Está en la página 1de 34

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis.1 Tuberkulosis sampai saat ini masih merupakan

salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian

dengan strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) telah

diterapkan dibanyak negara sejak tahun 1995. Menurut laporan World Health

Organization (WHO) tahun 2015, terdapat sekitar 9,6 juta kasus TB baru. Dengan

jumlah kematian akibat tuberkulosis sebanyak 1,5 juta kematian. Dari kasus

tuberkulosis tersebut ditemukan 480.000 kasus TB Resistan Obat (TB-RO)

dengan jumlah kematian sebanyak 190.000 orang. 2

Laporan WHO tahun 2015 menyatakan bahwa jumlah kasus tuberkulosis

di Indonesia diperkirakan sekitar 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000

penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Angka

Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) melaporkan terdapat sebanyak

129 per 100.000 penduduk kasus TB yang terjadi di Indonesia. Diantara seluruh

kasus TB di Indonesia terdapat 314.965 kasus baru. Jumlah kasus TB-RO

diperkirakan sebanyak 6700 (19%) kasus baru TB dan terdapat 12% kasus TB-RO

dari TB dengan pengobatan ulang.3 Menurut WHO pada tahun 2015 ditemukan

jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 330.910 kasus di Indonesia. Jumlah ini

meningkat bila dibandingkansemua kasus tuberkulosis di Indonesia yang

ditemukan pada tahun 2014 yaitu sebesar 324.539 kasus. Jumlah kasus tertinggi
2

yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu

Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Total kasus tuberkulosis di tiga

provinsi tersebut diperkirakan sebesar 38% dari jumlah seluruh kasus baru di

Indonesia.3 Secara umum angka notifikasi kasus BTA positif baru dan semua

kasus dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan.2

Penemuan pasien TB bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui

serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB,

pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi

penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh

dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain.Pengobatan TB merupakan

salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari

kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip, pengobatan

diberikan dalam bentuk paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang tepat

mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi,

diberikan dalam dosis yang tepat, ditelan secara teratur dan diawasi langsung oleh

Pengawas Minum Obat (OAT) sampai selesai pengobatan, dan pengobatan

diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap

lanjutan untuk mencegah kekambuhan. Dalam menjalankan prinsip pengobatan

TB dibutuhkan kemauan, tekad, dan kepatuhan pasien dikarenakan pengobatan

TB memiliki jangka waktu panjang. Jangka waktu Panjang ini dapat menimbulkan

penurunan kepatuhan pengobatan sehingga dapat terjadi penurunan tingkat

kesembuhan pasien TB.

Pasien TB paru dinyatakan sembuh jika hasil pemeriksaan bakteriologis

positif pada awal pengobatan, yang pada hasil akhir pengobatan bakteriologis
3

menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya. Faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat kesembuhan pasien adalah, kecukupan gizi, pola hidup

yang baik, sanitasi lingkungan yang baik, dan kepatuhan pasien dalam menjalani

pengobatan TB. Tingkat kesembuhan pasien dipengaruhi oleh kepatuhan pasien

dalam meminum obat dan kepatuhan minum obat dipengaruhi adanya PMO.2

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990 WHO dan

International Union Association Lung Tuberculosis Disease (IUATLD)

mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS.

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu, komitmen politis dengan

peningkatan dan kesinambungan pendanaan, penemuan kasus melalui

pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, pengobatan yang standar

dengan supervisi dan dukungan bagi, sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT

yang efektif, dan sistem monitoring, pencatatan, dan pelaporan kasus TB yang

terjadi sehingga mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien

dan kinerja program.3

Berdasarkan strategi DOTS dapat dilihat bahwa, salah satu strategi yang

penting bagi penanganan TB adalah, pengobatan standar dengan supervisi dan

dukungan bagi pasien. Penerapan strategi ini salah satunya adalah dengan

digalakannya Pengawas Minum Obat (PMO). Pengawas Minum Obat (PMO)

adalah seseorang yang dapat mengawasi secara langsung terhadap penderita

tuberkulosis pada saat minum obat setiap harinya dengan menggunakan panduan

obat jangka pendek. 2

Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sangat penting dipastikan bahwa pasien

menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan
4

langsung oleh seorang PMO. Pilihan tempat pemberian pengobatan sebaiknya

disepakati bersama pasien agar dapat memberikan kenyamanan. Pasien dapat

memilih datang ke fasilitas kesehatan terdekat dengan kediaman pasien atau PMO

datang berkunjung kerumah pasien.2,4

Menurut Khalifatul Ma’arif Zainal Firdaus mengenai Pengaruh Peranan

Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Keberhasilan Pengobatan TB Paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Baki Sukoharjo yang dikeluarkan pada tahun 2012

