Está en la página 1de 13

Ahmad Nurcholish dan pernikahan beda

agama
Heyder Affan dan Christine FranciskaWartawan BBC Indonesia
 1 Juli 2015
 Bagikan artikel ini dengan Faceboo k

 Bagikan artikel ini dengan Tw itter

 Bagikan artikel ini dengan Messenger

 Bagikan artikel ini dengan Email

 Kirim

Image captionHingga Juni 2015, Ahmad Nurcholish melalui organisasi Pusat Studi Agama dan Perdamaian
(ICRP) telah menikahkan sedikitnya 638 pasangan beda agama di seluruh Indonesia.

Lebih dari sepuluh tahun silam, ketika dia akan menikahi seorang perempuan Konghucu, muncul
reaksi keras dari pimpinan masjid tempat dia beraktivitas.

Namun demikian, pria ini tetap meneruskan niatnya untuk menikahi Ang Mei Yong, perempuan Konghucu itu.

Dan saat pernikahan mereka -yang digelar secara Islam dan Konghucu- pada 8 Juni 2003 diliput oleh media
massa, masyarakat kemudian menyikapinya secara berbeda.

Ada banyak yang mendukung langkahnya, tetapi yang menghujat lebih banyak lagi.

Tidak pelak lagi, pernikahan beda agama ini memunculkan kembali isu sensitif selama ini menimbulkan pro
dan kontra di masyarakat.
Hak atas
fotoAHMAD NURCHOLISHImage captionSaat pernikahan Ahmad Nurcholish dan Ang Mei Yong -yang
digelar secara Islam dan Konghucu- pada 8 Juni 2003 diliput oleh media massa, masyarakat kemudian
menyikapinya secara berbeda.

Bagaimanapun, kejadian ini kelak berpengaruh besar terhadap keputusan pria tersebut untuk mendampingi dan
membantu pasangan beda agama yang mengalami kebuntuan untuk menikah, karena sebagian agama tidak
menganjurkannya.
Nah, saya pada kelompok ketiga, yaitu baik laki-laki maupun perempuan Muslim boleh
menikah dengan non-Muslim.Ahmad Nurcholish.

Pria kelahiran 1974 itu adalah Ahmad Nurcholish, aktivis LSM Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP),
yang dikenal sebagai pendamping dan penasehat pasangan beda agama.
"Saya memang terjun dan kemudian menjadi counsellor (penasehat), dan juga memberikan advokasi, terhadap
teman-teman (pasangan beda agama yang mau menikah) itu mulanya tidak sengaja," kata Ahmad Nurcholish
dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, Selasa (23/06) siang di kantornya.
Image captionNurcholish (kanan) mengaku sebagian penganut Islam di Indonesia berpatokan pada interpretasi
yang pertama, tetapi menurutnya penganut tafsir kedua dan ketiga juga berhak untuk hidup.

Hingga Juni 2015, Nurcholish melalui organisasi Pusat Studi Agama dan Perdamaian telah menikahkan
sedikitnya 638 pasangan beda agama di seluruh Indonesia.

"Kita terus membantu para pasangan beda agama, sehingga mereka mendapatkan hak-haknya untuk menikah,"
kata Nurcholish.

Islam membolehkan nikah beda agama


Agama-agama tidak menganjurkan nikah beda agama, bahkan ada institusi yang mengharamkannya,
demikian ICRP.

Pada 2005 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya mengeluarkan fatwa yang melarang pernikahan
beda agama.
Hak atas fotoGETTYImage captionMenurut Nurcholish, sikap MUI hanyalah mewakili salah-satu dari
sedikitnya tiga interpretasi dari dalam Islam terhadap pernikahan beda agama.

Tetapi menurut Nurcholish, sikap MUI tersebut hanyalah mewakili salah-satu dari sedikitnya tiga interpretasi
dari dalam Islam terhadap pernikahan beda agama.
Bahwa mereka memilih pandangan yang pertama, ya, silakan. Tapi, paling tidak, mereka
tidak memutlakkan bahwa satu-satunya pandangan pada Islam itu hanya pandangan yang
pertama.Ahmad Nurcholish.

