Está en la página 1de 28

TINJAUAN TEORI

TRAUMA

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma
tumpul dan trauma tajam yang disengaja atau tidak disengaja, (Smeltzer,
2002).
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur
yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka
tumpul atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis sehingga terjadi
gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai
organ (Panduan Penyusun Asuhan Keperawatan Profesional 2015).

2. Anatomi dan Fisiologi


Organ mayor dan Struktur dari system pencernaan adalah esophagus,
lambung, usus, hati, pancreas, kandung empedu dan peritoneum.
a. Esophagus memiliki panjang 25 cm dengan diameter 3 cm dimulai dari
pharyn sampai dengan lambung. Dinding esophagus sendiri
menghasilkan mucus untuk lubrikasi makanan sehingga memudahkan
makanan untuk masuk ke dalam lambung. Terdapat spincter cardia
yang mencegah terjadinya regurgitasi makanan dari lambung ke
esophagus.
b. Lambung memiliki bagian yang disebut fundus, body dan antrum.
Fungsi lambung adalah mencampur makanan dengan cairan lambung
seperti pepsin, asam lambung mucus, dan intrinsic factor yang
semuadnya disekresi oleh kelenjar di sumbukosa. Asam lambung
sendiri mempunyai pH 1. Sphinter pyloric mengkontrol makanan
bergerak masuk dari lambung ke duodenum.
c. Usus halus dimulari dari sphincter pyloric sampai dengan proximal
usus besar.Sekresi dari pancreas dan hati membuat chime menjadi
tekstur yang semiliquid. Disiniterjadi poses absorbsi nutrient dan
produk-produk lain. Segemen dari usus halus sendiriterdiri dari
duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum memiliki panjang 25 cm
dandiameter 5 cm.
d. Usus besar memiliki panjang 1.5 m dengan bagian-bagian cecum,
colon, rectum dan anal canal. Sedangkan colon terdiri dari segmen
colon ascenden, transversal,descenden dan sigmoid. Fungsi primer dari
usus besar adalah absorpsi air dan elektrolit.
e. Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen. Hati diperdarahi kurang
lebih 1450ml permenit atau 29% dari cardiac output. Memiliki banyak
fungsi yaitu pertamametabolisme, karbohidrat (glycogensis, glucosa
menjadi glycogen), (glycogenolysisglycogen menjadi glucosa), (
gluconeogenesis pembentukan glukosa dari asamamino dan asam
lemak), metabloisme protein (sintesis asam-asam amino
nonesential,sintesis protein plasma, sintesis faktor pembekuan,
pembentukan urea dari NH3 dimanNH3 merupakan hasil akhir dari
asam amino dan aksi dari bakteria terhadap protein dikolon),
detoxifikasi, metabolisme steroid ( ekskresi dan conjugasi dari kelenjar
gonaddan adrenal steroid). Fungsi ke dua adalah sintesis bilirubin,
fungsi ketiga adalah sistempagosit mononuklear oleh sel kupffer
dimana terjadi pemecahan sel darah merah, seldarah putih, bakteri dan
partikel lain, memecah hemoglobin dari sel darah merahmenjadi
bilirubin dan biliverdin.
Gambar 1. Anatomi Hepar
Sumber: https://www.google.co.idthe+gastrointestinal+sistem/imege

f. Empedu menghasilkan getah-getah empedu sebanyak 30-60 ml dimana


komposisi nya 80% air, 10% bilirubin, 4-5% phospholipid dan 1%
kolesterol.
g. Pankreas memiliki fungsi endokrin dan eksokrin. Fungsi endokrin sel
beta pankreas mensekresi pankreas dan mempunyai fungsi regulasi
level glukosa darah. Fungsi eksokrin dimana kelenjar acini
menghasilkan getah pancreas dimana enzym pancreas itu lipase dan
amylase yang dikeluarkan ke usus halus.

