Está en la página 1de 42

REFERAT

KONJUNGTIVITIS VERNALIS

Disusun Oleh:

Brenda Allysa

030.14.033

Pembimbing:

dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp. M, M. sc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH JAKARTA
PERIODE 30 APRIL 2018 – 2 JUNI 2018
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul :
Konjungtivitis Vernalis

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Mata RSUD Budhi Asih periode 30 April – 2 Juni 2018

Disusun oleh:
Brenda Allysa
030.14.033

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp. M, M. sc selaku
dokter pembimbing Departemen Ilmu Penyakit Mata RSUD Budhi Asih

Jakarta, Mei 2018

dr. Ayu S. Bulo Oetoyo Sp. M, M. sc

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. ii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2

2.1 Anatomi Konjungtiva ................................................................................. 2


2.2 Histologi ..................................................................................................... 3
2.3 Perdarahan dan Persarafan.......................................................................... 4

BAB III KONJUNGTIVITIS ........................................................................... 5

3.1 Definisi ....................................................................................................... 5


3.2 Epidemiologi .............................................................................................. 5
3.3 Tanda-tanda konjungtivitis ......................................................................... 5
3.4 Klasifikasi Konjungtivitis ........................................................................... 8

BAB IV KONJUNGTIVITIS VERNAL .......................................................... 18

4.1 Definisi ....................................................................................................... 18


4.2 Epidemiologi .............................................................................................. 18
4.3 Etiologi ....................................................................................................... 18
4.4 Klasifikasi ................................................................................................... 18
4.5 Patofisiologi ................................................................................................ 20
4.6 Gambaran Klinis ......................................................................................... 22
4.7 Diagnosis .................................................................................................... 23
4.8 Pemeriksaan Laboratorium ......................................................................... 23
4.9 Diagnosa Banding ...................................................................................... 24
4.10 Tatalaksana ............................................................................................... 24
4.11 Komplikasi ............................................................................................... 25
4.12 Prognosis .................................................................................................. 26

BAB V KESIMPULAN .................................................................................. 27


DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 28

i
BAB I

Pendahuluan

Radang konjungtiva (konjungtivitis) adalah penyakit mata paling umum di dunia.


Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis
berat dengan banyak sekret purulen kental. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh bakteri,
klamidia, virus, ricketsia, fungi, parasit, imunologi (alergi), kimiawi (iritatif), tidak diketahui,
bersamaan dengan penyakit sistemik, sekunder terhadap dakriosistitis atau kanalikulitis.

Penyakit alergi telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Alergi okular
merupakan salah satu kondisi mata yang paling umum ditemui dalam praktek klinis. Satu
penyebab peningkatan ini tidak dapat ditentukan karena mempertimbangkan kontribusi banyak
faktor, termasuk genetika, polusi udara di daerah perkotaan, hewan peliharaan, dan paparan anak
usia dini. Biaya penanganan medis telah meningkat secara substansial karena lebih banyak
penduduk memerlukan perawatan untuk alergi . Alergi okular sendiri dapat menghasilkan gejala
menjengkelkan dan bentuk parah, seperti keratokonjungtivitis atopik, akhirnya bisa
menyebabkan hilangnya penglihatan.

Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan disebabkan
oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun, hipersensitivitas yang
paling sering terlibat pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1.

Terdapat beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi seperti konjungtivitis flikten,


konjungtivitis vernal, konjungtivitis atopi, konjungtivitis alergi bakteri, konjungtivitis alergi akut,
konjungtivitis alergi kronik, sindrom Stevens Johnson, pemfigoid okuli, dan sindrom Syogren.2
Di bawah ini akan dibahas salah satu dari bentuk konjungtivitis alergi yaitu konjungtivitis
vernalis.

Konjungtivitis vernalis merupakan peradangan pada konjungtiva yang disebabkan oleh


reaksi hipersensitivitas terhadap pajanan allergen seperti debu, serbuk bunga. Dengan gejala
khas mata gatal, berair, silau serta di keluarga dapat memiliki riwaat alergi seperti asma atau
eksim. Epitel konjungtiva edema dan menebal Konjungtivitis vernalis diklasifikasikan menjadi 2
tipe : Tipe palpebral, terdapat Cobble stone / giant papille dan Tipe limbal/bulbar, terdapat nodul

2
dipinggir limbus disebut tranta’s spot. Konjungtivitis vernalis pertama kali didefinisikan oleh
Arlt yang mendapatkan 3 kasus pembengkakan peri-limbal pada pasien usia muda pada tahun
1846. Pada 1899 Trantas mendeskripsikankan titik putih limbal yang sebelumnya telah
ditunjukkan oleh Horner. Pada tahun 1908, Gabrielides mengidentifikasi eosinofil dalam sekresi
konjungtiva serta darah perifer pasien KV. Pada tahun 1910, Trantas menandai spektrum
perubahan kornea yang terlihat pada KV.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.

Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat
membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva divaskularisasi oleh arteri konjungtiva
posterior dan arteri siliaris anterior, dipersarafi oleh nervus trigeminus (N.Opthalmicus).
Konjungtiva terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam palpebra, dibagi lagi menjadi tiga
bagian yaitu marginal, tarsal dan orbital. Bagian marginal terletak di tepi palpebra
hingga 2mm ke dalam palpebra, bagian tarsal melekat di tarsal plate, sedangkan
bagian orbital terletak di antara konjungtiva tarsal dan forniks. Di konjungtiva
palpebra terdapat kelenjar henle dan sel goblet yang memproduksi musin.
2. Konjungtiva bulbar melapisi bagian anterior bola mata dan dipisahkan dengan sklera
anterior oleh jaringan episklera. Konjungtiva yang berbatasan dengan kornea disebut
limbal conjunctiva.
3. Di konjungtiva bulbar terdapat kelenjar manz dan sel goblet. Konjungtiva forniks
merupakan penghubung konjungtiva palpebra dengan konjungtiva bulbar. Daerah
tersebut memiliki kelenjar lakrimal aksesoris yaitu kelenjar krause dan wolfring yang
menghasilkan komponen akuos air mata. Di dekat kantus internus, konjungtiva bulbi
membentuk plika semilunaris yang mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit
yang mengandung rambut dan kelenjar yang disebut caruncle.

4
Gambar 1. Anatomi Konjungtiva tampak depan dan melintang

2.2 Histologi konjungtiva

Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas Iapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial
dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas caruncula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sei epitel skuamosa bertingkat.
Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mucus.
Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan
air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel
superfisial dan di dekat lirnbus dapat mengandung pigmen.

1) Lapisan epitel konjungtiva


Terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superficial dan basal.
Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa
bertingkat.
2) Sel-sel epitel superficial
Mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong
inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata
diseluruh prekornea.Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial
dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.

5
3) Stroma konjungtiva
Dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa (profundus):
- Lapisan adenoid
Mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur
semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang
sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis
inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi
folikuler.
- Lapisan fibrosa
Tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini
menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun
longgar pada bola mata.
4) Kelenjar air mata asesori ( kelenjar Krause dan wolfring )
Struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar
kelenjar krause berada di forniks atas,dan sisanya diforniks bawah. Kelenjar wolfring
terletak ditepi atas tarsus atas.

Gambar 2. Histologi konjungtiva

6
Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di
forniks atas, sisanya ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.teri-
arteri konjungtiva berasal dari arteria ciliaris anterior dan arteria palpebralis.

