Está en la página 1de 12

ASPEK-ASPEK STUDI KELAYAKAN ENERGI

Studi Kelayakan Energi (feasibility study) adalah kajian yang dilihat dari
berbagai segi aspek baik aspek legalitas, aspek teknis dan teknologi, pemasaran,
sosial ekonomi, maupun politik dengan tujuan apakah proyek pembangunan
energi itu dapat di lanjutkan atau tidak.

Studi kelayakan energi terbarukan bertujuan sebagai studi awal perencanaan


untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga energi baru dan terbarukan (angin,
air, surya, biomassa, dan lainnya) pada suatu lokasi tertentu. Pada studi ini akan
dilakukan analisis dari sisi mekanik, elektrik, serta ekonomis.

A. Energi Terbarukan (Studi Pemanfaatan Energi Matahari di Pulau Panjang


Sebagai Pembangkit Listrik Alternatif)
1. Aspek Ekonomi
Biaya investasi awal untuk PLTS yang akan dikembangkan di Pulau
Panjang sebesar US$858809 mencakup seperti biaya untuk komponen
PLTS serta biaya instalasi PLTS. Biaya untuk komponen PLTS ini terdiri
dari biaya untuk pembelian panel surya, baterai dan inverter. Besarnya
nilai sekarang (present value ) untuk biaya pemeliharaan dan operasional
(MPW) PLTS selama umur proyek 25 tahun dengan tingkat diskonto
10,5%. Faktor pemulihan modal untuk mengkonversikan semua arus kas
biaya siklus hidup (LCC) menjadi serangkaian biaya tahunan. Sedangkan
besarnya COE untuk sistem PLTH dapat dihitung dengan menambahkan
nilai LCC PLTD (Mpw, Rpw dan biaya bahan bakar disel) pada LCC
PLTH, sehingga dengan nilai MPW, RPW dan Fuel disel sebesar
$122244, $20201, $440570 serta total produksi energy PLTH dalam satu
tahun sebesar 285056kWh.
2. Aspek Teknologi
Teknologi yang digunakan berupa
a. Panel Surya
Sel surya terdiri dari sambungan bahan semikonduktor bertipe p dan n (p-n
junction semiconductor) yang jika terkena sinar matahari maka akan
terjadi aliran elektron, aliran elektron inilah yang disebut sebagai aliran
arus listrik. Semi-konduktor jenis n merupakan semi-konduktor yang
memiliki kelebihan electron sehingga kelebihan muatan negatif (n=
negatif), sedangkan semi-konduktor jenis p memiliki kelebihan hole
sehingga kelebihan muatan positif (p= positif). Sejumlah modul umumnya
terdiri dari 36 sel surya atau 33 sel dan 72 sel. Modul-modul ini kemudian
dirangkai menjadi panel surya dan jika panel surya ini dihubungkan secara
baris dan kolom disebut dengan array. Pengoperasian maksimum panel
surya sangat bergantung pada temperatur, insolation, kecepatan angin,
keadaan atmosfer dan peletakan panel surya.
b. Baterai
Baterai adalah komponen PLTS yang berfungsi menyimpan energi listrik
yang dihasilkan oleh panel surya pada siang hari, untuk kemudian
dipergunakan pada malam hari dan pada saat cuaca mendung. Baterai yang
dipergunakan pada PLTS mengalami proses siklus pengisian (charging)
dan pengosongan (discharging), tergantung ada atau tidaknya sinar
matahari. Kapasitas baterai dalam suatu perencanaan PLTS dipengaruhi
pula oleh faktor DOD dan TCF.Kapasitas baterai dalam suatu perencanaan
PLTS dipengaruhi pula faktor autonomy, yaitu keadaan baterai dapat
menyuplai beban secara menyuluruh ketika tidak ada energi yang masuk
dari panel surya. TCF (Temperature Correction Factor) adalah
perbandingan antara daya keluaran maksimum panel surya pada saat
temperatur di sekitar panel surya naik menjadi dari temperatur standarnya
dengan daya keluaran maksimum panel surya.
c. Inverter
Inverter adalah peralatan elektronik yang berfungsi mengubah energi DC
menjadi energi AC. Energi yang dihasilkan panel surya adalah arus DC,
oleh karena itu pada sistem PLTS dibutuhkan inverter untuk mengubah
energi dari panel dan baterai tersebut agar dapat menyuplai kebutuhan
energi AC. Pemilihan inverter yang tepat untuk aplikasi tertentu,
tergantung pada kebutuhan beban dan juga apakah inverter akan menjadi
bagian dari sistem yang menuju jaringan listrik atau sistem yang berdiri
sendiri. Perhitungan kapasitas inverterdisesuaikan dengan beban puncak
yang harus disuplai serta dihitung dengan menambahkan factor future
margin , error margin dan capacity factor.
d. PLTH
Hybrid system adalah penggabungan dua atau lebih sumber energi. Salah
satu contohnya adalah solar electric system dengan sumber energi lain
(seperti generator diesel, pembangkit listrik tenaga angin). Hybrid system
dipilih dalam rangka menyediakan sumber energy yang handal dan tidak
bergantung dengan energi fosil. Hybrid system terbagi lagi menjadi sistem
serial dan parallel.

