Está en la página 1de 16

BAB I

PENDAHULUAN

Flebotomi (phlebotomy) berasal dari kata Yunani phleb dan tomia. Phleb
berarti pembuluh darah vena dan tomia berarti mengiris/memotong (cutting).
Dulu dikenal dengan istilah venasectie, venesection atau venisection. Flebotomis
adalah seorang tenaga medis yang telah mendapat latihan untuk mengeluarkan
dan menampung spesimen darah dari pembuluh darah vena, arteri atau kapiler
(Lavery, 2005).
Praktek pengeluaran darah sudah sejak lama dikenal manusia dan menjadi
bagian dari pengobatan pasien. Teknik pengeluaran darah yang pertama (tahun
100 SM) dilakukan oleh dokter-dokter dari Syria dengan menggunakan lintah.
Setelah masa Hippocrates yang dikenal dengan sebutan Bapak Ilmu Kedokteran
(abad 5 SM), seni pengambilan darah banyak mengalami perubahan demikian
pula berbagai alat untuk keperluan pengambilan dan penampungan bahan darah.
Lanset untuk pengambilan darah digunakan pertama kali sebelum abad ke 5 SM
dengan tetap mengacu kepada lintah sebagai bentuk dasar. Dengan lanset ini,
seorang dokter (practitioner) melubangi vena, kadang-kadang sampai beberapa
lubang. Menjelang akhir abad 19, teknologi mengambil alih peran lintah
artifisial sebagai alat bantu flebotomi. Kini telah dikenal beragam alat
pengambilan darah dan mudah diperoleh di pasaran (Lavery, 2005).
Kebanyakan pengambilan spesimen darah pasien saat ini masih
dilaksanakan oleh teknisi/analis laboratorium baik di ruang laboratorium maupun
di ruang perawatan, padahal jabatan dan tugas seorang teknisi atau analis
laboratorium tidak sejalan dengan tanggung jawab dan kegiatan/aktivitas seorang
flebotomis. Objek yang dihadapi oleh teknisi/analis laboratorium adalah peralatan
pemeriksaan sedangkan objek yang dihadapi oleh seorang flebotomis adalah
pasien atau orang sehat yang dipengaruhi oleh banyak hal seperti sifat, perilaku,
masalah intern/pribadi dan lain-lain. Hal ini sedikit banyaknya dapat menjadi
penghalang dalam kelancaran proses pengambilan spesimen darah dan hal-hal ini

1
pula yang harus dapat dihadapi dan diatasi seorang flebotomis. Sistem pelayanan
kesehatan yang berkembang akhir-akhir ini bertujuan untuk kesejahteraan pasien
mengacu kepada pelayanan kesehatan yang dikerjakan oleh tim. Dengan
sendirinya, pelayanan laboratorium akan selalu menjadi bagian integral dari
pelayanan kesehatan menyeluruh dan seorang flebotomis memiliki peran yang
sangat penting karena menempati posisi awal dalam rangkaian proses
pemeriksaan laboratorium (Anonim 2, 2009).
Terdapat beberapa sistem sampling darah untuk proses flebotomi. Sistem
yang paling tepat untuk melakukan prosedur harus dipilih. Sistem tersebut adalah
sistim tertutup dan sistim terbuka.
1. Sistem Tertutup
Sistem tertutup untuk pengambilan sampel darah lebih disukai karena
sistem ini telah terbukti lebih aman daripada sistem terbuka. Penggunaan
hypodermic needle dan syringe adalah cara yang paling umum dari pengambilan
sampel darah. Jika ukuran jarum terlalu besar, maka jarum tersebut akan merobek
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan (hematoma), jika jarum terlalu
kecil, maka akan merusak sel-sel darah selama pengambilan sampel dan
pemeriksaan laboratorium. Penggunaan sistem tabung vakum ekstraksi sebagai
sistem tertutup untuk mengumpulkan darah mengurangi risiko kontak langsung
dengan darah dan telah membuat lebih mudah untuk mengambil beberapa sampel
dari satu venepuncture. Sistem vakum ekstraksi tersedia secara luas. Meskipun
sistem vakum ekstraksi merupakan sistem yang aman, pelatihan dan keterampilan
diperlukan bagi flebotomis yang menggunakan sistim ini. Jarum tersedia dalam
beberapa ukuran yang dianjurkan. Sampel yang berada dalam tabung vakum
dimasukkan ke dalam tabung sampel sampai jumlah yang diperlukan. Buang
barel dan jarum suntik sebagai satu kesatuan. Menggunakan one-hand scoop
technique untuk menutupi ujung tajam jarum dan dengan demikian aman dari
tusukkan jarum. Sistem vakum juga dapat menggunakan Winged butterfly needles
dan conector luer-lock. Wadah benda tajam harus berada dalam jangkauan lengan
dan terlihat jelas, untuk memastikan pembuangan yang aman dari benda tajam.

