Está en la página 1de 23

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PERBANKAN SYARIAH

Disusun dalam rangka memenuhi tugas kuliah Aspek Hukum Bank Islam

Dosen Pengampu:
Faridatul Fitriyah, M.Sy.

OLEH :

Faidatul Anis Safitri (931319314)


Choiru Ummatin Nisa’ (931325514)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH


JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberadaan perbankan syariah di Indonesia merupakan refleksi kebutuhan
atas sistem perbankan yang dapat memberikan kontribusi stabilitas kepada sistem
keuangan nasional. Industri perbankan syariah juga mencerminkan permintaan
masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang
menyediakan jasa perbankan yang memenuhi prinsip-prinsip syariah. Sebagai
negara yang mayoritas Muslim yang terbesar di dunia, Indonesia memiliki prospek
bagi pengembangan perbankan syariah di masa yang akan datang. Hal ini
didukung oleh keyakinan sebagian masyarakat kita akan adanya keberkahan rizki
yang diberikan Allah Swt bila melakukan transaksi melalui perbankan syariah.
Secara resmi legalisasi perbankan syariah telah dituangkan dalam UU No.7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No.10 Tahun
1998, dan juga dalam UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004. Sebagai otoritas pengawas bank-bank di
Indonesia, Bank Indonesia secara intensif sejak tahun 2002 hingga sekarang terus
melakukan regulasi terhadap aktivitas perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun
2007-2008, Bank Indonesia mencanangkan program akselerasi pengembangan dan
pertumbuhannya. Dalam jangka pendek, hingga akhir 2008 Bank Indonesia
menargetkan pertumbuhan kuantitatif aset perbankan syariah yang cukup besar,
yaitu dapat mencapai minimal 5% dari seluruh aset perbankan nasional. Untuk
itulah, akselerasi pertumbuhan tersebut perlu didukung oleh suatu kebijakan
akselerasi yang tepat, yang tidak hanya melibatkan Bank Indonesia dan
pemerintah saja, tetapi juga komponen masyarakat lainnya seperti lembaga-
lembaga pendidikan dan perguruan tinggi, sebagai penyedia sumber daya insani.
Dari penjabaran diatas disini kami akan membahas lebih lanjut dalam makalah
kami yang berjudul “Kebijakan Pemerintah dalam Perbankan Syariah”.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagimanakah Pengertian Perbankan Syariah?
2. Bagaimana Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Perbankan Syariah di
Indonesia?
3. Bagaimana Kebijakan sebelum Undang-Undang Perbankan Syariah Tahun
2008?
4. Bagaimana Kebijakan sesudah Undang-Undang Perbankan Syariah Tahun
2008?
5. Apa saja Implikasi lahirnya UU No. 21 Tahun 2008?
6. Apa saja Kebijakan Pemerintah di Bidang Perbankan Syariah?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perbankan Syariah


Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan
yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini
berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau
memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan
untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram).1 Hal ini sejalan
dengan UU. No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang menyatakan
bahwa Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.2

B. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Perbankan Syariah di


Indonesia
Sejak diberlakukan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
menberikan peluang didirikannya bank syariah, dipandang dari sisi jumlah
jaringan kantor dan volume kegiatan usaha, masih belum memuaskan. Oleh karena
itu pemerintah mempunyai keinginan untuk lebih mendorong perekembangan
bank syariah di Indonesia.
Upaya mendorong pengembangan bank syariah dilaksanakan dengan
memperhatiakn bahwa sebagian masyarakat muslim Indonesia pada saat ini sangat
menantikan suatu sistem perbankan syariah yang sehat dan terpercaya untuk

1
Anonim, “Perbankan Syariah”, Wikipedia Ensiklopedia Bebas,
https://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah , diakses tanggal 7 Desember 2017.
2
Anang Fauzi, “Pengertian Bank Syariah Menurut Undang-undang”, Nangartikel,
http://nangartikel.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-bank-syariah-menurut-undang.html, 22 Oktober
2015, diakses tanggal 7 Desember 2017.

