Está en la página 1de 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
dan menimbulkan dampak social maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan
cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas. Kerugian social yang
terjadi antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota
keluarga, dan berkurangnya usia harapan penduduk. Dampak ekonomi lamgsung pada
penderita DBD adalah biasanya biaya pengobatan, sedangkan dampak ekonomi tidak
langsung adaah kehilangan waktu kerja, waktu sekolah dan biaya lain yang dikeluarkan
selain untuk pengobatan seperti transportasi dan akomodasi selama perawatan penderita.
Sejak pertama ditemukan penyakit DBD di Indonesia (Surabaya dan Jakarta) pada
tahun 1968, jumlah kasus cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah
luas, sehingga pada tahun 1994 DBD telah tersebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada
tahun 1968 jumlaah kasus yang dilaporkan sebanyak 58 kasus dengan jumlah kematian
24 orang, sedangkan dalam 5 tahun terakhir (1997-2001) jumlah rata-rata kasus
dilaporkan sebanyak 40.854 kasus dengan rata-rata kematian 701 orang setiap tahunnya.
Pada tahun yang sama, setiap 100.000 penduduk, 20-21 orang diantaranya penderita
DBD dan setiap 100 penderita, rata-rata yang meninggal sebanyak 1-2 orang.
Kejadian luar biasa (KLB)/wabah masih sering terjadi diberbagai daerah di
Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi KLB dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang
dan meruapakaan wabah terbesar sejak kasus DBD pertama kali ditemukan di Indonesia
dengan 1411 kematian (CFR=2%). Sedangkan pada KLB tahun 2004jumlah penderita
sejak januari 2004 berdasarkan pemaantauan dan laporan yang diperoleh dari 30 propinsi

1
sampai dengan april 2004 adalah sebaanyak 58.861 kasus, 669 diantaranya meninggal
(CFR=1,14%).
Dalam periode januari-april 2004 letusan terutama terjadi di 188 kabupaten/kota dari
12 propinsi dengan jumlah kasus 53.719 orang, 590 meninggal (CFR=1,1%). Adapun ke
12 propinsi tersebut adalah: Aceh, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Upaya penanggulangan DBD dilaksanakan sejak tahun 1968, namun diprogramkan
secara teratur sejak tahun 1974 dengan dibentuknya Subdit Arbovirosis di Departemen
Kesehatan. Berbagai kegiatan telah dilaksanakan antara lain meliputi : 1) pelatihan
dokter, 2) pemberantasan vector dan Penyuluhan kepada masyarakat.
Megingat vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia,
maka cara yang dapat dilakukan sampai saat ini ialah dengan memberantas nyamuk
penularnya (vektor). Pemberantasan vector dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa
maupun jentiknya.
Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang berbahaya dapat menimbulkan
kematian dalam waktu yang singkat dan sering menimbulkan wabah. Penyakit ini
ditularkan oleh nyamuk demam berdarah yaitu nyamuk Aedes Aegypti yang tersebar luas
di rumah-rumah dan tempat umum diseluruh wilayah.
Pada tahun 2015 di Puskesmas Sangurara terjadi 90 kasus DBD. Selama 5 tahun ini
kasus DBD di wilayah Puskesmas Sangurara terjadi penurunan. Tapi pada tahun 2015
terjadi peningkatan jumlah kasus, Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik di bawah
ini :

2
Suri

140

120

100

80

60

40

20

0
2011 2012 2013 2014 2015
Penderita 120 119 88 51 90

Sumber : Laporan SP2TP Puskesmas Sangurara Thn 2015

Dengan melihat grafik di atas jumlah penderita di tahun 2011 sampai dengan
2015 terjadi peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat dicerminkan bahwa kesadaran
masyarakat untuk melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) mulai baik. Sama
seperti tahun sebelumnya, tahun ini dilaksanakan pemeriksaan jentik berkala dan
abatisasi selektif di 5 kelurahan yang ada di wilayah Puskesmas Sangurara. bebas jentik
sebesar Angka 72,33% (dari 300 rumah yang diperiksa)

Dari 90 kasus DBD tersebut pada tahun 2015, dapat diuraikan sebagai berikut
: Kelurahan Nunu tercatat 5 penderita, Kelurahan Balaroa 42 penderita, Kelurahan
Donggala Kodi tercatat 9 penderita, Kelurahan Boyaoge 30 penderita dan di Kelurahan
Duyu sebanyak 4 orang penderita.

