Está en la página 1de 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Rinitis alergi (RA) adalah inflamasi dari lapisan mukosa hidung dan memiliki
karakteristik gejala nasal berupa rhinorrhea anterior atau posterior,bersin, hidung tersumbat
dan/atau gatal pada hidung (ARIA Report, 2008). RAsecara klasik didefinisikan sebagai inflamasi
dari mukosa nasal yang dimediasi oleh IgE, berkarakteristik bersin, hidung tersumbat, ingus encer,
dan hidung gatal (Sheikh, 2014). Gejala lain yang mungkin juga terjadi adalah sefalgia, hiposmia,
dan beberapa gejala konjungtiva. Berdasarkan waktu dan lamanya gejala RA, RA dapat dibedakan
menjadi 2 jenis, yaitu RA musiman (hay fever) dan RA yang terjadi sepanjang tahun (perennial).
Penyebab RA musiman yang tersering adalah pohon, rumput, lumut, dan jamur; sedangkan tungau
debu dan jamur adalah penyebab utama dari RA perennial. Gejala-gejala yang timbul tersebut
dapat menyebabkan gangguan terhadap kegiatan sehari-hari sehingga menurunkan kualitas hidup
penderitanya. RA merupakan salah satu masalah kesehatan global yang tersebar luas di berbagai
negara. RA merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi yang menjadi masalah sosial dan medis
yang utama pada negara perindustrian dan mempengaruhi sekitar 20% dari keseluruhan populasi
Penelitian di Asia Pasifik pada anak berusia 6-7tahun dengan kuesioner ISAAC
menunjukkan data sebagai berikut: Malaysia4.2% - 6.2%, Thailand (Bangkok) 13.4%, Jepang
10.6%, Korea 9%, Taiwan 24.2%, dan Indonesia 3.6%.Data juga dikumpulkan pada usia 13-14
tahun dengan angka sebagai berikut: Malaysia 12.5%-19.8%, Thailand (Bangkok)23.9%, China
(Beijing) 10.9%, Filipina 11%, Jepang 17.6%, Korea 11.9%, Taiwan 17.8% , Singapura 16.5%,
dan Indonesia 4.8%. Dari data diatas, juga dapat disimpulkan bahwa prevalensi RA pada anak
berusia 13-14 tahun lebih tinggi daripada anak berusia 6-7 tahun (Wong et al., 2013). Data
prevalensi RA di beberapa kota di Indonesia adalah sebagai berikut : pada tahun 2008, prevalensi
di Jakarta Barat sebanyak 16,4% pada anak usia 13 -14 tahun dengan kuesioner ISAAC (Zulkifar,
2008); pada tahun 2011, prevalensi di Semarang dengan instrumen penelitian yang sama adalah
30,2% pada anak usia
16-19 tahun (Nugraha, 2011);pada tahun 2010, penelitian di Medan didapatkan sebanyak 61.7%
(Nadraja. I, 2010).
Menurut Sheikh (2014),RA lebih sering terjadi pada laki-laki pada usia anak-anak
daripada perempuan usia anak-anak. Sedangkan pada dewasa, prevalensi setara antara laki-laki
dan perempuan. Sheikh juga menyebutkan RA umumnya diderita oleh anak-anak, remaja, dan
dewasa muda, tetapi RA juga dapat terjadi pada semua golongan usia. Prevalensi RA pada anak-
anak adalah 40%. Sedangkan dari data Wong et al (2013) menyatakan bahwa prevalensi anak
berusia 13-14 tahun lebih tinggi dari anak berusia 6-7 tahun. Namun, sebanyak 80% kasus RA
berkembang pada usia 20 tahun dan berkurang seiring dengan pertambahan usia.
Hal ini sesuai dengan data dari beberapa penelitian diatas, 80% pasien rinitis alergi mulai
timbul gejala sebelum usia 20 tahun. Meskipun rinitis alergi lebih banyak muncul pada anak yang
lebih besar, namun pajanan alergen (sensitisasi) sudah terjadi sejak dini. Seorang anak yang
mempunyai salah satu gejala atopi (rinitis alergi, asma, eksim) mempunyai risiko 3 kali lebih besar
untuk menderita gejala atopi yang berikutnya. Meskipun pada umumnya rinitis alergi bukan
merupakan penyakit berat, tapi dapat berdampak pada kehidupan sosial penderita dan kinerja di
sekolah serta produktivitas kerja. Disamping itu, biaya yang ditimbulkan oleh rinitis cukup besar.
Meskipun prevalensinya cukup tinggi, rinitis alergi seringkali tidak terdiagnosis dan tidak diterapi
secara adekuat terutama pada populasi anak. Penyebab tidak adekuatnya terapi meliputi
ketidakmampuan anak untuk menggambarkan secara verbal gejala yang dialami, anak tidak
memahami bahwa mereka memiliki gangguan, dan seringkali rinitis alergi dikelirukan dengan
infeksi saluran napas atas berulang. Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor,
diantaranya adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau
masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa
iritan non spesifik. Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh alergen
makanan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan pada anak yang lebih besar. Manifestasi klinis
reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan tenggorok anak sebelum usia 4 tahun jarang
ditemukan. Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan organ lain,
karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirupan, untuk melindungi saluran
pernapasan bagian bawah..
Rinitis alergi pada masa anak akan bertambah berat dengan bertambahnya usia.
Kadangkala rinitis alergi dapat merupakan masalah pada usia tua. Dengan mengetahui faktor
penyebab, dengan penghindaran dapat mengurangi kekerapan timbulnya gejala. Penggunaan
beberapa jenis medikamentosa profilaksis juga dapat mengurangi gejala yang timbul. Rinitis
Alergi adalah penyakit kronik yang gejalanya akan hilang timbul. Komunikasi dengan pasien dan
orangtua diperlukan agar pemeriksaan berkala dilakukan dan pemberian obat dapat disesuaikan
dengan fluktuasi gejala. Bila alergen penyebab diketahui, maka penghindaran alergen pencetus
perlu terus menerus dilakukan. Pada gejala yang menetap dan berat, diperlukan penilaian
menyeluruh dan tatalaksana lanjut, antara lain imunoterapi