Gambar 3. Anatomi kelenjar mata

Kapsul Tenon adalah suatu membran fibrosa yang membungkus bola mata dari limbus
sampai nervus opticus. Di dekat limbus, konjungtiva, kapsul Tenon, dan episklera menyatu.
Lebih posterior lagi, permukaan dalam kapsul Tenon berhadapan langsung dengan sklera, dan
sisi luarnya berhadapan dengan lemak orbita dan struktur- struktur lain dalam kerucut otot
ekstraokular. Pada titik tempat kapsul Tenon ditembus tendo-tendon ototekstra- okular dalam
perjalanannya menuju ke tempat insersinya

Gambar 4. Kapsul Tenon

7
2.3 Fisiologi konjungtiva

Kelenjar Meibom pada konjungtiva memproduksi tear film dengan kandungan lapisan
lemak agar air mata tidak mudah menguap. Konjungtiva memiliki sel goblet memproduksi
lapisan mucin pada tear film menjaga agar air mata dapat menempel di permukaan kornea.

Gambar 5. Anatomi tear film

2.4 Anatomi Kornea

Kornea merupakan jaringan transparan yang dapat ditembus oleh berkas cahaya untuk
masuk ke interior mata. Kornea ini disisipkan ke dalam sklera pada limbus, lekukan melingkar
pada sambungan ini di- sebut sulcus scleralis. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550µm
di pusatnya (terdapat variasi berdasarkan rasnya); diameter horizontal sekitar 11,5mm dan
vertikal sekitar 10,6mm. Sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus,
humor aqueous, dan air mata. Saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama (opthalmicus)
nervus kranialis V (trigeminus).

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva
membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat banyak . Konjungtiva juga menerima
persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit.

8
Gambar 6. Anatomi Kornea

Gambar 7. Perdarahan Kornea dan konjungtiva

2.5 Histologi Kornea

Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan
epitel (yang berbatasan dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma,
membran Descemet, dan lapisan endotel.

Lapisan epitel mempunyai lima atau enam lapis sel. Lapisan Bowman merupakan
lapisan jernih, aselular, yang merupakan bagian stroma yang berubah. Stroma kornea menyusun
sekitar 90% ketebalan kornea. Bagian ini tersusun atas jalinein lamella serat-serat kolagen
dengan lebar sekitar 10-250 pm dan tinggi 1-2 pm yang mencakup hampir seluruh diameter
kornea.

Lamella ini berjalan sejajar dengan permukaan kornea, dan karena ukuran dan
kerapatannya menjadi jernih secara optis. Lamella terletak di dalam suatu zat dasar proteoglikan
terhidrasi bersama keratosit yang menghasilkan kolagen dan zat dasar. Membran Descemet, yang

9
merupakan lamina basalis endotel kornea, memiliki tampilan yang homogen dengan rnikroskop
cahaya tetapi tampak berlapis-lapis dengan mikroskop elektron akibat perbedaan struktur an- tara
bagian pra- dan pascanasalnya. Saat lahir, tebalnya sekitar 3 pm dan terus menebal selama hidup,
mencapai 10- 12 pm. Endotel hanya memiliki satu lapis sel, tetapi lapisan ini berperan besar
dalam mempertahankan deturgesensi stroma kornea. Endotel kornea cukup rentan terhadap
trauma dan kehilangafl sel-selnya seiring dengan penuaan. Reparasi endotel terjadi hanya dalam
wujud pembesaran dan pergeseran sel-sel, dengan sedikit pembelahan sel. Kegagalan fungsi
endotel akan menimbulkan edema kornea.
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humor
aqueous, dan air ma- ta. Kornea superfisial juga mendapatkan sebagian besar oksigen dari
atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama (ophthalmicus) nervus
kranialis V (trigeminus).

Gambar 8 Histologi Kornea

10
BAB III

KONJUNGTIVITIS

3.1 Definisi

Konjungtivitis adalah radang konjungtiva bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan
mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.

Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva (lapisan luar mata dan lapisan
dalam kelopak mata) yang disebabkan oleh mikro-organisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia),
alergi, iritasi bahan-bahan kimia . Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya
inflamasi pada konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi
bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata.

Pada konjungtivitis didapatkan tanda dan gejala yaitu mata merah, injeksi konjungtiva,
terdapat kotoran pada mata, mata terasa panas seperti ada benda asing yang masuk, mata berair,
kelopak mata lengket, penglihatan terganggu, serta mudah menular mengenai kedua mata..

Gambar 9. Konjungtivitis

11
3.2 Epidemiologi
Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis kelamin dan
strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai insidensi konjungtivitis, penyakit
ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang paling umum (American Academy of
Opthalmology, 2010).11 Pada 3% kunjungan di departemen penyakit mata di Amerika serikat,
30% adalah keluhan konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan 15% adalah keluhan
konjungtivitis alergi.

3.3 Etiologi konjungtivitis

Konjungtivitis disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, klamidia, dan alergi. Konjungtivitis
bakteri biasanya disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, dan
Haemophillus. Pada konjungtivitis virus paling sering disebabkan oleh adenovirus dan penyebab
yang lain yaitu organisme Coxsackie dan Pikornavirus namun sangat jarang. Penyebab
konjungtivis lainnya yaitu infeksi klamidia, yang disebabkan oleh organisme Chlamydia
trachomatis). Konjungtivitis yang disebabkan oleh alergi diperantai oleh reaksi hipersensitivitas
IgE terhadap allergen seperti oleh karena debu, sinar matahari, serbuk bunga serta bahan kimia.

3.4 Klasifikasi konjungtivitis

Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dibagi menjadi empat yaitu konjungtivitis yang


diakibatkan karena bakteri, virus, allergi dan jamur.
3.4.1 Konjungtivitis bakteri
Konjungtivitis bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri,
dengan penyebab paling sering adalah bakteri Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus,
dan Haemophillus. Pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret purulen, edema kelopak,
kemosis konjungtiva, kadang-kadang disertai keratitis dan blefaritis. Konjungtivitis bakteri ini
mudah menular dari satu mata ke mata sebelahnya dan dengan mudah menular ke orang lain
melalui benda yang dapat menyebarkan kuman dan melalui kontak terhadap sekret penderita
konjungtivitis.

12
Gambar 10. Konjungtivitis bakteri
3.4.1.1 Etiologi konjungtivitis bakteri
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut
dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria
kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia
dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri
subakut adalah H influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi
pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis.
3.4.2 Konjungtivitis Virus
Konjungtivitis virus merupakan penyakit disebabkan oleh adenovirus tipe 3,4 dan 7 dan
penyebab yang lain yaitu organisme Coxsackie dan Pikornavirus yang dapat sembuh sendiri dan
dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri. Konjungtivitis virus biasanya
diakibatkan karena demam faringokonjungtiva. Biasanya memberikan gejala demam, faringitis,
secret berair dan sedikit, folikel pada konjungtiva yangmengenai satu atau kedua mata.
Konjungtivitis ini mudah menular terutama anak-anak yang disebarkan melalui kolam renang.
Masa inkubasi konjungtivitis virus 5-12 hari, yang menularkan selama
12 hari, dan bersifat epidemik.
Pengobatan konjungtivitis virus hanya bersifat suportif karena dapat sembuh sendiri.
Diberikan kompres, astringen, lubrikasi, dan pada kasus yang berat dapat diberikan antibotik
dengan steroid topical

13
Gambar 11. Konjungtivitis virus
3.4.2.1 Acute Haemorrhagic Conjunctivitis
Disebabkan oleh picornavirus dimana inkubasi virus 1-2 hari dan sangat menular.
Penularan melalui kontak tangan ke mata, sering menjadi epidemic. Gejala khas Acute
Haemorrhagic Conjunctivitis adalah : nyeri pada mata, mata merah, berair, silau, penglihatan
sering terganggu dan bengkak, kemotik, perdarahan di konjungtiva, palpebra edema,
pembesaran kel pre-aurikuler, merupakan self limiting disease dalam waktu 5-7 hari