mendapatkan bahwa, keberhasilan pengobatan TB paru dipengaruhi oleh adanya

peran PMO. Menurut Erwin Kurniasih mengenai Pengaruh Peran Pengawas

Menelan Obat (PMO) Pasien Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Ngawi Kabupaten Ngawi, yang dikeluarkan pada tahun 2017 mendapatkan hasil

bahwa PMO yang berperan aktif memberikan dampak yang postif bagi penderita

TB paru untuk dapat tuntas pengobatan sehingga menghindari kejadian Multi

Drug Resistan (MDR) yang mengarah pada kekambuhan dan kematian.5

Dengan meningkatnya angka kejadian TB paru di Puskesmas DTP

Ciranjang menunjukkan masih banyaknya angka kejadian TB paru yang tidak

diketahui ataupun dilaporkan. Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi

tingginya angka kejadian TB di suatu daerah, dikarenakan kurang efektifnya

pengobatan. Efektifitas pengobatan sangat ditentukan oleh tingkat kepatuhan

pasien dalam meminum obat yang sangat dipengaruhi oleh peran PMO.

Keberhasilan PMO dalam tingkat kesembuhan pasien TB paru dipengaruhi oleh

salah satu faktor yaitu tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan.

1.1 Tujuan Penelitian


1.1.1 Tujuan Umum
5

Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan

PMO terhadap tingkat kesembuhan pasien TB paru dewasa di Puskesmas DTP

Ciranjang.

1.1.2 Tujuan Khusus


1. Menganalisa tingkat kesembuhan pasien TB paru di Puskesmas DTP

Ciranjang.
2. Menganalisa distribusi PMO berdasarkan tingkat pengetahuan di

Puskesmas DTP Ciranjang.


3. Menganalisa distribusi PMO berdasarkan tingkat pendidikan di

Puskesmas DTP Ciranjang.


4. Menganalisa hubungan tingkat Pendidikan PMO terhadap tingkat

kesembuhan pasien TB paru dewasa di Puskesmas DTP Ciranjang

periode 2017-2018.
5. Menganalisa hubungan tingkat pengetahuan PMO terhadap tingkat

kesembuhan pasien TB paru dewasa di Puskesmas DTP Ciranjang

periode 2017-2018.

1.2 Manfaat Penelitian


1.3.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal bagi penelitian

lanjutan mengenai peran PMO dalam keberhasilan kesembuhan TB.

1.3.2 Manfaat Praktis


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan bagi

dinas terkait dalam meningkatkan peran PMO.


6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Tuberkulosis Paru
2.1.1.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

bakteri kompleks Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga sebagai

Bakteri Tahan Asam (BTA). Penyakit ini dapat memengaruhi paru-paru,

meskipun organ lainnya dapat terlibat hingga sepertiga kasus. Jika tidak

diobati, penyakitnya bisa berakibat fatal dalam waktu 5 tahun. Penularan

biasanya terjadi melalui penyebaran udara droplet nuklei yang diproduksi oleh

pasien dengan TB paru.6

2.1.1.2 Epidemiologi6,7

Indonesia berada pada urutan kelima negara dengan beban TB

tertinggi di dunia. Pada tahun 2016 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis

sebanyak 351.893 kasus, meningkat bila dibandingkan kasus tuberkulosis

yang ditemukan pada tahun 2015 sebesar 330.729 kasus. Jumlah kasus

tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang

besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di

tiga provinsi tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus baru di

Indonesia. Jumlah kasus TB pada laki-laki lebih tinggi 1,4 kali dibandingkan

pada perempuan.