3. Aspek Teknis
a. Estimasi beban
Perhitungan beban yang akan disuplai PLTS dilakukan dengan cara
menambahkan perkiraan pemakaian energi listrik selama 12 jam pada
rentang waktu 06.00 sampai 18.00 dengan pemakaian actual energi listrik
di Pulau Panjang. Perkiraan pemakaian energi listrik pada rentang waktu
06.00 sampai 18.00 diperoleh dari rata-rata pemakaian energi listrik aktual
12 jam, dengan total pemakaian aktual 12 jam sebesar 306,74kW maka
diperoleh rata-rata pemakaian energy listrik aktual selama 12 jam adalah
sebesar 23,60kW. Besarnya beban yang akan disuplai PLTS berdasarkan
hasil perhitungan didapat beban selama 24 jam sebesar 566,34kW.
b. Kapasitas inverter
Perhitungan kapasitas inverter disesuaikan dengan beban puncak yang
harus disuplai serta dihitung dengan menambahkan faktor future margin ,
error margin dan capacity factor . Berdasarkan beban puncak bernilai
30,16kW.
c. Kapasitas dan jumlah baterai
Kapasitas baterai dihitung berdasarkan acuan total beban yang akan
disuplai. Diketahui dari hasil perhitungan, pemakaian energi listrik (EL)
24 jam di Pulau Panjang sebesar 566,34kWh/hari. Saat siang hari,
sebagian beban tidak perlu terlalu lama disimpan dalam baterai karena
besarnya energi yang dihasilkan PLTS pada siang hari akan mencapai nilai
maksimum sehingga energi dari panel surya dapat langsung disalurkan ke
beban, berdasarkan pertimbangan tersebut maka kapasitas baterai akan
dihitung untuk kebutuhan energy pada malam hari saja yaitu sebesar
306,74kWh/hari. Berdasarkan kebutuhan ampere hour dalam satu hari,
dibutuhkan baterai dengan kapasitas baterai yang cukup besar dan
tegangan nominal yang besar pula untuk dapat memenuhi kebutuhan
energi, maka baterai yang digunakan pada penelitian ini memiliki
kapasitas 1156Ah dengan tegangan nominal baterai 6V. Agar dapat
memenuhi kebutuhan 3328,34Ah/hari dan sesuai rating tegangan pada
sistem 360V maka jumlah baterai yang diperlukan PLTS adalah sebanyak
180 baterai. Adapun rangkaian baterai membentuk 3 rangkaian (string )
yang terhubung pararel dengan 1 rangkaian terdiri dari 60 baterai yang
terhubung secara seri.
d. Kapasitas dan jumlah panel surya
Daya yang dibangkitkan PLTS (PWp) disesuaikan dengan kebutuhan
beban yang akan disuplai serta dipengaruhi oleh faktor pembangkitan
panel surya (PGF). Faktor pembangkitan panel surya (PGF) dari hasil
perhitungan menggunakan persamaan (7) dengan nilai referensi CE
(Collection Efficiency ) panel surya pada software HOMER sebesar 84%
dan nilai rata-rata intensitas matahari di Pulau Panjang sebesar
5,079kWh/hari (NASA). Berdasarkan nilai PGF sebesar 4,27kWh/hari
dan pemakaian energi listrik (EL) selama selama 24 jam sebesar
566,34kWh/hari maka kapasitas pembangkitkan panel surya (PWp)
