Está en la página 1de 4

Potret Buram Kondisi Perpajakan Indonesia: Kapasitas Kelembagaan, Tax Insentif &

Tax Base Erosion, dan Daya Tarik Tax Havens


2 September 2016 admin Dilihat 2.622 Kali 0 Komentar insentif pajak, pajak, tax
http://punditax.com/hello-world-2/
Jeffrey Owens (2006), Direktur Pusat Administrasi dan Kebijakan Perpajakan OECD,
pernah berujar bahwa kemampuan negara berkembang untuk meningkatkan penerimaan
pajaknya dapat tersandung oleh sejumlah faktor antara lain: institusi otoritas
perpajakan yang lemah secara kelembagaan, sistem perpajakan yang sangat royal
dengan insentif, dan derasnya arus uang keluar ke negara-negara surga pajak. Dari
hasil pemikiran penulis, apa yang disampaikan oleh Owens amat padu dengan kondisi
perpajakan Indonesia akhir- akhir ini. Artikel ini mencoba memaparkan lebih lanjut
tentang bagaimana ketiga aspek itu telah menjadi kenyataan yang hadir dan tidak
boleh diabaikan.

Problema Kapasitas Kelembagaan


Kapasitas kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku pemegang otoritas
perpajakan negeri ini dinilai oleh Guru Besar Perpajakan dari Universitas Indonesia
Prof. Haula Rosdiana (2016) masih tradisional sehingga tidak mampu mengimbangi
improvisasi praktik bisnis yang kian global. Hal tersebut berserta kemajuan
dibidang teknologi informasi dan sosial-kemasyarakatan seharusnya mendorong
Presiden dan DPR untuk menjadikan DJP sebagai organisasi yang adaptif dalam
merespon perubahan. Meminjam ucapan Peter Veld (2008), bahwa hal itu dapat
ditunjukkan dengan mengadopsi strategi baru yang seirama dengan tantangan baru
tersebut. Menurut hemat penulis sendiri, strategi baru diterjemahkan dengan
mengubah kelembagaan DJP menjadi organisasi dengan perspektif global yang bebas
dari kekakuan birokrasi yang menghambat ruang gerak inovasi.

Di banyak negara maju, institusi perpajakannya telah berevolusi menjadi institusi


yang mandiri sejak dua dekade terakhir. Kemandirian institusi itu diimplementasikan
dalam bentuk pemisahan dari Kementerian Keuangan secara organisasional (otonomi).
Evolusi semacam ini menjadi tren global yang menyambangi banyak negara terutama
negara anggota OECD. Meskipun pada realitanya tidak ada bukti valid yang
menjelaskan bahwa pembentukan lembaga otonom dapat meningkatkan efisiensi dan
efektivitas perpajakan, namun sudah cukup jelas bahwa administrasi perpajakan yang
efektif membutuhkan cara baru berupa kemandirian dalam mengambil keputusan
strategis. Alink & Kommer (2008) menyebutkan bahwa kemandirian tersebut terkait
beberapa hal sebagai berikut: 1) perumusan strategi dan rencana operasional yang
bebas dari intervensi liku birokrasi dan politisi; 2) penganggaran; 3) menyusun dan
mengimplementasikan struktur organisasi; 4) manajamen sumber daya manusia; 5)
manajemen sumber daya materiil, dan 6) penanganan perkara dan interpretasi hukum
pajak. Dengan memiliki kemandirian terkait keenam aspek tersebut maka DJP yang
semula dinilai bercorak tradisional dapat menjalankan tugasnya dengan efektif
terutama dalam merespon perubahan perilaku bisnis yang cepat.

Kelembagaan DJP saat ini masih belum sepenuhnya mengadopsi konsep otonomi. Secara
struktur DJP masih berada dibawah kuasa Menteri Keuangan sehingga tone of the top
yang dihadirkan seorang menteri sangat berpengaruh terhadap kapasitas instansi ini
dalam menjalankan tugas. Tidak ada kebebasan penuh yang dimiliki DJP dalam hal
merumuskan strategi untuk mencapai target penerimaan pajak, kuasa pemilihan
strategi dan keputusan implementasi pada akhirnya diputuskan oleh menteri yang
sudah dibebani oleh span of control yang luas sehingga mengakibatkan strategi yang
dirumuskan tidak tepat sasaran dan tidak efektif. Hal semacam ini yang menjadikan
kapasitas kelembagaan DJP belum memadai untuk lebih kompetitif.