3
Berdasarkan kejadian DBD selama 5 tahun berturut-turut sejak tahun 2011
sampai dengan tahun 2015 dapat dikategorikan wilayah-wilayah kelurahan sebagai
berikut : daerah endemis yaitu Kelurahan Donggala Kodi, Balaroa, Duyu, Nunu,
Kelurahan Boyaoge (5 tahun berturut-turut terdapat kasus), dan tidak ada daerah
sporadis dan daerah bebas (dalam 5 tahun terakhir tidak terdapat kasus DBD).

Untuk daerah-daerah endemis perlu diupayakan pemberantasan sarang


nyamuk secara rutin dan pemeriksaan jentik berkala yang mencakup seluruh RW dan
penyuluhan kebersihan lingkungan, oleh karena di Kelurahan Balaroa terdapat pasar
Induk Manonda yang mungkin menjadi penyebab tingginya kasus DBD di wilayah
tersebut.

Sumber:Laporan SP2TP Puskesmas Sangurara Thn 2015

1.2 Rumusan Masalah


Pada laporan menejemen ini, permasalahan terkait program penanggulangan
pemberantasan DBD akan dibahas antara lain
1. Bagaimana pelaksanaan program pemberantasan DBD di Puskesmas Sangurara ?
2. Apa saja permasalahan yang menjadi kendala dalam mencapai target cakupan
program pemberantasan DBD di Puskesmas Sangurara ?

4
BAB II
PERMASALAHAN

Pada laporan menejemen ini yang akan dibahas tentang program dengan indicator
keberhasilannya ialah :

Adapun indikator program DBD di Puskesmas Sangurara ialah :


1. Menurunkan angka kejadian DBD (IR) , 52 per 100.000 penduduk.
2. Menurunkan angka kematian akibat DBD (CFR) < 1%.
3. Menurunkan Angka Bebas Jentik (ABJ) > 95%.
4. Mencegah terjadinya KLB/Wabah penyakit DBD

Adapun program yang dilaksanakan di puskesmas Sangurara ialah :

1. Promosi kesehatan
Sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang BAB III Pengendalian DBD
pasal 4 tentang promosi kesehatan ialah :
(1) promosi kesehatan adalah upaya pencegahan DBD yang dilakukan dengan
cara memberikan penyuluhan, sosialisasi atau cara lainnya kepada seluruh
lapisan mmasyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan.
(2) Promosi kesehatan sebagaimana dimaksu padaa ayat (1) menjadi tanggung
jawab SKPD
2. Pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
Terncantum dalam undang-undang BAB III Pengendalian DBD pasal 5 tentang
PSN 3 M Plus

5
(1) Kegiatan PSN 3 M Plus dilakukan untuk memutus siklus hidup nyamuk
penular DBD yang dilaksanakan paling singkat 1 (satu) minggu sekali.
(2) Pemutusan siklus hidup nyamuk penular DBD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilakukan oleh perorangan, pengelola, penanggug jawab atau
pimpinan tempat kerja.
3. Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Terncantum dalam undang-undang BAB III Pengendalian DBD pasal 10 tentang
Penyelidikan epidemiologi
(1) Penyelidikan Epidemiologi merupakan kegiatan pelacakan suspect atau
penderita DBD
(2) Penyelidikan Epidemiologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh petugas kesehatan/petugas puskesmas
4. Pengasapan/Fogging
Terncantum dalam undang-undang BAB III Pengendalian DBD pasal 12 tentang
Pengasapan/Fogging
(1) Pengasapan/Fogging merupakan salah satu kegiatan penanggulangan DBD
yang dilaksanakan pada saat terjadi penularan DBD, dalam bentuk :
a. Pengasapan/fogging focus; dan
b. Pengasapan/fogging massal pada saat terjadi KLB DBD
(2) Pengasapan/fogging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
kegiatan pengasapan secara serentak dan menyeluruh pada saatterjadi KLB
DBD
(3) Pengasapan/fogging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
petugas kesehatan.
(4) Masyarakat wajib membantu kelancaran pelaksanaa pengasapan/fogging
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumh dan lingkungannya.
5. Abatesasi dan Survei Jentik

6
Terncantum dalam undang-undang BAB III Pengendalian DBD pasal 6 tentang
PJB
(1) PJB wajib dilakukan oleh :
a. Jumantik, yang bertugas setiap minggu dengan target pemeriksaan
disemua rumah sesuai hasil kesepakatan yang berada di wilayah kerjanya;
dan
b. Petuga kesehatan/ petugas puskesmas, yang bertugas setiap 3 (tiga) bulan
sekali dengan target pemeriksaan 100 (seratus) rumah disetiap kelurahann
yang dipilih secara sampling.
(2) Pemeriksaan dan pemantauan oleh jumantik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, perlu dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Memeriksa setiap tempat, media, atau wadah yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk dan mencatatnya dikartu jentik
b. Memberikan penyuluhan dan memotivasi masyarakat; dan
c. Melaporkan hasil pemeriksaan dan pemantauan kepada Lurah dan Camat.
(3) Jumantik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibentuk disetiap
Kecamatan dan Kelurahan.

