Está en la página 1de 92

i

ANALISIS LAMBATNYA IMPLEMENTASI 5S DENGAN METODE ROOT


CAUSE ANALYSIS (STUDI KASUS PERUSAHAAN TAMBANG NIKEL
TERDAFTAR DALAM BEI)

ANALYSIS FOR SLOW IMPLEMENTATION PROGRESS OF 5S USING


ROOT CAUSE ANALYSIS METHOD(CASE STUDY NICKEL MINING
COMPANY LISTED IN THE BEI)

ALLOYSIUS AIY RESTON

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii

ANALISIS LAMBATNYA IMPLEMENTASI 5S DENGAN METODE ROOT


CAUSE ANALYSIS (STUDI KASUS PERUSAHAAN TAMBANG NIKEL
TERDAFTAR DALAM BEI)

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Magister Management
Disusun dan diajukan oleh

ALLOYSIUS AIY RESTON

kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
iii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya penulisan thesis ini yang berjudul “Analisis Lambatnya
Implementasi 5S dengan Metode Root Cause Analysis (Studi Kasus
Perusahaan Tambang Nickel Terdaftar dalam BEI)”.
Olehnya, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya pada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan ini:
1. Kedua pembimbing saya Ibu Prof. Dr. Hj. Mahlia Muis, SE., M.Si
dan Bapak Dr. Muhammad Ismail, SE., M.Si atas segala saran,
masukan, tinjauan, dan persetujuan mereka sehingga proposal
saya ini bisa saya selesaikan dengan baik.
2. Keluarga saya, orang tua (drg. Vedastus Gaston Spilleben dan
Theresia Maria Tandiayuk), istri (Elisabeth Julianti, ST) dan ketiga
anak-anak saya (Tristan, Nadine, dan William) yang selalu memberi
dukungan, inspirasi, dan motivasi dalam menyelesaikan tulisan ini.
3. Manajemen perusahaan tempat saya bekerja selama ini yang
mendukung dalam pengembangan saya dengan program kuliah in
site ini, dan memberikan waktu bagi saya untuk melakukan
bimbingan tugas akhir ini.
Masih banyak lagi pihak yang belum saya sebutkan satu persatu, semoga
Tuhan selalu membalas kebaikan mereka.

Sorowako, Juli 2013

Penulis
iv

Abstrak

ALLOYSIUS AIY RESTON – Analisis Lambatnya Implementasi 5S dengan


Metode Root Cause Analysis (Studi Kasus Perusahaan Tambang Nickel
Terdaftar dalam BEI)”–dibimbing oleh Mahlia Muis dan Muhammad Ismail

5S dan RCA sudah sangat populer di dunia.Di Indonesia sendiri,


perusahaan manufacturing sudah banyak yang menggunakan 5S dan
RCA (dalam dunia maintenance dikenal juga sebagai RCFA).5S adalah
sebuah metode kerja yang digunakan untuk mendapatkan visual
management yang menjadi dasar Lean Management (Manajemen
Ringkas). 5S dipercaya dapat memudahkan improvisasi proses (process
improvement) dalam rangka perbaikan yang berkelanjutan (continues
improvement). Sedangkan RCA (Root Cause Analysis) juga merupakan
sebuah metode untuk mengungkap akar permasalahan dari sebuah
simtom yang tidak dikehendaki.Hal ini juga dalam rangka perbaikan yang
berkelanjutan. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah: (1)
Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab dasar dari lambatnya penerapan
5S pada perusahaan tambang nikel yang dijadikan objek penelitian (2)
Mendapatkan cara yang paling tepat untuk mempercepat penerapan 5S di
perusahaan dengan langsung menyelesaikan akar permasalahannya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah root cause


analysis, yakni mencari penyebab dasar yang berpengaruh secara
signifikan pada hasil pencapaian 5S. Root cause analysis itu terdiri dari
tiga proses utama: (1) mengenali situasi, (2) menyelidiki penyebab, dan
(3) perbaikan dan pencegahan masalah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada penyebab dasar dari


lambatnya implementasi 5S adalah dispute pada penetapan luasan
rencana/strategi implementasi, monitor dan kontrol, dan
pengetahuan/keterampilan. Sehingga untuk mencapai target implementasi
maka standar harus dikomunikasikan lagi, monitoring terhadap standar
harus benar-benar focus dan sistem di area implementasi harus diperkuat
dengan kepemimpinan.
v

Abstract
ALLOYSIUS AIY RESTON - Analysis for the slowimplementation
progressof 5SusingRootCause Analysismethod(case study nickel
miningcompanylistedin theBEI) – supervised by Mahlia Muis and
Muhammad Ismail

5SandRCAhave been verywell-knowninthe manufacturing world. In


Indonesia, numbers ofmanufacturingcompaniesareusing this 5SandRCA
method(is also known asRCFAin maintenance field). 5Sisamethodof
workthatusedtoget a visual managementwhich is thebasic
ofLeanManagement. 5Sis believed tobe an agent tohave improvisation
ofcompany’s processes, in the framework ofcontinuous improvement. In
another hand,RCA(Root Cause Analysis) is also amethodto uncover
theroot causeofunwanted symptoms. It isalsoin the framework
ofcontinuous improvement. Therefore, the objectives of this research is :
(1) To identify root causes of slow implementation of 5S and (2) To obtain
the best way on accelerate the 5S implementation by directly treat the root
cause.

The research using root cause analysis method, which define the
significant basic cause of slow implementation of 5S. The root cause
analysis it self consist of three main processes: (1) grasp the situation, (2)
cause investigation, and (3) problem correction/prevention.

The result of this research shows that the root causes of 5S slow in
implementation is dispute in define areas’ range, implementation
plan/strategy, monitoring and control and knowledge/skill. Therfore, to
achieve the implementation target we need to re-communicate the
standard, focus on monitoring the standard’s implementation, and
implementation system in area shall be strengthen by leadership.
vi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

Abstrak iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR xi

BAB I PENDAHULUAN 1

A. LATAR BELAKANG 1

B. RUMUSAN MASALAH 11

C. TUJUAN PENULISAN 11

D. MANFAAT PENELITIAN 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13

A. TINJAUAN HASIL PENELITIAN 13

B. TINJAUAN TEORI DAN KONSEP 13

B.1 Wastologi 14

B.2 5S (Sort, Set, Shine, Standardize and Sustain) 17

B.3 Root Cause Analysis 21


vii

B.4 FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) 23

B.5 Pareto Analysis 24

B.6 Fishbone Analysis 25

B.7 5 Whys 25

C. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENGARAH 27

BAB III METODE PENELITIAN 29

A. RANCANGAN PENELITIAN 29

B. LOKASI DAN WAKTU 30

C. POPULASI TEKNIK SAMPEL 30

D. INSTRUMEN PENGUMPUL DATA 31

E. ANALISIS DATA 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 33

A. GAMBARAN UMUM IMPLEMENTASI 33

B. GAMBARAN PENELITIAN 39

C. IDENTIFIKASI MASALAH 40

D. KLARIFIKASI MASALAH 44

E. MENGURAIKAN MASALAH DAN MENENTUKAN LOKASI

MASALAH 52

F. MEMAHAMI TENDENSI DARI PERMASALAHAN 55

G. PENYEBAB LANGSUNG 57
viii

H. ANALISA PENYEBAB DASAR 58

BAB V 76

KESIMPULAN DAN SARAN 76

A. KESIMPULAN 76

B. SARAN 77

REFERENSI 79
ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Operasi Nikel terbesar di tahun 2011 2

Tabel 1.2 Dua puluh perusahaan penghasil nikel teratas pada tahun
2011. 3

Tabel 1.3 Beberapa kegiatan yang sempat dilaksanakan pada tahun


2007 8

Tabel 1.4. Score 5S (dalam skala 1-100) 9

Tabel 2.1. Contoh tabel FMEA 24

Tabel 4.1. Rangkuman skor 5S untuk masing-masing SGM


(Manajemen Level 3) 42

Tabel 4.1. Rangkuman skor 5S untuk masing-masing SGM


(Manajemen Level 3) 42

Tabel 4.2. Skor pencapaian workpost operational 43

Tabel 4.3. 5 Whys untuk lokasi workpost yang terlalu luas untuk
dikontrol 58

Tabel 4.4. 5 Whys untuk peralatan yang terlalu banyak 59

Tabel 4.5. 5 Whys untuk pemahaman konsep di kalangan karyawan


kurang 61
x

Tabel 4.6. 5 Whys untuk pemahaman konsep di kalangan karyawan 62


kurang

Tabel 4.7. 5 Whys untuk ownership karyawan yang kurang 62

Tabel 4.8. 5 Whys untuk terlalu banyaknya material consumable dan


part, akibat kurang kontrol pembelian dari planner/part coordinator 63

Tabel 4.9. 5 Whys untuk sistem kontrol dan sangsi 64

Tabel 4.10. 5 Whys untuk leadership enforcement 64

Tabel 4.11 Rangkuman rencana tindakan (action plan) 66

Tabel 4.13. 3G report untuk action plan yang dilaksanakan 74


xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1. Nickel Price (USD$/metrictonne) 2011 – 2012 4

Gambar 1.2. Pergerakan harga saham PT Vale Indonesia dalam


Rupiah (sumber: www.bloomberg.com/quote/INCO:IJ/chart) 10

Gambar 2.1 Contoh sampah dalam operasi menyekrup untuk


mengeratkan. 16

Gambar 2.2. Delapan tipe sampah menurut metode 5S 17

Gambar 2.3. Manfaat yang diperloleh dari implementasi 5S (Sumber:


JIT Implementation Manual; Waste and 5S’s, Hiroyuki Hirano, 1990 20

Gambar 2.4. Metode praktikal penyelesaian masalah 22

Gambar 2.5. Penerapan metode 5 whys 26

Gambar 2.6 Kerangka pemikiran mengenai penghambat dari


implementasi 5S 27

Gambar 2.7. Kerangka pikir dan hipotesis 28

Gambar 4.1 Struktur organisasi di bawah COO 39

Gambar 4.2. Gap yang didapatkan dari perbandingan plan dan aktual 44

Gambar 4.3. Historikal pencapaian 5S dari waktu ke waktu 45


xii

Gambar 4.4. Perbandingan antara jumlah workpost operasional, 46


kolektif dan administratif.

Gambar 4.5. Analisa pareto dalam menentukan departemen mana


yang akan menjadi fokus dalam RCA. 47

Gambar 4.6. Kondisi ruang penyimpanan – Maret 2013 49

Gambar 4.7. Kondisi ruang tunggu pengerjaan barang elektrikal –


Maret 2013 50

Gambar 4.8. Kondisi ruang perbaikan mekanikal – Maret 2013 51

Gambar 4.9. Pareto ke empat sub-departemen utama pada


Departemen Maintenance dan Utilities 53

Gambar 4.10. Grafik Pareto untuk 3S pertama workpost operasional


dan rata-rata gap dari masing-masing pemilik workpost 53

Gambar 4.11. Histogram dan Grafik Pareto untuk requirement


4,5,dan 6. 54

Gambar 4.12. Pemilik workpost dan besarnya penyimpangan di area


Maintenance dan Utilities untuk Q4: Sign, demarkasi, marking and
labeling 55

Gambar 4.13 Pemilik workpost dan besarnya penyimpangan di area


Maintenance dan Utilities untuk Q5: Penepatan pada tempatnya
(right place) 55

Gambar 4.14 Pemilik workpost dan besarnya penyimpangan di area


Maintenance dan Utilities untuk Q5 Keteraturan alat kerja
(orderliness) 56

Gambar 4.15 Analisis fishbone diagram: Rambu, demarkasi,


penandaan, dan pemberian label 60
xiii

Gambar 4.16 Workshop 5S pada workpost area penyimpanan 69

Gambar 4.17 Workshop 5S pada bengkel elektrikal 70

Gambar 4.18 Workshop 5S pada bengkel mekanikal 70

Gambar 4.19 Hasil setelah workshop 5S pada ruang penyimpanan 71

Gambar 4.20 Hasil setelah workshop 5S pada bengkel elektrikal 72

Gambar 4.21 Hasil setelah workshop 5S pada ruang penyimpanan


(bandingkan dengan gambar 4.8) 72

Gambar 4.22 Jadwal rutin 5S diarea bengkel elektrik. 73


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perusahaan yang mengolah nikel di dunia tumbuh dengan pesat,

baik dari jumlah perusahaan maupun dari nikel yang dihasilkan.Pada

sekitar tahun 2005, appresiasi pasar terhadap nikel sangat tinggi, yang

mendorong berdirinya perusahaan-perusahaan tambang nikel di

dunia.Dengan bermunculannya perusahaan-perusahaan baru tersebut,

maka persaingan dalam industri nikel menjadi lebih bergairah, sekaligus

lebih menantang.Pada tabel 1.1 di bawah, dapat kita lihat perusahaan-

perusahaan terbesar penghasil nikel dunia dan perkembangan kuantitas

produksinya.Tabel ini menggambarkan bagaimana perusahaan-

perusahaan di bawah tumbuh dari segi produksi sangat pesat.Pada tabel

1.2 kita juga bisa melihat dua puluh perusahaan penghasil nikel teratas di

dunia di tahun 2011.

