Está en la página 1de 2

Tindak Korupsi Tiada Henti, Apa Akar Masalahnya?

Ketua MPR Zulkifli Hasan di sela-sela perhelatan pernikahan putrinya di Grand Ballroom
hotel Raffles, Kuningan, Jaksel, Ahad 24 September 2017 mengungkapkan kesedihannya dengan
banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus korupsi kepala daerah di banyak tempat akhir-akhir
ini. Dari kalangan kepala daerah dari Adriansyah (Tanah Laut), Atty Suharti (Cimahi), Ratu Atut
Chosiyah (gub, Banten), Fuad Amin (Bangkalan), Sri Hartini (Klaten), Tubagus Imam Ariyadi (Cilegon),
Edy Rumpoko (Batu, Malang), Ridwan Mukti (Bengkulu), Siti Masitha (Tegal), terbaru Rita Widyasari
(bupati Kutai Kartanegara).
Belum lagi mereka yang ditangkap dari kalangan penegak hukum seperti Dewi Suryana (PN
Bengkulu) yang disangkakan dagang perkara, atau sebelumnya seperti Akil Mukhtar (mantan ketua
MK), Patrialis Akbar, kasus panitera PN Jaksel Tarmizi, dll. Dari kalangan anggota dewan (pusat
maupun daerah), seperti Musa Zainuddin (PKB), Andi Taufan Tiro (PAN), I Putu Sudiartana
(Demokrat), Miryam S Haryani, Markus Nari (dalam kasus E-KTP) dll.
Itu semua hanya bagian kecil dari deretan kasus-kasus penyalahgunaan wewenang oleh para
penyelenggara negara dalam masalah penggunaan uang. Belum kasus lain yang menjerat mereka
seperti pesta narkoba, plagiasi karya ilmiah, pelanggaran norma susila dll.

Politik Uang
Zulkifli Hasan sedih karena parpol akan kehabisan kader bila OTT KPK terus-terusan terjadi.
[detikNews, Minggu, 24 September 2017]. Menurutnya, akar dari masalah ini adalah politik uang.
Segala sesuatu dari mulai ‘mahar’ untuk menjadi calon yang diusung oleh parpol dalam pilkada,
biaya kampanye, mengamankan kemenangan dari gugatan pihak lawan (seperti kasus yang menjerat
Akil Mukhtar) juga mesti dengan uang. Akibatnya, para kepala daerah tersebut berusaha agar
selama masa menjabat dapat sesegera mungkin memperoleh ganti atas ‘modal’ yang diinvestasikan
untuk meraih jabatan tersebut, dan jika mungkin, mengamankan peluang untuk meraih jabatan
periode kedua.
Cara berpikir ini yang mengantarkan terciptanya budaya korupsi di dalam struktur
pemerintahan. Kewenangan yang dimiliki akan digunakan semaksimal mungkin untuk mengamankan
kepentingan politiknya, belum lagi (jika) ada desakan halus ‘balas budi’ dari partai yang
mengusungnya. Dalam beberapa kasus yang muncul, proyek pembangunan infrastruktur merupakan
bagian paling subur praktek korupsi, dengan dalih apapun; pemenangan tender, fee, hadiah, dll.
Bahkan dalam kasus bupati Klaten, promosi jabatan dalam birokrasi yang seharusnya bebas dari
campur tangan politik pun tidak aman dari praktek korupsi.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan bahwa selama ini OTT tidak dilakukan pada
pemberian pertama. Selalu yang kedua, kesekian, ketiga, ujarnya di gedung DPR, Senayan, Selasa
26/9/2017. [detikNews, Rabu, 27 September 2017]. Proses OTT, menurut Agus Rahardja bermula
dari laporan warga masyarakat. Di saat penggunaan teknologi komunikasi yang sudah flat saat ini,
memungkinkan warga masyarakat menyampaikan laporan indikasi terjadinya tindak pidana korupsi
secara cepat kepada KPK. Di sisi lain, sebagian anggota DPR mengatakan bahwa penyadapan itu
menyalahi HAM. Anggota pansus KPK Masinton Pasaribu bahkan menginginkan penyadapan yang
dilakukan oleh KPK harus diatur dengan undang-undang. Publik yang terdidik tentu bisa membaca
kemana arah yang diinginkan dari usulan itu.

Apa Akar Masalahnya?


