Está en la página 1de 14

AGEN-AGEN SOSIALISASI

Definisi Agen-agen Sosialisasi

Individu / pihak yang mampu membentuk individu yang menghayati nilai-nilai


moral. Terdapat 5 agen sosialisasi iaitu:

Institusi Keluarga

Institusi Pendidikan

Masyarakat

Institusi Agama

Media Massa

A. Institusi Keluarga

1. Ibu bapa menjadi “Role Model” dalam pembentukan sahsiah anak-anak.

2. Mewujudkan persekitaran rumahtangga yang harmonis dan suasana yang


selamat bagi anak-anak.

3. Ahli keluarga sebagai penasihat atau kaunselor kepada anak-anak yang


menghadapi masalah.

4. Saling membantu, menyokong dan bekerjasama dalam setiap aspek


kehidupan.

5. Rumah adalah sumber untuk mendapatkan kasih sayang.

6. Mendidik anak-anak dari kecil tentang tatacara bersosial dan persekitaran


7. Membetulkan kesalahan anak-anak.

8. Memberikan didikan agama dan moral melalui cerita, kisah-kisah dan


teladan

B. Institusi Pendidikan

1. Pengetahuan Moral:

i. Memberikan maklumat/teori moral

ii. Penerapan melalui aktiviti

iii. Pengukuhan melalui ujian dan peperiksaan

2. Peraturan Sekolah

i. Lembaga Disiplin memastikan peraturan sekolah dikuatkuasakan dan


dipatuhi

ii. Mencegah dan menghalang pelajar daripada melakukan perkara-perkara


yang tidak bermoral

3. Kegiatan Ko-Kurikulum:

i. Pelajar mengisi masa dengan aktiviti yang berfaedah.

ii. Menyediakan alternatif kepada para pelajar untuk menyalur minat dan
kebolehan masing-masing.
4. Menyediakan persekitaran yang merangsang pertumbuhan emosi dan sosial
yang sihat melalui jalinan ikatan mesra dan muhibbah.

5. Guru bertindak sebagai ibubapa kedua atau mentor kepada pelajar.

C. Institusi Masyarakat

1. Membentuk nilai-nilai yang diterimapakai dalam kumpulan masyarakat

2. Menunjukkan perlakuan yang boleh atau tidak dapat diterima oleh


kumpulan.

3. Mempamerkan cara-cara hidup yang sesuai dan perlu diikuti oleh golongan
muda-mudi.

4. Mengubah tingkahlaku individu yang tidak sesuai dengan teguran dan


penjelasan.

5. Nilai masyarakat majmuk dapat membanding yang kurang dalam diri kita.

6. Adat resam dapat mempengaruhi pembentukan peribadi yang lemah lembut


dan berhemah tinggi.

7. Menjatuhkan hukuman bagi individu yang perilaku tidak sesuai dengan


nilai-nilai masyarakat melalui sindiran, pandangan atau kata nasihat.

D. Institusi Agama

1. Melalui penyampaian ajaran agama yang disampaikan dalam bentuk


khutbah, ceramah, penyampaian melalui pendeta, sami.

2. Pembacaan melalui kitab-kitab mengikut agama yang dianuti.

3. Melalui lagu-lagu rohani


4. Aktiviti kerohanian

5. Seminar keagamaan yang bersifat membentuk remaja

6. Perayaan sesuatu agama

E. Institusi Media Massa

1. Membekalkan maklumat baik-buruk sesuatu perkara

2. Menerbitkan rancangan berunsur agama dan pendidikan (TV/Radio)

3. Menyelitkan pengajaran/teladan dalam artikel

Kesimpulan

• Sosialisasi merupakan satu agen untuk membentuk tingkahlaku yang boleh


diterima oleh masyarakat,

• institusi keluarga, rakan sebaya, institusi pendidikan, institusi agama dan


media massa memainkan peranan penting sebagai agen sosialisasi
SEKOLAH SEBAGAI AGEN SOSIALISASI

Sekolah memperoleh mandat tegas untuk mensosialisasikan nilai dan norma


kebudayaan bangsa dan negaranya. Oleh karena itulah di sekolah berlangsung
proses pendidikan dan pengajaran.

a. FUNGSI UTAMA PENDIDIKAN.