Perkembangan industri nikel yang pesat tersebut dipukul oleh

lesunya pasar di industri logam dasar (base metals) sebagai imbas dari

resesi ekonomi yang mulai dirasakan tahun 2009 lalu.Walaupun pada

tahun 2010 dan 2011, harga nikel tampak sedikit lebih stabil dikisaran

bawah (lihat Gambar 1.1, namun tetap saja margin keuntungan industri ini

menjadi sangat tipis dan tidak menarik bagi investor lagi yang tercermin

dari jatuhnya harga saham/stock price (lihat gambar 1.2.).Hal ini


2

menyebabkan persaingan menjadi lebih ketat diantara pelaku bisnis nikel

ini.Production Cost (Biaya Produksi) yang rendah dan ketepatan strategi

manajemen menjadi sektor di dalam perusahaan yang menjadi obyek

yang paling menentukan bertahannya (sustaining) perusahaan ini.

Tabel 1.1 Opearasi Nikel terbesar di tahun 2011 (2012 pada tabel di atas adalah forecast
pada saat laporan tersebut dibuat)

Karena itu, perusahaan-perusahaan tambang nikel tertantang untuk

bersaing dalam menerapkan strategi manajemen yang bersifat internal

yakni melihat kembali dan merumuskan strategi untuk performa, proses,

portfolio, dan resiko bisnis.Jika dalam merumuskan strategi korporasi

dikenal analisa SWOT, maka memang pengaruh eksternal juga sangat

mempengaruhi bisnis secara keseluruhan.Namun bagaimana perusahaan

menanggapi pengaruh eksternal itu, juga melibatkan ketahanan internal

strategi seperti yang disebutkan di atas.

Dalam mencapai visi dan melaksanakan misi perusahaan, secara

strategis, perusahaan yang menjadi pokok pembahasan ini, menerapkan


3

suatu sistem produksi (production system) yang terintegrasi, yang berisi

keunggulan-keunggulan praktis dalam operasinya.Sistem produksi ini

disusun dengan mengadopsi berbagai management system yang sudah

banyak dikenal luas dialam ilmu manajemen, maintenance, dan

produksi.Sistem produksi ini mengalami penyesuaian sesuai dengan

karakteristik perusahan sehingga melahirkan suatu struktur yang

komprehensip dan saling bersesuaian antara proses-proses yang ada

dalam perusahaan dan simpul-simpul performa yang ingin dicapai dalam

mewujudkan visi perusahaan.

Tabel 1.2 Dua puluh perusahaan penghasil nikel teratas pada tahun 2011.

Sistem produksi ini, sebagaimana sistem produksi pada korporasi-

korporasi besar lainnya terdiri dari beberapa dimensi seperti dimensi


4

manajemen (strategis), sumberdaya manusia, operasi, perawatan aset,

kesehatan dan keselamatan kerja, dan juga sustainabilitas

lingkungan.Keunggulan-keunggulan (best practice) yang ada dalam setiap

dimensi yang memastikan – secara sistematis – perusahaan dapat

melakukan misinya, mencapai visinya dan selalu berada dalam batasan

nilai-nilai yang telah didefinisikan dan ingin dikembangkan oleh

perusahaan.

Gambar 1.1. Nickel Price (USD$/metrictonne) 2011 – 2012, source: www.lme.com

Dalam dimensi manajemen, beberapa performance framework

yang telah popular di dunia telah di adopsi dan mengalami fine tuning

(penyesuaian) agar dapat sejalan dengan karakteristik yang dimiliki oleh

perusahaan. Salah satu diantara yang paling mendasar adalah visual

manajemen lean yang berisi praktik-praktik yang mengedepankan efisiensi

dan ringkas, bebas dari hal-hal yang tidak memberikan nilai tambah pada
5

aktivitas produksi (waste). Dimensi-dimensi lainnya juga mengadopsi lean

dalam bentuk metode 5S.

Metode 5S, yakni Sort, Set, Shine, Standardize and Sustain adalah

bagian dari manajemen lean itu sendiri. Metode ini diharapkan dapat

membentuk kultur produktif dalam perusahaan. Karena yang menjadi

sasaran adalah kultur/budaya, maka implementasinya merupakan usaha

merubah paradigma dan pola pikir yang sudah tersedimentasi sekian

lama, dan mulai mengendapkan suatu kultur baru, kultur yang

menghindari hal yang tidak berguna (waste).

Gambar 1.2. Pergerakan harga saham PT Vale Indonesia dalam Rupiah (sumber:
www.bloomberg.com/quote/INCO:IJ/chart)

Dalam implementasinya, ternyata metode 5S ini bukanlah hal yang

mudah untuk diterapkan.Dukungan yang diharapkan dari karyawan dan


6

manajer lini untuk penerapannya masih sangat minim terjadi di beberapa

area perusahaan.Hal ini kadang membuat manajemen puncak cukup

frustrasi karena lambatnya implementasi program yang secara teoritikal

sangat bagus dan punya relevansi erat dengan budaya kerja ini.

Manajer-manajer senior di perusahaan ini memandang 5S sebagai

budaya yang akan merubah perilaku organisasi untuk secara lebih

alamiah melakukan efisiensi, melakukan manajemen proses yang lebih

baik, memastikan performa perusahaan terus meningkat, menempatkan

pembelanjaan modal pada hal-hal yang benar-benar perlu atau

mendukung agenda strategis secara langsung, dan memastikan suanana

kerja lebih kondisif bagi semua pekerja, mulai dari level paling bawah

sampai manajer puncak.

Berbeda dengan manajer senior, manajer menengah dan manajer

bawah memandang 5S sebagai ‘tugas baru’ dari atas, hal-hal yang

menambah pekerjaan dan mengurangi budget mereka, dan sebagai hal

yang ‘nice to have’. Mereka yakin bahwa jika kepemimpinan ataupun

kepemilikan perusahaan berganti, maka metode ini akan gugur dengan

sendirinya dan akan kembali lagi kepada kebiasaan yang lama. Dan yang

paling mereka takutkan adalah jika metode ini semakin sempurna, maka

organisasi akan kemudian dirampingkan karena akan lebih efisien.

Dari sisi karyawan, banyak yang berfikir bahwa 5S ini hanya

program house keeping yang mahal dan mewah karena butuh sangat

banyak effort dan biaya.Belum lagi dengan hilangnya waktu produksi


7

dalam penerapannya. Penerapan program ini juga dipandang sebagai

program berbiaya tinggi dan menyulitkan karyawan, karena akan lebih

aktif dalam mengeluarkan energinya, serta menyerap waktu untuk

setidaknya mengatur dan bebersih. Namun ada beberapa karyawan juga

yang memahami bahwa dalam spektrum akhirnya 5S adalah Lean

(ringkas dan bebas sampah).

Keputusan dalam sorting kadang membuat perusahaan harus

kehilangan barang-barang berharga karena terbuang lantaran tidak jelas

peruntukannya, penyortir tidak mengenali barang dan sampah, waktu

yang sangat kurang dalam sorting, dan sebab-sebab lainnya. Kemudian

timbul juga effort yang sangat mahal yang diajukan dalam rangka

perencanaan yang harus lebih baik untuk menghindari waste

(sampah)dalam operasi. Set memerlukan banyak sekali papan peralatan

(toolboard), tempat penyimpanan baru yang lebih proper, label-label,

penandaan, dan lain-lainnya yang tentu saja memerlukan dana.

Sedangkan shine memerlukan usaha dalam membersihkan area kerja

yang akan dimotori oleh karyawan sendiri, sehingga karyawan yang

selama ini menggunakan tenaga kontrak untuk bersih-bersih, merasa ada

tambahan pekerjaan. Dan masih banyak lagi asumsi-asumsi yang justru

secara teoritikal ingin dihindari.

Pada tahun 2007, perusahaan pernah menerapkan metode 5S ini,

namun karena di-treat sebagai proyek, maka setelah dianggap selesai

maka kebiasaannya juga ikut hilang.Implementasinya juga tidak


8

dilaksanakan disemua area perusahaan.Sehingga, budaya ini tidak

terimplementasi sempurna. Pada tahun 2007, project yang dilaksanakan

mengusung nama housekeeping. Secara nature, memang tidak sempurna

mengadopsi metode 5S, namun dalam banyak hal serupa dengan 3S

pertama yakni Sort-Set-Shine.Tabel 1.3.memperlihatkan contoh-contoh

kegiatan yang saat itu sempat dilaksanakan. Dari gambar di bawah,

memang pada umumnya adalah melakukan Shine, sehingga project

tersebut benar-benar tidak bisa sustain, apalagi merubah kultur

perusahaan.

Tabel 1.3. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan selama tahun 2007 (Sumber 2007
Housekeeping Project Report, Julius Pangaribuan)

Penerapan metode 5S digelar lagi di pertengahan tahun 2011,

bersamaan dengan diluncurkannya sebuah production system milik

perusahaan sebagai salah satu bagian dasarnya sebagaimana yang


9

disebutkan di atas. Metode ini kembali dipandang sebagai project dan

checklist, kulturnya sampai pada tahun ke-dua masih belum bisa sustain.

Keadaan ini tetap bertahan sampai akhir 2012, walaupun 5S telah

dimasukkan dalam penilaian performa karyawan tingkat bawah.Ada

peningkatan hasil tetapi masih belum signifikan.

Sebagai gambaran, skore pencapaian 5S masih berada di point

33.1 (rata-rata) dari 100 poin yang diinginkan (lihat tabel 1.4).

Score Score Score


Area 2011 2012 2012
Year End Mid Year Year End
L3 Process Plant 12.48 27.43 37.67
L3 Mines & Exploration 28.43 37.54 40.79
L3 ETDS 16.8 35.08 43.27
L3 Maintenance and Utilities 20.35 30.23 39.45
L3 Operation Excellence 19.11 29.2 45.08
Tabel 1.4. Score 5S (dalam skala 1-100), source: 5S assessment result, Martifia
Fradevita

Kebutuhan untuk menerapkan 5S di perusahaan adalah awal dari

visual management yang lebih ringkas dan efisien.Dalam framework

manajemen lean hal ini merupakan hal mendasar yang harus dibangun

dan kokoh terlebih dahulu.Oleh karena itu, perusahaan menuntut

penerapan yang cepat dan tepat.Strategi untuk menerapkannya pun

menggunakan empat cara yakni [1] memberikan training konseptual 5S

kepada semua karyawan, [2] melakukan assessment dan kompetisi untuk

5S ini, [3] melakukan mini workshop 5S ke beberapa area yang

menginginkannya, [4] memasukkan 5S score kedalam scorecard semua

karyawan.
10

Ke empat hal ini, jika kita melihat secara umum, maka akan

membuat program ini berjalan mulus dan cepat. Namun pada

kenyataannya, setelah memasuki tahun ke tiga implementasi program ini,

pengaruhnya masih belum mencapai tingkat yang diinginkan.Berbagai

deviasi, salah kaprah dan tidak alignment masih ditemukan dilapangan

maupun ditingkat manajerial.Hal ini menjadikan 5S bukan hanya tidak

efektif, bahkan menimbulkan sampah-sampah lain yang justru ingin

dihilangkan.

Tidak adanya penjelasan mengenai hubungan antara 5S dan

budaya kerja produktif disinyalir menjadi bottle-neck dari lambatnya

implementasi 5S dalam perusahaan ini.Hal ini yang perlu diungkap

korelasinya dan bagaimana besarnya pengaruhnya pada budaya kerja

secara gamblang, ilmiah dan transparan.Sebagai resultan dari itu, manajer

lini sepertinya lebih resisten dibanding sub-ordinatnya.Alasan utama dari

mereka adalah mereka belum melihat manfaat dari 5S untuk mereka. Dan

mereka justru menilai resiko yang diterima jika tidak menerapkannya

adalah tidak signifikan dan tolerable, sedangkan resiko menerapkannya

hanya akan mengurangi produksi mereka dan bahkan mengurangi

kemampuan mereka mencapai targetnya.

Hal ini melatarbelakangi perlunya penyelidikan ilmiah mengenai

apa yang sesungguhnya terjadi dalam implementasi, dan faktor-faktor apa

yang mendukung atau menghambat implementasi metode 5S ini di

perusahaan tambang yang menjadi obyek penelitian.


11

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang

secara faktual dapat diuraikan sebagaimana berikut:

1. Identifikasi penyebab-penyebab utama implementasi 5S yang

sudah berjalan kurang lebih tiga tahun masih belum mencapai 40%

(average) dari hasil yang diinginkan.

2. Rencana tindakan (action plan) dan eksekusi konsisten dari action

plan perlu dirumuskan dengan tepat, salah satunya menggunakan

root cause analysis yang juga merupakan salah satu alat dalam

deviation treatment (perlakuan terhadap deviasi), untuk

mempercepat implementasi 5S.

C. TUJUAN PENULISAN

Mengacu pada latar belakang dan rumusan masalah yang

dipaparkan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebabdasar dari lambatnya

penerapan 5S pada perusahaan tambang nikel yang dijadikan

objek penelitian

2. Mendapatkan cara yang paling tepat untuk mempercepat

penerapan 5S di perusahaan dengan langsung menyelesaikan akar

permasalahannya dengan menggunakan root cause analysis


12

(RCA), dimana RCA ini merupakan alat yang cukup powerful

dalam analisa masalah.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan

referensi bacaan, sehingga meningkatkan pengetahuan

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi

sebuah program, mengetahui mengenai budaya kerja 5S

yang sekarang tengah booming diimplementasikan di

perusahaan/korporasi besar.

