Está en la página 1de 20

PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR TB PARU

DI LINGKUNGAN KELUARGA

Disusun Oleh :
SINDHU AGUNG LAKSONO
131611123043

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkolosis, yang
menyerang dari balita hingga usia lanjut. Penyakit Tuberkulosis Basil Tahan Asam Positif atau
juga bisa disebut dengan TB Paru, sampai kini belum berhasil diberantas dan telah menginfeksi
sepertiga penduduk dunia (Depkes RI, 2002). WHO menjelaskan kedaruratan global karena
TB Paru tidak terkendali disebagian besar dunia yang disebabkan banyaknya penderita TB
Paru yang tidak berhasil disembuhkan (WHO, 2004).
WHO melaporkan adanya 3 juta orang mati akibat TB Paru tiap tahun dan diperkirakan
5000 orang tiap harinya. Tiap tahun ada 9 juta penderita TB Paru baru dari 25% kasus kematian
dan kesakitan di masyarakat diderita oleh orang-orang pada usia produktif yaitu dari 15 sampai
54 tahun. Di negara-negara berkembang miskin kematian TB Paru merupakan 25% dari
seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Daerah Asia tenggara menanggung bagian
yang terberat dari beban TB Paru global yakni sekitar 38% dari kasus TB Paru di dunia (WHO,
2004). Indonesia merupakan negara terbesar nomer tiga didunia setelah India dan Cina yang
diperkirakan setiap tahunnya terjadi 583.000 kasus baru TB Paru, dengan kematian TB Paru
sekitar 140.000 kasus. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat
130 pasien TB Paru dan harapan 705 diantaranya bisa diobati sampai sembuh (Depkes, 2002).
Angka penjaringan suspek per provinsi pada tahun 2011 menunjukkan capaian 417 sampai
dengan 2.277 per 100.000 penduduk, tertinggi Sulawesi Utara dan terendah Daerah Istimewa
Yogyakarta. Provinsi yang mempunyai kontribusi peningkatan penjaringan suspek yang
signifikan di tahun 2011 adalah Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah,
Lampung, Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat (Kemenkes
RI, 2011)
Untuk menanggulangi masalah TB Paru di Indonesia, strategi DOTS (Directly
Observerd treatment Shountrcourse) yang direkomendasikan oleh WHO merupakan
pendekatan yang paling tepat saat ini dan harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh. DOTS
yaitu pengawas kesehatan RI (1993) penderita TB Paru diusahakan untuk menyelesaikan
menelan OAT sesuai jadwal pengobatan (Depkes RI, 1993). Tetapi program penanggulangan
TB Paru dengan strategi DOTS belum menjangkau seluruh Puskesmas, Rumah Sakit Negeri
maupun swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya.
Adapun tujuan pengendalian pengobatan adalah untuk menjamin ketekunan, keteraturan
pengobatan sesuai jadwal pengobatan untuk menghindarkan penderita lalai berobat dan putus
berobat sebelum waktunya dan mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan
kekebalan terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Untuk menjamin kepatuhan penderita
menelan obat, makan makanan berprotein tinggi, pengobatan perlu dilakukan dengan
pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment Short Course) dan pengawasan
konsumsi zat-zat makanan khususnya konsumsi protein oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO) (Depkes RI, 2001). DOTS berarti pengobatan penderita dengan paduan obat jangka
pendek disertai pengawasan menelan obat setiap hari. Di dalam DOTS arti pengawasan penuh
adalah penderita minum obat dihadapan PMO yang dapat berasal dari kesehatan, keluarga
penderita yang dapat dipercaya, kader kesehatan (Perkumpulan Pemberantasan Tubercolusis
Indonesia) atau tokoh masyarakat / agama yang disegani penderita (Depkes RI, 2001)
Salah satu keberhasilan dalam pengobatan penderita TB paru terletak pada Pengawas
Menelan Obat (PMO), PMO dapat diambil dari orang yang tinggal satu rumah dengan
penderita atau tinggal dalam Dasa Wisma. Selain itu juga dapat diawasi oleh anggota keluarga,
kader dasa wisma, kader PPTI, PKK, guru, teman tokoh masyarakat dan petugas sosial
kecamatan (Kanwil Depkes Propinsi Jateng, 2000).
Selain itu kesembuhan penderita TB paru dapat ditentukan oleh perilaku dari penderita
sendiri, banyak hal yang mempengaruhi perilaku seseorang antara lain : umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan dan pekerjaan seseorang. Selain itu umur seseorang akan mengalami
kemunduran dalam sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah terserang berbagai penyakit.
Tingkat pendidikan akan memberikan pengalaman seseorang terhadap sesuatu hal bagaimana
cara mengatasi masalah yang dihadapi, sehingga dapat memilih jalan yang terbaik guna
mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi. Pada umumnya, penderita yang terserang TB
paru adalah golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan primer sehari-hari lebih
penting dari pada pemeliharaan kesehatan. Hal ini dikarenakan kemiskinan dan jauhnya
jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan penderita tidak mampu membiayai
transportasi kepelayanan kesehatan dan ini menjadi kendala dalam melakukan pengobatan,
sehingga dapat mempengaruhi keteraturan berobat.
Adanya fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai dan ketersediaan obat serta jumlah
tenaga yang cukup belum cukup menjamin keberhasilan dalam pengobatan, keteraturan dan
ketaatan penderita untuk berobat sampai dengan waktu pengobatan yang telah ditentukan
merupakan faktor pendorong dalam keberhasilan pengobatan. Lamanya pengobatan TB paru
akan mengurangi kepatuhan penderita dalam melakukan pengobatan sesuai demgan jadwal
yang telah ditentukan
1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengurangi dan memutus penularan TB paru di lingkungan keluarga.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan TB paru
b. Mendeskripsikan program penanggulangan TB paru
c. Mendeskripsikan strategi DOTS
d. Mendeskripsikan strategi PMO
e. Mendeskripsikan tata laksana pendukung program PMO dan DOTS.
f. Mendeskripsikan faktor yang mepengaruhi program PMO dan DOTS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru


a. Definisi
Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis sebagian besar menyerang Paru dan dapat
mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan disebut pula sebagai Basil Tahan Asam
(BTA). Kuman TB Paru cepat mati apabila terkena sinar matahari langsung tetapi dapat
bertahan hidup dalam beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab (Depkes RI, 2002)
b. Tanda dan gejala
Departemen kesehatan menyebutkan gejala dan tanda penyakit TB Paru BTA
Positif adalah :
1) gejala umum : nyeri dada, batuk lebih dari tiga minggu atau lebih.
2) gejala lain : nyeri dada batuk dahak atau dahak bercampur darah, keringat malam,
demam lebih dari sebulan, sesak nafas, nafsu makan menurun dan berat badan
menurun (Depkes RI, 1993).
c. Cara Penularan
Sumber penularan penyakit TB Paru dikarenakan oleh kuman yang berterbangan
di udara dan ada juga yang jatuh pada lantai sehingga dapat terhirup oleh setiap orang,
pada paru-paru kuman atau basil TB Paru akan bersarang dan basil berkembang biak
juga menggerogoti Paru-paru.
Tidak semua orang yang dimasuki basil TB Paru pasti sakit TB paru karena
badannya kuat dan daya tahan tubuhnya kuat orang mungkin terhindar dari sakit TB
Paru. Daya tahan tubuh yang kuat jika gizi makanan yang cukup, bergerak badan dan
istirahat yang cukup. Atau jika sejak bayi semua anak harus diberi Imunisasi BCG yang
berfungsi untuk mencegah tertular TB Paru (Hendrawan. 1996).
d. Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada penderita berstadium lanjut (Nadesul, Hendrawan.
1996), antara lain :
1) Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersambungnya jalan nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat kontraksi bronkiat.
3) Bronkiestasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan) jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktiti pada paru.
4) Penyebaran infeksi organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.
5) Insufisiensi kardio pulmoner (Cardio pulmonery insuffiency) (Depkes RI, 2002)
e. Pemeriksaan
Bahwa seseorang ditetapkan sebagai penderita TB Paru apabila melakukan
serangkaian pemeriksaan sebagai berikut :
1) Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan cara yang paling dapat diandalkan
(paling murah) dan harus diupayakan tiga buah spesimen untuk pemeriksaan.
Pemeriksaan dilakukan 3x dengan sesaat, pagi, sesaat (SPS) paling baik dipastikan
dengan hasil positif berikutnya (Depkes RI, 2002).
2) Pemeriksaan semua pasien dengan kronis khususnya batuk perokok atau batuk
lebih dari 4 minggu, mereka yang turun berat badannya, nyeri dada dan lainnya
yang mengakibatkan TB Paru.
3) Foto rontgen, pemeriksaan rontgen diperlukan bila pasien yang memiliki masalah-
masalah yang sulit terutama para tersangka TB Paru yang positif HIV. Hal ini tidak
dilakukan untuk kasus secara massal di negara-negara dengan prevalensi tinggi.
4) Tes tuberkulin, tes ini kurang dapat diandalkan dalam menegakan diagnosis di
negara miskin karena gizi buruk, dan penyakit lain. Seperti infeksi HIV atau TB
Paru yang sangat parah dapat menghasilkan tes yang lemah meskipun pasien
dewasa atau anak berpenyakit TB Paru aktif. Tes pada anak dapat berubah karena
BCG (Harun, Sutiana, 2002).
2.2 Program Pemberantasan TB Paru
1. Strategi DOTS
a. Strategi DOTS sesuai rekomendasi WHO (WHO, 2004), yaitu :
1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
2) Diagnosis TB paru dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik
3) Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung
oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5) Pencatatan dan palaporan secara baku untuk memudahakan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB paru.
