Está en la página 1de 12

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seperti kita ketahui, banyak kritik yang dilontarkan kepada pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di masyarakat dan pencari keadilan, pengadilan merupakan penyakit
yang gawat. Kejadian ini bukan hanya ada di Indonesia, melainkan sudah mendunia. Dengan
maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antara para pihak
yang terlibat. Secara konvensional, penyelesaian dilakukan secara litigasi (melalui
pengadilan), di mana posisi para pihak berlawanan satu sama lain. Proses ini membutuhkan
waktu yang lama. Oleh karena itu, model penyelesaian seperti ini tidak diterima dalam dunia
bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya. Sehubungan dengan hal itu
perlu dicari penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien untuk menghadapi kegiatan bisnis
yang free market and free competition. Harus ada lembaga yang dapat diterima dunia bisnis
dan memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat dan biaya murah.1
Mengingat ketidakpuasan masyarakat tersebut semakin penting kiranya untuk lebih
mendayagunakan ADR (Alternative Dispute Resolution) sebagai salah satu sistem
penyelesaian sengketa. Salah satu ADR yang banyak digunakan pada saat sekarang adalah
arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata yang bersifat swasta di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa, dimana pihak penyelesai sengketa tersebut dipilih oleh pihak
yang bersangkutan, yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara
yang bersangkutan.2
Esensi dari arbitrase adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk berusaha
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Para pihak sepakat untuk menunjuk pihak ketiga
sebagai yang akan bertindak sebagai wasit. Setelah memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk menyampaikan dokumen-dokumen dan bukti-bukti yang relevan. Pada umumnya
tidak ada aturan tertentu bagaimana arbitrase dilakukan dan semuanya diserahkan kepada

1 Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia Indonesia, Jakarta,
2000, hlm.14.
2 Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2012, hlm.119.
kesepakatan para pihak. Meskipun demikian, untuk memfasilitasi proses para pihak dapat
sepakat mengenai aturan-aturan yang akan digunakan.3

B. Rumusan Masalah
1. Sejarah hukum arbritase dan penyelesain sengketa dan Dasar hukum arbitrase ?
2. Bagaiman prosedur daripada penyelesaian sengketa dengan lembaga arbitrase ?

3 Ibid., hlm. 120


PEMBAHASAN

I. Sejarah dan Dasar Hukum Arbitrase di Indonesia

Sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa perdata, arbitrase sebenarnya


sudah ada sejak lama. Di Indonesia, keberadaan arbitrase diperkenalkan sejak zaman kolonial
Belanda bersamaan dengan diberlakukannya Reglemen of de Rechtsvordering (RV) dan Het
Herziene Indonesisch Reglemen (HIR) atau Rechtsreglement Buitengewestern (RBg).4

Ketentuan mengenai arbitrase yang diatur dalam Reglemen of de Rechtsvordering


(RV) adalah berlaku bagi golongan Eropa. Hal ini termuat dalam pasal 615 sampai dengan
pasal 651 RV yang mengatur mengenai ruang lingkup, kewenangan dan fungsi keputusan
wasit.5 Pasal-pasal tersebut meliputi lima bagian pokok, yakni:6
a. pertama, pasal 615 s/d pasal 623 mengatur arbitrase dan pengangkatan arbritrator atau
arbiter;
b. kedua, pasal 624 s/d pasal 630 mengatur mengenai pemeriksaan di muka badan arbitratse;
c. ketiga, pasal 631 s/d pasal 640 mengatur mengenai putusan arbitrase;
d. keempat, pasal 641 s/d pasal 647 mengatur mengenai upaya-upaya terhadap putusan
arbitrase; dan
e. kelima pasal 648 s/d pasal 651 mengatur mengenai berakhirnya acara-acara arbitrase.