Memberikan gambaran nyata mengenai kustomisasi

perubahan budaya tradisional ke budaya 5S pada

perusahaan di Indonesia.

2. Bagi Perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan yang

berguna terutama dalam percepatan implementasi 5S dalam

rangka membuat lingkungan kerja lebih ringkas, bebas

sampah dan produktif.

Membudayakan root cause analysis dalam rangka deviation

treatment di kalangan karyawan.


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN HASIL PENELITIAN

Sebagai mana yang disebutkan pada Bab I, masalah diidentifikasi

dengan membandingkan antara pencapaian tahunan dengan target

pencapaian yang diharapkan. Dari penelitian dasar tadi ditemukan bahwa:

Implementasi dari 5S di perusahaan yang menjadi target tidak

mencapai persyaratan yang ditetapkan oleh perusahaan

Implementasi dari 5S dengan menggunakan perlakuan proyek tidak

bertahan (sustain).

Perubahan budaya perlu melibatkan semua lini manajerial.

Diperlukan cara yang lebih komprehensip untuk merubah budaya.

Penyebab dasarnya perlu dikaji lebih mendalam, dengan

menggunakan metode kualitatif, karena penelitian kualitatif sangat

efektif untuk mendapatkan informasi budaya yang spesifik seperti

nilai-nilai, opini, perilaku dan konteks social pada suatu populasi

(Mack et al, 2005)

B. TINJAUAN TEORI DAN KONSEP


14

Dalam penulisan ini, beberapa teori dan konsep dikumpulkan

menjadi bagian yang bisa menjadi referensi. Teori-teori atau konsep-

konsep ini merupakan gambaran bahwa 5S sebagai sebuah metode, RCA

sebagai tools dan keduanya merupakan unsur budaya yang sangat

mendukung penyempurnaan yang berkesinambungan. Hal ini sangat

penting bagi perusahaan-perusahaan dalam menciptakan competitive

advantage yang besar.

Konseptual 5S ini akan menjadi fokus mencari akar permasalahan

timbulnya resistansi terhadap implementasi, dan potensial penghambat

yang menjadi resiko implementasi. Sedangkan RCA akan dijelaskan

secara gamblang dan jelas, sehingga menjadi acuan dalam menganalisis

faktor-faktor yang diperkirakan menghambat implementasi 5S.

Untuk 5S, secara konseptual terdiri dari Seiri (Sort = proper

arrangement), seiton (set = orderliness), seiso (shine = cleanliness),

seiketsu (standardize = cleaning up), shitsuke (sustain = discipline).

Sedangkan untuk root cause analysis (RCA) itu sendiri berkaitan dengan

Failure Modes and Effect Analysis (FMEA), Fishbone Analysis, Pareto

Analysis, dan 5 Whys.

B.1 Wastologi

Sampah adalah kata sering kita dengar untuk menggambarkan hal-

hal yang tidak berguna. Kalau melihat secara dsefinisi, di Wikipedia

Indonesia, mengenai sampah disebutkan bahwa: “… Sampah merupakan


15

material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses.

Sampah didefinisikan oleh manusia menurut derajat keterpakaiannya,

dalam proses-proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang

ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses

alam tersebut berlangsung. Akan tetapi karena dalam kehidupan manusia

didefinisikan konsep lingkungan maka sampah dapat dibagi menurut jenis-

jenisnya…..”

Sedangkan Hiroyuku Hirano mendefinisikan bahwa sampah adalah

hal-hal/benda-benda yang tidak memproses apapun dan juga tidak

menambahkan nilai pada produk hasil.1Pendekatan dari Hiroyuku ini

adalah pendekatan yang paling dapat kita gunakan dalam scanning

sampah yang ada dalam perusahaan.Dengan definisi ini, sampah-sampah

yang ada mulai bermunculan dan kita tinggal meregister dan memikirkan

rencana tindakan untuk mengurangi ataupun mengeliminasinya.

Sebagai contoh, untuk mengeratkan dua benda kerja agar tidak

terpisah, pekerja akan menggunakan sekrup (gambar 2.1). Saat

mengetahui bahwa hanya putaran terakhir saja yang memberikan fungsi

mengeratkan, maka putaran-putaran sebelumnya menjadi hal yang tidak

berguna (waste).Kemudian jika kita berpikir kembali untuk menggunakan

lem saja, maka semua aktivitas mengebor, menyekrup menjadi sampah,

karena fungsi mengeratkan dapat dilakukan pada biaya yang lebih

rendah.

1
JIT Implementation Manual; Waste and 5S’s, Hiroyuki Hirano, 1990, pg. 147
16

Untuk tipe-tipe dari sampah dapat dilihat dengan metode 5MQS.

Tipe-tipe sampah itu adalah: [1] Man, [2] Machine, [3] Material, [4]

Methode, [5] Management, [6] Quality, [7] Safety. Gambarannya dapat

dilihat pada Gambar 2.2.5S diharapkan mereduksi sampah-sampah

tersebut.

Gambar 2.1. Contoh sampah dalam operasi menyekrup untuk mengeratkan (sumber: JIT
Implementation Manual; Waste an 5S’s, Hiroyuki Hirano, pg. 148)

Mengetahui dan memahami teknik wastologi ini sangat penting

dalam implementasi 5S. Pengetahuan dan pemahaman akan memberikan

kemampuan untuk menyempurnakan lokasi kerja, proses kerja, sikap

kerja dan juga hasil kerja. Dan akar masalah dari resistansi dari karyawan

untuk penerapan 5S diperkirakan datang dari kekeliruan mengenali

sampah dan sasaran reduksi sampah.


17

B.2 5S (Sort, Set, Shine, Standardize and Sustain)

5S pada mulanya berasal dari bahasa Jepang yakni seiri, seiton,

seiso, seiketsu, dan sitsuke.Kata-kata ini kemudian ada yang

menterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi Sort, Set, Shine, Standardize

and Sustain. Untuk lebih praktisnya, maka terjemahan yang akan

digunakan adalah versi bahasa Inggris yang lebih global digunakan

Gambar 2.2.Delapan tipe sampah menurut metode 5MQS (sumber: JIT Implementation
Manual; Waste an 5S’s, Hiroyuki Hirano, pg. 153)

Sort (pemilahan) dalam pengertiannya secara umum adalah

mengatur segala sesuatu, memilah sesuai dengan aturan atau prinsip


18

tertentu2. Sort berarti membedakan antara yang diperlukan dengan yang

tidak diperlukan, mengambil keputusan yang tegas, dan menerapkan

manajemen stratifikasi untuk membuang yang tidak diperlukan itu. Sort ini

penting agar kita dapat melihat mengapa keadaan menjadi sedemikian

parah dan kita akan menemukan akar masalahnya. Dengan demikian kita

dapat menangani penyebab permasalahan dan menangani penyebabnya

dengan tepat.

Set (penataan) adalah menyimpan barang di tempat yang tepat

atau dalam tata letak yang benar sehingga dapat dipergunakan dalam

keadaan mendadak. Ini merupakan cara untuk menghilangkan proses

pencarian. Yang diutamakan di sini adalah manajemen fungsional dan

penghapusan pencarian. Jika segala sesuatu disimpan di tempatnya demi

mutu dan keamanan, berarti tempat kerja yang rapih akan tercipta.

Shine (pembersihan) berarti membersihkan barang-barang,

membuang sampah, kotoran dan benda-benda asing. Shine ini

merupakan salah satu bentuk dari pemeriksaan. Dalam industri

pengolahan bijih nickel, shine mengusung semboyan clean to inspect,

inspect to correct, correct to perform. Jadi pembersihan yang diharapkan

adalah memudahkan inspeksi, memudahkan pengenalan lokasi, lintasan

pejalan kaki, lintasan pergerakan inventory dan pembersihan visual

indicator.

2
Takashi Osada, The 5S’s, Five Keys to A Total Quality Environment, 1995
19

Standardize (pemantapan) adalah satu tahap dalam 5S yang dapat

dilakukan setelah sort, set dan shine dilaksanakan. Standardize

memberikan batasan-batasan dan spesifikasi-spesifikasi yang digunakan

dalam 3S sebelumnya, memastikan semua orang mempraktikkan sort, set

dan shine dengan cara yang seragam dan cara yang terbaik. Standardize

memastikan lingkungan kerja aman, sehat, dan menyenangkan.

Sustain (pembiasaan) adalah langkah terakhir yang merangkum

keempat S sebelumnya agar tetap berkesinambungan dan menjadi bagian

dari pekerjaan sehari-hari. Sustain memastikan bahwa metode ini menjadi

budaya yang terjadi dalam perusahaan. Budaya ini yang akan mendorong

efektifitas dan efisiensi dalam perusahaan.

Manfaat yang didapat dari penerapan 5S adalah terlihat

sebagaimana gambar 2.3. Dalam gambar tersebut secara jelas dapat

dilihat mulai dari masing-masing bagian dalam 5S, proses yang terjadi dan

hasil output dari proses tersebut.

Dalam model yang terintegrasi, penerapan 5S dapat menggunakan

pendekatan integrasi empat aktivitas bisnis (Performance Management,

Process Management, Project Portfolio Management, dan Risk

Management) seperti yang dikemukakan oleh Stephen S. Bonham dalam

bukunya Actionable Strategies Through Integrated Performance, Process,

Project, and Risk Management (2008).

Bonham menjelaskan mengenai pentingnya alignment antara

process management (yang dapat dibantu oleh penerapan metode 5S),


20

performance management (yang didukung oleh proses standardize),

Portfolio Management (didukung oleh identifikasi kebutuhan – pada saat

sorting dan setting), dan Risk Management (yang dapat dengan mudah

dikenali pada saat 5S sudah sustain).

Gambar 2.3. Manfaat yang diperloleh dari implementasi 5S (Sumber: JIT Implementation
Manual; Waste and 5S’s, Hiroyuki Hirano, 1990
21

B.3 Root Cause Analysis

Root Cause Analysis (RCA) atau dalam bahasa Indonesia dapat

diartikan sebagai Analisa akar penyebab suatu masalah adalah suatu

proses terstruktur untuk menemukan penyebab dari kejadian yang tidak

diinginkan dalam lingkungan kerja, apakah itu adalah faktor fisik, manusia,

peralatan, proses, maupun laten (Neville Clarke, Root Cause Analysis

Training handouts, 2012).

Ada empat bagian dari proses praktikal penyelesaian masalah

yakni:

1. Grasp the situation: memahami situasi

 Mengidentifikasi permasalahan

 Klarifikasi permasalahan

 Breakdown permasalahan

 Menempatkan poin-poin dari penyebab

 Memahami kecenderungan dari masalah

2. Cause investigation: menyelidiki penyebab

 Identifikasi dan konfirmasi dari penyebab langsung dari kejadian

yang tidak normal

 Analisa akar penyebab masalah

3. Problem correction: penyelesaian masalah

 Menyusun rencana tindakan secara spesifik untuk

menyelesaikan masalah

 Mengeksekusi tindakan spesifik untuk menyelesaikan masalah


22

4. Prevention through error proofing: pencegahan melalui pencegahan

terjadinya error.

 Menyusun rencana tindakan untuk mencegah error terulang

 Mengeksekusi rencana tindakan untuk mencegah error

Keempat bagian ini dapat digambarkan sebagaimana dalam gambar 2.5.

Gambar 2.5. Metode praktikal penyelesaian masalah (Source: Neville Clarke hand out
training).

Sedangkan definisi dari masalah adalah:

 Gap antara kondisi sekarang (apa) dengan level kinerja yang di

harapkan (apa seharusnya, selayaknya, atau semampunya)

 Gap ini ada di proses, produk, atau system

 Masalah hanya dapat dianggap valid jika ”apa yang seharusnya

dilakukan”telah di tentukan

Gap yang disebutkan di atas dapat diidentifikasi dari:

 Komplain dari Pelanggan.


23

 Ketidak sesuaian output process

 Out of control process

 Management systems tidak di ikuti

 Insident keselamatan.

 Malsalah lingkungan.

 Tujuan atau target tidak tercapai.

 Dapat berupa kondisi sebenarnya, potensi atau gejala.

B.4 FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)

Metode RCA menyarankan untuk fokus pada yang penting. Banyak

effort yang dilakukan oleh perusahaan tanpa hasil yang memadai karena

tidak berfokus pada apa yang penting. Bahkan kegagalan bisa saja terjadi

lantaran kurangnya fokus dan batasan pada bagaimana secara logis

menentukan mana ‘yang paling penting’ vs ‘hanya penting’.

Untuk membantu menganalisis mana yang paling penting, maka

sering digunakan FMEA (Failure Modes and Effect Analysis) sebelum

RCA dijalankan.Sebagai contoh dari FMEA dapat dilihat dalam tabel

2.1.Dalam implementasi 5S maka FMEA-nya adalah hal yang paling bisa

dilaksanakan dengan impact yang paling besar.Namun jika kita tidak

memiliki data, maka untuk biaya dapat di kalkulasi dengan assumsi

sebagaimana yang berlaku dalam perusahaan.