Benarkah politik uang merupakan akar masalah dari berbagai problem korupsi, jual beli
jabatan, dagang perkara, penyalahgunaan wewenang, dll, oleh para penyelenggara negara? Ataukah
masih ada bottom problem yang lebih mendasar? Ketua MPR Zulkifli Hasan menyimpulkan bahwa
akar masalah dari semua persoalan tersebut ada pada politik uang, “sistem yang ada di Indonesia
semua tergantung uang”.
Dalam lingkup kausalitas-administratif, pernyataan ketua MPR tersebut mungkin benar. Jika
penjaringan calon kepala daerah, atau pejabat publik apapun, apabila bersih dari penggunaan uang
pada seluruh levelnya, dari mulai penjaringan bakal calon hingga proses pemilihan oleh rakyat bersih
dari sembako dan amplop ‘serangan fajar’, dan jika ada sengketa pilkada MK sebagai pengadil juga
bebas dari praktik politik uang, dengan kata lain dari hulu sampai hilir bersih, maka diharapkan tidak
akan ada praktik korupsi.
Praktik korupsi yang disebabkan cacat proses administrasi akan dapat ditekan. Tinggal
pembinaan dan pengawasan para pelayan publik tersebut agar menjauhi praktik korupsi dan
menghindari pengangkatan pejabat dari kroni atau tidak berdasarkan uji kelayakan sehingga
memberi ruang munculnya praktek korupsi. Kemudian dilengkapi dengan tindakan hukum yang
keras terhadap siapa pun yang terjebak kasus korupsi, untuk memaksimalkan efek jera.

Hedonis, Gaya Hidup Pemicu Korupsi


Ada statement menarik, menurut gubernur Jatim Soekarwo, gaya hidup dan perilaku korupsi
sangat berkaitan erat dengan kehidupan hedonis para pejabat.”Jelas ada kaitan antara gaya hidup
dan perilaku korupsi. Gaya hidup yang hedon, konsumtif, memerlukan biaya tinggi, padahal gajinya
(pejabat) rendah, ya dicuri kemudian uang rakyat” [detikNews, 27 September 2017]. Sebagai
gebernur, Soekarwo, untuk menghindari terjadinya korupsi tersebut, maka dia memilih untuk
melakukan antisipasi secara administratif yakni dengan cara mutasi; memindahkan pejabatnya dari
satu jabatan struktural tertentu kepada jabatan yang lain, menaikkan, menurunkan, bahkan
mencopotnya.
Hanya saja, pilihan sistem hidup yang diambil oleh bangsa muslim terbesar ini memang
berorientasi kepada paham sekuler-materialistik. Para pemimpin politik hari ini, jika dia termasuk
pemimpin yang baik, dia hanya bisa mencegah praktik penyalahgunaan wewenang untuk
memperkaya diri dan kelompoknya secara administratif. Di luar itu, sumber penyalahgunaan
kekuasaan oleh para pejabat, berasal dari stylegaya hidup hariannya, dia dan keluarganya. Jika gaya
hidup yang dijalaninya sederhana, tidak berlebih-lebihan dan konsumtif, maka peluang untuk tidak
tergiur oleh rayuan dan kesempatan yang terbuka untuk melakukan penyalahgunaan wewenang dan
korupsi dapat diantisipasi.

Sebaliknya, jika pilihan gaya hidup yang ditempuh oleh para pejabat tersebut hedonis dan
konsumtif, penyalahgunaan wewenang dan korupsi selalu mengintai, bahkan ketika peluang tidak
ada pun, pejabat seperti itu akan berusaha menciptakan kesempatan. Niat dan kesempatan, ketika
sendiri-sendiri, hanya menjadikan kejahatan itu bersifat potensial,… berpeluang untuk terjadi. Tetapi
ketika ada niat, kesempatan dan kemampuan telah terkumpul, maka kejahatan itu menjadi aktual.
Gaya hidup hedonis dan konsumtif adalah bentuk nyata dari seorang yang mengejar dan
mengutamakan kehidupan di dunia, lebih dari memikirkan keselamatan nasibnya di dalam
kehidupan setelah kematiannya. Gaya hidup hedonis dan konsumtif kadang juga berselimut jubah
kesalehan, bermantel kedermawanan. Namun sejatinya kesalehan dan kedermawanan yang
diperagakan bercorak ‘pemutihan amal’. Waliyadzubillahi.

También podría gustarte