Gambar 2. Anatomi Hepar, empedu dan pankreas


Sumber: https://www.google.co.idthe+gastrointestinal+sistem.
Org/image
h. Peritoneum merupakan pelindung dari hati, spleen, lambung, dan usus.
Memilikimembran semipermeabel, memiliki reseptor nyeri dan
memiliki kemampuan proliferatifceluluar proteksi. Peritoneum
permeabel terhadap cairan, elektrolit, urea dan toksin.Rongga
peritoneum ini pada bagian atas dibatasi oleh diafragma, bagian
bawaholeh pelvis, bagian depan oleh dinding depan abdomen, bagian
lateral oleh dindinglateral abdomen dan bagian belakang oleh dinding
belakang abdomen serta tulangbelakang.
Ketika bernafas khususnya pada saat ekspirasi maksimal otot diafragma
naik keatas setinggi kira-kira interkostal ke 4 min klavikula (setinggi papila
mamae pada pria) sehingga adanya trauma thoraks perlu dicurigai adanya
trauma abdomen pada sisi kiri hepar, dan sisi kanan pada lien.
Organ-organ di intra abdomen dibagi menjadi organ intra peritoneal
dan organ ekstra peritoneal. Organ intra peritoneal terdiri dari hepar, lien,
gaster, usus halus, sebagian besar kolon. Organ ekstra peritoneal terdiri dari
ginjal, ureter, pankreas, duodenum, rektum, vesika urinaria, dan uterus
(walaupun cenderung aman karena terlindung oleh pelvis). Sedangkan dari
jenisnya organ-organ di rongga abdomen ini dipilah menjadi organ solid
(hepar dan lien) dan organ berlumen (gaster, usus halus, dan kolon).
3. Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak
diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor,
kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang
menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul
lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak,
trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk
sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.Trauma pada
abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :

4. Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Trauma tumpul (blunt injury)
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian
pintu mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan
trauma kompresi ataupuncrush injury terhadap organ viscera. Hal ini
dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa
mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya
uterus ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis.
Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera
sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman
(misalnya seat belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman bahu)
tidak digunakan dengan benar.
Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa
mengalami trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak
sama antara suatu bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak,
seperti rupture lien ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak)
dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir).
Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma
abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena
trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%),
hepar (35-45%), dan usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya
mengalami hematoma retroperitoneal.
b. Trauma tajam (penetration injury)
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan
mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong.
Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer
energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya
efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi
fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya.
Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%),
diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan
kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan
peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun kemungkinan
pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya.
Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon (40%),
hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).

Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding
abdomen dan trauma pada isi abdomen.
a. Trauma pada dinding abdomen
Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi.
1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi.
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,
kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam
jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus
rongga abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma
penetrasi.
b. Trauma pada isi abdomen
Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth &
Brunner (2002) terdiri dari:
1) Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya
cedera pada dinding abdomen.
2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik
ahli bedah.
3) Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri
diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi.

5. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara
faktor-faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh.
Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis
(yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya
perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi
jaringan.
Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga
penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan
tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan
yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga
bentuk aslinya walaupun ada benturan.
Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan
tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya
yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus
dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap
permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal
yang disebabkan beberapa mekanisme :
a) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat
oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk
pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan
terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
b) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior
dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
c) Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat
menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler

6. Manifestasi Klinis
a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2) Respon stres simpatis
3) Perdarahan dan pembekuan darah
4) Kontaminasi bakteri
5) Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar
rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi.
Secara umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan
perdarahan. Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya
dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga
peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi

b. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga


peritonium) ditandai dengan:
1) Kehilangan darah.
2) Memar/jejas pada dinding perut.
3) Kerusakan organ-organ.
4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity)
dinding perut.
5) Iritasi cairan usus
Secara umum seseorang dengan trauma abdomen menunjukkan
manifestasi sebagai berikut :
1) Laserasi, memar,ekimosis
2) Hipotensi
3) Tidak adanya bising usus
4) Hemoperitoneum
5) Mual dan muntah
6) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh
darah, biasanya pd arteri karotis),
7) Nyeri
8) Pendarahan
9) Penurunan kesadaran
10) Sesak
11) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal
13) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang)
pada perdarahan retroperitoneal.
14) Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau
labia pada fraktur pelvis
15) Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada
kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe

7. Pemeriksaan diagnostik
a. Trauma Tumpul
1. Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna
merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive
untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh team
bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik
yang abnormal, terutama bila dijumpai:
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
e) Diperkirakan akan nada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal,
pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan
kecurigaan trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal
nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG
ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya
indikasi yang jelas untuk laparatomi.
Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen
sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya
koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup
(Seldinger) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih.
Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik
dilakukan supraumbilikal untuk mencegah mengenai hematoma
pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya
aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu
yang keluar, melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang
abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi.
Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan
lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah
cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll,
cairan ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat
isi gastrointestinal ,serat maupun empedu.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-
150)Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3,
leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau
serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih
darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3
atau lebih.
2. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di
tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas,
specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal
yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound memberikan
cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun.
Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside
dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa
prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya
sama dengan indikasi DPL.
Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di diagnosa
dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL.

b. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP
dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah
tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara
bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen
diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk
untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan
kemungkinan cedera retroperitoneal
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat
untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax,
ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada
pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka
masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan
jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen
foto abdomen tidur.
3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
a) Urethrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus
dilakukan urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila
kita curigai adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi
digunakan dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon
dipompa 1,5-2cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc
kontras yang diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan
projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada pelvis.
b) Sistografi
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik
ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan
sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300
cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas
pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau
sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan,
atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan
foto post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT
Scan (CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk
mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang
pelvisnya.
c) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami
sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras
dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada
fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini
dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi
bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau
dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang
disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila
akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu
sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal,
thrombosis maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun
parenchyma yang mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi
keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan +
kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang
mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki.
d) Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya
retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens)
tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi
dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT
Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper
GI Track ataupun GI tract bagian bawah dengan kontras harus
dilakukan.

c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat, SGPT, SGOT,
4) Koagulasi: PT, PTT
5) MRI
6) Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
7) CT Scan
8) Scan limfa
9) Ultrasonogram
10) Peningkatan serum atau amylase urine
11) Peningkatan glucose serum
12) Peningkatan lipase serum
13) DPL (+) untuk amylase
14) Penigkatan WBC
15) Peningkatan amylase serum
16) Elektrolit serum
17) AGD

8. Komplikasi
a) Trombosis Vena
b) Emboli Pulmonar
c) Stress ulserasi dan perdarahan
d) Pneumonia
e) Tekanan ulserasi
f) Atelektasis
g) Sepsis

9. Penatalaksanaan gawat darurat


a. Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang
mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di
lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah
ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera
ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika
korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
1. Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas
menggunakanteknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala
dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat
mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah
atau benda asing lainnya.
2. Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan
menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik
untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan
pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat
tidaknya pernapasan).
3. Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban
tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat
dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi
jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam
RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).
Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
1. Stop makanan dan minuman
2. Imobilisasi
3. Kirim kerumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam)
1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam
lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan
dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi
pisau sehingga tidak memperparah luka.
3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut
tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian
organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau
bila ada verban steril.
4. Imobilisasi pasien.
5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan
menekang.
7. Kirim ke rumah sakit.