Contoh dari FMEA dapat dilihat dalam tabel 2.1 di bawah. Dalam

tabel tersebut dapat dilihat bagaimana total annual lost didapatkan


24

sehingga faktor yang paling signifikan adalah keterampilan

mengimplementasaikan 5S.

Subsystem Event Mode Frequency Manpower Material Lost Profit Total


Opportunity Annual
Lost
Skill to Sorting Mistakes In Monthly $ 4.000 $ 30.000 $ 12.000 $552.000
implementing Failure identification
5S and
methods
Leadership 5S Not Weekly $ 4.000 $ 100 $ 600 $244.400
Workshop engaged
employees
Tabel 2.1. Contoh tabel FMEA (Sumber Robert J. Latino, Root Cause Analysis, 2002)

B.5 Pareto Analysis

Pareto analysis (Analisis Pareto) adalah metode yang digunakan

untuk memilah masalah yang paling memiliki pengaruh dalam

penyelesaian masalah.Untuk definisinya, Analisis Pareto adalah teknik

statistik dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk pemilihan

sejumlah tugas yang menghasilkan efek keseluruhan yang signifikan.

Analisis ini menggunakan prinsip Pareto - gagasan bahwa dengan

melakukan 20% dari pekerjaan, maka dapat menyelesaikan 80% dari

pekerjaan. Atau dalam hal peningkatan kualitas, sebagian besar masalah

(80%) yang dihasilkan oleh penyebab beberapa kunci (20%).

Analisis Pareto biasanya digunakan sebelum fishbone

analysisdalam mencari akar masalah, atau setelah menggunakan logic

tree dalam memahami kecenderungan penyebab, dan setelah fishbone

analysis untuk menentukan rencana tindakan.

Penggunaan analisis Pareto ini dapat dilakukan berulang kali pada

beberapa langkah dalam Root Cause Analysis, tergantung dari


25

kompleksitas masalah dan seberapa banyak variabel independent yang

harus disaring.Tentu saja mengeksekusi semua penyebab adalah tidak

efisien karena keterbatasan anggaran dan sumber daya.

B.6 Fishbone Analysis

Fishbone Analysis adalah merupakan analisis yang mencari

penyebab-penyebab dengan mem-break down penyebab dalam bentuk

diagram serupa dengan tulang ikan. Penyebab-penyebab tersebut terbagi

atas penyebab manusia, metode, mesin dan material.

Dengan menggunakan Fishbone Analysis ini, akan didapatkan

penyebab-penyebab yang kecil yang lebih mudah di-treat. Membutuhkan

keahlian sesuai dengan masalah dalam analisis ini dari semua orang yang

interface dengan permasalahan yang dihadapi.

B.7 5 Whys

Five whys (5 Whys) adalah salah satu cara untuk sampai kepada

akar masalah yang sebenarnya. Namun tidak mutlak hanya lima tingkatan

pertanyaan ‘mengapa’, bisa jadi kurang dari lima atau bahkan lebih dari

lima tingkatan. Kebanyakan memang berakhir pada tingkatan yang ke

‘mengapa’ yang ke-lima.

Five whys pada dasarnya menanyakan mengapa masalah itu

terjadi.Untuk tiap jawaban ditanyakan lagi mengapa, dan demikian

seterusnya sampai didapatkan inti dari permasalahan yang


26

sesungguhnya.Metode ini cukup efektif jika dilakukan dengan para ahli

dibidangnya dan dengan diskusi brain storming.Five whys ini dipadukan

dengan metode-metode lainnya akan menjadi cukup powerful untuk

mendapatkatkan keputusan yang tepat. Pada dasarnya untuk masalah

yang sederhana bisa langsung diapplikasikan. Namun untuk masalah

yang lebih kompleks dapat digabungkan dengan metode lain

sebagaimana tergambar dalam gambar 2.5.

Gambar 2.5. Penerapan metode 5 whys.(sumber Neville Clarke training handout)


27

C. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENGARAH


Dalam menyusun kerangka pikir, penulis melakukan sesuai dengan

gambar 2.6 di bawah, implementasi 5S sebagai tools dalam transformasi

proses yang inefisiensi menjadi keunggulan dihambat oleh berbagai faktor

sehingga implementasinya pada tahun ketiga bahkan jika tidak ada

treatment dapat berlanjut sampai tahun ke-n tetap tidak mendapatkan

hasil yang memuaskan.

YEAR 1 YEAR 2 YEAR 3 YEAR n

Implementasi 5S:
INEFISIENSI PROSES

KEUNGGULAN
Sort, Set, Shine,
Standardize,
Sustain

Faktor-faktor penghambat
implementasi

Gambar 2.6. Kerangka pemikiran mengenai penghambat dari implementasi 5S

Sebelum penelitian, penulis menjadikan Leadership, Knowledge


Management dan Strategi Implementasi sebagai suspect penyebab
terjadinya kelambatan implementasi 5S. Kerangka pikirnya sesuai dengan
gambar 2.7 di bawah.
28

Training Media Komunikasi

Knowledge
Skill

Leadership
5S sukses
Eksekusi
Knowledge Motivasi Karyawan terimplementasi
implementasi 5S
sebagai structure

Insentif

Training Implementation
Implementation
Kontrol monitoring
Strategy Plan

Gambar 2.7. Kerangka pikir dan hipotesis


Tetapi hal tersebut harus dibuktikan dengan penyelidikan-penyelidikan dan hal yang paling memberikan efek
kelambatan harus dikelola sehingga memberikan hasil yang paling optimum.
29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. RANCANGAN PENELITIAN

Melihat kembali latar belakang permasalahan penelitian yang ada

pada Bab I, sangat jelas bahwa tujuan studi dari penelitian ini adalah

eksploratif, dimana situasi mengenai penghambat implementasi 5S belum

diketahui, dan bersifat kualitatif.Studi exploratif ini merupakan jalan yang

paling disarankan untuk memahami dengan lebih baik sifat masalah

karena mungkin baru sedikit studi yang dilakukan dalam bidang ini3.

Metode analisis dalam penelitian ini dirancang dengan

menggunakan langkah-langkah dalam Root Cause Analysis (RCA),

dengan menggunakan peralatan yakni analisa Pareto, matriks FMEA,

diagram Fishbone dan 5 whys seperti yang telah dijelaskan dalam BAB II

sebelumnya.Analisis-analisis ini dilakukan pada setiap langkah RCA

sesuai dengan polanya, jenis informasinya dan kesederhanaan

pengambilan keputusan.

Walaupun metode analisis menggunakan root cause analisis

(analisa akar permasalahan), namun kesimpulan akan diambil secara

deduksi, dan studi ini bersifat korelasional, mengingat keinginan untuk

menemukan variabel-variabel penting yang berkaitan dengan masalah,

dan berfokus pada yang memberikan dampak yang paling besar (Pareto).

3
Uma Sekaran, 2003, Research Methods for Business, Jilid 1, hal 156.
30

B. LOKASI DAN WAKTU

Penelitian ini akan dilakukan pada sebuah perusahaan penambang

dan pengolah nikel yang terdaftar di BEI, sejak bulan Maret 2013 sampai

semua data lengkap. Lokasi pengambilan data yang dilakukan dengan

cara audit adalah pada keseluruhan wilayah perusahaan secara sampling,

dan kemudian dilanjutkan dengan fokus pada departemen yang paling

memberikan dampak besar jika di-treat.

C. POPULASI TEKNIK SAMPEL

Ada 268workpost pada perusahaan yang menjadi obyek penelitian

sehingga teknik sampel yang digunakan adalah teknik klaster yang

merupakan teknik memilih sampel dengan menggunakan prinsip

probabilitas.Teknik ini mempunyai sedikit perbedaan jika dibandingkan

dengan kedua teknik yang telah dibahas di atas.Teknik klaster atau

Cluster Sampling ini memilih sampel bukan didasarkan pada individual,

tetapi lebih didasarkan pada kelompok, daerah, atau kelompok subjek

yang secara alami berkumpul bersama.Teknik klaster sering digunakan

oleh para peneliti di lapangan yang wilayahnya mungkin luas.Dengan

menggunakan teknik klaster ini, mereka lebih dapat menghemat biaya dan

tenaga dalam menemui responden yang menjadi subjek atau objek

penelitian.
31

Memilih sampel dengan menggunakan teknik klaster ini mempunyai

beberapa langkah seperti berikut.

1. a. Identifikasi populasi yang hendak digunakan dalam studi. b.

Tentukan besar sampel yang diinginkan.

2. Tentukan dasar logika untuk menentukan klaster.

3. Perkirakan jumlah rata-rata subjek yang ada pada setiap klaster.

4. Daftar semua subjek dalam setiap klaster dengan membagi antara

jumlah

5. Sampel dengan jumlah klaster yang ada.

6. Secara random, pilih jumlah angggota sampel yang diinginkan

untuk setiap klaster.

7. Jumlah sampel adalah jumlah klaster dikalikan jumlah anggota

populasi per klaster.

D. INSTRUMEN PENGUMPUL DATA

Dalam mengumpulkan data pada penelitian kualitatif ini, digunakan

metode Focus Group Discussion (FGD) dan telaah dokumen.FGD efektif

untuk Analisa 5 Whys, Analisis Fishbone.Sedangkan telaah dokumen

dapat dilakukan pada data-data kuantitatif, dan berujung pada Analisa

Pareto.

Terdapat report data kuantitatif yang telah direcord oleh

implementator selama 2 tahun terakhir. Data tersebut berasal dari audit


32

implementasi dan sangat relevan. Informasi-informasi ini akan kemudian

dialignkan dengan daftar pertanyaan yang menjadi subjek audit.

Untuk informasi lainnya akan diambil dari angket/kuissioner,

wawancara dan observasi pada pemilik lokasi kerja sesuai dengan

pemetaan di tiap departemen.

E. ANALISIS DATA

Analisis data akan banyak menggunakan langkah-langkah dari

metode RCA sebagaimana dibahas dalam Bab II sebelumnya dengan

menggunakan empat alat analisis yakni analisa Pareto, 5 Whys, FMEA,

dan analisis tulang ikan (Fishbone).


33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. GAMBARAN UMUM IMPLEMENTASI

Obyek penelitian adalah sebuah perusahaan tambang nikel

terkemuka di Asia Tenggara.Perusahaan ini terus menerus

menyempurnakan prosesnya untuk mendapatkan competitive advantage

dalam bersaing dengan perusahaan dengan produk sejenis.Aset yang

dimiliki cukup besar, didukung oleh lebih dari tiga ribu karyawan permanen

dan sekitar enam ribu karyawan kontraktor, baik yang bekerja secara

langsung maupun tidak langsung.

Penyempurnaan proses dalam rangka mendapatkan competitive

advantage sebagaimana disebutkan diatas, perusahaan ini menerapkan

manajemen proses (process management) yang dinilai paling tepat. Tools

yang digunakan ada banyak, diantaranya terdapat 5S dan Root Cause

Analysis. Kedua tools ini termasuk dalam tools yang dikampanyekan

melalui sistem produksi untuk menjadi budaya dalam perusahaan, karena

di nilai sebagai hal yang paling dasar untuk dimiliki oleh setiap karyawan

tanpa terkecuali.

Kedua tools ini ternyata dapat saling mendukung. 5S dapat

memudahkan Root Cause Analysis karena pengelolaan visual yang

memperjelas pencarian penyebab dasar, dan RCA dapat digunakan


34

dalam mencari penyebab dasar dari masalah-masalah yang terjadi dalam

proses berkaitan dengan 5S. Misalnya pada saat melakukan workshop 5S

di area operation, ditemukan root cause dari budget pembelian material

yang sangat besar pada area tersebut, karena begitu banyak inventory

yang belum jelas peruntukan dan waktu pemakaiannya.Dan dengan RCA

juga dapat diidentifikasikan penyebab dari sering hilangnya peralatan

kerja yang ternyata berhubungan dengan letak toolboard yang tidak

memadai.

Implementasi 5S di perusahaan yang menjadi obyek penelitian

dikatakan lambat mengacu pada pencapaian tahunan yang setelah masuk

tahun ke tiga masih selalu berada di bawah target yang ditetapkan oleh

manajemen. Padahal untuk menerapkan TQM (Total Quality

Management), TQS (Total Quality Service) dan TPM (Total Productive

Maintenance) visual management (5S) adalah hal mendasar.4

Keterlambatan ini memerlukan rencana tindakan (action plan) yang

tepat, yang langsung diberlakukan pada penyebab dasar.Oleh karena itu,

diperlukan analisis mendalam mengenai hal-hal yang menjadi penyebab

dasar, sehingga rencana tindakannya efektif.

Untuk memudahkan implementasi 5S, maka perusahaan

memetakan keseluruhan wilayahnya menjadi 268workpost aktif.Setiap

workpost terdapat satu workpost owner yang bertanggung jawab terhadap

implementasi 5S dalam lingkupan workpost-nya. Perusahaan ini

4
Noronha, Carlos; 2002; The Theory of Culture-specific Total Quality Management in Chinese
regions; Hal.130
35

mendefinisikan bahwa yang mereka sebut sebagai workpost adalah

sebuah area atau region yang memiliki kelengkapan komponen-

komponen dan elemen-elemen yang berhubungan dengan sebuah proses

yang khusus dalam melakukan aktivitas-aktivitas rutin secara efektif. Satu

workpost biasanya merupakan satu wilayah kerja dari satuan unit terkecil,

sehingga workpost owner biasanya adalah Supervisor atau Manager.