2
2. Sistem terbuka
Sistem terbuka termasuk hypodermic needle, syringes serta winged steel
needles yang terpasang pada syringe (WHO, 2010).
Syringe adalah alat yang digunakan untuk pengambilan darah atau
pemberian injeksi intravena dengan volume tertentu. Syringe mempunyai skala
yang dapat digunakan untuk mengukur jumlah darah yang akan diambil, volume
spuit bervariasi dari 1 ml, 3 ml, 5 ml bahkan ada yang sampai 50 ml yang
biasanya digunakan untuk pemberian cairan sonde atau syringe pump. Syringe
terdiri dari sebuah silinder dan piston (plunger) untuk menginjeksikan zat cair
atau mengambil zat cair dalam hal ini darah yang berguna untuk kebutuhan pada
bidang analitik, medis farmasi, atau bioteknologi. Sedangkan jarum (needles)
adalah sebuah instrumen yang sangat ramping dan berongga untuk memasukkan
material ke dalam atau ke luar tubuh Parameter yang perlu diperhatikan pada
syringe adalah metode injeksi, bentuk jarum, volume (skala syringe), dan laju
tekanan. Injektor adalah sebuah mekanisme untuk injeksi sejumlah sampel secara
akurat. Injektor dapat berupa alat manual sederhana atau autosampler kompleks
yang memberikan injeksi secara otomatis dari berbagai jenis sampel yang berbeda
ke dalam aliran zat cair. Jarum pada syringe dapat diganti dan ada yang permanen.
Volume syringe adalah sejumlah sampel yang dapat dikandung syringe sebelum
dilakukan injeksi. Skala syringe adalah tanda cetakan pada sisi skala untuk
mengukur volume yang dikeluarkan. Laju tekanan adalah maksimum tekanan
yang dapat dilakukan oleh syringe. Selain itu, hal lain yang penting ketika
membuat spesifikasi jarum adalah ukuran jarum (panjang, diameter bagian dalam
dan diameter bagian luar). Rentang ukuran spesifikasi jarum dari yang paling
besar ke yang paling kecil bersifat kebalikannya. Contoh, sebuah jarum ukuran 4.0
adalah lebih besar (ukuran fisiknya) daripada jarum ukuran 8.0. (Anonim 1,
2017). Bagian-bagian dari syringe dapat dilihat pada gambar 1.

3
Gambar-1. Bagian-bagian syringe (Anonim 1, 2017)

4
BAB II
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA PADA FLEBOTOMI

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu


bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja
menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan rumah sakit,
tetapi juga dapat mengganggu proses pelayanan secara menyeluruh, merusak
lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas
(Tresnaningsih, 2008).
Lingkungan rumah sakit dapat menjadi tempat yang berbahaya baik bagi
flebotomis maupun bagi pasien. Bahaya-bahaya potensial di Rumah Sakit dapat
disebabkan oleh faktor biologi (virus, bakteri, jamur, parasit), faktor kimia
(antiseptik, reagen, gas anestesi), faktor ergonomi (Iingkungan kerja, cara kerja,
dan posisi kerja yang salah), faktor fisik (suhu, cahaya, bising, listrik, getaran dan
radiasi), faktor psikososial (kerja bergilir, beban kerja, hubungan sesama pekerja
dan atasan) dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja.
(Kemenkes, 2010; Davis, 2011).
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan
petugas kesehatan sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas
serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang
meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman
walaupun sudah tersedia (Tresnaningsih, 2008). Penyakit Akibat Kerja (PAK) di
Rumah Sakit, umumnya berkaitan dengan faktor biologi (kuman patogen yang
berasal umumnya dari pasien), faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil yang
terus menerus seperti antiseptik pada kulit, gas anestesi pada hati), faktor
ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah), faktor fisik (panas