1. Menyiapkan anak-anak untuk menyongsong kehidupannya kelak.


2. Membantu perkembangan potensi anak sebagai pribadi yang utuh dan makhluk
sosial yang bermanfaat bagi kehidupan sosial.

b. PROSES YANG TERJADI DALAM PENDIDIKAN.

1. Memelihara kebudayaan dengan mewariskannya kepada generasi muda.


2. Mengembangkan kemampuan partisipasi siswa.

3. Memperkaya kehidupan dengan memperluas wawasan pengetahuan dan seni


siswa.
4. Meningkatkan penyesuaian diri siswa dengan bimbingan pribadi dan berbagai
pelajaran.
5. Meningkatkan kesehatan siswa dengan latihan-latihan fisik dan pelajaran
tentang kesehatan

.6. Membentuk warga negara yang patriotic

Melalui proses pendidikan, anak-anak diperkenalkan pada nilai dan norma atau
budaya masyarakat, bangsa, dan negaranya, sehingga diharapkan dapat memahami,
menghayati, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Semua itu amat bermanfaat bagi pengembangan kepribadian anak sebagai individu
dan sekaligus sebagai warga masyarakat, bangsa, dan negara. Sekolah
sesungguhnya juga menyediakan sarana bagi terbentuknya kelompok teman sebaya
(peer group).
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan
sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok
bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya
sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa
jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya,
di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan
menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa
mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh
agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung
satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam
situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.

Keluarga (kinship)

Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara
kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-
sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas
karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi
kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat
perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng
yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat
agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya
pramusiwi, menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem
keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam
ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.

Teman pergaulan

Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan
manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain
dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula
memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh
teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak
berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak
sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok
bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang
yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak
dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang
kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
Lembaga pendidikan formal (sekolah)

Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca,


menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan
mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan
kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan
dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah
sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung
jawab.

Media massa

Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar,
majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya
pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang
disampaikan.
Contoh:

Penayangan acara SmackDown! di televisi diyakini telah menyebabkan


penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus.

Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya
hidup masyarakat pada umumnya.

Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau tv,
didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu dari
media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah
mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya
perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.

Agen-agen lain

Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga
dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan
lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya
sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang
pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh
agen-agen ini sangat besar.
Class Streaming

Saya melihat arahan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan menerusi


Ketua Pengarah Pelajaran Datuk Dr Amin Senin untuk menghentikan amalan
pengasingan kelas sebagai satu cabang kepada anjakan positif pendidikan negara
ke arah menyesuaikan murid dengan persekitaran semasa yang semakin rencam.

Tidak dinafikan sistem pengasingan kelas atau ‘streaming’ yang telah berjalan
selama lebih enam puluh tahun dalam sistem pendidikan sekolah mempunyai
tujuan yang baik antara lain untuk memupuk persaingan murid dalam darjah untuk
belajar bersungguh-sungguh seterusnya berjaya untuk memasuki kelas nombor
satu. Namun, sejauh mana persaingan ini benar-benar difahami pelajar sekolah
khususnya murid di sekolah rendah? Selanjutnya adakah amalan pengasingan kelas
ini dapat membuahkan hasil untuk memajukan pembelajaran dan pendidikan
murid-murid secara keseluruhan?

Sewaktu di bangku sekolah saya pernah menduduki kelas terkebelakang (kelas


nombor 3) kemudian berpindah ke kelas nombor dua dan seterusnya kelas pertama
dalam darjah. Apabila murid naik ke kelas pertama pasti akan ada murid yang
turun kelas dan saya melihat rakan sedarjah yang dikeluarkan dari kelas pertama
untuk diturunkan ke kelas bawah.

Persoalan yang timbul dalam fikiran sejauh mana mereka dapat menggilap semula
keberkesanan pembelajaran mereka ketika berada di kelas pertama sama seperti di
kelas bawah kerana tumpuan pembelajaran yang berkesan seperti guru-guru
berkualiti serta kelas tambahan khas hanya menjurus kepada murid yang
menduduki kelas pertama.

Atas faktor sistem exam oriented yang mengejar pencapaian gred A dalam
peperiksaan, fokus guru terarah untuk memastikan semua pelajar kelas pertama
mencapai gred semua A kerana mereka telah terangkum dalam kelompok "murid
harapan sekolah".

