Está en la página 1de 20

ome » Makalah » Pengertian Agama

Pengertian Agama
POSTED BY RAHMAT KAMARUDDIN POSTED ON 19.16 WITH 5 COMMENTS

A. Pengertian Agama

Para pakar memiliki beragama pengertian tentang agama. Secara etimologi, kata “agama” bukan
berasal dari bahasa Arab, melainkan diambil dari istilah bahasa Sansekerta yang menunjuk pada
sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan Budhisme di India. Agama terdiri dari kata “a” yang
berarti “tidak”, dan “gama” berarti kacau. Dengan demikian, agama adalah sejenis peraturan yang
menghindarkan manusia dari kekacauan, serta mengantarkan menusia menuju keteraturan dan
ketertiban.

Ada pula yang menyatakan bahwa agama terangkai dari dua kata, yaitu a yang berarti “tidak”,
dan gam yang berarti “pergi”, tetap di tempat, kekal-eternal, terwariskan secara turun temurun.
Pemaknaan seperti itu memang tidak salah karena dala agama terkandung nilai-nilai universal yang
abadi, tetap, dan berlaku sepanjang masa. Sementara akhiran a hanya memberi sifat tentang
kekekalan dankarena itu merupakan bentuk keadaan yang kekal.

Ada juga yang menyatakan bahwa agama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: a-ga-ma. A berarti
awang-awang , kosong atau hampa. Ga berarti tempat yang dalam bahasa Bali
disebut genah. Sementarama berarti matahari, terang atau sinar. Dari situ lalu diambil satu
pengertian bahwa agama adalah pelajaran yang menguraikan teta cara yang semuanya penuh
misteri kareana Tuhan dianggap bersifat rahasia.

Kata tersebut juga kerap berawalan i dan atau u, dengan demikian masing-masing
berbunyi igama dan ugama. Sebagian ahli menyatakan bahwa agama-igama-ugamaadalah koda
kata yang telah lama dipraktikkan masyarakat Bali. Orang Bali memaknaiagama sebagai peraturan,
tata cara, upacara hubungan manusia denga raja. Sedangkanigama adalah tata cara yang mengatur
hubungan manusia denga dewa-dewa. Sementaraugama dipahami sebagai tata cara yang mengatur
hubungan antamanusia.

Dalam bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris, ada kata yang mirip sekaligus memilliki kesamaan
makna dengan kata “gam”. Yaitu ga atau gaa dalam bahasa Belanda; gein dalam bahasa Jerman,
dan go dalam bahasa Inggris. Kesemuanya memiliki makna yang sama atau mirip, yaiut pegi.
Setelah mendapatkan awalan dan akhiran a, ia mengalami perubahan makna. Dari
bermakna pergi berubah menjadi jalan. Kemiripan seperti ini mudah dimaklumi karena bahasa
Sansekerta, Belanda, Jerman, dan Inggris, kesemuanya termasuk rumpun bahasa Indo-Jerman.

Selain itu, dikenal pula istilah religion bahasa Inggris, religio atau religi dalam bahasa Latin, al-
din dalam bahasa Arab, dan dien dalam bahasa Semit. Kata-kata itu ditengarai memiliki kemiripan
makna dengan kata “agama” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu.Religious (Inggris) berarti
kesalehan, ketakwaan, atau sesuatu yang sangat mendalam dan berlebih-lebihan. Yang lain
menyatakan bahwa religion adalah: (1) keyakinan pada Tuhan atau kekuatan supramanusia untuk
disembah sebagai pencipta dean penguasa alam semesta; (2) sistem kepercayaan dan peribadatan
tertentu.

Menurut Olaf Scuhman, baik religion maupun religio, keduanya berasala dari akar kata yang
sama, yaitu religare yang berarti “mengikat kembal”, atau dari kata relegere yang berarti
“menjauhkan, menolak, melalui”. Arti yang kedua, relegere dipegang oleh pujangga ada filosof
Romawi Cicero dan Teolog Protestan Karl Barth, dan sebab itu mereka melihatreligio sebagai usaha
manusia yang hendak memaksa Tuhan untuk memberikan sesuatu, lalu manusia menjauhkan diri
lagi.

Sedangkan arti yang pertama, religare, dipegang oleh gereja Latin (Roma Katolik). Erasmus dari
Rotterdam (1469-1539) menyatakan bahwa paham ini dikaitkan dengan sikap manusia yang benar
terhadap Tuhan. Benar pula, karena ajara-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi
manusia yang mempercayainya. Agama (religio) dalam artireligare juga berfungsi untuk
merekatkan pelbagai unsur dalam memelihara keutuhan diri manusia, diri orang per orang atau diri
sekelompok orang dalam hubungannya terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia, dan terhadap
alam sekitarnya.

Sementara Sayyed Hossein Nasr mengatakan “religare” yang berarti “mengikat” merupakan
lawan dari “membebaskan”. Ajaran Sepuluh Perintah (Ten Commandments) ya ng membentuk
fondasi moralitas Yahudi dan Kristen terdiri dari sejumlah pernyataan “janganlah kamu”, yang
menunjukkan suatu pembatasan dan bukan pembebasan .

Agama juga disebut dengan istilah din. Dalam bahasa Semit, din berarti undang-undang atau
hokum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang,
balasan, kebiasaan.
Bila lafal din disebutkan dalam rangkaian din-ullah, maka dipandang datangnya agama itu dari
Allh, bila disebut dinunnabi dipandang nabilah yang melahirkan dan menyiarkan, bila disebut dinul-
ummah, karena dipandang manusialah yang diwajibkan memeluk dan menjalankan. Ad-din bisa
juga berarti syari’ah: yaitu nama bagi peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah
disyari’atkan oleh Allah selengkapnya atau prinsip-prinsipnya saja, dan dibedakan kepada kaum
muslimin untuk melaksanakannya, dalam mengikat hubungan mereka dengan Allah dan dengan
manusia. Ad-din berarti millah, yaitu mengikat.

Maksud agama ialah untuk mempersatukan segala pemeluk-pemeluknya, dan mengikat mereka
dalam suatu ikatan yang erat sehingga merupakan batu pembangunan, atau mengingat bahwa,
hokum-hukum agama itu dibukukan atau didewankan. Ad-din berarti nasihat, seperti dalam hadis
dari Tamim ad-Dari r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Ad-dinu nasihah. Para sahabat bertanya: “Ya
Rasulullah, bagi siapa?” Beliau menjelaskan: “Bagi Allah dan kitab-Nya, bagi Rasul-Nya dan bagi
para pemimpin muslimin dan bagi seluruh muslimin.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan
Ahmad).

