Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Seperti kita ketahui, banyak kritik yang dilontarkan kepada pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di masyarakat dan pencari keadilan, pengadilan merupakan penyakit
yang gawat. Kejadian ini bukan hanya ada di Indonesia, melainkan sudah mendunia. Dengan
maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antara para pihak
yang terlibat. Secara konvensional, penyelesaian dilakukan secara litigasi (melalui
pengadilan), di mana posisi para pihak berlawanan satu sama lain. Proses ini membutuhkan
waktu yang lama. Oleh karena itu, model penyelesaian seperti ini tidak diterima dalam dunia
bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya. Sehubungan dengan hal itu
perlu dicari penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien untuk menghadapi kegiatan bisnis
yang free market and free competition. Harus ada lembaga yang dapat diterima dunia bisnis
dan memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat dan biaya murah.1
Mengingat ketidakpuasan masyarakat tersebut semakin penting kiranya untuk lebih
mendayagunakan ADR (Alternative Dispute Resolution) sebagai salah satu sistem
penyelesaian sengketa. Salah satu ADR yang banyak digunakan pada saat sekarang adalah
arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata yang bersifat swasta di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa, dimana pihak penyelesai sengketa tersebut dipilih oleh pihak
yang bersangkutan, yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara
yang bersangkutan.2
Esensi dari arbitrase adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk berusaha
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Para pihak sepakat untuk menunjuk pihak ketiga
sebagai yang akan bertindak sebagai wasit. Setelah memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk menyampaikan dokumen-dokumen dan bukti-bukti yang relevan. Pada umumnya
tidak ada aturan tertentu bagaimana arbitrase dilakukan dan semuanya diserahkan kepada
1 Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia Indonesia, Jakarta,
2000, hlm.14.
2 Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2012, hlm.119.
kesepakatan para pihak. Meskipun demikian, untuk memfasilitasi proses para pihak dapat
sepakat mengenai aturan-aturan yang akan digunakan.3
B. Rumusan Masalah
1. Sejarah hukum arbritase dan penyelesain sengketa dan Dasar hukum arbitrase ?
2. Bagaiman prosedur daripada penyelesaian sengketa dengan lembaga arbitrase ?
Sedangkan yang berlaku bagi golongan Bumi Putera (orang Indonesia) adalah Het
Herziene Indonesisch Reglemen (HIR) yang berlaku bagi golongan bumi putera yang berada
di Jawa dan Madura atau Rechtsreglement Buitengewestern (RBg) untuk golongan bumi
putera diluar jawa dan Madura.7
4 Catatan Perkuliahan, oleh Dosen Pembimbing Andru Bimaseta Siswodiharjo, Hukum Arbitrase, tgl 8 Maret
2017, FH Universitas Mpu Tantular, Jakarta.
5 Ibid
6 www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-arbitrase-definisi-jenis.html?m=1 diakses tgl 06
November 2017; 14:33 wib
7 Catatan Perkuliahan, Op Cit
Dalam ketentuan HIR ataupun RBg, penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur
dalam pasal 377 HIR atau 705 RBg yang menyebutkan bahwa “jika orang Indonesia atau
orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase
maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi bangsa eropa”. Dengan
kata lain, apabila orang Indonesia menginginkan sengketa mereka diselesaikan melalui
juruwasit atau arbitrase maka mereka harus tunduk dan mengikuti tata acara perdata yang di
atur dalam RV.
8 Ibid
produk kolonial Belanda yakni RV dan HIR atau RBg, yang sebelumnya masih digunakan
sebagai dasar hukum untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dinyatakan tidak berlaku
lagi setelah UU No 30 tahun 1999 ini diundangkan.
c. Pasal 58 sampai dengan pasal 60 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Secara singkat sumber Hukum
Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
Pada dasarnya yang menjadi kekuatan hukum arbitrase sendiri terdapat di Ps. 615 –
651 Reglemen Acara Perdata (Reglemen op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Ps.
377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui ( Het Herziene Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941:44) dan pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dan juga KUHA Perdata.