b. Tatalaksana Pasien TB di DOTS yaitu:
1. Penemuan tersangka TB
Pasien dengan gejala utama pasien TB paru: batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih dianggap sebagai seorang tersangka pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama
mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang
menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
2. Diagnosis TB
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-
pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB melalui pemeriksaan dahak :BTA. Pemeriksaan lain seperti
foto thoraks, biakan dan uji kepekaan dapat juga sebagai penunjang diagnosis.
3. Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT (obat anti tuberkulosis). Pengobatan TB diberikan
dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
a. Tahap Awal
Pada tahap awal ini pasien mendapatkan obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat, bila pengobatan tahap awal
ini diberikan secara tepat biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu, sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif dalam 2 bulan.
b. Tahap Lanjutan
Pasien mendapat obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
(kurang lebih4 -6 bulan), tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah kekambuhan.
4. Rujukan
Melakukan rujukan ke UPK lain bagi pasien yang ingin pindah dengan menggunakan
formulir rujukan yang ada.
c. Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB di DOTS
a. Formulir TB.01 : Kartu Pengobatan Pasien TB
b. Formulir TB.02 : Kartu Identitas Pasien
c. Formulir TB.03 : Register TB Kabupaten
d. Formulir TB.04 : Register Laboratorium TBC
e. Formulir TB.05 : Formulir Permohonan Laboratorium TBC Untuk
Pemeriksaan Dahak
f. Formulir TB.06 : Daftar Suspek Yang Diperiksa Dahak SPS
g. Formulir TB.09 : Formulir Rujukan/Pindah pasien TB
h. Formulir TB.10 : Formulir Hasil Akhir Pengobatan Dari Pasien TB Pindahan
Melalui strategi DOTS ini diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian TB, memutuskan rantai penularan, serta mencegah MDR-TB, dengan
target program penanggulanga TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB
BTA positif paling sedikit 70 % dari perkiraan dan menyembuhkan 85 % dari semua
pasien tersebut serta mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan
tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya dan mencapai tujuan
MDGs (millenium development goals) pada tahun 2015. (sumber dari buku Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis : Depkes RI, 2011).
2. Strategi Pengawasan Menelan Obat (PMO)
Salah satu program keberhasilan pengobatan TB Paru dilakukan pengawasan menelan
obat (PMO) (Kanwil Depkes Propinsi Jateng. 2000)
1) Pengawas Menelan Obat (PMO)
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan
Pengawas Menelan Obat (PMO).
2) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita selain itu harus dusegani dan dihormati oleh penderita.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
c) Bersedia membatu penderita dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.
e) Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di desa, perawat,
pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan lain-lain.
3) Tugas PMO
a) Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada penderita agar menelan obat secara teratur.
c) Mengingatkan penderita untuk periksaq ulang dahak pda waktu-waktu yang
telah ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang
mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru segera memeriksakan diri ke unit
pelayanan kesehatan.