5
pada kulit, tegangan tinggi pada sistem reproduksi, radiasi pada sistem produksi
sel darah), faktor psikologis (ketegangan di kamar bedah, penerimaan pasien
gawat darurat, bangsal penyakit jiwa. Sumber bahaya yang ada di Rumah Sakit
harus diidentifikasi dan dinilai untuk menentukan tingkat risiko, yang merupakan
tolok ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan PAK (Kemenkes, 2010).
Bahaya-bahaya potensial di Rumah Sakit dapat dikelompokkan, seperti dalam
tabel berikut :

Tabel.1. Bahaya-bahaya potensial di Rumah Sakit


Bahaya-bahaya potensial di Rumah Sakit
Bahaya fisik Radiasi peng ion, radiasi non-pengion,
suhu panas, suhu dingin, bising, getaran, pencahayaan

Bahaya Kimia Ethylene Oxide, Formaldehyde,


Glutaraldehyde, Ether, Halothane, Et rane,Mercury,
Chlorine

Bahaya Biologi Virus (misal : Hepatitis B. Hepatitis C,


Influenza, HIV), Bakteri (misal : S. Saphrophyticus,
Bacillus sp., Porionibacterium sp., H.lnfluenzae,
S.Pneumoniae, N.Meningitidis, B.Streptococcus,
Pseudomonas), Jamur (misal : Candida) dan Parasit
(misal : S. Scabiei)

Bahaya Ergonomi Cara kerja yang salah, diantaranya posisi kerja stat is,
angkat angkut pasien , membungkuk, menarik,
mendorong

Bahaya Psikososial Kerja shift, stress beban kerja, hubungan kerja, post
traumatic

Bahaya Mekanik terjepit, terpotong, terpukul, tergulung, tersayat,


tertusuk benda tajam

Bahaya Listrik Sengatan listrik, hubungan arus pendek, kebakaran,


petir, listrik statis

Kecelakaan Kecelakaan benda tajam

Limbah RS Limbah medis jarum suntik, vial obat, nanah, darah)


limbah non medis, limbah cairan tubuh manusia (misal:
droplet, liur, sputum)

(Kemenkes, 2010)

6
Flebotomis harus selalu berhati-hati dalam membawa bahan biologis
seperti darah, urin dan bahan lainnya yang diambil dari tubuh manusia. Karena
jarum merupakan alat utama yang digunakan flebotomis maka diperlukan kehati-
hatian untuk mengindari kejadian tertusuk jarum dan terpapar penyakit menular
melalui darah (Davis, 2011).
Antara 800.000-1.000.000 insiden tertusuk jarum telah dilaporkan di
Amerika serikat setiap tahunnya. Paparan juga dapat terjadi melalui luka terbuka
atau abrasi, kontak pada mata, hidung atau mulut dengan darah pasien. Seperti
dilaporkan oleh Pilot Study of Needlestick Prevention Devices, terdapat lebih
dari 20 kuman ditularkan melalui jarum suntik. Yang paling serius adalah
hepatitis C (HCV), hepatitis B (HBV) dan HIV. Telah dilaporkan oleh
Occupational and Health Admnistration (OSHA) bahwa sekitar 8.700 tenaga
kesehatan tertular HBV, di mana 200 orang berakhir dengan kematian. Sebagian
lainnya akan menjadi carrier dan menularkan pada orang lain. Sistem Universal
Body Substance Precautions (UBSP) sebagai rujukan standar sistem pencegahan
ang direkomendasikan oleh OSHA. Sistem ini mengasumsikan bahwa semua
darah dan bahan tubuh pasien potensial infeksius. Dahulu digunakan sistem
isolasi, berdasarkan diagnosis pasien. Oleh karena tidak mungkin dapat
mengetahui status darah seluruh pasien apakah mengandung HBV, HIV dan
penyakit menular lainnya, sistem UBSP berhasil mengurangi risiko pada petugas
kesehatan (Davis, 2011).
Terdapat beberapa tindakan pada saat dilakukan flebotomi yang
menyebabkan terjadinya risiko tertusuk jarum suntik dan penularan beberapa
penyakit melalui darah. Tindakan tersebut antara lain (WHO, 2010).
a. Buka-tutup (recapping) jarum menggunakan dua tangan
b. Recapping tabung vakum dan pemegang (holder)
c. Menggunakan kembali torniket dan pemegang tabung vakum yang
mungkin terkontaminasi bakteri dan kadang-kadang darah
d. Bekerja sendirian dan kurang terlatih, terlebih pada penderita yang dapat
bergerak tiba- tiba dan mengakibatkan tertusuk jarum.