Pertama, melarang secara mutlak baik bagi perempuan Muslim maupun laki-laki Muslim untuk menikahi non-
Muslim.

Kedua, membolehkan secara bersyarat, yaitu membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan
non-Muslim, tetapi perempuan Muslim tidak boleh menikahi laki-kali non-Muslim.

"Nah, saya pada kelompok ketiga, yaitu baik laki-laki maupun perempuan Muslim boleh menikah dengan non-
Muslim," kata Nurcholish seraya menyebutkan, tafsir sejumlah ulama Islam yang membolehkan pernikahan
beda agama.
Hak atas fotoGETTYImage captionDibandingkan pada awal 1990-an, masyarakat Indonesia saat ini lebih bisa
menerima praktik pernikahan beda agama, kata Nurcholish.

Nurcholish mengaku sebagian penganut Islam di Indonesia berpatokan pada interpretasi yang pertama, tetapi
menurutnya penganut tafsir kedua dan ketiga juga berhak untuk hidup.

"Bahwa mereka memilih pandangan yang pertama, ya, silakan. Tapi, paling tidak, mereka tidak memutlakkan
bahwa satu-satunya pandangan pada Islam itu hanya pandangan yang pertama," katanya.

Dibandingkan pada awal 1990-an, masyarakat Indonesia saat ini lebih bisa menerima praktek pernikahan beda
agama, katanya.

Mengenalkan anak pada tradisi Islam-Konghucu


Pasangan keluarga beda agama Nurcholish dan Ang Mei Yong, yang telah memiliki dua anak, mengaku tidak
terlalu dihadapkan masalah keyakinan agama masing-masing dalam kehidupan sehari-hari.
"Mungkin kami terbantu, karena saya dan istri sama-sama bergiat di lembaga interfaith, lembaga antar agama,"
kata Nurcholish yang pernah mengikuti pendidikan pesantren di Grobogan, Jawa Tengah ini.
Hak atas fotoAHMAD NURCHOLISHImage captionPasangan keluarga beda agama Nurcholish dan Ang Mei
Yong, yang telah memiliki dua anak, mengaku tidak terlalu dihadapkan masalah keyakinan agama masing-
masing dalam kehidupan sehari-hari.

Image captionJika anak-anaknya sudah dewasa, Nurcholish mengaku akan membebaskan mereka untuk
memilih keyakinannya.

Sehingga, mereka sudah terbiasa dalam perspektif keberagamaan dan kebhinekaan dalam melihat hubungan
antara agama.
Sejak kecil saya memperkenalkan dua keyakinan agama orang tuanya, saya mengenalkan
tradisi Islam, kemudian ibunya memperkenalkan tradisi Konghucu.Ahmad Nurcholish.

"Sehingga ketika menikah, soal perbedaan keyakinan itu sudah selesai lebih dulu. Artinya tidak menjadi
perdebatan yang sengitlah, katakanlah begitu,"tambahnya.

Bagaimana Anda mendidik dua anak Anda ketika Anda dan istri tetap menjalankan keyakinan agama masing-
masing, tanya saya.
"Sejak kecil saya memperkenalkan dua keyakinan agama orang tuanya, saya mengenalkan tradisi Islam,
kemudian ibunya memperkenalkan tradisi Konghucu," ujar Nurcholish yang suka membaca buku filsafat ini.

"Itulah yang kemudian diserap oleh anak-anak kami dan mereka nyatanya bisa mengidentifikasi dirinya bahwa
mereka adalah anak dari pasangan pernikahan beda agama," ungkapnya.

Jika anak-anaknya sudah dewasa, Nurcholish mengaku akan membebaskan mereka untuk memilih
keyakinannya.