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan umum
Menjelaskan Asuhan Keperawatan Anak dengan diagnosa medis rhinitis di Poli Anak
RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

1.2.2 Tujuan Khusus:


1. Menjelaskan konsep penyakit Rhinitis Alergi
2. Menjelaskan tentang Asuhan Keperawatan Anak dengan diagnosa medis rhinitis alergi
di Poli Anak RSUD Dr.Soetomo Surabaya.
1.3 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Bagi Penulis
Penulis dapat memperdalam pengetahuan tentang asuhan keperawatan anak yang telah
dilakukannya.
2. Bagi Mahasisiwa/i Keperawatan
Laporan kasus ini semoga dapat menambah pengetahuan dan informasi kepada pembaca
lain dalam melakukan Anak dengan diagnosa medis rhinitis alergi di Poli Anak RSUD
Dr.Soetomo Surabaya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pernapasan


2.1.1 Anatomi sistem pernapasan atas
1. Rongga Hidung (Cavum Nasi)

Hidung meliputi bagian eksternal yang menonjol dari wajah dan bagian internal
berupa rongga hidung sebagai alat penyalur udara. Hidung bagian luar tertutup oleh kulit
dan disupport oleh sepasang tulang hidung. Rongga hidung dimulai dari Vestibulum, yakni
pada bagian anterior ke bagian posterior yang berbatasan dengan nasofaring. Rongga
hidung terbagi atas 2 bagian, yakni secara longitudinal oleh septum hidung dan secara
transversal oleh konka superior, medialis, dan inferior. Adapun fungsi hidung, yaitu :

1) Dalam hal pernafasan, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung akan menjalani tiga
proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghangatan, dan pelembaban. Penyaringan dilakukan
oleh membran mukosa pada rongga hidung yang sangat kaya akan pembuluh darah dan
glandula serosa yang mensekresikan mukus cair untuk membersihkan udara sebelum
masuk ke Oropharynx. Penghangatan dilakukan oleh jaringan pembuluh darah yang sangat
kaya pada ephitel nasal dan menutupi area yang sangat luas dari rongga hidung. Dan
pelembaban dilakukan oleh concha, yaitu suatu area penonjolan tulang yang dilapisi oleh
mukosa.
2) Epithellium olfactory pada bagian medial rongga hidung memiliki fungsi dalam
penerimaan sensasi bau.
3) Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukkan suara-suara fenotik dimana ia
berfungsi sebagai ruang resonansi.
2. Faring
Faring adalah pipa berotot berukuran 12,5 cm yang berjalan dari dasar tengkorak
sampai persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka
letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal). Bagian sebelah atas faring dibentuk oleh
badan tulang sfenoidalis dan sebelah dalamnya berhubungan langsung dengan esophagus.
Pada bagian belakang, faring dipisahkan dari vertebra servikalis oleh jaringan penghubung,
sementara dinding depannya tidak sempurna dan berhubungan dengan hidung, mulut, dan
laring.

