Está en la página 1de 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK N DENGAN SUSPEK

THYPOID DI RUANG MULTAZAM 5 RUMAH SAKIT


MUHAMMADIYAH BANDUNG
TAHUN 2017

Disusun Oleh :

Elisabeth Nur Dwi Kristanti

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AISYIYAH BANDUNG
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan

oleh Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype paratyphi A, B, atau C (demam paratifoid).

Demam tifoid ditandai antara lain dengan demam tinggi yang terus menerus

bisa selama 3-4 minggu, toksemia, denyut nadi yang relatif lambat, kadang

gangguan kesadaran seperti mengigau, perut kembung, splenomegali dan

lekopeni.

Di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia, demam tifoid

masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat, berbagai upaya yang

dilakukan untuk memberantas penyakit ini tampaknya belum memuaskan.

Sebaliknya di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang

misalnya, seiring dengan perbaikan lingkungan, pengelolaan sampah dan

limbah yang memadai dan penyediaan air bersih yang cukup, mampu

menurunkan insidensi penyakit ini secara dramatis.

Di abad ke 19 demam tifoid masih merupakan penyebab kesakitan dan

kematian utama di Amerika, namun sekarang kasusnya sudah sangat

berkurang. Tingginya jumlah penderita demam tifoid tentu menjadi beban

ekonomi bagi keluraga dan masyarakat. Besarnya beban ekonomi tersebut sulit

dihitung dengan pasti mengingat angka kejadian demam tifoid secara tepat tak

dapat diperoleh.
WHO memperkirakan jumlah kasus demam thypoid di seluruh dunia

mencapai 17 juta kasus demam thypoid. Data surveilans saat ini

memperkirakan di Indonesia ada 600.000 –1,3 Juta kasus demam thypoid

tiap tahunnya dengan lebih dari 20.000 kematian. Rata-rata di Indonesia,

orang yang berusia 3-19 tahun memberikan angka sebesar 91%

terhadapkasus demam thypoid (WHO, 2012).Profil Kesehatan Indonesia

tahun 2011memperlihatkan bahwa gambaran 10 penyakit terbanyak pada

pasien rawat inap di rumah sakit, prevalensi kasus demam thypoid sebesar

5,13% . Penyakit ini termasuk dalam kategori penyakit dengan Case Fatality

Rate tertinggi sebesar 0,67%, Pada laporan riset kesehatan dasar nasional

tahun 2007 memperlihatkan bahwa prevalensi demam thypoid di Jawa

Tengah sebesar 1,61% yang 2 tersebar di seluruh kabupaten dengan prevalensi

yang berbeda beda di setiap tempat.

Oleh karena latar belakang di atas, penulis ingin menyusun asuhan

keperawatan pada anak N dengan suspek thypoid di ruang multazam 5 rumah

sakit muhammadiyah bandung tahun 2017.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi thypoid?
2. Apakah etiologi thypoid?
3. Apakah manifestasi klinis thypoid?
4. Bagaimana pathways thypoid?
5. Apakah komplikasi thypoid?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan thypoid?
7. Apakah pemeriksaan penunjang thipoid?
8. Bagaimanakah tinjauan askep secara teori?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi thypoid
2. Mengetahui etiologi thypoid
3. Apakah manifestasi klinis thypoid?
4. Bagaimana pathways thypoid?
5. Apakah komplikasi thypoid?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan thypoid?
7. Apakah pemeriksaan penunjang thipoid?
8. Bagaimanakah tinjauan askep secara teori?
BAB II
KONSEP DASAR

A. Definisi
Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan
pencernaan, dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Typhoid adalah penyakit infeksi yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari tujuh hari, gangguan pada
saluran cerna atau gangguan kesadaran (Mansjoer A, 2000).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
cerna dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan
kesadaran (Suriadi, 2001).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh
kuman salmonella thypi (Juwono R, 1996).
Typhoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang
disebabkan oleh salmonella thypii (Hidayat, 2006).