Hadis tersebut memberikan pengertian bahwa ada lima unsur yang perlu mendapat perhatian
bisa memperoleh gambaran tentang apa yang dimaksud dengan agam yang jelas serta utuh. Kelima
unsure itu adalah: Allah, kitab, rasul, pemimpin dan umat, baik mengenai arti masing-masing
maupun kedudukan serta hubungannya satu denagn lainnya.

Pengertian tersebut telah mencakup dalam makna nasihat. Imam Ragib dalam kita Al-
Mufradaat fii Ghariibil Qur’an, dan Imam Nawawi dalam Syarh Arba’in menerangkan bahwa
nasihat itu maknanya sama dengan menjahit (al-khayyaatu an-nasihuu) yaitu menempatkan serta
menghubungkan bagian (unsur) yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kedudukan masing-
masing.

Mukti Ali mengatakan, agama adalah percaya pada adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-
hukum yang diwahyukan kepada utusanNya bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Mukti Ali membatasi pengertian agama pada kepercayaan dan hokum. Mehdi Ha’iri Yazdi
berpendapat, agama adalah kepercayaan kepada Yang Mulak atau Kehendak Mutklak sebegai
kepedulian tertinggi. Pengertian inimenjadikan Tuhan sebagai focus perhatian dan kepedulian
tertinggi agama sehingga agama cenderung mengabaikan persoalan kemanusiaan. Agama akhirnya
bersifat teosentris, tanpa perhatian yang cukup terhadap soal-soal kemiskinan dan keterbelakangan
umat.

Harun Nasution mengemukakan pelbagai pengertian tentang agama yang dikemukakan


sejumlah ahli, yaitu: (1) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang
harus dipatuhi; (2) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang
menguasai manusia; (3) mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan
manusia; (4) kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; (5)
suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib; (6) pengakuan
terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada kekuatan gaib; (7) pemujaan
terhadap kekuatan gaib yang timbul dari \perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat
di alam sekitar manusia; (8) ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul.

Agama Dalam Perspektif Sosiologis


Oleh: Nofal liata

Agama merupakan sebuah realitas yang telah hidup dan mengiringi kehidupan manusia
sejak dahulu kala. Bahkan Agama akan terus mengiringi kehidupan manusia entah
untuk beberapa lama lagi. Fenomena ini akhirnya menyadarkan manusia bahwa baik
Agama maupun manusia tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan.
Sebaliknya, manusia tidak akan menjadi manusia yang memiliki budi pekerti yang
manusiawi jika Agama tidak mengajarkan manusia bagaimana cara menjadi manusia
yang menusiawi tersebut.

Secara harfiah Agama dapat diartikan yaitu


sebuah “aturan atau tatacara hidup manusia yang di percayainya yang bersumber dari
Yang Maha Kuasa untuk kebahagian dunia dan akhirat. Sedangkan Nurcholish Madjit
mendefinisikan Agama adalah: sikap pasrah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa,
pencipta seluruh langit dan bumi.
Namun kini segelintir manusia telah mencoba untuk menenggelamkan Agama menjadi
sebuah barang antik yang sifatnya hanya untuk di pajang dan dikenang. Hal ini di
sebabkan antara lain oleh, telah terlalu lamanya Agama mengiringi kehidupan manusia.
Sehingga Agama di anggap sebagai sesuatu yang kuno. Dan dikhawatirkan Agama tidak
akan sanggup mengikuti perkembangan zaman. Dan kebutuhan-kebutuhan manusia
yang semakin beraneka ragam. Selanjutnya, sebagai manusia yang menyetujui hal ini
beranggapan bahwa kini telah terdapat alternatif lain untuk menggatikan peran Agama,
yaitu, teknologi. Agama yang selalu membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis
akan dengan mudahnya digantikan oleh tehnologi yang dipastikan hanya akan
membicarakan hal-hal yang sifatnya logis.

Namun ternyata anggapan semacam ini adalah anggapan yang sepenuhnya keliru,
karena nyatanya hingga kini Agama menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam tiap
sendi kehidupan manusia. Bahkan manusia yang menganggap dirinya sebagai manusia
yang paling modern sekalipun tak lepas dari Agama. Hal ini membuktikan bahwa
Agama tidaklah sesempit pemahaman manusia mengenai kebenaranya. Agama tidak
saja membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis, malahan juga membicarakan hal-
hal yang logis pula. Agama juga tidak hanya membatasi diri terhadap hal-hal yang kita
anggap mustahil. Karena pada waktu yang bersamaan Agama juga menyuguhkan hal-
hal yang riil. Begitulah Agama, sangat kompleks sehingga betul-betul membutukan
mata yang sanggup “melek” (keseriusan) untuk memahaminya.
Dari perpektif antropology sendiri melihat Agama atau menafsirkan Agama adalah:
merupakan sebuah sistem budaya, dimana setiap sistemnya terdapat unsur yang
memungkinkan terbentuknya sebuah sistem itu. Antropologi memandang sebuah hal
penting dari terbentuknya sistem budaya ini. Yakni sistem gagasan yang mendasari
terbentuknya sistem budaya “beragama” ini. Sistem gagasan inilah yang akhirnya
menuntun pemikiran manusia hingga menuju pada Tuhan yang nantinya akan di
sembah. Agama di sebut sebagai sebuah sistem budaya karena Agama merupakan
sebuah hasil dari “sistem gagasan” manusia terdahulu. Sistem gagasan disini
bermaksud. Bahwa masyarakat primitif dahulu mengunakan Agama sebagai “alat”
penjelas terhadap fenomena-fenomena alam yang terjadi, lambat laun manusia primitif
menganggap bahwa segalanya memiliki ruh. Segala fenomena yang disaksikan dan yang
mereka nisbahkan pada ruh. artinya dengan demikian, manusia primitif dapat
menafsirkan fenomena-fenomena yang ada diartikanya seperti banjir, gempa, dan
lainya dengan padangan tersebut.