3. Laring
Laring tersusun atas 9 Cartilago ( 6 Cartilago kecil dan 3 Cartilago besar ). Terbesar
adalah Cartilago thyroid yang berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami
penonjolan membentuk “adam’s apple”, dan di dalam cartilago ini ada pita suara. Sedikit
di bawah cartilago thyroid terdapat cartilago cricoid. Laring menghubungkan
Laringopharynx dengan trachea, terletak pada garis tengah anterior dari leher pada
vertebrata cervical 4 sampai 6. Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya
vokalisasi. Laring juga melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing dan
memudahkan batuk.

4. Trakea
Trakea merupakan suatu saluran rigid yang memililiki panjang 11-12 cm dengan
diameter sekitar 2,5 cm. Terdapat pada bagian oesephagus yang terentang mulai dari
cartilago cricoid masuk ke dalam rongga thorax. Tuba ini merentang dari laring pada area
vertebra serviks ke enam sampai area vertebra toraks kelima tempatnya membelah menjadi
dua bronkus utama.

Tersusun dari 16 – 20 cincin tulang rawan berbentuk huruf “C” yang terbuka pada
bagian belakangnya. Didalamnya mengandung pseudostratified ciliated columnar
epithelium yang memiliki sel goblet yang mensekresikan mukus. Terdapat juga cilia yang
memicu terjadinya refleks batuk/bersin.Trakea mengalami percabangan pada carina
membentuk bronchus kiri dan kanan.

2.1.2 Fisiologi saluran pernapasan atas


1. Proses Ventilasi
Ventilasi merupakan proses untuk menggerakan gas ke dalam dan keluar paru- paru.
Ventilasi membutuhkan koordinasi otot paru dan thoraks yang elastis dan pernapasan
yang utuh. Otot pernapasan inspirasi utama adalah diafragma. Diafragma dipersarafi
oleh saraf frenik yang keluar dari medulla spinalis pada vertebra servical keempat.
Perpindahan O2 di atmosfer ke alveoli,dari alveoli CO2 kembali ke atmosfer. Faktor
yang mempengaruhi proses oksigenasi dalam sel adalah :

1) Tekanan O2 atmosfer
2) Jalan nafas
3) Daya kembang toraks dan paru
4) Pusat nafas (Medula oblongata) yaitu kemampuan untuk merangsang CO2 dalam
darah
2. Proses Difusi
Difusi merupakan gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi yang lebih
tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Difusi gas pernapasan terjadi di membran
kapiler alveolar dan kecepatan difusi dapat dipengaruhi oleh ketebalan membran.
Peningkatan ketebalan membrane merintangi proses kecepatan difusi karena hal
tersebut membuat gas memerlukan waktu lebih lama untuk melewati membran
tersebut. Apabila alveoli yang berfungsi lebih sedikit maka darah permukaan menjadi
berkurang O2 alveoli berpindah ke kapiler paru, CO2 kapiler paru berpindah ke alveoli.
Faktor yang mempengaruhi difusi :

1) Luas permukaan paru


2) Tebal membrane respirasi
3) Jumlah eryth/kadar Hb
4) Perbedaan tekanan dan konsentrasi gas
5) Waktu difusi
6) Afinitas gas
3. Proses Transportasi
Gas pernapasan mengalami pertukaran di alveoli dan kapiler jaringan tubuh.
Oksigen ditransfer dari paru- paru alveoli dan kapiler jaringan tubuh. Oksigen
ditransfer dari paru- paru ke darah dan karbon dioksida ditransfer dari darah ke alveoli
untuk dikeluarkan sebagai produk sampah. Pada tingkat jaringan, oksigen ditransfer
dari darah ke jaringan, dan karbon dioksida ditransfer dari jaringan ke darah untuk
kembali ke alveoli dan dikeluarkan. Transfer ini bergantung pada proses difusi.

