maka menarik untuk memahami
world views keduanya. Pandangan dunia masyarakat petani dan pastoral pada prinsip-
nya: “mereka lebih berorientasi ke dalam (inward looking), memiliki keterikatan yang
kuat pada tradisi lama, dan relatif lemah dalam mengatasi tantangan alam, serta kurang
kompetitif melakukan perersaingan dengan pihak lain dalam rangka meraih kualitas
kehidupan yang lebih baik dan lebih maju.” Pandangan ini jelas sangat berbeda dengan
pandangan dunia masyarakat perkotaan dan masyarakat industri yang lebih berorientasi
77

keluar, mengandalkan sain dan teknologi, serta kompentitif dalam persaingan untuk
meraih kemajuan.

D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
----------. ed. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta
Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
.

***
78

Kegiatan Belajar 7

DINAMIKA MASYARAKAT:
DARI MASYARAKAT AGRARIS DAN NON-AGRARIS
MENUJU MASYARAKAT PERKOTAAN

A. Learning Outcome:

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk


menjelaskan dinamika masyarakat agraris dan non-agraris menjadi masyarakat
perkotaan.

B. Materi Pokok
(1) Evolusi Pertumbuhan Kota
(2) Dari Masyarakat Petani dan Pastoral Menuju Masyarakat Kota
(3) Kompleksitas Kehidupan Kota: Kota sebagai Pusat Pemerintahan, Industri, dan
Jasa

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi
a. Evolusi Pertumbuhan Kota
Kota merupakan areal pemukiman yang realatif luas dengan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi, dan bersifat heterogen, baik dari segi latar belakang etnik, sosial,
budaya, pekerjaan, maupun ekonomi. Dilihat dari perspektif historis, kehadiran sebuah
kota dalam sejarah peradaban manusia pada hakikatnya sudah mengalami proses
evolusi yang panjang. Secara alamiah, akar perkembangan kebanyakan kota-kota yang
menjadi pusat peradaban kuno berasal dari band yang berkembang menjadi desa
(village) zaman neolitikum. Mesopotamia, Iskandariah, Mohenyodaro-Harappa, Sian,
Mesoamerika, merupakan beberapa contoh kota besar yang dibangun antara abad ke-6
sampai dengan abad ke-3 Sebelum Masehi (perkembangan kota secara alamiah tersebut
akan dibahas lebih lanjut dalam poin b di bawah ini). Di pihak lain, sebuah kota
(apalagi di era modern ini) bisa saja lahir tanpa melalui proses evolusi yang panjang,
melainkan dibangun dan direkayasa dari sebidang tanah untuk menjadi sebuah kota.
79

Menurut Kingsley Davis, tahap perkembangan kota adalah sebagai berikut: co-
polis; polis; metropolis; megapolis; oligopolis; dan, nakropolis. Di bawah ini akan
dipaparkan karakteristik dari setiap pertumbuhan kota tersebut secara simultan.
Pertama, co-polis (embrio kota). Konsep ini dapat diartikan sebagai kawasan pedesaan
di mana mata pencaharian penduduknya tidak lagi bertumpu pada sektor agraris belaka,
melainkan sektor non-agraris sudah mulai menunjukkan perkembangan di sana.
Artinya mata pencaharian pokok sebagian penduduknya sudah beralih dari sektor
pertanian ke sektor jasa (perdagangan, industri, jasa dan/ atau pegawai).
Kedua, polis (kota). Areal pemukiman yang sudah mengalami perkembangan
lebih pesat dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Pengembangan pemukiman
sudah mulai beralih dari yang bersifat horizontal ke vertikal: rumah-rumah penduduk
tidak lagi dikembangkan ke samping, melainkan sudah muncul rumah-rumah/ gedung
bertingkat. Di samping itu, sebagian besar mata pencarian pokok penduduknya sudah
beralih ke sektor jasa, sperti pedagang, pegawai, dan bidang jasa lainnya. Sementara
penduduk yang bergerak di sektor agraris sudah semakin berkurang jumlahnya,
sehingga ciri-ciri pedesaannya sudah semakin terkikis.
Ketiga, metropolis (ibu kota). Maksudnya adalah kota yang sudah semakin
berkembang, baik dilihat dari segi fisik maupun lingkungan sosialnya. Pada taraf ini
kota dimaksud sudah menjadi ibu kota bagi polis, copolis, dan desa-desa yang ada di
sekitarnya. Dengan kata lain ia sudah menjadi pusat pemerintahan, di samping itu
sektor jasa semakin menunjukkan perkembangan berarti dan pola kehidupan agraris
sudah semakin berkurang. Di samping sebagai pusat pemerintahan, metropolis juga
menjadi satelit dan barometer perkembangan berbagai aspek kehidupan moderen bagi
kota-kota kecil dan desa-desa di sekitarnya.
Keempat, megapolis (kota besar). Konsep ini mengandung makna, bahwa kota
tersebut sudah semakin luas wilayahnya, dan di sana juga sudah menjulang gedung-
gedung bertingkat. Gedung-gedung itu umumnya difungsikan sebagai kantor-kantor
birokrasi pemerintahan, badan usaha, perusahaan, industri, toko-toko grosir, lembaga
pendidikan (mulai dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi). Penduduk
metropolis sudah sangat majemuk dengan sektor jasa sebagai mata pencarian pokok
warganya. Sementara sektor agraris hampir dapat dikatakan sudah tidak ditemukan di
kota-kota besar tersebut.
Kelima, oligopolies (kota berantai). Oligopolis merupakan sebuah kota besar
yang sudah berantai dengan kota tetangganya (kota kembar): kedua kota hanya dibatasi
dengan rambu-rambu atau petunjuk praktis batas kota. Jadi tidak seperti biasanya,
antara satu kota dengan kota lainnya dibatasi oleh tanah kosong ataupun wilayah
pedesaan yang cukup luas. Kehidupan masyarakatnya sudah sangat individualis, dan
80

sumber ekonomi warganya bertumpu pada sektor industri dan jasa. Kompetisi dan
persaingan dalam berbagai aspek kehidupan mulai berlangsung dengan tajam.
Keenam, nakropolis (kota mati). Apabila perkembangan kota sudah tidak bisa
dikendalikan, kejahatan dan tindakan kekerasan terjadi di mana-mana ataupun terjadi
peperangan dahsyat yang berkepanjang di sebuah kota, maka waganya cenderung pergi
meninggalkan kota untuk menyelamatkan diri. Akibatnya kota tersebut menjadi
kosong, tinggal hanya puing-puing bangunan yang tidak terurus, sehingga ia sering juga
diibaratkan sebagai ‘kuburan besar’ yang sunyi dari aktifitas dan hiruk pikuk warganya.
Jika sudah demikian halnya, maka ia lazim disebut sebagai nakropolis (berakar dari
suku kata nacros = mati dan polis = kota). Dalam sejarah dunia, kondisi kota semacam
itu ditemukan di berbagai kawasan, misalnya di Babilonia, Yunani dan Romawi Kuno,
Mesir Kuno, Meksiko, dan belahan dunia lainnya. Bahkan di zaman sekarang hal
serupa juga terjadi di beberapa negara, seperti di Afganistan, Palestina, Sudan, Irak,
Suriah, Libiya, dan beberapa negara lainnya.

b. Dari Masyarakat Petani dan Pastoral Menuju Masyarakat Kota


Mengawali sub-judul ini bisa diajukan pertanyaan pokok: apakah masyarakat
petani pedesaan dan masyarakat pastoral bisa tumbuh menjadi masyarakat perkotaan?
Jawaban terhadap pertanyaan ini secara sepintas bisa: ya dan/ atau tidak. Kedua-dua
jawaban itu bisa dicarikan contohnya dalam perkembangan sejarah peradaban manusia.
Berikut ini akan dikemukakan penjelasan singkat berkaitan dengan dua kemungkinan
jawaban pendek tersebut.
Berkaitan dengan pertanyaan itu, terlebih dahulu akan dijelaskan duduk
persoalan dari kemungkinan dua jawaban di atas. Bagaimanapun, berawal dari
perkembangan band-band pada zaman Neolitikum, lahirlah desa-desa yang relatif
bersahaja dalam era prasejarah. Kemudian dalam periode sesudahnya, sejak zaman
kuno bermunculanlah desa-desa (village) dengan pola yang kian kompleks, hingga
jumlahnya mencapai milyaran pada saat ini. Dalam perkembangannya itu hanya
segelintir saja dari desa-desa itu yang berkembang menjadi kota, lalu sebagian besar
(bahkan kalau dihitung bisa mencapai angka di atas 95%) tetap eksis sebagai desa
(dalam artian tidak berubah menjadi kota). Dengan kata lain, penduduknya tetap eksis
sebagai masyarakat petani (rural society) ataupun masyarakat peternak (pastoralism),
terutama di beberapa daerah padang rumput di Afrika dan Asia.
Walaupun kebanyakan masyarakat petani dan pastoralisme itu tidak berubah
menjadi masyarakat perkotaan (urban society), namun mereka tidak steril dari pengaruh
kehidupan perkotaan. Kecenderungan seperti itu sudah terlihat dalam realitas kehidupan
di zaman kuno seperti pengaruh kota-kota tertua di Babilonia dan Mesir Kuno terhadap
81

desa-desa di sekitarnya. Mirip dengan trend di era modern ini, kota-kota kuno itu sudah
menjadi satelit bagi masyarakat desa dan masyarakat pastoralis yang ada di sekitarnya.
Untuk beberapa aspek kehidupan kedua profil masyarakat yang disebut belakangan ini,
mendapat pengaruh kuat dari kota-kota satelitnya.
Mengacu pada pokok pikiran dan ilustrasi yang disebutkan terakhir ini, menarik
untuk menjawab sebuah pertanyaan elementer berikut: bagaimanakah proses masuknya
pengaruh kota ke derah pedesaan? Jawaban terhadap pertanyaan ini mengindikasikan,
setidaknya ada tiga mekanisme masuknya pengaruh kota ke desa. Pertama, terjadinya
urbanisasi: perpindahan masyarakat desa ke kota, baik karena ada faktor pendorong
(push factor) dari desa ataupun faktor penarik (pull factor) dari kota. Apapun penyebab
dari urbanisasi yang terjadi, konsekuensinya masyarakat pedesaan itu secara berangsur-
angsur harus beradaptasi dengan pola-pola kehidupan masyarakat kota. Lama
kelamaan ciri-ciri kehidupan rural society dan pastoralism yang mereka junjung tinggi
selama ini secara bertahap akan berubah menjadi pola kehidupan urban society. Kedua,
urbanisme. Maksudnya, meluasnya pengaruh kota ke daerah pedesaan yang berpangkal
pada intensifnya kontak antara kedua tipe masyarakat dan perkembangan media
komunikasi. Orang-orang kota yang datang ke desa dan perantau yang pulang ke
kampung halamannya, serta media informasi (elekronik dan cetak) yang masuk ke
derah pedesaan, pada gilirannya secara bertahap (baik disadari atau tidak) akan
berpengaruh pada masyarakat desa. Pengaruh itu bisa menyangkut sikap mental, gaya
hidup ataupun gaya berbicara. Ketiga, perluasan administratif sebuah kota. Akibatnya
masyarakat desa ataupun suburb (masyarakat pinggiran kota) yang terkena perluasan
kota, secara bertahap tetapi pasti warga setempat harus menyesuaikan pola hidup
mereka secara bertahap dengan masyarakat kota. Jika tidak, mereka hampir dapat
dipastikan akan menjadi warga kota yang termarginalkan.
Bertolak dari uraian di atas, dapat diambil konkluasi: dalam batas-batas tertentu
rural society dan pastoralism bisa berkembang menjadi urban society. Secara kasat
mata hal itu bisa dideteksi dari beralihnya: pola hidup mereka dari sektor agraris dan
bertenak ke sektor industri dan jasa; dari masyarakat homogen ke masyarakat yang
heterogen. Jika kedua karakter pokok itu belum terlihat dominan dalam kehidupan
suatu masyarakat, maka berarti mereka masih tergolong ke dalam masyarakat pedesaan:
rural society dan/ atau pastoralism. Dikatakan demikian, karena pada hakikatnya
masyarakat perkotaan (urban society) adalah profil masyarakat non-agraris. Urban Society
adalah warga yang bermukim di daerah perkotaan dengan mata pencaharian utamanya
bertumpu pada sektor jasa dan industri. Berbeda dengan masyarakat agraris yang banyak
terikat oleh hubungan-hubungan yang berbasis pada kebersamaan (sosial) dan ikatan
kekerabatan, masyarakat perkotaan lebih bersifat individualis.
82

c. Kompleksitas Kehidupan Kota


Konklusi di atas mengindikasikan, bahwa kompleksitas kehidupan adalah ciri
pokok dari masyararakat kota. Dalam konteks demikian sebagaimana dikemukakan
oleh Davis yang telah dikemukakan sebelumnya, selain sebagai pusat industri dan jasa,
kota juga merupakan pusat pemerintahan. Dalam ketiga sektor itu, hampir dapat
dipastikan kota akan menjadi barometer bagi kota-kota kecil dan desa-desa sekitarnya.
Contoh: Jakarta akan menjadi barometer bagi kota-kota dan desa-desa lain di Indonesia.
Begitu juga Kota Padang akan menjadi barometer bagi kota-kota dan desa-desa yang
ada di Sumatera Barat; dan, Bukittinggi akan menjadi barometer bagi kota-kota kecil
dan desa-desa di Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam, bahkan juga kota-kota dan
desa-desa lain di luar Kabupaten Agam.
Kota-kota (apalagi dalam perspektif konvensional), selalu dicirikan oleh
keberadaannya sebagai pusat perkembangan industri dan jasa. Hal ini mungkin erat
kaitannya dengan keberadaan kota sebagai corong dari kemajuan (modernisasi),
sehingga pertumbuhan industrinya lebih awal dan maju dibandingkan dengan daerah
pedesaan di sekitarnya. Bermacam ragam industri umumnya tumbuh dan berkembang
di perkotaan atau daerah pinggiran kota, kemudian baru menjalar ke daerah pedesaan.
Bahkan dalam banyak kasus, justeru yang menjalar ke pedesaan itu bukan pertumbuhan
industrinya, melainkan hanya produknya saja. Pada hal kalau dilihat dari sumber bahan
bakunya kebanyakan besaral dari pedesaan, tetapi pengolahannya justru berkembang di
kawasan perkotaan.
Selain itu sektor jasa pun berkembang pesat di kawasan perkotaan dibandingkan
dengan daerah pedesaan. Hal ini adalah konsekuensi logis dari keberagaman kehidupan
perkotaan dengan berbagai infrastruktur yang lebih kompleks. Dengan begitu sektor
jasa berpeluang tumbuh lebih pesat, seperti: berkembangnya pekerjaan (profesi) sebagai
pegawai (PNS, ABRI, BUMN/BUMD, Swasta); bidang jasa (anekaragam teknisi,
wartawan, pedagang, sopir, security, clining service, dan lain-lain seumpamanya); dan
sektor informal (pembantu rumah tangga, dsb.). Bahkan di berbagai kota besar di era
modern ini, juga muncul berbagai jenis pekerjaan tertentu, seperti: ajudan pribadi;
bodyguard, dept collector, dan sebagainya.
Terakhir, kota juga merupakan pusat pemerintahan. Hal ini bukan suatu
fenomena baru, melainkan pada kota-kota kuno sekali pun realitas tersebut dengan
mudah bisa ditemukan. Misalnya: Kairo merupakan pusat pemerintahan Mesir Kuno
sejak awal berdirinya; Roma menjadi pusat pemerintahan dari Kerajaan Romawi Kuno.
Begitu juga Kediri menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Dalam konteks
kota di era kontemporer fenomena serupa relatif lebih gampang untuk dipahami dan
dicarikan realitasnya. Dalam konteks Indonesia modern misalnya, kota dalam semua
83

tingkatan dan ukurannya, pada hakikatnya merupakan pusat pemerintahan dalam


cakupannya sendiri. Pusat pemerintahan kecamatan sebagai contoh, umumnya terdapat
di kawasan yang masih bertaraf co-polis; lalu polis merupakan pusat pemerintahan
kabupaten/ kota; serta metropolis menjadi pusat pemerintahan tingkat provinsi; dan
megapolis (metropololis) menjadi pusat pemerintahan negara (NKRI). Lalu dari kota-
kota itulah aparatur birokrasi menggerakkan roda pemerintahan dalam cakupan wilayah
dan otoritasnya sampai pada akhirnya menjangkau areal pedesaan.

2. Rangkuman
Kota merupakan areal pemukiman yang realatif luas dengan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi, dan bersifat heterogen, baik dari segi latar belakang etnik, sosial,
budaya, pekerjaan, maupun ekonomi. Dilihat dari perspektif historis, asal usul kota
dapat dibedakan ke dalam dua kategori. Pertama, berasal dari sebuah pemukiman
penduduk yang sederhana berubah menjadi desa, dan selanjutnya secara bertahap
berubah menjadi kota dalam segala tingkatannya. Kedua, sebidang lahan yang cukup
luas dirancang/ dibangun menjadi sebuah kota, dan dalam perjalannya berkembang
menjadi kota yang semakin besar dan kompleks. Jika kita bermaksud mempelajari
sebuah kota, maka kita bisa mlihat latar sejarahnya melalui salah satu dari fua kategori
tersebut.
Pokok pikiran di atas mengisyaratkan bahwa masyarakat desa (rural society)
dengan pola kehidupan agraris, tetap terbuka untuk berubah menjadi masyarakat
perkotaan (urban society). Seiring dengan penemuan uang dan meningkatnya
difeferensias pekerjaan masyarakat desa di luar sektor agraris, maka sebagian warganya
mulai menekuni usaha di bidang jasa, keterampilan, dan industri. Jika pembangunan
fisik areal pemukiman itu semakin pesat, pekerjaan di luar sektor agraris semakin
berkembang, pengaruh kehidupan moderen semakin mendalam di kalangan warga
dimaksud, maka ciri-ciri kehidupan abrarisnya makin luntur dan berubah menjadi
masyarakat perkotaan.
Ketika sebuah desa telah berubah statusnya menjadi kota, maka ia akan
memperlihatkan heterogenitas dalam berbagai aspek. Heterogenitasnya itu dapat dilihat
dari segi latar belakang penduduk (ras, etnik, sosial budaya), tingkat pendidikan, taraf
ekonomi, afiliasi politik, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, realitas demikian
akan semakin komplek sifatnya, mengingat kota sering diposisikan sebagai agen
modernisasi, pusat perkembangan ekonomi/ perdagangan, pusat industri, pusat
pendidikan, dan juga pusat birokrasi/ pemerintahan tertentu. Dengan demiakian
kehidupan kota akan menjadi semakin kompleks, apalagi ia akan menjadi satelit dan
barometer dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (kota maupun desa) sekirtanya.
84

D. Evaluasi

Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan


di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat


-------------------. ed. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga
Penerbit FE-UI
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Sumartana, Th., et.al. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Dian
Lerner, Daniel. 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta: Gama Press.
Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Zubaidi, 2007. Wacana Pembangunan Alternatif: Ragam Pengembangan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Razz Media.
Myron Weiner, ed., 1984. Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gama
Press.
Sajogyo, Ny Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: IKIPJkt – BKKBN.
Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.

