Está en la página 1de 24

9

Pemilihan Teknik

9.1 Pengaruh Sifat Bahan

9.1.1 Faktor Kesetaraan Radiografi

Pada umumnya tingkat kehitaman gambar radiografi bergantung kepada jumlah radiasi
yang diserap oleh emulsi film, yang dipengaruhi oleh jumlah radiasi yang melewati benda
uji. Ketika radiasi menembus benda uji mengalami proses interaksi dengan atom-atom
benda uji, sehingga sebagian radiasi diserap, dihamburkan dan diteruskan.

Daya serap benda uji terhadap radiasi bergantung kepada ketebalan, rapat jenis, dan nomor
atom. Untuk dua benda uji yang komposisinya sama, benda uji lebih tebal akan menyerap
lebih banyak radiasi. Oleh karena itu untuk benda uji lebih tebal diperlukan energi yang
lebih besar atau waktu penyinaran yang lebih lama guna mendapatkan hasil fotografi yang
sama dengan untuk benda lebih tipis. Demikian pula benda uji dengan rapat jenis dan
nomor atom besar akan menyerap lebih banyak radiasi dari pada benda uji dengan rapat
jenis dan nomor atom kecil. Tetapi, nomor atom benda uji mempunyai pengaruh lebih
besar pada penyerapan radiasi dibanding ketebalan atau rapat jenis.

Untuk memperoleh jumlah penyerapan yang sama pada dua jenis material yang berbeda
jenisnya digunakan suatu faktor yang disebut faktor kesetaraan radiografi (radiographic
equivalence factors) seperti ditunjukkan pada Tabel 9.1. Tebal suatu material harus
dikalikan dengan faktor tersebut untuk mendapatkan tebal yang sama dan jumlah
penyerapan yang sama dengan material standar (biasanya besi) sehingga diperoleh tingkat
kehitaman film hasil radiografi yang sama. Secara matematis dinyatakan dengan
persamaan berikut :

Fstd . X std  Fmaterial . X material (9-1)

Xstd = tebal standar


Xmaterial = tebal material selain standar

Pemilihan teknik 196


Fstd = faktor kesetaraan material untuk standar
Fmaterial = faktor kesetaraan material
Tabel 9.1: Faktor kesetaraan radiografi berbagai logam
Energy Level
Logam 100 150 220 250 400 1 4-25
2 MV Ir-192 Co-60
kV kV kV kV kV MV MV
Magnesium
0,05 0,05 0,08
Aluminium
0,08 0,12 0,18 0,35 0,35
(Al)
Aluminium
Alloys 0,10 0,14 0,18 0,35 0,53

Titanium
0,54 0,54 0,71 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9
(Ti)
Iron/all
1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
steels
Copper (Cu) 1,5 1,6 1,4 1,4 1,4 1,1 1,1 1,2 1,1 1,1
Zinc (Zn) 1,4 1,3 1,3 1,2 1,1 1,0
Brass
1,4 1,3 1,3 1,2 1,1 1,0 1,1 1,0
(kuningan)
Inconel X 1,4 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3
Monel 1,7 1,2
Zirconium
2,4 2,3 2,0 1,7 1,5 1,0 1,0 1,0 1,2 1,0
(Zr)
Lead (Pb) 14 14 12 5,0 2,5 2,7 4,0 2,3
Hafnium
14 12 9,0 3,0
(Hf)
Uranium (U) 20 12 12 4,0 3,9 12,6 3,4
Dikutip dari ASME SECT.V 1998, Article 22, SE-94

Contoh:
a. Alumunium yang tebalnya 50 mm mempunyai daya serap radiasi yang sama dengan 6
mm besi dengan sumber radiasi sinar-X pada 150 kV.
b. Tembaga yang tebalnya 10 mm mempunyai daya serap radiasi yang sama dengan 11
mm besi dengan sumber radiasi Ir-192.

Pemilihan teknik 197


9.1.2 Radiografi Logam Komposit

Bahan komposit adalah bahan yang terdiri atas bagian yang terpisah, biasanya satu
material melapisi material yang lain, dan setiap material menjaga identitasnya masing-
masing. Untuk menentukan waktu penyinaran radiografi material tersebut dilakukan
dengan terlebih dahulu menentukan ketebalan yang setara dengan tebal standar, dalam hal
ini besi, menggunakan persamaan 9-1.