7
Untuk mengurangi risiko efek samping bagi diri sediri dan pasien, seorang
flebotomis yang melakukan flebotomi perlu dilatih tentang prosedur pengumpulan
spesimen, prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi. Petugas harus
menerima pelatihan dan menunjukkan kemampuan khusus, misalnya sampling
orang dewasa dan anak-anak dan pengambilan darah vena, arteri dan kapiler.
Pelatihan rutin internal dan pengawasan harus dilakukan. Program pelatihan harus
memberikan pengetahuan teoritis dan praktis dalam pengambilan sampel
darah. Sertifikat kompetensi harus dikeluarkan setelah menyelesaikan program
pelatihan (WHO, 2010).
Saat mengambil darah, seorang flebotomis harus memakai alat pelindung
diri. Alat Pelindung Diri (APD) merupakan peralatan pelindung yang digunakan
untuk melindungi diri dari kontaminasi lingkungan. APD dalam bahasa Inggris
dikenal dengan sebutan Personal Protective Equipment (PPE). Dengan melihat
kata "personal" pada kata PPE terebut, maka setiap peralatan yang dikenakan
harus mampu memperoteksi si pemakainya. APD dapat berkisar dari yang
sederhana hingga relatif lengkap. APD merupakan solusi pencegahan yang paling
mendasar dari segala macam kontaminasi dan bahaya akibat bahan kimia dan juga
bahan biologis (Manuaba, 2016). Alat pelindung diri Ini termasuk sarung tangan
karet, kacamata, gaun dan masker wajah. Flebotomis harus menggunakan
peralatan ini karena sangat berisiko terpapar darah (OSHA. 2011).
Petugas kesehatan harus memakai sarung tangan non-steril saat
mengambil darah dan juga harus melakukan hand hygiene sebelum dan sesudah
setiap prosedur pasien, sebelum memakai dan setelah melepas sarung tangan.
Sarung tangan non-steril bisa berupa lateks atau bebas lateks, sarung tangan
diganti untuk setiap pasien. Masker dan pelindung mata juga diperlukan sebagai
antisipasi terjadi paparan darah, misalnya selama pengambilan sampel darah arteri
(WHO, 2010).
Pada pelaksanaan flebotomi yang baik, seorang flebotomis serta pasien
harus terlindungi. Salah satu cara untuk mengurangi kecelakaan dan paparan
darah pada seorang flebotomis adalah dengan menggunakan perangkat pengaman
seperti saat lancet ditarik, jarum suntik dengan penututup jarum saat dilepas.