Gambar 12. Konjungtivitis Haemorrhagic Acute

3.4.2.2 Herpes Zoster Conjunctivitis


Disebabkan oleh Varicella Zoster Virus dengan gejala khas lesi di kulit sekitar mata
sesuai dengan dermatom kulit (palpebra, hidung), folikel-folikel Vesikel, pustul dan krusta
dengan pasien demam, lesu dan nyeri disekitar lesi sering kambuh kembali

14
Gambar 13. Konjungtivitis herpes zoster

3.4.3 Konjungtivitis alergi


Konjungtivitis alergi merupakan bentuk alergi pada mata yang paling sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun. Gejala
utama penyakit alergi ini adalah radang ( merah, sakit, bengkak, dan panas), gatal, silau berulang
dan menahun. Tanda karakteristik lainnya yaitu terdapat papil besar pada konjungtiva, datang
bermusim, yang dapat mengganggu penglihatan. Walaupun penyakit alergi konjungtiva sering
sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan.
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi tumbuh-
tumbuhan yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal,
keratokoknjungtivitis atopic dan konjungtivitis papilar raksasa. Pengobatan konjungtivitis alergi
yaitu dengan menghindarkan penyebab pencetus penyakit dan memberikan astringen, sodium
kromolin, steroid topical dosis rendah kemudian ditambahkan kompres dingin untuk
menghilangkan edemanya. Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid
sistemik.

15
3.4.3.1 Klasifikasi
a. Seasonal Allergic Conjungtivitis (SAC) dan Pereninal Allergic Conjungtivitis (PAC)

Gambar 14. SAC dan PAC


SAC dan PAC adalah bentuk paling umum alergi okular. Perkiraan bervariasi, tetapi
berdasarkan jenis alergi dikatakan insiden kejadian mencapai setidaknya 15-20% dari populasi .
PAC dianggap varian dari SAC yang bertahan sepanjang tahun, meskipun 79% dari pasien yang
telah PAC mengalami masa eksaserbasi. Tungau debu, bulu binatang, dan bulu adalah alergen
yang paling umum. Kehadiran antibodi IgE spesifik untuk SAC atau alergen PAC dapat
ditemukan dalam hampir semua kasus SAC dan PAC.
Konjungtivitis alergi disebabkan oleh alergen yang diinduksi respon inflamasi di mana
alergen berinteraksi dengan IgE terikat pada sel mast peka mengakibatkan klinis ekspresi alergi
okular. Patogenesis alergi konjungtivitis didominasi sebuah reaksi hipersensitivitas yang
dimediasi oleh IgE. Aktivasi sel mast menginduksi peningkatan histamin, tryptase, prostaglandin
dan leukotrien.

Gambar 15. Mekanisme alergi

16
Tanggapan langsung atau awal reaksi ini berlangsung secara klinis 20-30 menit. Sel
degranulasi Mast juga menginduksi aktivasi vaskular sel endotel, yang pada gilirannya
melepaskan kemokin dan molekul adhesi seperti molekul adhesi antar (ICAM), vaskular adhesi
sel molekul (VCAM). Selain itu pengaktifan sel T juga menyebabkan disekresikannya protein
monosit chemoattractant (MCP), interleukin (IL) - 8, eotaksin, makrofag protein inflamasi (MIP)
-1 alpha. Faktor-faktor ini memulai tahap perekrutan inflamasi sel-sel di mukosa konjungtiva,
yang menyebabkan yang mata akhir-fase reaksi.10
Tanda dan gejala dari dua kondisi (SAC dan PAC) adalah sama. Perbedaannya adalah
alergen tertentu pada pasien alergi. SAC biasanya disebabkan oleh udara serbuk sari. Tanda dan
gejala biasanya terjadi di musim semi dan musim panas, dan umumnya mereda selama musim
dingin bulan. PAC dapat terjadi sepanjang tahun dengan paparan alergen abadi. Gambaran
diagnostik dari SAC dan PAC terdiri dari gatal, kemerahan, dan pembengkakan konjungtiva.
Kemerahan, atau injeksi konjungtiva, cenderung ringan sampai sedang. Pembengkakan
konjungtiva, atau chemosis, cenderung moderat, Gatal adalah gejala yang cukup konsisten dari
SAC dan PAC. Keterlibatan Kornea jarang.

b. Vernal Konjungtivitis

Gambar 16. gambaran Trantas Dot pada Limbal

Konjungtivitis vernalis merupakan salah satu bentuk proses inflamasi kronik dan
berulang pada mata, umumnya bilateral. Pasien dengan atopi mempunyai risiko lebih besar untuk
menderita KV. Konjungtivitis Vernalis dibedakan atas 3 tipe yaitu tipe palpebra, tipe limbus atau
campuran keduanya. Prevalensi KV lebih tinggi di daerah tropis seperti Afrika, India,
Mediteranian, Amerika Tengah dan Selatan, serta Timur Tengah. KV lebih banyak terdapat pada

17
kulit berwarna dibandingkan kulit putih. Penyakit ini lebih banyak didapatkan pada laki-laki
dengan perbandingan 3 : 1. Sebagian besar pasien berusia antara 3-25 tahun.
Etiologi KV sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor penyebab
diduga adalah alergen serbuk sari, debu, tungau debu rumah, bulu kucing, makanan, faktor fisik
berupa panas sinar matahari atau angin. Reaksi alergi yang terjadi dapat disebabkan oleh satu
atau lebih alergen atau bersamasama dengan faktor–faktor lain.13
Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas, tapi terutama
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata. Reaksi hipersensitivitas tipe I
merupakan dasar utama terjadinya proses inflamasi pada KV. Pemeriksaan histopatologik dari
lesi di konjungtiva menunjukkan peningkatan sel mast, eosinofil dan limfosit pada subepitel dan
epitel. Dalam perjalanan penyakitnya, infiltrasi sel dan penumpukan kolagen akan membentuk
papil raksasa. Penemuan ini menjelaskan bahwa KV bukan murni disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I fase cepat, melainkan merupakan kombinasi tipe I dan IV. Bonini dkk,
menemukan bahwa hiperreaktivitas non spesifik juga mempunyai peran dalam KV. Faktor lain
yang berperan adalah aktivitas mediator non Ig E oleh sel mast.
Gejala klinis utama adalah rasa gatal yang terus menerus pada mata, mata sering berair,
rasa terbakar atau seperti ada benda asing di mata. Gejala lainnya fotofobia, ptosis, sekret mata
berbentuk mukus seperti benang tebal berwarna hijau atau kuning tua. KV dapat terjadi pada
konjungtiva tarsalis atau limbus, atau terjadi bersamaan dengan dominasi pada salah satu tempat
tersebut.
Pada konjungtiva tarsalis superior dapat dijumpai gambaran papil cobblestone yang
menyerupai gambaran mozaik atau hipertrofi papil. Sedangkan pada limbus dijumpai satu atau
lebih papil berwarna putih yang disebut sebagai trantas dots, yaitu terdiri dari tumpukan sel-sel
eosinofil. Apabila penyakit meluas sampai kornea, disebut sebagai keratokonjungtivitis vernalis
(KKV) dan digolongkan ke dalam penyakit yang lebih berat, karena dapat menyebabkan
penurunan visus.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadarIgG serum, IgE serum dan air mata,
kadar histamin serumdan air mata meningkat; dan adanya IgE spesifik. Pemeriksaan
mikroskopik dari scraping konjungtiva,patognomonik KV bila dijumpai > 2 sel eosinofil dengan
pembesaran lensa objektif 40x.9,11 Gambaran histopatologik jaringan konjungtiva pada KV
dijumpai sel eosinofil, sel mast dan sel basofil. Selain itu juga terjadi perubahan pada

18
mikrovaskular dari sel endotel serta ditemukannya deposit jaringan fibrosis, infiltrasi sel limfosit
dan netrofil. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis,adanya riwayat atopi, dan
pemeriksaan penunjang. Hasil uji kulit umumnya positif terhadap alergen tertentu, terutama
serbuk bunga, debu rumah, tungau debu rumah;namun kadang-kadang uji kulit dapat
memberikan hasilyang negatif.