Contoh :
Logam komposit pelat tembaga-aluminium-timbal terdiri atas 3,6 mm tembaga, 1,5 mm
aluminium, 0,9 mm timbal diradiografi dengan generator sinar x 150 kV. Berapa ketebalan
besi yang setara dengan ketebalan bahan komposit tersebut?
Jawab :
Dengan menggunakan persamaan 9-1 dan tabel 9.1, diperoleh
Xbesi = (3,6 x 1,6) + (1,5 x 0,12) + (0,9 x 14)
= 5,76 + 0,18 + 12,6 = 18,54 mm

9.2 Teknik Penyinaran Menurut Geometri Benda Uji

Geometri penyinaran merupakan susunan antara sumber, benda uji, dan film, yang dalam
teknik radiografi merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas film hasil radiografi.
Benda uji dengan ukuran, bentuk dan konfigurasi tertentu menentukan teknik penyinaran
radiografi yang digunakan. Pada bab ini pembahasan difokuskan pada benda uji las meliputi
las longitudinal (seam weld), las circumferential, las T, dan las nozzle.

9.2.1 Las Longitudinal


Geometri penyinaran untuk meradiografi las longitudinal bergantung kepada jenis
sambungan. Sambungan las tumpul (butt weld joint) merupakan jenis sambungan las yang
paling sederhana.

Pemilihan teknik 198


Penyinaran pada sambungan las tumpul (butt weld joint) umumnya dilakukan dengan
menempatkan sumber tegak lurus dengan bidang las dan menempatkan film pada arah
yang berlawanan dengan arah radiasi, seperti pada Gambar 9.1.

Gambar 9.1 : Arah radiasi dalam pemeriksaan las tumpul

Pada pengujian sambungan las longitudinal benda uji tubular, misal pada pressure vessel,
penyinaran dapat dilakukan dengan posisi :
a. Film di luar vessel dan sumber radiasi di dalam vessel
b. Film di dalam vessel dan sumber radiasi di luar vessel
c. Film dan sumber radiasi diletakkan di luar vessel

Posisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 9.2. Dalam setiap kali penyinaran dapat
digunakan satu film atau beberapa film, tergantung pada panjang diagnostik yang
diizinkan.

Gambar 9.2.a Teknik penyinaran film di luar dan sumber radiasi di dalam

Pemilihan teknik 199


Gambar 9.2.b Teknik penyinaran film di dalam vessel dan sumber radiasi di luar vessel

Gambar 9.2.c Teknik penyinaran film di luar vessel dan sumber radiasi di luar vessel

Pemilihan teknik 200


9.2.2 Las circumferential
Pada las circumferential untuk benda-benda tubular, teknik penyinaran dapat dilakukan
dengan melewatkan radiasi pada satu dinding las maupun dua dinding las. Berdasarkan
jumlah dinding yang dilalui radiasi dan jumlah gambar dinding yang diperiksa pada film
untuk diinterpretasi, teknik penyinaran dibagi atas:
a. Teknik Dinding Tunggal Gambar Tunggal atau SWSI (single wall single image)
b. Teknik Dinding Ganda Gambar Tunggal atau DWSI (double wall single image)
c. Teknik Dinding Ganda Gambar Ganda atau DWDI (double wall double image).

a. Teknik SWSI (Single Wall Single Image)

Teknik Single Wall Single Image merupakan cara penyinaran dengan melewatkan radiasi
pada satu dinding las benda uji dan pada film tergambar satu bagian dinding las untuk
diinterpretasi. Teknik SWSI meliputi :
1). Teknik sumber di dalam (Internal source technique)
2). Teknik film di dalam (Internal film technique)
3). Teknik panoramik

Teknik sumber di dalam (Internal source technique)

Teknik ini dilakukan dengan meletakkan sumber radiasi di dalam benda uji dan film di
luar benda uji. Teknik ini dapat dilakukan hanya bila benda uji cukup besar dimana
diameter dalam benda uji melebihi SFD minimal dan ada akses masuk ke dalam pipa.