Workpost dibedakan menjadi tiga jenis.Yang pertama adalah

workpost operational, yakni workpost yang berada dalam lingkungan kerja

dimana operations dan maintenance dilaksanakan.Misalnya bengkel,

pabrik, gudang, dan terminal kendaraan, lapangan, dan lain-lain.Yang

kedua adalah workpost kolektif, yakni workpost dalam sebuah gedung

perkantoran namun digunakan bersama-sama.Contoh dari workpost ini

adalah ruangan rapat, koridor, toilet, perpustakaan, dapur kering, tangga,

ruang makan, ruang ganti pakaian, dan lain-lain.Yang kedua adalah

workpost administratif, adalah areal yang digunakan untuk kegiatan

administrasi, kontrol maupun manajemen. Contohnya adalah ruangan

kontrol, ruangan kantor, ruang perencanaan, laboratorium, kantor

manajemen dan yang sejenisnya.5

Dalam tiap kuartal dilakukan assessment (audit) 5S pada tiap

workpost. Nilai (score) yang diperoleh dari assessment ini merupakan nilai

(score) 5S bagi semua pekerja dalam workpost tersebut. Untuk manajer

yang memimpin beberapa workpost, maka nilainya diambil hasil dari rata-

5
Reg- 00076-G, Prosedur 5S VALE.
36

rata beberapa workpost yang dipimpinnya.Demikian seterusnya sampai

manajemen puncak.

Assessment dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan menggunakan

protokol audit yang telah dirumuskan di level korporasi. Protokol audit 5S

berisi daftar pertanyaan dengan bobot masing-masing bagian,

sebagaimana berikut:

1. S1 (Sort) : 20 poin

2. S2 (Set) : 20 poin

3. S3 (Shine) : 20 poin

4. S4 (Standardize) : 20 poin

5. S5 (Sustain) : 20 poin

Jumlah : 100 poin

Daftar pertanyaan dari dari masing-masing S memastikan bahwa tiap S

tersebut dilakukan sesuai dengan yang semestinya.

Untuk Sort, pertanyaan-pertanyaan memastikan bahwa semua

barang, peralatan, instrument, permesinan dan sebagainya yang ada

dalam workpost berguna bagi aktivitas dalam workpost tersebut, tidak ada

sampah yang menyita tempat areal bekerja, tidak ada timbunan inventory

yang urgent dibutuhkan, tidak ada material atau perlatan yang cacat, tidak

ada kesalahan dalam memfungsikan material/peralatan dan tidak ada hal

yang tidak berguna (tidak memberikan nilai tambah pada proses) dalam

workpost tersebut.
37

Dalam Set, daftar pertanyaannya akan lebih memastikan bahwa

semua barang dan hal memiliki tempat dan berada pada tempatnya.

Penentuan tempat juga menjadi penilaian dalam Set, bagaimana

penempatan hal mengurangi pergerakan, memudahkan identifikasi,

pemisahan sampah, keteraturan penempatan, pengaturan benda

berdasarkan keselamatan dan kesehatan kerja, penandaan dan pelabelan

yang jelas.

Daftar pertanyaan dalam kategori Shine memastikan pembersihan

areal kerja, peralatan, material, ruangan, lapangan, peralatan sirkulasi

udara, dan sebagainya. Shine juga memberikan efek ‘eye catching’ untuk

bagi hal-hal atau benda-benda yang menyimpang. Kebocoran gas, air,

uap, minyak dan sumber daya lainnya juga termasuk didalamnya.Rutinitas

dan budaya kebersihan inipun menjadi aspek yang dinilai.

Untuk Standardize, daftar pertanyaan yang ditetapkan oleh

korporasi lebih menitik beratkan pada ‘well-being’ atau kesehatan dalam

bekerja, baik itu psikis maupun fisik. Psikis memastikan bahwa pekerjaan

dilakukan sesuai dengan kapasitas pemangku jabatan, dan pekerjaan

memberikan dampak minim pada kesehatan kejiwaan seseorang. Dengan

kata lain ada keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan,

Secara fisik, persyaratan dalam Standardize ini memastikan dalam

workpost ini tidak ada hal yang melebihi ambang batas toleransi yang bisa

diterima oleh tubuh manusia, dan jika ada harus diproteksi. Misalnya

getaran, suara, pencahayaan dan lain sebagainya.


38

Kategori Sustain memastikan bahwa keempat S yang ada

sebelumnya tersistem, dan terimplementasi dengan stabil pada semua

workpost.Termasuk didalamnya mengenai budaya yang langsung dapat

terlihat secara visual pada setiap kondisi workpost dan aktivitas-aktivitas

orang di dalamnya.

Bagian perusahaan yang menerapkan 5S adalah semua bagian

dibawah Chief Operation Officer (COO), karena merupakan bagian yang

memiliki areal kerja yang paling besar dengan jumlah karyawan yang

paling dominan pula.

COO memimpin lima Departemen yang dikelola oleh seorang

Senior General Manager (SGM). Departemen-departemen tersebut

adalah:

 Departemen Pemeliharaan dan Utilities

 Departemen Pabrik Pengolahan Nikel

 Departemen Rekayasa, Pengembangan Teknoogi, dan Penunjang

 Departemen Keunggulan Operasi

 Departemen Penambangan dan Eksplorasi

COO dalam organisasi perusahaan tambang merupakan posisi

manajemen level empat (L4), SGM merupakan posisi level tiga (L3), GM

(General Manager) merupakan posisi level dua (L2) dan Manager

merupakan posisi manajemen level satu (L1). Di bawah Manager ada

Supervisor yang mengepalai beberapa pekerja, atau professional yang

memberikan support pada manager. Gambaran organisasi yang menjadi


39

objek penelitian adalah sebagaimana tergambar dalam Gambar 4.1 di

bawah.

COO

SGM
SGM Rekayasa, Penge
SGM Pabrik SGM Pembangkit SGM Keunggulan
Penambangan mbangan
Pengolahan dan Perawatan Operasi
dan Eksplorasi Teknologi dan
Pendukung

Gambar 4.1. Struktur organisasi dibawah COO

B. GAMBARAN PENELITIAN

Penelitian menggunakan ke tujuh langkah yang ada dalam metode

Root Cause Analysis (sebagaimana yang telah digambarkan dalam Bab

III). Untuk kategori grasp the situation, ada lima langkah yang akan

dilakukan yakni identify the problem, clarify the problem, breakdown the

problem, locate the points of cause dan grasp the tendency of the

problem. Untuk kategori cause investigation, ada dua langkah yakni

identify and confirm the direct cause of the abnormal occurance dan

analysis the root cause. Terakhir, kategori problem correction/prevention,

terdiri dari take specific action to address the problem.


40

Lima langkah dalam grasp the situation, dalam penelitian ini,

dilakukan dengan menganalisis data audit 5S yang ada dalam

perusahaan, sebagai salah satu KPI dari tiap lini manajemen dan

karyawan. Data hasil audit ini akan digunakan dalam analisis Pareto,

analisis FMEA, dan juga dalam FGD. Identifikasi masalah, klarifikasi

masalah, melihat tendensi masalah, dan melihat letak masalah dapat

diperoleh dari data audit dan hasil diskusi dalam FGD.

Untuk mendapatkan hasil yang paling maksimal, maka focus group

discussion (FGD) diadakan sebanyak tiga kali yakni dengan group

implementator satu kali dan dengan group perwakilan area implementasi

dua kali pertemuan. Group perwakilan dari area implementasi diadakan

dua kali untuk menangkap semua isu baik yang berasal dari karyawan,

maupun yang berasal dari kepemimpinan.

Dua langkah dalam kategori cause investigation yakni and confirm

the direct cause of the abnormal occurance dan analysis the root cause

dilakukan dengan melakukan analisa fishbone dalam FGD yang

dilakukan. Klarifikasi direct cause dengan melihat langsung lokasi

terjadinya masalah, sehingga brainstorming tidak menyimpang dari

kejadian yang sebenarnya.

C. IDENTIFIKASI MASALAH

Untuk memantapkan kesempurnaan proses, langkah pertama

adalah mengeliminasi kondisi yang tidak normal dan diluar kondisi yang
41

dapat dikontrol dengan menggunakan root cause analysis (RCA).

Menstabilkan proses akan memampukan kita untuk mengukur kapabilitas

proses. Sehingga variasi dalam proses dapat dikurangi dan menaikkan

target menggunakan metodologi six sigma6. Konsep ini membantu kita

untuk menetapkan masalah dengan membandingkan secara langsung

aktual pencapaian skor dengan target yang telah ditetapkan oleh

manajemen.

Dalam metode analisa RCA sendiri, tahap yang paling pertama

adalah mengenali atau mengidentifikasi masalah. Definisi masalah itu

sendiri adalah gap antara kondisi sekarang dengan level kinerja apa yang

diharapkan (apa yang seharusnya, selayaknya atau semampunya).7 Gap

ini dapat terjadi dalam proses, produk ataupun sistem. Kesalahan dalam

formulasi masalah dapat berakibat fatal, karena solusi yang didapatkan

dapat menyesatkan bahkan menjadi kerugian dalam implementasi solusi

tersebut.

Konteks dari mengidentifikasi masalah ini adalah mengenali gap

yang menjadi fokus dari analisis selanjutnya.Masalah ini harus didukung

oleh data, apakah itu berasal dari data primer, sekunder maupun

tertier.Untuk penelitian ini, telah dilakukan assessment (audit) 5S. Sebagai

pembanding (untuk mendapatkan gap) dapat digunakan target tahunan

yang telah ditetapkan oleh COO.

6
Latino, Robert J, 2002, Root Cause Analysis
7
Neville Clarke Root Cause Analysis Handouts Training, December 2012
42

Pada tahun 2011 sebagai awal diterapkannya 5S, target untuk

pencapaiannya belum ditetapkan, menimbang program ini masih dalam

pengembangan.Namun kebanyakan dari area berusaha mencapai poin 20

untuk dua S pertama. Pada tahun 2012, target pencapaian 5S ditetapkan

40 poin (dari 100 poin) untuk semua jenis workpost. Pada tahun 2013,

target pencapaian untuk workpost operasional dan kolektif tetap 40 poin,

dan administratif ditetapkan 60 poin.

Untuk workpost operational, tahun 2011 masih berfokus pada dua

S yakni shine dan sort. Di tahun 2012, fokus sudah dilebarkan ke sort, set

dan shine, dan ini diteruskan ke tahun 2013. Untuk workpost kolektif, juga

dilakukan seperti operational. Sedangkan untuk workpost administratif,

pada tahun 2013 sudah fokus menerapkan sort, set, shine, standardize

dan sustain.

Departemen-departemen yang disebutkan pada sub-bab gambaran

umum implementasi di atas, sampai dengan assessment kuartal pertama

tahun 2013 mendapatkan score sebagaimana terlampir dalam tabel 4.1.

2011 2012 2013 (Q1)

Actual Target 2011 Actual Target 2012 Actual Target 2013

L3 Process Plant 12.48 20 34.08 40 33.97 47.99

L3 Maintenance &
20.35 20 36.23 40 33.39 47.99
Utilities

L3 Engineering, Tech.
16.80 20 40.40 40 39.54 47.99
Dvlp., and Support

L3 Mining &
28.43 20 39.65 40 38.21 47.99
Exploration

Tabel 4.1. Rangkuman skor 5S untuk masing-masing SGM (Manajemen Level 3)


43

Dalam tabel 4.1, area dibagi sebagaimana departemen yang ada

yakni L3 Process Plant (SGM Pabrik Pengolahan), L3 Maintenance and

Utilities (SGM Pembangkit dan Perawatan), L3 Engineering Technological

Development and Support (SGM Rekayasa Pengembangan Teknologi

dan Pendukung) dan L3 Mining and Exploration (SGM Penambangan dan

Eksplorasi). L3 Operational Excellence (SGM Keunggulan Operasional)

tidak dilakukan assessment (audit) karena hanya berupa area

administratif, dan merupakan departemen yang melakukan audit.

Data di dalam tabel 4.1 di atas kemudian masing-masing coba

dipisahkan skor untuk administratif dan kolektifnya, sehingga yang tersisa

hanya skor workpost operasional.Dan ternyata skornya turun

sebagaimana yang terlihat dalam Tabel 4.2.Hal ini memberikan kita

kesimpulan bahwa masalah terbesar terjadi pada workpost operasional.

Tabel 4.2.Skor pencapaian workpost operational

Jika kita merata-ratakan ke empat departemen ini maka diperoleh

gap sebesar 33.9% sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4.2. Sehingga
44

kita dapat mengidentifikasi masalah bahwa terjadi gap antara aktual

pencapaian skor operasional terhadap skor maksimal yang diharapkan

sebesar 33.9%. Ini adalah gap KPI terhadap target yang diharapkan

GAP

Gambar 4.2. Gap yang didapatkan dari perbandingan plan dan aktual

Sehingga masalah dapat digambarkan sebagaimana gambar 4.3 di

atas, yakni masalah yang didapatkan adalah gap sebesar 33.9% pada

workposts operasional.