Sebaliknya sasaran untuk pelajar kelas bawah hanya semata-mata untuk


dikurangkan bilangan pelajar yang gagal dalam peperiksaan biarpun mendapat
gred B, C, atau D.

Maka, dari sudut motivasi saya sendiri melihat murid rata-rata di kelas bawah
sudah tiada semangat persaingan untuk belajar bersungguh-sungguh akibat dari
layanan seperti ini yang dilakukan dari amalan pendidikan sekolah. Maka, sejauh
mana pengasingan kelas ini dapat membawa persaingan yang sihat kepada murid
dalam erti kata sebenar?

Ini belum menyentuh soal pujian melambung dalam perhimpunan oleh guru besar
dan guru-guru lain dalam perhimpunan pagi kepada murid-murid kelas nombor
satu seolah-olah dianakemaskan, sebaliknya murid kelas bawah sering dikaitkan
dengan masalah disiplin dan dan kelompok yang menjadi liabiliti kepada sekolah
yang selanjutnya memudarkan lagi rasa ingin bersaing bersungguh-sungguh kerana
telah merasai tekanan akibat dari bibit-bibit diskriminasi.

Tidak dinafikan mungkin pengasingan kelas perlu hanya untuk aspek tertentu
seperti pembelajaran murid lemah yang dikelompokkan untuk dibangunkan
pembelajaran mereka menerusi sistem kelas pemulihan seperti Program Literasi
dan Numerasi (LINUS), Program Pemulihan 3 M (PROTIM) dan sebagainya,
namun ia bukan menjadi tembok menghalang murid lemah untuk meningkatkan
kualiti pendidikan mereka ekoran dari iklim pembelajaran yang tidak menyokong.

Sepertimana kita mempercayai dasar affirmative action dalam ekonomi untuk


memberi penumpuan membantu rakyat yang lemah, seolah-olah dasar
mirip affirmative action sepi dari amalan pendidikan negara. Kesenjangan dan
jurang dibiarkan berterusan melebar semata-mata ingin mencapai sasaran sekolah
yang tidak seimbang untuk memastikan murid terpilih mencapai gred semua A
dalam peperiksaan. Murid yang maju terus maju ke hadapan dan yang lemah terus
ketinggalan tanpa pernah ditutup jurang kesenjangan.

'Loosestreaming'

Senario ini dibuktikan apabila sekolah tidak pernah sepi dari kedatangan ibu bapa
khususnya yang bertaraf VVIP yang mendesak sekolah memberi peluang kepada
anak mereka untuk dimasukkan ke kelas pertama. Saya tidak menyalahkan ibu
bapa tersebut kerana mereka sendiri sudah boleh menjangkakan apa yang akan
terjadi kepada perkembangan pembelajaran anak-anak mereka jika anak mereka
tidak dimasukkan ke sekolah nombor satu.

Dalam erti kata lain, ibu bapa tidak yakin dengan amalan pengasingan kelas ini
dapat meningkatkan kualiti pembelajaran anak mereka untuk berkembang atas
nama persaingan hingga dapat masuk ke kelas pertama secara sendiri. Maka,
mereka melihat tanpa campur tangan ini, anak mereka hanya akan dimangsakan
oleh sistem pengasingan kelas yang diamalkan.

Selain itu, sikap "kiasu" (mementingkan diri sendiri) akan terpupuk secara sendiri
dalam kalangan murid kelas pertama. Ibu bapa kelas pertama cerewet dengan
pemarkahan anak-anak dalam peperiksaan sehingga memberi tekanan kepada guru
selain wujud murid-murid yang berjiwa elit yang hanya mementingkan pencapaian
individu.

Dikhuatiri murid ini tidak merasai keperluan untuk berkongsi ilmu dengan pelajar
lain apa lagi membantu mengajar murid kelas lemah. Maka, sejauh mana
persaingan yang sihat menerusi amalan sedia ada boleh berlaku?

Justeru, pembaharuan yang ingin dibawa Ketua Pengarah Pelajaran perlu dinilai
dari aspek yang positif secara menyeluruh untuk membawa satu iklim yang sihat
dan bersesuaian. Sepertimana yang dicadangkan ABIM menerusi kenyataan rasmi
presiden Mohamad Raimi Ab Rahim, pemansuhan amalan 'streaming' ini boleh
digantikan dengan kaedah 'loose streaming', iaitu murid pelbagai kebolehan berada
dalam satu kelas agar murid yang berprestasi tinggi boleh membantu murid yang
berprestasi rendah.