b. Hospital
1. Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang
ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal
untuk menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna
bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan.
a. Skrinning pemeriksaan rontgen
b. Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan
adanya udara intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil
tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara
retroperitoneum.
c. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning. Ini di lakukan
untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
d. Uretrografi : Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture
uretra.
e. SistografiIni digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera
pada kandung kencing, contohnya pada:fraktur pelvis, trauma
non-penetrasi
f. Segera dilakukan operasi untuk menghentikan perdaran. jika
penderita dalam keadaan syok tidak boleh tilakukan tindakan
selain penagangan syok.
g. Pemesangan NGT dan kateter urine
h. Pemberian obat analgetik sesuai indikasi
i. Pemberian oksigen sesuai dengan indikasi
j. Lakukan intubasi unruk pemasanga ETT jika diperlukan
2. Penanganan pada trauma benda tumpul:
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk
pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan
laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap,
potasium, glukosa, amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan
pelvis adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita
dengan multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara
ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah
diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
c. Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon
ascendens atau decendens dan dubur.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian pasien trauma abdomen adalah meliputi:
1. Trauma Tembus abdomen
 Dapatkan riwayat mekanisme cedera; kekuatan tusukan/tembakan;
kekuatan tumpul (pukulan).
 Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya: cedera tusuk,
memar, dan tempat keluarnya peluru. Selain itu perlu juga di kaji
anterior abdomen, punggung,panggul, dan rectum. Sedangkan
untuk mengetahui kemungkinan adanya pendarahan, maka perawat
harus menggunakan petunjuk cullen’s sign yaitu perdarahan pada
umbilicus bila terjadi truma panggul dan Turner’s sign yaitu
perdarahan retroperitoneal bila terjadi perdarahan pada dinding
abdomen.
 Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga
perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal
keterlibatan intraperitoneal; jika ada tanda iritasi peritonium,
biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga
abdomen).
 Perkusi dengan menggunakan jari tangan, bila terdengar suara
timpani yang berlebihan, maka dicurigai adanya penumpukan
udara bebas yang mengindikasikan adanya luka tembus. Namun,
bila terdengar redup, maka perawat menduga terjadinya akumulasi
cairan atau darah pada daerah usus besar dan lambung.
 Palpasi harus hati-hati dan lembut, karena pada daerah abdomen
terjadi akumulasi cairan atau darah atau udara, sehingga abdomen
akan mengalami distensi.
 Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan, nyeri
tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus,
hipotensi dan syok.
2. Trauma tumpul abdomen
Dapatkan riwayat detail jika mungkin (sering tidak bisa
didapatkan, tidak akurat, atau salah). dapatkan semua data yang mungkin
tentang hal-hal sebagai berikut:
 Metode cedera.
 Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering
menderita ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan
digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.
 Waktu makan atau minum terakhir.
 Kecenderungan perdarahan.
 Penyakit dan medikasi terbaru.
 Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasien untuk
mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.

Dasar pemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat tetapi
menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki. Pengkajian data dasar
menurut adalah:

1) Aktifitas/istirahat
Data Subyektif: Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas
Data Obyektif: Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan
cedera (trauma).
2) Sirkulasi
Data Obyektif: Kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas
(hipoventilasi, hiperventilasi, dll).
3) Integritas ego
Data Subyektif: Perubahan tingkah laku/kepribadian (tenang atau
dramatis)
Data Obyektif: Cemas, bingung, depresi.
4) Eliminasi
Data Subyektif: Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami
gangguan fungsi.
5) Makanan dan cairan
Data Subyektif: Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
makan.
Data Obyektif: Mengalami distensi abdomen
6) Neurosensori
Data Subyektif: Kehilangan kesadaran sementara, vertigo
Data Obyektif: Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
status mental, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
7) Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif: Sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang
berbeda, biasanya lama.
Data Obyektif: Wajah meringis, gelisah, merintih.
8) Pernafasan
Data Subyektif: Perubahan pola nafas
9) Keamanan
Data Subyektif: Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif: Dislokasi gangguan kognitif, gangguan rentang gerak.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan dalam rongga
abdomen
2. Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan.
3. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan gangguan
transport O2
4. Infeksi berhubungan dengan tidak adekuat pertahanan primer dan
sekunder, prosedur invasif.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Berhubungan
dengan Ketidakmampuan untuk mencerna
6. Defisit Volume Cairan Berhubungan dengan Kehilangan volume cairan
7. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual muntah, disfungsi usus, abnormalitas metabolik.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Perencanaan
No Tgl Diagnosa Keperawatan
NOC NIC Rasional