Gambar 9.3 : SWSI dengan Internal Source Technique

Pemilihan teknik 201


Teknik film di dalam (Internal film technique)
Teknik ini dilakukan dengan menempatkan film di dalam benda uji, sedangkan sumber
radiasi ditempatkan pada jarak sumber ke film tidak kurang dari SFD minimal.

Gambar 9.4 : SWSI dengan internal film technique

Gambar 9.5 : Teknik panoramik

Teknik panoramik
Teknik SWSI panoramik dapat dilakukan dengan menempatkan sumber di sumbu benda
uji untuk mendapatkan film hasil radiografi sekeliling benda uji dengan sekali penyinaran.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan teknik ini adalah diameter benda uji harus

Pemilihan teknik 202


cukup besar untuk menjamin terpenuhinya syarat unsharpness geometri. Faktor lain
adalah jenis sumber radiasi yang digunakan. Teknik panoramik tidak dapat dilakukan jika
digunakan pesawat sinar-X dengan berkas satu arah (directional) atau sumber sinar
gamma dengan menggunakan kolimator.

b. Teknik Double Wall Single Image (DWSI)


Pada benda uji yang tidak dapat diradiografi dengan teknik penyinaran SWSI, maka dapat
digunakan teknik DWSI yang meliputi teknik Contact dan bukan Contact.

Gambar 9.6 Teknik penyinaran Double Wall Single Image

Sumber ditempatkan sedemikian rupa sehingga radiasi melalui dua dinding las sedangkan
pada film hanya tergambar satu dinding las yang dekat dengan film untuk diinterpretasi.
Apabila sumber ditempatkan dekat permukaan lasan benda uji (menempel) dan film
diletakkan di permukaan lasan benda uji pada sisi lainnya, maka teknik ini disebut teknik
contact. Pemilihan teknik ini harus memperhatikan SFD minimal. Jika diameter luar
benda uji sama atau lebih besar dari SFD minimal maka teknik contact dapat dilakukan.

Jika diameter luar benda uji lebih kecil dari SFD minimal maka penempatan sumber dapat
diletakkan jauh dari permukaan dan diatur sedemikian hingga dinding atas las tidak
tergambar pada film.

Pemilihan teknik 203


c. Teknik Double Wall Double Image (DWDI)

Pada benda uji dengan diameter luar kecil tidak mungkin diterapkan teknik penyinaran
SWSI maupun DWSI. Pada kondisi demikian dapat digunakan teknik DWDI. Teknik
DWDI merupakan teknik penyinaran dengan cara meletakkan sumber radiasi sedemikian
rupa sehingga radiasi menembus kedua dinding benda uji dan pada film tergambar kedua
dinding las tersebut. Teknik DWDI meliputi :
- Teknik Elip
- Teknik Superimposed

Teknik Elip
Teknik elip dilakukan dengan meletakkan sumber radiasi membentuk sudut tertentu
terhadap bidang normal las sehingga gambar kedua bagian dinding benda uji (source side
dan film side) berbentuk elip, seperti ditunjukkan gambar 9.7a. Pembentukan sudut pada
teknik elip dapat dilakukan dengan menggeser sumber radiasi dari bidang normalnya
sejauh P, yang ditentukan dengan persamaan empiris berikut

P  1 / 5 SFD  2 L (9-2)
dimana :
L : lebar lasan
SFD : SFD normal.

Gambar 9.7a : Teknik Double Wall Double Image - ellip

Pemilihan teknik 204


Teknik Superimposed
Sebagai alternatif apabila teknik elip tidak dapat dilakukan maka teknik DWDI dilakukan
dengan meletakkan sumber tegak lurus terhadap benda uji sehingga gambar kedua dinding
benda uji menumpuk, teknik yang demikian disebut teknik superimposed. seperti terlihat
pada gambar 9-7b.