sebesar 976 panel surya tersebut akan dibentuk menjadi rangkaian panel
atau array yang disesuaikan dengan rating tegangan sistem sebesar 360V
dan kapasitas pembangkitan. Agar rating tegangan sistem sebesar 360V
dapat terpenuhi maka pada 1 string rangkaian panel surya dibutuhkan
panel surya yang dipasang seri sebanyak: sehingga rangkaian string yang
terbentuk sebanyak: Jumlah panel surya yang digunakan berdasarkan hasil
perhitungan pada rangkaian seri dan paralalel menjadi sebanyak 979 buah,
dengan 89 rangkaian (string ) yang terhubung paralel dengan 1 rangkaian
terdiri dari 11 panel yang terhubung secara seri. Banyaknya panel yang
dirangkai paralel akan menguatkan arus dan banyaknya panel yang
terhubung seri akan menguatkan tegangan.
e. Peletakan panel surya
Penentuan besarnya tilt angel pada penelitian ini dilakukan dengan 2 cara,
yaitu simulasi dan perhitungan.Hasil simulasi menggunakan SolarCell
Module Lucas Nuelle Tech . Training System menunjukan bahwa posisi
sudut tilt angel 10o merupakan posisi sudut yang paling optimal. Secara
perhitungan, besarnya tilt angle didasarkan pada dua orientasi, yaitu
orientasi sudut panel (utaraselatan) dan (timur-barat). Posisi geografis
Pulau Panjang terletak pada belahan bumi selatan, maka acuan solar
altitude pada kutub utara bumi dan tilt angle diorientasikan menghadap
utara (LU).
4. Aspek Lingkungan
Kondisi awal kelistrikan di Pulau Panjang disuplai oleh PLTD dengan jam
operasi 12 jam. Sepanjang pengoperasian PLTD tersebut, terdapat emisi
yang dihasilkan oleh PLTD. Apabila diasumsikan PLTD eroperasi 24 jam
untuk memenuhi kebutuhan listrik, maka tingkat emisi ini akan meningkat
pula dan mempengaruhi keadaan lingkungan sekitar menjadi kurang sehat.
Berdasarkan simulasi skema PLTD dan PLTH pada software HOMER,
diperoleh penurunan tingkat emisi PLTD karena meningkatnya kontribusi
PLTS. Perbandingan nilai kontribusi PLTS dengan tingkat emisi yang
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel1.
Tabel 1. Perbandingan kontribusi PLTS dengan emisi PLTD
Berdasarkan Tabel 1, ketika disain PLTD disimulasi dan dioptimasi
dengan nilai disain PLTD berbagai macam kondisi, maka didapatkan tingkat
emisi CO2 dan NOx semakin menurun seiring dengan menurunnya pemakaian
bahan bakar pada PLTD. Seperti terlihat pada Tabel 1, nilai emisi CO2 tertinggi
terjadi ketika kontribusi energi terbarukan 0% dengan nilai emisi CO2 adalah
718254kg/tahun. Nilai emisi CO2 menjadi 101046kg/tahun ketika kontribusi
energi terbarukan 67% berkurang sebanyak 85,93% atau 617208kg/tahun. Hal
yang sama juga terjadi emisi NOx, ketika kontribusi energi terbarukan 0% nilai
emisi NOx adalah 15820kg/tahun. Nilai emisi NOx menjadi 2226kg/tahun ketika
kontribusi energi terbarukan 67% berkurang sebanyak 85,93% atau
13594kg/tahun.

