Está en la página 1de 9

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GOITER

A. PENDAHULUAN
Tumor pada kelenjar tiroid diklasifikasikan berdasarkan sifat benigna atau
maligna selain berdasarkan ada tidaknya tirotoksikosis dan kualitas
pembesaran kelenjar tersebut yang dapat menyebar atau ireguler. Jika
pembesaran kelenjar tiroid cukup membuat kelenjar tersebut terlihat pada
leher, tumor ini dinamakan Goiter atau gondok. ( Susanne, keperawatan
medikal bedah Brunner, hal.1315)

B. DEFENISI
TIPE GOITER
1) Goiter toksik
Goiter yang disertai dengan hipertiriodisme. Hipertiroidisme dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh
metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan
atau akibat asupan hormon tiroid secara berlebihan. Ciri-ciri tiroidal berupa
goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi
hormon tiroid yang berlebihan.

2) Goiter nontoksik
Etiologi goiter non toksik antara lain adalah defisiensi iodium atau gangguan
kimia intra tiroid oleh berbagai faktor.

3) Simple goiter atau Goiter koloid


Tipe penyakit goiter yang sering ditemukan terutama pada kawasan geografis
yang kekurangan iodium. Penyakit ini disebabkan oleh defisiensi iodium dan
konsumsi sat goitrogenik dalam jumlah yang lebih besar oleh pasien dengan
kelenjar tiroid yang rentan. Zat ini mencakup pemberian iodium atau litium
secara berlebihan untuk pengobatan manik-depresif.
Simpel goiter menggambarkan keadaan hipertropi kompensatoripada kelenjar
tiroid yang kemungkinan disebabkan stimulasi kelenjar tiroid. Kelenjar
hipofisis menghasilkan tirotropin atau TSH, yaitu suatu hormon yang
mengontrol pelepasan hormon dari kelenjar tiroid, produksinya meningkat,
jika aktivitas tioid berada dibawah normal seperti pada iodium tidak cukup
untuk produksi hormon tiroid. Penyakit goiter semacam ini biasanya tidak
menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher, yang terjasi secara
berlebihan, dapat mengakibatkan kompressi trakea.
Apabila tindakan operatif dianjurkan, komplikasi pasca operatif dapat
dikurangi dengan menempatkan keadaan ioditiroid pra operatif yang
ditimbulkan oleh pengobatan dengan preparat anti tiroid dan pemberian
senyawa iodida pra operatif untuk mengurangi ukuran serta vaskularisasi.

4) Goiter noduler
Kelenjar tiroid tertentu bersifat noduler karena ada satu atau beberapa
daerah hiperplasia (pertumbuhan berlebihan) dalam keadaan yang tampaknya
serupa dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya simple goiter. Akibat
kelainan ini tidak terdapat gejala, tetapi ukuran nodul yang terbentuk tidak
jarang meningkat secara perlahan dan kemudian turun kedalam rongga
thoraks sehingga menimbulkan gejala penekanan. Sebagian nodul berubah
menjadi maligna dan sebagian lainnya disertai keadaan hipertiroid.

GOITER NON TOKSIK


Untuk menghindari kesimpangsiuran pada pembahasan penata laksanaan
asuhan keperawatan, penulisan makalah ini dibatasi hanya pada pembahasan
goiter non toksik.
Goiter non toksik merupakan gangguan yang sangat sering dijumpai dan
menyerang sampai 16 % wanita dan 4 % pria yang berusia antara 20-60
tahun (patofisiologi, EGC hal. 1077).
C. ETIOLOGI
Etiologi goiter non toksik antara lain adalah defisiensi iodium atau gangguan
kimia intra tiroid oleh berbagai faktor .
D. PATOFISIOLOGI
Akibat defisiensi iodium atau gangguan kimia intra tiroid kapasitas kelenjar
tiroid untuk mensekresi tiroksin terganggu, mengakibatkan peningkatan kadar
TSH dan hiperplasia dan hipertropi folikel-folikel tiroid. Pembesaran kelenjar
tiroid pada pasien goiter non toksik sering bersifat eksaserbasi dan remisi
disertai hiperevolusi dan involusi pada bagian-bagian kelenjar tiroid.
Hiperplasia mungkin bergantian dengan fibrosis, dan dapat timbul nodula-
nodula yang mengandung folikel-folikel tiroid.