Sedangkan yang berlaku bagi golongan Bumi Putera (orang Indonesia) adalah Het
Herziene Indonesisch Reglemen (HIR) yang berlaku bagi golongan bumi putera yang berada
di Jawa dan Madura atau Rechtsreglement Buitengewestern (RBg) untuk golongan bumi
putera diluar jawa dan Madura.7

4 Catatan Perkuliahan, oleh Dosen Pembimbing Andru Bimaseta Siswodiharjo, Hukum Arbitrase, tgl 8 Maret
2017, FH Universitas Mpu Tantular, Jakarta.
5 Ibid
6 www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-arbitrase-definisi-jenis.html?m=1 diakses tgl 06
November 2017; 14:33 wib
7 Catatan Perkuliahan, Op Cit
Dalam ketentuan HIR ataupun RBg, penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur
dalam pasal 377 HIR atau 705 RBg yang menyebutkan bahwa “jika orang Indonesia atau
orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase
maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi bangsa eropa”. Dengan
kata lain, apabila orang Indonesia menginginkan sengketa mereka diselesaikan melalui
juruwasit atau arbitrase maka mereka harus tunduk dan mengikuti tata acara perdata yang di
atur dalam RV.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dari Kolonial Belanda, dan untuk


mengatasi terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum) maka dalam pasal II aturan
peralihan UUD 1945 ditegaskan bahwa “semua peraturan yang masih ada masih berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Hal ini berarti bahwa ketentuan RV
dan HIR ataupun RBg masih tetap berlaku. Selanjutnya seiring dengan berjalannya waktu,
mulai dibentuk ketentuan yang memuat pengaturan mengenai Arbitrase di Indonesia, dan
dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan undang-undang, antara lain :8
a. Memori penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Di dalam memori penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa “penyelesaian perkara di
luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
Dalam hal penyelesaian melalui wasit atau arbitrase yang diperbolehkan tersebut dan oleh
karena belum adanya peraturan yang khusus mengatur mengenai arbitrase saat Undang-
Undang ini diundangkan, maka penyelesaian melalui wasit atau arbitrase masih
menggunakan dasar hukum RV dan HIR atau RBg sebagai hukum acara dalam penyelesaian
sengketa.
b. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Diundangkannya UU No 30 Tahun 1999 menjadi suatu ketentuan yang baru yang
mengatur lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa perdata di Indonesia. Hal ini
dimaksudkan untuk mengganti ketentuan peraturan mengenai arbitrase yang terdahulu,
karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kemajuan jaman, khususnya di bidang
perdagangan internasional. Oleh karenanya, ketentuan yang terdahulu yang merupakan

8 Ibid
produk kolonial Belanda yakni RV dan HIR atau RBg, yang sebelumnya masih digunakan
sebagai dasar hukum untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dinyatakan tidak berlaku
lagi setelah UU No 30 tahun 1999 ini diundangkan.
c. Pasal 58 sampai dengan pasal 60 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.

Ketentuan pasal 58 UU No 48 tahun 2009 menyatakan upaya penyelesaian sengketa


perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa. Untuk dapat dilakukannya penyelesaian sengketa perdata di luar
pengadilan tersebut harus didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa [pasal 59 ayat (1)]. Putusan yang dihasilkan lembaga atrbitrase
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak [pasal 59 ayat
(2)], dan apabila para pihak tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, maka
terkait putusan itu dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa [pasal 59 ayat (3)].9

Dalam hal penyelesaian sengketa yang melalui lembaga alternatif penyelesaian


sengketa dilakukan dengan kesepakatan para pihak yaitu dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli [pasal 60 ayat (1)]. Apabila diperoleh kespakatan
antara kedua pihak yang bersengketa, maka hasil tersebut harus dituangkan dalam
kesepakatan tertulis [pasal 60 ayat (2)], sehingga kesepakatan itu menjadi suatu keputusan
final dan mengikat para pihak untuk dilakukan dengan itikad baik [pasal 60 ayat (3)].

Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Secara singkat sumber Hukum
Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945


Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Demikian
pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap

9 Undang undang No. 48 tahun 2009


berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan
Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
b. Pasal 377 HIR
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal
705 RBG yang menyatakan bahwa : “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing
menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib
memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di
atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR
ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
c. Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab Pertama
Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
1. Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
2. Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
3. Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
4. Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
5. Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
d. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga
arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “
Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau
arbitrase tetap diperbolehkan”.
e. Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia
yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan
yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan
pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang
peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam
hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan
Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah Agung
sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai
sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU
No. 1/1950).
f. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan: “Jikalau di antara kedua
belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi
tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak”.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 : “Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh
pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya
dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
g. UU No. 5/1968
yaitu mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara
Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi
atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and
Nationals of Other States”. Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah
mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai
penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment
Disputes (ICSD) di Washington.
h. Kepres. No. 34/1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition
and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu
Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang
diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
i. Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 ,
oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
j. UU No. 30/1999
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan
peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman
dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG,
dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga
arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
II. Prosedur penyelesaian sengketa dalam arbitrase

Lembaga Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa diluar


pengadilan, yang juga basa disebut sebagai “pengadilan wasit” sehingga para arbiter dalam
peradilan arbitrase befungsi layaknya wasit dalam suatu pertandingan. Arbitrase biasa
dilakukan oleh para pengusaha (nasional maupun internasional) sebagai suatu cara
perdamaian memecahkan ketidak sefahaman fihak-fihak dibidang kegiata komersial. Bidang
komersial tersebut meliputi: transaksi untuk ekspor-oimpor makanan, perjanjian distribusi,
perbankan, asuransi, pengangkutan penumpang, pesawat udara, kapal laut, konsesi,
perusahaan joint venture, dll. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya ternyata tata cara
penyelesaian cara damai seperti arbitrase banyak dimanfaatkan juga dibidang-bidang
sengketa tentang franchising, penerbangan, telekomunikasi internasional, dan penggunaan
ruang angkasa komersial, bahkan ada yang mengendaki agar ditetapkan juga dalam
pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.

Pada dasarnya yang menjadi kekuatan hukum arbitrase sendiri terdapat di Ps. 615 –
651 Reglemen Acara Perdata (Reglemen op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Ps.
377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui ( Het Herziene Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941:44) dan pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dan juga KUHA Perdata.
Sebenarnya selain arbitrase ada 4 yaitu :
1. Mediasi/Negosiasi
2. Badan Pemutus Administrasi
3. Ombudsman
4. Internal Tribunal10

Tetapi arbitrase merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang paling


popular dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan institusi penyelesaian
sengketa alternatif lainnya. Hal tersebut disebabkan banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh
institusi arbitrase ini. Kelebihan-kelebihan itu adalah sebagai berikut :
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.
b. Dpat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administrative.

10 Fuady, Munir, Arbitrase Nasional, Sitra Aditya Bhakti, Bandung, 2000


c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur
dan adil.
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
e. Putusan arboiter merupakan putusan yang mengikat par pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
f. Keputusan arbitrase umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau kasasi)
g. Proses arbitrase lebi mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
h. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih rileks. Arbitrase merupakan cara
penyelesaian suatu sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian
tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan
melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.

Selain itu disamping yang bersifat nasional institusi ini juga ada yang bersifat
internasional, jumlahnya banyak dan terdapat di setiap negara, diantaranya badan arbitrase
tertua di dunia ICSID, yang merupakan badan arbitrase tertua didunia.

Setelah berlakunya UU. No. 30 tahun 1999 tentang alternatif penyelesaia sengketa
dan arbitrase, maka secara garis besar hukum acara pada arbitrase tidak sama denga beracara
di Pengadilan Negeri. Mengenai acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase diatur dalam
Bab IV Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang alternatif penyelesaian sengketa dan
arbitrase, mulai pasal 27-58. Yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut:

“Bahwa pada prinsipnya semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup, dengan menggunakan bahasa Indonesia kecuali atas
persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para dapat memilih bahasa lain yang digunakan”.