Gambar 17. gambaran shield ulcer pada VKC


Diagnosis banding KV adalah konjungtivitis alergika musiman, keratokonjungtivitis
atopik, dan giant papillary conjungtivitis. Pada konjungtivitis alergi musiman, bersifat akut,
mereda saat musim dingin, terdapat edem konjungtiva, jarang disertai perubahan pada kornea.
Pada keratokonjungtivitis atopik tidak ada perbedaan usia atau jenis kelamin, adanya sekret yang
jernih, letak kelainan lebih sering di palpebra inferior, tidak terdapat eosinofil
pada scraping konjungtiva, Pada giant papillary conjunctivitis kelainan juga terdapat di
konjungtiva tarsal superior namun dengan ukuran diameter papila yang lebih dari 0,3 mm,
penyebab tersering iritasi mekanik yang lama terutama karena penggunaan lensa kontak.4,6 Pada
umumnya KV dapat sembuh sendiri setelah 2 – 10 tahun. Tujuan pengobatan pada KV untuk
menghilangkan gejala dan menghindari efek iatrogenic yang serius dari obat yang diberikan
(kortikosteroid). Prinsip pengobatan bersifat konservatif.

19
c. Atopic keratoconjunctivitis (AKC)

Gambar 18. Neovaskurarisasi kornea dan jaringan parut pada AKC5

AKC adalah penyakit konjungtiva alergi kronis yang dapat terjadi pada pasien dengan
dermatitis atopik pada wajah. Atopic keratoconjunctivitis (AKC) terjadi lebih sering pada pria
berusia 30-50 tahun . adanya riwayat keluarga alergi, asma, urtikaria atau demam sering
menyertai. Biasanya, pasien memiliki dermatitis atopik atau eksim sejak kecil, tapi gejala ocular
baru muncul di kemudian hari. Gejala-gejala ini diwakili oleh gatal bilateral intens mata dan
kulit kelopak dan daerah periorbital. Tylosis dan kelopak mata bengkak dengan penampilan
bersisik mengeras dan meibomiam disfungsi kelenjar dengan mata kering terkait adalah tanda-
tanda dari blepharitis atopik. konjungtiva dapat hyperemic dan terjadi pembengkakan.11,14
Perbedaan tampilan klinis VKC dengan AKC
 Pasien dengan AKC sering memiliki penyakit sepanjang tahun dan ada masa eksaserbasi
musiman minimal.
 Pasien dengan AKC lebih tua.
 Papila lebih cenderung berukuran kecil atau medium bukan raksasa.
 Papila terjadi pada palpebra konjungtiva atas dan bawah.
 Terdapat milky conjungtiva edema dengan subepitel fibrosis
 Vaskularisasi kornea yang luas dan opak sekunder pada penyakit epitel kronis (mungkin
karena beberapa derajat disfungsi sel induk limbal) dapat terjadi
 Eosinofil terlihat pada sitologi konjungtiva kurang banyak
 Jaringan parut konjungtiva sering terjadi dan kadang-kadang begitu luas untuk
menghasilkan pembentukan symblepharon.
 kekeruhan lensa subkapsular kadang berkembang.

20
d. Giant papiler conjunctivitis (GPC)

Gambar 19. Gambaran papil raksasa pada GPC

Giant papiler conjunctivitis (GPC) adalah radang penyakit yang ditandai dengan
hipertrofi papiler dari atasan konjungtiva tarsal; penampilan mirip dengan konjungtivitis vernal,
tetapi tidak ada keterlibatan kornea yang signifikan. GPC dapat disebabkan oleh jahitan limbal,
kontak lensa, prostesis okular, dan dermoid limbal. Jaringan konjungtiva mungkin berisi sel mast,
basofil, eosinofil atau, tetapi tidak sejauh dari reaksi alergi. Tidak ada peningkatan IgE atau
histaimine di air mata pasien GPC. Sejak munculnya lensa kontak sekali pakai, frekuensi GPC
adalah rendah.
Pada pasien GPC tampak bahwa protein terbentuk pada permukaan kontak lensa, dan tepi yang
tidak teratur adalah alasan utama untuk hubungan erat antara lensa kontak dan GPC , protein
tertentu terdeposit pada permukaan lensa kontak dan bisa menjadi antigenik dan merangsang
produksi IgE. Pada trauma mekanik dan iritasi kronis dapat terjadi pelepasan beberapa mediator
(CXCL8 dan TNF-α) dari cedera konjungtiva sel epitel
Histopatologi dari konjungtiva yang menutupi papila raksasa yang menebal dan epitel
tidak teratur. Epitel atas bagian atipikal papila mungkin menunjukkan pengurangan lokal dari
populasi sel goblet, sedangkan di kriptus interpapillary, elemen lendir mensekresi tampaknya
hiperplastik. Keratinisasi konjungtiva tarsal atas belum diamati . Seperti di VKC atau AKC, ada
sel-sel mast, eosinofil dan basofil dalam epitel dan substantia propria konjungtiva. 10
Etiologi dari GPC masih belum sepenuhnya dipahami. Dua kemungkinan teori termasuk
jenis reaksi hipersensitivitas IV terhadap bahan lensa kontak itu sendiri, pelapis lensa, atau solusi

21
lensa dan iritasi akibat trauma pada konjungtiva tarsal dengan pelepasan faktor kemotaktik
neutrofil dan mediator inflamasi lainnya.

3.4.4 Konjungtivitis Jamur


Konjungtivitis jamur biasanya disebabkan oleh Candida albicans dan merupakan infeksi
yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih yang dapat timbul pada
pasien diabetes dan pasien dengan kekebalan sistem imun yang menurun seperti pada pasien
dengan HIV. Selain candida sp, penyakit ini juga bisa disebabkan oleh Sporothtrix schenckii,
Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun jarang.

3.5 Patofisiologi konjungtivitis


Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi
konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal
dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata,
mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada
mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva,
memulai reaksi cascade dari peradangan leukosit atau limfositik meyebabkan penarikan
sel darah merah atau putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva
dan berakumulasi di sana dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang berdilatasi
dan tinggi permeabilitas. Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang
menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk terjadinya infeksi.
Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi ( tear-film immunoglobulin dan lisozyme )
yang merangsang lakrimasi. Konjungtiva karena lokasinya terpapar pada banyak
mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang menganggu. Beberapa mekanisme melindungi
permukaan mata dari substansi luar. Pada film air mata, unsur berairnya mengencerkan materi
infeksi, mukus menangkap debris dan kerja memompa dari palpebra secara tetap menghanyutkan
air mata ke duktus air mata dan air mata mengandung substansi antimikroba termasuk lisozim.
Adanya agens perusak, menyebabkan cedera pada epitel konjungtiva yang diikuti edema epitel,
kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel atau granuloma. Mungkin pula terdapat edema pada
stroma konjungtiva ( kemosis ) dan hipertrofi lapis limfoid stroma ( pembentukan folikel ). Sel-
sel radang bermigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel ke permukaan. Sel-sel ini kemudian

22
bergabung dengan fibrin dan mukus dari sel goblet, membentuk eksudat konjungtiva yang
menyebabkan perlengketan tepian palpebra saat bangun tidur.
Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh
konjungtiva posterior, menyebabkan hiperemi yang tampak paling nyata pada forniks dan
mengurang ke arah limbus. Pada hiperemia konjungtiva ini biasanya didapatkan pembengkakan
dan hipertrofi papila yang sering disertai sensasi benda asing dan sensasi tergores, panas, atau
gatal. Sensasi ini merangsang sekresi air mata.