E. GAMBARAN KLINIS
Secara klinis pasien dapat memperlihatkan penonjolan disepertiga bagian
bawah leher. Goiter yang besar dapat menimbulkan masalah kompresi
mekanik, disertai pergeseran letak trakea dan eusofagus, dan gejala-gejala
obstruksi.

F. PENGOBATAN
Terapi goiter antara lain dengan penekanan TSH oleh hormon tiroid.
Pengobatan dengan tiroksin yang lama akan mengakibatkan penekanan TSH
hifosis, dan penghambatan fungsi tiroid disertai atropi kelenjar tiroid. Goiter
yang besar mungkin perlu dibedah untuk menghilangkan gangguan mekanis
dan kosmetis yang diakibatkannya. Pada masyarakat dimana goiter timbul
sebagai akibat kekurangan iodium maka garam dapur harus diberi tambahan
iodium.
G. PENCEGAHAN
Penyakit simple goiter atau gondok endemik dapat dicegah dengan
memberikan senyawa iodiumkepada anak-anak dikawasan yang kandungan
iodiumnya buruk. Jika asupan merata iodium kurang dari 40 mg/hari, kelenjar
tiroid akan mengalami hipertropi . Organisasi kesehatan sedunia (WHO)
menganjurkan iodisasi garam hingga mencapai konsentrasi satu bagian dalam
100.000 yang sudah cukup untuk pencegahan goiter. Di Amerika Serikat,
garam beriodium merupakan satu-satunya cara yang paling efektif untuk
mencegah penyakit goiter dalam masyarakat yang rentan.

1. ASUHAN KEPERAWATAN

a. Pengkajian
1. Aktifitas/istirahat
Gejala : insomnia, sensivitas meningkat, otot lemah, gangguan
koordinasi, kelelahan berat.
Tanda : atropi otot

2 . Sirkulasi
Gejala : palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda : disritmia (vibrilasi atrium), irama gallop, murmur, peningkatan
tekanan darah dengan takanan dada yang berat, takhikardi saat istirahat,
sirkulasi kolap, syok (krisis tirotoksikosis).

3. Eliminasi
Gejala : urine dalam jumlah yang banyak, perubahan dalam faeces.

4 . Integritas ego
Gejala : mengalami stress yang berat baik maupun fisik
Tanda : emosi labil (euphoria sedang sampai delirium), depresi.
5 . Makanan/cairan
Gejala : kehilangsn berat badan mendadak, nafsu makan meningkat,
makannya sering, kehausan, mual dan muntah.
Tanda : pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah
pretibial.

6 . Neurosensori
Tanda : bicara cepat dan parau, gangguan status mental dan perilaku,
seperti bingung, disorientasi, gelisa, peka rangsang, delirium, psikosis, stupor,
koma, tremor halus pada tangan, tanpa tujuan, beberapa bagian tersentak-
sentak, hiperaktif reflek tendon dalam (RTD).
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri orbital/fothopobia

8 . Pernafasan
Tanda : frekwensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, sumbatan
jalan nafas, terjadi penekanan
9 . Keamanan
Gejala : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan,
kebutuhan meningkat akan iodium (G), alergi etrhadap iodium (Hi).
Tanda : suhu meningkat 37,4 derajat celcius. Diaforesisi, kulit halus, han
gat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, exoftalmus: retraksi,
iritasi padakonjungtiva dan berair. Puritus, lesi, eritema ( sering terjadi pada
pretibial) yang menjadi sangat parah.