Sedangkan bagi Max Weber melihat gejala Agama adalah: Tuhan tidak ada dan hidup
untuk manusia, tetapih manusialah yang hidup demi Tuhan. Lebih jauh mengenai
masalah ini, dijelaskan bahwa menjalankan praktek-praktek keAgamaan merupakan
upaya manusia untuk merubah Tuhan yang irasional menjadi rasional. Semakin kita
menjalankan peritah-perintah Tuhan maka akan semakin terasa kedekatan kita
terhadap Tuhan. Berbeda lagi dengan pendapatnya Emile Durkhem yang menyatakan
bahwa Agama secara khas merupakan permasalahan sosial, bukan individual. Karena
yang empirik (pada saat itu) Agama di praktekkan dalam ritual upacara yang
memerlukan partisipasi anggota kelompok dalam pelaksanaanya. Sehingga yang
nampak saat itu adalah Agama hanya bisa dilaksanakan pada saat berkumpulan dangan
angota sosial, dan tidak bisa dilakukan tiap individu.
Cliford Geertz yang melalui penelitian yang di lakukannya di Mojokuto mulai Mei 1953-
September 1954, membagi Agama masyarakat Jawa hanya menjadi tiga bagian, yakni:
kalangan “Priyayi, Santri, dan Abangan”. Hal ini disebabkan karena penekanan yang
dilakukan oleh Geertz adalah masalah komplesitas yang ada pada masyarakat Jawa.
Dengan pengelompokan ini, yakni: Priyayi, santri, abangan.
Dalam Sosiologis, Agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan
dalam perilaku sosial tertentu. Berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai
individu maupun kelompok. Oleh karena itu, setiap perilaku yang diperankan akan
terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran Agama yang dianut. Perilaku individu dan
sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran
Agama yang menginternalisasi sebelumnya. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan
berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan dan berhimpit saling
menciptakan dan meniadakan. (Dadang Kahmad; 2000).

Agama dalam perjalananya biasanya tidak hanya dijadikan sebagai kebenaran yang
diyakini dan dipahami, tetapi sebisamungkin kebenaran Agama itu juga dapat
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui sikap, perilaku, atau tindakan.
Manusia dikatakan sebagai manusia yang sebenarnya apabila ia menjadi manusia yang
etis yakni manusia yang secara utuh mampu memenuhi hajat hidup dalam rangka
mengasah keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, antara
jasmani dan rohani, antara makhluk berdiri sendiri dan dengan KhalikNya. Hal ini
terjadi karena hidup manusia mempunyai tujuan terakhir, yang lebih baik dan tertinggi
dalam rangka mendapatkan kebahagiaan sempurna. Manusia sebagai objek material,
etika dalam melakuan tindakan-tindakan etis tentunya membutuhkan arahan-arahan
untuk mencapai kebahagiaan sempurna itu. (Heniy Astiyanto 2006:287).
Bagi Karl Marx: agama adalah sebagai alat melegitimasi kepentingan dunia, & agama
membawa keterasingan (agama adalah Candu). Gramcie: Agama sebagai generator
pengerak, (agama melakukan perubahan sosial) berlawanan dengan Marx. Durkhem:
Agama sebagai alat perekat. (totem:sesuatu yang suci) Berlawanan dengan Marx. Albert
Einstein: Ilmu tampa Agama buta, dan agama tampa ilmu adalah lumpuh. Dan
Nurcholish Madjit: agama adalah sikap pasrah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa,
pencipta seluruh langit dan bumi.

ntropologi Agama adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang manusia yang
menyangkut agama dengan pendekatan budaya, atau disebut juga Antropologi
Religi.[1] Istilah antropologi berasal dari bahasa Yunani, asal kata anthroposberarti manusia,
dan logos berarti ilmu, dengan demikian secara harfiah antropologi berarti ilmu tentang
manusia.[2] Pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegere,
religare) dan agama.[3][4] Al-Din (Semit) berarti undang-undang atauhukum.[3] Kemudian
dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan,
kebiasaan.[3]Sedangkan dari kata religi atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca.[3]

Antropologi Agama adalah salah satu cabang ilmu yang banyak mendapatkan perhatian para
pakar ilmu sosial.[1] Cabang ilmu Antropologi Agama ini diyakini oleh banyak pakar sebagai salah
satu alat studi yang akurat dalam melihat reaksi antara agama,budaya, dan lingkungan sekitar
sebuah masyarakat.[1] Antropologi agama menunjuk kepada suatu penghubung yang unik atas
moralitas, hasrat, dan kekuatan dengan dikendalikan dan kemerdekaan, dengan duniawi dan
asketisme, dengan idealis dan kekerasan, dengan imajinasi dan penjelmaan, dengan imanensi dan
transendensi yang merupakan sisi dunia manusia yang berbeda dengan makhluk
lain.[1] Tradisi ilmu antropologi memahami dunia-dunia agama tidak sepenuhnya sebagai fenomena
objektif dan juga tidak sepenuhnya sebagai fenomena subjektif, namun sebagai sesuatu yang
berimbang dalam memediasikan ruangan sosial atau budaya dan sebagai yang terlibat dalam suatu
dealiktika yang memberikan objektivitas sekaligus juga subjektivitas.[1] Perhatian ahli antropologi
dalam meneliti agama ditunjukan untuk melihat keterkaitan faktor lingkungan alam, struktur sosial,
struktur kekerabatan, dan lain sebagainya, terhadap timbulnya jenis agama, kepercayaan,
upacara, organisasi keagamaan tertentu.[5]

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Kajian Antropologi Agama


 2 Pendekatan Antropologi Agama
 3 Teori Tentang Agama
 4 Asal Usul Agama
 5 Karya-karya
 6 Referensi
Kajian Antropologi Agama[sunting | sunting sumber]

Agama yang dipelajari oleh antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak agama yang
diajarkan oleh Tuhan.[5] Maka yang menjadi perhatian adalah beragamanya manusia dan
masyarakat.[5] Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarnya agama dan
segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral.[5] Harsojo
mengungkapkan bahwa kajian antropologi terhadap agama dari dulu sampai sekarang meliputi
empat masalah pokok, yaitu:[5]

 Dasar-dasar fundamental dari agama dan tempatnya dalam kehidupan manusia.[5]


 Bagaimana manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan religius mereka.[5]
 Dari mana asal usul agama.[5]
 Bagaimana manifestasi perasaan dan kebutuhan religius manusai.[5]

Pendekatan Antropologi Agama[sunting | sunting sumber]

Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropolog dalam meneliti wacana keagamaan adalah
adalah pendekatan kebudayaan, yaitu melihat agama sebagai inti kebudayaan.[6] Kajian antropolog
yang bernama Geertz (1963) mengenai agama abangan, santri, dan priyai adalah kajian mengenai
variasi-variasi keyakinan agama dalam kehidupan (kebudayaan) masyarakat Jawa sesuai dengan
konteks lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing bukannya kajian mengenai teologi
agama.[6] Berbeda dengan pendekatan antropolog, sebagai ilmu sosial pendekatan yang dipakai
antropologi agama untuk menjawab masalah yang menjadi perhatiannya adalah pendekatan
ilmiah.[5] Pendekatan ilmiah yang dikembangkan dari pendekatan ilmu alam bertolak dari kenyataan
yang mengandung masalah.[5] Masalah itu diantaranya apa sebab suatu kenyataan jadi demikian,
apa faktor-faktor yang menjadikannya demikian.[5] Sadar bahwa manusia adalah mahluk budaya,
punya kehendak, keinginan, imajinasi, perasaan, gagasan, kajian yang dikembangkan antropologi
tidak seperti pendekatan ilmu alam.[5] Pendekatan yang digunkan lebih humanitik, berusaha
memahami gejala dari prilaku tersebut yang nota bene punya gagasan, inisiatif, keyakinan, bisa
terpengaruh oleh lingkungan dan mempengaruhi lingkungan.[5] Oleh karena itu, pendekatan
antropologi tidak menjawab bagaimana beragama menurut kitab suci, tetapi bagaimana seharusnya
beragama menurut penganutnya.[5]