3
mengakomodasi kebutuhan mereka terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai
dengan prinsip syariah. Pengembangan perbankan syariah juga ditunjukkan untuk
meningkatkan mobilisasi dana masyarakat yang selama ini belum terlayani oleh
sistem perbankan konvensional. Selain itu, sejalan dengan upaya-upaya
restrukturisasi perbankan, pengembangan bank syariah merupakan suatu alternatif
sistem pelayanan jasa bank dengan berbagai kelebihan yang dimilkinya. 3 Upaya
intensif pendirian bank islam (peraturan perundang-undangan Indonesia “Bank
Syariah”) di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober “PAKTO” yang mengatur
deregulasi Industri perbankan di Indonesia.
Setelah adanya rekomendasi dari lokakkarya Ulama tentang Bunga Bank
dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada 19-22 Agustus 1990, yang kemudian
diikuti dengan diundangkannya UU No.7/1992 tentang perbankan dimana
perbankan bagi hasil mulai diakomodasi, maka berdirilah Bank Muamalat
Indonesia, yang merupakan Bank Umum Islam pertama yang beroprasi di
Indonesia. selama lebih dari enam tahun beroprasi, kecuali UU No.7/1992 dan
Peraturan Pemerintah No.72/1992, praktis tidak ada peraturan
perundang0undanagn lainnya yang mendukung beroperasinya perbankan syariah.
Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa perbankan Syariah
menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia
yang berbasis bunga/konvensional, yang akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat
padanya menjadi tersamar dan bank islam di Indonesia tampil seperti layaknya
bank konvensional.
Dengan diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU
No.7/1992 tentang perbankan, maka secara tegas sistem perbankan syariah
ditempatkan sebagai bagian dari sistem perbankan Nasional,4 serta perbankan
syariah telah mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk menyelenggarakan

3
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Paraktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 223
4
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Management Bank Syariah, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006),6-8.

4
kegiatan usaha, termasuk pemberian kesempatan kerja kepada bank umum
konvensional untuk membuka kantor cabang yang khusus melkasanakan
kegiatanberdasarkan prinsip syariah. Pemberian kesempatan pembukaan kantor
cabang syariah ini adalah sebagai upaya meningkatkan jaringan perbankan syariah
yang tentunya akan dilakukan bersamaan dengan upaya pemberdayaan perbankan
syariah. Upaya tersebut diharapkan akan mendorong perluasan jaringan kantor,
pengembangan pasar uang antar bank syariah,peningkatan kualitas sumber daya
manusia, dan kinerja bank syariah, yang pada intinya akan menunjang
pembentukan landasan perekonomian rakyat yang lebih kuat dan tangguh.5

C. Kebijakan sebelum Undang-Undang Perbankan Syariah Tahun 2008


Upaya pengembangan industri perbankan syariah mendapat perhatian
banyak pihak, baik karena merupakan wewenang dan respon lembaga terkait
maupun upaya sukarela dari lembaga-lembaga tersebut. Selain itu kebijakan-
kebijakan terkait yang dilakukan oleh lembaga lain yang secara langsung
mempengaruhi perkembangan industri perbankan syariah di tanah air, seperti:
1. DSN MUI sebelum disahkan Undang-Undang Perbakan Syariah sudah
menjalankan fungsinya dalam menyediakan fatwa bagi landasan operasional
bank syariah agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Fatwa ini yang
kemudian juga menjadi rujukan dalam perumusan Peraturan Bank Indonesia
(PBI).
2. IAI aktif merumuskan dan mengeluarkan panduan akuntansi syariah yang
menjadi pedoman dalam pencatatan-pencatatan transaksi di perbankan syariah.
3. DPR juga berperan dengan mengesahkan Undang Undang No. 10 tahun 1998
tentang Perbankan dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang memasukkan pengaturan bank syariah di dalamnya.

5
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Paraktik., hlm 224.

5
a. Perundang-undangan Terkait Perbankan Syariah

Munculnya bank syariah pertama kali di Indonesia disebabkan oleh dua


faktor, yaitu:

1) Munculnya preferensi dari masyarakat terhadap pelayanan jasa


keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.
2) Willingness pemerintah yang membuka peluang beroperasinya bank
berdasarkan prinsip syariah tersebut

Setelah bank syariah pertama berdiri perkembangan bank syariah


selanjutnya berjalan sangat lambat. Kepastian dan landasan hukum
ditengarai menjadi faktor utama mengapa kondisi ini terjadi. Saat itu belum
ada regulasi dan ketentuan memadai yang mengatur operasional bank
syariah. Terlebih lagi pada tataran teknis dimana sangat sedikit aturan yang
mengatur bank syariah ini. konsekuensi sederhananya pada aspek produk
saja, produk bank syariah hanya manyesuaikan dengan produk-produk bank
konvensional yang telah berjalan.

