Está en la página 1de 18

Refleksi Kasus Juli 2017

“MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI BIVALVE


NEPHROLITHOTOMY”

Disusun Oleh:
ANGGA PRATAMA
N 111 16 057

Pembimbing Klinik:
dr. SALSIAH, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan
secara intravena.

Terdapat beberapa jenis anestesi, antara lain lokal / infiltrasi, blok / regional,
umum /general. Anestesia umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen anestesia yang ideal terdiri dari hipnosis (hilang kesadaran), analgesi
(hilang rasa sakit), dan relaksasi.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan
tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam
saluran pernapasan bagian atas. Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah
ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang
merupakan komplikasi yang sering kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa
terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti pengeluaran sekret dari mulut
yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring.
Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan
hipoksemia.
Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam
suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan
dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan
baik.

Nefrolitiasis merupakan kristalisasi dari mineral dan matriks seperti pus


darah, jaringan yang tidak vital. Komposisi dari batu ginjal bervariasi, kira-kira tiga
perempat dari batu adalah kalsium, fosfat, asam urin dan cistien.peningkatan
konsentrasi larutan akibat dari intake yang rendah dan juga peningkatan bahan-
bahan organic akibat infeksi saluran kemih sehingga membuat tempat untuk

2
pembentukan batu. Ditambah dengan adanya infeksi meningkatkan kebasaan urin
oleh produksi ammonium yang berakibat presipitasi kalsium dan magnesium
pospat.
Sehingga laporan kasus ini bertujuan untuk membahas mengenai
manajemen anestesi pada pasien nefrolithiasis dengan tindakan bivalve
nefrolithotomi.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 IDENTITAS PASIEN


1. Nama : Tn. AM
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Usia : 51 Tahun
4. Berat Badan : 55 kg
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : Petani
7. Alamat : Tondo
8. Tanggal Operasi : 11 / 07/ 2017
9. Diagnosa Pra Bedah : Batu Staghorn Renal (s)
10. Jenis Pembedahan : Bivalve Nephrolithotomy
11. Jenis Anestesi : General Anestesi
12. Teknik anestesi : Intubasi

2.2 ANAMNESIS
 Keluhan Utama : Nyeri di bagian perut kiri
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RS dengan keluhan nyeri pada perut kiri tembus
belakang yang dirasakan semakin memberat sejak 2 hari terakhir. Pasien
mengeluh awalnya nyeri pada perut bagian bawah kemudian berpindah
sampai kebagian belakang. Nyeri (+) setelah BAK. Mual (-), muntah (-),
sakit kepala (-), demam (+), buang air besar (BAB) lancar seperti biasa.

 Riwayat AMPLE
o A (Alergy) : Tidak didapatkan Alergi terhadap obat, asma (-)
o M (Medication) : tidak sedang menggunakan pengobatan tertentu

4
o P (Past History of Medication) : Riwayat DM (-), HT (-), icterus (-),
riwayat penggunaan obat-obat (+).
o L (Last Meal) : Pasien terakhir makan ± 1 hari SMRS, mual (-),
muntah (-)
o E (Elicit History) : Nyeri perut di sebelah kiri tembus kebelakang
sejak 1 minggu SMRS

2.3 Pemeriksaan Fisik Pre Operasi


B1 ( Breath) : Airway paten, nafas spontan, reguler, simetris, RR
20x/m, pernapasan cuping hidung (-), snorig (-), stridor
(-), buka mulut lebih 3 jari, Mallampati score class I.
Auskultasi : Suara napas bronchovesiculer, rhonki (-/-
), wheezing (-/-)
B2 (Blood) : Akral hangat, nadi reguler kuat angkat 80x/m,
CRT 2” , ictus cordis teraba di SIC 5, S1-S2 reguler,
murmur (-) gallop (-)
B3 ( Brain) : Compes mentis, GCS 15, refleks cahaya +/+
B4 (Bladder) : BAK : kateter (+), BAB biasa
B5 (Bowel) : cembung (+), nyeri tekan (+)
B6 (Bone) : Nyeri (-), krepitasi (-) morbilitas (-), ekstremitas
deformitas (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Lab
Darah : RBC : 5,61 106/mm3 WBC :10,74 103/mm3
HB : 13,9 g/dl HCT : 38,0 %
PLT : 278 103/mm3 HBsAg: non reaktif
GDS : 82,8 mg/dl Ureum : 24 mg/dl
SGPT : 9,3 UI Creatinin: 0,84 mg/dl
SGOT : 18,7 UI