3.6 Gejala Klinis Konjungtivitis

1. Hiperemia

Hiperemia adalah tanda klinis konjungtivitis akut yang paling menyolok. Kemerahan
paling jelas di forniks karena dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna merah
terang mengesankan konjungtivitis bakteri, dan tampilan putih- susu mengesankan konjungtivitis
alergika. Hiperemia tanpa infiltrasi sel mengesankan iritasi oleh penyebab fisik seperti angin,
matahari, asap, dll., tetapi sesekali bisa muncul pada penyakit yang berhubungan dengan ketidak-
stabilan vascular (acne rosacea).

2. Mata berair (epifora)

Sekresi air mata diakibatkan oleh adanya sen sasi benda asing, sensasi erbakar atau
tergores, atau oleh rasa gatalnya. Transudasi ringan juga timbul dari pembu luh-pembuluh yang
hiperemik dan menambah jumlah air mata tersebut. Kurangnya sekresi air mata yang abnormal
mengesankan keratokonjungtivitis sika.

3. Eksudasi

Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudatnya berlapisJapis dan amorf
pada konjungtivitis bakteri dan berserabut pada konjungtivitis alergika. pada hampir semua jenis
konjungtivitis, didapatkan banyak kotoran mata di palpebra saat bangun tidur; jika eksudat
sangat banyak dan palpebranya saling melengket, agak- nya konjungtivitis disebabkan oleh
bakteri atau klamidia.

4. Pseudoptosis

23
Pseudoptosis adalah terkulainya palpebra superior karena infiltrasi di otot Muller.
Keadaan ini dijumpai pada beberapa jenis konjungtivitis berat: trakoma dan ke
ratokonjungtivitis epidemika.

5. Hipertrofi papilar

Reaksi konjungtiva non-spesitik yang terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau
limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk
substansi papila (bersama unsur sel dan eksudat) mencapai membran basai epitel, pembuluh ini
bercabang-cabang di atas papila mirip jeruji payung. Eksudat radang rnengumpul di antara
serabut-serabut dan membentuk tonjolan-tonjolan konjungtiva..
Bila papilanya kecil, tampilan konjungtiva umumnya licin seperti beludru. Konjungtiva
dengan papila merah mengesankan penyakit bakteri atau klamidia (mis., konjungtiva tarsal
merah rnirip beiudru adalah khas pada trakoma akut). Pada inJiltrasi berat konjungtiva dihasiikan
papiia raksasa. Pada keratokonjungtivitis vernal, papila ini disebut juga "papila cobblestone"
karena tampilannya yang rapat; papila raksasa beratap rata, poligonal, dan berwarna putih susu-
kemerahan. Di tarsus superior, pa- pila macam ini mengesankan keratokonjungtivitis vernal dan
konjungtivitis papilar raksasa dengan sensitivitas ter- hadap lensa kontak di tarsus inferior,
mengesankan kera- tokonjungtivitis atopik. Papila raksasa dapat pula timbul di limbus, terutama
di daerah yang biasanya terpajan saat mata terbuka (antara pukul 2 dan 4 dan antara pukul 8 dan
10). Di sini papila tampak berupa tonjolan-tonjolan gelatinosa yang dapat meluas sampai ke
kornea. Papila limbus khas untuk keratokoniungtivitis vernal, tetapi jarang pada
keratokonjungtivits atopic.

6. Kemosis konjungtiva

Sangat mengarah pada konjungtivitis alergika, tetapi dapat timbul pada konjungtivitis
gonokok aiau meningokok akut dan terutama pada kon- jungtivitis adenoviral. Kemosis
konjungtiva bulbaris terlihat pada pasien trikinosis. Sesekali, kemosis tampak sebelum
terlihatnya infiltrat atau eksudat.

7. Folikel

24
Folikel merupakan suatu hiperplasia limfoid lokal di dalam lapisan timfoid konjungtiva
dan biasanya mempunyai sebuah pusat germinal. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai
struktur bulat kelabu atau putih yang avaskular. Pada pemeriksaan slitlamp, lampak pembuluh-
pembuluh kecil yang muncul pada batas folikel dan mengitarinya.
Folikel tampak pada sebagian besar kasus konjungtivitis virus, semua kasus
konjungtivitis klamidia, kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, beberapa kasus konjung- tivitis
parasitik, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik yang diinduksi'oleh pengobatan topikal,
seperti idoxuridine, dipivefrin, dan miotik.

8. Pseudomembran dan membran

Pseudomembran adalah hasil dari proses eksudatif dan hanya berbeda derajatnya.
Pseudomembran adalah suatu Pengentalan (koagulum) di atas permukaan.epitel, yang bila
diangkat, epitelnya tetap utuh.

Membran adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel, yang jika diangkat,
meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah. Pseudomembran atau membran dapat
menyertai keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis virus herpes simpleks primer,
konjungtivitis streptokok, difteria, pemfigoid sikatrikal dan erythema multiforme mayor.
Membran dan pseudomembran dapat pula akibat luka bakar kimiawi, terutama luka bakar alkali.

9. Granuloma konjungtiva
Selalu mengenai stroma dan paling sering berupa kalazion. Penyebab endogen lain adalah
sarkoid, sifilis, penyaklt" cat-scratch", dan coccidioidomycosis (arang). Sindrom okuloglandular
Parinaud terdiri atas granuloma konjungtiva dan pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
preaurikular; kelompokan penyakit ini memerlukan pemeriksaan biopsi untuk memastikan
diagnosis.

10. Fliktenula
Merupakan reaksi hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroba, mis., antigen
stafilokok atau mikobakterial. Fliktenula konjungtiva awalnya berupa perivaskulitis dengan
penumpukan lim{osit di pembuluh darah. Bila keadaan ini sampai menimbulkan ulkus
konjungtiva, dasar ulkus akan dipenuhi oleh leukosit polimorfonuklear.

25
11. Limfadenopati preaurikular
Tanda penting konjungtivitis. Sebuah KGB preaurikular tampak jelas pada sindrom
okuloglandular Parinaud dan, jarang, pada keratokonjungtivitis epidemika. Sebuah KGB
preaurikular besar atau kecil, kadang-kadang sedikit nyeri tekan, ada pada konjungtivitis herpes
simpleks primer, keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trakoma.

12. KGB preaurikular kecil tanpa nyeri tekan


Terdapat pada demam faringokonjungtiva dan konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang
lim{adenopati preaurikular terlihat pada anak-anak dengan infeksi kelenjar meibom.

Gambar 20. Tanda Konjungtiva

26
BAB IV

KONJUNGTIVITIS VERNALIS

4.1 Definisi

Konjungtivitis Vernalis merupakan inflamasi konjungtiva yang bersifat bilateral dan


rekuren. Kelainan ini ditandai oleh papil cobblestone pada konjungtiva tarsal dan hipertrofi papil
pada konjungtiva limbus.1-5 Insidens penyakit ini berkisar antara 0,1-0,5% diantara penyakit
mata lainnya

4.2 Epidemiologi

Paling banyak dan paling parah didapatkan di lingkungan yang panas dan kering di
daerah tropis seperti Afrika, India, Mediteranian, Amerika Tengah dan Selatan, serta Timur
Tengah Di daerah-daerah ini, hingga 3% pasien klinik mata hadir dengan konjungyivitis vernalis.
Di Eropa Barat prevalensinya kurang dari 0,03%. Sebuah survei epidemiologi dari 6 negara di
Uni Eropa (Italia, Perancis, Belanda, Norwegia, Finlandia, dan Swedia) melaporkan bahwa
sementara konjungyivitis vernalis dapat ditemukan di Eropa utara dan selatan, prevalensi yang
lebih tinggi di negara-negara selatan (tertinggi di Italia dan terendah di Norwegia). Perbedaan
dalam prevalensi dapat disebabkan oleh keragaman genetik, lingkungan (iklim, status sosial
ekonomi, dan gaya hidup), dan interaksi gen-lingkungan.