Insentif & Tax Base Erosion


Insentif perpajakan adalah hal yang terintegrasi dalam kebijakan pajak itu sendiri.
Namun menurut Sam A. Hicks (1978) bagian terpenting dalam kaitannya dengan
pemberian insentif perpajakan adalah merumuskan bentuk insentif yang tepat sesuai
dengan kebutuhan bisnis tanpa harus merugikan negara. Konsekuensi dari implementasi
insentif pajak adalah tergerusnya basis pemajakan yang mengakibatkan hilangnya
potensi penerimaan pajak (potential loss). Realitanya, potential loss memang tidak
dapat dihindari sebagai bentuk pengorbanan untuk keuntungan yang lebih besar pada
masa mendatang. Konsep trade off semacam ini sesuai jika insentif diluncurkan
ketika secara nyata dan meyakinkan kondisi bisnis/pasar sedang lesu. Ini sejalan
dengan hasil penelitian Howel H. Zee, Janet G. Stotsky, dan Eduardo Ley melalui
kesimpulannya bahwa: the justification for the use of tax incentives should be
limited to the rectification of market failures.

Untuk menyokong pasar yang sedang lesu dibutuhkan sumber ekonomi baru yaitu
investasi. Disinilah peran insentif pajak dapat dioptimalkan karena investasi dapat
ditarik masuk dengan iming-iming insentif pajak. Adapun ragam bentuk insentif pajak
yang dikenal sebagaimana disebutkan oleh R. Eisner dalam artikelnya berjudul Tax
Incentives for Investment (1973) adalah: tax credits, tax deduction, exclusions
from gross income, exemptions from tax, reduced tax rates, dan specially taxed
organizations. Bentuk insentif pajak yang paling diinginkan investor adalah
insentif yang dapat memulihkan biaya investasi secepatnya. Namun demikian, apapun
bentuknya, insentif pajak selalu menyebabkan terjadinya tax base erosion. Sehingga
ini menimbulkan masalah manakala negara yang bersangkutan memiliki keterbatasan
basis pemajakan. Sebagai kompensasinya, tax base erosion menyebabkan kekhawatiran
meningkatnya tarif pajak sebagai upaya untuk mencapai jumlah penerimaan pajak yang
sama dalam waktu dekat. Sebab prinsipnya adalah: broaden the base lower the rate.
Sehingga ketika tarif dipangkas tetapi basis tidak meluas, tarif objek lainnya
harus dinaikkan.

Indonesia kini berada dalam naungan dilema itu. Basis pemajakan masih begitu rendah
sementara semangat untuk mengakomodir kepentingan bisnis demikian kental walaupun
kondisi ekonomi masih terbilang baik. Rendahnya basis pemajakan itu misalnya
tercermin dari fakta yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa hingga
tahun 2013, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja mencapai 93,72 juta orang namun
jika disandingkan dengan data dari situs DJP diketahui bahwa yang terdaftar sebagai
Wajib Pajak baru mencapai 27.571.471 orang atau hanya setara dengan 29,74% saja.
Ironisnya dari jumlah tersebut hanya 16.975.024 orang Wajib Pajak yang termasuk
dalam kategori Wajib Pajak dengan penghasilan diatas ambang batas Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP). Itupun yang melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2015 hanya
10.269.162. dan dari angka ini hanya 794.418 saja yang status SPT Tahunan PPh nya
Kurang Bayar. Jumlah yang sangat tidak signifikan dibandingkan dengan basis
pemajakan atas individu yang bekerja dan menerima penghasilan.

Dari sisi Wajib Pajak badan, kondisinya juga tidak kalah memprihatinkan. Masih dari
BPS, diketahui bahwa hingga tahun 2013 terdapat 23.941 perusahaan industri besar
sedang dan 531.351 perusahaan industri kecil serta 2.887.015 perusahaan industri
mikro. Namun perusahaan yang terdaftar sebagai Wajib Pajak hingga akhir tahun 2015
hanya 2.472.632. Dari angka tersebut tercatat dari data yang dirilis pada situs DJP
bahwa hanya 676.405 Wajib Pajak badan yang melaporkan SPT Tahunan PPh Badan dan
hanya 375.569 saja yang melakukan pembayaran. Angka yang sangat kecil jika
dibandingkan dengan kenyataan bahwa terdapat 3.442.307 perusahaan di Indonesia.
Kondisi basis pemajakan yang rendah semacam ini telah berlangsung ditengah
perekonomian yang masih aman dari krisis bahkan telah melalui krisis tahun 2008-
2009 dimana banyak negara lain mengalami kegagalan. Ini menunjukkan bahwa fokus
yang diterapkan seharusnya mengarah kepada perluasan basis pemajakan terlebih
dahulu mengingat ada begitu banyak sisa potensi yang bisa dikejar sebelum melakukan
pemberian insentif berupa pemangkasan tarif atau insentif yang berbasis pengurangan
biaya.