***
85

Kegiatan Belajar 8

PERTUMBUHAN EKONOMI:
SUMBER DAYA EKONOMI, SISTEM PRODUKSI, DISTRIBUSI, DAN
KONSUMSI DALAM MASYARAKAT YANG SEDANG BERUBAH

A. Learning Outcome:
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
mencermati pertumbuhan ekonomi, sembari mengidentifikasi sumber daya ekonomi,
sistem produksi, distribusi, dan konsumsi dalam konteks sosiokultural masayarakat
yang sedang berubah.

B. Materi Pokok

Dinamika Perekomian, Sumber Daya Ekonomi, dan Distribusi:


(1) Manusia sebagai Homo-economicus
(2) Sumber Daya Ekonomi
(3) Hakikat Ekonomi: Produksi; Distribusi; dan Konsumsi
(4) Anekaragam Distibusi: Tukar Menukar (Sosial); Reciprositas; Tukar Menukar
(Ekonomi); dan Redistribusi Kekayaan.

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi
a. Manusia sebagai Homo-economicus
Uraian pada topik-topik sebelumnya secara implisit sudah membawa kita pada
pemahaman, bahwa manusia sesungguhnya merupakan makhluk multidimensional, di
samping sebagai homo socius (makhluk sosial) dan homo faber (makhluk budaya/
pembuat alat), manusia sekaligus juga merupakan homo economicus. Konsep terakhir
ini mengandung makna bahwa manusia adalah makhluk ekonomi. Maksudnya untuk
memenuhi kebutuhan materialnya: manusia tidak hanya mengandalkan instingnya,
melainkan ia berusaha mengolah alam dengan memanfaatkan akal pikirnya. Dengan
jalan demikian, manusia tidak hanya sekedar berusaha bertahan hidup, melainkan lebih
dari itu, ia berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup dari waktu ke waktu.
Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, sudah dikupas bagaimana
ketergantungan manusia pada alam di awal kehadirannya di muka bumi ini. Kemudian
86

setelah melalui proses yang panjang, dengan memanfaatkan akal budinya, manusia
berhasil mengurangi ketergantungan pada alam dan akhirnya mampu mengolah alam.
Bahakan dalam era modern itu, manusia sudah melangkah lebih jauh dari sekadar hanya
mengolah alam, menjadi makhluk yang berhasrat untuk mengeksploitasi alam. Dalam
kaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, setelah terjebak dengan pola berburu
dan meramu selama jutaan tahun, akhirnya pada penghujung era mesolitikum manusia
mulai memanfaatkan kemampuannya untuk mengolah alam (bercocok tanam dan
memelihara binatang). Kemudian kedua cara pemenuhan kebutuhan ekonomi itu
berhasil mereka kembangkan: mulai dari teknik pengolahan dengan menggunakan
peralatan sederhana ke teknik yang lebih maju (kompleks); dari orientasi subsistensi
(pemenuhan kebutuhan sendiri) ke orientasi pasar untuk mendapatkan keuntungan
(profit). Ilustrasi di atas secara implisit mengindikasikan telah terjadinya dinamika
ekonomi dalam perkembangan peradaban umat manusia.

b. Sumber Daya Ekonomi


Berbicara tentang manusia sebagai makhluk ekonomi, menarik untuk mengupas
“sumber daya ekonomi” sebagai salah satu konsep strategis dalam studi ekonomi dan
pembangunan. Yang dimaksud dengan sumber daya ekonomi adalah segala potensi
yang dimiliki, baik berupa barang ataupun jasa guna memenuhi kebutuhan manusia.
Sumber daya dimaksud dapat berupa sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya
manusia (SDM) yang bisa memberikan manfaat/ keuntungan (benefit). Kedua jenis
sumber daya (SDA dan SDM) tersebut pada hakikatnya dapat diolah sebagai modal
dasar dalam pengembangan ekonomi manusia.
Dilihat dari perspektif ilmu ekonomi moderen, sumber daya ekonomi juga
sering dipahami sebagai sebuah bentuk sumber daya konsumen. Dalam konteks
demikian, setidaknya sumber daya ekonomi dapat dikelompokkan menjadi: (1) sumber
daya alam, yaitu semua sumber/ kekuatan yang berasal dari alam, seperti tanah, air,
udara, mineral, dan energy; (2) sumber daya manusia, yaitu potensi yang dimiliki oleh
manusia (baik fisik maupun psikis) yang bisa diarahkan untuk kegiatan produksi; (3)
sumber daya modal, yakni segala sesuatu yang bisa dijadikan modal oleh manusia, baik
berupa uang maupun barang (bahan baku, mesin, bangunan/ pabrik) yang dapat
digunakan dalam proses produksi; (4) sumber daya kewirausahaan, yaitu segala potensi
yang berkaitan dengan sikap, prilaku, etos kerja, dan semangat dalam menggerakkan
sebuah usaha/ kegiatan ekonomi dalam rangka meraih keuntungan.
Penguasaan sumber daya ekonomi oleh seseorang maupun sekelompok orang
akan berkorelasi dengan pendapatan dan kekayaan yang bersangkutan. Yang termasuk
ke dalam kekayaan dalam konteks ini meliputi asset (nilai bersih); dan kredit dari
87

seseorang atau suatu badan usaha. Kekayaan dan asset itu bisa saja dikelompokkan
pada sumber daya ekonomi; individu, rumah tangga, keluarga, ataupun badan usaha
(terutama dalam masyarakat modern). Sementara dalam masyarakat kuno/ tradisional
sumber daya ekonomi itu umumnya merupakan asset keluarga/ suku/ klen (komunal),
sedangkan asset individu relatif belum dikenal ketika itu.

c. Hakikat Ekonomi: Produksi; Distribusi; dan Konsumsi


Berbicara tentang ekonomi, pada hakikatnya ada tiga konsep kunci yang selalu
menjadi mainstream pembahasan dalam kajian ekonomi, yaitu: produksi; distribusi;
dan konsumsi. Kalau ditelusuri sejarah perkembangan makhluk manusia, terutama sejak
manusia mulai mengenal hidup menetap, terlihat dengan jelas bahwa manusia tidak bisa
menghasilkan (memproduksi) segala kebutuhkan (konsumsi)-nya secara individual
(sendiri), melainkan dalam banyak hal ia membutuhkan pasokan (distribusi) dari pihak
lain. Profil dan dinamika perekonomian tiap-tiap masyarakat pada hakikatnya tercermin
dan sekaligus dipengaruhi oleh interelasi anatar ketiga faktor tersebut.
Pada awal kehadiran homo sapiens di mukaka bumi ini sekitar 2 juta tahun yang
lalu, manusia justeru belum bisa menghasilkan (memproduksi) kebutuhan ekonominya
sendiri. Dalam kurun waktu yang sangat panjang (skitar 1.990.000) tahun manusia
justeru mengindikasikan ketergantungan yang tinggi pada alam. Dalam rentang waktu
tersebut, manusia hanya memanfaatkan apa yang tersedia pada alam untuk memenuhi
kebutuhan subsistensi mereka (dalam artian mereka belum mampu menghasilkan dan
mengolahnya sama sekali).
Para ahli paleoantropologi dan prehistori cenderung sependapat: kemampuan
manusia untuk menghasilkan sesuatu yang mereka butuhkan dengan cara mengolah
alam lingkungan, baru mulai muncul pada pergantian zaman mesolitikum ke neolitikum
(sekitar 10.000 tahun yang lalu). Itupun masih sangat terbatas sifatnya, yakni hanya di
delapan kawasan di permukakan bumi ini sebagaimana yang telah dibahas dalam topik
sebelumnya. Manusia-manusia yang sudah mulai menunjukkan kemampuan mengolah
alam itu, berhasil meletakkan fondasi penting bagi perkembangan peradaban manusia,
termasuk di bidang ekonomi. Proses tersebut akan ditelusuri satu per satu dalam uraian
ringkas di bawah ini.
Pertama, manusia menetap pada periode awal itu memproduksi sesuatu yang
mereka butuhkan dengan mengolah alam lingkungan untuk memenuhi ekonomi paling
mendasar dalam hidup manusia, yaitu makanan. Caranya adalah dengan bercocok
tanam untuk memenuhi kebutuhan makan, serta menjinakkan binatang (baik untuk
kebutuhan lauk-pauk maupun menjaga lingkungan tempat tinggal dan berburu). Bahkan
dalam tasas-batas tertentu, jika proses produksi yang mereka lakukan belum bisa
88

memenuhi kebutuhan mendasar dalam hidup, lalu mereka pun melengkapinya dengan
berburu dan meramu. Hal terakhir ini dalam prehistori lebih dikenal dengan era
meramu dan berburu tingkat lanjut. Orientsi ekonomi mereka pada masa itu masih
bersifat untuk memenuhi kebutuhan sendiri yang dalam ilmu ekonomi lebih dikenal
dengan pemenuhan kebutuhan subsistensi (sufficiently, ekonomi secukupnya).
Walaupun demikian para ahli menduga, bahwa pada masa itu sudah mulai berlangsung
tukar menukar barang yang dibangun di atas prinsip sistem barter dan reciprocitas. Hal
itu adalah konsekuensi logis dari perbedaan lingkungan tempat tinggal yang berbeda
dan kebutuhan manusia yang beragam. Lalu melalui sistem barter dan hubungan timbal
balik itu terjadilah distribusi barang untuk memenuhi kebutuhan pihak konsumen.
Kedua, sejalan dengan perkembangan pemikiran dan kemampuannya, manusia
berhasil menemukan cara/ proses produksi dan memanfaatkan lahan secara menetap.
Untuk memberi nuansa perbedaan dengan pola sebelumnya: sistem ini lebih cocok
disebut dengan istilah bertani; dan masyarakatnya disebut dengan masyarakat agraris.
Sistem produksi masyarakat petani dan juga masyarakat pastoralis pada zaman kuno itu
masih tetap berorientasi pada pamanuhan kebutuhan sensiri (ekonomi subsistensi),
tetapi kelebihan produksi sudah mulai didistribusikan ke luar kelompok produsen, baik
melalui barter, reciprocitas, maupun jual beli dengan menggunakan benda yang
diperlakukan sebagai uang. Lain halnya dengan masyarakat pastoralis, binatang ternak
mereka memang dimaksudkan untuk dipertukarkan dengan berbagai kebutuhan dasar
yang tidak bisa mereka hasilkan, terutama karena keterbatasan alam di padang rumput.
Selain melalui dua proses distribusi di atas, beredarnya barang dari pihak konsumen ke
produsen bisa terjadi melalui tukar menukar secara ekonomi, apa lagi sejak masyarakat
mengenal uang. Dengan begitu, hubungan produsen - konsumen semakin terjalin
melalui proses distribusi barang dan jasa, baik inter maupun antar kelompok terkait.
Ketiga, berbeda dengan petani tradisional, petani dan peternak modern justru
memproduksi sesuatu dengan tujuan utama untuk menyuplai kebutuhan pasar. Profil
petani/peternak seperti ini tidak lagi mengandalkan tenaga mereka untuk menggerakkan
usahanya, melainkan mereka menggunakan modal yang dimiliki, tenaga buruh untuk
memaksimalkan produksi. Sementara kebutuhan subsistensi mereka diperoleh dengan
membeli segala sesuatu dari pihak produsen melalui jasa pihak distributor terkait.
Dengan kata lain, dalam tahap perkembangan ini, proses produksi, distribusi, dan
konsumsi sarat dengan hal-hal bersifat profit.

d. Anekaragam Distibusi
Uraian pada poin c di atas, secara implisit mengisyaratkan proses distribusi
barang dari pihak produsen ke konsumen, berlangsung melalui berbagai macam cara,
89

yang terpendting diantaranya adalah: tukar menukar sosial; reciprocitas; tukar menukar
ekonomi; dan redistribusi kekayaan. Berikut ini akan dijelaskan implementasi masing-
masing konsep tersebut dalam kaitan dengan perkebangan peradaban manusia.
Tukar Menukar (Sosial) diduga merupakan mekanisme distribusi barang dan
jasa yang paling tua dalam sejarah perkembangan umat manusia. Dalam masyarakat
bersahaja pun tukar menukar seperti ini sudah lazim dilakukan oleh berbagai eleman
masyarakat, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebab tidak satupun
manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya secara mandiri, didorong oleh kenyataan
demikian hidup dan tumbuhlah tukar menukar soiial. Pola tukar-menukar seperti itu
tidak hanya dikenal dalam masyarakat bersahaja dan kuno, tetapi dalam masyarakat
modern prinsip itu masih berlangsung dengan modifikasi dalam beberapa aspeknya.
Selajutnya, reciprositas (hubungan timbal balik). Konsep ini juga menjadi
landasan berlangsungnya distribusi barang dari pihak produsen ke pihak konsumen,
sehingga barang yang dihasilkan pihak lain bisa beredar di kalangan konsumen
(pemakai). Mirip dengan tukar menukar sosial, reciproritas juga dilandasi oleh
kesurelaan pihak terkait, tanpa maksud untuk meraih keuntungan dari proses tersebut.
Pertukaran barang melalui reciprocitas itu biasanya tidak berlangsung pada momen
yang sama (seperti jual beli), melain tukar menukar itu terjadi pada momen berbeda.
Melalui hubungan timbal balik yang dilandasai kesukarelaan itu, terjadilah peredaran
barang secara luas dengan harapan untuk membangun kebersamaan dan solidaritas
dalam suatu masyarakat dan/ atau antara individu-individu yang berasal dari masyarakat
berbeda. Pemahaman konsep ini akan semakin mendalam jika dikaitkan dengan konsep
the gift (pemberian) yang diperkenalkan Marcell Mauss. The Gift juga amat besar
kontribusinya bagi terbinanya hubungan timbal balik antar pihak-pihak terkait, sehingga
integrasi masyarakat akan semakin kuat.
Selain tukar menukar sosial dan reciprositas sebagaimana yang telah disinggung
di atas, para ahli menduga sejak manusia mengenal hidup menetap, manusia sudah
mulai mengembangkan tukar menukar ekonomi. Pertukaran tersebut diawali dari pola
yang bersifat sederhana, yakni melalui sistem yang kemudian lebih dikenal dengan
barter. Manusia pra sejarah yang hidup dalam kelompok-kelompok di kawasan terentu,
telah mulai menghasilkan untuk kebutuhan sufficience mereka dengan memanfaatkan
tanah dengan jenis dan tingkat kesuburan berbeda-beda. Beranjak dari keterbatasan
demikian, tidak mungkin bagi suatu kelompok untuk memproduksi sendiri kebutuhan
mereka, sehingga mereka harus membangun hubungan dengan kelompok lain yang
menghasilkan sesuatu yang mereka perlukan itu. Dalam konteks masyarakat sederhana,
terjadilah transaksi ekonomi yang paling elementer, yaitu pertukaran barang dengan
barang (barter). Dalam perkembangannya kemudian, mekanisme perturana ekonomi
90

yang amat sederhana itu makin disempurnakan dari waktu ke waktu, baik berkaitan
dengan proses produksi, mekanisme, dan alat yang digunakan dalam proses pertukaran.
Setelah menggunakan alat yang diberlakukan sebagai alat tukar dan logam mulia,
akhirnya kelompok tertentu menemukan uang sebagai alat tukar. Berbeda dengan
barter yang memiliki berbagai keterbatasan, penggunaan uang sebagai alat tukar
memiliki banyak kelebihan dan memberikan keuntungan. Dengan demikian, mucullah
perdagangan sebagai salah satu mekanisme penting dalam proses distribusi barang dari
produsen ke pihak konsumen.
Terakhir, redistribusi kekayaan. Tukar menukar sosial, reciprositas, dan tukar
menukar ekonomi di atas, terjadilah ikatan antara individu dan kelompok, inter dan
antar kelompok, terutama berkaitan dengan barang dan jasa sebgai wahananya. Sejalan
dengan itu, secara implisit juga terjadi distribusi kekayaan di dalam kelompok dan/ atau
antar kelompok yang terimplementasikan dalam bentuk distribusi barang dan jasa di
kalangan pihak terkait. Bukan hanya itu, dalam banyak kasus disribusi kekayaan itu
tidak hanya berhenti pada dua pihak, melainkan ia akan beredar lebih jauh dalam
bentuk distribusi kekayaan dalam skop yang lebih luas. Realitas demikian, merupakan
salah satu daya dorong bagi terwujudnya dinamika ekonomi masyarakat yang semakin
kompleks, apalagi di era kontemporer ini.

2. Rangkuman
Dalam kapasitasnya sebagai homo economicus, untuk memenuhi kebutuhan
materialnya manusia memanfaatkan akal budinya dalam mengelola “sumber daya
ekonomi” guna mendapatkan material surplus dari aktifitas yang dijalankannya.
Setelah terjebak dengan pola berburu dan meramu selama jutaan tahun, akhirnya pada
penghujung zaman mesolitikum manusia mulai menunjukkan kemampuan untuk
mengolah alam (bercocok tanam dan memelihara binatang). Kemudian kedua cara
pemenuhan kebutuhan ekonomi itu berhasil mereka kembangkan, baik dari segi
peralatan yang digunakan maupun orientasnya.
Sumber daya ekonomi yang diolah manusia dalam upaya memperbaiki kualitas
ekonominya, pada hakikatnya mencakup: sumber daya alam (SDA); dan sumber daya
manusia (SDM) yang bisa memberikan manfaat/ keuntungan (benefit). Sumber daya
ekonomi itu sering juga dipahami sebagai sebuah bentuk sumber daya konsumen.
Dalam konteks ini, setidaknya sumber daya ekonomi dapat dikelompokkan menjadi: (1)
sumber daya alam, yaitu semua sumber/ kekuatan yang berasal dari alam; (2) sumber
daya manusia, yaitu segala potensi manusia yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan
produksi; (3) sumber daya modal, yakni segala sesuatu yang bisa dijadikan modal
untuk proses produksi; (4) sumber daya kewirausahaan, yaitu segala potensi yang
91

berkaitan dengan sikap, prilaku, etos kerja, dan semangat untuk menggerakkan sebuah
usaha/ kegiatan ekonomi yang menguntungkan. Penguasaan sumber daya ekonomi oleh
seseorang maupun sekelompok orang akan berkorelasi dengan pendapatan dan
kekayaan yang bersangkutan.
Mengingat kemampuan manusia tidak sama dan kebutuhan mereka juga
beragam, sementara sumber daya ekonomi yang mereka miliki juga berbeda, maka
otomatis manusia tidak bisa mengasilkan semua kebutuhannya. Dihadapkan pada
kenyataan itu, dalam batas tertentu ada manusia yang menjadi produsen kebutuhan
tertentu, dan di pihak lain ada pula yang menjadi konsumen. Lalu untuk menjaga
ketimpangan dan mendapatkan nilai tambah dalam hubungan produsen dan konsumen
itu, maka kegiatan distribusi menjadi hal yang sangat krusial.
Interelasi yang konstruktif di antara produsen, konsumen, dan distributor akan
memberikan nilai tambah bagi semua eleman masyarakat terkait, sekaligus juga
mencerminkan dinamika ekonomi suatu masyarakat. Distribusi barang dari produsen
ke pihak konsumen itu berlangsung melalui berbagai macam cara dan yang terpenting
di antaranya adalah: pertukaran (sosial), reciprocitas, the gift, dan barter, dan tukar
menukar ekonomi (jual-beli dengan menggunakan uang sebagai alat tukar).

