Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
I. PENDAHULUAN
Hukum tentang aborsi sendiri sampai saat ini masih menjadi perdebatan di
masyarakat, meskipun Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa haram
untuk aborsi kecuali pada kondisi-kondisi tertentu dan sudah adanya peraturan
yang melarang tindakan aborsi tersebut. Sumpah dokter menyatakan bahwa dokter
akan menghargai hidup insani sejak mulai awal pembentukan, tetapi sikap
kalangan profesi dokter terhadap aborsi juga belum seragam. Dalam konteks
1
hukum pidana, terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan yang lama
(KUHP) dengan peraturan perundang-undangan yang baru (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Padahal peraturan
perundang-undangan tersebut mengatur hal yang sama. Terdapat dua perbedaan
yang sangat tajam antara kedua aturan tersebut, pertama KUHP mengenal
larangan aborsi tanpa kecuali, tetapi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan justru memperbolehkan terjadi aborsi dengan
alasan medis. Kedua, pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan mengenai ketentuan pidana yang diancamkan terhadap
pelaku tindak pidana aborsi yang tidak memenuhi indikasi medis sebagaimana
yang diatur dalam undang-undang kesehatan tersebut jauh lebih berat daripada
ancaman pidana terhadap perbuatan yang sama dalam KUHP.(5)
II. EPIDEMIOLOGI
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus
dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian : (3)
1. 1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura
2. Antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia
3. Antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina
4. Antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand
2
Penelitian Faisal dan Ahmad (1997) menemukan bahwa walaupun aborsi
dilarang oleh hukum, praktek aborsi di Indonesia, baik oleh dokter, bidan,
maupun dukun tergolong tinggi, dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Sampai tahun 1997 diperkirakan dalam setahun di In donesia terjadi 750.000 –
1.000.000 aborsi yang disengaja atau dengan resiko 16,7 – 22,2 aborsi per
kelahiran hidup.(6)
Perkiraan bahwa sejak tahun 2000 terjadi 2 juta kasus aborsi di Indonesia
dipertegas oleh hasil penelitian yang dilakukan tahun 2000 (Utomo dkk, 2001) di
10 kota besar (jakarta, Bandung, semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan,
Banjarmasin, Denpasar, Manado, dan Makassar) dan 6 kabupaten (Sukabumi,
Jepara, lampung, Tana Toraja, Lombok Timur, dan Kupang) di Indonesia oleh
Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia bekerjasama dengan Pusat
Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Atma Jaya, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Kelompok Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, Persatuan Obstetri dan Ginekolog (POGI),
Ikatan Bidan Indonesia, dan Perkumpulan keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
Hasil penemuan ini menemukan angka kejadian 2 juta kasus aborsi per tahun,
berarti 37 aborsi per 1000 wanita usia 15-19 tahun, atau 43 aborsi per kelahiran
3
hidup, atau 30% dari kehamilan. Angka ini menunjukkan betapa besar kehamilan
yang tidak diinginkan (KTD).(6)
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kejadian aborsi lebih tinggi
di perkotaan dibanding di pedesaan, dan sebagian besar aborsi merupakan aborsi
sengaja, terutama di kota. Banyak kejadian aborsi merupakan aborsi tak aman.
Data menunjukkan bahwa peran dukun bayi dalam pelayanan aborsi masih besar.,
apalagi di pedesaan. Demikian pula, banyak penyedia layanan lain yang
beroperasi secara sembunyi-sembunyi, yang kemungkinan besar terkait dengan
aborsi tak aman.(6)
4
IV. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA ABORTUS
PROVOCATUS
5
kalau usia subur juga menimbulkan problem lain tanpa alat-alat bukti
kontrasepsi. Kehamilan yang terjadi kemudian tidak diinginkan oleh
pasangan yang bersangkutan dan diusahakan untuk digugurkan
dengan alasan mereka sudah tidak mampu lagi membiayai seandainya
anggota mereka bertambah banyak.
3. Alasan anak sudah cukup banyak.
Alasan ini sebenarnya berkaitan juga dengan sosio-ekonomi di atas.
Terlalu banyak anak sering kali memusingkan orang tua. Apalagi jika
kondisi ekonomi keluarga mereka pas pasan. Ada kalanya jika
terlanjur hamil mereka sepakat untuk menggugurkan kandungannya
dengan alasan sudah tidak mampu mengurusi anak yang sedemikian
banyaknya. Dari pada si anak yang akan dilahirkan nanti terlantar dan
hanya menyusahkan keluarga maupun orang lain, lebih baik
digugurkan saja.
4. Alasan belum mampu punya anak.
Banyak pasangan-pasangan muda yang tergesa-gesa menikah tanpa
persiapan terlebih dahulu. Akibatnya, hidup mereka pas-pasan, hidip
menumpang mertua, dsb. Padahal salah satu konsekuensi dari
perkawinan adalah lahirnya anak. Lahirnya anak tentu saja akan
memperberat tanggung jawab orang tua yang masih kerepotan
mengurusinya hidupnya sendiri. Oleh karena itu, mereka biasanya
mengadakan kesepakatan untuk tidak mempunyai anak terlebih
dahulu dalam jangka waktu tertentu. Jika terlanjur hamil dan betul-
betul tidak ada persiapan untuk menyambut kelahiran sang anak,
mereka dapat menempuh jalan pintas dengan cara menggugurkan
kandungannya. Harapannya, dengan hilangnya embrio/janin tersebut,
dimasa-masa mendatang mereka tak akan terbebani oleh kehadiran
anak yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk
merawatnya sampai besar dan menjadi orang.