4. Transpor O2
Sistem transportasi oksigen terdiri dari sistem paru dan sistem kardiovaskular.
Proses pengantaran ini tergantung pada jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru
(ventilasi), aliran darah ke paru-paru dan jaringan (perfusi), kecepatan difusi dan
kapasitas membawa oksigen. Kapasitas darah untuk membawa oksigen dipengaruhi
oleh jumlah oksigen yang larut dalam plasma, jumlah hemoglobin dan kecenderungan
hemoglobin untuk berikatan dengan oksigen (Ahrens, 1990).

Jumlah oksigen yang larut dalam plasma relatif kecil, yakni hanya sekitar 3%.
Sebagian besar oksigen ditransportasi oleh hemoglobin. Hemoglobin berfungsi sebagai
pembawa oksigen dan karbon dioksida. Molekul hemoglobin dicampur dengan oksigen
untuk membentuk oksi hemoglobin. Pembentukan oksi hemoglobin dengan mudah
berbalik (reversibel), sehingga memungkinkan hemoglobin dan oksigen berpisah,
membuat oksigen menjadi bebas. Sehingga oksigen ini bisa masuk ke dalam jaringan.

5. Pengangkutan O2
Pertukaran gas antara O2 dengan CO2 terjadi di dalam alveolus dan jaringan tubuh,
melalui proses difusi. Oksigen yang sampai di alveolus akan berdifusi menembus
selaput alveolus dan berikatan dengan haemoglobin (Hb) dalam darah yang disebut
deoksigenasi dan menghasilkan senyawa oksihemoglobin (HbO).

Sekitar 97% oksigen dalam bentuk senyawa oksihemoglobin, hanya 2 – 3% yang


larut dalam plasma darah akan dibawa oleh darah ke seluruh jaringan tubuh, dan
selanjutnya akan terjadi pelepasan oksigen secara difusi dari darah ke jaringan tubuh.

6. Transpor CO2
Karbon dioksida berdifusi ke dalam sel-sel darah merah dan dengan cepat di hidrasi
menjadi asam karbonat(H2CO3) akibat adanya anhidrasi karbonat. Asam karbonat
kemudian berpisah menjadi ion hydrogen(H+)dan ion bikarbonat (HCO3-). Ion
hydrogen di bulfor oleh hemoglobin dan HCO3- berdifusi dalam plasma.

Selain itu beberapa karbon dioksida yang ada dalam sel darah merah bereaksi
dengan kelompok asam amino membentuk senyawa karbamino. Reaksi ini dapat
bereaksi dengan cepat tanpa adanya enzim. Hemoglobin yang berkurang
(deoksihemoglobin) dapat bersenyawa dengan karbon dioksida dengan lebih mudah
daripada oksihemoglobin. Dengan demikian darah vena mentrasportasi sebagian besar
karbon dioksida.

2.2 Konsep Penyakit Rhinitis Alergi


1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyait imflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama,serta
dilepaskannya mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan denagn allergen spesifik
tersebut (Von pirquet 1986). Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan
gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh
IgE (WHO ARIA tahun 2001).Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada
membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 ). Rhinitis adalah peradangan selaput lendir
hidung ( Dorland, 2002).

2. Klasifikasi
1. Rinitis berdasarkan sifat berlangsungnya
a. Rinitis alergi musiman;penyebabnya tepung sari,dan spora jamur.timbulnya
periodik sesuai denagn musim,pada waktu konsentrasi alergen terbanyak di
udara.
b. Rinitis alergi sepanjang tahun; penyebab yang paling sering adalah alergen
inhalan dan alergen ingestan.
2. Rinitis berdasarkan sifat berlangsungnya (WHO)
1) Intermiten(kadang-kadang);bila gejala kurang dari empat hari/minggu atau
kuarang dari empat minggu.
2) Persisten(menetap);bila gejala lebih dari empat hari/minggu atau lebih dari
empat minggu.
3. Rrinitis berdasarkan berat-ringan nya
1) Ringan. Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dll.
2) Sedang atau berat. Apabila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut.
4. Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
a. Inhalan : masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
virus,serbuk sari, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur
b. Ingestan : masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan dan udang
c. Injektan : masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah
d. Kontaktan : masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik atau perhiasan
3. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan statu penyakit imflamasi yang di awali denag tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi.