B. Etiologi
Penyebab typhoid adalah kuman salmonella typosa dan salmonella paratyphi
A, B, dan C memasuki saluran pencernaan (Noer, 1996).
Penyebab typhoid adalah kuman salmonella typosa, yang merupakan basil
gram negatif bergerak dengan rambut getar dan tidak berspora. Kuman
mempunyai 3 macam :
1. Antigen O (Ogne Houch) Somaus (terdiri dari rantai kompleks lipopoli
sakarida).
2. Antigen H (Houch) terdapat pola flagella.
3. Antigen Vi (Kapsul) merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi O antigen terhadap fagositosis (Hasan, 1991).
Kuman salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan suhu 37oC
dan mati pada suhu 54,4 ͦ C.

C. Manifestasi klinis
Pada minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut
pada umumnya yaitu : demam, nyeri kepala, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, konstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan pemeriksaan suhu tubuh.
Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia, lidah kotor, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran
berupa somnolen sampai koma (Rampengan, 1993).
Menurut Ngastiyah (2005), gejala prodromal ditemukan seperti perasaan tidak
enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan
berkurang. Gambaran klinis yang biasa ditemukan ialah :
1. Demam.
Biasanya berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten, dan suhu tidak
tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore
dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan
demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan.
Pada mulut nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kotor, perut kembung, hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan, dapat disertai konstipasi atau diare.
3. Gangguan kesadaran.
Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak dalam yaitu apatis
sampai somnolen, jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (kecuali
penyakitnya berat). Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan
roseola (bintik-bintik kemerahan).
D. Pathways
Penularan Salmonella thypii dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada penderita
typhoid dapat menularkan kuman Salmonella thypii kepada orang lain. Kuman
tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap
dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang
tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan
makanan yang tercemar kuman Salmonella thypii masuk ke tubuh orang yang
sehat melalui mulut.
Salmonella thyposa masuk melaui saluran pencernaan kemudian masuk
ke lambung. Basil akan masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian
distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limfoid ini kuman
berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel
retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman
ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya
masuk limpa, usus halus dan kandung empedu ke organ terutama hati dan limpa
serta berkembangbiak sehingga organ-organ tersebut membesar (Ngastiyah
2005).
Semula klien merasa demam akibat endotoksin, sedangkan gejala pada
saluran pencernaan di sebabkan oleh kelainan pada usus halus. Pada minggu
pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks payers. Ini terjadi pada kelenjar limfoid
usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi
ulserasi plak pyeri (Suriadi 2006).
E. Komplikasi

1. Pada usus halus. Umumnya jarang terjadi tetapi bila terjadi sering fatal.
a. Perdarahan usus.
Bila sedikit, hanya dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika
perdarahan banyak terjadi melena, dapat disertai nyeri perut dengan
tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi usus.
Biasanya timbul pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto
rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis.
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang.

2. Komplikasi di luar usus.


Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia), yaitu
meningitis, koleosistisis, ensefalopati. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu
bronkopneumonia.

F. Penatalaksanaan
1. Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk di isolasi,
observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5 - 7 hari bebas panas,
tetapi tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid
dimasa lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan
kondisi penderita.
Penderita dengan kesadaran menurun posisi tubuhnya perlu diubah - ubah
untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
2. Diet
Diet demam thypoid adalah diet yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan makan penderita thypoid dalam bentuk makanan
lunak rendah serat. Tujuan utama diet demam thypoid adalah memenuhi
kebutuhan nutrisi penderita demam thypoid dan mencegah
kekambuhan. Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani
perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter
untuk di konsumsi, antara lain:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan
makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa
sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran
cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya
komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet
sisa rendah adalah:
a. Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
c. Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
e. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat
maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi
perorangan
f.Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat)
sesuai dengan toleransi perorangan.
g. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam
dan berbumbu tajam.
h. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak
terlalu panas dan dingin
i. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
j. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus,
diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula,
atau makanan parenteral.
Makanan yang dianjurkan antara lain :
a. Sumber karbohidrat : beras dibubur/tim, roti bakar, kentang rebus, krakers,
tepung-tepungan dibubur atau dibuat puding
b. Sumber protein hewani: daging empuk, hati, ayam, ikan direbus, ditumis,
dikukus,diungkep, dipanggang; telur direbus, ditim, diceplok air, didadar,
dicampur dalam makanan dan minuman; susu maksimal 2 gelas per hari
c. Sumber protein nabati : tahu, tempe ditim, direbus, ditumis; pindakas;
susu kedelai
d. Sayuran : sayuran berserat rendah dan sedang seperti kacang panjang,
buncis muda, bayam, labu siam, tomat masak, wortel direbus, dikukus,
ditumis
e. Buah-buahan : semua sari buah; buah segar yang matang (tanpa kulit dan
biji) dan tidak banyak menimbulkan gas seperti pepaya , pisang, jeruk,
alpukat
f. Lemak nabati : margarin, mentega, dan minyak dalam jumlah terbatas
untuk menumis, mengoles dan setup
g. Minuman : teh encer, sirup
h. Bumbu : garam, vetsin, gula, cuka, salam, laos, kunyit, kunci dalam
jumlah terbatas