Dengan alasan tersebut, pemerintah bersama DPR berinisiatif


merumuskan Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang
tentang Bank Indonesia, untuk mengakomodasi praktik perbankan dalam
perundang-undangan yang lebih mapan sebagai bentuk dukungan
pengembangan industri ini. Inisiatif ini kemudian membuahkan hasil berupa
disahkannya:

1) Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan


2) Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
3) Undang-undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang disahkan


pada tanggal 25 Maret 1992, untuk pertama kalinya mengakomodasi

6
kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil, menjadi landasan hukum
berdirinya bank syariah pertama di Indonesia. Artinya berdasarkan undang-
undang ini istilah bank syariah ketika itu secara formal dikenal dengan
istilah bank bagi hasil. Penjelesan dan pelaksanaan teknis dari undang-
undang tersebut adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.72
Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam PP No.72
Tahun 1992 ini dijelaskan beberapa hal penting diantaranya:

1) Jenis bank bagi hasil yang dapat beroprasi adalah Bank Umum dan
Bank Perkrditan Rakyat.
2) Dalam kegiatan usahanya bank bagi hasil wajib memenuhi ketentuan
bank secra umum mengingat belum tersedia ketentuan khususnya bagi
bank bagi hasil, yaitu ketentuan yang diterapkan oleh PP No.77 Tahun
1992 tentang Bank Umum dan PP No.77 Tahun 1992 tentang Bank
Perkreditan Rakyat serta peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
3) Prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariat (pada
perundang-undangan selanjutnya istilah yang digunakan adalah
“syariah”) yang digunakan dalam menentukan imbalan, baik pada
aktivitas penggunaan daba (pendanaan) maupun penyediaan dana
(pembiayaan).
4) Bank bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas
mengawasi kegiatan usaha bank bagi hasil. Pembentukkan dan
pelaksanaan tugas DPS dilakukan berdasarkan konsultasi dengan
lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia (Majelis Ulama
Indonesia).
5) Bank Umum dan Bank Perkreditan rakyat bagi hasil tidak boleh
menjalankan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.

7
Sebaliknya bank non bagi hasil tidak boleh menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip bagi hasil.

Ketika Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan ini


disahkan, posisi Bank Indonesia masih berada di bawah koordinasi
Departemen Keuangan, sehingga ketentuan tentang perbankan masih berupa
Peraturan Pemerintah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Begitu pula
izin usaha dikeluarkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar
pertimbangan Bank Indonesia.

Di dalam undang-undang yang disahkan pada tanggal 10 November


1998 ini, termuat pengakuan tegas terhadap keberadaan bank yang beroprasi
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, baik secara kelembagaan, kegiatan
usaha maupun produk perbankan. Secara rinci akomodasi perbankan dalam
Undang-Undang Perbankan meliputi:

1) Pengubahan kantor cabang atau kantor dibawah kantor cabang yang


melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang
melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Dalam rangka
persiapan perubahan kantor cabang tersebut, kantor cabang atau kantor
dibawah kantor cabang yang sebelumnya melakukan kegiatan usaha
secara konvensional dapat terlebih dahulu membentuk unit tersendiri
yang melaksanakankegiatan berdasarkan prinsip syariah di dalam kantor
bank tersebut.
2) Bank Umum berdasarkan prinsip syariah tidak melakukan kegiatan
usaha secara konvensional.

Pokok-pokok ketentuan yang diterapkan oleh Bank Indonesia memuat


anatara lain:

1) Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syariah


2) Pembentukkan dan tugas Dewan Pengawas Syariah

8
3) Persyaratan bagi pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah.

Aspek yang cukup menonjol dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998


tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dalam mengakselerasi perbankan syariah adalah:

1) Diperkenankannya beroperasi bank syariah berupa Bank Umum Syariah


(BUS) dari konversi bank konvensional dan beroprasinya Unit Usaha
Syariah (UUS) sebagi unit dari bank konvensional yang beroperasi
sesuia dengan prinsip syariah. Landasan hukum ini cukup efektif
memunculkan bank syariah baru dalam industri perbankan nasional,
baik berupa BUS maupun UUS, terbukti dengan munculnya beberapa
BUS dan UUS pada tahun setelah UndangUndang No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan disahkan.
2) Mulai terbangunnya infrastruktur yang membantu bank dan regulator.
seperti Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang berwenang
mengeluarkan fatwa bagi aktivitas di sektor keuangan syariah di
Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang berfungsi
mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bag;
lembaga keuangan syariah.
3) Secara resmi istilah ‘bank syariah’ dipakai untuk menggantikan bank
dengan prinsip bagi hasil sebagaimana yang ada pada Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Pijakan hukum perbankan syariah semakin kuat ketika Undang-Undang No.