8
Pendekatan lain adalah tindakan recapping jarum dengan satu tangan dan
membuang benda tajam pada wadah yang aman. Wadah ini harus dekat dari
petugas dan terjangkau. Ukuran wadah juga harus sesuai (WHO, 2009;
Manjunatha et.al, 2011). Wadah benda tajam harus tahan terhadap tusukkan. Sisi-
sisinya dan alasnya tidak boleh bocor dan harus dilabel atau diwarnai merah agar
memastikan setiap orang tahu bahwa isinya mengandung bahaya (Davis, 2011).
Contoh kontainer benda tajam yang direkomendasikan oleh FDA dapat dilihat
pada gambar-2.
Perangkat pengambilan sampel darah seperti jarum suntik, syringe,
evacuated needle dan tube holder, winged butterfly harus segera dibuang setelah
digunakan sebagai satu kesatuan dan harus ditempatkan dalam wadah benda tajam
yang tahan bocor, kedap udara yang dapat ditutup, terlihat jelas dan ditempatkan
pada tempat yang terjangkau tangan petugas kesehatan (WHO, 2010).

Gambar-2. FDA-cleared sharps disposal containers (FDA, 2013).

9
Flebotomis tidak boleh menyentuh kontainer benda tajam dengan tangan
dan bila kontainer sudah ditutup tidak boleh dibuka kembali atau dipindahkan ke
kontainer yang lain. Sebanyak 1/3 kasus cedera benda tajam terjadi saat proses
pembuangan sampah medis. Cedera tersebut diakibatkan oleh desain yang kurang
baik atau penyimpanan kontainer benda tajam yang tidak benar, isi kontainer
melebihi wadah, dan praktek yang tidak tepat saat membuang jarum (Davis,
2011). Permasalahan lainnya petugas sering memisahkan jarum suntik dan
syringe untuk menghemat biaya dan membuang dua bagian dalam sistem limbah
yang berbeda. Pembuang limbah segera setelah digunakan ke dalam wadah benda
tajam yang tahan tusukan dan dapat ditutup merupakan bagian penting dalam
pengelolaan limbah untuk mengurangi kejadian tertusuk jarum suntik (WHO,
2010).
Semua fasilitas pelayanan kesehatan harus memiliki prosedur tetap tentang
penanganan kecelakaan tertusuk jarum dan paparan darah dan cairan tubuh Davis,
2011). Protokol profilaksis paska paparan juga harus tersedia di semua area
layanan kesehatan dan area flebotomi, harus terdapat instruksi yang jelas untuk
diikuti bila terjadi paparan secara tidak disengaja terhadap cairan darah atau
cairan tubuh. Jika terjadi paparan, petugas kesehatan harus mengetahui kebijakan
profilaksis paska paparan. Idealnya, kebijakan ini harus meliputi untuk terjadinya
paparan HIV, HBV dan HCV. Insiden kecelakaan kerja harus dilaporkan dalam
sistem yang memungkinkan pengelolaan medis dan pelacakan individu yang
terpapar, kemudian dilakukan analisis terhadap insiden, untuk dapat
mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat dimodifikasi untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kerja. Profilaksis paska paparan HIV mungkin paling
optimal jika dimulai sesegera mungkin, tentunya harus dimulai paling lambat 72
jam setelah terpapar. Baik sumber pasien maupun individu yang terpapar harus
menjalani rapid test. Profilaksis terapi antiretroviral harus diajukan sesegera
mungkin, idealnya dalam jam pertama, dan tentunya selambat-lambatnya 72 jam
setelah terpapar (WHO, 2010).
Imunisasi hepatitis penting untuk semua orang yang bekerja di fasilitas
kesehatan, khususnya flebotomis. Satu sampai dua bulan setelah menyelesaikan