1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Mengidentifikasi nyeri akibat
dengan kerusakan jaringan keperawatan selama 3x24 jam secara komprehensif termasuk gangguan lain
dalam rongga abdomen diharapkan klien tidak mengalami lokasi, karakteristik, durasi, 2. Mengetahui keadaan umum
nyeri, dengan kriteria hasil:
frekuensi, kualitas dan faktor klien
Ditandai dengan  Mampu mengontrol nyeri
presipitasi 3. Memberikan implementasi
(tahu penyebab nyeri, mampu
DS: menggunakan tehnik 2. Observasi reaksi nonverbal dari yang tepat
 Laporan secara nonfarmakologi untuk ketidaknyamanan 4. Mengurangi sensasi nyeri
verbal mengurangi nyeri, mencari 3. Kaji tipe dan sumber nyeri 5. Analgetik memblok lintasan
bantuan) untuk menentukan intervensi nyeri, sehingga nyeri akan
DO:  Melaporkan bahwa nyeri 4. Ajarkan tentang teknik non berkurang.
 Posisi untuk berkurang dengan farmakologi: napas dalam, 6. Pengetahuan yang akan
menggunakan manajemen
menahan nyeri relaksasi, distraksi, kompres dirasakan membantu
nyeri
 Tingkah laku  Mampu mengenali nyeri hangat/ dingin mengurangi nyerinya. Dan
berhati-hati (skala, intensitas, frekuensi 5. Kolaborasi denmgan dokter, dapat membantu
 Gangguan tidur dan tanda nyeri) pemberian analgetik. mengembangkan kepatuhan
(mata sayu, tampak  Menyatakan rasa nyaman 6. Berikan informasi tentang nyeri klien terhadap rencana
capek, sulit atau setelah nyeri berkurang seperti penyebab nyeri, berapa teraupetik
gerakan kacau)  Tanda vital dalam batas lama nyeri akan berkurang dan 7. Mengetahui keadaan umum
normal antisipasi ketidaknyamanan dari klien
 Tidak mengalami gangguan
prosedur
tidur
7. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
2. Defisit Volume cairan dan Setelah dilakukan tindakan 1 Observasi tanda-tanda vital 1 Untuk mengidentifikasi
elektrolit berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam setiap 1 jam defisit volume cairan
dengan perdarahan intra Tujuan: Terjadi keseimbangan
2 Observasi cairan parenteral 2 Mengidentifikasi keadaan
abdomen. volume cairan dan Kebutuhan
DS: cairan terpenuhi dengan kriteria dengan elektrolit, antibiotik perdarahan
 Haus hasil: 3 Kolaborasi dengan dokter: 3 Cara parenteral membantu
 Berak darah  Tanda-tanda vital dalam batas
Berikan cairan parenteral sesuai memenuhi kebutuhan nuitrisi
DO: normal
 Penurunan turgor  Tidak ada perdarahan indikasi. tubuh.
kulit  Hb dalam batas normal 4 Kolaborasi dengan dokter dalam 4 Menggantikan darah yang
 Membran
 Membran mukosa lembab pemberian Tranfusi darah keluar
mukosa/kulit
kering  Turgor kulit kembali cepat.
 Peningkatan
denyut nadi,
penurunan tekanan
darah, penurunan
volume/tekanan
nadi
 Perubahan status
mental
 Temperatur tubuh
meningkat
 Penurunan urine
output
 Kelemahan
3 Perfusi jaringan cerebral Setelah dilakukan asuhan 1 Monitor tanda-tanda vital tiap 1 1 Mengetahui keadaan umum
tidak efektif berhubungan perawatan selama 3 x 24 jam jam klien
dengan gangguan transport
ketidakefektifan perfusi jaringan 2 Monitor AGD, ukuran pupil, 2 Mengetahui keadaan umum
oksigen gangguan aliran
arteri dan Vena ditandai cerebral teratasi dengan kriteria ketajaman, kesimetrisan dan klien, fungsi motorik dan
dengan hasil, ditandai: reaksi sensorik dan dapat di
 Tekanan systole dan diastole 3 Monitor tekanan intrkranial dan pengaruhi oleh iskemia atau
DS:
 Klien tidak dapat di kaji dalam rentang yang diharapkan respon nerologis perubahan tekanan.
 Menunjukkan konsentrasi dan 4 Catat perubahan pasien dalam 3 Mengetahui fungsi motorik
DO:
orientasi merespon stimulus dan sesorik
 Gangguan status
mental  Pupil isokos dan reaksi 5 Ukur intake dan aotput tiap 8 jam 4 Mengetahui dan menentukan
 Perubahan perilaku  Hb dalam batas normal 6 Berikan oksigen sesuai dengan intervensi selanjutnya
 Perubahan respon indikasi 5 Menjaga keseimbangan cairan
 Tidak ada tanda-tanda sianosis
motorik
6 Mempertakankan oksigen
 Perubahan reaksi
pupil dalam arteri
 Kesulitan menelan
 Kelemahan atau
paralisis
ekstrermitas
 Abnormalitas
bicara
4 Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan 1 Observasi tanda dan gejala 1 Mengetahui adanya infeksi
berhubungan dengan infeksi sistemik dan lokal, pada luka
Keperawatan selama 3 x 24 jam
Pertahan primer tidaka 2 Observasi tanda-tanda vital 2 Suhu yang naik memuncak
klien tidak mengalami infeksi
dekuat. 3 Pertahankan perawatan luka dan kembali ke nirmal pada
dengan kriteria hasil:
dengan teknik aseptik dan pagi hari adalah karakteristik
DS:  Klien bebas dari tanda dan
antiseptik infeksi
gejala infeksi
DO: 4 Kolaborasi dalam pemberian 3 Menjaga kelebapan luka dan
 Adanya trauma pada  Jumlah leukosit dalam batas
antibiotik kontaminasi dari lingkugan.
abdomen normal
5 Anjurkan untuk istirahat 4 Mencegah terjadinya infeksi
 Jumlah leokosit  Status imun, gastrointestinal,
5 Mengatasi infeksi
meningkat genitourinaria dalam batas
 Adanya perdaran intra normal
abdomen
D. IMPLEMENTASI
Tgl Jam No. DK Implementasi Nama & TTD