Gambar 9.7b : Teknik Double Wall Double Image - superimposed

Jumlah penyinaran pada teknik superimpose tergantung pada perbandingan antara


diameter luar dengan diameter dalam. Jika perbandingan diameter luar terhadap diameter
dalam nilainya kurang atau sama dengan 1,4 cukup dengan dua kali penyinaran pada beda
sudut 90o untuk mendapatkan gambar sekeliling las. Sedangkan untuk benda uji yang tebal
dimana perbandingan antara diameter luar terhadap diameter dalam lebih dari 1,4 jumlah
penyinaran dihitung dengan cara mengalikan hasil perbandingan tersebut dengan 1,7 dan
dibulatkan. Secara matematis dirumuskan dengan persamaan
 OD 
Np     1,7 (9-3)
 ID 
dengan Np adalah jumlah penyinaran, OD diameter luar pipa, dan ID diameter dalam pipa.

Beda sudut antar penyinaran (∆φ) diperoleh dengan membagi 180o dengan jumlah
penyinaran. Secara matematis dinyatakan dengan persamaan
180
  (9-4a)
Np

Pemilihan teknik 205


Khusus untuk jumlah penyinaran ganjil, penyinaran alternatif dapat dilakukan pada beda
sudut
360
  (9-4b)
Np

Contoh :
Untuk memeriksa pipa dengan diameter luar 50 mm (2 in) dan diameter dalam 25 mm (1
in.) dengan teknik superimpose, berapa jumlah penyinaran yang harus dilakukan dan
berapa beda sudut penyinarannya?
Penyelesaian :
- Nilai OD/ID adalah 2, lebih dari 1,4. Maka jumlah penyinaran N p = 2 x 1,7 = 3,4
dibulatkan menjadi 4 penyinaran.
- Beda sudut penyinaran (∆φ) adalah 180o/4 = 45o. Karena jumlah penyinaran nilainya
genap, maka tidak berlaku penyinaran alternatip.

Beberapa standard merekomendasikan teknik DWDI diterapkan pada benda uji yang
berdiameter luar kurang dari 3,5 inchi, tetapi ada juga yang mempersyaratkan untuk benda
uji dengan diameter luar kurang dari 2,5 inchi.

9.2.3 Sambungan T

Sambungan T (T-joint) secara umum dibedakan atas las sudut (fillet weld) dan las alur
(groove weld). Sambungan T dengan las sudut, seperti ditunjukkan gambar 9-8,
merupakan jenis sambungan yang banyak digunakan. Pada sambungan T dengan las sudut
terdapat antar muka yang tidak padu dari kedua bagian material yang disambung. Jika
sambungan jenis ini diradiografi seringkali antar muka yang tidak padu tersebut tampak
pada film hasil radiografi mirip seperti cacat “incomplete of penetration”. Arah berkas
radiasi dalam radiografi disusun sedemikian rupa bagian tidak padu tersebut tidak
tergambar pada film, dan juga dapat menghasilkan beda tebal tembus radiasi yang kecil
sehingga menghasilkan latitude yang lebih baik. Sudut radiasi yang disarankan adalah 15o.

Jenis sambungan T dengan las alur terdiri atas sambungan T dengan alur tirus tunggal
(single bevel) dan sambungan T dengan alur tirus ganda (double bevel), seperti
ditunjukkan dalam gambar 9-9a dan 9-9b. Sudut radiasi dalam radiografi material tersebut
dibuat sedemikian rupa menghasilkan beda tebal tembus radiasi yang kecil agar

Pemilihan teknik 206


menghasilkan latitude yang baik serta memiliki visibilitas cacat yang tinggi. Japan
Industial Standar (JIS) merekomendasikan sudut berkas radiasi untuk radiografi
sambungan T dengan las alur tirus tunggal adalah 45 o, sedangkan untuk las alur tirus
ganda adalah 30o.

Gambar 9-8 : Sudut penyinaran untuk sambungan T dengan las sudut.

Gambar 9-9 : Sudut berkas radiasi pada radiografi las sambungan T


A. Las alur tirus tunggal, sudut berkas radiasi 45o
B. Las alur tirus ganda, sudut berkas radiasi 30o

Pemilihan teknik 207


Pada sambungan T dengan las alur, tebal material (TA) untuk penentuan paparan/ waktu
penyinaran, diperoleh dengan persamaan 9-5a untuk las alur tirus tunggal dan persamaan
9-5b untuk las alur tirus ganda.

TA = 1,4 x (T1 + T2) (9-5a)


TA = 1,1 x (T1 + T2) (9-5b)

dengan T1 adalah tebal komponen berdiri dan T2 adalah tebal komponen horizontal.