21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diundangkan pada l6 Juli 2008.
Pemapanan industri termasuk arah pengembangan perbankan syariah di
tanah air cukup jelas termuat dalam undang-undang ini. Dengan undang-

9
undang tersebut pula eksistensi perbankan syariah semakin diakui, apalagi
kebutuhan masyarakat terhadap kehadiran bank syariah semakin tinggi
seiring kesadaran masyarakat Muslim terhadap produk syariah yang
semakin meningkat. Bahkan bank syariah kemudian dapat diterima bukan
hanya sebagai bank khusus bagi segolongan penganut agama tertentu tetapi
juga menjadi elternatif bagi siapa saja yang membutuhkan variasi jasa
keuangan perbankan yang sesuai dengan kebutuhannya. Secara rinci
perkembangan industri perbankan syariah sebagai setelah disahkannya
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.6

D. Kebijakan sesudah Undang-Undang Perbankan Syariah Tahun 2008


Berbagai ketentuan yang termaktub di dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, telah memberikan landasan berpijak yang
semakin jelas terhadap kegiatan perbankan syariah di Indonesia. Dengan
demikian, kebijakan-kebijakan yang diambil Bank Indonesia untuk menumbuhkan
kelembagaan bank syariah menjadi semakin mengkristal dan terarah dibandingkan
dengan masa-masa sebelumnya.
1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 pada tanggal 16 Juli
2008 telah memberikan banyak arti keberadaan perbankan syariah. Banyak
pihak tidak saja berpendapat bahwa dasar hukum perbankan syariah menjadi
semakin kuat dan kokoh dengan adanya undang-undang ini, akan tetapi juga
berharap bahwa perbankan syariah dapat berkembang secara optimal di masa-
masa mendatang. Adanya harapan seperti itu bukan merupakan hal yang
berlebihan, mengingat terdapat materi ketentuan yang menarik untuk
dicermati dan akan memberikan implikasi signifikan bagi industri perbankan
syariah Indonesia.

6
Darsono dkk, Perbankan Syariah Di Indonesia Kelembagaan Dan Kebijakan serta Tantangan Ke
Depan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2017), 103-109.

10
Dalam ketentuan umum undang-undang ini, terdapat beberapa pengaturan
yang sangat mendasar seperti halnya definisi prinsip syariah yang memiliki
dua pesan penting, yaitu:
a. Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam;
b. Penetapan pihak atau lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa yang
menjadi dasar prinsip syariah.

Selain itu definisi pembiayaan yang berubah secara signifikan


dibandingkan definisi yang ada dalam undang-undang sebelumnya tentang
perbankan (Undang-Undang No.10 Tahun 1998). Dalam definisi terbaru,
pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa menyewa,
transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam dan transaksi sewa menyewa
jasa (multijasa). Asas dari kegiatan usaha perbankan syariah ditetapkan adalah
prinsip Wadah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.

a. Prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung riba.


maysir, gharar, objek haram dan menimbulkan kezaliman.
b. Demokrasi ekonomi adalah kegiatan usaha yang mengandung nilai
keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan. Dengan tujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, maka berdasarkan asas
tersebut di atas, profil perbankan syariah telah jelas dan tegas untuk
mendasarkan diri terhadap hukum Islam dan nilai-nilai kemuliaan.

Fungsi dari perbankan syariah, selain melakukan fungsi penghimpunan dan


penyaluran dana masyarakat, juga melakukan fungsi sosial. yaitu:

a. Dalam bentuk lembaga Baitul Maal yang menerima dana zakat, infak
sedekah hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola
zakat, dan
b. Dalam bentuk lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang
menerima wakaf uang dan menyalurkannya ke pengelola (nazhir) yang
ditunjuk. Fungsi sosial ini telah menempatkan perbankan syariah dalam

11
posisi istimewa sekaligus menguntungkan, bukan saja telah menempatkan
perbankan syariah dalam sistem jejaring sosial akan tetapi juga
menempatkan perbankan syariah dalam posisi untuk memiliki
kemungkinan memperoleh dana-dana murah.