7
BAB III

PEMBAHASAN

a. Input
Program penanggulangan demam berdarah di Puskesmas Sangurara dikelola
oleh seorang perawat yang bekerja sama dengan dokter-dokter yang ada di
Puskesmas Sangurara. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk pengendalian
demam berdarah di wilayah kerja Puskesmas sangat baik. Akses ke wilayah kerja
Puskesmas Sangurara mudah ditempuh,yakni kelurahan Duyu, Boyaoge, Nunu,
Balaroa dan Donggala Kodi. Dana yang digunakan dalam pengelolaan puskesmas
berasal dari BOK dan DAU

b. Proses
Perencanaan program Pengendalian penyakit demam berdarah di Puskesmas
Sangurar mengikuti pedoman pengendalian penyakit demam berdarah yang
dikeluarkan oleh pemerintah Kota Palu sebagai acuan pelaksanaan program seperti
promosi kesehatan, Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), Fogging, Pelacakan
Penderita (PE), Abatesasi dan Survei Jentik. Penggerakan pelaksanaan program
dilakukan 2 minggu sekali di tiap kelurahan.

Adapun Masalah / kendala yang didapatkan selama pelaksanaan program :

1. Masih banyak ditemukan area yang bisa menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes
Aegipty.

8
2. Wilayah pemukiman semakin menggerus tempat perindukan alami dari vektor
nyamuk.

3. Masih kurangnya perhatian kita semua terhadap pemeliharaan kesehatan lingkungan


khususnya kos-kosan dan usaha pengepul barang bekas.

4. Masih banyak ditemukan rumah dengan jentik nyamuk

5. Alamat yang diberikan pasien tidak sesuai dengan tempat tinggalnya

6. Persediaan bubuk abate terbatas

9
10
c. Output
Adapun program kerja yang dilakukan di Puskesmas Sangurara terkait dengan
penanggulangan penyakit demam berdarah antara lain PSN, PE, Abatesasi dan Survei
Jentik program ini dilakukan sekaligus pada tiap kelurahan yang dikunjungi. Jika ada
pasien yang sudah di diagnosis dengan DBD maka langsung dilakukan foging ke
rumah pasien tersebut. Pada pelaksanaan program foging sekaligus juga di ikuti
dengan program lainnya.

11
Jumlah kasus DBD yang ditemukan pada tahun 2016 :

12
Jumlah kasus DBD pada tahun 2017 Triwulan 1

13
14
15
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Dalam pelaksanaan program penanganan demam berdarah, perlu memperhatikan
program yang telah dicanangkan oleh pemerintah dengan mengingat puskesmas
merupakan tempat pelayanan primer.
2. Masalah penyakit demam berdarah dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, faktor
lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan yang saling berinteraksi secara
kompleks. Oleh karena itu penanggulangan masalah demam berdarah harus
dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu dengan pendekatan spesifik wilayah.
3. Peran serta dari berbagai pihak sangat dibutuhkan agar program kerja dapat
terlaksana dengan baik.

4.2 Saran
1. Lebih sering melakukan kegiatan penyuluhan berupa penyuluhan perorang
terlebih ke rumah keluarga yang mengalami penyakit demam berdarah, untuk
menerapkan pencegahan penyakit demam berdarah.
2. Meningkatkan kegiatan promosi kesehatan mengenai pola hidup bersih dan sehat
seperti kebersihan lingkungan, pengelolaan air, dan pengelolaan sanitasi.
3. Kegiatan penemuan pasien harus lebih sering dilakukan secara aktif untuk
menjaring pasien-pasien yang tidak terdeteksi dengan penjaringan pasif.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Puskesmas Sangurara. Profil Kesehatan Puskesmas Sangurara. Palu : Puskesmas


Sangurara. 2015..
2. Suroso. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Beradarah Dengue (PSN DBD). Jakarta
: Departemen Kesehatan. 2010
3. Edi Warsidi. Bahaya dan Pencegahan DBD. Bekasi : Penerbit Mitra Utama. 2009
4. Wali Kota Palu. Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pengendalian
Penyakit Demam Berdarah Dengue. Palu : Provinsi Sulawesi Tengah. 2016

17

También podría gustarte