D. KLARIFIKASI MASALAH

Langkah ke-dua dari RCA adalah melakukan klarifikasi

masalah.Terminologi dari klarifikasi masalah di sini adalah memperjelas

masalah dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang jelas terhadap

masalah. Dalam tahap ini, pertanyaan yang sering muncul adalah:

 Apa yang sebenarnya terjadi?

 Apa yang seharusnya terjadi?

Cara yang paling sering dilakukan dalam klarifikasi masalah adalah

dengan cara mengamati situasi,pergi ke lokasi dan lihat untuk memahami

(go and see), mengumpulkan informasi dan visualisasi masalah.


45

Untuk pertanyaan yang pertama, yakni ‘apa yang sebenarnya

terjadi’, kita dapat kembali melihat historikal dari pencapaian skor 5S

sebagaimana yang terlihat dalam Gambar 4.3.Dalam histogram ini dapat

dilihat pencapaian masing-masing L3 dari tahun ke tahun. Dari histogram

ini, kita juga melihat area L3 mana yang paling besar gap-nya di tahun

terakhir yang berpotensi besar untuk kita analisis. Sehingga masalah

yang diidentifikasi adalah keterlambatan progress implementasi 5S

terhadap target manajemen.

L3 Process PlantL3 Maintenance


L3 Engineering,
& Utilities Tech. Dvlp., and
L3 Mining
Support
& Exploration
2011 12,48 20,35 16,80 28,43
2012 34,08 36,23 40,40 39,65
2013
33,97 33,39 39,54 38,21
(Q1)

Gambar 4.3. Historikal pencapaian 5S dari waktu ke waktu

Historikal ini adalah rata-rata dari semua workpost, baik

operasional, kolektif maupun administratif.Setiap departemen memiliki

ketiga workpost tersebut dengan perbandingan yang bervariasi tergantung


46

pada nature aktivitasnya.Gambar 4.4 memperlihatkan perbandingan

antara jumlah ketiga workpost dalam tiap departemen.

Chart Title
Administrative Collective Operational

76
32 68

5
20
06
6
4
1
5 3
ETDS Maintenance & Mine and PP
Utilities Exploration

Gambar 4.4.Perbandingan antara jumlah workpost operasional, kolektif dan administratif.

Dari perbandingan visual dari Gambar 4.4 dapat kita pastikan

bahwa workpost operasional ternyata memiliki jumlah dengan

perbandingannya sangat besar, sehingga secara signifikan berpengaruh

pada skor keseluruhan.Hal ini mengklarifikasi Tabel 4.2 yang secara

drastis menurun pada saat workpost administratif dan kolektif coba

dikeluarkan dari keseluruhan data.

Oleh karena itu, maka melakukan treatment pada workpost-

workpost operasional akan menyelesaikan sebagian besar masalah. Dan

dari Gambar 4.3.juga dapat dilihat bahwa pencapaian di kuartal pertama

2013 pada beberapa departemen mengalami declining. Dan declining


47

yang paling besar terjadi di Departemen Maintenance dan Utilities.Hal ini

menjadi suatu indikator bahwa sustainabilitas dari program ini belum

dalam tahapan stabil. Ketidakstabilan ini menjelaskan translasi kultur

masih belum mengakar pada karyawan.

Dengan menggunakan analisis Pareto, kita juga dapat

mengkonfirmasi mengenai hal tersebut sebagaimana yang terlihat dalam

Gambar 4.5.Dengan menggunakan analisa Pareto yang pertama, maka

didapatkan bahwa departemen yang paling membutuhkan treatment

adalah Departemen Process Plan dan Mining. Namun team mendapatkan

kesulitan dalam melakukan perbaikan di sana karena tingkat produktivitas

yang kini menjadi sangat ketat dan peka. Dan ternyata setelah

menggunakan matrix FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)

sebagaimana terlihat dalam Gambar 4.5 bagian bawah, diperoleh bahwa

Departemen MU adalah departemen yang paling efisien dan efektif untuk

melakukan RCA

Dari hasil klarifikasi di atas, maka diperoleh kesimpulan bahwa

yang sebenarnya terjadi adalah: Departemen yang paling efektif dan

efisien untuk di RCA-kan adalah departemen Maintenance and Utilities.

Workpost operasional secara kuantitas merupakan jenis workpost paling

signifikan mempengaruhi gap yang terjadi, karena jumlahnya yang jauh

lebih besar dari jenis workpost yang lain.Tingkat pencapaian poin dari tiap

departemen tampak belum stabil sehingga translasi kultur karyawan

cenderung masih belum bergerak secara menyeluruh.


48

Pareto Chart of Area


900
100
800

700 80
600
60

Percent
Priority
500

400
40
300

200
20
100

0 0
Time Area MU ETDS MineXpl Other
Area Impact Possibility Priority Priority 729 81 27 27
Duration
Percent 84.4 9.4 3.1 3.1
PP 3 9 1 27 Cum % 84.4 93.8 96.9 100.0
MineXpl 3 3 3 27
MU 9 9 9 729
ETDS 3 3 9 81

Gambar 4.5. Analisa pareto dalam menentukan departemen mana yang akan menjadi fokus dalam RCA
49

Tinjauan ke lapangan untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi,

mengkonfirmasi ketiga hal di atas. Hal ini dapat terlihat dalam Gambar 4.6

sampai dengan Gambar 4.8.

Pada Gambar 4.6 terlihat salah satu ruang penyimpanan di

departemen Maintenance dan Utilities yang merupakan workpost

operasional.Tampak dengan jelas bahwa sangat sulit mencari, karena

akses yang dipadati oleh material-material yang tidak jelas kegunaannya

dan kapan digunakan.Akses ke rak-rak material tertutup, label tidak jelas

dan kondisi material tidak bisa dipastikan baik kualitas maupun

kuantitasnya.Penempatan barang tampak tidak teratur.

Gambar 4.6. Kondisi ruang penyimpanan – Maret 2013


50

Pada Gambar 4.7. adalah salah satu ruang dimana barang rusak

yang masuk pada bengkel elektrikal diletakkan dengan serampangan. Tak

ada aturan yang jelas, dan tampak elektrikal bercampur-baur antara motor

listrik berbagai ukuran, mesin las, mesin generator dan lain sebagainya.

Akses jalan sangat sulit, sehingga karyawan cenderung mengerjakan apa

yang dekat saja.

Hal yang sama terlihat pada bengkel mekanikal (Gambar 4.8).

Tidak ada akses lagi untuk bekerja, sehingga karyawan justru

mengerjakan peralatan rusak yang baru datang saja di bagian luar

bengkel.Hal ini menyebabkan pelanggan yang duluan memasukkan

peralatannya untuk dikerjakan akhirnya harus menunggu lama. Akses ke

peralatan untuk bekerja juga tertutup oleh peralatan yang akan diperbaiki.

Gambar 4.7. Kondisi ruang tunggu pengerjaan barang elektrikal – Maret 2013
51

Hasil inspeksi ke lapangan yang diuraikan di atas memperlihatkan

bahwa gap antar apa yang terjadi dengan konsep 5S masih cukup besar.

Kondisi ini mengklarifikasi masalah yang dirumuskan dalam identifikasi

masalah pada sub bab sebelumnya.

Pertanyaan ke-dua dalam langkah klarifikasi masalah adalah ‘apa

yang seharusnya terjadi?’.Dalam menjawab pertanyaan ini, maka perlu

kita lihat kembali target-target yang ditetapkan oleh manajemen pada

Tabel 4.1, dan juga rencana tiap departemen dalam tiga S pertama

workpost operasional pada Tabel 4.2.

Gambar 4.8. Kondisi ruang perbaikan mekanikal – Maret 2013


52

Penetapan target 5S diperoleh dengan melakukan selfassessment,

dan menandai requirement mana yang akan menjadi fokus dalam tahun

tersebut, mengingat portfolio perusahaan, potensial interupsi terhadap

operasi perusahaan akibat penerapan 5S ini, dan optimasi sumber daya

yang dimiliki.

Sedangkan rencana pencapaian di workpost operasional disusun

berdasarkan tiga S yang pertama (Sort, Set dan Shine) yang memang

dirancang untuk melampaui target dari manajemen. Hal ini memberikan

semacam buffer yang menjaga agar target tercapai.

Untuk itu, gap sebesar 33,8% pada Gambar 4.2 adalah gap yang

valid untuk menjadi landasan analisis selanjutnya. Requirement dalam

daftar pertanyaan yang masuk dalam gap 33.8% ini akan kita analisis

lebih lanjut.

E. MENGURAIKAN MASALAH DAN MENENTUKAN LOKASI


MASALAH
Menguraikan masalah adalah langkah ketiga dari RCA.Langkah ini

mengurai masalah sampai partikel terkecil sehingga mudah untuk

dianalisis.Sedangkan menentukan lokasi masalah adalah berfokus pada

lokasi aktual penyebab masalah dan melacak mepali untuk melihat titik

penyebab. Dalam tahap ini pertanyaan yang sering timbul adalah lokasi

mana yang menjadi titik fokus saya, dan apakah yang harus saya amati?

Hal yang paling kritis adalah bagaimana kita bisa menyederhanakan


53

permasalahan dengan me-locate permasalahan. Pada kasus ini terjadi

lompatan dari memeriksa lokasi terjadinya permasalahan ke memeriksa

lokasi masalah dalam proses yang ada.

Menggunakan Pareto kembali, didapatkan fakta sebagaimana

tergambar dalam Gambar 4.9. Ada empat area besar (sub-departemen)

yang berada di bawah Departemen Maintenance and Utilities yakni

Utilities Operation, Utilities Maintenance, Process Plant Maintenance, dan

Support Services. Dari Pareto didapatkan bahwa ada kesemuanya

memberikan dampak yang hampir sama, sehingga kita perlu menguraikan

permasalahan berdasarkan langkah audit dalam 5S score (dalam hal ini

ke tiga S pertama sebagai dasar penerapan pada workpost operasional)

Pareto
ParetoChart
Chartof
ofC9
C9
140
140
120
120
100
100 So we need
breakdown
100 80
80
100
Percent
Percent

80
80 60
60
Gap
Gap

problem base on
60
60 40
40
40
40
20

step (S1, S2 and


20 20
20
00 00
C9
C9 n cee M eess
io n PPPPM
annc
S3) assessment
at tio vicic
p eer ra teenna S eer r v
Op n t t S
s O ai in or r t
i ees Ma
iliilti ti s M ppppo
ieies SSuu
of 5s Score
t
UU t it
il lit
UUt ti
Gap
Gap 36.83
36.83 33.76
33.76 31.99
31.99 27.21
27.21
Percent
Percent 28.4
28.4 26.0
26.0 24.6
24.6 21.0
21.0
Cum
Cum% % 28.4
28.4 54.4
54.4 79.0
79.0 100.0
100.0

Gambar 4.9. Pareto ke empat sub-departemen utama pada Departemen Maintenance dan Utilities

Mengurai masalah berdasarkan langkah-langkah dari 5S dilakukan

dengan memperbandingkan non-compliance dari setiap S. Dalam hal ini,

Standardize dan Sustain (langkah ke empat dan langkah ke lima) akan

dapat distabilkan dengan terlebih dahulu mencapai Sort, Set dan Shine.
54

Gambar 4.10. Grafik Pareto untuk 3S pertama workpost operasional dan rata-rata gap
dari masing-masing pemilik workpost

Dari data yang ada kemudian ditemukan bahwa ada tiga

requirement utama dalam Set (S kedua) yang gapnya sangat besar

sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 4.10. Ketiga requirement

tersebut adalah:

 Q4: Penandaan, demarkasi, rambu dan label

 Q5: Penempatan pada tempatnya (right place)

 Q5: Keteraturan alat kerja (orderliness)

Gambar 4.11. Histogram dan Grafik Pareto untuk requirement 4,5,dan 6.


55

F. MEMAHAMI TENDENSI DARI PERMASALAHAN

Dalam memahami tendensi permasalahan kita akan menggunakan

kata tanya ‘siapa’, ‘di mana’, ‘kapan’, ‘seberapa frekwensinya’, ataupun

‘seberapa keparahannya’. Penggunaan kata tanya ini disesuaikan dengan

permasalahan yang dihadapi. Hal ini sangat penting sebelum

menanyakan ‘mengapa’.

Dalam masalah ini, kita bisa meneliti pada workpost milik siapa saja

terdapat penyimpangan paling besar.Kemudian kita pun dapat langsung

mendapatkan seberapa besar penyimpangan tersebut.Seperti yang

terlihat pada gambar 4.12, 4.13 dan 4.14, tendensi permasalahan

langsung dapat terlihat (pada barchart yang ditandai). Mereka inilah yang

nantinya akan diikutkan dalam FGD untuk mengetahui akar permasalahan

yang sebenarnya.

Gambar 4.12 Pemilik workpost dan besarnya penyimpangan di area Maintenance dan
Utilities untuk Q4: Sign, demarkasi, marking and labeling
56

Gambar 4.13 Pemilik workpost dan besarnya penyimpangan di area Maintenance dan
Utilities untuk Q5: Penepatan pada tempatnya (right place)

Memahami tendensi dari permasalahan ini membantu kita untuk

fokus pada arah tendensi permasalahan:

1. Untuk penandaaan, pembatasan, dan pelabelan, ada sepuluh dari

sebelas manajer Operation Thermal yang tidak memenuhi, enam

workpost milik manajer PM Furnace, dan masing-masing lima

workpost dari Maintenance PLTA dan Operation PLTA.