Diet dengan semua nutrisi penting


a. Energi
Dianjurkan untuk meningkatkan asupan energi dengan 10-20% karena
kenaikan suhu tubuh. Awalnya, selama tahap akut, pasien mungkin dapat
hanya mengkonsumsi 600-1200kcal/day, tetapi asupan energi harus
berangsur-angsur meningkat dengan pemulihan dan toleransi
ditingkatkan.
b. Protein
Kebutuhan protein lebih terkait dengan keparahan dan durasi infeksi
daripada ketinggian demam. Karena ada kerusakan jaringan yang
berlebihan, asupan protein harus ditingkatkan untuk 1,5 sampai 2gm
protein / kg / berat badan / hari. Untuk meminimalkan kehilangan jaringan,
makanan protein nilai biologis tinggi seperti susu dan telur harus
digunakan secara bebas karena mereka yang paling mudah dicerna dan
diserap. Untuk mencapai hal ini, makan secara teratur harus ditambah
dengan minuman protein tinggi.
c. Carbohydrares
Asupan karbohidrat liberal disarankan untuk mengisi toko glikogen habis
tubuh. Mudah dicerna, karbohidrat juga dimasak seperti pati sederhana,
glukosa, madu, gula tebu dll harus dimasukkan karena mereka
memerlukan pencernaan lebih sedikit dan berasimilasi dengan baik.
d. Diet Serat
Sebagai gejala tipus termasuk diare dan lesi di saluran usus, segala bentuk
iritasi harus dihilangkan dari diet. Semua serat, kasar menjengkelkan harus,
karena itu akan dihindari dalam diet, karena merupakan iritan mekanik.
e. Lemak
Karena adanya diare, emulsi lemak bentuk seperti krim, mentega, susu,
kuning telur, harus dimasukkan dalam diet, karena mereka mudah dicerna.
Makanan yang digoreng yang sulit untuk dicerna harus dihindari.
f. Mineral
Karena hilangnya elektrolit yang berlebihan seperti sup natrium, kalium
dan klorida asin, kaldu, jus buah, susu harus dimasukkan untuk
mengkompensasi hilangnya elektrolit. Suplemen zat besi harus diberikan
untuk mencegah anemia.
e. Vitamin
Karena infeksi dan demam resultants, ada kebutuhan untuk meningkatkan
asupan Vitamin A dan C.
f. Cairan
Dalam rangka untuk mengkompensasi kerugian melalui kulit dan keringat
dan juga untuk memastikan volume yang memadai urin untuk
mengeluarkan limbah, asupan cairan liberal sangat penting dalam bentuk
minuman, sup, jus, air biasa dll.
Jadi energi yang tinggi, protein tinggi, diet cairan penuh dianjurkan di
awal dan segera setelah demam turun, serat, hambar rendah, diet lunak
harus diberikan kepada pasien.
3. Obat
Obat - obat antimikrobia yang sering digunakan :
a. Kloramfenikol
b. Tiamfenikol
c. Cotrimoxazole
d. Ampicilin dan amoxilin
Klorampenikol dengan dosis tinggi, yaitu 100mg/kgBB/hari (maksimum)
2 gram/hari, diberikan peroral atau intravena. Pemberian kloramfenikol
dengan dosis tinggi tersebut mempersingkat waktu perawatan dan
mencegah relaps. Efek negatifnya adalah mungkin pembentulan zat anti
berkurang karena basil terlalu cepat di musnahkan. Dapat juga diberikan
Tiampenikol, Kotrimoxazol, Amoxilin dan ampicillin disesuaikan dengan
keluhan anak. Kloramfenikol digunakan untuk memusnahkan dan
menghentikan penyebaran kuman. Diberikan sebagai pilihan utama untuk
mengobati demam thypoid di Indonesia.
Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. Bila
terjadi dehidrasi dan asidosis diberikan cairan intravena
Obat - obat simtomatik : Antipiretika