Kajian literatur mendapati keberkesanan potensi pembelajaran rakan sebaya (peer


learning) sebagai satu kaedah meningkatkan minat dan prestasi murid
berpencapaian rendah.
Beberapa kebaikan kelas tanpa asing.

1. Murid biasa dapat berkawan dengan murid laju. Tiada lagi istilah enggang sama
enggang, pipit sama pipit. Berkawan tanpa mengira kepintaran IQ dan EQ.

2. Murid laju dididik untuk membimbing rakan mereka. Mengajar cara


penyelesaian mengikut bahasa kanak-kanak yang kadangkala lebih mudah budak
itu faham berbanding penerangan guru.

3. Ibu bapa murid slow berkawan rapat dengan ibu bapa murid yang laju
disebabkan anak mereka kelas yang sama. Maka banyak insentif dari ibu bapa
sendiri yang mewujudkan 'study group' di kalangan anak mereka.

Ibu bapa juga saling bertukar pendapat dan berkongsi tips dan bengkel belajar yang
berkesan. Malah ada ibu bapa yang mahir memberi tunjuk ajar kepada anak-anak
rakan mereka secara percuma semasa 'study group' dijalankan. Ini paling aku suka.

Jika dulu, ibu bapa murid slow biasanya pun slow juga. Tiada saingan antara anak-
anak mereka. Tiada dorongan dari ibu bapa lain untuk terus memajukan anak
sendiri.

Bila digabungkan, ibu bapa murid yang slow baru buka mata tentang cara dan
kesungguhan ibu bapa lain yang mahukan pendidikan terbaik buat anak mereka.

Dari tahun 2011 hingga sekarang, sekolah lama aku teruskan cara begitu. Tiada
pengasingan kelas melainkan satu sahaja.

Tiada masalah. Tiada masalah dan rungutan dari guru mahupun ibu bapa.

Dalam friendlist aku, lebih seribu ibu bapa dan murid dari sekolah lama. Yang
mana kesemua anak-anak mereka tidak diasingkan.

Tanyalah mereka, apa ada masalah jika tidak diasingkan? Apa beri impak buruk?

Setakat aku tahu, semuanya okey dan berjalan lancar.

Tenanglah para guru. Tidak sesukar mana pun sebenarnya bila tiada pengasingan
ini. Bahkan, tiada lagi guru berebut nak ajar kelas yang paling depan sahaja. Kini
semua kelas sama.
Tenanglah ibu bapa. Dasar ini sebenarnya banyak menguntungkan murid. Tidak
perlu risau dengan dasar ini.

Bukankah ada peribahasa Arab berbunyi,

" Sesiapa yang berkawan dengan penjual minyak wangi, pasti terpalit wangi
padanya. Sesiapa yang berkawan dengan penempa besi, pasti terasa bahangnya."

Jadi pada aku, dasar untuk tidak mengasingkan murid ini tiada masalah pun untuk
dijalankan.

Cuma ada tiga cadangan yang aku ingin mereka di atas pertimbangkan
sejajar dengan pelaksanaan dasar ini.

1) Jumlah murid dalam setiap kelas tidak melebihi 30 orang. Ini memudahkan guru
memberi tumpuan dan mengajar 3 kelompok berbeza murid di dalam kelas.

2) Wujudkan pembantu guru seperti negara maju yang lain. Sangat penting
membantu guru dalam persediaan mengajar, alatan, tugasan pengkeranian dan
sebagainya.

3) Ini paling penting. Perlu asingkan juga SATU KELAS murid. Satu kelas
istimewa, khas untuk letakkan murid yang dalam katogeri pemulihan dan LINUS
tegar.

Yang langsung tak kenal huruf dan nombor. Yang mana murid itu murid
berkeperluan khas, disleksia, autisme dan seangkatan dengannya; yang mana ibu
bapa mereka tidak akui dan terus hantar ke kelas aliran perdana.

Jika murid sebegini tidak diasingkan, pasti akan mengganggu murid lain dan
kelancaran proses PdPc itu sendiri.

También podría gustarte