3. Tata laksana pendukung program DOTS dan PMO


1. Tatalaksanaan Pengobatan TB Paru
Pengobatan diberikan dalam dua tahap (Dekes RI, 1997), yaitu :
1) Tahap Intensif (awal dimana pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah kekebalan atau resistensi terhadap semua OAT (Obat
Anti Tuberkulosis), terutama Rifampisin. Bila tahap ini diberikan secara tepat
pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu dua minggu. Sebagian besar
TBC Paru BTA Positif (+) menjadi BTA Negatif (-) pada akhir pengobatan ini.
2) Tahap lanjutan, pasien mendapat obat dalam jangka waktu yang lebih lama dan
jenis obat lebih sedikit untuk kekambuhan.
Tujuan dari pengobatan pasien TB paru adalah penyembuhan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan resiko penularan(Depkes RI,
2001). Menyembuhkan pasien dengan gangguan semininal mungkin dalam hidupnya,
mencegah kematian pada pasien, meencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi
yang terkait, mencegah kekambuhannya penyakit, mencegah kuman menjadi resisten
dan melindungi kelurga dan masyarakat penderita terhadap infeksi (Jhon Crofson,
2001). Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan TB paru antara lain (Jhon
Crofson, 2001) :
1) Isoniasid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat membunuh 90%
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.
2) Rifampisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi dormant
(persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh INH.
3) Piranizamid, (Z), bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam
sel suasana asam.
4) Streptomycine (S), bersifat bakterisid.
5) Etambutol (E), bersifat bakteriotatik.
2. Program Obat Anti Tuberkulosis (Depkes RI, 1997)
Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO (World Health
Organization) dan IUAT-LD (International Union Againts Tuberculosis and Lung
Disease) dengan jangka 6 (enam) bulan yaitu :
1) Kategori I (2HRZA / 4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazanamid (Z) dan
Etamburol (E), obat diberikan setiap hari selama 2 (dua) bulan (2HRZE).
Kemudian diteruskan tahap lanjutan yang terdiri Isoniasid dan Rifampisin
diberikan 3 (tiga) kali seminggu selama 4 (empat) bulan (4H3R3) (Depkes RI,
1997). Panduan OAT kategori I diberikan untuk :
a) Pasien baru TB – Paru BTA Positif (+)
b) Pasien baru TBC – Paru Negatif (-), Rontgen positif (+) yang sakit berat.
c) Penyakit paru ekstra berat
2) Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE dan suntikan
Steptomisin (S), setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari.
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan 3 kali dalam seminggu(Depkes RI, 1997).
3) Kategori III (2HR2/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari selama 2 bulan
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu (Depkes RI, 1997).
OAT kategori ini diberikan untuk :
a. Pasien batuk TBC Paru BTA Negatif (-) dan rontgen positif (+) sakit ringan.
b. Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis kelenjar limfe
(limfadenitis), pleuritis eksudtiva unilateral, Tuberkuilosis kulit, Tuberkulosis
tulang (kecuali tulang belakang, Tuberkulosis sendi dan kelenjar adrenal)
3. Hasil Pengobatan
Hasil pengobatan diklasifikasikan antara lain :
1) Sembuh
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan
secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow - up) paling sedikit 2 (dua)
berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP sebulan sebelum AP dan pada satu
pemeriksaan Follow up sebelumnya (Harun, Sutiana, 2002).
2) Pengobatan lengkap
Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tapi tidak ada hasil
pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut : Penderita
diberi tahu apabila muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan menikuti
prosedur tetap (Harun, Sutiana, 2002).
3) Pindah
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan
kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini dan penderita harus membawa surat
pindah / rujukan (TB –09) (Depkes RI, 1997).
4) Drop Out (DO)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan
atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif (Depkes RI, 2001)
5) Gagal
Penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih dan penderita
dengan hasil BTA Negatif Rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan
ke-2 pengobatan (Depkes RI, 1997).
6) Meninggal
Penderita TB paru yang diketahui meninggal karena sebab apapun.
4. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program DOTS dan PMO
Pengendalian pengobatan penderita dilaksanakan pada saat kunjungan penderita ke
uni pelayanan kesehatan atau dengan kunjungan ke rumah penderita yang dilakukan oleh
petugas kesehatan maupun petugas pengawas menelan obat (PMO). Penentu status
penderita atau keberhasilan dan keketebalan ditentukan pada akhir masa pengobatan
(Depkes RI, 1993). Keberhasilan pengobatan Tuberkulosis dinilai berdasarkan : uji
bakteriologi, radiologi dan klinik. Uji bakteriologi pada akhir pengobatan TB Paru BTA
Positif menjadi negatif dan hasil rontgen ulang menjadi baik atau tidak ada masalah dengan
paru-parunya Depkes RI, 1993).
Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Pengoabatan TB Paru :
1. Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal
ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-
tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang
berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat di bedakan
menjadi 2, yaitu (Soekidjo, 2003) :
1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya : umur, pendidikan, tingkat kecerdasan,
tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, politik, pekerjaan dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering
merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Beberapa teori lain yang telah di coba untuk mengungkap determinan perilaku
dari analisa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Soekidjo, 2003).
Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat di pengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes).
Selanjutnya perilaku itu sendiri di tentukan atau terbentuk dari 3 faktor (Soekidjo,
2003) :