2.1.1.3 Faktor Resiko6

Faktor resiko untuk terjadinya penyakit tuberkulosis adalah:

1. Daya tahan tubuh yang lemah


2. Sosial ekonomi yang rndah akan meningkatkan resiko terinfeksi
7

3. Perumahan yang kurang memiliki syarat kesehatan


4. Kepadatan penduduk
5. Gizi yang kurang serta kebersihan lingkungan
6. Mycobacterium tuberculosis

2.1.1.4 Mycobacterium tuberculosis6,8

Mycobacterium tuberculosis termasuk dalam family

mikobakteriaceae dan ordo Actinomycetale. M. tuberkulosis merupakan

bakteri tahan asam berbentuk batang, tidak berspora, dengan lebar 0,5 μm dan

panjang 3 μm. Mikobacteria tidak dapat diklasifikasikan sebagai gram positif

atau gram negatif. Bakteri ini dapat terlihat di bawah mikroskop apabila telah

diwarnai dengan metode pewarnaan Ziehl-Neelsen. Bakteri ini termasuk

kedalam bakteri anaerob obligat yang mana untuk reproduksinya

membutuhkan kadar CO2 sebanyak 5-10% di lingkungannya. Waktu yang

diperlukan bakteri ini untuk berkembang biak berkisar 12-18 jam sehingga

kultur harus diinkubasi selama tiga sampai delapan minggu pada suhu 37° C

sampai proliferasi dari bakteri terlihat secara makroskopis.

Struktur dinding bakteri ini sangat spesial, karena dilengkapi dengan

lapisan murein yang terdiri dari banyak lipid, struktur terpenting pada bakteri

ini adalah glikolipid (lipoarabinogalactan), asam mikolat, mycosides dan lilin

D.

Gambar 2.1
Mycobacterium tuberculosis
(Harrison’s Principle of
Internal Medicine, ed.18)
8

2.1.1.3 Patogenesis Tuberkulosis6

Interaksi M. tuberkulosis dengan manusia dimulai saat droplet nuclei

yang mengandung mikroorganisme dari pasien infeksi terhirup. Sebagian besar

basil yang dihirup terjebak pada saluran napas bagian atas dan dikeluarkan oleh

sel mukosa bersilia, sementara sebagian kecil (biasanya <10%) mencapai

alveoli. Mikobakterium yang masuk secara endositosis ke dalam paru-paru akan

dikenali oleh makrofag.

Ketika berada di sitoplasma makrofag, mikobakterium bereplikasi di

dalam fagosom dengan memblokade fusi antara fagosom dan lisosom sehingga

fagolisosom tidak terbentuk. M. tuberculosis memblokade pembentukan

fagolisosom dengan cara menginhibisi sinyal Ca2+, perekrutan dan pengumpulan

protein yang memediasi fusi fagosom-lisosom sehingga tidak terjadi fagositosis

dari mikobakterium.

Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 14 minggu setelah

terpapar bakteri. Interaksi antara Mycobacterium tuberculosis dan sistem

kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan

baru yang disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup

dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma

selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah

dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag

dan bakteri akan menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang

berbentuk seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi kalsifikasi

dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi

nonaktif.
9

Setelah infeksi awal, jika respons sistem imun tidak adekuat maka

penyakit akan menjadi lebih parah. Progresifitas penyakit parah dapat terjadi

akibat infeksi ulang atau reaktivitas. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami

ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkus.

Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan

parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan

timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan seterusnya.

Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan

terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Makrofag

yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu

membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Daerah yang

mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan

fibroblas akan memberikan respons berbeda kemudian pada akhirnya

membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel. Lesi yang membesar

tersebut menyebabkan kerusakan pula dari dinding bronki dan pembuluh

darah di sekitar, maka pada tubuh penjamu akan ditemukan gejala klinis

seperti batuk dengan sputum yang berdarah, dan di dalam sputum tersebut

terdapat mikobakterium aktif yang bersifat sangat menular.

2.1.1.3 Klasifikasi6,2
Tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tuberculosis paru dan

tuberculosis ekstraparu.
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,

tidak termasuk pleura. Dibagi berdasarkan hasil BTA:


1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
10

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan

hasil BTA positif.


- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA

positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis

aktif.
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA

positif dan biakan positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-).


- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,

gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis

aktif.
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan

biakan M. Tuberculosis.
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Terdapat beberapa tipe pasien yaitu :


a. Kasus baru
Kasus baru yaitu pasien yang belum pernah mendapat pengobatan

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)

Kasus kambuh yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif

atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif atau

perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa

kemungkinan:
11

- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan

dan lain-lain.
- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang

berkompeten menangani kasus tuberculosis.


c. Kasus defaulted atau drop out

Kasus defaulted atau drop out adalah pasien yang telah menjalani

pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-

turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal

Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum

akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

e. Kasus kronik

Kasus kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih

positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori

2 dengan pengawasan yang baik.

f. Kasus Bekas TB
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan

gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau

foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat

pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.


- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah

mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak

ada perubahan gambaran radiologi.