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari :
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit
pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-
kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi
sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam
typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa
faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang
lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam
tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu
kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia
sehingga biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
biakan mungkin negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat
dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari
uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien
yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi,
klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
typhoid.

Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :


a. Faktor yang berhubungan dengan klien :
1.Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai
dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya
pada minggu ke-5 atau ke-6.
3. Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat
menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi
seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti
mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut
dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi
sistem retikuloendotelial.
6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan
kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin
O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan
titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh
sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang
mempunyai nilai diagnostik.
7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya :
keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun
dengan hasil titer yang rendah.
8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin
terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam
yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella
di masa lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung
antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu
spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi
hasil uji widal.
3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada
penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen
dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain
lain.
5. Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan yang dapat dijadikan alternatif untuk mendeteksi penyakit
demam tifoid lebih dini adalah mendeteksi antigen spesifik dari kuman
Salmonella (lipopolisakarida O9) melalui pemeriksaan IgM Anti
Salmonella (Tubex TF). Pemeriksaan ini lebih spesifik, lebih sensitif, dan
lebih praktis untuk deteksi dini infeksi akibat kuman Salmonella thypii.
Keunggulan pemeriksaan Tubox TF antara lain bisa mendeteksi secara
dini infeksi akut akibat Salmonella thypii, karena antibody IgM muncul
pada hari ke 3 terjadinya demam. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap
kuman Salmonella (lebih dari 95%). Keunggulan lain hanya dibutuhkan
sampel darah sedikit, dan hasil dapat diperoleh lebih cepat.
H. Tinjauan Askep Secara Teori
1. Fokus Pengkajian
Pengkajian adalah suatu fase permulaan dari proses keperawatan
yang mempunyai komponen utama yaitu mengumpulkan data,
memvalidasi data, mengorganisasi data dan menuliskan data. Data yang
perlu di kaji meliputi data subyektif dan obyektif (NANDA, NIC & NOC :
2010).
Data-data tersebut terdiri dari :
a. Aktifitas Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, cepat lelah, merasa gelisah dan
ansietas.Pembatasan aktivitas karena proses penyakit.
b.Sirkulasi
Tanda : Takikardia (respon terhadap demam, proses inflamasi
dan nyeri). TD : hipotensi, termasuk postural. Kulit/Membran mukosa :
turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).
c. Integritas Ego
Gejala: Ansietas, ketakutan, emosi kesal, missal : perasaan tak
berdaya. Faktor stress missal : hubungan dengan keluarga/
pekerjaan, pengobatan mahal. Tanda : Menolak, perhatian menyempit,
depresi.
d. Eliminasi
Gejala: Tektur feses bervariasi dari bentuk lunak sampai bau/berair.
Tanda : Menurunnya bising usus, tak ada peristaltik, atau adanya
peristaltik yang dapat dilihat.
e. Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, mual-muntah, BB menurun. Tanda : Penurunan
lemak subkutan / massa otot, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit
buruk, membran mukos pucat.
f. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri/nyeri tekan pada kuadran kiri bawah.
Tanda : Nyeri tekan abdomen.
g. Keamanan
Gejala : Peningkatan suhu tubuh 39,6-40 derajat Celsius, alergi
terhadap
Makanan yang mengeluarkan histamine kedalam usus dan mempunyai
efek inflamasi.
Tanda: Lesi kulit mungkin ada misalnya : eritema nodusum
(meningkat, nyeri tekan, kemerahan dan bengkak) (Doenges, M.E
: 2000).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resti cedera b/d efek samping tindakan fototerapi, komplikasi
transfuse tukar, peningkatan bilirubin sekunder dari pemecahan sel
darah merah dan gangguan eksresi bilirubin.
b. Resiko kurangnya volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan,
fototerapi, diare.
c. Resiko kerusakan integritas kulit b/d fototerapi
3. Rencana Keperawatan
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