Kondisi ini lebih sering terjadi pada laki-laki, meskipun perbedaan gender ini kurang
absolut dalam iklim tropis. Perbedaan gender yang terlihat selama pubertas telah menunjukkan
peran untuk pengaruh hormonal pada beban penyakit. Iklim dan geografi juga berkorelasi dengan
asma dan eczema yang terkait. Di daerah beriklim sedang, 45% -75% pasien dengan
konjungyivitis vernalis memiliki riwayat atopi; Sebaliknya, daerah tropis memiliki tingkat yang
jauh lebih rendah (5% -40%). Konjungyivitis vernalis lebih sering terlihat pada pasien keturunan
Afrika atau Asia, kerentanan rasial yang muncul bahkan di antara mereka yang telah bermigrasi
ke daerah yang lebih beriklim sedang.

Pasien dari usia 1 hingga 22 tahun (rata-rata 6 ± 3,7 tahun) dapat hadir dengan tanda dan
gejala konjungyivitis vernalis .Resolusi biasanya terlihat antara usia 8 dan 22 tahun. Penyakit ini
biasanya berlangsung selama 4 hingga 10 tahun dan sembuh setelah pubertas. Sebuah riwayat

27
keluarga penyakit alergi terjadi pada 35,5% kasus konjungyivitis vernalis, dengan kepositifan
untuk keadaan alergi terkait lainnya seperti seperti asma, eksim, dan / atau rinitis yang ditemukan
pada 37,1%. Tes skin prick test positif ditemukan pada 51,4% pasien.

4.3 Etiologi

Konjungtivitis Vernalis disebabkan oleh reaksi sensitifitas terhadap terhadap pajanan


allergen seperti sinar matahari, debu, bulu kucing, makanan atau serbuk sari.

4.4 Gejala klinis

Gambaran klinis konjungtivitis vernal adalah sebagai berikut:


 Keluhan utama : gatal
Pasien pada umumnya mengeluh tentang gatal yang sangat. Keluhan gatal ini menurun
pada musim dingin.
 Ptosis
Terjadi ptosis bilateral, kadang-kadang yang satu lebih ringan dibandingkan yang lain.
Ptosis terjadi karena infiltrasi cairan ke dalam sel-sel konjungtiva palpebra dan infiltrasi
sel-sel limfosit plasma, eosinofil, juga adanya degenarasi hyalin pada stroma konjungtiva.
 Kotoran mata
Keluhan gatal umumnya disertai dengan kotoran mata yang berserat-serat. Konsistensi
kotoran mata/tahi mata elastis ( bila ditarik molor).
 Kelainan pada palpebra
Terutama mengenai konjungtiva palpebra superior. Konjungtiva tarsalis pucat, putih
keabu-abuan disertai papil-papil yang besar (papil raksasa). Inilah yang disebut “cobble
stone appearance”. Susunan papil ini rapat dari samping tampak menonjol. Seringkali
dikacaukan dengan trakoma. Di permukaannya kadang-kadang seperti ada lapisan susu,
terdiri dari sekret yang mukoid. Papil ini permukaannya rata dengan kapiler di tengahnya.
Kadang-kadang konjungtiva palpebra menjadi hiperemi, bila terkena infeksi sekunder.
 Horner Trantas dots
Gambaran seperti renda pada limbus, dimana konjungtiva bulbi menebal, berwarna putih
susu, kemerah-merahan, seperti lilin. Merupakan penumpukan eosinofil dan merupakan
hal yang patognomosis pada konjungtivitis vernal yang berlangsung selama fase aktif.

28
 Kelainan di kornea
Dapat berupa pungtat epithelial keratopati. Keratitis epithelial difus khas ini sering
dijumpai. Kadang-kadang didapatkan ulkus kornea yang berbentuk bulat lonjong vertikal
pada superfisial sentral atau para sentral, yang dapat diikuti dengan pembentukan
jaringan sikatrik yang ringan. Kadang juga didapatkan panus, yang tidak menutupi
seluruh permukaan kornea, sering berupa mikropanus, namun panus besar jarang
dijumpai. Penyakit ini mungkin juga disertai keratokonus. Kelainan di kornea ini tidak
membutuhkan pengobatan khusus, karena tidak tidak satu pun lesi kornea ini berespon
baik terhadap terapi standar.

Pasien dengan konjungtivitis vernalis umumnya didapatkan pada awal hingga


pertengahan masa kanak-kanak. Gejalanya terutama terdiri dari gatal-gatal mata, bersama dengan
robek, keluar cairan, iritasi, kemerahan, blepharospasm, dan fotofobia. Fotofobia bisa sangat
parah, dengan pasien yang sering datang dengan kacamata hitam dan topi gelap. Keengganan
mereka yang kuat terhadap cahaya terang membuat pemeriksaan dengan slit lamp menjadi agak
sulit.

Namun, Pemeriksaan mata yang didapatkan berupa palpebra dan konjungtiva yang
hiperemis, hiperemis konjungtiva dengan gambaran injeksi konjungtiva. Pada pemeriksaan
palpebra superior, konjungtiva tarsal superior tidak dilakukan karena pasien tidak koperatif. Pada
pemeriksaan visus didapatkan dalam batas normal.

Secara klinis, konjungtivitis vernalis dapat dibagi menjadi 3 subtipe: konjungtiva, limbal,
dan presentasi campuran. Keparahan penyakit tampak lebih ringan di konjungyivitis vernalis
limbal, menyebabkan beberapa orang menduga bahwa ini adalah presentasi awal dari spektrum
penyakit. Namun, tampaknya ada variabilitas dalam prevalensi jenis tertentu, berdasarkan
geografi dan riwayat atopik, yang menunjukkan bahwa patogenesis dari dua jenis mungkin
berbeda. Pada pemeriksaan eksternal, kelopak bisa eritematosa dan menebal; ptosis reaktif dapat
hadir karena fotosensitivitas

Temuan klasik papila raksasa (> 1 mm diameter) terletak paling sering pada konjungtiva
tarsal atas. Tutup eversi harus dilakukan untuk memvisualisasikan mereka. Konjungtiva tarsal

29
tampak dengan penampilan batu bulat dan, pada penyakit aktif, dapat memiliki akumulasi lendir
di antara papila. Dalam bentuk limbal, konjungtiva dapat menunjukkan reaksi papiler yang halus.

Di sini temuan utama adalah papila limbal gelatin yang terkait dengan infiltrat epitel yang
disebut titik Horner-Trantas Ini adalah kumpulan fokal dari eosinofil yang terdegenerasi dan sel
epitel. Kornea dapat terlibat dalam KV, dan perubahan kornea berkisar dari erosi epitel ringan
(belang-belang) hingga parah (macroerosions dan ulcers). Penyakit palpebra aktif dapat
menyebabkan perkembangan neovaskularisasi kornea superfisial. Macroerosions terbentuk
ketika menghasut agen (misalnya, protein dasar mayor eosinofilik) yang dilepaskan dari epitel
konjungtiva tarsal atas ke nekrosis epitel kornea.