Dibutuhkan kesiapan mental


Kepada calon pasangan menikah beda agama, alumni program pascasarjana (S-2) di Universitas
Muhammadiyah Jakarta ini selalu menekankan agar mereka "memperkuat mental".

Image captionKepada calon pasangan menikah beda agama, alumni program pascasarjana (S-2) di Universitas
Muhammadiyah Jakarta ini selalu menekankan agar mereka "memperkuat mental".
Image captionKepada calon mempelai beda agama, Nurcholish juga mewanti-wanti agar keduanya tidak boleh
menganggap nilai-nilai agamanya paling benar.

Hal ini dia tekankan karena "kesiapan mental" merupakan tantangan terbesar bagi calon pasangan menikah
beda agama.

"Karena, tantangan terbesar pasangan beda agama itu adalah tentangan yang terjadi di lingkaran keluarga dan
masyarakat lingkungannya," kata Nurcholish.
Karena, tantangan terbesar pasangan beda agama itu adalah tentangan yang terjadi di
lingkaran keluarga dan masyarakat lingkungannya.Ahmad Nurcholish

"Sampai kapan pun tentangan itu pasti akan ada. Itu juga saya alami," akunya, terus-terang.
Dengan siap secara mental, menurutnya, mereka akan siap ketika "ditanya, di-judge (dihakimi), dikatakan
bahwa pernikahan seperti ini tidak benar, zinah, haram..."

Apabila para pasangan itu tidak siap mental, lanjutnya, "Maka itu akan menganggu kehidupan mereka. Nah,
itu yang terjadi pada sebagian besar pasangan nikah beda agama."

Tidak boleh memaksa pasangan pindah agama


Ketidaksiapan mental itu terlihat dari kecenderungan pasangan yang mencoba menyamarkan pernikahan
mereka.

"Seolah-olah pasangan se-agama. Jarang sekali yang mau diwawancarai (oleh wartawan) dan mau bercerita
bagaimana kehidupan rumah tangganya," jelasnya.
Image captionKetidaksiapan mental itu terlihat dari kecenderungan pasangan yang mencoba menyamarkan
pernikahan mereka.

Kepada calon mempelai beda agama, Nurcholish juga mewanti-wanti agar keduanya tidak boleh menganggap
nilai-nilai agamanya paling benar.

Mereka juga tidak diperbolehkan memiliki "niat membawa pasangannya untuk mengikuti agamanya."
Karena itu akan menjadi persoalan luar biasa. Bayangkan, misalnya, kalau saya memiliki
keinginan itu, maka setiap hari saya pasti berdoa agar pasangan saya mengikuti ajaran
saya.Ahmad Nurcholish.

"Karena itu akan menjadi persoalan luar biasa. Bayangkan, misalnya, kalau saya memiliki keinginan itu, maka
setiap hari saya pasti berdoa agar pasangan saya mengikuti ajaran saya.

"Nah, kalau tidak berhasil, maka saya akan merasa berdosa. Itu kan menghantui pola pikir, menghantui
keberimanan saya. Nah ini berbahaya bagi hubungan suami istri," paparnya."

Putusan MK, sebuah kemunduran


Dalam bagian wawancara, Nurcholish juga mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak uji
materiterhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pada pertengahan Juni 2015 lalu, MK menyatakan larangan menikahi pasangan yang berbeda agama, seperti
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak melanggar konstitusi.
Hak atas
fotoICRPImage caption"Saya kira (putusan MK) ini kemunduran, karena kelima pemohon itu hendak
menandaskan suatu hal penting, bahwa ada diantara hak-hak sipil warga negara terabaikan atau
terdiskriminasikan," kata Nurcholish (kanan).

"Saya kira (putusan MK) ini kemunduran, karena kelima pemohon itu hendak menandaskan suatu hal penting,
bahwa ada di antara hak-hak sipil warga negara terabaikan atau terdiskriminasikan," kata Nurcholish, penulis
buku Pernikahan beda agama, kesaksian, argumen keagamaan dan analisis kebijakan (2005).