Teori Tentang Agama[sunting | sunting sumber]

Teori Rasionalistik

Teori ini diterapkan pada kajian agama mulai abad ke-19.[5] Secara umum yang dimaksud dengan
teori rasionalistik adalah keyakinan ilmuwan bahwa manusia prasejarah menjelasakan kepercayaan
mereka hampir dekat dengan cara ilmiah, tetapi mereka sampai kepada kesimpulan salah karena
kekurangan pengetahuan dan pengalaman mereka.[5] Kecendrungan teori ini tampak karena
dipengaruhi oleh cara berfikir orang Barat, khusunya para ahli antropologinya.[5]
Teori Linguistik (Bahasa)

Kajian terhadap agama secara ilmiah dimulai sesudah kajian terhadap bahasa mulai
berkembang.[5] Jacob Grimm dan Wilhem Grimm yang memulai penggabungan kajian mitos dengan
bahasa.[5] Mereka mnegumpulkan sebagian besar lagenda, cerita rakyat, khurafa-khurafa, dan
pepatah di seantero Eropa.[5] Menurut teori ini keagamaan itu adalah carita rakyat modern yang
semula adalah mitos massa lalu yang telah ditambah, dikurangi, atau dikorup.[5]

Teori Fenomenologis

Teori fenomenologis adalah kajian terhadap sesuatu menurut yang dimaksud sendiri oleh objek
yang dikaji.[5] Suatu masyarakat yang menjadi objek penelitian dengan pendekatan fenomenologis
berarti berusaha memahami maksdu simbol, kepercayaan, atau ritual menurut yang mereka pahami
sendiri.[5]

Teori berorientasi kepada Upacara Religi

Robertson Smith (1846-1894), seorang ahli teologi, sastra Semit, dan ilmu pasti, mengingatkan
bahwa disamping sistem kepercayaan dan doktrin, agama punya sistem upacara yang relatif tetap
pada banyak agama, yaitu upacara keagamaan.[5] Jadi agama muncul dari upacara atau ritual.[5]

Asal Usul Agama[sunting | sunting sumber]

Penelusuran terhadap asal usul agama secara universal tidak akan mungkin dicapai karena
karakteristil ajaran dan umat beragama sangat banyak dan sangat berbeda satu sama
lain.[5] Mendasarkan pendapat tentang asal-usul agama kepada data keagamaan masyrakat primitif
sungguh tidak resprentatif, bahkan salah kaprah karena agama-agama besar dunia sangat berbeda
dengan agama masyarakat primitif.[5] Kemudian penelusuran secara ilmiah terhadap kepercayaan
beragama, menuntut bukti yang rasional empirik, dan berikutnya menuntut kesimpulan yang rasional
empirik.[5] Mengatakan agama dari Tuhan tentu tidak empirik.[5] Karena itu, Emile
Durkheim mengatakan bahwa asal-usul agama adalah masyarakat itu sendiri.[5] M.T Preusz,
seorang etnografer Jerman yang ahli tentang suku Indian di Meksiko, berpendapat bahwa wujud
religi tertua merupakan tindakan-tindakan manusia untuk mewujudkan keperluan hidupnya yang
tidak dapat dicapai dengan akal dan kemampuan biasa.[5] Dia menegaskan bahwa pusat dari tiap
sistem religi adalah ritus dan upacara.[5] Melalui tindakan terhadap kekuatan gaib yang berperan
dalam kehidupan, manusai mengira dapat memenuhi kebutuhan dan tujuan hidupnya.[5]R.R. Marett
berpendapat bahwa kepercayaan beragama berasal dari kepercayaan akan adanya kekuatan gaib
luar biasa yang menjadi penyebab dari gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan manusia biasa.[5]

Selain itu, asal usul agama tidak lah sesuai dengan apa yang ada dalam keyakinan dan pikiran umat
beragama, karena menurut mereka agama adalah ajaran Tuhan.[5]Walaupun kemudian disampaikan
dan dioleh atau diijtihadkan oleh pemuka agama, asal bahan yang dioleh dan diijtihadkan itu tetap
dari wahyu Tuhan.[5] Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang diyakini turun kepada
manusia melaui wahyu, dalam arti bahwa ajaran-ajaran itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa,
karena itu bersifat mutlak benar dan tidak berubah-ubah oleh perkembangan zaman.[7]

SABTU, 13 FEBRUARI 2010

Agama dalam prespektif Antropologi

Sebagai makhluk biologis dan sosial, demi mempertahankan kehidupannya manusia amat bergantung dengan
lingkungan fisik dan sosialnya. Namun, dalam menjalankan fungsinya itu manusia tidak bersentuhan dengan dunia
secara pasif. Bahkan, cara manusia bertindak mempengaruhi kehidupan kehidupan sosial dan jaring-jaring
kehidupan disekitarnya.

Bab ini secara specifik akan membahas pemikiran para Antropologi dalam pandangan-pandangannya mengenai
agama. Mereka, adalah Adward Burnett Tylor (1832-1917), James George Frazer (1854-1941), dan Mircea Eliade
(1907-1986)

E.B. Tylor dan J.G. Frazer

E.B. Taylor adalah salah satu antropolog penting yang menyumbangkan definisinya tentang agama. Tylor
muda tentunya akrab dengan diskusi-diskusi mengenai hal tersebut dan secara kuat mendukung untuk berpikir
dengan konteks yang serupa, yakni mengikuti pedapat para theolog. Akan tetapi, kemudian pada tahun 1859,
Charles Darwin mempublikasikan karya terkenalnya ”Origin Of Species”. Teori evolusi dengan seleksi alam yang dia
presentasikan struck many as shockingly contrary to the scriptures but irresistibly persuasive nonetheless. Setelah
itu, pada tahun 1871 diikuti dengan penerbitan The Descent Of Man, sebuah karya yang juga kontroversial
mengenai”evolusi” hampir dibicarakan semua orang. Dan tampaknya gagasan tersebut juga memengaruhi pemikiran
tylor.