Epitelial erosi dapat sembuh sepenuhnya, dengan hasil visual yang sangat baik; namun,
pada kasus yang berat atau terlantar, deposisi lendir dan kalsium dapat mencegah re-epitelisasi,
dan ulkus perisai berkembang. Waxing dan memudarnya deposit lipid abu-abu putih di stroma
perifer, dangkal menciptakan infiltrasi arkuata yang dikenal sebagai pseudogerontoxon.

Kondisi lain dapat terjadi bersamaan pada anak-anak dengan KV. Kejadian keratokonus
yang lebih tinggi (berpotensi karena mata menggosok) dan pola topografi kornea abnormal telah
dilaporkan.(10) Komplikasi penggunaan steroid kronis, termasuk katarak yang diinduksi steroid
dan glaukoma, telah dilaporkan pada hingga 20% pasien.

Gambar 21. (apa? Kasih keterangan/nama gambarnya disini)

30
Gambar 22. (apa? Kasih keterangan/nama gambarnya disini)

Gambar 22. (apa? Kasih keterangan/nama gambarnya disini)

Gambar 23. (apa? Kasih keterangan/nama gambarnya disini)

31
4.5 Klasifikasi
Menurut lokalisasinya dibedakan tipe palpebral dan tipe limbal.2,7
 Tipe palpebra. Pada beberapa tempat akan mengalami hiperplasi sedangkan di
bagian lain mengalami atrofi. Terdapat pertumbuhan papil yang besar (Cobble stone)
yang diliputi sekret yang mukoid. Perubahan mendasar terdapat di substansia propia.
Substansia propia terinfiltrasi sel-sel limfosit, plasma dan eosinofil. Pada stadium
lanjut jumlah sel-sel limfosit, plasma dan eosinofil akan semakin meningkat,
sehingga terbentuk tonjolan jaringan di daerah tarsus, disertai pembentukan
pembuluh darah baru. Degenerasi hyalin di stroma terjadi pada fase dini dan semakin
menghebat pada stadium lanjut. Tipe ini terutama mengenai konjungtiva tarsal
superior.

Gambar 24. Gambaran cobble stone pada konjungtiva tarsalis superior.

 Tipe limbus. Hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan
hiperplastik gelatin, dengan Horner-Trantas dots yang merupakan degenerasi epitel
kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus, dengan
sedikit eosinofil.

32
Gambar 25. Hipertrofi papiler pada limbus superior

Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang interstisial


terutama oleh reaksi hipersensitif tipe I. Tahap awal konjutngtivitis vernalis ditandai oleh fase
prehipertrofi dalam fase ini terjadi pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang
ditutup oleh satu lapis sel epithel dengan degenerasi hyalin serta pseudo membran milky white.
Pembentukan papil ini berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinafil, basofil
dan sel mast.7,10 Tahap lanjut akan dijumpai sel-sel mononuclear serta limfosit, makrofag. Sel
mast dan eosinafil terdapat dalam jumlah besar dan terletak superfisial, sebagian besar sel mast
dalam kondisi terdegranulasi. Fase vaskuler dan seluler akan segera diikuti oleh deposisi kolagen,
dan peningkatan vaskularisasi, hiperplasi jaringan ikat terus meluas membentuk giant papil.2,9

4.6 Patofisiologi

Dikategorikan dalam klasifikasi terbaru gangguan hipersensitivitas permukaan okular


baik sebagai penyakit alergi okular IgE dan non-IgE-mediated. Peran aktivasi sel IgE-mast pada
beban penyakit berasal dari temuan seperti IgE di serum, air mata sitologi, peningkatan jumlah
sel mast di jaringan konjungtiva, pengamatan klinis paparan alergen dan eksaserbasi gejala, dan
hubungan dengan negara atopik lainnya. Namun, tidak semua pasien Konjungtivitis Vernalis
memiliki tes kulit dan penyakit positif tidak selalu dengan alergen lingkungan.

33
Peningkatan jumlah CD4 + limfosit Th2 diekspresikan pada konjungtiva pasien dengan
Konjungtivitis Vernalis sel-sel ini mendorong reaksi hipersensitivitas tipe I yang dimediasi IgE.
Sitokin dan interleukin yang dihasilkan th2 mempromosikan sintesis IgE. Lingkungan ini
mempromosikan degranulasi sel mast, pelepasan histamin, dan perekrutan sel inflamasi lainnya
saat terpapar alergen. Overekspresi sitokin pro-inflamasi, kemokin, faktor pertumbuhan, dan
enzim ditemukan di Konjungtivitis Vernalis . Eosinofil dan protein dasar utama eosinofil yang
diturunkan (MBP) dan protein kationik, neurotoksin, dan kolagenase, khususnya matriks
metallopeptidase (MMP) -9, telah terbukti merusak epitel kornea dan membran basalis, yang
menyebabkan keterlibatan kornea pada Konjungtivitis Vernalis. Lingkungan peradangan kronis
ini menciptakan remodeling jaringan dan tanda-tanda keratokonjungtivitis yang teramati secara
klinis.

Gambar 26. Mekanisme alergi

34
4.7 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar IgG serum, IgE serum dan air mata, kadar
histamin serum dan air mata meningkat, dan adanya IgE spesifik. Pemeriksaan mikroskopik dari
scraping konjungtiva, patognomonik konjungtivitis vernalis bila dijumpai > 2 sel eosinofil
dengan pembesaran lensa objektif 40x.

Gambaran histopatologik jaringan konjungtiva pada konjungtivitis vernalis dijumpai sel


eosinofil, sel mast dan sel basofil. Serta terjadi perubahan pada mikrovaskular dari sel endotel
serta ditemukannya deposit jaringan fibrosis, infiltrasi sel limfosit dan netrofil.

4.8 Tata laksana

Tabel. Tatalaksana KV berdasarkan tingkat keparahan penyakit

Gejala gatal, rasa terbakar, dan iritasi dapat dikelola dengan kompres dingin dan bilasan
salin. Air mata artifisial bebas tiruan dapat digunakan secara bebas. Tindakan sederhana ini
dilaporkan oleh pasien untuk memberikan bantuan gejala yang signifikan.

35
Di antara obat topikal, antihistamin (levocabastine 0,05%, emedastine 0,05%) dan
stabilisator sel mast (natrium kromoglikat 2% -4%, lodoxamide 0,1%) tampaknya memberikan
beberapa kenyamanan. Menariknya, meskipun peran utama histamin pada penyakit ini,
antihistamin saja belum terbukti berhasil. Misalnya, levocabastine topikal ditemukan lebih
rendah daripada lodoxamide dalam meringankan gejala dan tanda-tanda okular seperti gatal,
robek, dan fotofobia.

Agen-agen dual-acting dengan aktivitas melawan reseptor H1 dan degranulasi sel mast
(olopatadine 0,1%) telah sangat berhasil. dalam pengobatan konjungtivitis alergi dan digunakan
dalam kasus Konjungtivitis Vernalis.
Asetilsistein topikal 5% -10% telah digunakan untuk mengurangi kepatuhan lendir pada
kornea selama eksaserbasi. Agen lain yang telah dicoba dengan berbagai tingkat kemanjuran
dalam sejumlah penelitian terbatas termasuk mitomycin-C dan ketorolac.

Kortikosteroid sangat efektif, terutama dalam meredakan eksaserbasi penyakit. Namun,


profil efek samping mereka (katarak, glaukoma, infeksi herpes) membuat mereka pilihan yang
tidak populer untuk manajemen jangka panjang. Penggunaan stabilisator sel antihistamin / mast
sebagai terapi pemeliharaan dan kemudian terapi pulsa dengan steroid topikal selama eksaserbasi
penyakit adalah praktik yang umum. Prednisolon, fluorometholone, dan deksametason telah
dipilih untuk tujuan ini. Dengan pemantauan yang memadai, ini dapat diterima. Namun,
loteprednol agen dengan efek kurang pada tekanan intraokular telah ditemukan sama efektifnya
dengan prednisolon pada terapi Konjungtivitis Vernalis.