Sebenarnya selain arbitrase ada 4 yaitu :
1. Mediasi/Negosiasi
2. Badan Pemutus Administrasi
3. Ombudsman
4. Internal Tribunal10
Selain itu disamping yang bersifat nasional institusi ini juga ada yang bersifat
internasional, jumlahnya banyak dan terdapat di setiap negara, diantaranya badan arbitrase
tertua di dunia ICSID, yang merupakan badan arbitrase tertua didunia.
Setelah berlakunya UU. No. 30 tahun 1999 tentang alternatif penyelesaia sengketa
dan arbitrase, maka secara garis besar hukum acara pada arbitrase tidak sama denga beracara
di Pengadilan Negeri. Mengenai acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase diatur dalam
Bab IV Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang alternatif penyelesaian sengketa dan
arbitrase, mulai pasal 27-58. Yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
“Bahwa pada prinsipnya semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup, dengan menggunakan bahasa Indonesia kecuali atas
persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para dapat memilih bahasa lain yang digunakan”.
Permohonan diajukan oleh pemohon sendiri atau melalui kuasa hukumnya secara
tertulis dengan melampirkan perjanjian yang bersangkutan yang memuat klausula arbitrase
dalam Bahasa Indonesia. Permohonan tersebut dikirim kepada termohon disertai permintaan
agar dalam waktu 14 hari termohon memberikan jawaban atau tanggapannya (Ps. 39). Pihak
pemohon sekaligus mengajukan tentang pilihan arbiternya secara tertulis dan pihak arbiter
yang bersangkutan memberi pernyataan menerima atau menolak. Demikian juga pihak
termohon bersamaan dengan jawabannya iapun harus mengajukan arbiter pilihannya. Ketua
majlis arbiter dipilih oleh kedua ariter tersebut.
Putusan Arbiter atau Majelis Arbitrase dapat dieksekusi melalui Pengadilan Negeri,
sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase, sebagaimana asas yang
berlaku dalam hukum acara perdata, maka hanya putusan yang bersifat Menghukum
(Condemnatoir) sajalah yang dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh pengadilan, baik itu
melalui mekanisme Sita Eksekusi, Sita Lelang, Sita Pengosongan dan Sita-sita lainnya. Di
dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, eksekusi atau pelaksanaan putusan arbitrase di
bagi dalam 2 bagian:
1. bagian Pertama tentang eksekusi terhadap putusan arbitrase Nasional (Pasal 59 s/d Pasal
64).
2. bagian Kedua tentang pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement) putusan
arbitrase Internasional yang diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69.
Namun untuk kedua putusan baik Nasional maupun Internasional berlaku ketentuan
Universal, bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat para pihak. Tidak dapat
dibanding maupun kasasi, seperti yang diatur dalam Pasal 60 UU Arbitrase. Tetapi putusan
arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh ijin atau perintah untuk
dieksekusi (executoir) dari pengadilan.
Kesimpulan
Dari apa yang telah penyusun kemukakan, akhirnya sebagai penutup dari uraian tersebut
diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, bahwa:
1. Prosedur/proses beracara dari lembaga arbitrase yang tidak rumit dan bertele-tele serta
memudahkan parapihak yang bersengketa menjadi salah satu alasan bagi para pengusaha
baik nasional maupun internasional untuk lebih memilih lembaga ini daripada lembaga
peradilan umum maupun alternatif penyelesaian sengketa lainnya diluar pengadilan.
2. Putusan daripada lembaga arbitrase adalah final dan mengikat para pihak jadi tidak ada
banding maupun kasasi. Jadi lebih mempercepat proses penyelesaian.
Daftar Pustaka
Buku:
1. Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,2004.
3. Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum),
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.
4. Ibid
5. Opcit
6. Undang-undang
Internet:
1. www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-arbitrase-definisi-jenis.html?m=1
diakses tgl 06 November 2017; 14:33 wib