12

B. Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ

tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang,

ginjal, saluran kencing dan lain-lain.

3.1.1.5 Manifestasi Klinis 7


Tuberkulosis paru dapat dikategorikan menjadi primer dan sekunder.
A. Tuberkulosis Primer
TB paru primer terjadi segera setelah infeksi awal tubercle bacilli.

Asimtomatik atau hadir dengan demam dan kadang nyeri dada

pleura. Lesi akan terbentuk setelah infeksi awal (fokus Ghon)

biasanya perifer dan disertai dengan limfadenopati hilar atau

paratrakeal transien, yang mungkin tidak terlihat pada radiografi dada

standar. Beberapa pasien mengalami eritema nodosum di kaki atau

phlyctenular conjungtivitis. Pada sebagian besar kasus, lesi sembuh

secara spontan dan hanya menjadi jelas sebagai nodul kalsifikasi

kecil.

B. Tuberkulosis Sekunder (Postprimary)


TB postprimary disebut TB tipe dewasa, akibat dari reaktivasi

endogen infeksi laten jauh yang terjadi beberapa tahun setelah infeksi

awal. Hal ini biasanya terlokalisasi ke segmen apikal dan posterior

lobus atas, dimana tekanan oksigen rata-rata lebih tinggi

(dibandingkan dengan yang di zona bawah) yang mendukung

pertumbuhan mikobakteri. Segmen yang superior lobus bawah juga

lebih sering terlibat. Keterlibatan besar segmen paru atau lobus,

dengan adanya koalesensi lesi, menghasilkan pneumonia casease.

2.1.1.4 Diagnosis6

2.1.1.6.1 Gejala klinik


13

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu

gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. Gejala

respiratorik seperti batuk lebih dari 3 minggu, batuk berdarah, sesak nafas, dan

nyeri dada. Sedangkan, gejala sistemik yaitu malaise, keringat malam,

anoreksia, dan berat badan menurun.

2.1.1.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas

bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan

paru, diafragma & mediastinum.

2.1.1.6.3 Pemeriksaan Penunjang TB paru


a) Pemeriksaan Bakteriologik.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari

dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan

lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),

urin, feces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).


b) Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto

lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik,

CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat

memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior

lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah,kaviti, terutama

lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau


14

nodular,bayangan bercak milier, efusi pleura unilateral (umumnya)

atau bilateral (jarang).


Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif, yaitu sebagai

berikut:
- Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
- Kalsifikasi atau fibrotic.
- Kompleks ranke.
- Fibrotoraks / Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.
c) Pemeriksaan cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura

perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu

menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung

diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan

eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit

dominan dan glukosa darah.


d) Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang

spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama

dan kedua sangat dibutuhkan. Demikian pula kadar limfosit bisa

menggambarkan biologik atau daya tahan tubuh penderita, yaitu

dalam keadaan supresi atau tidak. LED sering meningkat pada

proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak

menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik.


e) Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB

di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Prevalensi

tuberkulosis yang tinggi di Indonesia, pemeriksaan uji tuberkulin

sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang

dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi


15

dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila

kepositifan dari uji yang didapat besar sekali.

2.1.1.7 Pengobatan TB Paru2

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT).

2.1.1.7.1 Terapi Farmakologi2,4

A. Obat Antituberkulosis (OAT)

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam

jumlah yang cukup dan dosis yang tetap sesuai dengan kategori pengobatan.

Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis

Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Pengobatan

TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu:

1. Tahap awal (intensif)

Pada tahap ini penderita mendapatkan obat setiap hari dan perlu diawasi

secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan

tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, kemungkinan besar pasien

dengan BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap lanjutan
16

Pada tahap ini penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh

kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2.1.1.7.2 Obat Anti Tuberkulosis (AOT)2

Obat Anti Tuberkulosis adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 OAT Lini Pertama

Jenis Sifat Efek Samping


Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksis,
gangguan fungsi hati, dan kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu Syndrome, gangguan
gastrointestinal, urin berwarna
merah, gangguan fungsi hati,
trombositopenia, demam, skin rash,
sesak napas, anemia hemolitik
Pirazinamid Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan
(Z) fungsi hati, gout atritis
Streptomicin Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan
(S) keseimbangan dan pendengaran,
anemia, agranulositosis,
trombositopenia
Etambutol (E) Bakteriostatis Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer
17

A. Panduan minum OAT

Dalam buku Perhimpunan Dokter, pengobatan tuberkulosis dibagi

menjadi:

a. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Paduan ini dianjurkan untuk TB paru kasus baru dengan BTA positif,

pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif, dan pasien TB ekstra

paru.