6
5. Kehamilan akibat perkosaan.
Perkosaan adalah pemaksaan hubungan kelamin (persetubuhan)
seorang pria kepada seorang wanita. Konsekuensi logis dari adanya
perkosaan adalah terjadinya kehamilan. Kehamilan pada korban ini
oleh seorang wanita korban perkosaan yang bersangkutan maupun
keluarganya jelas tidak diinginkan. Pada kasus seperti ini, selain
trauma pada perkosaan itu sendiri, korban perkosaan juga mengalami
trauma terhadap kehamilan yang tidak diinginkan.hal inilah yang m
menyebabkan si korban menolak keberadaan janin yang tumbuh di
rahimnya. Janin dianggap sebagai objek mati, yang pantas dibuang
karena membawa sial saja. Janin tidak diangap sebagai bakal manusia
yang mempunyai hak-hak hidup. (Ekotama, 2001).
Di Indonesia, aborsi merupakan salah satu isu yang menarik untuk diteliti
karena meskipun oleh hukum dilarang, tetapi aborsi tetap dilakukan. Kondisi ini
diperparah setelah International Conference on Population and Developmnet
(ICPD) Kairo 1994 dan Fourth World Conference and Women(FWCW) Beijing
tahun 1995. ICPD secara tegas mengakui hak reproduksi perempuan dalam arti
perempuan mempunyai hak untuk mengontrol dirinya sendiri, termasuk berhak
7
menghentikan atau melanjutkan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Sedangkan FWCW pada prinsipnya menerima konsep-konsep kesehatan
reproduksi dan kesehatan seksual serta hak-hak reproduksi, namun melangkah
lebih jauh lagi dengan mendiskusikan hak-hak seksual. Bahkan di dalam salah
satu butir program aksi FWCW direkomendasikan untuk dilakukan peninjauan
kembali terhadap status hukum aborsi dan penghapusan ancaman pidana terhadap
perempuan yang melakukan aborsi legal.(6)
Bunyi lafal sumpah dokter : “Saya akan menghormati setiap hidup insane
mulai dari pembuahan”. Pasal 10 KODEKI : Dokter wajib mengingat akan
kewajibannya melindungi hidup tiap insani. Kewajiban umum pasal 7 d Undang-
Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran berbunyi : ”Setiap dokter
harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”, artinya
segala perbuatan dokter terhadap pasien bertujuan untuk memelihara kesehatan
dan kebahagian, dengan sendirinya dia harus mempertahankan dan memelihara
kehidupan manusia, ini berarti bahwa dari segi etik kedokteran, seorang dokter
tidak dibolehkan untuk menggugurkan kandungan ( Abortus Provokatus ).
Abortus provokatus/pengguguran kandungan dapat dibenarkan sebagai
pengobatan apabila satu-satunya jalan menolong jiwa ibu dari bahaya maut,
ataupun korban pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis. Hal ini
diperjelas oleh Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009, tentang kesehatan. (10)
Keputusan untuk melakukan abortus provocatus therapeuticus harus dibuat
oleh sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan tertulis dari wanita hamil
yang bersangkutan, suaminya dan atau keluarganya yang terdekat. Hendaknya
dilakukan dalam suatu rumah sakit yang mempunyai cukup sarana untuk
melakukannya.(11)
8
Pedoman etik POGI, Tahun 2003 BAB X : sikap dokter spesialis obstetric
dan ginekologi terhadap aborsi.(10)
Pasal 32
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi hendaknya menyikapi dengan arif agar tidak
terjebak dalam pertentangan tajam antara aliran Pro-life yang secara ekstrim menolak
aborsi dan aliran Pro-choise yang menghormati hak perempuan untuk secara bebas
menentukan apakah akan meneruskan atau menghentikan kehamilannya dengan cara
aborsi.
Pasal 33
Aborsi atas indikasi medis ( theurapeutic abortion) dapat dilakukan oleh spesialis
obstetri dan ginekologi setelah melaui proses Informed Consent dan diputuskan oleh
dua orang yang kompeten dalam bidangnya.
Pasal 34
Aborsi atas indikasi nonmedis dapat dilakukan pada kasus-kasus tertentu secara selektif
setelah melalui konseling yang aman dan dapat di pertanggungjawabkan.
Pasal 35
Sebagai kontrol apakah keputusan aborsi aman dibenarkan secara etis apabila keputusan
itu dibuat dengan berat hati karena tidak ada jalan lain yang lebihbaik, bukan karena
pertimbangan komersial dan hanya pada kehamilan sebelum 12 minggu.
9
provocatus therapcutius, karena alasan yang sangat mendasar untuk
melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si ibu.
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic
10
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman,
dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 77
Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa
11
persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang
berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada
indikasi medis.
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 346
Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
12
Pasal 347
(1)Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan
seorang wanita tidak dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya lima belas tahun.
Pasal 348
(1)Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita
dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya tujuh tahun.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan, atau juru obat membantukejahatan tersebut dalam pasal 346, atau
bersalah melakukan, atau membantu salah satu kejahatan diterangkan pasal 347 dan 348, maka
pidana yangditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut haknya
melakukan pekerjaannya yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu.
13
hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktek dapat
dicabut.(12)
14
DAFTAR PUSTAKA
15
9. Nainggolan, LH. Aspek Hukum Abortus Provocatus dalam Perundang-
undangan Indonesia. Medan: Universitas Sumatera Utara. Jurnal Equalis:
2006 (8) hal 94-102
11. Ikatan Dokter Indonesia. Kode Etik kedokteran Indonesia dan Pedoman
Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta. 2002
16