10
tiga seri imunisasi, petugas kesehatan harus diuji untuk memverifikasi
seroproteksi. Hal ini penting karena tindak lanjut termasuk pengujian serologi
berulang setelah terpapar pasien positif hepatitis B tidak perlu dilakukan jika
orang yang terpapar diketahui telah merespon vaksin tersebut. Titer akan menurun
seiring berjalannya waktu, namun orang yang divaksinasi tetap terlindungi
(WHO, 2010).
Apabila terpapar darah pada permukaan kulit atau mukosa, segera cuci
luka dengan sabun dan air, bila terjadi percikan ke hidung, mulut atau kulit segera
guyur dengan air, irigasi mata dapat dilakukan dengan air bersih, normal saline,
atau irrigant steril. Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa
menggunakan antiseptik atau meremas luka akan mengurangi risiko penularan
patogen darah. Menggunakan bahan kaustik seperti pemutih tidak dianjurkan.
Segera laporkan paparan ke departemen (mis., Kesehatan kerja, kontrol infomasi)
yang bertanggung jawab untuk mengelola paparan. Pelaporan yang cepat sangat
penting karena, dalam beberapa kasus, perawatan paska paparan mungkin
direkomendasikan dan sebaiknya dimulai sesegera mungkin. Diskusikan
kemungkinan risiko terkena HBV, HCV, dan HIV dan perlunya penanganan
paska paparan dengan tim kesehatan dan keselamatan kerja (CDC, 2003).

Prosedur dan pelaksanaan flebotomi yang tepat merupakan kunci


penting untuk menciptakan dan meningkatkan keselamatan baik bagi pasien
dan juga flebotomis. Beberapa hal yang penting untuk dilaksanakan pada
saat melakukan flebotomi adalah sebagai berikut:
1. Persiapan alat sehubungan dengan patient safety dalam tahapan prosedur
flebotomi yaitu:
a. Alat diletakkan di tempat yang aman dan mudah dijangkau.
b. Menggunakan tourniquet yang bebas lateks untuk menghindari alergi pada
pasien
c. Menggunakan tabung darah plastik agar tidak mudah pecah dan dapat
mengenai pasien.
d. Menggunakan jarum dengan pengaman.

11
e. Menyiapkan wadah khusus untuk pembuangan jarum

2. Pada saat melakukan identifikasi dan persiapan pasien yang harus dilakukan
meliputi:
a. Menggunakan 2 sistem identitas.
b. Menayakan secara verbal nama pasien dan tanggal lahir, atau nama dan
nomer rekam medik, serta meminta pasien untuk mengeja namanya.
c. Bandingkan selalu identitas pasien di label sampel dan lembar
pemeriksaan.
d. Pemberian label sebaiknya dilakukan saat pengambilan sampel tepat di
sisi pasien untuk rawat inap (bedsite).
e. Menanyakan riwayat alergi, riwayat pingsan dan kesediaan pasien untuk
dilakukan flebotomi demi menghindari kejadian yang tidak diinginkan

3. Cara memilih vena yang akan dikakukan flebotomi, yaitu:


a. Pilih vena yang dapat dilihat dengan jelas untuk dapat membantu
menentukan ukuran jarum yang tepat bagi pasien.
b. Melakukan eksplorasi vena saat jarum di dalam dapat merusak jaringan
sehingga terjadi hematoma, kerusakan saraf dan kontamnasi sampel oleh
jaringan.
c. Pilih vena yang tidak bercabang untu mengurangi komplikasi terjadinya
hematoma.
d. Hindari vena pada jalur infus cairan (pasien rawat inap) agar tidak terjadi
kesalahan hasil pemeriksaan bagi pasien

4. Mencuci tangan dan mengganti sarung tangan setiap kali prosedur untuk
menghindari kontaminasi silang antar pasien. Disinfeksi yang dilakukan
meliputi:
a. Desinfeksi dilakukan untuk mengurangi kontaminasi sampel, khususnya
untuk pemeriksaan kultur darah.