Menurutnya, lima orang penguji materi itu hendak mengajukan permohonan agar ada kepastian hukum apakah
perkawinan beda agama dilarang atau tidak.
Saya kira (putusan MK) ini kemunduran, karena kelima pemohon itu hendak menandaskan
suatu hal penting, bahwa ada diantara hak-hak sipil warga negara terabaikan atau
terdiskriminasikan.Ahmad Nurcholish

"Nah, MK tidak memberikan hal itu. MK justru mengembalikan bunyi ayat dalam pasal 2 ayat 1 sebagaimana
semula," katanya.

Uji materi ini diajukan empat warga negara atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida
Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi.

Keempatnya mengajukan uji materi terhadap isi UU yang menyebutkan bahwa "perkawinan sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
Hak atas fotoGETTYImage captionWalaupun demikian, menurut Nurcholish, putusan MK itu tidak akan
berdampak terhadap pernikahan beda agama.

Para pemohon beralasan pengaturan perkawinan seperti ini akan berimplikasi pada sah tidaknya perkawinan
yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, misalnya perkawinan antara
pasangan yang beda agama.

Majelis hakim MK menyatakan, pasal bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-
masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan, bukan pelanggaran terhadap konstitusi.

Tetap bisa melakukan pernikahan beda agama


Namun demikian, menurutnya, putusan MK itu tidak berdampak langsung terhadap pernikahan beda agama.
Image captionMenyinggung soal sikap KUA dan Kantor Catatan Sipil yang tidak memahami adanya kebijakan
pemerintah yang memberikan ruang nikah beda agama, Nurcholish mengatakan "saat ini para pemangku
negara lambat laun mulai memahami tentang masalah pernikahan beda agama".

Artinya, calon pelaku pernikahan agama tetap bisa melakukannya, walaupun dalam praktiknya pola
pernikahan beda agama terkadang terkendala di tingkat bawah seperti Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil.
Ada beberapa Kantor catatan sipil, beberapa pengadilan negeri memiliki pemahaman yang
berbeda. Mereka memahami bahwa tugas negara mencatat bukan mengesahkan, sebagaimana
diatur undang-undang.Ahmad Nurcholish.

"Mereka bisa menikah dengan hukum agama masing-masing, misalnya Islam dan Kristen, bisa melakukan
akad nikah, tentu saja dengan penghulu yang memiliki pemahaman nikah beda agama itu boleh," katanya.

"Lalu mereka bisa melakukan pemberkatan, kalau pasangannya Kristen atau Katolik," tambahnya.

"Nah nanti yang bisa dicatatkan oleh mereka ke negara itu (Kantor Catatan Sipil) adalah pernikahan secara
non-Islam. Jadi peluangnya itu," kata Nurcholish.

"Meski dicatat secara Katolik atau Protestan, tetapi itu tidak mengubah identitas keyakinan mereka,"
tandasnya.
Image captionArtinya, calon pelaku pernikahan agama tetap bisa melakukannya, walaupun dalam prakteknya
pola pernikahan beda agama terkadang terkendala di tingkat bawah seperti Kantor Urusan Agama (KUA) dan
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, kata Nurcholish.

Menyinggung soal sikap KUA dan Kantor Catatan Sipil yang tidak memahami adanya kebijakan pemerintah
yang memberikan ruang nikah beda agama, Nurcholish mengatakan "Saat ini para pemangku negara lambat
laun mulai memahami tentang masalah pernikahan beda agama".

"Ada beberapa Kantor Catatan Sipil, beberapa pengadilan negeri memiliki pemahaman yang berbeda. Mereka
memahami bahwa tugas negara mencatat bukan mengesahkan, sebagaimana diatur undang-undang," katanya.

"Oleh karena itu, sepanjang pasangan itu memiliki pengesahan oleh agamawan atau lembaga agama, maka
tugas negara cuma mencatat saja," kata Nurcholish.

También podría gustarte