Tabel 2.5 Dosis untuk paduan OAT-KDT kategori 1

Berat Badan Tahap intensif tiap Tahap lanjutan 3


hari selama 56 hari kali seminggu
THZE selama 16 minggu
(150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

b. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya, seperti pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan

pengobatan setelah putus obat (default).


18

Tabel 2.6 Dosis untuk Kategori 2

Tahap lanjutan 3 kali


Tahap Intesif tiap hari RHZE
seminggu RH (150/150/)
(150/75/400/275) + S
+ E (400)
Berat Badan
Selama 56
Selama 28 hari Selama 20 minggu
hari
2 tab
4KD+400mg 2 tab 2 KDT+ 2 tab
30-37 kg 2 tab 4KD
Streptomisisn Etambutol
inj.
3 tab
4KDT+750mg 3 tab 2 KDT+ 3 tab
38-54 kg 3 tab 4KD
Streptomisin Etambutol
Inj.
4 tab
4KDT+100mg 4 tab 2 KDT+ 4 tab
55-70 kg 4 tab 4KD
Streptomisin Etambutol
Inj.
5 tab
4KDT+750mg 5 tab 2 KDT+ 5 tab
≥71 kg 5 tab 4KD
Streptomisin Etambutol
Inj.

2.1.1.8 Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB4

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada pasien dewasa

dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopik. Pemeriksaan

dahak secara mikroskopik lebih baik jika dibandingkan dengan pemeriksaan


19

radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak

digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.

Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh

uji dahak, yaitu sewaktu dan pagi. Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila

kedua contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau

keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

2.1.1.9 Hasil Pengobatan Pasien TB2

Hasil pengobatan pasien TB memiliki beberapa kategori, yaitu:

Table 2.7 Kategori Hasil Pengobatan Pasien

Hasil
Definisi
Pengobatan
Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan
Sembuh
bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif
dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
Pengobatan
akhir pengobatan hasilnya negative namun tanpa ada
lengkap
bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhi
pengobatan
20

Hasil
Definisi
Pengobatan
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
Gagal lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila
selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium
yang menunjukkan adanya resistensi OAT
Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
Meninggal
memulai atau sedang dalam pengobatan
Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau
Putus berobat yang pengobatannya terputus selama dua bulan terus
menerus atau lebih
Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah
Tidak dievaluasi “pasien pindah (transfer out)” ke kota/kabupaten lain
dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahu oleh
kabuaten/kota yang ditinggalkan

2.1.1 Program DOTS di Indonesia2

DOTS (Directely Observerd Treatment Shortcourse) merupakan sebuah

startegi untuk mencegah terjadinya resistensi obat ataupun resistensi rifampicin

pada pasien TB. Penanggulangan TB dengan startegi DOTS telah memberikan

angka kesembuhan yang tinggi dan merupakan strategi yang paling efektif.

Dimana angka kesembuhannya mencapai 56 juta orang antara tahun 1995 sampai

2012.
21

Strategi ini terdiri dari lima komponen, yaitu:

1. Dukungan politik para pimpinan wilayah disetiap jenjang sehingga

program ini menjadi salah satu prioritas sehingga pendanaan dapat

terdedia.
2. Pemeriksaan mikroskopik sebagai komponen utama untuk mendiagnosa

TB melalui pemeriksaan sputum.


3. Pengawas Minum Obat (PMO) yaitu orang yang dikenal dan dipercaya

baik oleh pasien maupun oleh petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi

pasien dalam pengobatannya.


4. Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar.
5. Panduan obat anti TB jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan

jangka waktu yang tepat.

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien TB,

terutama tipe menular. Strategi ini akan memutus penularan TB dengan demikian

dapat menurunkan insiden TB di masyarakat.

2.1.1 Pengawas Minum Obat (PMO)2,9

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT jangka

pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamian berjalannya pengobatan

TB diperlukan adanya seorang Pengawas Minum Obat yang dapat mengawasi

secara langsung terhadap penderita tuberculosis pada saat minum obat setiap

harinya.

a. Persyaratan PMO:
22

- Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh

petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan

dihormati oleh pasien.


- Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
- Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
- Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama

dengan pasien.
b. Petugas PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, seperti Bidan di Desa,

Perawat, Juru imunisasi, Pekarya, Sanitarian, dan yang lain. Bila tidak

terdapat petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal

dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, tokoh masyarakat

ataupun anggota keluarga.


c. Tugas seorang PMO
- Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai

selesai pengobatan.
- Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
- Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu

yang telah ditentukan.


- Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang

memiliki gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera

memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.


d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan

kepada pasien dan keluarga:


- TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.
- TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
- Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahannya
- Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
- Pentingnya pengawasan agar pasien berobat teratur.
- Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera

meminta pertolongan ke fasilitas kesehatan.


23

2.1.1 Tingkat Kesembuhan TB Paru2

Pasien dinyatakan sembuh bila pasien telah menyelesaikan pengobatan

secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) paling sedikit dua kali

berturut-turut memiliki hasil negatif (yaitu pada akhir pengobatan dan atau

sebelum akhir pengobatan dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelimnya).

Dalam proses penyembuhan, penderita TB dapat diberikan obat anti – TB

(OAT) yang diminum secara teratur sampai selesai dengan pengawasan yang

ketat. Masa pemberian obat memang cukup lama yaitu 6-8 bulan secara terus-

menerus, sehingga dapat mencegah penularan kepada orang lain. Meskipun sudah

ada cara pengobatan tuberkulosis dengan efektivitas tinggi, angka sembuh lebih

rendah dari yang diharapkan. Kondisi seorang penderita penyakit tuberculosis

sering berada dalam kondisi rentan dan lemah, baik fisik maupun mentalnya.

Kelemahan itu dapat menyebabkan pasien tidak berobat, putus berobat, dana tau

menghentikan pengobatan.

Peran PMO sangat dibutuhkan untuk mendisiplinkan penderita TB paru

dan upaya penyembuhannya. Kerjasama petugas kesehatan dan keluarga dalam

mendampingi pasien TB, tingkat pengetahuan PMO dalam memahami perannya

sebagai pendamping pasien TB merupakan faktor yang perlu dievaluasi agar

mencapai hasil yang maksimal dalam kesembuhan pasien. Faktor-faktor lain yang

mempengaruhi angka kesembuhan TB paru:

A. Faktor sarana ditentukan oleh:


1) Pelayanan kesehatan: sikap petugas kesehatan terhadap pola

penyakit TB paru.
2) Logistik obat
B. Faktor penderita ditentukan oleh:
24

1) Pengetahuan penderita mengenai penyakit TB paru, cara

pengobatan, dan bahaya yang dapat ditimbulkan akibat berobat tidak

adekuat
2) Menjaga kondisi tubuh dengan makan makanan bergizi, cukup

istirahat, hidup teratur, dan tidak mengkonsumsi alkohol atau merokok.


3) Menjaga kebersihan diri dengan tidak membuang dahak

sembarangan, dan bila batuk menutup mulut dengan saputangan.


C. Faktor keluarga dan lingkunagan ditentukan oleh:
Dukungan keluarga baik secara fisik maupun secara mental, ventilasi

yang tidak baik, lantai rumah yang lembab, sirkulasi udara yang buruk

sebagai faktor lingkungan yang sering menyebabkan TB.


2.1.2 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan pada objek

terjadi melalui panca indera manusia yaitu, penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba.


2.1.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Faktor yang mempengaruhi pengetahuan diantaranya adalah:
A. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Semakin

tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah orang tersebut untuk menerima

informasi.
B. Media massa
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal ataupun non formal dapat

memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan perubahan atau

peningkatan pengetahuan.
C. Lingkungan
Lingkungan merupakn seluruh kondisi yang ada disekitar individu. Lingkungan

dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang maupun kelompok.


2.1.2.2 Pengukuran Pengetahuan
Tingkat pengetahuan seseorang dapat diukur dengan pengukuran kualitatif, yaitu:
A. Baik: menjawab pertanyaan dengan hasil benar 76-100%
25

B. Cukup: menjawab pertanyaan dengan hasil benar 56-75%


C. Kurang: menjawab pertanyaan dengan hasil benar < 56%
2.1 Kerangka Pemikiran

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga sebagai Bakteri Tahan Asam

(BTA). Tingkat kesembuhan pada pasien TB paru dapat menurun, jika terdapat

hal-hal seperti, resistensi, tingkat kepatuhan, dan efektifitas obat. Untuk

mencegah hal-hal tersebut, pemerintah membutuhkan strategi DOTS. Pada

stretegi DOTS terdapat 5 komponen kunci untuk keberhasilan kesembuhan,

salah satunya adalah terdapat PMO. Kinerja PMO yang baik dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan.