9.2.4 Sambungan Pojok

Sambungan pojok (corner joint), dibagi atas sambungan pojok dengan las sudut (fillet
weld) dan sambungan pojok dengan las alur (groove weld). Dengan alasan yang sama
seperti pada sambungan T, arah berkas radiasi yang disarankan adalah 15o terhadap bagian
yang berdiri, untuk sambungan pojok dengan las sudut, dan 45 o untuk sambungan pojok
dengan las alur, seperti ditunjukkan gambar 9-10a dan 9-10b.

Gambar 9-10 : Sudut berkas radiasi pada radiografi las sambungan pojok

Pemilihan teknik 208


9.2.5 Las Nozle

Susunan antara film dan sumber radiasi pada pengujian radiografi las nozle ditunjukkan
pada Gambar 9.11. Sumber radiasi diletakkan sedemikian sehingga sumbu berkas
membentuk sudut kira-kira 7o terhadap dinding vertikal nozzle.

Sumber 7o

Gambar 9-11 : Sambungan nozzle

9.3 Variabel Penyinaran Radiografi

Variabel-variabel radiografi berikut ini diperlukan dalam pengembangan prosedur radiografi,


dan nilainya dipengaruhi oleh teknik penyinaran yang diterapkan, yaitu waktu penyinaran,
energi (kV), ketidaktajaman geometri dan SFD minimal, jumlah film, dan panjang
diagnostik.

9.3.1 Waktu penyinaran

Perhitungan waktu penyinaran didasarkan pada ketebalan yang ditembus radiasi. Pada teknik
DWSI dan DWDI dimana radiasi menembus dua ketebalan las, waktu penyinaran didasarkan
pada dua ketebalan material ditambah tinggi reinforcement dan backing strip (bila ada).
Khusus teknik DWDI-ellip, waktu penyinaran dengan sinar gamma dapat ditentukan dengan
persamaan :

Pemilihan teknik 209


2
 SFD ellip  E
t    (9-6)
 SFD kurva  A
Persamaan 9-6 berlaku juga untuk penyinaran dengan sinar x, terlebih dahulu mengganti A
(aktivitas sumber gamma) dengan arus tabung (i). E adalah exposure, ditentukan dari kurva
penyinaran yang didasarkan pada dua ketebalan las. SFD elip ditentukan dengan
menggunakan persamaan Phytagoras sebagai berikut :

2
SFD elip  SFD   P 2 (9-7)

Dengan SFD adalah jarak normal antara sumber dengan material yang diuji, dan P adalah
pergeseran sumber yang dihitung dengan persamaan 9-2.

Latihan :

1. Pipa diameter luar 500 mm tebal 20 mm diradiografi dengan teknik DWSI-contact


menggunakan sumber Ir-192 60 Ci dan film Agfa D7, berapa waktu penyinaran untuk
mendapat densitas 2,5?
2. Pipa besi las dengan diameter luar 3” dan tebal las 10 mm diradiografi dengan teknik
ellip dengan jarak normal sumber ke film 500 mm. Jika sumber yang digunakan Ir-192
aktivitas 30 Ci dan film AGFA D7, berapa waktu penyinaran untuk memperoleh
densitas 2,5?

9.3.2 Ketidaktajaman geometri dan SFD minimal

a. Ketidaktajaman geometri

Dalam pembentukan bayangan radiografi, ketidaktajaman geometri secara umum


dirumuskan dengan persamaan :

f d
Ug 
SFD - d

dengan f adalah focal spot/ dimensi sumber, SFD adalah jarak sumber ke film, dan d
adalah jarak sisi material yang menghadap sumber dengan film.

Pemilihan teknik 210


Pada teknik SWSI dan DWSI besarnya d sama dengan satu tebal dinding las (x).
Sedangkan pada teknik DWDI besarnya d sama dengan diameter luar las (OD). Dengan
demikian, ketidaktajaman geometri untuk teknik SWSI dan DWSI dinyatakan dengan
persamaan :
f x
Ug  (9-8)
SFD - x

Sedangkan untuk teknik DWDI dinyatakan dengan persamaan:

f  OD
Ug  (9-9)
SFD - OD
Persamaan 9-8 dan 9-9 dapat diterapkan apabila film benar-benar menempel benda uji.
Apabila terdapat jarak antara film dengan benda uji, maka jarak tersebut harus
ditambahkan pada nilai x dan OD.