1 Hipertemia b/d proses infeksi NOC : NIC :


salmonella thyposa Thermoregulation Fever treatment
Kriteria Hasil :  Monitor suhu sesering
Definisi : suhu tubuh naik diatas  Suhu tubuh dalam mungkin
rentang normal rentang normal  Monitor IWL
 Nadi dan RR  Monitor warna dan
Batasan Karakteristik: dalam rentang suhu kulit
 Kenaikan suhu tubuh diatas normal  Monitor tekanan
rentang normal  Tidak ada darah, nadi dan RR
 serangan atau konvulsi perubahan warna  Monitor penurunan
(kejang) kulit dan tidak ada tingkat kesadaran
 kulit kemerahan pusing, merasa  Monitor WBC, Hb,
 pertambahan RR, takikardi nyaman dan Hct
 saat disentuh tangan terasa  Monitor intake dan
hangat output
 Kolaborasi pemberian
Faktor faktor yang berhubungan anti piretik
 penyakit/ trauma  Berikan pengobatan
 peningkatan metabolisme untuk mengatasi
 aktivitas yang berlebih penyebab demam
 pengaruh medikasi/anastesi  Selimuti pasien
ketidakmampuan/penurunan  Lakukan tapid sponge
kemampuan untuk berkeringat  Kolaboraikan dengan
 terpapar di lingkunga panas dokter mengenai
 dehidrasi pemberian cairan
 pakaian yang tidak tepat intravena sesuai
program
 Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila
 Tingkatkan sirkulasi
udara
 Berikan pengobatan
untuk mencegah
terjadinya menggigil
Temperature regulation
 Monitor suhu minimal
tiap 2 jam
 Rencanakan
monitoring suhu
secara kontinyu
 Monitor TD, nadi, dan
RR
 Monitor warna dan
suhu kulit
 Monitor tanda-tanda
hipertermi dan
hipotermi
 Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
 Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
 Ajarkan pada pasien
cara mencegah
keletihan akibat panas
 Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan
suhu dan kemungkinan
efek negatif dari
kedinginan
 Beritahukan tentang
indikasi terjadinya
keletihan dan
penanganan
emergency yang
diperlukan
 Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan
penanganan yang
diperlukan
 Berikan anti piretik
jika perlu

Vital sign Monitoring


 Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
 Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
 Monitor VS saat
pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
 Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
 Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
 Monitor kualitas dari
nadi
 Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
 Monitor suara paru
 Monitor pola
pernapasan abnormal
 Monitor suhu, warna,
dan kelembaban kulit
 Monitor sianosis
perifer
 Monitor adanya
cushing triad (tekanan
nadi yang melebar,
bradikardi,
peningkatan sistolik)
 Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign
2 Resiko defisit volume cairan b/d NOC: Fluid management
pemasukan yang kurang, mual, v Fluid balance · Timbang
muntah/pengeluaran yang v Hydration popok/pembalut jika
berlebihan, diare, panas tubuh v Nutritional Status : diperlukan
Food and Fluid Intake· Pertahankan catatan
Definisi : Penurunan cairan Kriteria Hasil : intake dan output yang
intravaskuler, interstisial, dan/atau
v Mempertahankan urine akurat
intrasellular. Ini mengarah ke output sesuai dengan · Monitor status hidrasi (
dehidrasi, kehilangan cairan usia dan BB, BJ urine kelembaban membran
dengan pengeluaran sodium normal, HT normal mukosa, nadi adekuat,
v Tekanan darah, nadi, tekanan darah ortostatik ),
Batasan Karakteristik : suhu tubuh dalam jika diperlukan
- Kelemahan batas normal · Monitor vital sign
- Haus v Tidak ada tanda tanda · Monitor masukan
- Penurunan turgor kulit/lidah dehidrasi, Elastisitas makanan / cairan dan
- Membran mukosa/kulit kering turgor kulit baik, hitung intake kalori harian
- Peningkatan denyut nadi, membran mukosa · Lakukan terapi IV
penurunan tekanan darah, lembab, tidak ada rasa· Monitor status nutrisi
penurunan volume/tekanan nadi haus yang berlebihan · Berikan cairan
- Pengisian vena menurun · Berikan cairan IV pada
- Perubahan status mental suhu ruangan
- Konsentrasi urine meningkat · Dorong masukan oral
- Temperatur tubuh meningkat · Berikan penggantian
- Hematokrit meninggi nesogatrik sesuai output
- Kehilangan berat badan seketika · Dorong keluarga untuk
(kecuali pada third spacing) membantu pasien makan
Faktor-faktor yang berhubungan: · Tawarkan snack ( jus
- Kehilangan volume cairan buah, buah segar )
secara aktif · Kolaborasi dokter jika
- Kegagalan mekanisme tanda cairan berlebih
pengaturan muncul meburuk
· Atur kemungkinan
tranfusi
· Persiapan untuk
tranfusi