D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman
Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Tukar-menukar di Masyarakat
Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Mansur, M. Yahya. et al. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta:
Pustaka Grafika
Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers
Myron Weiner, ed., 1984. Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gama
Press.
Sajogyo, Ny Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: IKIPJkt–BKKBN.
Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.

***
92

Kegiatan Belajar 10 - 11

PERKEMBANGAN PERKAWINAN, KELUARGA,


DAN RUMAH TANGGA

A. Learning Outcome:
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
menjelaskan hakikat, konsekuensi dan perkembangan perkawinan dalam kaitannya
dengan keluarga, dan rumah tangga.

B. Materi Pokok

Perkawinan, Keluarga, dan Rumah tangga:


(1) Perkawinan: Telaahan Konseptual
(2) Dinamika dan Evolusi Perkawinan
(3) Tabu dan Pematasan Jodoh dalam Perkawinan
(4) Syarat-syarat Perkawinan (Bride price, Bride Service, Bride Exchange)
(5) Adat Menetap Setelah Kawin
(6) Rumah Tangga
(7) Keluarga (Konjungal dan Konsanguin)

(8) Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi

a. Perkawinan: Telaahan Konseptual


Perkawinan merupakan suatu institusi sosial yang sangat penting dalam realitas
sosial hampir semua masyarakat di muka bumi ini. Semua masyarakat, komunitas, dan
kelompok sosial menilai perkawinan sebagai sesuatu hal yang sangat esensial dalam
kehidupan manusia yang beradab. Perkawinan bukan hanya berfungsi untuk mengatur
hubungan biologis antara insan yang berlainan jenis, melainkan ia sarat dengan muatan
nilai-nilai sosial dan budaya yang dijunjung tinggi masyarakat terkait. Pokok pikiran ini
relevan dengan pendapat para ahli, yang mengungkapkan fungsi perkawinan sebagai
berikut: pengatur reproduksi; fungsi sosialisasi; afeksi; penentuan status; perlindungan;
dan fungsi ekonomi, Bertolak dari alur fikir dan fungsi perkawinan di atas, dapat
ditegaskan bahwa perkawinan merupakan suatu institusi sosial yang amat strategis
93

dalam pengaturan pergaulan antar individu berlainan jenis, dan juga dalam penataan
hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
Untuk memahami hakikat perkawinan itu, menarik untuk mencari jawaban
terhadap pertanyaan pokok: apakah yang dimaksud dengan perkawinan? Para ahli dari
berbagai latar belakang disiplin ilmu dan profesi, cenderung merumuskan konsep
perkawinan sesuai dengan latar belakang keilmuan, keyakinan keagamaan dan sosio-
kultural yang bersangkutan. Antropolog, sosiolog, pakar hukum, rohaniawan, dan
budayawan misalnya, ketika mendefinisikan perkawinan, maka rumusan masing-
masing cenderung berbeda satu dengan lainnya.
Walaupun demikian, dari berbagai rumusan yang amat beragam itu pada
hakikatnya untuk kepentingan ilmu-ilmu sosial dapat dibuat rumusan yang relatif
netral, tanpa meniadakan eksistensi rumusan lainnya. Rumusan dimaksud adalah
sebagai berikut: “perkawinan merupakan hubungan yang permanen antara laki-laki dan
perempuan berdasarkan adat istiadat (sistem norma) tertentu, serta diakui sah oleh
masyarakat.” Coba bandingkan batasan ini dengan konsep perkawinan dalam Undang-
undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia: rumusannya pasti berbeda, tetapi
substansi perkawinan dalam undang-undang itu tetap terakomodasi di dalam rumusan di
atas. Substansi perkewinan dimaksud adalah: (1) ikatan yang bersifat permanen antara
laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk membina rumah tangga. Maksudnya
hubungan itu tidak terikat oleh jangka waktu tertentu (kontrak), dan jika perlu hanya
maut yang membatasi ikatan dimaksud; (2) hubungan itu harus antara laki-laki dan
perempuan, dalam artian bukan hubungan antar individu sejenis (homo seksual,
lesbian); (3) hubungan itu harus dibangun di atas sistem adat-istiadat atau norma
tertentu yang didukung dan diyakini pihak terkait; dan (4) hubungan tersebut harus
mendapat pengakuan dari masyarakat di mana mereka hidup dan bertempat tinggal.
Resepsi pernikahan pada hakikatnya adalah wahana yang paling strategis untuk
mendapatkan legitimasi/ pengakuan dari warga masyarakat terkait.
Apabila keempat hal di atas terpenuhi, maka barulah terjadi perkawinan antar
insan berlainan jenis. Sebaliknya, jika salah satu dari empat persyaratan itu tidak
terpenuhi, maka hubungan keduanya tidak bisa disebut sebagai perkawinan. Apa bila
terjadi hubungan antara laki-laki dan perempuan seperti disebut terakhir, maka ia akan
dikategorikan sebagai penyimpangan dalam perkawinan. Di era kontemporer ini,
dikenal beraneka ragam penyimpangan tersebut, seperti: ‘kumpul kebo,’ kawin piaraan,
samenleven, key-mariage, sek bebas, dan penyimpangan seksual lainnya. Bahkan ada
pula penyimpangan itu yang diklaim sebagai suatu keyakinan keagamaan tertentu,
seperti Children of God, Kawin Kontrak, ‘Zakat Badan,’ dan lain-lain sejenisnya.
94

b. Dinamika dan Evolusi Perkawinan


Dilihat dari perspektif sejarah, perkawinan itu sudah mengalami perjalanan
panjang dalam perkembangan peradaban umat manusia. Ia bermula dari hubungan
biologis tanpa ikatan yang jelas antar laki-laki dan perempuan, kemudian sampai pada
hubungan yang tegas berlandaskan ketentuan hukum formal. Dengan kata lain, ia
berkembang dari tingkat yang paling sederhana sampai ke tingkat kompleks, tegas, dan
didasarkan pada ketentuan perundang-undang resmi (formal).
Dilihat dari perspektif teori evolusi, perkembangan perkawinan antara lain bisa
dirujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Bachofen dan Morgan. Menurut kedua
tokoh ini perkembangan perkawinan berlangsung melalui tahap-tahap berikut. Pertama,
promescited/ promiscuity (berasal dari terminologi Latin: promes + cust) yang berarti
‘kawin campur aduk.’ Maksudnya hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan
tanpa dilandasi oleh ikatan yang jelas dan sifatnya tidak permanen. Menurut Bachofen
dan juga Morgan, fenomena serupa sudah mulai sejak makhluk manusia (homo sapiens)
itu muncul di muka bumi ini. Pola hubungan seperti itu berlangsung sangat lama
(hampir dua jutaan tahun), yakni dari zaman Paleolitikum sampai penghujung zaman
Mesolitikum. Dengan kata lain, fenomena itu berlangsung selama manusia hidup secara
nomaden, mirip dengan hidup sekawanan binatang. Kemudian pada penghujung
Mesolitikum (kurang lebih 10.000 tahun yang lalu), barulah manusia mengenal hidup
menetap. Sejak itu, kelompok-kelompok yang terbentuk secara bertahap dalam kurun
waktu berbeda mulai mengenal hubungan biologis yang dilandasi ikatan perkawinan,
namun sifatnya masih amat sederhana.
Kedua, ‘Kawin Kelompok.’ Terma ini dipernelkan oleh Morgan, menurutnya
dalam ‘kawin kelompok’ sudah ada ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan. Dia sebut sebagai kawin kelompok, karena ikatan perkawinan
yang dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis itu, memiliki konsekuensi
hubungan biologis yang melibatkan sejumlah individu dari masing-masing pihak di luar
inces. Artinya, seorang laki-laki (A) yang melaksanakan ikatan perkawinan dengan
perempuan (B), diperbolehkan melakukan hubungan biologis dengan isterinya, saudara-
saudara perempuan dan keponakan-keponakan perempuan dari si B (isterinya).
Sebaliknya si B (isteri si A) juga boleh melakukan hubungan biologis dengan A,
saudara-saudara laki-laki dan keponakan laki-laki dari suaminya. Walaupun demikian,
hubungan biologis dengan orang tua dan mertua kedua belah pihak dilarang atau sudah
dianggap tabu ketika itu. Menurut Morgan kawin kelompok itu disbut dengan
“Panalua” dalam masyarakat bersahaja di Hawaii.
Ketiga, ‘Matriarchaad dengan poligami’ (baca: poliandri). Yang dimaksud
oleh Bachofen dan Morgan dengan “matriarchaad dengan poligami” itu adalah seorang
95

perempuan boleh bersuami lebih dari satu dalam rentang waktu yang sama. Dengan
begitu, dalam konteks kekinian konsep tersebut amat keliru, sebab matri berarti ibu
(perempuan) dan archaad (archy) adalah ibu. Jadi matriarchaat mengandung arti
kekuasaan berada di tangan ibu (perempuan). Pada hal yang dimaksud adalah seorang
perempuan dibenarkan bersuami lebih dari satu, dan konsep yang tepat untuk fenomena
demikian adalah “poliandri.” Menurut Bachofen dan Morgan, sistem perkawinan ini
diduga dibolehkan pada periode awal manusia mengenal “hidup menetap.” Alasannya,
pada saat itu manusia belum bisa memenuhi kebutuhan dasar (sufficiently) mereka dari
lingkungan tempat tinggalnya, melainkan mereka harus meramu dan berburu ke luar
lingkungan tempat tinggal mereka untuk beberapa hari. Dihadapkan pada kenyataan
demikian, maka seorang perempuan diperbolehkan bersuami lebih dari satu: sementara
suami ke- (1, 2, dan 3) pergi mencari makanan dan/ atau berburu misalnya, maka suami
ke (4, 5, dan 6) bisa mengawasi isteri dan anak-anak di sekitar goa tempat tinggal
mereka. Kemudian pada tahap berikutnya kelompok suami yang lain pula yang pergi
berburu dan meramu. Di Indonesia fenomena ini dianggap asing dan aneh, tetapi pada
beberapa kelompok etnik di Mongolia, Asia Tengah dan di India poliandri hingga kini
masih diperbolehkan. Sebagai ilustrasi dapat dinikmati tayangan AN TV (2014) dalam
kisah Mahabrata, di mana Draupadi bersuamikan 5 orang Padawa (Pandawa Lima).
Keempat, ‘Patriarchaad dengan poligami’ (baca: poligini). Bachofen dan
Morgan menyatakan dalam ‘Patriarchaad dengan poligami’ seorang laki-laki boleh
beristeri lebih dari satu. Kalau begitu konsep yang tepat untuk fenomena ini adalah
poligini, bukan kekuasaan berada di tangan bapak (laki-laki). Poligini dikenal pada
hampir semua kelompok etnik di Indonesia, bahkan elit tradisional cenderung
menerapkan sistem ini. Bahkan bukan hanya kelompok elit, melaikna tidak sedikit
kalangan orang kebanyakan (massa) juga menjalankan paktek poligini.
Kelima, Monogami (perkawinan tunggal). Menurut Bachofen dan Morgan,
monogami merupakan puncak dari evolusi perkawinan. Yang dimaksud dengan
monogamy adalah: seorang laki-laki hanya boleh beristeri satu orang dalam suatu
rentang waktu; dan sebaliknya seorang perempuan hanya boleh bersuamikan satu orang
laki-laki. Kebanyakan warga masyarakat di berbagai belahan dunia menganut azas
perkawinan monogam di era modern ini. Bahkan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, prinsipnya menganut azas monogami.
Dikatakan demikian, karena seorang laki-laki (PNS/ ABRI) hanya boleh kawin lebih
dari satu, kalau mendapat izin dari istrinya yang pertama. Dalam keadaan normal dan
tanpa mengalami penyakit yang kronis, hampir tidak mungkin bagi seorang perempuan
memberi izin suaminya untuk menikah lagi (kedua dan seterusnya). Begitu juga dalam
Islam, seorang suami boleh menikahi perempuan sampai empat orang dengan syarat dia
96

yakin akan mampu berlaku adil. Ini tentu berlawanan dengan falsafah alam seperti
termaktup dalam ungkapan tradisional Minangkabau: condong mato ka nan rancak,
condong salero ka nan lamak. Dalam konteks demikian, keadilan itu adalah suatu yang
riskan untuk diwujudkan.
Kembali pada poin keempat dan kelima di atas, di dalamnya ada dua konsep
penting, yaitu: poliandri; dan, poligini. Kedua konsep itulah yang disebut dengan
istilah poligami. Maksunya, seorang perempuan dan/ atau laki-laki boleh kawin dengan
beberapa orang dalam rentang waktu tertentu. Apabila seorang perempuan dan/ atau
laki-laki sudah kawin dan kemudian mereka bercerai, selanjutnya yang bersangkutan
kawin kembali, ini tidak termasuk ke dalam poligami. Tegasnya, poligami mengandung
arti ‘kawin jamak’ yang dilakukan seseorang dalam suatu rentang waktu tertentu.

c. Tabu dan Pembatasan Jodoh dalam Perkawinan


Setiap kelompok etnik yang tersebar di berbagai penjuru bumi ini, memiliki
konsepsi tentang tabu (sumbang, incest) dalam perkawinan. Oleh karena itu, dalam
setiap masyarakat dikenal konsep pembatasan jodoh dalam perkawinan. Hampir semua
masyarakat di dunia ini melarang kawin sedarah. Orang tua (ayah dan/ ibu) dilarang
kawin dengan anak-anaknya, dan kawin dengan saudara kandung. Bahkan dalam
kebanyakan masyarakat (terutama penganut Islam) juga ada larangan kawinan dengan
saudara sepersusuannya. Jika ada orang yang melakukan hubungan biologis dengan
pihak-pihak yang dilarang itu, maka ia dianggap melakukan incest.
Selain beberapa larangan di atas, setiap masyarakat/ kelompok etnik memiliki
pembatasan-pembatasan tersendiri tentang pemilihan jodoh. Di dalam masyarakat yang
menganut azas exogamy dalam perkawinan, maka seseorang dilarang mencari pasangan
dalam kelompoknya. Orang Minang dan Batak, merupakan dua kelompok etnik yang
menganut azas exogamy, sehingga sesorang harus mencari pasangan ke luar
kelompoknya. Hanya saja ada terminologi berbeda dalam kedua kelompok etnik itu:
Etnik Minang yang menaganut azas “eksogami suku,” maka ia dilarang mengawini
orang yang suku dengannya, misalnya seorang dari suku Caniago harus mencari
pasangan hidupnya ke dalam suku Koto, Piliang, Bodi, Sikumbang ataupun suku-suku
lainnya di luar Caniago. Di pihak lain, orang Batak yang menganut azas “eksogami
marga,” maka dia dilarang kawin dengan orang yang semarga dengannya. Contoh
seorang pemuda marga Siregar tabu kawin dengan gadis dari marga Siregar, tetapi dia
bisa mencari jodohnya dari marga Nasution, Hasibuan, Simanjuntak, dst.
Sementara itu, di kalangan masyarakat yang menganut azas endogamy, maka dia
dilarang mencari pasangan dari luar kelompokknya. Sama dengan exogamy di atas,
endogamy pun sifatnya relatif. Oleh karena itu konsep endogami ini pun harus
97

diberikan pembatasan yang tegas, misalnya: endogami kasta, endogami desa, endogami
nagari (di Minangkabau). Dalam masyarakat Hindu Bali sebagaimana masyarakat
India, seseorang harus mencari pasangan dalam kasta yang sama, dan tabu mencari
pasangan di luar kastanya (apalagi dari kasta yang lebih rendah).
Bertolak dari uraian di atas, orang Minang yang sangat dikenal berazaskan
Eksogami, tetapi pada hakikatnya mereka juga penganut Endogami. Oleh karena itu
konsep yang lebih tepat bagi orang Minang adalah: penganut azas “Eksogami Suku dan
Endogami Nagari.” Maksudnya, seseorang pemuda harus mencari pasangan untuk
dikawini ke luar sukunya, tetapi kalau dapat harus dari nagari yang sama. Di beberapa
nagari di Minangkabau, seorang pemuda yang mencari pasangan di luar nagari-nya
akan dikenakan denda adat, yaitu membayar “uang lompek paga” dan/ atau “uang
lompek banda”. Denda itu dibayarkan oleh niniak mamak (kepala sukunya yang
biasanya bergelar Dt., akronim dari Datuak ……) dalam sebuah jamuan adat yang
dihadiri oleh para niniak mamak di nagari bersangkutan. Setelah denda dibayarkan,
barulah sang niniak mamak akan dianggap selevel dengan para niniak mamak lainnya,
seperti diungkapkan: duduak samo randah, tagak samo tinggi dengan para niniak
mamak (penghulu) lainnya. Mengapa dia harus membayar denda secara adat?
Jawabannya relatif sederhana, yaitu: anak kemenakan sang niniak mamak itu telah
melanggar tabu/ sumbang dalam perkawinan.
Selain tabu yang sudah ditelusuri di atas, pada tataran etnik/ lokal tertentu juga
dikenal berbagai macam yang dianggap tabu atau sumbang. Misalnya pada beberapa
masyarakat etnik, tabu mengawini seseorang yang tidak jelas ayah/ bapaknya, di
samping ada pula kelompok sosial tertentu yang menganggap tabu kawin dengan orang
dari status sosial yang lebih rendah.

d. Persyaratan Perkawinan (Bride price, Bride Service, Bride Exchange)


