Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
INDONESIA
A. Latar Belakang
Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Kemiskinan
merupakan salah satu penyakit dalam ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidk
dikurangi. Menurut M. Nasir dan Ernawati (2012) permasalahan kemiskinan memang
merupakan permasalahan kompleks dan bersifat multidimensi. Oleh karena itu, upaya
pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek
kehidupan masyarakat dan dilaksanakan secara terpadu.
Pengukuran tingkat kemiskinan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penting diketahui untuk
menunjukan bagaimana kemajuan ekonomi dapat meningkatkan standar kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat serta bagaimana berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah
berdampak terhadap masyarakat miskin.
.berbagai studi menggunakan pendekatan yang berbeda-beda untuk mengukur kemiskinan. Di
Indonesia sendiri dikenal tiga model pengukuran kemiskinan. Pertama, Model Tingkat Konsumsi
(Basic Needs), digunakan oleh BPS, sebagai pengukuran resmi kemiskinan di Indonesia, dan oleh
Sayogyo (1971). Kedua, Model Kesejahteraan Keluarga yang dilakukan oleh BKKBN. Ketiga,
Model Pembangun Manusia yang dipromosikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang di
Indonesian dikembagkan oleh BPS dan Bappenas dengan nama Pembangunan Manusia
Seutuhnya, dimana konsep ini menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir.
B. Tinjauan Pustaka
Kemiskinan
Suryawati (2005) berpendapat bahwa hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup daalm
kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat
kesehatan dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap
tindak criminal, ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Kemiskinan dibagi
dalam empat bentuk, yaitu:
a. Kemiskinan abolut, kondidi dimana seseorang memiliki pendapatan di bawah garis
kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang,
papan,kesehatan, perumahan dan pendidikan yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan
bekerja.
b. Kemiskinan relative, kondidi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang
belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada
pendapatan.
c. Kemiskinan cultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang
disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
d. Kemiskinan structural, situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya akses terhadap
sumber daya yang terjadi dalam suatu system sosial budaya dan sosial politik yang tidak
mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya
kemiskinan.
Tingkat Kemiskinan, dihitung dengan Head Count Index (HCI-P0), adalah persentase
penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan (GK).
dimana
α =0
z = garis kemiskinan.
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan
(i=1, 2, 3, ...., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
n = jumlah penduduk.
PDRB
Sampai akhir tahun 1960-an, sebagian besar ahli ekonomi percaya bahwa cara terbaik
untuk mengejar keterbelakangan ekonomi adalah dengan meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi (poduk domestic bruto) setinggi-tingginya sehingga dapat
melampaui tingkat pertumbuhan penduduk. Dengan cara tersebut angka pendapatan
perkapita akan meningkat sehingga secara otomatis terjadi pula kemakmuran
masyarakat. Oleh karenanya sasaran utama dalam pembangunan ekonomi lebih
ditekankan kepada usaha-usaha pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pada tahun 1960-an, pertumbuhan ekonomi dunia yang cepat dan relative stabil diikuti
dengan berkurangnya jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan.
Ketidakstabilan kondisi ekonomi pada 1970-an berasosiasi dengan tingkat kemiskinan
yang relative tidak berubah, sementara pada tahun 1980-an walaupun dalam ekonomi
makro tetapi tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap pengurangan tingkat
kemiskinan (Cutler&Katz, 1991).
Kuznet (2001) dalam Permana (2012), pertumbuhan dan kemiskinan mempunyai
korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses pembangunan tingkat
kemiskinan cenerung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan
jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Menurut penelitian Hermanto S dan
Dwi W. (2008) menyatakan bahwa ketika perekonomian berkembang disutu wilayah
(Negara atau kawasan tertentu yang lebih kecil) terdapat lebih banyak pendapatan
untuk dibelanjakan dan memiliki distribusi pendapatan dengan baik diantara wilayah
tersebut, maka akan dapat mengurang kemiskinan. Wongdesmiwati (2009)
menyebutkan bahwa penurunan kemiskinan di Indonesia dapat dipengaruhi oleh PDRB
riil dan faktor-faktor lainnya, seperti inflasi, perkembangan teknologi yang semakin
produktif dan inovatif, serta pertumbuhan penduduk melalu peningkatan modal
manusia.
PDRB menurut BPS didefiisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh
unit usaha dalam suatu wilayah, atau mrupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan seluruh unit ekonomi disutu wilayah. PDRB atas harga berlaku
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada
setiap tahun, sedang PDRB atas harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa
yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar dimana
perhitungan ini digunakan tahun 2000. PDRB atas harga konstan digunakan untuk
mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun, sedangkan menurut BPS PDRB
atas dasar harga berlaku digunakan untuk menunjukan besarnya struktur perekonomian
dan peranan sector ekonomi.
PDRB yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga konstan 2000 .