Pihak-pihak yang akan melakukan kegiatan usaha bank syariah atau UUS
wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai bank syariah atau Unit
Usaha Syariah (UUS) dari Bank Indonesia. Sedangkan Bank Umum
Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah wajib membuka UUS di kantor pusat bank dengan izin Bank
Indonesia. Untuk menutup kemungkinan adanya pihak-pihak yang tidak
meminta izin akibat hanya melakukan kegiatan penghimpunan dana
masyarakat saja, maka diatur pula ketentuan larangan atas setiap pihak untuk
melakukan kegiatan dimaksud tanpa izin dari Bank Indonesia.

Secara umum bank syariah dan UUS dilarang untuk melakukan kegiatan
usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah, melakukan kegiatan jual beli
saham secara langsung di lantai bursa serta kegiatan perasuransian kecuali
sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah. Bagi BPRS, selain larangan
di atas, juga dilarang untuk membuka produk simpanan giro dan ikut serta
dalam lalu lintas pembayaran serta kegiatan valuta asing kecuali penukaran
valuta asing. Seluruh kegiatan usaha bank syariah dan UUS pada dasarnya
wajib sesuai dengan prinsip syariah yang difatwakan oleh Majelis Ulama
Indonesia. Penuangan prinsip syariah yang telah difatwakan dimaksud ke
dalam Peraturan Bank Indonesia, dilakukan oleh Bank Indonesia yang dibantu
oleh Komite Perbankan Syariah (KPS). KPS sendiri dibentuk oleh Bank
Indonesia yang terdiri dari unsur Bank Indonesia, Departemen Agama dan
unsur masyarakat lainnya yang memiliki keahlian di bidang syariah.

Bank Syariah dan UUS wajib membentuk DPS yang bertugas untuk
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank

12
agar sesuai dengan prinsip syariah. DPS diangkat oleh RUPS atas
rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Sedangkan penyelesaian sengketa
perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.

Pembinaan dan pengawasan terhadap bank syariah dan UUS dilakukan


oleh Bank Indonesia. Pembinaan dan Pengawasan dilakukan dengan antara
lain mewajibkan bank syariah dan UUS untuk memelihara tingkat kesehatan
bank yang meliputi kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabillitas,
solvabilitas, kualitas manajemen serta aspek lainnya yang berhubungan
dengan usaha bank syariah dan UUS. Kualitas manajemen mencakup
kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap prinsip syariah dan
prinsip manajemen Islami.7

E. Implikasi lahirnya UU No. 21 Tahun 2008


Beberapa implikasi yang mungkin terjadi dari lahirnya UU Perbankan Syariah
antara lain sebagai berikut:
a. Jaminan kepastian hukum
Jaminan kepastian hukum menjadi hal yang paling mendasar sekaligus
penting dari lahirnya UU Perbankan Syariah bagi pelaku usaha dan pengguna
jasa perbankan berbasis syariah yang selam ini masih merasa belum aman dan
bergerak leluasa dalam melakukan aktivitasnya di industri perbankan syariah.
Selain itu
b. Peningkatan dukungan pemerintah
Lahirnya ketentuan ini akan semakin meningkatkan dukungan pemerintah
yang lebih nyata dalam memajukan perbankan syariah.
c. Penerbitan peraturan pelaksanaan UU Perbankan Syariah

7
Ibid., 141-146.

13
Dengan disahkannya UU perbankan, segala peraturan dan ketentuan yang
mengatur operasional perbankan syariah sebelumnya harus mengalami
penyesuaian mengacu pada UU tersebut, baik ketentuan yang ada di
pemerintahan maupun ketentuan di BI.
d. Penguatan sinergi pasar keunagan berbasis syariah
Dengan keberadaan UU Perbankan Syariah bersama dengan UU SBSN yang
sama-sama baru disahkan, keduanya akan saling mengisi dan sinergi dalam
upaya memenangkan pasar keuangan berbasis syariah yang sekarang ini telah
menjadi bagian sistem keuangan global.8