Uraian di seputar pembatasan perkawinan di atas, mengisyaratkan bahwa
perkawinan itu bukan hanya menyangkut hubungan kedua insan yang berinisiatif untuk
kawin, melainkan memiliki konsekuensi sosial budaya yang mendalam. Setiap
masyarakat memiliki “persyaratan perkawinan” (jangan dipahami syarat-syarat yang
harus dipenuhi seseorang untuk kawin) tertentu. Dari persyaratan perkawinan yang
amat beragam pada berbagai kelompok etnik di dunia, pada prinsipnya dapat
disederhanakan ke dalam tiga kategori pokok berikut: Bride-price; Bride-service: dan,
Bride-exchange. Di bawah ini akan diuraikan secara ringkas substansi dari masing-
masing konsep itu secara simultan.
Pertama, Bride-price (mas kawin). Mas kawin adalah “sejumlah harta yang
diberikan oleh pemuda kepada pihak si ganis dan/ atau keluarganya sebagai persyaratan
98

untuk kawin.” Mekanisme pemberian mas kawin itu juga berbeda-beda pada tiap
masyarakat: ada yang mengharuskan pemberian itu sebelum pelaksanaan perkawinan;
sementara dalam kebanyakan masyarakat pemebrian itu dilaksanakan pasca perkawinan
(ritual pernikahan). Jadi konsep ini harus dibedakan secara tajam dengan “mahar”
(dalam Islam), sebab mahar mengandung makna: “serahan wajib yang harus diberikan
oleh si pemuda kepada calon isterinya (sesuai dengan permintaan si perempuan)
sebagai syarat sahnya perkawinan antar kedua insan.” Secara umum budaya dari hampir
semua kelompok etnik di berbagai penjuru bumi ini mensyaratkan mas kawin itu
sebagai pemberian dari pemuda terhadap calon istri dan atau keluarganya sebagai
persyaratan perkawinan. Namun pada segelintir etnik/ sub etnik, pemberian tersebut
dilakukan oleh si gadis kepada calon suami dan/ atau keluarganya. Apa dan bagaimana
pun prosedurnya, mas kawin itu merupakan persyaratan perkawinan paling esensial
dalam adat/ kebudayaan hampir semua kelompok etnik.
Kedua, Bride-service (penyerahan tenaga). Konsep ini mengandung arti: “untuk
melamar/ mengawini seorang gadis, sang pemuda harus bekerja pada keluarga pihak
perempuan.” Para ahli menduga tradisi ini tumbuh dalam masyarakat tradisional, karena
ada anggapan pada kebanyakan etnik, bahwa setiap orang merupakan aset penting
sebuah keluarga. Lalu ketika seorang gadis dikawini oleh seorang pemuda, maka si
perempuan akan tercabut dari keluarganya, dan masuk menjadi anggota keluarga
suaminya (terutama pada adat menetap patrilokal dan virilokal). Oleh sebab itu, sebagai
penggantinya seorang laki-laki disyaratkan bekerja pada keluarga pihak perempuan
ketika ia berniat menyunting si gadis. Lalu ‘penyerahan tenaga’ oleh pemuda terkait
dapat dilakukan sebelum dan/ atau setelah pelaksanaan perkawinan.
Ketiga, Bride-exchange (pertukaran gadis). Bride-exchange: suatu kewajiban
yang dibebankan kepada seorang pemuda yang bermaksud melamar seorang gadis
untuk menyediakan gadis dari kerabatnya yang bersedia menikah dengan pemuda dari
pihak keluarga calon isterinya. Dari mekanisme seperti itu, terlihat bahwa perkawinan
tersebut mengandung makna sebagai pertukaran gadis antar keluarga dari yang terlibat
dalam suatu ikatan perkawinan. Adat semacam ini sangat terbatas pendukungnya,
antara lain ditemukan dalam bebera kelompok suku di Irian, Melanesia, orang Aborigin
(Australia) dan pada segelintir suku di Afrika dan Amerika Latin.
Hal lain yang perlu disinggung di sini adalah prosedur yang harus dilakukan
oleh dua pihak yang bermaksud untuk melakukan hubungan perkawinan. Berkaitan
dengan hal ini, setiap masyarakat memiliki aturan/adat-istiadat yang berbeda-beda pula.
Bahkan pihak mana yang harus mengambil inisiatif terlebih dahulu juga berbeda
ketentuan adatnya: masyarakat tertentu mengharuskan inisiatif datang dari pihak laki-
laki; sementara yang lain harus dari pihak pihak perempuan terlebih dahulu. Manapun
99

adat yang dipakai, secara umum proses yang lazim dilakukan adalah sebagai berikut:
penjajakan; peminangan; penetapan jadwal perkawinan; upacara perkawinan; dan upara
adat saling mengunjungi antar kedua kerabat setelah perkawinan.

e. Adat Menetap Setelah Kawin

Setelah menempuh serangkaian aktifitas yang panjang di sekitar perkawinan


mulai dari pemilihan jodoh, pinang-meminang, pernikahan, resepsi perkawinan dan
berbagai upacara yang mengitarinya, lalu pasangan pengantin baru itu akan berurusan
dengan adat menetap setelah kawin. Di dalam kajian budaya, dikenal bermacam-
macam adat menetap (tempat pasangan baru itu bermukim/ bertempat tinggal) sesudah
kawain. Agar jangan keliru dalam memahami konsep ini, terlebih dahulu perlu
ditegaskan bahwa “adat” dalam artian kelaziman yang dilakukan oleh mayoritas
anggota masyarakat setempat. Di sini tidak termasuk realitas yang bersifat kasuistik,
yakni praktek yang dilakukan oleh pasangan tertentu di luar adat yang dijunjung tinggi
oleh masyarakat setempat.
Dari beraneka ragam adat menetap sesudah kawin itu, dan yang terpenting di
antaranya adalah: matrilokal, uxorilokal, patrilokal, virilokal, bilokal, utrolokal,
natalokal, dan neo-lokal. Berikut ini akan ditelusuri esensi dari masing-masing adat
menetap setelah kawin itu satu persatu secara simultan:
Pertama, matrilokal. Konsep ini mengandung arti bahwa pasangan penganten
baru menetap di rumah orang tua perempuan pihak perempuan (isteri). Adat menetap
seperti ini sangat lazim ditemukan dalam masyarakat tradisional Minangkabau, di mana
pasangan suami istri yang baru menikah tinggal di rumah orang tua sang isteri untuk
beberapa lama, terutama selama pasangan itu belum mampu membangun rumah sendiri.
Namun hal itu juga bisa berkelanjutan, terutama jika tercipta kerukunan dan saling
menghargai antara pasangan baru itu dengan orang tua dan saudara-saudara sang isteri.
Kedua, uxorilokal, yaitu adat menetap setelah kawin, di mana pasangan
penganten baru itu tinggal di sekitar rumah orang tua pihak isteri. Fenomena ini juga
lazim ditemukan dalam masyarakat Minang tradisional. Dalam kaitan ini pasangan
penganten baru itu tinggal di rumah tersendiri di sekitar rumah orang tua sang isteri:
rumah baru itu bisa dibangun oleh orang tua sang isteri sebelum ia menikah; dan bisa
juga dibangun oleh pasangan baru itu segera setelah mereka menikah. Ditemukannya
banyak perkempungan yang berbasis suku di beberapa nagari Minangkabau, diduga
erat kaitannya dengan berlangsungnya adat uxori-lokal di masa lalu, seperti Kampueng
Sikumbang, Kampueng Tanjung, Kampung Caniago, dan seterusnya. Areal
pemukiman seperti ini biasanya disebut oleh para peneliti sosial-budaya Minangkabau
dengan campound.
100

Ketiga, patrilokal. Konsep ini mengandung makna, pasangan penganten baru


menetap/bertempat tinggal di rumah orang tua laki-laki sang suami. Dalam konteks ini
sang isteri tinggal di rumah mertua yang notabene merupakan rumah orang tua laki-laki
suaminya. Contoh, adat menetap seperti ini dianut oleh etnik Batak, khususnya pada
masyarakat tradisional setempat. Hal itu terjadi ketika masyarakat belum begitu padat,
dan hubungan antara anak/menantu dan orang tua suami, serta saudara-saudaranya tetep
terjalin baik, konstruktif, dan akomodatif.
Keempat, virilokal. Konsep ini mirip dengan uxori-lokal, tetapi pasangan
penganten baru tinggal (menetap) di sekitar rumah orang tua laki-laki pihak suami.
Adat seperti ini ditemukan dalam berbagai masyarakat tradisional Batak, Bugis,
Ambon, dan sebagainya.
Kelima, bilokal. Maksudnya penganten baru tinggal secara bergantian: pada
rentang waktu tertentu tinggal di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak suami;
kemudian pada rentang waktu yang lain mereka harus tinggal di rumah/ di sekitar
rumah orang tua pihak perempuan (isteri). Pola itu berlangsung sampai habis masa
‘penganten baru’ sebagai mana yang diadatkan oleh masyarakat setempat.
Keenam, utrolokal. Pasangan penganten baru bebas menentukan tempat
menetap setelah kawin: pasangan itu boleh tinggal di rumah/ di sekitar rumah orang tua
pihak suami dan/ atau pihak isteri. Namun ketika mereka memilih untuk tinggal di
rumah atau di sekitar rumah orang tua pihak suami misalnya, maka hak-hak mereka di
keluarga isteri dalam batas-batas tertentu akan hilang. Demikian juga sebaliknya. Adat
menetap seperti itu, antara lain ditemukan dalam beberap sub-etnik Dayak di
Kalimantan.
Ketujuh, natalokal. Konsep ini dianggap aneh/ asing oleh banyak masyarakat di
dunia, tetapi ia dijalankan masyarakat tradisional dari sub-etnik Indian Amerika, dan
juga etnik tertentu di laut Fasifik. Yang dimaksud dengan nata lokal adalah pasangan
penganten baru tinggal di rumah orang tua masing-masing untuk beberapa lama, sampai
saatnya dilakukan upacara untuk menentukan rumah tangga yang akan mereka jalani.
Dalam rentang waktu demikian, pasangan penganten baru itu bertemu ditempat-tempat
tertentu untuk beberapa saat yang bisa dimanfaatkan kedua penganten. Namun setelah
pertemuan tersebut, suami dan istri itu kembali ke rumah orang tua masing-masing.
Kemudian dalam upacara mengakhiri masa hidup terpisah antar pasangan itu, maka
orang tua kedua pihak membekali anak mereka dengan berbagai peralatan yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam membangun rumah tangga baru.
Setelah itu, barulah pasangan suami isteri tersebut tinggal bersama dalam suatu rumah.
Kedelapan, neo-lokal. Konsep ini mengandung arti, bahwa pasangan penganten
baru tinggal di rumah baru, di luar rumah atau lingkungan orang tua pihak laki-laki
101

maupun perempuan. Adat menetap seperti ini lazim ditemukan dalam masyarakat
perkotaan, terutama di negara-negara maju. Namun dalam batas-batas tertentu pola
tersebut sudah mulai menjalar pengaruhnya ke kota-kota besar di luar Eropah dan
Amerika, terutama di kalangan pasangan dengan latar belakang ekonomi kuat. Hanya
saja fenomena tersebut belum dapat dikategorikan sebagai adat menetap setelah kawin
dalam hampir semua kelompok etnik di Indonesia, mengingat keberlakuannya hanya
terbatas pada individu dari kalangan profesional dan/ atau pasangan yang berlatar
belakang ekonomi menengah ke atas..

f. Rumah Tangga
Rumah tangga (household) merupakan unit sosial yang terbentuk sebagai
konsekuensi dari sebuah perkawinan. Dikatakan demikian, karena dua insan yang
terikat oleh hubungan perkawinan itu akan hidup bersama di suatu rumah. Jika
pasangan itu sudah berhasil membentuk unit sosial yang mencerminkan suatu kesatuan
ekonomi yang berdiri sendiri, berarti terbentuklah rumah tangga baru. Dengan begitu,
rumah tangga sebagai suatu konsep dapat diartiakan sebagai unit sosial yang
mencerminkan suatu kesatuan ekonomi yang berdiri sendiri. Di dalam banyak
kelompok etnik, kesatuan tersebut ditandai dengan “dapur.” Jadi konsep rumah tangga
tidak bisa disamakan dengan keluarga inti atau pun rumah sebagai tempat tinggal
pasangan dimaksud.
Dalam banyak kasus di Indonesia, apalagi pada masyarakat tradisional berbagai
kelompok etnik di tanah air (kecuali dalam era modern ini), pasangan penganten baru
biasanya menumpang di rumah orang tuanya untuk beberapa lama. Oleh karena itu
pada suatu rumah, misalnya rumah gadang di Minangkabau bisa saja ditempati oleh
dua keluarga inti atau lebih: keluarga inti senior; dan keluarga inti junior. Selama
keluarga inti junior itu belum membetuk sebuah unit ekonomi sendiri yang terpisah dari
keluarga inti senior, maka ia tidak bisa dianggap sebagai rumah tangga. Lain halnya
ketika keluarga inti yunior itu membentuk ‘dapur’ (baca: unit ekonomi tersendiri),
meskipun secara fisik dapurnya sama, maka berarti pasangan baru itu telah membentuk
“rumah tangga” tersendiri. Dengan kata lain, rumah tangga dapat diartikan sebagai
suatu kesatuan ekonomi (dapur) dari sebuah keluarga inti/ nuclear family (ayah, ibu,
dan anak-anaknya yang belum kawin).

g. Keluarga (Konjungal dan Konsanguin)


Keluarga pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam dua kategori pokok, yaitu:
Keluarga Konjungan; dan, Keluarga Konsanguin. Keluarga konjunggal biasanya
terbentuk dari sistem perkawinan monogami. Dalam antropologi, keluarga konjungan
102

sering disebut dengan istilah nuclear family (keluarga inti, keluarga batih). Secara
konseptual, Keluarga Konjungal dapat diartikan sebagai kesatuan sosial terkecil yang
terbentuk dari perkawinan monogami dengan anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan
anak-anaknya.
Di pihak lain, Keluarga Konsanguin dalam studi antropologi lebih dikenal
dengan extended family (keluarga luas, bukan keluarga besar). Extended family selalu
terbentuk dari beberapa keluarga batih yang memiliki ikatan/ hubungan yang erat satu
dengan lainnya. Selain itu dalam kelompok etnik tertentu, keluarga luas juga dipahami
sebagai keluarga inti minus suami dan/atau isteri sesuai dengan sistem kekerabatan
yang dianut masyarakat setempat, misalnya kesatuan sosial dalam bentuk suku di
Minangkabau atau pun marga di Batak.
Di pihak lain, di kalangan etnik-etnik tertentu, keluarga luas juga dihubungkan
dengan tempat tinggal (menetap) dari beberapa keluarga batih terkait. Dalam
hubungan ini keluarga luas dapat dibedakan menjadi: (1) keluarga luas utrolokal,
yakni suatu keluarga yang terdiri dari keluarga inti senior ditambah dengan beberapa
keluarga batih dari anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun perempuan; (2)
keluarga luas virilokal, yaitu keluarga yang dibangun di atas adat virilokal dengan
anggotanya satu keluarga inti senior ditambah dengan keluarga-keluarga batih dari
anak lelakinya; dan (3) keluarga luas uxorilokal yang terbentuk berdasarkan adat
uxorilokal dengan keanggotaanya terdiri dari satu keluarga inti senior ditambah dengan
beberapa keluarga batih dari anak-anak perempuannya. Contoh dalam masyarakat
Minang, di sebuah rumah gadang atau di lingkungan rumah gadang tertentu tinggal
beberapa keluarga inti dari keturunan yang sama. Kesatuan hidup yang disebut
terakhir ini melahirkan konsep campound. Para peneliti sosio-kultur Minangkabau
cenderung sependapat: perkampungan tradisional yang berazaskan ikatan darah
(lineal) seperti Kampueng Koto, Kampueng Piliang, Kampueng Bodi, Kampung
Caniago, Kampueng Melayu, Kampung Tanjung, dsj itu, tidak lain adalah kesatuan
sosial yang terbentuk dari adat uxorilokal dimaksud.
Uraian ringkas di atas, setidaknya menggiring kita pada dua rumusan konseptual
dari keluarga luas sebagai berikut. Pertama, keluarga luas merupakan kesatuan sosial
yang terbentuk dari perkawinan dan/ atau ikatan tempat tinggal di mana para
anggotanya memiliki hubungan yang erat. Kedua, keluarga luas adalah kesatuan sosial
yang berbasiskan ikatan kekerabatan yang erat, di mana para anggotanya ‘meyakini’
bahwa mereka berasal dari satu nenek dan/ atau kakek yang sama. Kedua batasan ini
sekaligus mengisyaratkan, bahwa Keluarga Luas (extended family) memang tidak bisa
disamakan dengan istilah Keluarga Besar sebagai lawan dari Keluarga Kecil yang
dipopulerkan oleh BKKBN sejak beberapa tahun terakhir ini.
103

1. Rangkuman
Perkawinan merupakan suatu institusi sosial yang sangat penting dalam realitas
sosial semua masyarakat di muka bumi ini. Perkawinan bukan hanya berfungsi untuk
mengatur hubungan biologis antara insan yang berlainan jenis, melainkan ia sarat
dengan muatan nilai-nilai sosial dan budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat
terkait.
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, perkawinan dapat dipahami sebagai
“hubungan yang permanen antara laki-laki dan perempuan berdasarkan adat istiadat/
sistem norma tertentu, serta diakui sah oleh masyarakat.” Kaum evolusionis
berkeyakinan bahwa perkawinan itu sudah mengalami proses panjang: bermula dari
hubungan biologis tanpa ikatan yang jelas berkembang menjadi hubungan yang tegas
berlandaskan adat/ketentuan hukum yang tegas. Menurut Bachofen dan Morgan.
perkawinan berkembang melalui tahap-tahap berikut: (1) Promescited (promiscuity);
(2) ‘Kawin Kelompok’; (3) Matriarchaad dengan poligami (baca: poliandri); (4)
Patriarchaad dengan poligami (baca: poligini); dan (5) Monogami (perkawinan
tunggal). Poliandri dan poligini itu dalam antropologi lebih dikenal dengan poligamy.
Setiap kelompok etnik memiliki konsepsi tentang tabu (sumbang, incest) dalam
perkawinan, sehingga muncul pembatasan jodoh dalam perkawinan. Hampir semua
masyarakat di dunia ini melarang kawin sedarah (antara ayah dan/ ibu dengan anak-
anaknya, saudara kandung), bahkan ada larangan kawinan dengan saudara sepersusuan.
Selain itu setiap kelompok etnik juga memiliki pembatasan tersendiri dalam pemilihan
jodoh. Dalam masyarakat yang menganut azas exogamy, seseorang dilarang mencari
pasangan dalam kelompoknya. Sebaliknya pada masyarakat yang menganut azas
endogamy, seseorang dilarang mencari pasangan dari luar kelompokknya.
Perkawinan pada prinsipnya bukan hanya urusan dua insan yang berinisiatif
untuk kawin, melainkan mencakup urusan adat dan budaya suatu masyarakat. Setiap
masyarakat memiliki “persyaratan perkawinan” tertentu. Pada hakikatnya persyaratan
perkawinan itu dapat disederhanakan ke dalam tiga kategori: Bride-price (mas kawin);
Bride-service (penyerahan tenaga); dan, Bride-exchange (pertukaran perempuan).
Selain ketiga persyaratan pokok itu, setiap masyarakat juga menetapkan persyaratan
perkawinan lainnya sesuai adat setempat.
Setelah menempuh serangkaian aktifitas yang panjang di sekitar perkawinan
mulai dari pemilihan jodoh, pinang-meminang, pernikahan, resepsi perkawinan dan
berbagai upacara yang mengitarinya, lalu pasangan pengantin baru itu akan berurusan
dengan adat menetap setelah kawin. Di dalam kajian budaya, dikenal bermacam-
macam adat menetap (tempat pasangan baru itu bermukim/ bertempat tinggal) sesudah
kawain. Dari beraneka ragam “adat menetap sesudah kawin” yang dianut berbagai
104

masyarakat dari latar belakang kebudayaan berbeda, dapat disederhana sebagai berikut:
(1) matrilokal: pasangan penganten baru tinggal di rumah orang tua perempuan isteri;
(2) uxor lokal: pasangan pengenten baru tinggal di sekitar rumah orang tua perempuan
isteri; (3) patrilokal: pasangan penganten baru tinggal di rumah orang tua laki-laki sang
suami; (4) virilokal: pasangan pengenten baru tinggal di sekitar rumah orang tua laki-
laki sang suami; (5) bilokal: penganten baru tinggal secara bergantian (pada rentang
waktu tertentu tinggal di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak suami; kemudian
pada rentang waktu yang lain mereka tinggal di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak
perempuan); (6) utrolokal: pasangan penganten baru bebas memilih tempat menetap:
di rumah/ di sekitar rumah orang tua pihak suami ataukah pihak isteri; (7) natalokal:
pasangan penganten baru tinggal di rumah orang tua masing-masing untuk beberapa
lama, sampai saat upacara penentuan rumah tangga yang akan mereka jalani; dan, (8)
neo-lokal: pasangan penganten baru tinggal di rumah baru, di luar lingkungan rumah
orang tua pihak laki-laki maupun perempuan.
Setelah melakukan perkawinan dan menjalankan adat menetap setelah kawin,
maka terbukalah peluang terhadap pembentukan rumah tangga (household) yang
merupakan konsekuensi logis dari sebuah perkawinan. Dikatakan demikian, karena dua
insan yang terikat oleh hubungan perkawinan itu akan hidup bersama di suatu rumah.
Jika pasangan itu sudah membentuk unit sosial yang mencerminkan suatu kesatuan
ekonomi yang berdiri sendiri, berarti terbentuklah rumah tangga baru.
Mengingat perkawinan itu sarat dengan muatan sosial dan budaya, maka pada
gilirannya ia melahirkan konsep keluarga. Keluarga pada hakikatnya dapat dibedakan
kepada: Keluarga Konjungan; dan, Keluarga Konsanguin. Keluarga Konjunggal
biasanya terbentuk dari sistem perkawinan monogami. Dalam antropologi, keluarga
konjungal sering disebut dengan nuclear family (keluarga inti, keluarga batih). Secara
konseptual, Keluarga Konjungal dapat diartikan sebagai kesatuan sosial terkecil yang
terbentuk dari perkawinan monogami dengan anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan
anak-anaknya. Di pihak lain, Keluarga Konsanguin dalam studi antropologi lebih
dikenal dengan extended family (keluarga luas). Extended family selalu terbentuk dari
beberapa keluarga batih yang memiliki ikatan/ hubungan yang erat satu dengan lainnya.
Selain itu keluarga luas juga dipahami sebagai keluarga inti minus suami dan/atau isteri
sesuai dengan sistem kekerabatan yang dianut masyarakat setempat.