2. Untuk penepatan pada tempatnya urutannya juga tetap

yakniOperation Thermal, manajer PM Furnace, Maintenance PLTA

dan Operation PLTA

3. Untuk keteraturan alat kerja, ke-empat manajerial level tadi masih

muncul namun kali ini ditambah dengan manajer Fabrication Shop,

dan Manager Maintenance Thermal.


57

Gambar 4.14 Pemilik workpost dan besarnya penyimpangan di area Maintenance dan
Utilities untuk Q6 Keteraturan alat kerja (orderliness)

G. PENYEBAB LANGSUNG

Penyebab langsung adalah penyebab yang dapat langsung terlihat

faktanya.Penyebab tak kelihatan seperti potensial penyebab juga dapat

dikategorikan sebagai penyebab langsung, walaupun tetap harus

dikonfirmasikan dan dikonfrontasikan terlebih dahulu.

Ketiga masalah yang telah terlebih dahulu ditetapkan adalah

penandaan, rambu dan label yang kurang, penepatan pada tempatnya,

dan keteraturan alat kerja. Ketiga masalah inilah yang akan dicarikan

penyebab langsungnya. Apa yang secara faktual menjadi penyebab dari

ketiga masalah tersebut.

Pada FGD dengan orang-orang yang menjadi tendensi dari

permasalahan : manajer Operation Thermal, Operation Hydroplant,


58

Maintenance Hydroplant dan PM Furnace, didapatkan bahwa penyebab

dari tidak memenuhinya workpost mereka pada ke tiga requirement tadi

adalah:

1. Areal yang menjadi tanggung jawab mereka terlalu besar dan

penyebaran geografis yang membuat kontrol mereka kurang

2. Banyaknya peralatan cadangan yang harus mereka siapkan karena

operasi yang menuntut tidak boleh ada jeda.

3. Banyak karyawan yang dibawahi oleh mereka belum mendapatkan

training/pemahaman mengenai 5S.

4. Sumber daya manusia untuk eksekusi 5S kurang

5. Ownership yang sangat kurang dikalangan pekerja

6. Sistem kontrol material masih lemah sehingga material berlimpah

dalam ruang-ruang atau areal-areal penyimpanan.

7. Regulasi perusahaan mengenai ini masih belum jelas bagi mereka

8. Manajer-manajer atas tampaknya belum menegaskan mengenai 5S

sehingga manajer-manajer bawah tidak melihat urgenitasnya.

Kedelapan penyebab langsung ini kemudian diplotkan ke diagram

tulang ikan (fishbone diagram) untuk kemudian di analisis lebih lanjut,

sebagai tulang pertama dalam fishbone (sebagaimana terlihat dalam

gambar 4.15)
59

Gambar 4.15 Analisis fishbone diagram: Rambu, demarkasi, penandaan, dan pemberian label

Mesin/Equipment Material

Peralatan yang terlalu banyak Spare part dan material spare


yang terlalu banyak
Sorting yang masih kurang
Tempat penyimpanan yang
terbatas
Lokasi workpost yang terlalu
luas untuk dikontrol Planner/Part Cordinator
kurang kontrol

Penandaan,
Demarkasi,
Pemasangan Rambu
dan Label yang tidak
memadai Pemahaman mengenai Sistem kontrol
konsep masih kurang kurang
Reward dan Punishment
Kurang pelatihan
Leadership enforcement
Bekerja shift

Regulasi belum diadopsi dari


Tidak masuk dalam role dan Kurang ownership pada global
jadwal program 5S
Belum disosialisasikan
SDM kurang Keterlibatan pemimpin kurang
Belum ada penegasan
Manpower Metode
60

H. ANALISA PENYEBAB DASAR

Masing-masing basic cause yang tercantum di atas, kita plot ke

dalam sebuah diagam fishbone. Tulang utama yang kita pergunakan

adalah Mesin/Equipment, Material, Manpower dan Metode.

Untuk penyebab langsung yang pertama, yakni areal yang

tanggung jawab yang terlalu besar bagi masing-masing manager kita plot

ke mesin/equipment, mengingat areal adalah salah satu aset fisik yang

membantu dalam produksi.Kita mencoba melihat penyebab dasar dengan

menggunakan 5 Whys, sebagaimana tabel 4.3.

Why 1 Why 2 Why 3 Why 4 Why 5


Pembagian Kompetensi Pelatihan
workpost tidak supervisor tidak Konseptual 5S
dipecah sampai kurang untuk tidak diikuti
unit terkecil menjadi oleh supervisor
(Supervisor) workpost owner
Tabel 4.3. 5 Whys untuk lokasi workpost yang terlalu luas untuk dikontrol

Pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa root cause dapat berhenti pada why ke

tiga. Hal ini dapat saja dilakukan mengingat penyebab dasar yangbisa

diselesaikan sudah didapatkan. Sehingga dari 5 whys ini kita

mendapatkan 3 rekomendasi:

1. Mereview luasan workpost, yang besar dipecah sampai unit

terkecil(supervisor), dan yang terlalu kecil digabung

2. Membangun kompetensi supervisor dalam konseptual 5S.

3. Menyediakan training khusus buat supervisor shift sore dan shift

malam.
61

Untuk penyebab langsung yang kedua yakni banyaknya peralatan

cadangan yang harus mereka siapkan karena operasi yang menuntut

tidak boleh ada jeda.Resikonya adalah peralatan cadangan (spare)

berada dimana-mana, sehingga banyak terjadi pembelian spare

berganda, yang mengakibatkan waste bagi perusahaan.

Why 1 Why 2 Why 3 Why 4 Why 5 Why 6


Penyimpanan Tempat Spare sisaPlanner dan Spare yang Belum
yang tidak penyimpan maintenance material ada tidak pernah
ditentukan an yang dan project coordinator teridentifikasi melakukan
dan diberi kurang yang ikut
terus dan sort dan set
label. akibat memenuhi membeli terkuantifikasi
terlalu areal tanpa dengan benar.
banyak penyimpanan memeriksa
barang material yang
ada
Tabel 4.4. 5 Whys untuk peralatan yang terlalu banyak

Pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa root cause pertanyaan ini justru

berhenti di why yang ke enam. Jika kita berhenti di why yang ke lima,

penyebab dasar masih belum kita temukan. Rekomendasi yang kita

peroleh adalah:

1. Mengadakan sort dan set sampai material dilokasi cukup,

terkuantifikasi dan teridentifikasi dengan baik.

2. Membuat jadwal routine sort dan set selain shine yang sudah ada.

Why 1 Why 2 Why 3 Why 4 Why 5


Kurang yang Karyawan Penjadwalan
dapat bekerja shift training tidak
menghadiri sehingga tidak dialignkan
pelatihan semua dapat dengan shift
konseptual 5S menghadiri karyawan
training
Tabel 4.5. 5 Whys untuk pemahaman konsep di kalangan karyawan kurang

Untuk penyebab langsung yang berikutnya, banyak karyawan yang

dibawahi oleh mereka belum mendapatkan training/pemahaman


62

mengenai 5S, kita plot ke bagian Manpower pada diagram fishbone.

Kemudian kita mencoba melihat penyebab dasarnya.

Pada tabel 4.5 dapat dilihat bahwa root cause kurangnya

pemahaman karyawan adalah tidak sinkronnya waktu training dengan jam

kerja karyawan. Sehingga rekomendasinya adalah membuat jadwal yang

sesuai dengan jam kerja karyawan.

Penyebab langsung yang lain adalah kurangnya sumber daya

manusia untuk mengeksekusi program 5S ini. Breakdown dari masalah ini

adalah sebagaimana dalam tabel 4.6.Rekomendasi yang timbul adalah:

1. Mengadopsi regulasi 5S dari korporasi global dan

mengkomunikasikannya kepada karyawan

2. Memasukkan 5S pada setiap aktivitas kerja dalam

perencanaan.

Why 1 Why 2 Why 3 Why 4 Why 5


5S tidak Bagian Prosedur Regulasi tidak Regulasi
dimasukkan perencanaan perencanaan dialignkan oleh perusahaan
dalam role tidak tidak perencanaan, belum
dan jadwal. mengalokasikan mengakomodasi karena diadopsi oleh
waktu untuk persyaratan sosialisasi unit bisnis di
melakukan yang ditetapkan regulasi yang Indonesia.
proper cleaning dalam regulasi kurang
dan 5S perusahaan.
housekeeping
dalam setiap
kegiatan
Tabel 4.6. 5 Whys untuk pemahaman konsep di kalangan karyawan kurang

Penyebab langsung yang lain adalah ownership yang sangat

kurang dikalangan pekerja. Masalah ini juga merupakan symptom yang

penyebab dasarnya kita cari melalui 5 whys seperti tabel 4.7 di bawah.
63

Rekomendasi yang timbul adalah:

1. Workshop dengan manajemen lini mengenai tujuan dan letak

5S dalam strategi jangka panjang

2. Menetapkan reward untuk memotifasi pemimpin untuk terlibat.

Why 1 Why 2 Why 3 Why 4 Why 5


Keterlibatan Penekanan Pemimpin masih Konseptual Implementator
pemimpin program ini dari belum ‘buy in’ belum belum
yang kurang sepanjang mengenai dimengerti memberikan
manajemen lini metode 5S ini. oleh banyak konsep 5S
kurang. pemimpin secara utuh
kepada
manajemen
lini.
Tabel 4.7. 5 Whys untuk ownership karyawan yang kurang

Penyebab langsung berikutnya adalah material cadangan atau

inventori yang terlalu banyak, sedangkan tempat penyimpanan yang

terbatas.Inventori yang terlalu banyak adalah merupakan

waste.Penambahan tempat penyimpanan adalah penanaman modal baru

yang belum tentu menyelesaikan permasalahan.Hal ini terjadi akibat

planner/part coordinator kurang mengontrol material consumable maupun

part sehingga banyak inventori menumpuk.Sama seperti penyebab

langsung lainnya, inventori yang terlalu banyak ini juga kita buatkan tabel

5 whys.

Why 1 Why 2 Why 3 Why 4 Why 5


Material Belum
consumable melakukan sort
dan part tidak dan set secara
dikelompokkan, rutin
ditetapkan
tempatnya dan
diatur sehingga
mudah dihitung
dengan cepat
Tabel 4.8. 5 Whys untuk terlalu banyaknya material consumable dan part, akibat kurang
kontrol pembelian dari planner/part coordinator
64

Rekomendasi yang timbul adalah melakukan sort dan set sehingga

dapat mencegah menumpuknya inventori.

Untuk penyebab langsung sistem kontrol yang kurang, peserta

FGD melihat rendahnya sangsi (punishment) untuk tidak melaksanakan

metode 5S.Hal ini merujuk pada keselamatan dan kesehatan kerja yang

pelanggarannya mendapatkan sangsi, mulai dari pengurangan terhadap

bonus gaji sampai pemutusan hubungan kerja. Sama seperti yang lain,

maka penyebab langsung ini kita buatkan tabel 5 whys, yang

merekomendasikan untuk memisahkan target 5S dari target implementasi

sistem produksi dan memberikan bobot yang signifikan sampai kultur 5S

ini melekat pada karyawan. Hal ini berarti bobot untuk penerapan

keseluruhan sistem produksi mendapatkan alokasi bobot yang lebih besar

dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Why 1 Why 2 Why 3 Why 4 Why 5


5S hanya 5S masih
merupakan tergabung
sub milestone dalam
dalam implementasi
program sistem produksi
insentif
dengan bobot
yang kecil
Tabel 4.9. 5 Whys untuk sistem kontrol dan sangsi

Penyebab langsung yang lain adalah manajer-manajer atas

tampaknya belum menegaskan mengenai penerapan 5S sehingga

manajer-manajer bawah tidak melihat urgenitasnya. Pandangan ini juga

masih merupakan symptom dari pengamatan karyawan, melihat ruang

kerja manajer-manajer mereka yang tampak tidak ringkas dan belum


65

menerapkan 5S.Selain itu, tampak keterlibatan dan inisiatif dari beberapa

manajer masih belum terlihat oleh bawahannya.

Why 1 Why 2 Why 3 Why 4 Why 5


- Masih belum - Konseptual Belum Belum
buy in metode masih belum menggunakan memahami
ini dimengerti oleh RCA dalam metode RCA
- Kesibukan banyak membuat
manager pada pemimpin inisiatif 5S
pekerjaan rutn - Belum
dan menggunakan
penyelesaian root cause
masalah analysis dalam
- Tidak ada penyelesaian
budget untuk masalah
berinisiatif sehingga
banyak masalah
yang berulang-
ulang
- Belum
memahami
bahwa 5S justru
untuk menekan
budget
Tabel 4.10. 5 Whys untuk leadership enforcement

Rekomendasi yang timbul adalah melakukan pelatihan penyegaran

mengenai 5S dan RCA untuk kalangan manajerial dan supervisor, berupa

seminar dan diskusi konsep.

I. PERBAIKAN/PENCEGAHAN MASALAH

Dari penentuan root cause sudah kita peroleh beberapa

rekomendasi untuk perbaikan/pencegahan masalah untuk tiap symptom

yang ada. Rekomendasi-rekomendasi kita rangkum dalam sebuah tabel

rencana tindakan (action plan) sebagaimana terlihat dalam tabel 4.11.