5
2.5 PERSIAPAN PRE OPERATIF
1. Di Ruangan
- Surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi
(+)
- Puasa: (+) 10 jam 30 menit preop
- Persiapan Whoole blood (+) 2 bag
- IVFD RL 16 tpm
2. Di Kamar Operasi
o Persiapan dasar Intubasi
o Laringoskop
o ETT
o Introducer (stylet)
o Oral dan nasal airway
o Suction
o Assistant yang terlatih
o STATICS: Scope → stetoskop, laringoskop
Tubes → ETT (cuffed) size 7,5 mm
Airway → orotracheal airway
Tape → plester untuk fiksasi
Introducer → untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector → penyambung antara pipa dan ventilator
Suction → memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
o Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut, dan
EKG.
o Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi : sulfas atrofin,
lidokain, adrenalin, dan efedrin.

6
2.6 Durante Operatif
 Laporan Anestesi Durante Operatif
 Jenis anestesi : Anestesi umum
 Teknik anestesi: Intubasi Endotrakeal
 Obat : Sevofluran
 E.T.T No. : 7.0
 Lama anestesi : 09.45- 12.50 ( 3 jam 5 menit)
 Lama operasi : 10.20 – 12.45 (2 jam 30 menit)
 Anestesiologi : dr. Sofyan, Sp.An
 Ahli Bedah : dr. Wayan, Sp.U
 Posisi : lateral dekubitus
 Infus : 1 line di tangan kiri dan 1 line ditangan kanan
 Jumlah medikasi
- Midazolam 4 mg
- Ondansentron 4 mg
- Fentanyl 60 mcg
- Propofol 100 mg
- Atracurium besilate 25 mg
- Sevoflurane
- Ketorolac 30 mg

7
Monitoring Anestesi
160
140
120
100
80
60
40
20
0
9:45
9:50
9:55

12:10
12:15
12:20
10:00
10:05
10:10
10:15
10:20
10:25
10:30
10:35
10:40
10:45
10:50
10:55
11:00
11:05
11:10
11:15
11:20
11:25
11:30
11:35
11:40
11:45
11:50
11:55
12:00
12:05

12:25
12:30
12:35
12:40
12:45
Sistolik Nadi Diastolik

Keterangan:
: Mulai anestesi
: Mulai operasi
: Operasi selesai
: Anestesi selesai (sign out)

 Terapi Cairan
 BB : 55 Kg
 EBV : 75 cc/kg BB x 55 kg = 4125 cc
 Jumlah perdarahan : ± 300 cc
% perdarahan : 300/4125 x 100% = 7,3 %
 Pemberian Cairan:
o Cairan masuk :
Durante operatif : Kristaloid RL 1500 cc
Total input cairan : 1500 cc
o Cairan keluar :
Durante operatif : Perdarahan : ± 300 cc

Urin : ± 500 cc

Total output cairan : ± 800 cc

8
PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : = 35 cc/KgBB/24jam
= 35 x 55 kg= 1925 cc/ 24 jam = 80 cc/jam

2. Cairan defisit pengganti puasa (P) :


Lama puasa x maintenance = 10 jam 30 menit x 80 = 840 ml
Cairan yang masuk saat puasa :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝑙)


𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑡𝑒𝑠𝑎𝑛 (𝑡𝑝𝑚) 𝑥 𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑝𝑢𝑎𝑠𝑎 (𝑚)
= ⌊ ⌋
(20)

16 𝑥 630
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝑙) = ⌊ (20)
⌋= 504 mL

Jadi, defisit cairan pengganti puasa selama 10 jam 30 menit adalah


840 - 504 = 336 mL

3. Stress Operasi Besar : 8 cc x 55 kg = 440 ml/jam


4. Cairan defisit darah dan urin: 300 cc + 500 cc = 800 cc
Total kebutuhan cairan selama 2 jam 30 menit operasi = (80
cc/jam x 2.5 jam ) + 336 mL + 440 mL+ 800 mL= 1776 mL
b. Cairan masuk :
 Kristaloid : 1500 mL
 Whole blood : -
 Total cairan masuk : 1500 ml

c. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 1500 ml – 1776 ml = -276 ml

9
d. Perhitungan cairan pengganti darah :

38 − 24
= 4125 ⌊ ⌋
38 + 24
( 2 )

= 1856 mL

Transfusi + 3x cairan kristaloid = volume perdarahan


0 + 3x = 300
3x=300
X : 3 x 300 = 900 ml
Untuk mengganti kehilangan darah 300 cc diperlukan ± 900 cairan
kristaloid.