D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.
105

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat


Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
------------------. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga.
Kuper, Adam. 1996. Pokok dan Tokoh Antropologi (Terj.). Jakarta: Bhratara
Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta
Mansur, M. Yahya. et al. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta:
Pustaka Grafika
Sumartana, Th., et.al. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Dian
Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
Kartodirdjo, Sartono, ed. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:
LP3ES.

***
106

Kegiatan Belajar 12

KELOMPOK KETURUNAN, SISTEM ISTILAH KEKERABATAN,


DAN SOPAN SANTUN PERGAULAN KEKERABATAN

A. Learning Outcome:
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
menjelaskan konsep kelompok keturunan dengan segala bentuknya, sistem istilah
kekeraban, dan sopan santun pergaulan kekerabatan.

B. Materi Pokok
Kelompok Keturunan dan Esensi Kekerabatan:
(1) Batasan Konseptual: Kelompok Keturunan, Kekerabatan, dan Sopan Santun
Pergaulan Kekerabatan
(2) Prinsip-prinsip Keturunan
(3) Sistem Istilah Kekerabatan: Term of Adress; dan Term of Reference.
(4) Sopan Santun Pergaulan Kekerabatan

C. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi
a. Batasan Konseptual
Semua masyarakat pada hakikatnya mengenal unit sosial yang sepadan dengan
konsep kelompok keturunan, kekerabatan, dan sopan santun pergaulan kekerabatan.
Hanya saja setiap kelompok cenderung memahaminya secara berbeda dalam batas
ruang dan rentang waktu tertentu. Selain itu terminologi kelompok keturunan dan
kekerabatan dalam masyarakat tertentu dipahami sebagai hal yang sama, dalam arti
keduanya tidak dibedakan denga tegas. Bagaimanapun secara biologis, seseorang dapat
menyebut kerabatnya meliputi semua orang yang memiliki hubungan darah (genes)
dengannya. Sementara terminologi genes/ lineal adalah terma kunci dalam konsep
keturunan.
107

Bertolak pada ilustrasi di atas, berikut ini akan dikemukakan pengertian pokok
yang lebih praktis dari konsep kelompok keturunan dan kekerabatan. Secara sederhana
kelompok keturunan dapat diartikan sebagai unit sosial yang anggotanya terdiri dari
orang-orang yang memiliki hubungan darah yang jelas/ tegas, baik yang diperhitungkan
berdasarkan darah ibu dan/ atau darah ayah. Sementara kelompok kekerabatan adalah
unit sosial yang jangkauannya lebih luas daripada kelompok keturunan. Kelompok
kekerabatan itu dapat diartikan sebagai kesatuan sosial yang terbentuk dari hubungan
perkawinan, di mana para anggotanya terdiri dari orang-orang memiliki hubungan
daerah atau orang-orang yang mengaku mereka berasal dari satu keturunan, ditambah
dengan kerabat ayah dan ibunya. Minangkabau dengan sistem matrilineal-nya: yang
dianggap kerabat adalah sekumpulan orang yang memiliki hubungan darah, ditambah
orang-orang yang ‘diyakini’ berasal dari nenek yang sama (sepersukuan). Bahkan
karib-kerabat (keluarga matrilineal) ayah pun masih dikelompokkan sebagai kerabat.
Selanjutnya dalam konteks hubungan kelompok keturunan dan kekerabatan,
dikenal pula adat sopan santun pergaulan kekerabatan (kinship behavior). Yang
dimaksud dengan konsep ini adalah aturan tentang bagaimana sesorang harus bersikap
atau berprilaku, dan bertutur-kata bila berhubungan dengan kerabat tertentu, dan
bagaimana pula jika mengahadapi kerabat lainnya yang menempati posisi berbeda.
Seseorang anggota kerabat harus menunjukkan sikap, tindakan, dan cara berkomunikasi
berbeda bila ia berhadapan dengan: pamannya, saudara-saudaranya yang sejenis, kakak/
adiknya yang berlainan jenis, keponakan laki-laki, keponakan perempuannya, kerabat
yang hubungan darahnya sangat dekat, kerabat yang hubungan darahnya sudah relatif
jauh, dan seterusnya.

b. Prinsip-prinsip Keturunan
Batas kekerabatan sosiologis seseorang (individu) dalam konteks kehidupan
bermasyarakat umumnya mengacu pada keseluruhan kaum “kerabat biologisnya,”
sementara diluar itu dianggap bukan kerabat. Namun termilogi dari kerabat biologis itu
sendiri tidak jelas batas-batasnya, sehingga setiap orang bisa memberi arti dan makna
berbeda-beda. Oleh karena itu, konsepsi tersebut perlu dijernihkan agar mudah untuk
dipahami.
Batasan kerabat sosiologis di atas dalam kerangka kehidupan bermasyarakat,
pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam tiga kategori. Pertama, batas kesadaran
kekerabatan (kinship awerenes). Konsep ini mengandung arti, kesadaran orang akan
batas-batas kekerabatan (siapa saja yang dianggap kerabat dan siapa pula yang bukan
kerabat) amat bervasiasi antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Kaum
bangsawan (termasuk priayi) Jawa misalnya, memiliki kesadaran kekerabatan yang
108

lebih luas dibandingkan dengan ‘orang kebanyakan’ (massa) di pedesaan Jawa. Contoh
lain, secara kultural etnik Sunda memiliki kesadaran kekerabatan yang jauh lebih luas
daripada orang Minang dalam kurun waktu yang sama. Kedua, batas pergaulan
kekerabatan (kinship affiliations). Masyarakat atau kelompok etnik tertentu ada yang
memiliki pergaulan kekerabatan yang cukup luas, terutama karena pengetahuan
kekerabatan mereka memang relatif tinggi. Sementara yang lainnya cukup terbatas
pergaulan kekerabatannya. Kaum priayi Jawa misalnya memiliki pengetahuan dan
pergaulan kekerabatan yang amat luas, misalnya mencapai 9 angkatan ke atas dan 9 ke
samping. Sementara kelompok tertentu dalam etnik lain, hanya memiliki pergaulan
kekerabatan tiga angkatan ke atas dan tiga ke samping. Ketiga, batas hubungan-
hubungan kekerabatan (kinship relations). Konsep ini mengandung makna batas dari
hubungan pergaulan kekerabatan yang mengindikasi-kan hak-hak dan kewajiban
tertentu. Batas hubungan kekerabatan ini cenderung juga beragam antar masyarakat dari
latar belakang kebudayaan berbeda.
Batas-batas hubungan kekerabatan di atas, pada hakikatnya juga ditentukan oleh
prinsip-prinsip keturunan (principle of descent). Prinsip-prinsip keturunan itu sekaligus
mempunyai fungsi kekerabatan, apalagi dalam kelompok-kelompok kekerabatan yang
bersifat lineal atau ancestor oriented. Dari sudut pandang seperti itu, setidaknya prinsip
keturunan dapat dibedakan kepada empat kategori. Pertama, prinsip patrilineal
(patrilineal descent); yakni penghitungan hubungan kekerabatan hanya melalui lineal
laki-laki saja. Bagi setiap individu dalam masyarakat yang menganut prinsip ini, semua
kerabat ayahnya dikelompokkan sebagai kerabatnya. Sementara semua kerabat ibunya
dikategorikan sebagai yang bukan kerabatnya. Kedua, prinsip matrilineal (matrilineal
descent) yakni penghitungan hubungan kekerabatan melalui ‘darah’ ibu (perempuan)
saja, sementara kerabat ayah tidak dianggap sebagai kerabatnya; Ketiga, prinsip
bilineal (bilineal descent) yaitu penghitungan hubungan kekerabatan berdasarkan: ayah
saja untuk beberapa hak dan kewajiban tertentu; dan berdasarkan darah ibu untuk
beberapa hak dan kewajiban yang lainnya. Sebagai sebuah ilustrasi misalnya pada etnik
Umbundu di Anggola, yaitu masyarakat peternak yang hidup di padang rumbut yang
subur. Etnik ini menjunjung tinggi hubungan kekerabatan yang unik: anak
mendapatkan sejumlah hak dan kewajiban dalam beternak dari kerabat ayah; sementara
dari kerabat ibunya dia mendapat hak-hak dan kewajiban dalam bertani. Keempat,
prinsip bilateral (bilateral discent), yaitu prinsip keturanan yang menghitung hubungan
kekerabatan melalui dua lineal: kali-laki (ayah) dan sekaligus juga perempuan (ibu).
Bilateral tersebut pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam empat prinsip
pokok, yakni: ambilineal; konsentris; promogenitur; dan prinsip ultimogenetur. Berikut
akan ditelusuri esensi masing-masing prinsip itu secara simulatan: (1) prinsip
109

ambilineal, penghitungan hubungan kekerabatan dalam sebuah masyarakat: melalui


darah ayah oleh sub-kultur tertentu, dan berdasarkan darah ibu untuk sub-kultur lain
dalam masyarakat yang sama; (2) prinsip konsentris, penghitungan hubungan
kekerabatan yang terkonsentrasi pada sejumlah angkatan tertentu; (3) prinsip
promogenitur, pengitungan hubungan kekerabatan melalui ayah dan ibu, khususnya
untuk keturunan (anak) sulung saja; dan (4) prinsip ultimogenetur, pengitungan
hubungan kekerabatan melalui ayah dan ibu, tetapi hanya untuk yang termuda saja.

c. Sistem Istilah Kekerabatan: Term of Adress; dan Term of Reference


Setiap masyarakat memiliki sistem istilah kekerabatan (sistem of kinship
terminology), khususnya berkaitan dengan terminologi yang digunakan untuk menyebut
dan menyapa kaum kerabat. Sebagian ahli antropologi budaya berependirian sistem
istilah kekerabatan itu menunjukkan kedekatan seseorang dengan kerabatnya yang lain
dalam posisi tertentu. Bahkan cara menyebut dan menyapa itu diduga juga ada
kaitannya dengan hak dan kewajiban seseorang dalam konteks hubungan kerabat
dimaksud.
Dilihat dari sudut penggunaan istilah kekerabatan, setiap masyarakat cenderung
memiliki terminologinya sendiri. Namun di balik keberagaman itu sesungguhnya
sistem istilah kekerabatan itu dapat dibedakan ke dalam dua terma pokok. Pertama,
istilah menyapa (term of address). Istilah ini dipakai oleh “ego” untuk memanggil
kerabat tertentu bila dia berhadapan secara langsung dengan yang bersangkutan. Istilah
dimaksud esensinya dapat dikelimpokkan: (1) sama untuk sejumlah kerabat dalam
tataran tertentu, seperti yang dicontohkan Morgan pada masyarakat Indian Iroquois
yang menggunakan istilah “Hanih” untuk menyapa bapak, saudara laki-laki bapak, dan
saudara laki-laki ibu; (2) menggunakan istilah berbeda untuk kerabat dalam posisi yang
dicontohkan di atas seperti pada masyarakat Amerika yang menggunakan terminologi:
father untuk bapak, uncle untuk saudara laki-laki bapak dan saudara laki-laki ibu; dan
(3) menggunakan modifikasi istilah untuk anggota kerabat seperti di atas, seperti pada
masyarakat Minang: istilah bapak (pak, abak) untuk untuk menyapa ayah; pakwo untuk
saudara laki-laki bapak yang lebih tua, dan pak etek untuk yang lebih muda; serta mak
dang untuk saudara laki-laki ibu yang lebih tua, dan mak etek untuk yang lebih muda.
Kedua, istilah menyebut (term of reference). Istilah menyebut diartikan sebagai
terminologi yang dipakai ‘ego” ketika ia berhadapan dengan orang lain tentang
kebatanya dalam kapasitasnya sebagai orang ketiga. Contoh, sebutan orang tua untuk
merujuk ayah dan/ atau pun ibunya; mamak untuk menyebutkan saudara laki-laki ibu,
baik saudara kandung maupun “keluarga luas” di Minangkabau.
110

Dalam menganalisis sistem-sistem istilah kekerabatan itu ada beberapa prinsip


yang ditemukan dalam semua bahasa, namun setiap bahasa tidak memiliki pemahaman
yang sama terhadap penting istilah dimaksud. Prinsip dimaksud menyangkut hal-hal
berikut: (1) angkatan; (2) pencabangan keturunan; (3) umur; (4) jenis kelamin (sex)
dari para kerabat; (5) sex/ jenis kelamin dari para kerabat yang menghubungkan; (6)
jenis kelamin dari sang pembicara; (7) perbedaan antar kerabat: lineal ataupun kerabat
karena perkawinan; (8) keadaan kerabat yang mengubungkan, apakah masih hidup
ataupun sudah maninggal; serta (9) polarisasi (kelompok umur dari kerabat
penghubung). Hampir semua etnik mengenal ke-9 istilah kekerabatan sebagaimana
dikelompokkan di atas, tetapi setiap etnik memiliki pemahaman yang berbeda
terhadapnya: suatu etnik memandang penting terminologi tertentu, sementara etnik lain
mengabaikan istilah yang sama.

d. Sopan Santun Pergaulan Kekerabatan


Hubungan antar individu dalam sistem kekerabatan tiap-tiap kelompok etnik
pada hakikatnya dibangun di atas adat sopan santun pergaulan (kinship behavior) yang
berlaku dan dijunjung tinggi masyarakat terkait. Adat sopan santun pergaulan
kekerabatan itulah yang menentukan bagai mana sesorang harus bersikap, berbicara,
dan bertingkah laku dalam berhadapan dengan anggota kerabatnya yang menempati
status dan peran yang berbeda-beda. Tegasnya kinship behavior itu mengatur “ego”
harus berprilaku atau bersikap terhadap: ibu dan bapaknya, saudara-saudara laki-laki
ataupun saudara perempuannya, saudara sepupunya, isterinya, saudara laki-laki dan/
atau saudara perempuan isterinya (baik dalam kapasitas sebagai kakak ataupun adik
iparnya), mertuanya (baik laki-laki maupun perempuan), dsj. Artinya sesorang tidak
bisa berinteraksi/ berkomunikasi dengan kerabat sesuka hatinya, melainkan ia harus
mengacu pada adat sopan santun yang dijunjung tinggi masyarakatnya.
Dalam banyak masyarakat di dunia, adat sopan santun pergaulan kekerabatan itu
menuntun semua eksponen kerabat untuk bersikap terhadap anggota lainnya. Secara
ekstrim sikap dan prilaku tersebut dapat dibedakan menjadi: amat hormat kepada
kerabat tertentu di satu sisi; dan, sikap bebas di sisi lainnya. Sikap pertama melahirkan
apa yang disebut dengan sikap “sungkan,” dan kedua membuahkan sikap “bergurau”
pada ujung ekstrim yang lain. Lalu di antara dua ujung ekstrim tersebut, bermunculan
prilaku dan sikap yang amat variatif sebagaimana dikembangkan oleh masing-masing
masyarakat. Artinya, sesorang akan menunjukkan sikap dan prilaku sungkan bila
berhadapan dengan anggota kerabat tertentu, tetapi terhadap kerabatnya yang lain ia
bisa menunjukkan sikap bergurau.
111

Berbeda dengan kebanyakan kelompok etnik di Indonesia, pada beberapa


kelompok etnik di Afrika dan Australia terdapat sikap sungkan yang berlebihan dari ego
terhadap kerabat tertentu, sehingga melahirkan pantangan memandang muka dan
pantangan berbicara secara langsung. Contoh pada orang Zulu di Afrika Selatan, ada
larangan bagi menantu berpapasan dengan mertuanya di jalan. Oleh sebab ketika
seorang menantu melihat mertuanya dijalan yang berlawanan arah dengannya, maka
buru-buru sang menantu harus mencari tempat sembunyi agar dia tidak berpapasan
dengan mertuanya di jalan. Kalau berpapasan, maka mereka akan mendapat sanksi
karena telah melanggar pantangan dalam masyarakatnya. Selain itu, pada masyarakat
Arunta di Australia menantu pantang berbicara secara langsung dengan mertuanya.
Jika hal itu dilanggar, bukan hanya yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi,
melainkan diyakini segenap anggota masyarakat akan ditimpa musibah).
Kedua contoh ekstrim di atas, jelas kontradiktif dengan adat sopan santun
pergaulan kekerabatan pada masyarakat etnik di Indonesia: seorang menantu yang
bersembunyi agar tidak berpapasan dengan sang mertua ataupun tidak mau berbicara
secara langsung dengan mertuanya, justeru dianggap prilaku yang tidak terpuji. Namun
di Indonesia, tetap dikenal sikap sungkan menantu kepada mertuanya. Hal itu biasanya
diekspresikan melalui sikap berbicara dan pilihan kausa kata yang lebih sopan. Bukan
hanya menantu, melainkan mertua juga harus menunjukkan prilaku dan sikap tertentu
kepada menantunya. Pada masyarakat Minang misalnya, bila mertua tidak menyetujui
prilaku menantunya yang sering terlambat bangun pagi, maka mertua akan memilih
kata-kata sindiran (kata malereng). Contoh, sambil membersihkan/ merapikan ruang
tengah: mertua berkata, kuciang ko lalok ka lalok sajo karajonya, ndak tahu hari lah
ampia tangah hari (kucing ini tidur saja kerjanya, tidak tahu bahwa hari sudah hampir
tengah hari).
Di pihak lain, dengan anggota kerabat tertentu sesorang bisa bersikap bebas,
bahkan dalam batas-batas tertentu juga dapat mengeluarkan kata-kata kasar dan ‘kotor.’
Misalnya ego membicarakan kasus perkosaan yang terjadi di tempat tertentu kepada
keponakan bapaknya, maka ia bisa menceritakan kasus itu secara fulgar dan kadang-
kadang juga bernuansa “jorok’ (kotor). Lalu pilihan sikap dan kausa katanya akan
berbeda sama sekali, ketika ia menceritakan kasus itu kepada ibu/ bapaknya;
mertuanya; saudara laki-laki/ perempuannya; iparnya; dan lain-lain sebagainya.
Bertolak dari uraian di atas, sebagai seorang yang belajar antropologi sosial
budaya, kita harus arif memahami adat sopan santun pergaulan kekerabatan itu sesuai
dengan konteks masyarakat yang dihadapi. Dalam konteks ini sesorang akan keliru
kalau menggunakan pespektif etik (referensi yang dia miliki), melainkan harus
menyelami realitas masyarakat setempat (dalam arti menggunakan perspektif emik).
112