Latihan

1. Berapa besarnya Ug dalam radiografi las tebal 10 mm menggunakan sumber Ir-192


dengan dimensi sumber 3 mm pada jarak 500 mm dari film?

2. Berapa besarnya Ug dalam radiografi pipa las dengan tebal las 20 mm dan diameter
luar 500 mm, yang dilakukan dengan teknik DWDI-contact menggunakan sumber Ir-
192 dengan dimensi sumber 3 mm.

3. Berapa besarnya Ug dalam radiografi pipa las dengan tebal las 10 mm dan diameter
luar 2,5 inchi, yang dilakukan dengan teknik DWDI-ellip pada SFD normal 500 mm
menggunakan sumber Ir-192 dengan dimensi sumber 3 mm.

Besarnya Ug dibatasi oleh standar, yaitu maksimal 0,02 in. (0,5 mm) untuk tebal material
kurang dari 2 in. Semua teknik penyinaran harus mempertimbangkan besarnya SFD
minimal agar gambar yang dihasilkan memiliki ketidaktajaman geometri (Ug) yang tidak
melampaui batas maksimal.

b. SFD minimal

Pemilihan teknik 211


Pada teknik SWSI dan juga DWSI, jarak sumber ke film minimal (SFD minimal) dapat
ditentukan dari persamaan:
 f 
SFD min    1 x (9-10)
 Ug max 
Sedangkan pada teknik DWDI, SFD minimal ditentukan dengan persamaan

 f 
SFDmin    1 OD (9-11)
 Ug max 
Ugmax adalah Ug maksimal yang diijinkan (ditentukan), nilainya 0,02 in. untuk ketebalan
material kurang dari 2 in.

Latihan

1. Berapa besarnya SFD minimal dalam radiografi las tebal 10 mm menggunakan sumber
Ir-192 dengan dimensi sumber 3 mm agar tidak melampaui batas maksimal Ug 0,5
mm.

2. Berapa besarnya SFD minimal dalam radiografi pipa las dengan tebal las 10 mm dan
diameter luar 2,5 inchi, yang dilakukan dengan teknik DWDI-ellip menggunakan
sumber Ir-192 dengan dimensi sumber 3 mm agar tidak melampaui batas maksimal Ug
0,5 mm.

9.3.3 Pemilihan Energi (KV) dengan persamaan IIW

Dalam radiografi, pemilihan energi sangat terkait dengan kontras dari film hasil radiografi.
Energi terlalu rendah mempunyai dampak pada kontras yang terlalu tinggi dan energi
terlalu tinggi berdampak pada kontras yang terlalu rendah, yang mana keduanya akan
menyulitkan dalam pendeteksian cacat. Untuk memperoleh kV yang optimal, standard IIW
(International Institute of Welding) menetapkan hubungan antara besarnya kV dengan
ketebalan material yang dirumuskan dengan persamaan:

kV  A  B x (9-12)

Pemilihan teknik 212


A dan B adalah tetapan yang besarnya bergantung pada jenis material dan ketebalan
material (x) yang dilalui oleh radiasi, seperti ditunjukkan pada Tabel 9.2.

Tabel 9.2. Konstanta untuk perhitungan kV mesin sinar X menurut standard IIW

Tebal (mm) Aluminium (Al) Besi (Fe)


A B A B
0,5 < x < 5 20 5 40 10
5 < x < 50 40 1,5 75 4,5

X adalah tebal satu dinding material (termasuk tinggi reinforcement dan backing strip)
untuk teknik SWSI. Untuk teknik DWSI dan DWDI x adalah dua tebal material (termasuk
tinggi reinforcement dan backing strip).