3 Resiko ketidakseimbangan nutrisi NOC : Nutrition Management


kurang dari kebutuhan tubuh b/d v Nutritional Status : food
§ Kaji adanya alergi makanan
intake kurang akibat mual, and Fluid Intake § Kolaborasi dengan ahli gizi
muntah, anoreksia, atau output Kriteria Hasil : untuk menentukan jumlah
yang berlebihan akibat diare. v Adanya peningkatan kalori dan nutrisi yang
berat badan sesuai dibutuhkan pasien.
Definisi : Intake nutrisi tidak dengan tujuan § Anjurkan pasien untuk
cukup untuk keperluan v Berat badan ideal sesuai meningkatkan intake Fe
metabolisme tubuh. dengan tinggi badan § Anjurkan pasien untuk
v Mampu meningkatkan protein dan
Batasan karakteristik : mengidentifikasi vitamin C
- Berat badan 20 % atau lebih di kebutuhan nutrisi § Berikan substansi gula
bawah ideal v Tidak ada tanda tanda § Yakinkan diet yang
- Dilaporkan adanya intake malnutrisi dimakan mengandung
makanan yang kurang dari RDA v Tidak terjadi penurunan tinggi serat untuk
(Recomended Daily Allowance) berat badan yang mencegah konstipasi
- Membran mukosa dan berarti § Berikan makanan yang
konjungtiva pucat terpilih ( sudah
- Kelemahan otot yang digunakan dikonsultasikan dengan
untuk menelan/mengunyah ahli gizi)
- Luka, inflamasi pada rongga § Ajarkan pasien bagaimana
mulut membuat catatan makanan
- Mudah merasa kenyang, sesaat harian.
setelah mengunyah makanan § Monitor jumlah nutrisi dan
- Dilaporkan atau fakta adanya kandungan kalori
kekurangan makanan § Berikan informasi tentang
- Dilaporkan adanya perubahan kebutuhan nutrisi
sensasi rasa § Kaji kemampuan pasien
- Perasaan ketidakmampuan untuk untuk mendapatkan nutrisi
mengunyah makanan yang dibutuhkan
- Miskonsepsi
- Kehilangan BB dengan makanan
cukup Nutrition Monitoring
- Keengganan untuk makan § BB pasien dalam batas
- Kram pada abdomen normal
- Tonus otot jelek § Monitor adanya penurunan
- Nyeri abdominal dengan atau berat badan
tanpa patologi § Monitor tipe dan jumlah
- Kurang berminat terhadap aktivitas yang biasa
makanan dilakukan
- Pembuluh darah kapiler mulai § Monitor interaksi anak atau
rapuh orangtua selama makan
- Diare dan atau steatorrhea § Monitor lingkungan selama
- Kehilangan rambut yang cukup makan
banyak (rontok) § Jadwalkan pengobatan dan
- Suara usus hiperaktif tindakan tidak selama jam
- Kurangnya informasi, makan
misinformasi
§ Monitor kulit kering dan
Faktor-faktor yang berhubungan : perubahan pigmentasi
Ketidakmampuan pemasukan atau § Monitor turgor kulit
mencerna makanan atau § Monitor kekeringan,
mengabsorpsi zat-zat gizi rambut kusam, dan mudah
berhubungan dengan faktor patah
biologis, psikologis atau ekonomi. § Monitor mual dan muntah
§ Monitor kadar albumin,
total protein, Hb, dan
kadar Ht
§ Monitor makanan kesukaan
§ Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
§ Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
§ Monitor kalori dan intake
nuntrisi
§ Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas
oral.
§ Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet

4 Gangguan pola defeksi : diare b/d NOC: NIC :


proses peradangan pada dinding v Bowel elimination Diarhea Management
usus halus v Fluid Balance v Evaluasi efek samping
v Hydration pengobatan terhadap
gastrointestinal
v Electrolyte and Acid v Ajarkan pasien untuk
base Balance menggunakan obat
Kriteria Hasil : antidiare
v Feses berbentuk, BAB v Instruksikan
sehari sekali- tiga hari pasien/keluarga
v Menjaga daerah sekitar untukmencatat warna,
rectal dari iritasi jumlah, frekuenai dan
v Tidak mengalami diare konsistensi dari feses
v Menjelaskan penyebabv Evaluasi intake makanan
diare dan rasional yang masuk
tendakan v Identifikasi factor
v Mempertahankan turgor penyebab dari diare
kulit v Monitor tanda dan gejala
diare
v Observasi turgor kulit
secara rutin
v Ukur diare/keluaran BAB
v Hubungi dokter jika ada
kenanikan bising usus
v Instruksikan pasien
untukmakan rendah serat,
tinggi protein dan tinggi
kalori jika memungkinkan
v Instruksikan untuk
menghindari laksative
v Ajarkan tehnik
menurunkan stress
v Monitor persiapan
makanan yang aman
5 Resiko tinggi trauma fisik b/d NOC: NIC :
gangguan mental, v Knowlwdge : personel Environmental
delirium/psikosis safety Management safety
v Safety behavior : falls
 Sediakan
Prevention
lingkungan yang
v Safety Behavior : Falls
aman untuk pasien
Occurance
 Identifikasi
v Safety behavior :
kebutuhan
Physical injury
keamanan pasien,
sesuai dengan
kondisi fisik dan
fungsi
kognitif pasien
dan riwayat
penyakit terdahulu
pasien
 Menghindarkan
lingkungan yang
berbahaya
(misalnya
memindahkan
perabotan)
 Memasang side rail
tempat tidur
 Menyediakan
tempat tidur yang
nyaman dan bersih
 Menempatkan
saklar lampu
ditempat yang
mudah dijangkau
pasien.
 Membatasi
pengunjung
 Memberikan
penerangan yang
cukup
 Menganjurkan
keluarga untuk
menemani pasien.
 Mengontrol
lingkungan dari
kebisingan
 Memindahkan
barang-barang
yang dapat
membahayakan
 Berikan penjelasan
pada pasien dan
keluarga atau
pengunjung
adanya perubahan
status kesehatan
dan penyebab
penyakit
6 Perubahan pola defeksi : NOC: NIC: Constipation/
konstipasi b/d proses peradanganv Bowel elimination Impaction Management
pada dinding usus halus, v Hydration § Monitor tanda dan gejala
Kriteria Hasil : konstipasi
v Mempertahankan § Monior bising usus
bentuk feses lunak § Monitor feses: frekuensi,
setiap 1-3 hari konsistensi dan volume
v Bebas dari § Konsultasi dengan dokter
ketidaknyamanan dan tentang penurunan dan
konstipasi peningkatan bising usus
v Mengidentifikasi § Mitor tanda dan gejala
indicator untuk ruptur usus/peritonitis
mencegah konstipasi § Jelaskan etiologi dan
rasionalisasi tindakan
terhadap pasien
§ Identifikasi faktor penyebab
dan kontribusi konstipasi
§ Dukung intake cairan
§ Kolaborasikan pemberian
laksatif
I. Daftar Pustaka
Andin Sefrina dan Suhendri C. P; Mengenal, Mencegah, Menangani berbagai
penyakit berbahaya bayi & balita; Penerbit ; Dunia Sehat
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions
Classification (NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby
Year-Book, St. Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification
2001-2002, NANDA.
Mansjoer, Arif et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta : EGC
Ngastiyah . 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Nursalam, et al. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Bayi dan Anak. Jakarta:
Salemba
Prosedur Keperawatan Nursing Standard Operating Procedure. Program Studi
S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga.
Suriadi, R. Y. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.

También podría gustarte