2. Rangkuman
Semua masyarakat pada hakikatnya mengenal unit sosial yang sepadan dengan
konsep kelompok keturunan, kekerabatan, dan sopan santun pergaulan kekerabatan.
Hanya saja terminologi yang dipakai cenderung berbeda-beda. Bahkan istilah kelompok
keturunan dan kekerabatan dalam masyarakat tertentu dipahami sebagai hal yang sama
oleh masyarakat tertentu. Hal itu bisa dipahami, mengingat secara biologis, seseorang
dapat menyebut kerabatnya meliputi semua orang yang memiliki hubungan darah
(genes) dengannya. Sementara terminologi genes/ lineal adalah terma kunci dalam
konsep keturunan.
Batas kekerabatan sosiologis seseorang dalam kehidupan bermasyarakat
umumnya mengacu pada keseluruhan kaum “kerabat biologisnya,” sementara diluar itu
dianggap bukan kerabat. Untuk menghindari kerancuan pemahaman, batasan
kekerabatan sosiologis itu bisa dibedakan ke dalam: (1) batas kesadaran kekerabatan
(kinship awerenes), yakni kesadaran orang akan batas-batas kekerabatan (siapa saja
yang dianggap kerabat dan siapa yang bukan); (2) batas pergaulan kekerabatan (kinship
affiliations), yaitu cakupan pergaulan kekerabatan dalam masyarakat tertentu yang
dipengruhi oleh pengetahuan dan kesadaran kekerabatan; (3) batas hubungan-hubungan
kekerabatan (kinship relations), yakni batas dari hubungan pergaulan kekerabatan yang
mengindikasikan hak-hak dan kewajiban tertentu.
Dalam kaitan dengan kekerabatan tersebut, setiap masyarakat memiliki sistem
istilah kekerabatan (sistem of kinship terminology), khususnya berkaitan dengan
terminologi yang digunakan untuk menyebut dan menyapa kaum kerabat. Istilah
menyapa (term of address), maksudnya adalah istilah yang dipakai oleh “ego” untuk
memanggil kerabat tertentu bila dia berhadapan secara langsung dengan yang
bersangkutan. Sementara istilah menyebut (term of reference) maksudnya adalah
istilah yang dipakai ‘ego” ketika ia berhadapan dengan orang lain untuk menyebut
kerabat tertentu dalam kapasitasnya sebagai orang ketiga.
Hubungan antar individu dalam sistem kekerabatan tiap-tiap kelompok etnik
pada hakikatnya dibangun di atas adat sopan santun pergaulan (kinship behavior) yang
berlaku dan dijunjung tinggi masyarakat terkait. Adat sopan santun pergaulan
kekerabatan itulah yang menentukan bagai mana sesorang harus bersikap, berbicara,
dan bertingkah laku dalam berhadapan dengan anggota kerabatnya yang menempati
status dan peran yang berbeda-beda. Adat sopan santun pergaulan kekerabatan itu
menuntun semua eksponen kerabat untuk bersikap terhadap anggota lainnya. Secara
ekstrim sikap dan prilaku tersebut dapat dibedakan ke dalam dua sisi yang ekstrim:
amat hormat (sungkan) kepada kerabat tertentu di satu sisi; dan, sikap bebas (bergurau)
113

di sisi lainnya. Di antara dua sisi ekstrim itu, terdapat sikap yang lebih moderat yang
bisa dipakai untuk kerabat dalam statusnya masing-masing.

D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat


Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
------------------. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga.
Kuper, Adam. 1996. Pokok dan Tokoh Antropologi (Terj.). Jakarta: Bhratara
Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta
Mansur, M. Yahya. et al. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta:
Pustaka Grafika
Sumartana, Th., et.al. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Dian
Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
Kartodirdjo, Sartono, ed. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:
LP3ES.

***
114

Kegiatan Belajar 13 - 15

8
KEANEKARAGAMAN DALAM MASAYARAKAT:
KONSEP DAN BENTUK KOMUNITAS KECIL, SERTA
DIFERENSI DAN STRATIFIKASI SOSIAL

A. Learning Outcome:
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk
menjelaskan konsep komunitas dan bentuk-bentuk komunitas kecil, solidaritas sosial,
diferensiasi dan stratifikasi dengan segala kosekuensinya

Materi Pokok
Keragaman Masyarakat: Diferensiasi, dan Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat:
(1) Batasan Konseptual
(2) Bentuk-bentuk Komunitas Kecil
(3) Solidaritas dalam Masyarakat Kecil
(4) Gotongroyong (Tolong menolong / kerjasama vs. Kerja bakti)
(5) Sistem dan Struktur Sosial
(6) Pengelompokan Sosial
(7) Kepemimpinan dan Kontrol Sosial
(8) Kategori Kepemimpinan dalam Masyarakat
(9) Dinamika dan Kontrol Sosial dalam Masyarakat:

B. Substansi Pembelajaran

1. Uraian Materi
a. Batasan Konseptual
Kesatuan hidup manusia, pada hakikatnya dapat diklasifikasi ke dalam beberapa
konsep penting, seperti bangsa, masyarakat, komunitas, kelompok sosial, organisasi
sosial, dan sebagainya. Topik ini hanya dibatasi pada komunitas dengan berbagai
persoalan yang terkait dengannya, seperti penegrtian, bentuk-bentuk komunitas kecil,
struktur sosialnya (stratifikasi dan diferensiasi), solidaritas dalam masyarakat kecil,
serta kepemimpinan dan pengendalian sosial. Untuk memudahkan dalam mendapatkan
persetujuan awal dan sekaligus untuk memudahkan dalam memahami uraian dan
interelasi antar berbagai eleman dalam topik ini, terlebih dahulu akan dipaparkan
115

batasan konseptual dari terminologi kunci terkait. Banyak sekali batasan konseptual
tentang terminologi di bawah ini yang dirumuskan para ahli, namun di sini hanya akan
dipilihkan batasan yang lebih netral dan dinilai mengakomodasi beraneka ragam
batasan yang dipublikasikan para perumusnya.
Pertama, Komunitas. Konsep ini mengandung arti sebagai suatu kesatuan hidup
manusia yang menempati wilayah tertentu, berinteraksi satu dengan lainnya secara
kontinu berdasarkan adat istiadat tertentu, serta memiliki rasa identitas komunitas.
Batasan ini mengandung arti, bahwa konsep komunitas mengandung empat elemen
pokok: (1) kesatuan hidup manusia yang mendiami wilayah yang tegas; (2) anggota
komunitas itu membangun interaksi secara kontiniu; (3) interaksi itu dibangun di atas
adat istiadat, nilai, dan norma tertentu; dan (4) memiliki identitas komunitas. Para ahli
tertentu, menekankan bahwa kesadaran wilayah dan identitas komunitas merupakan
teminologi kunci dari konsep Komunitas. Terakhir perlu ditegaskan di sini, jika salah
satu dari keempat persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka secara konseptual ia tidak
bisa dikatakan komunitas, meskipun unit itu menyebut dirinya sebagai komunitas.
Kedua, Stratifikasi Sosial. Secara sederhana, stratifikasi sosial dapat diartikan
sebagai pengelompokan seseorang dalam suatu struktur sosial secara bertingkat
(berlapis). Dengan kata lain, pengelompokkan ini mencerminkan urutan yang tegas,
misalnya dengan mengambil kubus sosial Pareto sebagai ilustrasi, struktur sosial paling
sederhana dimiliki suatu masyarakat dapat dibedakan kepada: elit pada lapisan atas;
dan massa menempati lapisan bawah. Kemudian lapisan elit dan massa itu dapat dibagi
lebih lanjut kepada tingkatan-tingkatan yang lebih kompleks berdasarkan kriteria
tertentu. Dalam realitas kehidupan masyarakat, kelompok elit itu jumlahnya relatif
sedikit, tetapi otoritas/ kewenangannya lebih luas. Sebaliknya massa merupakan
kelompok mayoritas dari segi jumlah, tetapi otoritas dan kewengannya sangat terbatas.
Ketiga, Diferensiasi Sosial. Dari berbagai batasan yang dirumuskan para ahli,
konsep diferensiasi sosial dapat disimpulakan sebagai pengelompokan sosial secara
horizontal. Artinya, pengelompokan individu dalam suatu struktur sosial tertentu secara
mendatar (dalam artian tidak mencerminkan tinggi rendahnya posisi seseorang dalam
suatu struktur sosial). Contoh pengelompokan warga masyarakat berdasarkan: etnis,
kebudayaan, dan agama/ keyakinan tertentu.
Keempat, Gotongroyong. Banyak batasan yang dirumuskan ahli terkait tentang
konsep ini. Namun dari berbagai definisi itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa Gotong
Royong adalah tolong menolong (kerja sama) antar individu dalam suatu masyarakat
yang dilandasi oleh kesukarelaan, tanpa mengharapkan pambrih (imbalan). Kata kunci
dari konsep ini adalah “tolong-menolong yang dilandasi oleh sikap kesukarelaan.”
Artinya juka tolong menolong (kerja sama) yang berlangsung didasarkan atas
116

keterpaksaan atau mengharapkan imbalan tertentu, maka secara konseptual ia tidak bisa
disebutkan sebagai Gotong Royong.
Kelima, Kepempinan. Konsep ini berakar pada terminologi pemimpin (leader),
dan secara antropologis ia bisa dipahami dari dua sisi: pertama, pemimpin dapat
dipahami sebagai suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh
seseorang/ suatu badan yang menenpati status yang lebih tinggi. Kedua, sebagai suatu
proses sosial, pemimpin meliputi segala kewenangan yang dapat dilakukan oleh
seseorang/ suatu badan dalam menggerakkan warga masyarakat untuk maksud-maksud
tertentu. Jadi konsep kepemimpinan sosial itu meliputi hak dan kewajiban, serta
otoritas seseorang/ suatu badan dalam menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya
berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan tertentu yang menjadi kewenangannya.
Keenam, Kontrol Sosial. Konsep ini mengandung makna: pengendalian yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas tertentu untuk menjaga tatanan
sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat. Pengendalian itu dinilai amat krusial
menginga, perbedaan kepentingan dan interes antar individu yang menjadi anggota
masyarakat bisa merusak tatanan sosial yang menjadi wadah integritas sosial. Oleh
karena itu perlu pengendalian (kontrol) dari pihak-pihak yang diberikan otoritas untuk
itu, sehingga tindakan (prilaku) yang bercorak deviant bisa diminimalisir dan kesatuan
sosial dalam masyarakat terkait bisa ditumbuhkembangkan.

b. Bentuk-bentuk Komunitas Kecil


Sebelum membahas bentuk-bentuk komunitas kecil, terlebih dahulu perlu
dilengkapi batasan konseptual di atas: tujuannya tidak lain adalah untuk menghindari
kesalahan pemahaman tentang terminologi yang sering dicampuradukkan dengan
konsep komunitas dalam bahasa popular atau bahasa sehari-hari. Diantara konsep
dimaksud adalah masyarakat. Secara definisional, konsep komunitas memang ada
kemiripan dengan masyarakat, tetapi bila dicermati dengan kritis, ternyata substansinya
amat berbeda. Di antara definisi masyarakat dimaksud adalah: kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi satu dengan lainnya secara continue berdasarkan adat istiadat tertentu,
serta terikat oleh identitas bersama. Jika definisi ini dibandingkan dengan konsep
komunitas yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat ditegaskan perbedaan pokok
keduanya sebagai berikut: kesatuan hidup dalam komunitas terkait dengan wilayah
yang tegas, sementara masyarakat tidak terikat dengan wilayah secara tegas; komunitas
diikat oleh identitas komunitas (sesuai dengan latar belakang dan skopnya masing-
masing), sementara masyarakat diikat oleh identitas bersama yang sifatnya lebih umum
dan abstrak, misalnya etnik, kebudayaan, dsb.
117

Kecuali kesatuan wilayah yang tegas dan identity community (kepribadian


komunitas), suatu komunitas juga bisa diberikan sifat tambahan sebagai berikut: (1)
komunitas kecil biasanya warganya masih saling mengenal satu dengan lain dan saling
bergaul secara lebih intensif; (2) antar sub-kelompok dalam komunitas kecil biasanya
tidak terjadi perbedaan yang menonjol; dan (3) erat kaitannya dengan kedua poin di
atas, dalam komunitas kecil pada umumnya warga setempat mampu menghayati seluk-
beluk lapangan kehidupan komunitasnya secara komprehensif dan mendalam.
Kembali ke sub-judul sesi ini, pada hakikatnya bentuk-bentuk komunitas kecil
dapat dipetakan mulai dari tingkat yang paling sederhana sampai ke tingkat yang lebih
komplek di era modern ini. Pertama, band (kelompok berburu) pada zaman pra
sejarah yang hidup berpindah-pindah, tetapi mereka sudah memiliki kesadaran wilayah.
Maksudnya mereka berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dalam batas-batas
wilayah tertentu. Dalam realitasnya, band itu bisa menempati suatu lokasi secara
berulang dalam cakupan wilayah yang mereka kuasai (tempati). Kelompok band-band
berburu semacam itu, hampir tidak ditemukan lagi pada abad ke-21 ini. Namun band
berburu dengan pola yang sudah agak lebih maju, hingga kini masih ditemukan dalam
ukuran yang amat terbatas, terutama di daerah-daerah pedaman dan terisolir.
Kedua, desa (village) yaitu: suatu kesatuan hidup dengan jumlah anggota relatif
kecil dan menetap pada wilayah tertentu. Diduga kesatuan hidup (village) seperti itu
sudah mulai dikenal sejak pergantian zaman mesolitikum ke neolitikum. Kemudian
dalam periode-periode selanjutnya, kesatuan hidup semacam itu telah mengalami
penyempurnaan sejalan dengan perkembangan pemikiran, budaya, dan kompleksitas
kehidupan manusia di berbagai tempat terkait. Jika dalam periode lebih awal, basis
ekonomi mereka lebih bertumpu pada sektor agraris, kini sudah melebar ke sektor lain,
misalnya kerajinan dan industri. Dengan kata lain, di abad modern ini sudah terbentuk
desa-esa (village) yang sudah relatif lebih maju dengan mata pencaharian pokok
warganya tidak semata-mata bertumbu pada sektor agraris. Bahkan dalam batas-batas
tertentu, desa bukan hanya dipahami sebagai kesatuan hidup manusia yang sudah
menetap, melainkan ia juga dipahami sebagai sebuah unit pemerintahan, seperti yang
dapat ditemukan pada beberapa kelompok etnik di Indonesia.
Ketiga, distrik (Kabupaten/ Kota) dan unit pemukiman yang lebih kecil yang
berada di bawahnya. Dengan syarat kesatuan sosial itu memiliki kesadaran dan cinta
wilayah, identitas komunitasnya cukup tegas, seperti Rukun Tetangga (RT), Rukun
Warga (RW), dan Kelurahan seperti terdapat dalam struktur birokrasi pemerintahan
Republik Indonesia, khususnya di kawasan perkotaan. Kesatuan hidup manusia mulai
dari tingkat RT sampai ke tingkat Kota, dapat dianggap sebagai komunitas karena
keempat persyaratan seperti tertuang dalam konsep komunitas bisa terpenuhi secara
118

kompleks. Dikatakan demikian, karena anggota kesatuan hidup dimaksud memiliki


ciri-ciri pokok berikut: kesatuan hidup yang memiliki wilayah yang jelas; beriteraksi
(baik secara langsung ataupun tidak langsung) secara kontiniu; memiliki adat istiadat/
sistem nilai/ norma yang mengikat para anggotanya; serta memiliki kecintaan terhadap
wilayah (community identity) sebagai wadah integrasi antar individu yang menjadi
warga dari komunitas terkait.
Di pihak lain, provinsi dan negara pada prinsipnya juga memiliki batas-batas
wilayah yang tegas, tetapi dalam kajian antropologi sosial budaya ia tidak lazim
dikategorikan sebagai komunitas, apalagi komunitas kecil. Hal itu terutama karena
kesadaran wilayah, rasa memiliki, serta identity comunity warganya relatif rendah.
Khusus dalam konteks kenegaraan, kesatuan hidup warga dalam batas-batas wilayah
tertentu lebih tepat (lazim) disebut sebagai bangsa daripada sebagai kumunitas.