Resistensi

Tingkat
TB Kesembuhan Tingkat Strategi
Paru Kepatuhan DOTS

Efektifitas
obat PMO

Tingkat Tingkat
Gambar 2.7 Diagram KerangkaPengetahuan
Pemikiran pendidikan

BAB III
26

SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah Pasien TB Paru dan Petugas Pengawas

Minum Obat (PMO) di Puskesmas DTP Ciranjang.

3.1.1 Populasi

3.1.1.1 Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh Paasien TB Paru dan

Petugas Pengawas Minum Obat (PMO) di Jawa Barat.

3.1.1.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah Petugas Pengawas Minum

Obat (PMO) dan pasien TB paru di Puskesmas DTP Ciranjang periode 2017.

3.1.1.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

1. Pasien TB paru dewasa.


2. Pasien TB paru dengan hasil BTA (+) pada awal pengobatan.
3. Pasien TB paru yang telah mendapatkan pengobatan selama 6 bulan
4. Pengawas Minum Obat (PMO) bagi TB paru dewasa di Puskesmas DTP

Ciranjang
5. Pengawas Minum Obat (PMO) bagi pasien TB paru yang memiliki hasil

BTA (+) pada awal pengobatan.


6. PMO bagi pasien TB paru yang telah menjalani perawatan selama 6 bulan.

3.1.1.2.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:


27

1. Pasien TB paru dewasa yang tidak memiliki Petugas PMO


2. PMO bagi pasien TB Paru dewasa yang tidak bersedia mengisi

kuesioner

3.1.2 Sampel Penelitian

3.1.2.1 Besaran Sampel Penelitian

Sampel yang diambil secara total sampling PMO pada pasien dewasa

yang didiagnosa tuberkulosis di Puskesmas DTP Ciranjang tahun 2017.

Berdasarkan hasil survey yang didapatkan penulis, total PMO pada pasien dewasa

yang didiagnosa tuberkulosis di Puskesmas DTP Ciranjang pada tahun 2017

adalah 170 orang.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan metode analitik retrospektif

dengan pendekatan cross sectional untuk melihat hubungan tingkat pendidikan

dan tingkat pengetahuan PMO terhadap tingkat kesembuhan pasien TB paru

dewasa periode 2017. Data yang digunakan berupa data primer yaitu kuesioner

dan data rekam medik.

2.2.2 Variabel Penelitian


2.2.2.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dari penelitian ini adalah hubungan tingkat pendidikan dan

tingkat pengetahuan PMO.


28

2.2.2.2 Variabel Terikat

Variabel terikat dari penelitian ini adalah Tingkat kesembuhan pada pasien

TB paru.

2.2.3 Definisi Operasional

Definisi operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut


Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur Pengukura
n
1. Tingkat Jenjang Ijazah 1. Lulus TK Ordinal
Pendidika pendidikan 2. Lulus SD
n sekolah 3. Lulus SMP
formal yang 4. Lulus SMA
telah 5. Lulus
diselesaikan Perguruan Tinggi
oleh individu
terhitung
29

sampai
dengan saat
pengambilan
data
dilakukan

Penilaian
yang
2. Tingkat dilakukan Kuesioner 1. Baik, jika Ordinal
Pengetahu terhadap nilai benar
jawaban 75-100%
an
individu 2. Cukup, jika
mengenai nilai benar
pertanyaan 56-75%
seputar 3. Kurang, jika
nilai nenar
<74%

3. Tingkat
Kesembuhan
adalah hasil Data Kategori
Tingkat 1. Sembuh
dari upaya Rekam k
Kesembuh Medik 2. Tidak
dalam
Sembuh
an menjaga
kondisi fisik,
mental, dan
kesejahteraan
social.

2.2.4 Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang akan peneliti lakukan untuk penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan
Pada awal penelitian, peneliti melakukan survei pertama untuk

melihat data apa saja yang tercantum dalam rekam medik penderita TB

Paru di Puskesmas DTP Ciranjang. Peneliti juga melakukan persiapan

perizinan seperti menyiapkan surat-surat yang diperlukan untuk

melakukan penelitian di Puskesmas DTP Ciranjang.


30

2. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas DTP Ciranjang yang

berlokasi di Jalan Rumah Sakit No.194, Ciranjang, Kabupaten Cianjur,

Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada periode 2017-2018.