F. Kebijakan Pemerintah di Bidang Perbankan Syariah


1. Bank syariah dan Restrukturisasi di Bidang Perbankan
Bank Syariah perlu dikembangkan di lndonesia karena memiliki
keunggulan komparatif dibanding Perbankan Konvensional. Tujuan
pengembangan sistem Perbankan Syariah adalah antara lain:
a. Untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak
dapat menerima konsep bunga. Dilakukan untuk mobilisasi dana
masyarakat dapat dilakukan lebih optimal bagi segmen masyarakat yang
selama ini belum dapat disentuh oleh sistem perbankan konvensional.
b. Peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip
kemitraan (mutual investor relationship).
c. Kebutuhan akan produk dan Jasa perbankan yang memiliki keunggulan
yang unik dan berlandaskan kepada nilai-nilai moral (peniadaan
pembebanan bunga yang berkesinambungan/Perpectual interest effect dan
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan kerusakan moral).
2. Strategi Pengembangan Perbankan Syariah

8
Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), 74-75.

14
Dilakukan secara komprehensif dengan mengacu pada analisis kekuatan
dan kelemahan perbankan syariah saat ini. Dari analisis tersebut diketahui
terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan perbankan
syariah, yaitu:
a. Masih terbatasnya jaringan kantor bank syariah, keterbatasan jaringan
kantor ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan pelayanan bank
syariah terhadap masyarakat yang menginginkan jasa bank syariah.
b. Masih terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai kegiatan usaha bank
syariah, keterbatasan informasi mengenai bank syariah ini menyebabkan
masih banyaknya masyarakat memiliki persepsi yang keliru mengenai
operasi bank syariah.
c. Masih belum lengkapnya ketentuan-ketentuan tentang kegiatan usaha bank
syariah, seperti Standar Akuntansi, Standar Prinsip Kehati-hatian, Standar
fatwa produk Bank Syariah, serta ketentuan pendukung lainnya.
d. Masih terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki keterampilan
teknis bank syariah.9
e. Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif10

Berdasarkan kendala-kendala tersebut di atas maka kebijakan pengembangan


perbankan syariah pada dasarnya mengacu kepada empat langkah utama yang
meliputi:

a. Pengembangan Jaringan Kantor Bank Syariah


Pengembangan jaringan kantor bank syariah ini diperlukan dalam rangka
perluasan jangkauan pelayanan pada masyarakat. Disamping itu juga
mendorong kerja sama antar bank-bank syariah yang diperlukan antara lain
dalam bentuk penempatan dana antarbank dan mengatasi masalah likuiditas

9
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2004),76.
10
Awalil Rizky, BMT: Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil, (Yogyakarta: UCY Press,
2007),79

15
dan juga dapat meningkatkan efisiensi usaha. Kemudian diharapkan juga
dapat meningkatkan kompetisi ke arah peningkatan kualitas pelayanan dan
mendorong inovasi produk dan jasa Perbankan Syariah. Hai ini juga akan
mendukung pembentukan pasar uang antarbank yang sangat penting dalam
mekanisme operasional Perbankan Syariah. Pengembangan jaringan
perbankan syariah dilakukan melalui cara sebagai berikut:
1) Peningkatan kualitas Bank Umum dan BPR Syariah yang telah
beroperasi, melalui bantuan teknis dan training baik yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia maupun lembaga bantuan lainnya
(IDB, GTZ).
2) Pendirian Bank Umum Syariah baru dengan persyaratan modal disetor
minimum sebesar tiga triliun rupiah, sumber dana untuk modal disetor
tidak boleh berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dari bank
atau pihak lain di Indonesia, dan sumber dana modal disetor juga tidak
boleh berasal dari sumber yang diharamkan menurut ketentuan syariah,
termasuk dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundring).
3) Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional yang memiliki kondisi
usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank
berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini setiap pendirian Bank
Syariah harus memenuhi persyaratan:
a) Capital Based. Yaitu persyaratan pemenuhan modal yang besar
dalam pendirian bank sehingga hanya bank-bank dengan
permodalan yang kuat dapat beroperasi di Indonesia. Dalam hal ini
untuk bank syariah juga harus memenuhi persyaratan khusus dalam
permodalan seperti telah dikemukakan di atas.
b) Fit and Proper. Pemilik, dewan komisaris, dan pengurus bank
harus lulus dalam tes yang membuktikan bahwa para pihak tersebut
memiliki integritas dan kompetensi yang memadai dalam
kepemilikan dan kepengurusan bank.