1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing faktors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, pekerjaan dan sebagainya.
2) Faktor-faktor pendukung (enabling faktors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan,
misalnya peran PMO, pemakaian OAT dan sebagainya.
3) Faktor-faktor pendorong (reinforcing faktors) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, keluarga dan masyarakat yang
merupakan kelompok referensi oleh perilaku masyarakat.
Perilaku seseorang dibentuk oleh tiga yaitu pengetahuan, sikap dan praktek :
1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan
yang tercakup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkatan (Soekidjo, 2003) :
a) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah diajarkan dan
dipelajari sebelumnya.
b) Memahami (Comprehension)
Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang obyek yang dketahui.
c) Aplikasi (Aplication)
Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real.
d) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu obyek
kedalam komponen-komponen.
e) Sintesis (Syntesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulas-formulasi yang ada.
f) Evalusi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau obyek.
2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau obyek. Manifestasi dari sikap tidak dapat langsung dilihat tetapi
hanya ditafsirkan dari perilaku yang tertutup (Soekidjo, 2003). Seperti halnya
pengetahuan sikap terdiri dar 4 tingkatan :
a) Menerima (receiving)
Menerima berarti bahwa orang (obyek) mau atau mempertimbangkan stimulus
yang diberikan (obyek).
b) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c) Menghargai (valuding)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan, mendiskripsikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga
d) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
3. Praktik
Praktik berarti sama dengan praktek keperawatan. Praktek atau tindakan adalah
sesuatu perbuatan nyata atau aktifitas nyata sehubungan dengan stimulus atau
obyek. Untuk terwujudnya suatu sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas
(Soekidjo, 2003). Sikap seseorang untuk menjadi praktek melalui empat tahapan :
a) Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tingkatan yang
akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
b) Respon Terpimpin (guided response)
Dapat melaksanakan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh.
c) Mekanisme (mekanisme)
Apabila seseorang telah dapat melaksanakan sesuatu dengan benar secara
otomatis.
d) Adopsi (adaption)
Adaptasi adalah suatu praktek atau dibedakan yang sudah berkembang dengan
benar
4. Umur
Umur merupakan salah satu faktor pendorong yang dapat menentukan perilaku
seseorang dalam keberhasilan pengobatan penyakitnya, umur yang semakin tua akan
mempunyai pengalaman yang cukup untuk memandang suatu masalah dari berbagai
sudut pandang, begitu pula dengan pengobatan. Seseorang semakin tua umurnya akan
lebih taat dalam melakukan pengobatan sesuai petunjuk petugas kesehatan karena
mereka mempunyai keinginan yang kuat untuk sembuh (Soekidjo, 2003). Biasanya TB
paaru lebih banyak menyerang pada usia yang tua karena adanya proses penurunan
sistem kekebalan dalam tubuh (Depkes RI, 2001).
5. Pendidikan
Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan pada diri seseorang yang
dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu, dan masyarakat,
pendidikan kesehatan tidak dapat diberikan pada seseorang atau orang lain, bukan
seperangkat prosedur yang harus dilaksanakan atau proses pengembangan yang
berubah secara dinamis, yang di dalamnya seseorang menerima atau menilai
informasi, sikap, maupun praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat
(Harun, Sutiana,1997).
6. Pekerjaan
Pada umumnya, penderita yang terserang tuberkulosis adalah golongan
masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan primer sehari-hari lebih penting dari
pada pemeliharaan kesehatan. Kemiskinan dan jauhnya jangkauan pelayanan
kesehatan dapat menyebabkan penderita tidak mampu membiayai transportasi
kepelayanan kesehatan dan ini menjadi kendala dalam melakukan pengobatan,
sehingga dapat mempengaruhi keteraturan berobat (Depkes RI, 1994).
7. Pemakaian OAT sebelum pengobatan 6 bulan.
Pemakaian OAT sebelum pengobatan 6 bulan diartikan sebagai pemakaian OAT yang
diberikan sebelum berakhir prpses pengobatan yang sedang dievaluasi, tetapi tidak
mengalami penyembuhan. Pemakaian OAT sebelumnya berkaitan dengan resistensi,
makin lama makin sering dan makin teratur pemakaian OAT akan makin meningkat
kemungkinan resisten OAT terhadap mycobacterium tuberculosis (Harun, Sutiana,
1993).
8. Pengawasan Menelan Obat (PMO)
Salah satu program keberhasilan pengobatan TB Paru dilakukan pengawasan menelan
obat (PMO) (Kanwil Depkes Propinsi Jateng. 2000)
1. Pengawas Menelan Obat (PMO)
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan
Pengawas Menelan Obat (PMO).
2. Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita selain itu harus dusegani dan dihormati oleh penderita.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
c) Bersedia membatu penderita dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.
e) Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di desa, perawat,
pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan lain-lain.
4) Tugas PMO
a) Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada penderita agar menelan obat secara teratur.
c) Mengingatkan penderita untuk periksaq ulang dahak pda waktu-waktu yang
telah ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang
mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru segera memeriksakan diri ke unit
pelayanan kesehatan.
9. Keteraturan Minum Obat
Keteraturan minum obat diukur sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah
ditetapkan yaitu dengan pengobatan lengkap sampai dalam jangka waktu pengobatan
sampai 100% (68 kali). Keteraturan pengobatan apabila kurang dari 90% maka akan
mempengaruhi penyembuhan. OAT harus diminum teratur sesuai dengan jadwal,
terutama pada fase pengobatan awal guna menghindari terjadinya kegagalan
pengobatan serta terjadinya kekambuhan(Nursalam, 1997).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