Setelah melakukan proses perizinan dengan pihak Puskesmas DTP

Ciranjang, Proses penyebaran kuesioner terhadap Pengawas Minum

Obat (PMO) pada pasien TB Paru dewasa yang sudah diambil data

rekam mediknya. Setelah mendapatkan data yang masuk kriteria

inklusi akan dianalisis dan akan diolah secara analitik.

3. Pengolahan Data
a. Editing
Untuk melihat data yang masuk memenuhi syarat atau tidak.

Pengeditan data juga dilakukan untuk melengkapi kekurangan atau

menghilangkan kesalahan yang terdapat pada data.


b. Coding
Untuk mengkuantifikasi data kualitatif atau membedakan aneka

karakter. Pemberian kode ini dilakukan baik secara manual

maupun menggunakan komputer.


c. Entry
Data yang telah terkumpul dan sudah tersusun sesuai dengan

variabel penelitian akan dimasukkan kedalam program komputer

untuk diolah.
d. Cleaning
Peneliti akan memeriksaan data yang telah dimasukkan ke dalam

program komputer guna mneghindari terjadinya kesalahan pada

pemasukkan data.
4. Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif yaitu menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau

menggambarkan data yang didapatkan. Data analisis secara diskriptif


31

ini akan menghasilkan distribusi dan persentase dari setiap variabel,

dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Selain itu, penelitian ini

menggunakan software statistik di komputer.

2.2.5 Alur Penelitian

Prosedur yang dilakukan penelitian ini tergambar dalam skema di bawah

ini:

Perizinan pada Puskesmas DTP Ciranjang

Penetapan subjek yang berdasarkan kriteria


inklusi dan eksklusi

Pengambilan data dengan kuesioner dan data rekam medik

Pengolahan data

Hasil Penelitian

Gambar 3.1 Skema Alur Penelitian

2.2.6 Tempat dan Waktu Penelitian


2.2.6.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas DTP Ciranjang yang berlokasi di Jalan

Rumah Sakit No.194, Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.


32

2.2.6.2 Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Januari – Juli 2018

Tabel 3.2 Waktu Penelitian

No Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu


Penelitian 2018 2018 2018 2018 2018 2018
2018
2018
1. Penyusunan
proposal
penelitian dan
pencarian
referensi
2. Sidang UP
3. Pengumpulan
data

4. Analisis data
5. Laporan Skripsi
6. Sidang Skripsi

2.2.7 Aspek Etika Penelitian

Aspek Etika dalam penelitian ini adalah mendapat perizinan dari pihak

Puskesmas DTP Ciranjang selaku pemilik catatan medik dan tidak mencantumkan

nama pasien (anonym) saat mengambl data identitas pasien untuk menjaga

kerahasiaan pasien.
33

1. Beneficience dan Non-Maleficience, hasil penelitian ini dapat bermanfaat

khususnya bagi peneliti, dan umumnya bagi pembaca dan tidak merugikan subjek

peneliti dalam aspek kerahasiaan. Dalam penelitian ini, peneliti juga

mengutamakan kenyamanan subjek penelitian dan tidak sampai mengganggu

proses pengobatan yang dijalani oleh subjek penelitian.


2. Authority, pihak puskesmas menerima penelitian yang telah dilaksanakan.
3. Justice, dalam penelitian ini rekam medik dan hasil kuesioner semua

responden tidak dibedakan berdasar status ekonomi, usia, agama, maupun

kedudukan sosial.
4. Autonomy, dalam penelitian ini peneliti merahasiakan identitas subjek,

tidak dicantumkan pada laporan, tidak dipublikasikan kepada public, dalam

penelitian ini peneliti tidak memberi tekanan kepada subjek penelitian yang dapat

mengganggu dari hak pasien.


2.2.8 Dummy Table
Dummy table pada penelitian ini adalah sebagai berikut
Tabel 3.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan n %
TK
SD
SMP
SMA
PT

Tabel 3.4 Tabel Tingkat Pengetahuan

Tingkat Pengetahuan n %
Baik
Cukup
Kurang
34

Tabel 3.5 Tingkat Kesembuhan

Tingkat Kesembuhan n %
BTA (+)
BTA (-)

Tabel 3.6 Distribusi PMO berdasarkan Tingka Pengetahuan

Tingkat Pengetahuan n %
Baik
Cukup
Kurang

Tabel 3.7 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Tingkat Kesembuhan

Tingkat Tingkat Kesembuhan

Pengetahuan BTA (+) BTA (-)

Baik
Cukup
Kurang

También podría gustarte