Permohonan diajukan oleh pemohon sendiri atau melalui kuasa hukumnya secara
tertulis dengan melampirkan perjanjian yang bersangkutan yang memuat klausula arbitrase
dalam Bahasa Indonesia. Permohonan tersebut dikirim kepada termohon disertai permintaan
agar dalam waktu 14 hari termohon memberikan jawaban atau tanggapannya (Ps. 39). Pihak
pemohon sekaligus mengajukan tentang pilihan arbiternya secara tertulis dan pihak arbiter
yang bersangkutan memberi pernyataan menerima atau menolak. Demikian juga pihak
termohon bersamaan dengan jawabannya iapun harus mengajukan arbiter pilihannya. Ketua
majlis arbiter dipilih oleh kedua ariter tersebut.

Sebagaimana dikatakan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UndangUndang Arbitrase


ditentukan bahwa :”…Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk
menentukan bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau
sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono), sedangkan mengenai sifatnya
baik yang didasarkan pada ketentuan hukum maupun berdasarkan keadilan dan kepatutan,
tentu saja dapat bersifat menghukum (Condemnatoir), hal ini tampak dalam peraturan
prosedur BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang berlaku efektif tanggal 1 Maret
2003, dimana dalam Pasal 39 Peraturan Prosedur tersebut ditemukan dalam kalimat :” Biaya-
biaya eksekusi Putusan ditanggung oleh Pihak yang kalah dan lalai untuk memenuhi
ketentuan-ketentuan dalam putusan”.

Putusan Arbiter atau Majelis Arbitrase dapat dieksekusi melalui Pengadilan Negeri,
sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase, sebagaimana asas yang
berlaku dalam hukum acara perdata, maka hanya putusan yang bersifat Menghukum
(Condemnatoir) sajalah yang dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh pengadilan, baik itu
melalui mekanisme Sita Eksekusi, Sita Lelang, Sita Pengosongan dan Sita-sita lainnya. Di
dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, eksekusi atau pelaksanaan putusan arbitrase di
bagi dalam 2 bagian:
1. bagian Pertama tentang eksekusi terhadap putusan arbitrase Nasional (Pasal 59 s/d Pasal
64).
2. bagian Kedua tentang pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement) putusan
arbitrase Internasional yang diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69.

Namun untuk kedua putusan baik Nasional maupun Internasional berlaku ketentuan
Universal, bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat para pihak. Tidak dapat
dibanding maupun kasasi, seperti yang diatur dalam Pasal 60 UU Arbitrase. Tetapi putusan
arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh ijin atau perintah untuk
dieksekusi (executoir) dari pengadilan.
Kesimpulan

Dari apa yang telah penyusun kemukakan, akhirnya sebagai penutup dari uraian tersebut
diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, bahwa:

1. Prosedur/proses beracara dari lembaga arbitrase yang tidak rumit dan bertele-tele serta
memudahkan parapihak yang bersengketa menjadi salah satu alasan bagi para pengusaha
baik nasional maupun internasional untuk lebih memilih lembaga ini daripada lembaga
peradilan umum maupun alternatif penyelesaian sengketa lainnya diluar pengadilan.
2. Putusan daripada lembaga arbitrase adalah final dan mengikat para pihak jadi tidak ada
banding maupun kasasi. Jadi lebih mempercepat proses penyelesaian.
Daftar Pustaka

Buku:
1. Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta,2004.

2. Fuady, Munir, Arbitrase Nasional, Sitra Aditya Bhakti, Bandung, 2000.

3. Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum),
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.

4. Ibid

5. Opcit

6. Undang-undang

Internet:
1. www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-arbitrase-definisi-jenis.html?m=1
diakses tgl 06 November 2017; 14:33 wib

También podría gustarte