Beberapa rekomendasi di atas adalah serupa sehingga dapat

digabungkan. Hal ini seringkali terjadi dalam root cause analysis, bahwa
66

akar masalah yang sama mempengaruhi beberapa permasalahan. Dalam

tabel 4.11, dicantumkan pula PIC (person in charge) yang menjadi

penanggung jawab masing-masing butir action plan tersebut. Hal ini untuk

meyakinkan bahwa action plan tersebut dieksekusi.

Action plan yang pertama adalah memecah workpost-workpost

yang terlalu besar menjadi workpost-workpost kecil.Namun workpost-

workpost yang terlalu kecilpun digabung.Hal ini untuk merasionalisasi

luasan workpost sehingga lebih merata dalam akuntabilitas.Jika

sebelumnya ada 268 workpost, setelah direview hasilnya malah turun

menjadi 248 workpost.Hal ini dapat dilihat dalam tabel 4.12.

Action plan kedua adalah pelatihan untuk supervisor dan manajer

bawah.Penyiapan materi pelatihan sudah disusun, namun untuk

mengadakannya terpaksa diundur sampai tahun berikutnya, mengingat

penjadwalan ini harus melalui prosedur perencanaan pelatihan.

Penyesuaian jadwal training kemudian berhasil melakukan empat

kali training yang diadakan pada shift pagi. Penyelarasan ini difasilitasi

oleh Kordinator Training masing-masing area.Sampai dengan akhir bulan

Juni, 100% karyawan sudah mendapatkan training konsep 5S.


67

Root Cause What How PIC Due Date Status

Areal workpost yang Mereview luasan dan Mengidentifikasi workkpost yang Reston Week 23 Done
terlalu luas untuk jumlah workpost sampai masih terlalu luas dan membaginya
beberapa workpost unit terkecil (supervisor) sampai unit kerja terkecil
owner. Mengidentifikasi workpost yang
terlalu kecil untuk bisa digabungkan
Kompetensi konsep Mengadakan pelatihan Membuat sesi dengan materi yang Reston Week 26 Postponed
5S dikalangan supervisor dikhususkan untuk supervisor
supervisor masih lapangan dan manajer bawah (L1)
kurang
Jadwal training belum Menyesuaikan jadwal Inventaris karyawan shift yang Training Week 26 Done
disesuaikan dengan training belum memperoleh training dari kordinator tiap
jadwal shift karyawan semua bagian kemudian Area
dijadwalkan sesuai jadwal shift, cuti
dan pelatihan lainnya
Belum melaksanakan Melakukan workshop sort Membuat workshop sort dan set Team 5S Routine In
sort dan set dan set dalam sebuah workpost di area progress
sebagai percontohan
Sort dan set belum Penjadwalan sort dan set Setiap workpost membuat jadwal Focal point Weekly Done
diadakan secara rutin rutin untuk pelaksanaan sort, set area
dan shine (misalnya 15 menit
setiap dua minggu)
Regulasi 5S dari Mengadopsi regulasi 5S Mengadopsi regulasi 5S dengan Team Week 23 In
korporasi belum dari korporasi penyesuaian sesuai karakteristik di Implementator progress
diadopsi oleh unit Indonesia kemudian sistem
bisnis di Indonesia mengkomunikasikannya ke produksi
karyawan.
Perencanaan masih Memastikan aktivitas 5S Memasukkan aktivitas 5S kedalam Focal point Week 23 Not yet
belum memasukkan dimasukkan dalam paket kegiatan maintenance area done
aktivitas 5S dalam semua paket pekerjaan pemerisaan rutin, perbaikan,
paket pekejaan maintenance penggantian, modifikasi dan
pemasangan aset baru
68

Root Cause What How PIC Due Date Status

Implementator belum Mengadakan lokakarya Mengadakan lokakarya singkat Team Week 23 Not yet
memberikan konsep dengan manajemen lini mengenai posisi 5S dalam strategi implementator
5S secara utuh mengenai tujuan dan jangka panjang dengan gambaran sistem
kepada manajemen letak 5S dalam strategi dan pemetaan yang jelas produksi
lini jangka panjang
5S masih tergabung Mengangkat bobot 5S Memasukkan 5S sebagai salah COO Mid year Done
dalam implementasi dalam program insentif satu target dengan bobot antara review
sistem produksi dalam tahunan 10% - 15% dari total insentif yang (Week 26)
Program Insentif akan diterima
Tahunan
Belum memahami Mengadakan pelatihan Menjadikan protokol audit 5S Team Week 24 Not yet
metode RCA RCA dengan mengambil sebagai contoh workshop dalam implementator
contoh KPI 5S pelatihan RCA sistem
produksi
Tabel 4.11 Rangkuman rencana tindakan (action plan)
69

Mengadakan workshop 5S dilakukan selama tiga hari untuk tiap

workpost yang akan dijadikan proyek percontohan. Pada gambar 4.16

sampai 4.18 dapat dilihat sorting yang diadakan pada workpost pilot

sebagaimana yang didefine pada bagian klarifikasi masalah di atas

(gambar 4.6 sampai dengan gambar 4.8). Dan hasilnya dapat terlihat

secara fisik pada gambar 4.19 sampai gambar 4.21. Beberapa masalah

teratasi yakni pemimpin menjadi lebih terlibat, karyawan dan supervisor

lebih paham karena didampingi langsung dalam implementasi, ruangan

menjadi lebih luas untuk penyimpanan karena waste sudah dibuang, dan

material stok dapat dikenali dengan cepat karena sudah terkelompokkan,

diberi label dan jumlah stok maksimal dan minimal sudah ditandai secara

visual.

Untuk action plan menjadwalkan rutin sort, set dan shine

dilaksanakan dengan membuat jadwal yang ditempelkan pada papan

informasi area seperti yang terlihat pada gambar 4.22.


70

Gambar 4.16 Workshop 5S pada workpost area penyimpanan

Untuk item action plan mengadopsi regulasi 5S dari korporasi

dilakukan dengan menterjemahkan regulasi tersebut kedalam bahasa

Indonesia, kemudian diedarkan untuk persetujuan yang berwenang. Hal

ini memerlukan waktu untuk bisa menjadi standar.

Memastikan aktivitas 5S dimasukkan dalam semua paket

maintenance, terutama untuk sort, set dan shine, dilakukan dengan

menginformasikan kepada semua perencana. Sehingga setiap paket

pekerjaan yang ada diakhiri dengan memastikan lokasi kerja teratur,

dikelola secara visual dan bersih.


71

Gambar 4.17Workshop 5S padabengkel elektrikal

Gambar 4.18Workshop 5S padabengkel mekanikal


72

Gambar 4.19Hasil setelah workshop 5S padaruang penyimpanan (bandingkan dengan


gambar 4.6)

Pelaksanaan lokakarya untuk Manajemen lini, merupakan hal yang

krusial, namun sampai akhir Juni, lokakarya ini belum dilaksanakan

karena ada agenda perusahaan yang urgent, yang melibatkan hampir

seluruh manajemen lini.Sehingga lokakarya ini ditunda sampai

pertengahan September yang dirangkaikan dengan training Lean.

5S sebagai salah satu target dengan target goal dalam AIP

(Program Insentif Tahunan) dipromosi secara bobot dan menjadi salah

satu KPI utama, tidak lagi berada dibawah sistem produksi. Sehingga dari
73

Gambar 4.20Hasil setelah workshop 5S padabengkel elektrikal (bandingkan dengan


gambar 4.7)

Gambar 4.21Hasil setelah workshop 5S padaruang penyimpanan (bandingkan dengan


gambar 4.8)
74

Gambar 4.22Jadwal rutin 5S diarea bengkel elektrik.

250 poin, terdapat 50 poin sampai 150 poin adalah bersumber dari

penilaian 5S. Ini berlaku dari level karyawan terbawah sampai tertinggi.

Untuk workshop RCA dijadwalkan akan diadakan pada bulan

Oktober, dengan harapan manajer-manajer lini dapat dengan cepat

menggunakannya, terutama dalam menghemat biaya, sehingga

melakukan hanya apa yang penting bagi perusahaan.


75

Action Plan Achieved Result (Status) Bottle Neck/Problem Mitigation


Mereview luasan dan jumlah Selesai
workpost sampai unit terkecil
(supervisor)
Mengadakan pelatihan supervisor Di tunda Not planned last year Register to planned next year
Menyesuaikan jadwal training Selesai
Melakukan workshop sort dan set Selesai
Penjadwalan sort dan set Selesai
Mengadopsi regulasi 5S dari Dalam proses Standar harus diedarkan dulu
korporasi untuk persetujuan yang
berwenang
Memastikan aktivitas 5S Selesai
dimasukkan dalam semua paket
pekerjaan maintenance
Mengadakan lokakarya dengan Belum dilakukan Padatnya agenda strategis akibat Digabungkan dengan training
manajemen lini mengenai tujuan fluktuasi harga nikel Lean untuk Manajer-manajer Lini
dan letak 5S dalam strategi
jangka panjang
Mengangkat bobot 5S dalam Selesai
program insentif tahunan
Mengadakan pelatihan RCA Dalam proses Penjadwalan dengan vendor
dengan mengambil contoh KPI 5S pelatihan dari luar
Tabel 4.13. 3G report untuk action plan yang dilaksanakan
76

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari semua uraian yang ada, diperoleh kesimpulan

1. Penyebab lambatnya implementasi 5S pada perusahaan yang

menjadi subyek penelitian adalah:

a. Dispute pada penetapan luasan workpost

(implementation plan/control monitoring)

b. Pengetahuan konsep 5S dikalangan pemimpin masih

kurang (knowledge/skill)

c. Jadwal training konsep 5S tidak sejalan dengan jadwal

kerja karyawan shift (knowledge)

d. Belum melakukan sort dan set secara rutin

(knowledge/skill)

e. Regulasi 5S dari korporasi belum diadopsi oleh bisnis

unit di Indonesia (implementation strategy)

f. Perencanaan pekerjaan perawatan, dan proyek masih

belum memasukkan aktivitas 5S dalam paket pekerjaan

(implementation strategy/plan)
77

g. Implementator belum memberikan konsep 5S secara

utuh kepada manajemen lini sehingga kurang mendapat

‘buy in’ (implementation strategy/knowledge)

h. 5S dalam AIP (Program Insentif Tahunan) masih belum

cukup berbobot untuk menjadi fokus karyawan (insentif).

i. Manajer-manajer masih belum memahami RCA sebagai

alat untuk melakukan pekerjaan yang tepat

(knowledge/implementation strategy).

2. Rencana action plan yang diperoleh dengan menggunakan RCA

adalah:

a. Menetapkan luasan workpost yang benar

b. Mengadakan pelatihan yang cukup, dengan jadwal yang

tepat

c. Melakukan workshop dengan rutin, dan terjadwal

d. Memastikan aktivitas 5S dimasukkan dalam paket

pekerjaan maintenance

e. Memberikan penghargaan untuk pencapaian hasil 5S

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis memberikan saran

sebagai berikut:

1. Root Cause Analysis terhadap 5S dilakukan secara rutin,

setelah menganalisis gap yang ada, karena ada kecenderungan


78

root cause akan berpindah ke akar masalah yang lain setelah

akar masalah yang dianalisis ini diselesaikan.

2. Sebagaimana dengan RCA, 5S juga merupakan sebuah siklus,

sehingga Sort, Set Shine, Standardize dan Sustain secara

periodik dilakukan secara berurut, sampai perusahaan

mencapai tingkat waste terendah yang optimum untuk

operasinya, dan visual management yang layak.

3. Implementasi 5S harusnya dilakukan dengan menggunakan

beberapa pilot area, tidak dilakukan secara menyeluruh dan

serempak.
79

REFERENSI

Gitlow, Howard S. 2009. A Guide to Lean Six Sigma Management


Skill.Edisi 2.Taylor and Francis Group. Boca Raton: United States of
America.

Hyndman, Rob J. 2008. Quantitative Business Research Methods.Monash


University. USA

Noronha, Carlos; 2002; The Theory of Culture-specific Total Quality


Management in Chinese Regions.1st Edition. Palgrav, New York USA

Latino, Robert J., 2002. Root Cause Analysis. Improving Performance for
Bottom-Line Results.Jilid 2. CRC Press LLC. Virginia: USA

Luis, Suwardi. Biromo, Prima A. dan Hadisubrata, Raymond. 2011. Even


Elephants Can Dance. Kompas Gramedia. Jakarta: Indonesia

Osada, Takashi. 1995. Sikap Kerja 5S.Jilid 2.PT Pustaka Binaman


Pressindo. Jakarta: Indonesia

Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 2006. Pedoman


Penulisan Thesis dan Disertasi.Edisi 4.Makassar. Universitas Hasanuddin

PT Neville-Clarke Indonesia, 2012.Delegate Manual Practical Problem


Solving and Root Cause Analysis. Neville Clarke. Jakarta: Indonesia

Sekaran, Uma. 2006. Research Methode for Business, Metodologi


Penelitian untuk Bisnis. Edisi 4. Salemba Empat. Jakarta: Indonesia

VALE, Reg 0076 G - 5S Implementation Guide, Rev-6, DIMO Brazil.

También podría gustarte