10 . Seksualitas
Tanda : penurunan libido, hipomenorhea dan impotensi.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : adanya riwayat keluarga mengalami masalah itroid, riwayat
hipotiroidisme, terapi hormon tiroid atau pengobatan antitiroid, dihentikan
terhadap pengobatan antitiroid, dilakukan pembedahan tiroidektomi sebagian,
riwayat pemberian insulin yang menyebabkan hipoglikemia, gangguan
jantung atau pembedahan jantung, penyakit yang baru terjadi (pnemonia),
trauma, periksaan rontgen fhoto dengan zat kontras.

b. Diagnosa keperawatan :

1. Nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya pembesaran jaringan pada


leher, penekanan trakhea.
2. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan adanya penekanan daerah
oesofagus, penurunan nafsu makan.
3. Gangguan konsep diri (harga diri rendah) berhubungan dengan tidak
efektifnya coping individu, adanya pembesaran pada leher.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi

c. Intervensi
Diagnosa 1
Rencana tindakan :
1. Pantau frekwensi pernafasan , kedalaman, dan kerja pernafasan
2. Auskultasi suara nafas, catat adanya perubahan suara patologis
3. Waspadakan klien agar leher tidak tertekuk/posisikan semi ekstensi atau
eksensi pada saat beristirahat.
4. Ajari klien latiahan nafas dalam
5. Selidiki keluhan kesulitan menelan
6. Persiapkan operasi bila diperlukan.

Diagnosa 2
Rencana tindakan :
1. Kaji adanya kesulitan menelan, selera makan, kelemahan umum dan
munculnya mual dan muntah.
2. Pantau masukan makanan setiap hari dan timbang berat bada setiap hari
serta laporkan adnaya penurunan.
3. Dorong klien untuk makan dan meningkatkan jumlah makan dan juga beri
makanan lunak, dengan menggunakan makanan tinggi kalori yang mudah
dicerna.
4. Beri/tawarkan makanan kesukaan klien.
5. Kolaborasi : konsultasikan dengan ahli gizi untuk memberikan diet tinggi
kalori, protein, karbohidrat dan vitamin.

Diagnosa 3
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat perubahan rentang harga diri rendah
2. Pastikan tujuan tindakan yang kita lakukan adalah realistis
3. Sampaikan hal-hal yang positif secara mutlak untuk klien, tingkatkan
pemahaman tentang penerimaan anda pada pasien sebagai seorang individu
yang berharga.
4. Tentukan untuk perilaku manipulatif, identifikasi konsekensi untuk
pelanggaran ini dengana cara yang berbelit-belit.
5. Diskusikan masa depan klien, bantu klien dalam menetapkan tujuan-tujuan
jangka pendek dan panjang.

Diagnosa 4
Rencana tindakan :
1. Tinjau kembali proses penyakit dan harapan masa datang
2. Berikan informasi yang tepat dengan keadaan individu
3. Identifikasi sumber stress dan diskusikan faktor pencetus krisis tiroid yang
terjadi, seperti orang/sosial, pekerjaan, infeksi, kehamilan
4. Berikan informasi tentang tanda dan gejala dari penyakit gondok serta
penyebabnya
5. Diskusikan mengenai terapi obat-obatan termasuk juga ketaatan etrhadap
pengobatan dan tujuan terapi serta efek samping obat etrsebut
6. Beri dukungan moril dapat menjalankan semua anjuran/informasi yang
didapat baik oleh petugas kesehatan maupun keluarga.
c. Evaluasi
1.pola napas klien kembali normal
2.klien dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya
3.mekanisme koping kembali normal
4.klien dapat menengerti atau memahami tentang penyakit yang di deritanyas
DAFTAR PUSTAKA

1. Marlyna E Doenges, dkk, Nursing Care Plans, edisi 2, F.A Davis C ompany,
Philadelphia, 1984.
2. Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah, jilid 3, terjemahan, Yayasan Ikatan
Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, 1996.
3. Hotma Rumaharbo, S.Kp. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistim
Endokrin, EGC,1999.
4. Barbara Engram, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, EGC,
Jakarta,1998.
5. Susanne, Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddart. EGC. Jakarta.
6. Sylvia A. Price, Dkk. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 4,
EGC, Jakarta, 1995.

También podría gustarte