12
b. Alkohol lebih disukai daripada povidone iodine sebab darah yang
terkontaminasi iodin menyebabkan kadar kalium, fosfor dan asam urat
meningkat sehingga terjadi kesalahan hasil dan menyebabkan pemberian
terapi yang tidak perlu bagi pasien.
c. Biarkan alkohol mengering sebelum dilakukan vena pungsi, sebab alkohol
basah dapat menyebabkan sampel hemolisis.
d. Jangan menyentuh bagian yang sudah dibersihkan untuk menghindari
kontaminasi.
5. Pengambilan darah juga harus diperhatikan berkaitan dengan patient safety
pada saat flebotomi yaitu:
a. Pilih jarum dengan ukuran sesuaia usia pasien untuk menghindari
komplikasi hematoma, vena kolaps, dan lain-lain.
b. Fiksasi vena dengan memegang lengan pasien dan letakkan jempol di
bawah sisi venapungsi, tujuannya agar untuk menghindari vena bergeser
(khususnya pada orang tua), mengurangi eksplorasi berlebihan, kerusakan
jaringan dan saraf.
c. Memasukkan jarum pada sudut 15-300 dari permukaan kulit dan posisi
jarum harus tepat untuk menghindari hemolisis.
d. Longgarkan ikatan tourniquet setelah darah mengalir ke tabung dan
lepaskan sebelum mencabut jarum.
e. Cabut jarum dan tekan bekas tusukan dengan kapas atau kasa kering dan
bersih.
f. Minta pasien untuk menekan bekas tusukan dan mengekstensikan serta
mengangkat lengannya (Tahono et. al, 2012).

13
BAB III
SIMPULAN

1. Flebotomi (phlebotomy) berasal dari kata Yunani phleb dan tomia. Phleb
berarti pembuluh darah vena dan tomia berarti mengiris/memotong
(cutting). Dulu dikenal dengan istilah venasectie, venesection atau
venisection. Flebotomis adalah seorang tenaga medis yang telah
mendapat latihan untuk mengeluarkan dan menampung spesimen darah
dari pembuluh darah vena, arteri atau kapiler.
2. Lingkungan rumah sakit dapat menjadi tempat yang berbahaya baik bagi
flebotomis maupun bagi pasien. Bahaya-bahaya potensial di Rumah Sakit
dapat disebabkanoleh faktor biologi, faktor ergonomi, faktor fisik, faktor
psikososial dan dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat
kerja.
3. Prosedur dan pelaksanaan flebotomi yang tepat merupakan kunci penting
untuk menciptakan dan meningkatkan keselamatan baik bagi pasien dan
juga flebotomis.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1. 2017. Syringes and Needles. The Pharmaceutics and Compounding


Laboratory. http://pharmlabs.unc.edu. (Diunduh 17-7-2017).

Anonim 2. 2009. Preventing Needlestick Injures in Health Care Settings,


Columbia, National Institute for Occupational Safety and Health; p. 4-17.

CDC. 2003. Exposure to blood What Healthcare Personnel Need to Know


Department of Health & Human Services.

Davis B. 2011. Phlebotomy from Student to Professional 3th ed. Delmar :


New York; p. 38-42.

FDA. 2013 Sharps Disposal Containers. U.S. Food and Drug Administration.
www.fda.gov. (Diunduh 17-7-2017).

First Global Patient Safety Challenge Clean Care is Safer Care : WHO guidelines
on Hand Hygiene in Health Care. Geneva, World Health Organization,
2009.

Fundamentals Of Phlebotomy. Medtexx Medical Corporation. Ed-2; 2007.p.8-10.

Hillyer C, Josephson C, Blajchman M, Vostal J. 2003.Bacterial Contamination of


Blood Components :Risk, Strategy, and Regulation. American Society of
Hematology.

Kemenkes. 2010. Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit

Lavery I, Ingram P. Blood sampling: best practice. Nursing Standard, 2005,


19:5565.

Medtexx Medical Corporation. Fundamentals Of Phlebotomy Ed-2; 2007.p.8-10.

Manuaba. 2016. Prosedur Penggunaan Alat Perlindungan Diri Dan Biosafety


Level 1 Dan 2.

OSHA. 2011. Laboratory Safety Guidance . Occupational Safety and Health


Administration U.S. Department of Labor.

Tahono et al. 2012. Buku Ajar Flebotomi. Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

15
Tresnaningsih. 2008. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Laboratorium
Kesehatan. Pusat Kesehatan Kerja Setjen Depkes R.I.

WHO. 2010. WHO Guidelines on Drawing Blood: Best Practices in Phlebotomy.

16

También podría gustarte