9.3.4 Jumlah film

Jumlah film yang digunakan dalam sekali penyinaran, dapat dihitung dengan persamaan
berikut :
K ef
N (9-13)
Pf  2 O v
N = jumlah film
Kef = panjang efektif las yang diperiksa, pada teknik panoramik adalah keliling las
Pf = panjang film yang digunakan
Ov = panjang overlap antar film

Latihan :
1. Pipa diameter luar 1 m diradiografi dengan teknik panoramik menggunakan film
panjang (4 x 15 in.) dengan overlap 1 in. Berapa jumlah total film yang digunakan?
2. Untuk meradiografi sekeliling pipa 20 in. dapat dilakukan 4 kali penyinaran dengan
teknik DWSI. Berapa jumlah film pendek (4 x 10 in.) yang diperlukan untuk setiap
penyinaran?

9.3.5 Panjang diagnostik

Pemilihan teknik 213


Panjang diagnostik didefinisikan sebagai area las yang dapat dicakup dalam satu
penyinaran. Area maksimum yang tercakup dalam sekali penyinaran tidak boleh melebihi
yang dihasilkan oleh tebal tembus di ujung area yang berbeda 6% sampai 10% terhadap
tebal tembus di tengah area.

Pada las longitudinal, dari ketentuan diatas dapat dirumuskan hubungan sebagai berikut :
- L = T + 6% T = 1,06 T untuk pengujian kritis
- L = T + 10% T = 1,1 T untuk pengujian biasa
dengan L adalah tebal tembus di ujung area sedangkan T adalah tebal tembus dipusat area,
seperti ditunjukkan gambar 9.11.

Panjang diagnostik pengujian kritis :


L = 1,06 T
Cos  = T/L
Cos  = T/1,06 T   = 19,4o
Tan  = X/SFD
Tan 19,4 = X/SFD  X = 0,35 . SFD
Panjang diagnostik (efektif) = 2 X

Kef = 0,7 SFD 9-14a

Panjang diagnostik pengujian biasa :


L = 1,1 T
Cos  = T/L
Cos  = T/1,1 T   = 24,61o
Tan  = X/SFD
Tan 24,61 = X/SFD  X = 0,46 . SFD
Panjang diagnostik (efektif) = 2 X

Kef = 0,92 SFD 9-14b

Pemilihan teknik 214


S

SFD


L T
X
Kef

Gambar 9.12 : Panjang diagnostik las longitudinal

Panjang diagnostik las circum ditentukan seperti pada Tabel 9.3.

Tabel 9.3 Panjang diagnostik las circum


Teknik Penyinaran Panjang diagnostik (Kef)
SWSI (internal source technique)  ½ SOD (source to object distance)
SWSI (internal film technique)  1/12 keliling pipa
DWSI  1/6 keliling pipa

Latihan :
Pada pengujian biasa sebuah las longitudinal yang tebalnya 10 mm dengan SFD 800 mm
digunakan film yang panjangnya 4 x 10 inch. Berapa jumlah film yang dapat digunakan
dalam setiap penyinaran dengan overlap 1 in.
Penyelesaian :
Panjang diagnostik pengujian biasa (Kef) adalah 0,92 SFD = 736 mm = 28,97 in.
Jumlah film N = 28,97/ (10-2) = 3,6  4 film

Pemilihan teknik 215


9.4 Kompensasi Ketebalan

Pada suatu lasan bentuk T terdapat 2 perbedaan ketebalan yang besar antara base material
dengan bagian yang diuji sehingga akan diperoleh film hasil radiografi dengan perbedaan
densitas yang sangat besar, atau dengan kata lain latitude rendah. Salah satu cara untuk
mengatasi masalah ini dengan menggunakan lempeng kompensasi tebal (compensation
thickness wedge) yang berfungsi mengurangi perbedaan tebal sehingga diperoleh perbedaan
densitas yang rendah pada film hasil radiografi. Syarat lempeng kompensasi tebal harus
tidak mengandung cacat material.

lempeng
kompensasi
tebal

film

Gambar 9.13 : Penyinaran menggunakan lempeng kompensasi tebal

9.5 Pengaruh Karakteristik Cacat

Pemilihan arah berkas radiasi untuk radiografi suatu benda uji merupakan faktor utama
yang mengendalikan kemampuan pendeteksian jenis cacat tertentu. Pemilihan arah berkas
yang tidak tepat akan menghasilkan gambar cacat yang terdistorsi atau bahkan tidak dapat
menampilkan gambar cacat sama sekali.