2.7 Post Operatif


1. Nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Memasang O2 2 L/menit nasal kanul.
3. Memberikan antibiotik, H2 reseptor bloker dan analgetik.
o Nadi : 88 x/menit
o RR: 22 x/menit
o TD: 130/80
o VAS Score: 6
4. Skor pemulihan pasca anestesi: Alderette Score
o Aktivitas = Dua ekstremitas dapat digerakkan (1)
o Respirasi = Dangkal namun pertukaran udara adekuat (1)
o Sirkulasi = TD ± 20% dari nilai pre anestesi (2)
o Kesadaran = sadar, siaga, orientasi (2)
o Warna kulit = pucat (1)
o Skor Pasien (7): pasien ACC dipindahkan ke ICU.

10
BAB III
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi


anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik (ASA), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan. Yaitu
general anestesi dengan intubasi.

Berdasarkan hasil pra operatif tersebut, maka dapat disimpulkan status fisik
pasien pra anestesi. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat
klasifikasi status fisik pra anestesia menjadi 5 kelas, yaitu :

ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik

ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.

ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai dnegan penyakit sistemik berat yang
disebabkan oleh berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa.

ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupnnya.

ASA 5 pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperassi ataupun tidak selama 24 jam passien
akan meninggal.

Pada kasus ini, pasien laki-laki usia 51 tahun dengan diagnosis batu ginjal
dengan rencana tindakan bivalve nefrolithotomi. Setelah dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang disimpulkan keadaan umum pasien
tergolong dalam status fisik ASA I.

Pada pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general
anastesi. Adapun indikasi dilakukan general anastesi adalah karena pada kasus ini
operasi yang dilakukan dalam posisi lateral dekubitus dan supaya pasien tidak

11
bergerak sepanjang operasi dan kerena waktu operasi yang lama. Selain itu juga
untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan, mempermudah pemberian anestesia, mencegah
kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung
penuh dan tidak ada refleks batuk) dan pemakaian ventilasi mekanis yang lama,
serta mengatasi obstruksi laring akut.

Secara umum indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain :5


a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai
oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Sebagai proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
d. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan,
karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan
face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
e. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang
dan tidak ada ketegangan.
f. Operasi intra-torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan
dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah
pengontrolan tekanan intra pulmonal.
g. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
h. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.

Selain itu, terdapat juga indikasi intubasi nasal antara lain :

a. Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya


tonsilektomi, pencabutan gigi, operasi pada lidah.
b. Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi pasien.
c. Bila direct vision pada intubasi gagal.

12
d. Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.

Beberapa kontraindikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain:

a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak


memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Pada pasien tidak dilakukan anestesi spinal karena posisi sepanjang


operasi tidak enak bagi pasien sehingga tangan pasien bisa bergerak semasa operasi
dan mengganggu operasi. Selain itu jika dilakukan anestesi spinal, blok akan
menjadi tinggi karena posisi kepala pasien sedikit ke bawah. Anestesi spinal
memiliki beberapa efek samping, salah satunya yang paling sering adalah hipotensi
yang diakibatkan blokade simpatis.

Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait


tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi untuk
mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan. Pada pasien ini, pemeriksaan fisik
ataupun laboraturium tidak menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi
kontraindikasi dilakukannya tindakan.

Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam dan pasien


sudah melakukan puasa 10 jam 30 menit. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya
aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya
tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan
sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.

Pasien diberikan premedikasi berupa sedacum yang berisi midazolam


termasuk golongan benzodiazepine. Telah diketahui bahwa tujuan pemberian
premedikasi ialah untuk mengurangi respon terhadap stress hormone endogen,