1. Reaksi alergi fase cepat(immediate phase allergic reaction)


Berlasung sejak kontak langsung denagan alergen sampai satu jam setelahnya.

Alergen

makrofag/monosit

melepas sitokinin(IL1)

pragmen pendek peptida mengaktifkan Th0

komplek peptida MHC klsII Th1danTh2

IL3,IL4,IL5,IL13

Sel T helper(Th0)

diikat sel limfosit B

menhasilkan IgE

masuk ke jaringan diikat o/reseptor IgE


mastosit/basofil jd aktif

histamin & prostaglandin

merangsang ujung hipersekresi+permeabilitas

saraf vidianus kel.mukosa

gatal,bersin,rinorea

2. alergi fase lambat (late phase allergic reaction)


Ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel imflamasi (eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil, mastosit), peningkatan sitokinin (IL3, IL4, IL5) dan GMCSF dan
ICAM1.

a. Ada tiga reaksi :


1. Respon primer (non spesifik) .Terjadi proses eliminasi dan fagositosis
antigen(Ag).bila tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,reaksi berlanjut
menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder(spesifik). Mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan.bila berhasil
dieliminasi maka reaksi selesai,tapi jika Efek dari sistem imunologik maka
berlanjut ke tahap tersier.
3. Respon tersier. Dapat bersifat sementara/menetap tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
b. Diagnosa rinitis alergi ditegakan berdasarkan :

1. Anamnesis. Anamnesis sangat penting karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa.hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesisi
saja.
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema,
basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak.
3. Pemeriksaan neso endoskopi
4. Pemeriksaan sitologi hidung. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukan kemungkinan alergi inhalan.
5. Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
6. Uji kulit, alergen penyebab dapat dicari secara invivo.

4. Manifestasi Klinis
a. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya
bersin lebih dari 6 kali).
b. Hidung tersumbat
c. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi
biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau
kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
d. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
e. Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-ulang
terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu. Sebenarnya
bersin adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan diri dari benda
asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali serangan maka dapat
diduga ini adalah gejala rhinitis alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak. Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan
keluarnya air mata.
5. Komplikasi
1. Polip hidung
2. Otitis media
3. Sinusitis paranasal. (Mansjoer, 2001 : 107)

6. Pemeriksaan Penunjang
a) In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri
(Irawati, 2002).
b) In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.