9.5.1 Kemampuan Pendeteksian Cacat

Secara umum terdapat dua jenis cacat yaitu cacat volumetrik dan cacat bidang (planar).
Cacat volumetrik dapat digambarkan sebagai cacat tiga dimensi atau memiliki volume,
sedangkan cacat planar memiliki ukuran tipis pada satu dimensi dan ukuran luas pada dua

Pemilihan teknik 216


dimensi. Kemampuan pendeteksian terhadap cacat dipengaruhi oleh karakteristik cacat
seperti jenis, orientasi, dimensi, dan posisi cacat.

sumber

Berkas cacat planar


radiasi

Benda
uji
film

susunan aktual

gambar film
cacat

penumbra
tidak ada
gambar cacat umbra

gambar radiografi

Gambar 9.14 Bayangan radiografi cacat planar

Cacat dapat terdeteksi apabila terdapat perbedan penyerapan radiasi yang cukup besar
antara cacat dengan material sekitarnya. Ketika benda uji berisi cacat planar, misalnya
crack, cacat planar akan dapat terdeteksi hanya bila radiasi sejajar atau hampir sejajar
terhadap bidang cacat tersebut. Sebaliknya, bila arah radiasi tegak lurus terhadap bidang
cacat terdapat sedikit perbedaan penyerapan radiasi terhadap material sekitarnya sehingga
sulit untuk terdeteksi. Gambar 9.14 menunjukkan hasil radiografi sebuah material yang
mengandung dua cacat planar. Cacat tergambar ketika arah berkas radiasi sejajar bidang
cacat, dan tidak terbentuk gambar cacat ketika arah berkas radiasi tidak sejajar bidang
cacat.

Pada benda uji yang berisi cacat volumetrik berbentuk bola, seperti porosity atau inklusi,
cacat akan terdeteksi darimanapun arah radiasi. Hanya saja, cacat akan terdistorsi dari

Pemilihan teknik 217


bentuk dan ukuran yang sebenarnya bilamana arah radisi tidak tegak lurus terhadap bidang
film, seperti ditunjukkan gambar 9.15.

sumber

Berkas cacat volumetrik


radiasi bentuk bola

Benda
uji
film

susunan aktual

gambar cacat film


tidak terdistorsi

penumbra
gambar cacat
terdistorsi umbra

gambar radiografi

Gambar 9.15 Bayangan radiografi cacat bola

Mengacu pada prinsip geometri penyinaran, cacat terletak pada posisi dekat film akan
mudah terdeteksi daripada cacat yang jauh dari film karena cacat yang demikian memiliki
ketajaman gambar yang cukup tinggi.

9.5.2 Pemilihan arah berkas radiasi pada radiografi las

Pada umumnya sambungan las diradiografi dengan arah radiasi yang tegak lurus dengan
permukaan las. Namun hasil radiografi dengan arah radiasi tersebut adakalanya kurang
memuaskan karena mungkin tidak dapat mengungkap kandungan cacat yang ada di
dalamnya atau menghasilkan gambar cacat yang terdistorsi. Cacat pada lasan seperti
tungsten inclusion, porosity, shrinkage mungkin dapat terdeteksi tanpa memperhatikan

Pemilihan teknik 218


arah berkas radiasi. Namun cacat seperti crack, incomplete of side wall fusion dapat
terdeteksi dengan baik apabila arah berkas radiasi sejajar dengan permukaan sambungan.
Sedangkan, cacat incomplete of penetration dan centerline crack memerlukan arah berkas
radiasi yang normal.

Gambar 9.16 : Arah radiasi dalam pemeriksaan las tumpul untuk memeriksa adanya cacat
“incomplete of side wall fusion”

Untuk mengungkap cacat crack dan incomplete of side wall fusion pada sambungan las
tumpul (but weld) bentuk alur persegi, alur U, alur J dapat terpenuhi hanya dengan arah
berkas radiasi yang tegak lurus. Tetapi jenis alur lain seperti alur V, alur bevel, sambungan
fillet memerlukan dua arah berkas masing-masing sejajar dengan permukaan sambungan
untuk memeriksa cacat tersebut dengan tepat, seperti pada gambar 9.16.

Pemilihan teknik 219

También podría gustarte