c. Solidaritas dalam Masyarakat Kecil


Pada kesatuan hidup manusia yang berbentuk komunitas di mana pun di
permukaan bumi ini, terdapat rasa saling tolong menolong (solidaritas) yang mengingat
mereka satu dengan lainnya. Dalam terminologi Indonesia, sikap demikian lebih
dikenal dengan istilah gotong royong (khusus tentang hal ini akan dibahas secara
khusus dalam sub-judul di bawah ini). Solidaritas tersebut terwujud bukan hanya karena
adanya sikap “altruisme” (rasa ingin mengabdi terhadap sesama), tetapi juga karena ada
kesadaran dan kenyataan saling membutuhkan yang terdapat dalam jiwa warga suatu
komunitas. Hal ini tentu merupakan konsekuensi logis dari keberadaan manusia
sebagai mkhluk sosial (homo socius).
Berkaitan dengan pokok pikiran di atas, Malinowski memperkenalkan principle
of reciprocity (prinsip timbal balik). Dalam penelitiannya tentang Kula di Trobrian, dia
menemukan: sistem tukar-menukar kewajiban maupun benda yang dibangun di atas
principle of reciprocity dalam berbagai lapangan kehidupan (baik pertukaran tenaga dan
benda dalam lapangan produksi/ ekonomi; pertukaran harta mas kawin antar keluarga
kedua pihak terkait, maupun pertukaran wajib dalam ritual keagamaan) merupakan
daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat setempat. Ilustrasi serupa masih tetap
relevan untuk memahami relitas “prinsip timbal balik” dalam berbagai aspek kehidupan
yang terjadi pada masyarakat lain, meskipun di era modern ini sekalipun.
Prinsip seperti dikemukakan di atas akan lebih mudah untuk dipahami bila
dikaitkan dengan konsep “pertukaran sosial” dengan segala konsekuensinya sebagai
mana dikemukakan oleh Homans, dan/ atau konsep the Gift (pemberian) yang
diperkenalkan oleh Marcell Mauss. Lebih jauh Mauss menyatakan: pada prinsipnya
tidak ada pemberian yang bersifat cuma-cuma; setiap pemberian pasti mengharapkan
119

pemeberian kembali. Orang yang pernah mendapatkan pemberian biasanya akan


mengusahakan “pemberian kembali”-nya itu lebih tinggi nilai (manna)-nya, setidaknya
sama dengan yang pernah diperolehnya. Melalui mekanisme semacam itu, tentu ikatan
dan solidaritas dalam suatu komunitas khususnya atau masyarakat luas terkait umunya
akan semakin terbangun. Sementara individu-individu yang keluar dan mengabaikan
prinsip di atas, cenderung akan mendapat sangsi sosial, bahkan bisa disisihkan dalam
pergaulan kelompok dimasud.
Selain itu, dalam batas-batas tertentu tukar-menukar dalam bidang ekonomi juga
tidak bisa diabaikan dalam memberikan daya pengikat dan daya dorong suatu kelompok
sosial (komunitas ataupun masyarakat). Berbeda dengan prinsinsip timbal balik, tukar
menukar sosial, dan the gift, tukar menukar ekonomi justru lebih berkonotasi untuk
mendapatkan profit. Di lihat dari segi waktunya, tukar menukar ekonomi pun
berlangsung pada momen yang sama: barang/jasa diperoleh; lalu imabalan (tukarannya)
diserahkan secara langsung. Sementara dalam the gift yang sarat dengan prinsip tukar
menukar sosial: pemberian dan pemberian kembali dilakukan pada momen berbeda.
Bila dilakukan pada momen yang sama, pada kebanyakan komunitas/ masyarakat
dianggap tidak etis, bahkan bisa melukai perasaan sang pemberi. Bertolak dari pokok
pikiran di atas dan kenyataan bahwa manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya
sendiri, maka tukar menukar secara ekonomi dapat dimasukkan sebagai salah satu
aspek yang memiliki kontribusi penting dalam membangun solidaritas masyarakat, baik
pada tataran komunitas kecil maupun dalam masyarakat dalam artian yang lebih luas.

d. Gotong royong (Tolong menolong / kerjasama vs. Kerja bakti)


Solidaritas dalam masyarakat dapat berwujud sebagai gotong royong (dalam
artian tolong menolong yang didasarkan atas azas kesukarelaan) seperti telah ditegaskan
batasannya pada poin a topik ini. Pada “komunitas kecil” gotong royong itu dapat
terimplementasi dalam: (1) tolong menolong dalam aktifitas pertanian; (2) tolong
menolong dalam aktivitas di sekitar rumah tangga; (3) tolong menolong dalam aktivitas
pesta dan upaca tertentu; (4) tolong menolong dalam menghadapi musibah tertentu
seperti bencana alam, kebakaran, kecelakaan, dll. Di dalam masyarakat tradisional,
apalagi di dalam komunitas kecil, tolong menolong dalam menghadapi keempat hal
pokok di atas terlihat sangat kental. Dalam seiring dengan perkembangan zaman, nilai-
nilai kegotong royongan dalam kesemua hal itu mulai mengalami kemunduran, dan
dalam batas-batas tertentu kini sudah mengarah pada tolong menolong yang bernuansa
ekonomis. Dengan kata lain, tolong menolongnya tidak lagi berbasis kerelaan, tetapi
juga sudah mengharapkan profit (keuntungan) secara ekonomi.
120

Dalam bahasa Indonesia, ada konsep lain tentang tolong menolong yang sering
dicampuradukkan dengan gotong royong, yaitu kerja bakti. Berbeda dengan gotong
royong, konsep kerja bakti mengandung makna: kerja sama sejumlah warga komunitas
dan/ atau masyarakat untuk pengerjaan fasilitas umum. Kerja bakti tidak dilandasi oleh
kesukarelaan, melainkan lebih kental dengan nuansa pengerahan tenaga atau mobilisasi
warga komunitas/ masyarakat untuk mengerjakan fasilitas umum tertentu. Namun
dalam konteks tersebut, kerja bakti bisa dibedakan atas sifat dari fasilitas umum yang
dikerjakan bersama-sama. Pertama, proyek-proyek yang tumbuh dari masyarakat
(bottom-up). Mengingat proyek semacam itu biasanya relevan dengan kebutuhan suatu
komunitas, biasanya nuansa kesukarelaannya masih kental, tidak sepenuhnya
mengindikasikan mobilisasi massa untuk pengerjaannya secara bersama-sama. Kedua,
proyek-proyek yang dipaksakan/ turun dari atas (top-down), dan dalam banyak kasus ia
tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kerja sama untuk pengerjaan proyek-
proyek sejenis ini, biasanya sarat dengan nuansa mobilisasi daripada kerelaan warga
setempat.

e. Sistem dan Struktur Sosial


Setiap sistem sosial apa pun wujudnya (masyarakat, komunitas, kelompok
sosial, organanisasi sosial, dsj) hampir dapat dipastiakan: para anggotanya bisa
dibedakan ke dalam pengelompokan tertentu. Secara garis besar pengelompokkannya
itu dapat dibedakan ke dalam dua kategori: Stratifikasi Sosial; dan, Diferensiasi Sosial.
Berikut ini kedua kategori itu akan ditelusuri satu per satu lengkap dengan contohnya
masing-masing.
Pertama, Stratifikasi Sosial. Seperti yang telah dikemukakan pada poin a topik
ini: stratifikasi sosial adalah pengelompokan seseorang ke dalam suatu struktur sosial
secara bertingkat (berlapis). Sebagai sebuah konsep, stratifikasi itu pada prinsipnya
netral, karena itu kehadirannya tidak perlu ditakuti/ dikhawatirkan. Tidak ada satupun
masyarakat di dunia ini yang tidak memiliki stratifikasi. Konsep ini akan selalu hadir,
selama ada penghargaan warga masyarakat terhadap sesuatu, yang terpenting di
antaranya adalah: (1) kualitas kepandaian (keterampilan, skill); (2) senioritas dari segi
umur; (3) sifat keaslian; (4) pengaruh dan kekuasaan; (5) pangkat; (6) kekayaan; (7)
pengetahuan/ keahlian; (8) dan lain-lain sebagainya. Penghargaan setiap masyarakat
terhadap beberapa alasan yang melandasi susunan berlapis di atas, berbeda satu dengan
lain. Bahkan dalam satu masyarakat dalam kurun berbeda pun bisa berbeda aspek yang
dihargai. Konsekuensinya stratifikasi yang terdapat dalam setiap masyarakat cenderung
berbeda-beda, baik landasan maupun startumnya.
121

Penghargaan tersebut selanjutnya akan menempatkan seseorang pada stratum


yang lebih tinggi daripada orang-orang lain dalam kesatuan sosial setempat. Apabila di
dalam suatu masyarakat, kekayaan amat dihargai oleh warganya, maka akan terbentuk
pengelompokan sosial berdasarkan ekonomi. Dalam masyarakat sederhana misalnya,
orang kaya (the have) akan ditempatkan pada strata paling atas. Sementara orang
miskin (the have-not) pada strata bawah. Lalu dalam masyarakat yang lebih kompleks,
stratanya pun akan kian kompleks pula. Contoh pengelompokan sosial berdasarkan
ekonomi (kelas sosial dalam terminologi Karl Marx), dia membagi tingkatan
masyarakat itu kepada tiga kelas. Dalam pembagian yang dikembangkan Marx,
dengan menggunakan kekayaan (ekonomi) sebagai landasan pelapisan masyarakat, lalu
dia sampai kepada stratifikasi sebagai berikut: Kelas Atas (upper class); Kelas Tengah
(midle class); dan Kelas Rendah (lower class).
Kedua, Diferensiasi Sosial. Selain pengelompokan individu dalam suatu
struktur sosial yang mencerminkan tingkatan seperti dikemukakan di atas, setiap
masyarakat di dunia ini juga mengenal pengelompokan yang lebih dikenal dengan
Diferensiasi. Dari berbagai batasan yang dirumuskan para ahli, konsep diferensiasi
sosial dapat disimpulkan sebagai pengelompokan sosial secara horizontal. Artinya,
pengelompokan individu dalam suatu struktur sosial bukan mencerminkan tingkatan
tertentu, melainkan pengelompokan yang hanya mencerminkan polarisasi yang sifatnya
mendatar. Landasan dari pengelompokan secara mendatar itu antara lain adalah: ras,
etnik, kebudayaan, agama/ keyakinan tertentu.
Dalam kaitan dengan ras, mengacu pada pembagian ras yang dikemukakan
Kroeber, makhluk manusia ini bisa dikategorikan kepada empat ras utama (Austroloid,
Negroid, Mongoloid, dan Kaukasoid), serta ras khusus (seperti Ainui di Jepang,
Bushman di Afrika, Semang di Semenanjung Malaya, dll). Semua ras itu berbeda-beda
dan bisa dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, tetapi yang satu tidak bisa
dianggap lebih tinggi dari yang lain. Dengan kata lain, konsepsi yang dikembangkan
oleh Hitler bahwa bangsa Arya lebih tinggi dan unggul daripada semua ras yang ada di
dunia, adalah isapan jempol belaka dan tidak bisa dibenarkan secara ilmiah. Orang-
orang yang berbeda ras itu harus dipahami sebagai hal yang setara, bukan ras yang satu
lebih lebih tinggi daripada ras lainnya.
Demikian juga dalam hal agama, tidak bisa dikatakan status pemeluk agama
tertentu lebih tinggi dari yang lainnya. Dalam contoh agama remi yang diakui di
Indonesia, terdapat agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Bahwa masing-masing pemeluk agama itu memang berbeda satu dengan lainnya, tetapi
ia harus diposisikan sebagai hal yang setara: yang satu tidak bisa ditempatkan pada
posisi yang lebih tinggi dari yang lain. Hanya saja perlu disadari bahwa setiap agama
122

itu dipahami oleh penganutnya sebagai agama yang paling tinggi dan paling benar.
Dalam ritual keagamaan hal itu adalah suatu pandangan yang wajar, tetapi dalam
reliatas kehidupan sosial pandangan tersebut tidak bisa diperjuangkan secara radikal,
sebab ia bisa memicu terjadinya disintegrasi dalam masyarakat.

f. Kepemimpinan dan Kontrol Sosial


Kepempinan. Pada awal pembahasan topik ini sudah ditegaskan, bahwa konsep
ini berakar pada kata dasar pemimpin (leader). Secara antropologis kepemimpinan itu
dapat dipahami dari dua sisi, yakni menyangkut: hak dan kewajiban; serta kewenangan
dari seseorang ataupun suatu badan dalam menggerakkan sekelompok orang yang
berada di bawah otoritasnya. Dalam konteks pertama, pemimpin dapat diartikan
sebagai suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh seseorang atau
suatu badan yang menenpati status yang lebih tinggi dalam suatu kehidupan sosial. Di
pihak lain, pemimpin juga dapat dipahami sebagai suatu proses sosial. Dalam artian ini
pemimpin mencakup segala kewenangan yang dapat dilakukan oleh seseorang atau
suatu badan dalam menggerakkan anggota masyarakat untuk maksud-maksud tertentu.
Batasan konsep pemimpin/ kepemimpinan sosial sebagaimana dikemukakan di
atas, pada hakikatnya kepemimpinan itu meliputi hak dan kewajiban, serta otoritas
seseorang atau suatu badang dalam menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya,
khususnya dalam aspek-aspek kehidupan tertentu yang menjadi kewenangannya.
Hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin itu cenderung bersifat asimetris, dalam
artian: pihak pertama akan memberikan pengaruh kepada pihak kedua, sehingga dalam
batas-batas tertentu pihak kedua pada umumnya menunjukkan sikap kepatuhan/
ketundukan kepada pihak pertama (pemimpin). Profil atau tingkat pengaruh yang
ditunjukkan pihak pertama terhadap pihak kedua akan dipengaruhi oleh banyak faktor,
di antaranya: sifat, kepribadian, dan otoritas yang dimiliki oleh pemimpin, serta
zeitgeist (jiwa zaman) di mana pemimimpin (kepemimpinan) hidup dan menjalankan
fungsinnya.
Bertolak dari pokok pikiran terakhir di atas, menarik untuk mencari jawaban
terhadap pertanyaan elementer berikut: mengapa pihak pertama (pemimpin) bisa
mempengaruhi pihak kedua (yang dipimpin) ? Secara antropologis inti jawaban
terhadap pertanyaan di atas dapat ditegaskan: karena sifat-sifat yang melekat pada
pemimpin, di mana sifat-sifat dimaksud mengarahkan dukungan orang-orang yang
dipimpin terhadap yang memimpin. Di antara sifat-sifat tersebut ialah sebagai berikut:
(1) disenangi oleh mayoritas anggota masyarakat; (2) sifat-sifatnya yang sesuai dengan
harapan dan cita-cita warga masyarakat pada umumnya; (3) keahlian sang pemimpin
yang mendapat pengakuan dari masyarakat; (4) power/ kekuatan secara fisik dan/ atau
123

kekuatan psikis (termasuk kemampuan magic) yang dimiliki pemimpin; (5) sifat-sifat
pemimpin yang sesuai/ relevan dengan sistem nilai dan norma yang dijunjung tinggi
masyarakat; (6) memiliki simbol-simbol kepemimpinan sesuai dengan yang ketentuan
adat dan/ atau ketentuan formal yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
Dilihat dari segi legalitas kehadirannya, pemimpin (kepemimpinan) itu dapat
dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu: pemimpin formal (resmi); dan pemimpin non-
formal (tidak resmi). Berikut akan dipaparkan secara ringkas sifat dari kepemimpinan
dimasud secara simultan. Pertama, pemimpin formal adalah pemimpin yang diangkat
secara resmi untuk mengatur aspek-aspek kehidupan tertentu. Eksistensi dan
kewenangan pemimpin formal selalu didapatkan dengan adanya legalitas formal yang
diberikan kepada orang dan/ atau badan yang akan menjalankan kepemimpinannya.
Dalam masyarakat tradisional wujudnya bisa berupa pembaiatan yang dilakukan secara
adat melalui upacara tertentu. Sementara dalam masyarakat modern, legalitas formal
itu didapatkan melalui Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh pihak yang
berwewenang. Jika belum mendapatkan SK, maka kepemimpinan yang bersangkutan
tidak/ belum dianggap sah. Kedua, pemimpin tidak resmi. Dalam tataran ini seorang
pemimpin tidak perlu mendapatkan SK, melaikan eksistensinya akan diterima sejalan
dengan mengalirnya pengakuan dari masyarakat, baik melalui ungkapan (penyataan),
sikap, dan prilaku yang ditampilkan warga dalam berhadapan dengan sang pemimpin.

g. Kategori Kepemimpinan dalam Masyarakat


Dilihat dari segi sifat, bentuk, dan kewenangannya, setidaknya pemimpin
(kepemimpinan) dalam masyarakat di berbagai penjuru bumi ini dapat dibedakan ke
dalam: (1) pemimpin kadangkala; (2) pemimpin terbatas; (3) pemimpin mencakup;
dan (4) pemimpin pucuk. Di bawah ini akan ditelusuri esensi dari masing-masing profil
kepemimpinan itu secara simultan.
Pertama, pemimpin kadangkala. Yang dimaksud dengan pemimpin kadangkala
adalah pemimpin yang hadir hanya untuk momen-momen tertentu dan sifatnya tidak
resmi, dan tidak berkelanjutan. Dengan kata lain, kehadirannya dibutuhkan karena
alasan-alasan tertentu, seperti pengetahuan, pengalaman, keterampilan, keberanian
seseorang dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Kemudian di luar momen dimaksud,
yang bersangkutan akan kembali menjalankan tugas dan fungsinya seperti sedia kala,
bahkan boleh jadi dia akan menjadi ‘orang kebanyakan’ atau warga biasa saja.
Pada masyarakat yang masih sederhana seperti band-band tradisional dengan
keanggotaan yang relatif kecil misalnya, seringkali mereka belum/ tidak memiliki
pemimpin resmi yang kekuasaannya mencakup berbagai aspek kehidupan kelompok
sosial setempat. Hanya saja dalam menghadapi aktifitas ataupun kasus tertentu, maka
124

akan muncul pemimpin yang menjadi panutan anggota kelompok dalam aspek khusus
itu saja. Contoh ketika mereka akan melakukan kegiatan berburu, maka mereka akan
mengambil seorang pemimpin yang memiliki kekuatan, keberanian, pengalaman,
kemampuan untuk bergerak dengan cepat dari suatu tempat ke tempat lain disekitarnya.
Begitu pula, ketika akan melakukan kegiatan menangkap ikat, maka kelompok akan
mengikuti seorang sebagai pemimpin karena pengalaman dan keterampilan yang
bersangkuntan dalam menggunakan trisula, menyelam, dan sebagainya. Kemudian
ketika terjadi konflik antara dua band, maka mereka bisa saja mengambil pemimpin
dari band ketiga yang dinilai terpercaya, berpengalaman dan memiliki kearifan guna
mencari solusi yang bisa diterima kedua pihak yang bersengketa.
Ketiga contoh di atas, mengindikasikan bahwa kehadiran dan kewenangan
seorang pemimpin itu hanyalah berkaitan dengan suatu kasus, dan eksistensinya sebagai
pemimpin diperoleh karean kelebihan (keunggulan) yang bersangkutan dibandingkan
yang lainnya untuk menuntaskan pekerjaan/ kasus dimaksud. Setelah aktifitas/ kasus
dimaksud tuntas, maka keberadaan kepemimpinan yang bersangkutan akan hilang
dengan sendirinya, dan ia akan menjadi penganut (pengikut) pimpinan lain khusus
untuk aspek kehidupan yang lainnya. Profil kepemimpinan semacam itu lebih dikenal
dengan istilah ‘primus inter pares.’ Namun perlu diingat, bahwa pemimin kadangkala
itu bukan hanya terjadi dalam masyarakat tradisional, melainkan dalam masyarakat
modern pun hal itu banyak ditemukan.
Kedua, pemimpin terbatas. Konsep ini mengandung arti, kepemimpinan yang
diperoleh seseorang dari pimpinan tetap untuk mengurusi aspek-aspek khusus, karena
keunggulan yang bersangkutan dalam bidang itu. Dalam masyarakat bersaja contohnya
pada band-band berburu dan meramu suku Tindiga di Tanganyika (Afrika Timur).
Band-band dalam suku tersebut sudah memiliki pemimpin tetap yang diwariskan
menurut prinsip keturan patrilinial. Kewenangan pimpinan tetap itu mencakup semua
aspek kehidupan masyarakat, tetapi untuk aspek tertentu pemimpin tetap memberi
peluang munculnya pimpinan yang bisa dijadikan panutan untuk aktifitas tertentu,
seperti: penentuan arah untuk melakukan aktifitas meramu dan berburu; memilih
tempat untuk mendirikan tenda guna tempat peristirahatan dalam pengembaraan;
menentukan kapan harus melangkah untuk memulai aktifitas tertentu; mengatur
aktivitas dalam ritual tertentu, dsb. Pimpinan terbatas itu hanya akan menjadi panutan
dalam aktifitas yang terbatas, trutama karena kelebihan/ keunggulannya dalam sebuah
bidang itu. Sementara kewenangan dalam aspek kehidupan secara keseluruhan tetap
dipegang oleh pimpinan tetap.
Ketiga, pemimpin mencakup. Yang dimaksud dengan pimpinan mencakup
adalah pimpinan tetap dengan cakupan kewenangan meliputi hampir semua lapangan
125