7. Penatalaksanaan
a. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebab
b. Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai
sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan
oral. Obat Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon
fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain
c. Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas
d. Penggunaan Imunoterapi.
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara
lain :
1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2. Tidak menimbulkan takifilaksis.
3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun
demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan
dengan adanya efek samping sistemik.
Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen,
farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam
penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan
bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat
diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang
kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama
dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan
kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila
penyebabnya adalah alergen hirupan.
Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan
kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama
sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang
biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang sering
dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan. Medikamentosa diberikan
bila perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama. Imunoterapi pada
anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan. Jenis-jenis terapi
medikamentosa akan diuraikan di bawah ini:
1) Antihistamin-H1 oral
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga
mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis.
Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi
pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan generasi kedua
yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.
Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena
mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat
diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam
mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang
efektif dalam mengatasi kongesti hidung.Efek samping antihistamin-H1
generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan antihistamin-
H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak
mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.
2) Antihistamin-H1 lokal
Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja
dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti
alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit)
dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini relatif ringan.
Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.
3) Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas
dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling
efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan
terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan
karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada
laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung
jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis
setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini
diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang
menonjol.
4) Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison,
metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason)
poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka
pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid intranasal
digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek
samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai
batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk
rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian
kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
5) Kromon lokal (‘local chromones’)
Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil,
mekanisme kerjanya belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat
efektif, sedangkan kromon intranasal kurang efektif dan masa kerjanya singkat.
Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat keamanannya baik.
Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast
dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali
sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek samping.
6) Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan
obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung.
Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati.
Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi,
tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan
eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan
dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-
H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.
7) Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan
xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi
gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada
dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk
mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik
pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis
toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan
sistem saraf pusat.
8) Antikolinergik intranasal
Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan
gejala beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek
samping lokalnya ringan dan tidak terdapat efek antikolinergik sistemik.
Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik pada anak dengan keluhan
hidung beringus yang menonjol.
9) Anti-leukotrien
Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan
memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai
sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih
diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat
ditoleransi tubuh dengan baik.
2.3 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
 Identitas Pasien
Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, bangsa, pendidikan
dan pekerjaan pasien.
 Keluhan Utama
Pasien mengalami bersin-bersin, hidung mengeluarkan secret, hidung tersumbat,
dan hidung gatal.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Hal yang perlu dikaji yaitu apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit
THT.
 Riwayat Keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga sebelumnya yang mungkin
ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
 Riwayat kelahiran
a) Prenatal – kesehatan ibu, pengobatan, penggunaan alcohol atau obat terlarang,
perdarahan vagina, penambahan berat badan, lamanya kehamilan
b) Natal – sifat persalinan dan kelahiran, berat badan lahir
c) Neonatal – upaya resusitasi, sianosis, ikterik, infeksi.
 Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
a. Pertumbuhan fisik – berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala saat lahir dan
usia 1, 2, 5, dan 10 tahun.
b. Perkembangan – usia anak ketika dapat mengangkat kepala, berbalik, mundur,
duduk, berjalan, dan berbicara.
c. Perkembangan sosial – pola tidur siang dan malam hari, toilet training, masalah-
masalah wicara, perilaku kebiasaa, masalah-masalah disiplin, performa
sekolah, hubungan dengan orangtua, saudara sekandun, dan teman sebaya.
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk rhinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi pemeriksaan
wajah,mata, dan telinga juga penting.
a. Hidung
Inspeksi : permukaan hidung terdapat secret mukoid
Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi.
 Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat,disertai
adanya sekret encer yang banyak.
 Dalam hal ini kita menentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung.
 Pada rinitis alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya
berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus kental, purulen, dan
berwarna dapat timbul pada rinitis alergi.
 Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi septum atau perforasi
septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis.
b. Wajah
Inspeksi :
 Adanya allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.
 Adanya nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang
melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung
ke atas dengan tangan.
c. Mata
Inspeksi : Adanya pembengkakan konjungtifa palpebral yang disertai dengan
produksi air mata.
d. Telinga
Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani. Kelainan
mobilitas dari membran timpani dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai
dengan disfungsi tuba eustachius dan otitits media sekunder.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret
b) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera kimiawi
c) Resiko deficit nutrisi berhubungan dengan anoreksia
3. Intervensi Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/ d dengan peningkatan produksi secret d/d
pasien mengatakan gatal pada hidungnya, batuk kering, pasien mengatakan bersin-
bersin, secret hidung jernih, nyeri di daerah paranasal, epistaksis, odema mukosa
hidung
Tujuan : mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/ jelas.
Kriteria hasil :

- Klien tidak merasa sesak


- Klien dapat mengeluarkan sekret
- Hidung klien tidak buntu
Tindakan perawatan Rasional

1. Observasi frekuensi/kedalaman 1. Takipnea, pernapasan dangkal dan


pernapasan dan gerakan dada gerakan dada tak simetris sering
terjadi karena ketidaknyamanan
gerakan dinding dada dan atau
cairan paru.

2. Auskultasi area paru, catat area 2.Penurunan aliran udara terjadi pada
penurunan/tak ada aliran udara dan area konsolidasi dengan cairan,
bunyi napas krakels krakels terdengar sebagai respon
terhadap pengumpulan cairan,
secret.

3. Berikan minum air hangat daripada 3. Cairan hangat memobilisasi dan


air dingin mengeluarkan secret.