1 1. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,


karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. menkaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
4. mengajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi,
distraksi, kompres hangat
5. Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.
6. Memberikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur
7. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama
kali

2 1 Mengobservasi tanda-tanda vital setiap 1 jam


2 Mengobservasi cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik
3 Kolaborasi dengan dokter: Berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
4 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Tranfusi darah

3 1 memonitor tanda-tanda vital tiap 1 jam


2 memonitor AGD, ukuran pupil, ketajaman, kesimetrisan dan reaksi
3 memonitor tekanan intrkranial dan respon nerologis
4 memcatat perubahan pasien dalam merespon stimulus
5 mengukur intake dan aotput tiap 8 jam
6 memberikan oksigen sesuai dengan indikasi

4 1. Mengobservasi tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal


2. Mengobservasi tanda-tanda vital
3. Mempertahankan perawatan dengan teknik aseptik dan antiseptik
4. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik
5. Menganjurkan untuk istirahat
DAFTAR PUSTAKA

Evelyn, C. Pearce. (2009). "Anantomi fisiologi untuk paramedis". Jakarta : PT


Gramedia Pustaka Umum

Judith M., Wilkinson., Nancy R., Ahern. (2014). Diagnosis Keperawatan. Edisi 9.
Jakarta, EGC

Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Medication
Jogja

Richard S, Snell. (2006). Anatomi Klinik. Edisi 6, Jakarta: EGC

Smeltzer C Suzanne. (2008). Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah, Brunner &
Suddarth Ed 8. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith. (2011). "Buku saku diagnosis keperawatan : diagnosis


NANDA, Intervensi NIC, kreteria hasil NOC". Jakarta : EGC

http://www.gubukberita.com/2011/12/trauma-tumpulabdomen. Html
Dapus https://chandrarandy.wordpress.com/2012/10/08/konsep-trauma-abdomen/

También podría gustarte