kehidupan masyarakat. Kewenangan pimpinan mencakup itu biasanya juga mendapat


dukungan adat yang memberi kewibawaan bagi yang bersangkutan untuk memjalankan
kepemimpinannya. Pimpinan mencakup semacam itu mulai sejak dikenalnya hidup
menetap yang berbasis desa-desa (village) pertanian, baik pada masyarakat bercocok
tanam berpindah maupun menetap. Desa-desa menetap itu sudah mengenal pimpinan
tetap dengan kewenangan yang luas, mencakup hampir semua aspek kehidupan sosial
setempat. Dalam masyarakat tradisional pimpinan atau kelompok kepemimpinan
serupa itu biasa berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dan diwariskan sesuai
dengan sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat setempat. Lazimnya
kelompok kekerabatan itu diambil dari pendatang pertama (frountir, panaruko) desa
dimaksud. Kemudian dalam masyarakat desa di era kontemporer ini, tidak semua
pemimpin mencakup itu berazaskan sistem kekerabatan, melainkan didasarkan pada
pertimbangan praktis tertentu, misalnya: kemampuan tulis baca (tulisan latin), akses
terhadap pimpinan yang menempati struktur yang lebih tinggi, dan sebagainya.
Keempat, pemimpin pucuk. Dilihat dari segi substansinya “pimpinan pucuk”
(paramount chief) juga merupakan pimpinan mencakup, tetapi otoritas dan cakupan
kepemimpinannya jauh lebih luas. Jika dirumuskan secara konseptual, pimpinan pucuk
dapat dipahami sebagai pemimpin dengan cakupan kepemimpinan lebih luas: meliputi
sujumlah community, band, dan village. Dalam implementasinya pimpinan pucuk
memegang kewenangan tertinggi, dan pelaksanaannya di lapangan bisa dijalankan oleh
para pemimpin yang berada di bawah kendali dan kuasa pimpinan pucuk dimaksud.
Dalam masyarakat tradisional, biasanya kewenangan seorang pimpinan pucuk
disandarkan pada adat, kesaktian, serta simbol-simbol tertentu untuk menjaga dan
melanggengkan kewenangan yang mereka miliki. Contoh pimpinan pucuk yang banyak
ditemukan dalam masyarakat kuno/tradisional adalah: raja dan/ atau sulthan. Raja/
Sultan itu memegang kendali pimpinan tertinggi dalam wilayah kerajaannya, lalu dalam
menjalankan otoritasnya ia dibantu oleh maha-mentri, patih, tumenggung, adipati, dan
sejenisnya.
Kemudia dalam masyarakat modern dan maju, pimpinan pucuk itu juga banyak
ditemukan, namun fondasinya pada adat dan kesaktian sebagai wadah untuk menjaga
kewibawaan kuasanya sudah mulai hilang secara formal. Kini untuk mendapatkan
posisi sebagai pimpinan pucuk dengan segala kewenangannya, perlu dibangun di atas
ketentuan dan mekanisme yang bersifat rasional. Misalnya dengan menerapkan sistem
managemen modern (termsuk penetapan division of labor berdasarkan prinsip-prinsip
profesionalisme), dan penegakkan/ supremasi hukum. Melalui mekanisme demikian
pimpinan pucuk ditenggarai bisa mempertahankan eksistensi, tanpa harus berlandaskan
pada hal-hal yang bersifat irasional, megic ataupun kekuatan sakti.
126

h. Dinamika dan Kontrol Sosial dalam Masyarakat


Sebuah masyarakat terbentuk dari sejumlah individu yang berinteraksi satu
dengan lainnya secara kontinu berdasarkan adat-istiadat tertentu, serta diikat oleh
identitas bersama. Adat, sistem nilai dan norma yang hidup dan ditumbuhkembangkan
masyarakat merupakan landasan penting untuk dijadikan acuan bagi setiap individu
yang menjadi anggota masyarakat, terutama untuk keharmonisan, kebersamaan, dan
integrasi masyarakat. Apabila terjadi pelanggaran terhadap sistem nilai bersama itu,
maka integrasi masyarakat akan terganggu dan bisa menimbulkan kekacauan
(disintegrasi).
Peluang ke arah terjadinya disintegrasi itu terbuka lebar, baik karena masuknya
sistem nilai baru dari luar yang berbeda dengan nilai-nilai lama, maupun berpangkal
penyimpangan yang dilakukan individu tertentu yang menjadi warga suatu masyarakat.
Bagaimanapun individu-indivudu yang menjadi warga suatu masyarakat pasti memiliki
bermacam ragam kebutuhan, keinginan dan harapan. Lalu untuk merealisasikan semua
hal itu individu-individu tentu harus menempuh jalan tertentu. Strategi yang pilih untuk
maksud tersebut, tidak jarang berbenturan dengan keinginan/ harapan individu lain atau
pun kepentingan umum masyarakat setempat. Hal itu akan memicu terjadinya konflik
dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat tersebut, sehingga keberlangsungannya
akan terganggu. Namun hal itu tidak perlu ditakuti, apalagi di era globalisasi ini, tidak
ada satu masyarakat pun yang steril dari pengaruh luar. Dalam kaitan ini yang penting
adalah strategi untuk memenej perubahan, sehingga masyarakat terhindar dari anomie.
Lagi pula menurut sementara ahli perkembangan masyarakat itu selalui melalui
dialektika berkepanjangan yang diawali dari kehidupan yang harmonis, kemudian
terjadi konflik, setelah itu akan berlangsung akomodasi, dan pada gilirannya kembali
terwujud harmoni/ integrasi; demikian seterusnya terjadi pola yang hampir serupa.
Walaupun demikian, agar tidak terjadi gangguan dalam hidup bermasyarakat
yang bisa menimbulkan disintegrasi (bahkan anomie), maka diperlukan adanya kontrol
sosial. Pengendalian itu dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk
menjaga tatanan sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat, dan meminimalisir
munculnya individu-indivi yang menyimpang (deviant). Pengendalian itu dinilai amat
krusial mengingat, perbedaan kepentingan dan interes antar individu yang menjadi
anggota suatu masyarakat/ komunitas bisa merusak tatanan sosial yang menjadi wadah
pemersatu segenap lapisan masyarakat terkait.
Banyak cara yang bisa dilakukan dalam pengendalian sosial, dan yang
terpenting di antaranya adalah: (1) mempertebal dan memperkuat komitmen warga
terhadap adat, norma, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya; (2)
memberikan ganjaran (reinforcement) pada invidu yang taat kepada adat istiadat,
127

norma, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (3) memberikan sanksi hukum
yang berat untuk membuat efek jera bagi warga masyarakat yang melakukan ataupun
terindikasi melakukan pelangaaran sistem nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (4)
memberikan sanksi sosial bagi pelanggar aturan yang berlaku; (5) gossip atau
memperbicangkan secara sembunyi (dari mulut ke mulut) tentang prilaku seseorang
yang dianggap melanggar aturan yang berlaku dalam nasyarakat; dan lain-lain
sebagainya. Serangkaian cara pengendalian di atas mengindikasikan, bahwa untuk
memerangi pelanggaran dalam masyarakat bisa dilakukan melalui cara-cara yang
bersifat: persuasif - edukatif dan/ atau represif.
Untuk mengefektifkan pengendalian sosial di setiap masyarakat, diperlukan
komitmen dan partisipasi semua elemen masyarakat. Jadi hal ini bukan hanya tanggung
jawab elit ataupun aparat yang berwewenang semata. Bagaimana pun perlu disadari
bahwa pengendalian sosial itu memang diperlukan oleh semua masyarakat, terutama
untuk menjaga keharmonisan dan integrasi masyarakat terkait. Dengan kata lain,
pengandalian sosial adalah prasyarat untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat,
tetapi perlu juga diingat pengendalian yang dilakukan secara serampangan bisa pula
menghambat perkembangan suatu masyarakat.
Cara pengendalian sosial dan pihak yang memiliki otoritas untuk menjadi ujung
tombak dalam pelaksanaannya akan berbeda dalam setiap masyarakat. Bahkan pada
masyarakat yang sama dalam kurun waktu berbeda juga tidak akan sama. Cara-cara
pengendalian sosial yang dipilih biasanya akan disesuaikan dengan realitas dan
tantangan yang dihadapi suatu masyarakat (kontekstual). Sementara lembaga yang
menjalankannya juga bisa beragam, mulai dari lembaga adat/ sosial tertentu sampai ke
lembaga resmi yang sengaja dibentuk dengan tupoksi untuk melakukan pengendalian,
sehingga pelanggaran di dalam masyarakat bisa diminimalisir di tengah-tengah
dinamika dan perkembangan yang berlangsung pesat di era moderen ini.

2. Rangkuman
Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati wilayah
tertentu, berinteraksi satu dengan lainnya secara kontinu berdasarkan adat istiadat
tertentu, serta memiliki rasa identitas komunitas. Lebih jauh para ahli cenderung
menekankan kesadaran wilayah dan community identity sebagai kata kunci dari konsep
komunitas. Unit sosial apa pun (meskipun ia dilabeli dengan kata-kata kumunitas),
secara konseptual ia tidak bisa disebut sebagai komunitas, dan ia tidak relevan untuk
kajian akademik.
128

Dilihar dari perspektif historis, komunitas itu sebenarnya bukan hal yang baru
dalam realitas kehidupan manusia, bahkan ia sudah muncul sejak manusia mengenal
hidup menetap yang dalam kajian antropologi budaya disebut dengan komunitas kecil.
Suatu komunitas kecil memiliki ciri-ciri pokok berikut: (1) warganya masih saling
mengenal satu dengan lain dan saling bergaul secara lebih intensif; (2) tidak ada
perbedaan yang menonjol antar sub-kelompoknya; dan (3) pada umumnya warga
setempat mampu menghayati seluk-beluk lapangan kehidupan komunitasnya secara
komprehensif dan mendalam.
Wujud komunitas kecil itu dalam masyarakat bersahaja dan tradisional adalah:
band dan desa. Band adalah kelompok berburu pada zaman pra sejarah yang hidup
berpindah-pindah, tetapi mereka sudah memiliki kesadaran wilayah. Sementara, desa
(village) merupakan suatu kesatuan hidup dengan jumlah anggota relatif kecil dan
menetap pada wilayah tertentu. Fenomena desa yang berakar era pra sejarah itu hingga
kini masih berlanjut dengan beberapa modifikasi. Adapun ujud komunitas kecil di era
kontemporer ini selain desa, adalah Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),
Kelurahan, Kota dan/ atau Kabupaten. Semua persyaratan dari komunitas bisa
terpenuhi oleh kesatuan-kesatuan sosial yang disebut terakhir ini.
Pada kesatuan hidup manusia yang berbentuk komunitas di mana pun di
permukaan bumi ini, terdapat rasa saling tolong menolong (solidaritas) yang mengikat
mereka satu dengan lainnya. Solidaritas itu tumbuh bukan semata karena adanya sikap
altruisme, tetapi juga karena ada kesadaran dan kenyataan saling membutuhkan di
kalangan warga komunitas. Solidaritas itu terbangun berkat adaya principle of
reciprocity (prinsip timbal balik); pertukaran sosial; the gift (pemberian); dan gotong
royong berazaskan kesukarelaan, bukan paksaan/ mobilisasi seperti kerja bakti. Wujud
gotong royong dalam “komunitas kecil” dapat berupa tolong menolong dalam aktifita:
pertanian; aktivitas di sekitar rumah tangga; persiapan/ pelaksanaan pesta dan upaca
tertentu; menghadapi musibah tertentu.
Dilihat dari satu sisi, tiap-tiap komunitas itu memiliki struktur sosial tersendiri
sesuai dengan cakupannya masing-masing. Sebagai sebuah konsep, komunitas itu
mengandung dua sub-konsep, yaitu: stratifikasi dan diferensiasi sosial. Pertama,
Stratifikasi sosial adalah pengelompokan seseorang dalam suatu struktur sosial secara
bertingkat (berlapis), misalnya: elit dan massa; uper class, midle class, dan lower class;
serta, bangsawan, rakyat biasa, dan budak. Stratifikasi itu selalu akan ada di setiap
masyarakat, selama ada sesuatu yang dihargai oleh warga terkait. Kedua, Diferensiasi
sosial, yakni pengelompokan individu dalam suatu struktur sosial tertentu secara
mendatar/ horizontal (tidak mencerminkan tinggi rendahnya posisi seseorang), misalnya
berdasarkan etnik, kebudayaan, agama/ religi, dsj.
129

Dilihat dari sisi lain, konsep struktur sosial secara implisit juga mengindikasi-
kan adanya pemimpin dan yang dipimpin dalam setiap unit sosial. Pemimpin itu yang
bersifat resmi dan ada pula yang tidak resmi. Dalam kajian antropologi sosial, dilihat
dari segi sifat, bentuk, dan kewenangannya, setidaknya pemimpin (kepemimpinan)
dalam masyarakat di berbagai penjuru bumi ini dapat dibedakan ke dalam empat
kategori: Pertama, pemimpin kadangkala, yaitu pemimpin yang hadir hanya untuk
momen-momen tertentu dan sifatnya tidak resmi, dan tidak berkelanjutan. Kedua,
pemimpin terbatas adalah kepemimpinan yang diperoleh seseorang dari pimpinan tetap
untuk mengurusi aspek-aspek khusus, karena keunggulan yang bersangkutan dalam
bidang tertentu. Ketiga, pemimpin mencakup, yakni pimpinan tetap dengan cakupan
kewenangan dalam hampir semua lapangan kehidupan masyarakat. Keempat, pemimpin
pucuk (paramount chief) yaitu pimpinan mencakup dengan otoritas dan kewenangan
kepemimpinannya jauh lebih luas, meliputi sujumlah community, band, dan village.
Dalam implementasinya, pimpinan pucuk memegang kewenangan tertinggi, dan
pelaksanaannya di lapangan bisa dijalankan oleh para pemimpin yang berada di bawah
kendali dan kuasa pimpinan pucuk dimaksud.
Sebuah masyarakat/ komunitas terbentuk dari sekumpulan individu dengan
persyaratan seperti yang telah ditegaskan sebelumnya. Mengingat setiap individu itu
memiliki kepentingan, pengetahuan, sikap, dan tujuannya sendiri, maka dalam banyak
hal terjadi pelanggaran terhadap adat dan sistem nilai yang dijunjung tinggi mayoritas
warganya. Jika hal terakhir ini terjadi, maka integrasi masyarakat akan terancam.
Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi hal itu, maka diperlukan adanya pengendalian
sosial.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk pengendalian sosial, dan yang
terpenting di antaranya adalah: (1) mempertebal dan memperkuat komitmen warga
masyarakat tentang adat, norma, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakatnya;
(2) memberikan ganjaran (reinforcement) bagi yang taat kepada adat istiadat, norma,
dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (3) memberikan sanksi hukum yang
berat untuk membuat efek jera bagi warga masyarakat yang melakukan ataupun
terindikasi melakukan pelangaaran sistem nilai yang dijunjung tinggi masyarakat; (4)
memberikan sanksi sosial bagi pelanggar aturan yang berlaku; (5) gossip atau
memperbicangkan secara sembunyi (dari mulut ke mulut) tentang prilaku seseorang
yang dianggap melanggar aturan yang berlaku; dll. Serangkaian cara pengendalian yang
dikemukakan di atas mengindikasikan bahwa untuk memerangi pelanggaran dalam
masyarakat bisa dilakukan melalui tindakan yang bersifat: persuasif- edukatif dan/ atau
represif.
130

D. Evaluasi
Alat evaluasi (instrumen penilaian) dipaparkan dalam Satuan Acara Perkuliahan
di bawah sub-judul D (Rubrik Penilaian). Di samping item tes substansi (materi), di
dalam SAP juga terdapat format Penilaian Partisipasi dan format Penilaian Sikap.

E. Bacaan Pendalaman

Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat


-------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta
Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia
Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga
Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta
Sumartana, Th., et.al. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Dian
Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
Zubaidi, 2007. Wacana Pembangunan Alternatif: Ragam Pengembangan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Razz Media.
Kartodirdjo, Sartono, ed. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:
LP3ES.

***
131

DAFTAR BACAAN

1. Koentjaraningrat. 1986. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat


2. -------------------. 2005. Pengantar Antropologi, Jilid II. Jakarta: Rineka Cipta
3. -------------------. 1996. Pengantar Antropologi, Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta
4. -------------------. ed. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga
Penerbit FE-UI
5. Ihromi, T.O. ed. 1981. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia
6. Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid 1 (Terj.). Jakarta: Erlangga
7. ------------------. 1992. Antropologi Budaya, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga
8. Havilland, William A . 1988. Antropologi, Jilid 2 (Terj.). Jakarta: Erlangga
9. Kuper, Adam. 1996. Pokok dan Tokoh Antropologi (Terj.). Jakarta: Bhratara
10. Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Tukar-menukar di Masyarakat
Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
11. Fathoni, Abdurrahman.2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta.
12. Mansur, M. Yahya. et al. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta:
Pustaka Grafika
13. Sumartana, Th., et.al. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Dian
14. Evan-Pritchard, E.E.E., 1886. Antropologi Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
15. Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.
16. Marzali, Amri. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
17. Dirjosanjoto, Pradjarto. 2006. Perencanaan Pembangunan Partisipatif untuk Good
Governance. Bandung: Forum Komunikasi Pengembangan Partisipasi
Masyarakat (FPPM).
18. ---------------, ed., 2006. Merumuskan Konsep dan Praktek Partisipasi Warga dalam
Pelayanan Publik. Bandung: Forum Komunikasi Pengembangan Partisipasi
Masyarakat (FPPM).
19. Lerner, Daniel. 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional. Yogyakarta: Gama
Press.
20. Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
21. Zubaidi, 2007. Wacana Pembangunan Alternatif: Ragam Pengembangan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Razz Media.
22. Myron Weiner, ed., 1984. Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta:
Gama Press.
132

23. Sajogyo, Ny Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta: IKIP Jkt – BKKBN.
24. Daeng, Hans J. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan
Antropologis.
25. Kartodirdjo, Sartono, ed. 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:
LP3ES.

Sumber-sumber lain yang relevan akan ditentukan dalam proses perkuliahan.

File: Tim PMk Antrososbud


@2014

También podría gustarte