Disamping dua karya itu, tampaknya Tylor merujuk kepada tren-tren baru dalam penelitian dimasa itu. Dia
meleakkan tekanan-tekanan dasar dalam ilmu ”ethnografi” dan ”ethnologi”. Tylor dan pengikutnya memanfaatkan
kedua entitas itu guna memberikan distingsi jenis studi yang baru: ”deskripsi (description) (ethnography; dari bahasa
Yunanigrapho, ”to write”) dan analisa ilmiah (ethology; dari bahasa Yunani logos,”study”) atas masyarakat, kultur
atau kelompok rasial (dari bahasa YunaniEthos, bangsa (nation) atau manusia)people) dalam semua banyak bagian
komponennya. Mereka bahkan juga menggunakan istilah ”Antropologi”, kajian ilmiah tetang manusia (dari bahasa
Yunani ”anthropos” (manusia)
Dasar Pemikiran Evolusionis Tylor
Salah satu prinsip mendasar yang dipegang oleh Tylor adalah bahwa hubungan antara pemikiran rasional dasar dan
evolusi sosial tampak disemua aspek sebuah budaya jika kita punya waktu untuk melihatny secara cukup dekat. Dia
merangkai contoh utama penggunaan magic, yang umum disemua tempat dikalangan orng-orang primitif.
Menurutnta, magic didasarkan keada pengasosian ide-ide, sebuah tedensi yang ”terletak pada fondasi akal
manusia.” bagaimanapun jika didalam pemikiran, manusia bisa mengkoneksikan sebuah ide dengan yang lain, maka
logika mereka menggerakkannya untuk menyimpulkan bahwa koneksi yang sama harus berwujud didalam relaitas.
Oleh karena itu, manusia primitif percaya bahwa , meski dibatasi jarak, mereka bisa menyakiti atau mengobati
oranglain hanya dengan menggerakkan kuku, ikat rambut, atau apapun.

Dari situ tampaknya Tylor menemukan bentuk rasionalitas yang sama didalam dua pencapaian kemanusiaan yang
paling mendasar dan siginfikan, yaitu perkembangan bahsa dan penemuan matematika.

Tylor menjelaskan bahwa sepanjang rentang searahnya, proses ini telah mengalami banyak trial and error,
namun melaluinya semua garis perkembangan membuatnya menjadi tampak. Bahkan mitologi kenyataannya
dibentuk oleh bentuk pemikiran rasional yang serupa. Mitos-mitos berkembang dari tendensi natural untuk
membungkus setiap gagasan didalam suatu bentuk yang konkret, dan baik diciptakan oleh budaya primitif atau
modern, mereka cenderung mengikuti hukumperkembangan secaa berturut. Mitos-mitos berasal dari asosiasi ide-ide
logis.

Asal-Usul Agama

Kaitannya dengan agama, Tylor mengakui bahwa seseorang tidak bisa menjelaskan sesuatu yang mau
dijelaskan. Jadi, menurut Tylor, agama pertama kali harus didefinisikan, karena untuk mendeskripsikan agama
sekedar hanya keyakinan kepada Tuhan, meski inilah yang kebanyakan umat kristen ingin dilakukan. Tylor
kemudian menyodorkan defenisi minimalnya, yaitu bahwa agama adalah ”keyakinan kepada wujud-wujud spiritual”.
Meski kita bisa menemukan bentuk-bentuk persamaan yang lain, Tylor merasa karakteristik yang sama-sama dimiliki
oleh semua agama, besar atau kecil, kuno atau modern adalah keyakinan kepada makhluk-makhluk halus (spirits)
yang berpikir, bertidak, dan merasa seperti layaknya manusia.

Bagi Tylor, esensi dari agama, seperti halnya juga mitologi, tamaknya adalah animisme, yaitu keyakinan
kepada kekuatan personal yang hidup dibalik segala sesuatu. Animisme lebh jauh adalah bentuk pemikiran yang
sangat tua, yang ditemukan diseluruh sejarah ras manusia.

Orang yang kuat agamanya mungkin akan menjawab bahwa mereka percaya kepada wujud spiritual, seperti Tuhan,
lantaran bahwa wujud tersebut sebenarnya telah berkomunikasi dengan mereka secara supernatural melalui kitab-
kitab suci. Bagi Tylor, argumen yang merujuk kepada wahyu ketuhanan seperti itu hanya bisa memberikan
kesenagan sebagai kesaksian personal, namun itu tidak bisa diterima dalam prespektif sains.
Perkembangan Pemikiran Keagamaan
Menurut Tylor, bahwa ketika suatu gagasan-gasana spiritual tersebut memperoleh pemahaman dalam
pikiran-pikiran manusia primitif, mereka tidak tetap dalam bentuk yang mapan. Seperti apapun yang lain di dalam
sejarah, animisme juga mengikuti tren perkembangan dan pertumbuhan.

Mereka bisa mencapai bentuk tertinggi mereka saat mereka diorganisir dengan cara seperti itu bahwa satu Tuhan,

relaitas tertinggi, berada diatas komunitas dewa. Dan secara gardual, dengan cara-caranya yang berbeda,

kebanyakan peradaban mulai bergeser kepada tingkatan animisme yang tertinggi –yaitu percaya kepada Yang Maha

Kuasa.

J.G. Frazer

Ketika ia mulai beralih kepada antropolgi, fazer sama sekali tidak meninggalkan kajian-kajian klasknya
dibelakang. Tujuannya masih dalam rangka untuk menkaji kebudayaan yunani dan romawi, namun dengan satu
kacamata atau pendekatan antropologi. Frazer merasa bahwa sebuah peradaban bisa dilihat dengan tradis-tradisi
primitif yang lebih awal yang hadir didalamnya. Dia yakin bahwa kombinasi kajian klasik dan antropologi
menyuguhkan sebuah prospek revolusioner dalam memahami dunia kuno.

Analisis

Teori-teori Tylor dan frazer dibagi ke dalam beberapa aspek, diantaranya;

1. Ilmu an Antropologi

Mereka berasumsi dari awal bahwa penjelasan apapun mengenai agama yang merajuk kepada klaim-klaim atas
berbagai peristiwa kemukjizatan atau kepada wahyu supernatural haruslah dihapus. Misalnya, bahwa alasan bangsa
Yunani kuno mengikuti Sepuluh Perintah (Ten Commandements) adalah karena sesungguhnya perinah itu
diturunkan oleh Tuhan. Hanya penjelasn-penjelasan natural sajalah yang menurut keduanya secara serius bisa
dipertimbangkan.