Dengan kemampuan mereka untuk menghambat aktivasi sel-T, minat pada kemanjuran
siklosporin A dan tacrolimus telah muncul. Peningkatan signifikan telah dilaporkan
menggunakan 2% formulasi siklosporin, respon cepat tetapi terjadi kembali setelah penghentian
drop. Penggunaan aman pada anak-anak dan reaksi yang merugikan terutama terbatas pada
menyengat dengan pemasangan.) Formulasi kekuatan yang lebih rendah (siklosporin 0,05%)
tampaknya efektif, meskipun lebih mahal. Penggunaan tacrolimus topikal telah menjanjikan,
dengan penelitian melaporkan pengurangan yang mengesankan dan cepat. dalam ukuran papila
raksasa. Itu juga tampaknya lebih mudah ditoleransi daripada siklosporin dalam profil efek
sampingnya.

36
Sangat jarang pasien Konjungtivitis Vernalis memerlukan pendekatan bedah. Operasi
pengangkatan plak kornea direkomendasikan hanya pada kasus yang berat dan persisten untuk
memungkinkan rejeksi ulang kornea. Eksisi papila raksasa dengan mitomycin-C intraoperatif
dapat dipertimbangkan dengan ptosis mekanik yang berat dan papillae kasar besar dengan
perubahan kornea

4.9 Komplikasi

Dapat menimbulkan keratitis epitel atau ulkus kornea superfisial sentral atau parasentral,
yang dapat diikuti dengan pembentukan jaringan sikatriks yang ringan. Kadang-kadang
didapatkan panus, yang tidak menutupi seluruh permukaan kornea.

4.10 Prognosis
Konjungivitis vernalis perjalanan penyakitnya menahun dan berulang, sering
menimbulkan kekambuhan terutama di musim panas. Meski demikian, Prognosis penderita
konjungtivitis vernalis umumnya baik. di mana pengobatan yang dipakai mengurangi gejala
pada pasien penderita konjungtititis vernal dengan hasil pemeriksaan menunjukkan kadar
eosinofil dan segmen granula eosinofil mengalami penurunan.

37
BAB V
KESIMPULAN

Konjungtivitis vernal merupakan bagian dari konjungtivitis alergi yang disebut juga
spring catarrh atau konjungtivitis menahun. Penyakit ini hampir selalu terdapat di musim semi,
musim panas dan musim gugur pada negara 4 musim dan sepanjang tahun di negara tropis atau
subtropis. Biasanya penyakit ini muncul mulai tahun-tahun prapubertas, berlangsung selama 5-
10 tahun dan lebih banyak pada laki-laki. Menurut lokalisasinya dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu tipe palpebral (terbentuk cobble stone pada konjungtiva palpebralis diliputi sekret mukoid)
dan tipe limbal (hipertrofi papil pada limbus superior / Horner-Trantas dots).
Alergen penyebab konjungtivitis vernal biasanya berhubungan dengan tepung sari
rumput. Gambaran klinis dapat berupa gatal yang sangat berat pada mata, ptosis bilateral,
kotoran mata, gambaran cobble stone atau Horner-Trantas dots. Pada pemeriksaan sekret atau
kerokan konjungtiva dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel-sel eosinofil yang banyak.
Konjungtivitis vernal termasuk self-limiting disease. Tatalaksana hanya diberikan jika gejala-
gejala sangat berat dan hanya dipakai dalam jangka pendek. Dapat diberikan kortikosteroid,
antihistamin, atau vasokonstriktor. Antibiotik lokal disertai sikloplegik diberikan untuk
mencegah infeksi sekunder. Edukasi pasien untuk menghindari alergen merupakan hal yang
sangat penting.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Rigoli L, Briuglia S, Caimmi S, Ferrau’ V, Gallizzi R, Leonardi S, La Rosa M, Salpietro C.


Gene-environment interactions in childhood asthma. Int J Immunopathol Pharmacol.
2011;24:41–47.]
2. Leonardi A, Bogacka E, Fauquert JL, et al. Ocular allergy: recognizing and diagnosing
hypersensitivity disorders of the ocular surface. Allergy. 2012; 67:1327–1337.
3. Verlato G, Corsico A, Villani S, Cerveri I, Migliore E, Accordini S, Carolei A, Piccioni P,
Bugiani M, Lo Cascio V, Marinoni A, Poli A, de Marco R. Is the prevalence of adult asthma
and allergic rhinitis still increasing. Results of an Italian study. J Allergy Clin Immunol.
2003;111:1232–1238. doi: 10.1067/mai.2003.1484.
4. Friedlander MH. Ocular Allergy. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2011;11(5):477–482.
doi: 10.1097/ACI.0b013e32834a9652.
5. Bielory L, Frohman L. Allergic and immunologic disorders of the eye. J Allergy Clin
Immunol. 1992;86:1–20.
6. Leonardi A, Motterle L, Bortolotti M. Allergy and the eye. Clin Exp Immunol. 2008;153:17–
21.
7. Jun J, Bielory L, Raizman MB. Vernal conjunctivitis. Immunol All Clin North Am.
2008;28:59–82. doi: 10.1016/j.iac.2007.12.007.
8. Kumar S. Vernal keratoconjunctivitis: a major review. Acta Ophthalmol. 2009;87:133–147.
doi: 10.1111/j.1755-3768.2008.01347.x.
9. Chigbu DI. Allergic Disorders of the Ocular Surface. New York: Nova Science Publishers,
Inc; 2013. Structure, function and immunology of the ocular surface; pp. 7–18.
10. Galicia-Carreon J, Santacruz C, Hong E, Jimenez-Martinez MC. The ocular surface: from
physiology to the ocular allergic diseases. Rev Alerg Mex. 2013;60(4):172–183.
11. Mergler S, Garreis F, Sahlmüller M, et al. Calcium regulation by thermo- and osmosensing
transient receptor potential vanilloid channels (TRPVs) in human conjunctival epithelial cells.
Histochem Cell Biol. 2012;137(6):743–761.
12. Kmiecik T, Otocka-Kmiecik A, Gorska-Ciebiada M, Ciebiada M. T lymphocytes as a target
of histamine action. Arch Med Sci. 2012;8(1):154–161.
13. Leonardi A, Bogacka E, Fauquert JL, et al. Ocular allergy: recognizing and diagnosing
hypersensitivity disorders of the ocular surface. Allergy. 2012; 67:1327–1337.

39
14. Wong AH, Barg SS, Leung AK. Seasonal and perennial allergic conjunctivitis. Recent Pat
Inflamm Allergy Drug Discov. 2014;8(2):139–153.
15. Mantelli F, Calder VL, Bonini S. The anti-inflammatory effects of therapies for ocular
allergy. J Ocul Pharmacol Ther. 2013;29(9):786–793.
16. Mishra GP, Tamboli V, Jwala J, Mitra AK. Recent patents and emerging therapeutics in the
treatment of allergic conjunctivitis. Recent Pat Inflamm Allergy Drug Discov. 2011;5(1):26–
36.
17. Leonardi A. Allergy and allergic mediators in tears. Exp Eye Res. 2013;117:106–117.
18. Abelson MB, Shetty S, Korchak M, Butrus SI, Smith LM. Advances in pharmacotherapy for
allergic conjunctivitis. Expert Opin Pharmacother. 2015;16(8):1219–1231.

40

También podría gustarte