Está en la página 1de 3

EKSISTENSIALISME

A. Pengertian Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, karena di dalamnya terdapat beberapa
aliran yang berbeda, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan
apa sebenarnya eksistensialisme itu. Namun demikian, ada sesuatu yang menjadi kesamaan
dalam aliran ini, yaitu memfokuskan pada cara keberadaan manusia di dunia ini. Namun,
untuk memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, maka berikut akan di
paparkan pengertiannya.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti
keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia
berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein
(da artinya di sana, sein artinya berada).
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan
bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani,
manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian,
manusia selalu dalam keadaan belum selesai, yang masih dalam proses menjadi; ia selalu
sedang ini atau sedang itu.
Untuk lebih jelasnya, filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa
cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; domba dan
pohon juga. Akan tetapi cara beradanya berbeda. Manusia menyadari keberadaannya di
dunia, menghadapinya dan mengerti apa yang dihadapainya. Sedangkan benda atau materi
lain tidak menyadari dirinya sendiri.

Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa
hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang
menyadari, yang sadar. Namun tidak halnya dengan benda, hewan / materi lain, mereka
hanyalah benda / barang yang disadari oleh manusia, yang disebut sebagai objek.

B. Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme


Filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat
yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya
kayu dan batu. Jadi pada prinsipnya manusia hanyalah sesuatu yang material. Menurut
bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia
sama saja dengan sapi.

2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran. Idealism
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain
pikiran/kesadaran.
3. Situasi dan Kondisi dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang
secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Seperti,
pemberontakan aliran ini terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman
industri modern dan teknologi, serta gerakan massa. Protes terhadap gerakan-gerakan
totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau
menenggelamkan perorangan di dalam massa. Dengan kata lain, kebebasan merupakan hal
yang sangat langka pada saat itu.

C. Tokoh-tokoh Aliran Eksistensialisme

Eksistensialisme sebagai aliran filsafat dikenal pada abad ke -20. Eksistensialisme berasal
dari pemikiran Soren Kierkegaard ( Denmark, 1833-1855 ), namun Jean Paul Sartre (1905-
1980) yang mempopulerkan aliran ini. Selain dua tokoh di atas, masih banyak tokoh-tokoh
dalam aliran ini. Berikut akan diuraikan para tokoh tersebut :

a. Soren Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 – meninggal di
Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun) adalah seorang filsuf dan
teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark.
Kierkegaard menentang keras pemikiran Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah
karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea
yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu
“aku umum”, tetapi sebagai “aku individual”.
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa
menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita
menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk
mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan. manusia selalu
berkembang, berproses ke arah yang lebih baik. Kesadaran akan diri merupakan kata kunci,
karena melalui kesadaran akan dirinya inilah manusia berproses ke arah yang lebih baik.
Kesadaran akan diri muncul bila manusia memiliki kebebasan menentukan.

b. Jean Paul Sartre


Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris dan meninggal di Paris, 15
April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ia berasal dari
keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya
anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ia dianggap
yang mempopulerkan aliran eksistensialisme.
Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L’existence précède
l’essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak
lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre
selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L’homme est
condamné à être libre). Ia menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia
yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri
sendiri.
c. Martin Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976
pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di
bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana
1928.
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-
benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia
karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap
tindakan dan tujuan mereka. Dengan kata lain, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang
berada di luar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau
terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini bermakna karena manusia.

d. Friedrich Nietzsche
Menurut Friedrich, manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan
untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super
(uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini
hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih
aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

e. Nicholas Berdyaev
Berdyaev dilahirkan di Kiev dalam suatu keluarga militer aristokrat. Ia hidup sendirian di
masa kanak-kanaknya di rumah, dan perpustakaan ayahnya memungkinkannya banyak
membaca. Ia membaca karya-karya Hegel, Schopenhauer, dan Kant ketika usianya baru 14
tahun dan ia menguasai berbagai bahasa asing.
Filsafatnya dicirikan sebagai eksistensialis Kristen. Ia sangat memperhatikan kreativitas dan
khususnya kemerdekaan dari segala sesuatu yang menghalangi kreativitas. Berdyaev adalah
seorang Kristen yang saleh, namun ia seringkali kritis terhadap gereja yang mapan. Sebuah
artikel pada 1913 mengecam Sinode Kudus dari Gereja Ortodoks Rusia menyebabkan ia
dituduh menghujat, dan hukumannya adalah pembuangan ke Siberia seumur hidup. Perang
Dunia dan Revolusi Bolshevik membuat ia tidak pernah diajukan ke pengadilan.

D. Aliran Eksistensialisme dengan Pendidikan


Kalangan Eksistensialisme “terganggu” akan apa yang mereka dapatkan pada kemapanan
pendidikan. Mereka dengan segera menegaskan bahwa banyak dari apa yang disebut
pendidikan sebenarnya tidaklah apa – apa kecuali propaganda yang digunakan untuk
memikat audiens. Mereka juga mengungkapkan bahwa banyak dari apa yang dewasa ini
dianggap pendidikan sejati adalah sesuatu yang membahayakan, karena ia menyiapkan
peserta didik untuk konsumerisme atau menjadikannya sebagai tenaga penggerak dalam
mesin teknologi industrial dan birokrasi modern. Bukan malah mengembangkan
individualitas dan kreativitas, keluh kalangan eksistensialis, banyak pendidikan justru
memusnahkan sifat – sifat kemanusiaan yang pokok tadi.

También podría gustarte