Namun demikian, melihat apa yang terjadi beberapa waktu belakangan. Insentif pajak
begitu royal dibagikan kepada dunia usaha seakan tidak menghitung forgone revenue
dan tax base erosion. Misalnya pada kebijakan untuk menaikkan PTKP. Kebijakan ini
memang meningkatkan daya beli masyarakat dan pada jangka panjang menyumbang
peningkatan penerimaan pajak dari sisi konsumsi. Tetapi in the long run we are all
dead. Begitu kata kaum Keynesian. Lagipula ketergantungan penerimaan pajak dari
sektor pajak konsumsi semisal PPN/ VAT yang sifatnya indirect tax juga membutuhkan
basis pemajakan yang luas dan tingkat kepatuhan yang baik sebagaimana diamini pula
oleh Chun-Yan Kuo 16 tahun silam dalam penelitiannya yang berjudul: A VAT Revenue
Simulation Model for Tax Reform in Developing Countries bahwa: If a government of
a developing country wants to rely more on the VAT over time, it must move
aggressively to broaden the base and enhance compliance.. Jadi ada semacam
inkonsistensi dan sesat pikir yang terjadi dalam kebijakan ini. Seharusnya PTKP
tidak diganggu sebagai instrumen partisipasi fiskal Wajib Pajak Orang Pribadi
kepada negara.

Hilangnya basis pemajakan dengan risiko bawaan juga muncul dari insentif
Reinventing Policy dan Pengampunan Pajak. Mattielo (2005) menyatakan bahwa risiko
bawaan yang melekat dari kebijakan Pengampunan Pajak, apapun nama dan bentuknya,
adalah turunnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak yakni jika tidak diiringi komitmen
kuat untuk tidak berulang dalam waktu dekat. Idealnya kebijakan penghapusan beban
pajak termasuk sanksi administrasinya berlangsung cukup satu kali dalam satu
generasi. Sebab selain mengganggu kepercayaan masyarakat kepada pemerintah,
kebijakan ini disertai isu ketidakadilan yang dirasakan oleh Wajib Pajak patuh yang
selama ini sudah berusaha memenuhi kewajiban perpajakannya meski tanpa apresiasi
yang diterima. Sejujurnya insentif pajak dari kebijakan Reinventing Policy dan
Pengampunan Pajak membawa efek negatif berupa forgone revenue dan potential loss.
Dikatakan demikian karena kebijakan ini menghapuskan penerimaan pajak dari sanksi
administrasi perpajakan yang sudah sah menjadi milik negara (forgone revenue) dan
potensi penerimaan negara yang tergantikan oleh mekanisme pembayaran uang tebusan
(potential loss).

Tidak ada yang salah dengan memberikan insentif pajak namun harus secara
konservatif dan mematuhi prinsip ekonomi yang berlaku. Ini penting agar Indonesia
tidak semakin jauh dari upaya untuk merealisasikan target penerimaan pajak ditengah
daya dukung organisasi yang belum memadai sebagaimana sudah disinggung disubbahasan
sebelumnya. Insentif pajak pun juga harus diperhitungkan eksternalitasnya bagi
perekonomian selain dampak berupa tax base erosion antara lain yakni terganggunya
alokasi sumber daya ekonomi dan potensi munculnya praktik perburuan rente (rent-
seeking) yang merugikan serta mengurangi manfaat investasi itu sendiri. Pemerintah
harus cermat menganalisis urgensi dan membaca tanda-tanda yang dibawa oleh keadaan
makro ekonomi terkini sebagai tolak ukur pemberian insentif pajak. Insentif pajak
diberikan berdasarkan analisis fakta dan harus bebas dari intervensi faktor diluar
itu.

