Está en la página 1de 3

Aliran atau firqah Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70H/689 M.

Latar belakang
timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayah yang
dianggap kejam. Paham aliran Qadariyah mengatakan bahwa Allah SWT itu adil, maka Allah
SWT akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan
yang baik atau yang buruk. Menurut paham Qadariyah manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kemudian, Ghailan al-
Dimasyqi (seorang yang menyiarkan paham Qadariyah) berpendapat bahwa, manusia
berkuasa atas perbuatan-perbuatannnya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-
perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauannya sendiri.

Firqah Qadariyah

, dipimpin oleh Ma’bad al Juhni al Bisri dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan
Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Ada pendapat lain mengatakan bahwa
sebenarnya yang mengembangkan aliran Qadariyah itu bukan Ma’bad al Juhni.1, namun ada
seorang penduduk negeri Irak, yang mulanya beragama Kristen kemudian masuk Islam, tetapi
akhirnya ia kembali ke Kristen lagi. Dari orang inilah, Ma’bad al Juhni dan Gailan ad Damasqi
mengambil pemikirannya.2

Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada
Qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisya paham ini dikenal dengan nama free will dan
free act.3Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik atas
kemauan dan kehendaknya sendiri. Disini tidak dapat paham yang mengatakan bahwa nasib

1
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta: PT
RajaGrafindo, cet. 2010), hlm. 139.
2
Ibid., hlm. 141.
3
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, cet. 2010), hlm. 33.
manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya
hanya bertindak menurut nasibnya yang teah ditentukan semenjak azal.4

Ajaran-ajaaran firqah Qadariyah segera mendapat pengikut yang cukup, sehingga khalifah segera
mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban umum. Ma’bad al Juhni dan beberapa
pengikutnya ditangkap dan dia sendiri dihukum bunuh di Damaskus (80H/690 M). Setelah
peristiwa ini maka pengaruh paham Qadariyah semakin surut, akan tetapi dengan munculnya
firqah Mu’tazilah, sebetulnya dapat diartikan penjelmaan kembali paham-paham Qadariyah.

Firqah Jabariyah

Firqah Jabariyah timbul bersamaan dengan firqah Qadariyah. Daerah tempat timbulnya juga
tidak berjauhan. Firqah Qadariyah timbul di Irak, sedangkan firrqah Jabariyah timbul di
Khurasan Persia. Pemimpinnya yang pertama adalah Jahm bin Safwan. Karena itu firqah ini
kadang-kadang disebut Al-Jahamiyah. Mula-mula Jaham bin Sofwan adalah juru tulis dari
seorang pemimpin yang bernama Suraih bin Harits, Ali Nashar bi Sayyar dan memberontak
didaerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Ummayah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin
menyiarkan agama. Fatwanya yang menarik adalah bahwa manusia tidak mempunyai daya
upaya, tidak ada ikhtiar dan tidak ada kasab. Semua perbuatan manusia itu terpaksa (majbur) di
luar kemauannya, sebagaiamana keadaan bulu ayam terbang kemana arah angin bertiup atau
sepotong kayu ditengah lautan mengikuti hempasan ombak dan badai. Kalau paham fatalisme
yang dibawa Jahm seperti diuraikan diatas merupakan fatalism dalam bentuk ekstrim, as-
Syahrastani menyebut paham jabariah lain yang bersifat moderat. Paham itu dibawa oleh al-
Husain Ibn Muhammad al-Najjar. Tuhanlah, kata al-Najjar, yang menciptakan perbuatan-
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai
bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempuyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dan inilah yang disebut dengan
kasb atau acquisition.5

Ringkasnya bahwa orang-orang Jabariyah berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai
daya ikhtiar, dan pendapat tersebut merupakan kebalikan dari paham Qadariyah yang mana

4
Ibid., hlm. 35.
5
Ibid., hlm. 36.
menjelaskan bahwa semua gerak manusia dipaksa adanya kehendak Allah Swt.6Kemudian
paham Jabariyah ini melampaui batas, sehingga mengiktikadkan bahwa tidak berdosa kalau
berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakikatnya Allah Swt. pula. Kesesatannya
mereka berpendapat bahwa orang itu mencuri, maka Tuhan pula yang mencuri. Bila orang
sholat, maka Allah Swt. pula sholat. Jadi kalau orang berbuat baik atau jahat lalu dimasukkan ke
dalam nereka, maka Tuhan itu tidak adil. Karena apapun yang di buat manusia, kebaikan atau
keburukanm tidak satupun terlepas dari kehendak Allah.7 Sebagian pengikut Jabariyah
beranggapan telah bersatu dengan Tuhan. Disini menimbulkan paham widatul wujud, yaitu
Manunggaling Kawulo lan Gusti, atau bersatunya hamba dengan Dia.

6
Ibid., hlm. 143.
7
Ibid., hlm. 144

También podría gustarte