Keduanya, mengumpulkan contoh-contoh perilkau dari setiap budaya di dunia dab jadinya tampakya secara
ideal cocok dengan tujuan membingkai sesuatu yang besar sebagai sebuah teori agama.

2. Evolusi dan teori asal-usul

Mereka sama-sama sangat berkomitmen untuk menjelaskan agama utamanya dari konteks asal-usul pra
sejarahnya, masa awalnya di periode-periode yang sangat lampau dan evolusi gardualnya hingga pada bentuk masa
kini di abad-abad kemudian. Keduanya pun percaya bahwa cara terbaik ketika ingin menjelaskan agama adalah
dengan menemukan bagaimana agama dimulai, dengan mengamatinya dalam bentuk yang paling awal dan
sederhana, dan kemudian dengan mengikuti, menapaktilasi perjalanannya dari awal hingga masa sekarang.

Menurutnya, agama telah berkembang dalam seperangkat lingkungan yang dijumpai oleh semua masyarakat
pra sejarah. Lebih jauh, setelah berkembang di masa lampau, agama telah mulai memperlihatkan statusnya,
bersamaan dengan klaim kebenaran dan kemanfaatannya, berubah secara signifikan sepanjang proses evolusi
intelektualnya.

Mereka berpendapat bahwa manusia secara perlahan, tapi pasti, memperbaiki diri mereka dengan menciptakan
komunitas-komunitas yang lebih beradab.

3. intelektualisme dan indivualisme

pada umumnya setiapbentuk teoritis saat ini, menurut Pals, sering merujuk kepada konsep-konsep Tylor dan
Frazer sebagai pendukung terhadap sebuah pendekatan ”intelektualis” bagi agama. Hal ini, karena keduanya
sepakat memikirkan agama sebagai permulaan dari semua bentuk keyakinan, gagasan-gagasan yang manusia
kembangkan untuk menjelaskan apa yang mereka temukan di dunia.

Emile Durkheim
Durkheim mengklaim bhwa masyarakat primitif normalnya tidak secara sungguh-sungguh memikiekan dua dunia
yang berbeda, dimana yang satu dikatakan natural dan sementara yang lain dikatakan supernatural.

Bisa dikatakan bahea masyarakat modern utamanya dipengaruhi oleh berbagai asumsi dan hukum-hukum sains
tentang alam; namun tidak demikian pada masyarakat primitif. Masyarakat modern melihat semua peristiwa –yang
mengandung mukjizat atau biasa saja –pada dasarnya dengan jenis yang sama. Konsep dewa-dewa sendiri juga
mengandung masalah, karena tidak semua komunitas keagamaan percaya dengan wujud-wujud ketuhanan meski
mereka betul-betul percaya dengan supernatural.

Durkheim kemudian mengobservasi bahwa sesuatu yang tampaknya karakteristik sejati keyakinan dan ritual agama
bukanlah elemen dari supernatural, namun konsep dari yang sakral (the sacred). Untuk itu, menurutnya, yang
menjadi folus agama secara kesluruhan adalah pada yang pertama (the sacred). Dia mengingatkan bahwa tidak
salah memahami, memikirkan bahwa pembagian the sacred adalah kebaikan dan profane adalah kejahatan. The
sacred bisa jadi suatu kebaikan ataui keburukan, namun yang pasti bahwa ia tidak akan pernah menjadi profane,
dan begitu juga sebaiknya. Penekanan kepada yang sacred sebagai sesuatu yang komunal ini membuat Durkheim
tidak sepakat dengan para pendahuluannya, yang memusatkan perhatian kepada pertanyaan teka-teki mengenai
magic.

Ras manusia pertama kali mengikuti aturan-aturan magic, dan kemudian karena gagal, maka beralih dengan
menjadikan agama sebagai bentuk pemikirannya yang baik. Dia tidak setuju, karena baginya agama tidak muncul
untuk menggantikan magic karena keduanya fokus kepada hal yang berbeda. Alasanya, karena magic itu berurusan
dengan masalah privasi yang eksklusif, yang sedikit atau tidak sama sekali berkaitan dengan yang sacred.

Studi atas Pemikiran Durkheim


o Masyarakat dan Agama
Menurutnya, agama adalah sesuatu yang sangat bersifat sosial (religion is something emintly social).
Karena, meskipun dalam kapasitasnya sebagai indiviual membuat berbagai pilihan didalam hidup, dalam bingkai
sosial sebagai sebuah anugrah bagi kita sejak lahir. Agama dalam semua kebudayaan adalah bagian peninggalan
masyarakat yang paling bernilai.

o Metode Ilmiah

Dia tampak jelas dengan menggunaan metode ilmiah. Seperti, mengumpulkan data, membandingkan,
mengkalsifikasi, dan membuat generalisasi untuk kemudian memberikan suatu penjelasan menyeluruh atasnya.
Durkheim tampaknya setuju bahwa tempat terbaik untuk memulai adalah dengan budaya-budaya yang sederhana –
yang disebut dengan masyarakat primitif.

o Ritual dan Kepercayaan

Durkheim dangat berpisah jarak dari cara-cara yang sebagaimana digunakan oleh Tylor dan frazer dalam
mempertanyakan hubungan antara ritual dengan keyakinan kegamaan. Pendekatan intelektualis mereka bertahan
pada keyakinan dan ide mengenai dunia adalah elemen-elemen primer dalam kehidupan keagamaan. Praktek-
praktek-praktek keagamaan –adat dan ritualnya –tampaknya menjadi bersifat sekunder; mereka ikut kepada
keyakinan dan bergantung kepadanya. Dalam pemikirannya, ritual-ritual agama memiliki prioritas. Ritual-lah yang
menjadi dasar dan sebenarnya menciptakan keyakinan-keyakinan yang menyertainya.

o Penjelasan Bercorak Fungsional

Dalam menjelaskan agama Durkheim berpikir bahwa dia bisa beranjak ke bawah permukaan berbagai hal.
Sedangkan, Tylor dan Frazer menjelaskan agama sebagai yang tampak. Merujuk kepada sisi spekulatif Durkheim
mengenai agama, ia memberikan penjelasan pentingnya ide dan keyakinan adalah kunci untuk menjelaskan buday-
budaya lain.

E.E. Evans-Pritchard
Pendekatannya terhadap antropologi –dan konsekuensinya terhadap agama sepenuhnya dibentuk dari tiga tradisi
yang lebih awal. Tradisi aeal bisa disebut sebagai antropologi Victorian yang lebih tua, kedua adalah sosiologi
Prancis, dan yang terakhir adalah mahzab antropologi lapangan British yang lebih baru.
Dia banyak terobsesi oleh pemikiran sosiologi di Perancis. Tradisi Perancis dalam memahami masalah manusia dari
prespektif sosialnya merujuk kepada periode sebelum masa Revolusi. Dan serta menjelaskan secara jelas bahwa
kehidupan sosial manusia, yang mencakup agama, tidak pernah bisa dipahami hanya sekedar sebagai apa yang
para individu pikirkan dan kerjakan.