Daya Tarik Tax Havens


Sependek yang penulis pahami, Tax Havens tidak semata-mata dimaknai sebagai negara
dengan bebas pajak. Tax Havens atau surga pajak adalah negara dengan tarif pajak
yang lebih rendah dari tarif pajak negara asal investor. Baru- baru ini Singapura
telah memproklamirkan secara langsung sebagai Tax Havens dengan menerapkan tarif 0%
(sebelumnya lebih rendah dari Indonesia) atas pajak atas aset Warga Negara
Indonesia yang disimpan disana. Selain Singapura, negara lain yang dikenal sebagai
Tax Havens sebagaimana dirilis oleh OECD antara lain: British Virgin Islands,
Panama, Aruba, Bahama, Vanuatu, Liberia, Grenada, Dominica, Tonga, Belize, Niue,
Nauru, Monaco, Barbados, Andorra, Liechtenstein, St Vincent and the Grenadines,
Samoa, Seychelles, Gibraltar, Montserrat, Antigua and Barbuda, Cook Islands,
Netherlands Antilles, Maldives, Anguilla, Turks and Caicos Islands, US Virgin
Islands, St Kitts and Nevis, Netherlands Antilles, Guernsey, dan Isle of Man.
Menurut Mark P Hampton dan John Christensen (2002), ada dua kelompok utama entitas
yang mengalihkan kekayaannya ke negara-negara surga pajak yakni perusahaan trans
nasional atau trans-national corporations (TNCs) dan orang pribadi yang amat kaya
(worlds wealthiest individuals).
Hubungan antara keberadaan Tax Havens dengan potret kebijakan perpajakan di
Indonesia tercermin dari realita banyaknya Wajib Pajak yang memindahkan atau
menyimpan kekayaanya di negara-negara surga pajak tersebut. Pilihan sikap ini
menunjukkan ada suatu hal yang lebih membuat mereka tertarik untuk berinvestasi dan
berbisnis disana daripada mengelolanya di dalam negeri. Biasanya daya tariknya ada
pada kebijakan tarif yang rendah dan kemudahan prosedur dalam proses investasi.
Terdapat beberapa rilis estimasi tentang besaran aset atau kekayaan Wajib Pajak
(WNI) diluar negeri antara lain sebagaimana dirilis oleh McKinsey & Company yang
mengestimasi bahwa terdapat sekitar USD 250 Miliar aset WNI di luar negeri atau
McData Credit Suisse Global Wealth Report dan Allianz Global Wealth Report (diolah)
yang menunjukan bahwa aset WNI di luar negeri sekitar Rp 11.125 Triliun. Bank
Indonesia juga memperkirakan jumlah illicit funds Indonesia di luar negeri sebesar
Rp 3.147 Triliun (Kar and Spanjers (2015), Tax Justice Network (2010) dan Global
Financial Integrity (2015)). Terakhir berdasarkan data primer, Kementerian Keuangan
mengestimasi total aset WNI yang berada di luar negeri minimal sebesar Rp 11.000
Triliun.

Keberadaan Tax Havens sulit dinegasikan. Ia adalah bagian dalam small island
economies (SIEs) yang menggantungkan ekonomi negaranya dari aliran dana masuk warga
negara lain yang sengaja menghindar dari ketentuan perpajakan di negara asalnya.
Longgarnya beban pajak dan kemudahan fasilitas investasi di negara surga pajak
menjadi gula-gula yang mendorong banyak investor berminat memindahkan kekayaanya
kesana. Makin banyak warga negara yang memindahkan kekayaannya ke negara surga
pajak maka makin kuat adanya indikasi bahwa perekonomian di negara asalnya
bermasalah atau minimal tidak bersahabat. Skandal Panama Papers yang membocorkan
ribuan nama WNI yang berinvestasi di sejumlah negara surga pajak mengkonfirmasikan
bahwa ada suatu kondisi yang perlu diperbaiki dalam perekonomian di Indonesia.
Sebab jika tidak maka WNI tersebut tentu lebih suka berinvestasi di Indonesia. Hal
ini juga menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak WNI. Namun dititik ini
sebaiknya dimaknai bahwa tingkat kepatuhan adalah buah dari tingkat pemahaman
terhadap perpajakan. Makin rendah maka makin tinggi tingkat penghindarannya dan
makin menarik pula keberadaan negara surga pajak dimata mereka.

Kesimpulan
Jeffrey Owens, melalui gambaran ciri yang diberikannya terhadap kondisi perpajakan
negara berkembang, telah menunjukkan bahwa kondisi sistem perpajakan kita memiliki
ruang untuk dioptimalkan. Terutama dalam hal penguatan institusi otoritas
perpajakan, menimbang kembali mekanisme pemberian insentif pajak, dan bagaimana
memaknai derasnya arus uang keluar ke negara-negara surga pajak. Setiap aspek
tersebut terkonfirmasi positif tengah terjadi di Indonesia dan masih akan terus
berlangsung sepanjang cara pandang pengambil kebijakan terhadap urgensi dan
kebijakan perpajakan tidak berubah. Hal ini menjadikan kondisi sistem perpajakan di
Indonesia tergambar sebagai suatu potret buram yang sehausnya diperbaiki demi
mengejar ketertinggalan dan demi beradaptasi dengan pesatnya tuntutan perkembangan
bisnis dan organisasi.

También podría gustarte