1. Almatsier. M. Idris F.2000 The Involment of the private Practioness an Tuberculosis

Control Program Throught DOTS Strategy : A Discourse. Majalah Kesehatan. 50 : 497-

498.

2. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. jakarta:Renika

Cipta.

3. Bhisma murti. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Jogyakarta.

4. B.Y Yan..1992. Anti Tuberculosis Chemotherapy And It’s Rotation to Tuberculosis

Control In China. Pros 12th. Asia Pasifik Congress an desease of the chest.. .

5. Dahlan Z.1997. Diagosa dann Penataksanaan Tberkulosis. Cermin Dunia Kedokteran.,

115 : 8-12.

6. Depkes.RI. 1993. Pedoman Penemuan dan Pengobatan Penderita TB Paru. Jakarta.

Depkes

7. Depkes RI. 1993. Pedoman Tuberkulosis Paru. Jakarta.

8. Dep Kes RI 1997. Pedoman Penyakit Tuberkulosis Dan Penanggulangannya. Jakarta .

Depkes

9. Depkes RI. 2001. Buku Petunjuk Praktis Bagi Petugas dan Pelaksana Penanggulangan

TBC di Unit Pelayanan Kesehatan. Jakarta. Depkes.

10. Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penangulangan Tuberkulosis. Jakarta.

11. John Crofson. 2001. Norman Horne Fredmiller. Tuberkulosis Klinis. Widya Medika.

Jakarta.

12. Kanwil Depkes Propinsi Jateng. 2000. Buku Pedoman Bagi Pengawas Menelan Obat.

Semarang. P3M
13. Mangkunegara, H dan Suryatenggara W. 1994. Pedoman Praktisi Diagnosa dan

Penatalaksana Tuberkulosis Paru. Cetakan ke-2. Jakarta : Yayasan Penerbit IDA.

14. Muharman Harun, Ella Sutiana. 2002. Tuberkulosis Klinis. Widya Medika.. Jakarta

15. Nadesul, Hendrawan. 1996. Penyebab, Pencegahan dan Pengobatan TB Paru. Jakarta :

Puspas Swara.

16. Soekidjo Notoadmodjo. 2002. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta. Edisi Revisi. PT.

Rineka Cipta.

17. Soekidjo, Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

18. W. Herdin Subuan, Nursalam. M. Panggabean. S.P.1997.. Gulton. Ilmu Penyakit Demam.

Jakarta.

19. Wardoyo. 1997. Waspadai Ancaman Kesehatan Kita. Aneka Ilmu. Solo

20. Warijan.1991. Tes gaya hasil objektif IKIP Pres. Semarang.

21. WHO. TB Control in the Workplace, Report of an Intercontry Consultan, New Delphi.

2004. Depkes 2002, http://www.depkes.go.id/index.php?option2

articles&arcid=154&item=3, 20 Mei 2004.

22. Wukir Sari. Skripsi 2005. Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap PMO Dengan

Pencegahan Penyakit Tuberculosis Paru Di Puskesmas Pandanaran Kota Semarang.

UNIMUS. Semarang

También podría gustarte