Mircea Eliade
Salah satu prinsip pertama yang melekat pada Eliade adalah pendirian yang kuat pada reduksionisme. Dia percaya
dengan kuat akan independensi atau otonomi agama, yang baginya tak bisa dijelaskan sekedar by-product realitas
yang lain. Baginya, suatu fenomena kegamaan adalah hanya akan bisa diakui sebagaimana mestinya jika ia pahami
pada levelnya sendiri, yaitu jika ia dikaji sebagai sesuatu yang religious. Untuk berusaha memahami esensi
fenomena, seperti itu dengan instrumen fisiologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, linguistik, seni adalah hal yang salah;
ia menghilangkan hal yang unik, dan yang kompleks (irreducible) didalamnya –elemen yang sakral. Kemudian,
prinsip kedua diaplikasikan dalam metode. Jika kenyataannya, agama adalah sesuatu yang independen, sesuatu
yang tidak bisa dijelaskan secara murni melalui psikologi atau sosiologi.

Konsep Agama versi Eliade


Dalam bukunya yang berjudul ”The Scared and The Profane” memberikan penjelasan singkat bahwa dalam
memahami agama, pergerakan pertama yang kita lakukan adalah mungkin yang paling penting. Maksudnya, bahwa
seorang sejarawan harus melangkah keluar peradaban, modern yang hanyalah sebuah pecahan kecil dari
keseluruhan kehidupan manusia yang pernah hidup dimasa pra-sejarah atau hidup didalam masyarakat kesukuan,
tempat dimanan dunia kealaman. Sebuah kehidupan yang hidup dalam dua kendaraan yang berbeda; yaitu sakral
dan yang profan. Profan adalah wilayah urusan sehari-hari –berbagai hal biasa dan umumnya tidak penting. Sakral
adalah wilayah supernatural, berbagai hal yang luar biasa, terus diingat, dan memiliki momentum.

------------ Razak, Yusron dan Nurtawaba, Ervan. “Antropologi Agama”. UIN Jakarta Press.
Jakarta:2007

Diposkan oleh Laskar BPI di 06.42

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Link ke posting ini

Buat sebuah Link

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Silaturahmi hari ini ? .....

Waktu Hari ini .....

Profile

Laskar BPI

Ciputat, Tanggerang Selatan, Banten, Indonesia

Lihat profil lengkapku

Pengikut

Link

 e-psikologi.com

Data Entry

Daftar Entry

 Kesehatan Mental (2)


 Suara Hati (1)

Banner

Selamat Datang di Kampus Peradaban


A.B.K.I.N

Search
Cari

. Pengertian Psikologi Agama

Psikologi agama terdiri dari dua paduan kata, yakni psikologi dan agama. Kedua kata ini mempunyai makna yang
berbeda. Psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab.
(Jalaluddin, 1979: 77). Sedangkan agama memiliki sangkut paut dengan kehidupan batin manusia. Menurut Harun
Nasution, agama berasal dari kata Al Din yang berarti undang-undang atau hukum, religi (latin) atau relegere berarti
mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Dan kata agama terdiri dari tidak, “gama”; pergi
yang berarti tetap ditempat atau diwarisi turun menurun .

Dari definisi tersebut, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan
mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada
umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-
faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah darajat dikutip oleh Jalaluddin, 2004: 15)

Menurut Robert Thouless, Psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan mengembangkan
pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari
kajian terhadap perilaku bukan keagamaan. Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama meneliti dan
menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu
dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Selain ittu juga mempelajaripertumbuhan dan
perkembangan jiwa agma pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut. Psikologi
agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku mannusia dalam hubungan dengan
pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-
masing.

PENGERTIAN PSIKOLOGI AGAMA MENURUT PARA AHLI


1. Menurut Jalaludin (1979:77) berpendapat bahwa Psikologi Agama menggunakan dua kata
yaitu Psikologi dan Agama, kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Dimana Psikologi
secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa
dan beradab, sedangkan agama adalah kepercayaan manusia (keyakinan), jadi psikologi agama
adalah perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan tersebut.
2. Menurut Zakiah Darajat, (1970:11), psikologi agama adalah meneliti dan menelaah
kehidupan beragama pada seseorang yang mempelajari berapa besar pengaruh kenyakinan
agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Di sampinga itu,
psikologi agama jua mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang,
serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
3. Menurut Robert H. Thouless : 25 berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari
psikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan
megaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan
keagamaan.
4. Menurut Thantowi(1991:2) Secara harfiah psikologi adalah ilmu jiwa. Oleh karena itu tidaklah
berlebihan manakala ada seseorang yang menyebut dengan istilah ilmu jiwa atau psikologi. Bertolak dari
pemberian istilah tersebut, saya lebih setuju dengan penyebutan istilah psikologi dari pada ilmu jiwa.
Dengan alasan objeknya, dimana objeknya ilmu jiwa adalah ilmu yang sangat abstrak dan tidak
memungkinkan untuk dipelajari maupun diamati secara langsung. Sedangkan objek dari psikologi adalah
ilmu konkrit atau ilmu yang mempelajari tingkah laku organisme dalam hubungan dengan lingkungannya.

Thursday, March 12, 2009

AGAMA DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI DAN SOSIOLOGI

Agama dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang melihat agama sebagai sesuatu yang
kudus, sakral, dan rohani yang mendatangkan kebaikan bagi umat manusia. Namun di sisi lain, orang
melihatnya secara berbeda. Agama adalah suatu kebodohan, tidak masuk akal. Karena mereka
memandang agama sebagai ciptaan manusia yang di dalamnya penuh dengan mitos-mitos. Apakah
memang demikian? Adakah disiplin ilmu lain di samping teologi, yang melihat agama secara berbeda?
sehingga pandangan-pandangan tersebut muncul.

Agama dalam Perspektif Teologi

Dalam perspektif teologi agama dipandang sebagai sesuatu yang dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri
melalui wahyu-Nya). Manusia beragama karena Tuhan yang menanamkan kesadaran ini. Tuhan
memperkenalkan diri-Nya kepada manusia melalui berbagai penyataan, baik yang dikenal sebagai
penyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk
dsb. maupun penyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui firman-Nya dalam kitab suci,
penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi manusia dalam dogma Kristen.