13
mengurangi obat induksi maupun rumatan. Penggunaan midazolam untuk
premedikasi pada anak-anak maupun orang usia lanjut memberikan hasil yang baik.
Premedikasi mengurangi stres hormone terutama pada anak-anak. Dosis yang aman
untuk premedikasi iv 0,1-0,2 mg/kgBB. Pada pasien kali ini diberi midazolam
dengan dosis 4 mg. Kemudian injeksi ondansentron 4 mg yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya mual dan muntah. Ondansentron bekerja sebagai antagonis
selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara menghambat
aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah
induksi. Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anastesi intravena yaitu Propofol
100 mg I.V (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek induksi yang cepat,
dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat
menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini
mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.
Pemberian fentanyl yang merupakan obat opioid yang bersifat analgesic dan bisa
bersifat induksi. Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk
menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan
mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Injeksi fentanyl 80
mcg pada awalnya sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.
Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Fentanil
merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan termasuk dalam
opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB. Opioid dosis tinggi yang
deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx,
dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut. Kemudian ditambahkan
injeksi 20 mcg lagi karena pasien merasakan nyeri ditandai dengan peningkatan
tekanan darah dan nadi.
Pemberian Injeksi atracurium besilate 25 mg (Tramus) sebagai pelemas otot
untuk mempermudah pemasangan Endotracheal Tube. Merupakan obat pelumpuh
otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin.

14
Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang
lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan
laringoskop blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien dengan
metode chin-lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara
mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan
pipa endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff nomor 7.0.
Pemasangan ETT pada pasien ini 1 kali dilakukan.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka
dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 50 ml/menit sebagai anestesi rumatan.
Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek
induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya
pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil
dan jarang menyebabkan aritmia
Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat
setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi
perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien
dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir selesai. Kemudian
dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat untuk menghindari penurunan
saturasi lebih lanjut.
Penambahan obat medikasi tambahan adalah Sebagai analgetik digunakan
Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml)
disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja
menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa
nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara
dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih
lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi
nafas. Injeksi petidine 50 mg untuk memberikan efek analgetik dan mengatasi
keluhan menggigil pada pasien. Petidin merupakan agonis opioid sintetik yang
bekerja pada reseptor opioid μ (mu) dan κ (kappa). Petidin mempunyai efek untuk

15
mengatasi menggigil melalui reseptor κ. Petidin merupakan obat yang paling efektif
dan sering digunakan untuk mengatasi menggigil. Akan tetapi petidin mempunyai
beberapa efek samping yang tidak menguntungkan seperti mual, muntah, pruritus
dan depresi nafas. Injeksi metronidazole 500 mg sebagai obat antimikroba untuk
menangani infeksi
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada
pemeriksaan fisik tekanan darah 120/ 60 mmHG, nadi 72 x/menit, dan laju respirasi
20 x/menit. Pembedahan dilakukan selama 2 jam 30 menit dengan perdarahan ±
300 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Aldrete
score 7, maka dapat dipindah ke ICU.

16
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :

1. Pada kasus dilakukan operasi hernioraphy pada laki laki usia 51 Tahun, dan
setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ditentukan status
fisik ASA I dan dilakukan jenis anestesi dengan General Anestesi dengan
teknik Intubasi endotrakeal.
2. Pada pasien ini menjemen anestesi dimulai dari pre operatif, intra operatif serta
post operatif.
3. Berdasarkan penggunaannya cairan dibagi atas beberapa golongan, yaitu cairan
pemeliharaan (maintenance), cairan pengganti puasa, cairan pengganti operasi
dan pengganti perdarahan.
 Kebutuhan cairan pemeliharaannya pada kasus 80 ml/jam
 Cairan pengganti puasa adalah 336 ml/jam.
 Total kebutuhan cairan selama operasi 2 jam 30 menit adalah
1776 mL
 Perdarahan pada kasus adalah 300 cc diperlukan ± 900
cairan kristaloid
 Keseimbangan cairan pada kasus – 276 ml
4. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Setelah menjalani
operasi dilakukan perawatan di Ruang ICU karena aldrete score 7.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI

2. Dobson, M. Penuntun Klinis Praktis Anastesi . EGC:Jakarta; 2015.


3. Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.
Philadelphia: LippincoETT, Williams, and Wilkins.
4. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange
Medical Book. 2006.

5. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta


Kedokteran FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius. 2002.
6. Desai AM, General Anesthesia. Accessed on April 5 2017. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall.
7. General Anesthesia. Accessed on April 4 2017. Available at
http://www.mayoclinic.com/health/anesthesia/MY00100

8. Handoko, Tony. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi


kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2002.
9. Farmakologi FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2012.
10. Muhardi, M, dkk. Anestesiologi. Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia. 1989.

18

También podría gustarte