16
c) Economic Need Test. Merupakan suatu penilaian dalam pendirian
bank baru atau pembukaan kantor cabang yang mencakup aspek
persaingan usaha, kejenuhan jumlah kantor bank dan pemerataan
ekonomi.
b. Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Mengenai Bank Syariah
Upaya meningkatkan pemahaman ini dilaksanakan karena disadari bahwa
perbankan syariah di Indonesia masih dalam tahap awal pengembangan.
Dengan demikian pada saat ini pemahaman masyarakat mengenai sistem
dan prinsip pelayanan perbankan yang berdasarkan syariah sebagian besar
masih kurang tepat. Sehingga, dalam hal ini bentuk produk dan pelayanan
jasa, prinsip prinsip dasar hubungan antara bank dengan nasabah, serta
cara-cara berusaha yang halal dalam bank syariah masih sangat perlu
disosialisasikan.
c. Penyusunan dan Penyempurnaan Ketentuan Operasional Bank Syariah
Perangkat ketentuan-ketentuan yang diperlukan bagi perbankan syariah
secara umum dibagi dalam empat kelompok, yaitu peraturan yang terkait
dengan:
1) Kelembagaan yang meliputi pengaturan mengenai tata cara pendirian,
kepemilikan, kepengurusan, dan kegiatan usaha bank
2) Pengaturan yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas dan
instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah.
3) Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Pudential Banking Regulation).
4) Peraturan lainnya merupakan peraturan yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia atau lembaga lain sebagai pendukung operasi Bank Syariah.
d. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Perbankan Syariah memerlukan
persyaratan pengetahuan yang luas di bidang perbankan memahami
implementasi prinsip-prinsip syariah dalam praktek perbankan serta
mempunyai komitmen kuat untuk menerapkannya secara konsisten.

17
Hal ini penting ditekankan terutama bagi bank syariah yang didirikan
dengan cara mengkonversi Bank Konvensional menjadi bank syariah atau
pembukaan kantor cabang bank syariah pada Bank Konvensional dalam hal
perubahan pola pikir SDM mereka dari sistem usaha bank yang beroperasi
secara konvensional ke bank yang beroperasi dengan prinsip syariah.
Kegiatan memperkuat SDM tersebut dilakukan dengan cara:
1) Pelatihan Operasional Bank Syariah terhadap SDM perbankan yang
berminat untuk mengembangkan Bank Syariah yang dilaksanakan baik
oleh Bank Indonesia bekerja sama dengan lembaga pelatihan di
Indonesia, atau dengan lembaga pendidikan luar negeri.
2) Workshop mengenai perbankan syariah di bidang kegiatan usaha dan
produk Islamic banking, Standar internasional untuk audit dan
akuntansi bagi bank syariah (International Standard of Accounting and
Auditing Organization for Islamicx Banks), sistem teknologi informasi
bagi perbankan Islam (BIRT).
3) Penyelenggaraan seminar atau sebagai pembicara seminar atau diskusi
yang terkait dengan kebijakan pengembangan perbankan syariah di
Indonesia. 11
e. Kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah.
Hal ini dilakukan untuk menerbitkan peraturan yaitu dengan
dikeluarkannya ketentuan akad penghimpunan dan penyaluran Bank
syariah yang bertujuan untuk mendukung pengembangan produk yang
selaras antara aspek syariah dan kehati-hatian.
f. Mengoptimalkan fungsi sosial bank syariah dalam memfasilitasi
keterkaitan antara social/voluntary sector dengan pemberdayaan ekonomi
rakyat. 12

11
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di Indonesia,,76-80.
12
Awalil Rizky, BMT: Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil, 82.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Perbankan Syariah adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya
berdasarkan hukum Islam (syariah)
2. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
adalah dengan Dengan diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998, dengan UU
ini perbankan syariah telah mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk
menyelenggarakan kegiatan usaha, termasuk pemberian kesempatan kerja
kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang yang khusus
melkasanakan kegiatanberdasarkan prinsip syariah.
3. Sebelum disahkannay UU Perbankan Syariah tahun 2008 Upaya
pengembangan industri perbankan syariah mendapat perhatian banyak pihak,
baik karena merupakan wewenang dan respon lembaga terkait maupun upaya
sukarela dari lembaga-lembaga tersebut. Selain itu kebijakan-kebijakan terkait
yang dilakukan oleh lembaga lain yang secara langsung mempengaruhi
perkembangan industri perbankan syariah di tanah air. Setelah bank syariah
pertama berdiri perkembangan bank syariah selanjutnya berjalan sangat
lambat. Kepastian dan landasan hukum ditengarai menjadi faktor utama
mengapa kondisi ini terjadi. Saat itu belum ada regulasi dan ketentuan
memadai yang mengatur operasional bank syariah. Terlebih lagi pada tataran
teknis dimana sangat sedikit aturan yang mengatur bank syariah ini.
konsekuensi sederhananya pada aspek produk saja, produk bank syariah hanya
manyesuaikan dengan produk-produk bank konvensional yang telah berjalan.
Lalu pemerintah bersama DPR berinisiatif merumuskan Undang-Undang
tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, untuk