4. Membantu menurunkan spasme


4. Kolaborasi pemberian mukolitik, bronkus dengan mobilisasi secret.
ekspektoran
b. Nyeri akut b/d agen pencedera kimiawi d/d pasien mengatakan sakit kepala, pasien
mengatakan gatal pada hidungnya, pasien mengatakan bersin-bersin, odema
mukosa hidung,epistaksis, nyeri di daerah paranasal.
Tujuan : nyeri pasien berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
- Skala nyeri (0-1)
- TTV dalam batas normal ( N : 80-100xx/menit, RR : 16-25xx/menit)
- Wajah tidak tampak meringis
Tindakan perawatan Rasional

1. Tentukan karakteristik nyeri, misal : 1. nyeri merupakan pengalaman


tajam, ditusuk, konstan subjektif dan harus dijelaskan oleh
pasien. Identifikasi karakteristik
nyeri dan faktor yang berhubungan
merupakan suatu hal yang amat
penting untuk memilih intervensi
yang cocok dan untuk
mengevaluasi keefektifan terapi
2. Observasi adanya tanda tanda nyeri yang diberikan
non verbal, seperti: ekspresi wajah, 2. merupakan indicator derajat nyeri
posisi tubuh, gelisah, yang tidak langsung yang dialami.
menangis/meringis, menarik diri, Sakit kepala bersifat akut atau
diaphoresis, perubahan frekuensi kronis, jadi manifestasi fisiologis
jantung/pernapasan dan tekanan bisa muncul atau tidak
darah
3. Observasi tanda vital
3. perubahan frekuensi jantung atau
TD menunjukkan bahwa pasien
mengalami nyeri
4. Berikan tindakan nyaman, misal :
relaksasi, pijatan punggung
4. tindakan non analgesic diberikan
dengan sentuhan lembut dapat
menghilangkan ketidaknyamanan
dan memperbesar efek terapi
5. Kolaborasi dalam pemberian analgesic.
analgesic.
5. Diharapkan dapat membantu
mengurangi nyeri

c. Risiko deficit nutrisi b/d anoreksia


Tujuan : nutrisi adekuat
Kriteria hasil :

- Nafsu makan klien bertambah


- Porsi makan habis
- Klien tidak terlihat lemas
Tindakan perawatan Rasional

1. Anjurkan keluarga untuk tetap 1. Pemberian makan porsi sedikit tapi


memberikan makanan dalam sering diharapkan dapat
porsi sedikit tapi sering ketika mengurangi respon untuk muntah
alergi timbul
2. HE keluarga klien untuk 2. Makanan dan minuman hangat
menyajikan dapat meningkatkan nafsu makan
makanan/minuman dalam anak
keadaan hangat
3. HE keluarga klien untuk 3. Dapat meningkatkan pengetahuan
memberikan menu TKTP dan tentang diit yang tepat dan nutrisi
pentingnya nutrisi yang baik bagi anak
4. Kolaborasi dengan ahli gizi. 4. Untuk dilakukan tindakan
selanjutnya
2.10 WOC Rhinitis Alergi

Alergen (debu rumah, makanan, bulu binatang dan lain-lain)

Masuk ke dalam tubuh

Merangsang sel T untuk melepas sitokin

Sel Beta terangsang membentuk Ig E

Ig E berikatan dengan alergen

Degranulasi sel mast

Pelepasan mediator kimia

Reaksi alergi

B1 B2 B3

Bronkokontriksi Sel goblet Vasodilatasi vaskuler Merangsang sel saraf Pemberian imunoterapi
vadianus
Sesak nafas Hipersekresi mukus Permeabilitas vaskuler Prosedur invasif

Rasa gatal dan tidak nyaman


Dispnea Penumpukan sekret Keluarnya protein plasma Sumber stressor anak
dan leukosit
Pola napas tidak efektif Ketidakmampuan Nyeri Akut Mengaktifkan saraf

mengeluarkan sekret Eksudasi plasma simpatis

Bersihan jalan nafas tidak Adrenalin meningkat

efektif
Ketakutan
B5 B6
B4
Hidung buntu, sesak napas
Tidak ditemukan masalah Asupan energy berkurang
Gangguan pada indra
penciuman
Otot kurang mendapat suplai
Mempengaruhi nafsu makan nutrisi

Nafsu makan berkurang Metabolisme anaerob

Asupan nutrisi tidak adekuat Penumpukan asam laktat

Resiko Defisit Nutrisi


Kelelahan otot local,penurunan

aktivitas otot

Keletihan

También podría gustarte