Penyataan-penyataan Tuhan ini menjadi dasar untuk kehidupan beriman dan beragama umat manusia.
Melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia tahu cara beribadah;
memuji dan mengagungkan Tuhan. Misalnya, bangsa Israel sebagai bangsa beragama dan menyembah
hanya satu Tuhan (monoteisme) adalah suatu bangsa yang mengimani bahwa Tuhan menyatakan diri
terlebih dulu dalam kehidupan mereka. Dalam Perjanjian Lama Tuhan memanggil nabi Nuh kemudian
Abraham dan keturunan-keturunannya. Sehingga mereka dapat membentuk suatu bangsa yang beriman
dan beribadah kepada-Nya. Tuhan juga memberi petunjuk mengenai bagaimana harus menyembah dan
beribadah kepada Tuhan. Kita dapat melihat dalam kitab Imamat misalnya. Semua hal ini dapat terjadi
karena Tuhan yang memulainya. Dan tanpa inisiatif dari atas (dari Tuhan) manusia tidak dapat beriman,
beribadah dan beragama.

Contoh lain, terjadi juga dalam agama Islam. Tuhan menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad.
Melalui wahyu yang diterimanya, Muhammad mengajarkan dan menekankan monoteisme di
tengah politeisme yang terjadi di Arab. Umat dituntun menyembah hanya kepada Dia, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa. Melalui wahyu yang diterimanya, Muhammad memiliki keyakinan untuk menobatkan orang-
orang Arab yang menyembah banyak tuhan/dewa. Dan melalui wahyu yang diturunkan Tuhan juga,
Muhammad mampu membentuk suatu umat yang beragama, beribadah dan beriman kepada Tuhan
Yang Maha Esa.

Dapat disimpulkan bahwa agama dalam perspektif teologi tidak terjadi atas prakarsa manusia, tetapi
atas dasar wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi
makhluk religius yang beriman dan beribadah kepada Tuhan. Jadi berbicara soal agama dalam perspektif
teologi harus dimulai dengan wahyu Allah atau penyataan yang Allah berikan kepada manusia.

Agama dalam Perspektif Sosiologi

Sosiologi mempelajari masyarakat umum secara sosiologis, namun dalam ilmu sosiologi terdapat cabang
ilmu yang mempelajari secara khusus masyarakat beragama, yang di kenal sebagai ilmu Sosiologi
Agama. Objek dari penelitian sosiologi agama adalah masyarakat beragama yang memiliki kelompok-
kelompok keagamaan. Seperti misalnya, kelompok Kristen, Islam, Budha dll. Sosiologi agama memang
tidak mempelajari ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dari agama-agama itu, tetapi hanya mempelajari
fenomena-fenomena yang muncul dari masyarakat yang beragama tersebut. Namun demikian, ajaran-
ajaran moral, doktrin, wahyu dapat dipandang sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi fenomena-
fenomena yang muncul tersebut.

Atas dasar itu kita juga dapat berbicara tentang wahyu sebagai variabel dari masyarakat yang beragama,
meskipun bukan itu yang menjadi titik tolaknya. Lain halnya dengan perspektif teologi, jika dipandang
dari sosiologi, agama tidak dilihat berdasarkan wahyu yang datang dari atas, tetapi dilihat atas dasar
pengalaman konkrit pada masa kini maupun pada masa lampau. Jadi apa itu agama didasarkan pada
pengalaman manusia.
Manusia dalam hidupnya senantiasa bergumul dengan ketidakpastian akan hari esok, keberuntungan,
kesehatan dsb. Manusia juga bergumul dengan ketidakmampuannya yaitu untuk mencapai apa yang
diharapkan, baik yang bersifat sehari-hari maupun yang ideal. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
manusia. ketidakmampuan ini terus dialami baik oleh manusia primitif maupun modern. Misalnya,
mengapa manusia harus mati, bagaimana menghindari kematian, bagaimana menghindari bencana
alam dsb. Dalam ketidakmampuan ini manusia mencari pertolongan, juga kepada kekuatan-kekuatan
yang ada di luar dunia, yang tidak kelihatan/supranatural.

Dalam pencarian tersebut manusia terus mengalami tahap perkembangan, yaitu mulai dari
tahap anismisme, politeisme dan kemudian monoteisme. Pada tahapanimisme manusia percaya bahwa
semua benda memiliki jiwa atau roh yang dapat memberi pertolongan kepadanya. Sedangkan pada
tahap politeisme yang dikenal sebagai tahap yang lebih tinggi dari tahap animisme, di mana manusia
telah mengenal konsep-konsep tentang tuhan/dewa yang berada di luar sana. Namun tuhan/dewa
tersebut banyak jumlahnya. Dan mereka mulai menyembah tuhan-tuhan mereka sesuai dengan apa
yang mereka yakini mampu memberi pertolongan kepada mereka. Tahap terakhir
adalah monoteisme sebagai tahap yang tertinggi. Pada tahap ini manusia memiliki konsep tentang
tuhan/dewa yang esa, yang tidak terbagi-bagi dan merupakan sumber segala sesuatu yang mampu
menolong dan menjawab segala keterbatasan-keterbatasannya.

Dalam mencapai hal tersebut di atas (kebahagiaan) manusia melakukan usaha non-religius selama
manusia masih mampu meraih kebahagiaan. Namun, jika usaha ini gagal, maka manusia melakukan
metode lain (animisme-politeisme-monoteisme), yaitu dengan kekuatan yang tidak dapat dijangkau oleh
panca indra, namun yang diyakini ada dan dapat membantunya. Bahkan keyakinan itu diwujudkan
bukan saja pada saat dia mengalami ketidakmampuan tadi, tetapi juga terus berperan dalam seluruh
hidupnya. Yaitu melalui tahap-tahap tadi. Dan inilah yang disebut agama dalam arti luas.

Jadi dalam perspektif sosiologi, sebenarnya agama adalah ciptaan manusia. Lebih jauh lagi sebetulnya
manusia menciptakan Tuhan bagi kepentingannya sendiri, yaitu untuk mengatasi ketidakpastiannya,
ketidakmampuannya dan keterbatasannya.

Refleksi

Dapat terbuka terhadap berbagai sudut pandang mengenai agama, merupakan modal awal menjadi
makhluk religius yang budiman. Memiliki sikap seperti ini akan membawa kita terus bergerak progresif
ke arah pemahaman yang lebih dalam mengenai agama, bahkan makna Tuhan itu sendiri. Sehingga
kehidupan beragama kita senantiasa mencerahkan, serta mampu membawa kebaikan bagi sesama kita,
baik yang beragama maupun yang tidak beragama sekalipun.

Posted by Hendi Rusli at 12:40 AM

Labels: Sosiologi

También podría gustarte