19
mengakomodasi praktik perbankan dalam perundang-undangan yang lebih
mapan sebagai bentuk dukungan pengembangan industri ini. Inisiatif ini
kemudian membuahkan hasil berupa disahkannya
a. Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
b. Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
c. Undang-undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
4. Kebijakan sesudah Undang-Undang Perbankan Syariah Tahun 2008, berbagai
ketentuan yang termaktub di dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, telah memberikan landasan berpijak yang
semakin jelas terhadap kegiatan perbankan syariah di Indonesia. Dengan
demikian, kebijakan-kebijakan yang diambil Bank Indonesia untuk
menumbuhkan kelembagaan bank syariah menjadi semakin mengkristal dan
terarah dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Disahkannya Undang-
Undang No. 21 Tahun 2008 telah memberikan banyak arti keberadaan
perbankan syariah.
Dalam ketentuan umum undang-undang ini, terdapat beberapa pengaturan
yang sangat mendasar seperti halnya definisi prinsip syariah yang memiliki
dua pesan penting, yaitu:
a. Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam;
b. Penetapan pihak atau lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa yang
menjadi dasar prinsip syariah
5. Implikasi lahirnya UU No. 21 Tahun 2008, beberapa implikasi yang mungkin
terjadi dari lahirnya UU Perbankan Syariah antara lain sebagai berikut:
a. Jaminan kepastian hukum
b. Peningkatan dukungan pemerintah
c. Penerbitan peraturan pelaksanaan UU Perbankan Syariah
d. Penguatan sinergi pasar keunagan berbasis syariah

20
6. Bank Syariah perlu dikembangkan di lndonesia karena memiliki keunggulan
komparatif dibanding Perbankan Konvensional. Strategi Pengembangan
Perbankan Syariah dilakukan secara komprehensif dengan mengacu pada
analisis kekuatan dan kelemahan perbankan syariah saat ini. Dari analisis
tersebut diketahui terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam
pengembangan perbankan syariah, yaitu
a. Masih terbatasnya jaringan kantor bank syariah
b. Masih terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai kegiatan usaha bank
syariah,
c. Masih belum lengkapnya ketentuan-ketentuan tentang kegiatan usaha
bank syariah
d. Masih terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki keterampilan
teknis bank syariah

Berdasarkan kendala-kendala tersebut di atas maka kebijakan pengembangan


perbankan syariah pada dasarnya mengacu kepada empat langkah utama yang
meliputi

a. Pengembangan Jaringan Kantor Bank Syariah


b. Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Mengenai Bank Syariah
c. Penyusunan dan Penyempurnaan Ketentuan Operasional Bank Syariah
d. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)

21
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, “Perbankan Syariah”, Wikipedia Ensiklopedia Bebas,


https://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah. diakses tanggal 7 Desember
2017.

Rizky,Awalil. BMT: Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil. Yogyakarta: UCY
Press, 2007.

Arifin,Zainul. Dasar-Dasar Management Bank Syariah. Jakarta: Pustaka Alvabet,


2006.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah dari Teori Ke Paraktik. Jakarta: Gema
Insani, 2001.

Darsono dkk.Perbankan Syariah Di Indonesia Kelembagaan Dan Kebijakan serta


Tantangan Ke Depan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2017.

Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di


Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2004.

Fauzi,Anang. “Pengertian Bank Syariah Menurut Undang-undang”, Nangartikel,


http://nangartikel.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-bank-syariah-menurut-
undang.html. 22 Oktober 2015, diakses tanggal 7 Desember 2017.

Machmud, Amir dan Rukmana. Bank Syariah Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.

22

También podría gustarte