B. Energi Baru (Studi Perbandingan Efisiensi Kapasitas Daya Pembangkit


Listrik Tenaga Magnet Hidrodinamik Terhadap Pltu 100 Mw Di Cilegon)

1. Aspek ekonomi
Perhitungan Biaya pembangkitan Energi Listrik dari PLTU dan PLTMHD
Biaya total pembangkitan energi listrik merupakan penjumlahan dari biaya modal,
biaya bahan bakar serta biaya operasi dan perawatan. Karenanya dalam
perhitungan biaya pembangkitan energi listrik, harus dihitung satu persatu dari
ketiga biaya diatas. Perencanaan pembangunan PLTU & PLTMHD Cilegon
dengan bahan bakar batu bara dengan kapasitas total 100 MW, diasumsikan
dengan capacity factor / factor kapasitas 85 % (PLTU) dan memiliki life time /
umur pembangkit 25 tahun. Dari sisi ekonomi dalam mengembangkan
pembangkit sistem tenaga listrik dengan mengembangkan plant-plant dengan
biaya pembangunan yang murah dan untuk menghasilkan energi listrik dengan
biaya rendah. Dalam membahas teknologi pembangkitan, maka perlu
mempertimbangkan dua hal yaitu :
1. Biaya Investasi Modal Awal (Capital Investment Cost) Biasanya dinyakan
dalam US$/kW, merupakan besarnya investasi modal yang diperlukan untuk
membangun sebuah power plant
2. Biaya Pembangkitan (Power Generating Cost)
Biasanya dinyatakan dalam mills/kWh (1mill = 1/1000 mata uang), terdiri atas
biaya-biaya yang berhubungan dengan investasi modal awal pada sebuah power
plant, biaya bahan bakar dan biaya operasional & perawatan (O&M Cost)

2. Aspek legalitas
Wilayah Banten terletak di antara 57'50"-71'11" Lintang Selatan dan
1051'11"-1067'12" Bujur timur, berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah 9.160,70 km.
Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten, 140 kecamatan, 62 kelurahan dan
1.242 desa. Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat
Sunda merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat
dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan
kawasan Asia tenggara misalnya Thailand, Malaysia, danSingapura.
Di samping itu Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan
Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Banten
terutama Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang merupakan wilayah
penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten memiliki banyak
industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang
dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari
pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain
Singapura.
Kondisi topografi Banten adalah sebagai berikut:
Wilayah datar (kemiringan 0 - 2 %) seluas 574.090 hektare
Wilayah bergelombang (kemiringan 2 - 15%) seluas 186.320 hektare
Wilayah curam (kemiringan 15 - 40%) seluas 118.470,50 hektare

Kondisi penggunaan lahan yang perlu dicermati adalah menurunnya


wilayah hutan dari 233.629,77 hektare pada tahun 2004 menjadi 213.629,77
hektare.Provinsi Banten terdiri atas 4 kabupaten dan 4 kota
3. Aspek teknik dan teknologi
Secara teknis kedua pembangkit mempunyai beberapa perbedaan untuk
tiap-tiap komponennya. Hal yang mendasar dari prinsip kerja kedua pembangkit
tersebut memerlukan fungsi-fungsi komponen didalamnya. Selain itu peningkatan
efisiensi dari sebuah pembangkit dipengaruhui oleh faktor rugi-rugi
komponennya.
3.1 Komponen PLTU 100 MW
1. Transportasi bahan bakar
Bahan bakar yang digunakan oleh PLTU 2 X 50 MW Cilegon adalah
batubara. Batubara diperoleh dari tambang Bukit Asam, Sumatera Selatan dari
jenis subbituminous dengan nilai kalor 5000-5500 kkal/kg. Batubara untuk
keperluan PLTU Cilegon akan didatangkan dari Bukit Asam yang diangkut
dengan kapal laut. Bahan bakar yang diangkut dengan kapal laut akan langsung
menuju dermaga di rencana Pembangunan PLTU Cilegon. Pembongkaran
batubara dari kapal ke penampungan (stockyard) dilakukan dengan menggunakan
belt conveyor menuju ke penyimpanan sementara dengan menggunakan
Telescopic Chute (2) atau dengan menggunakan Stacker/Reclaimer (1) atau
langsung batubara tersebut ditransfer malalui Junction House (3) ke Scrapper
Conveyor (4) lalu ke Coal Bunker (5), seterusnya ke Coal Feeder (6) yang
berfungsi mengatur jumlah aliran ke Pulverizer (7) dimana batubara digiling
dengan ukuran yang sesuai kebutuhan menjadi serbuk yang halus.

2. Boiler, Turbin dan Generator


Batubara yang dibongkar dari stockyard dikeruk dan diangkat ke boiler.
Boiler terdiri dari beberapa tingkatan sesuai suhu dan tekanan air yang berada di
dalamnya. Pertama adalah Economizer. Di sini berfungsi untuk menaikkan air
yang bertekanan tinggi tersebut beberapa derajat sebelum memasuki pipa utama
pembakaran.
Selanjutnya batubara diteruskan ke coal feeder yang berfungsi mengatur
jumlah aliran ke pulverizer (gambar 4.14) dimana batubara digiling sesuai
kebutuhan menjadi serbuk yang sangat halus seperti tepung. Serbuk batubara ini
dicampur dengan udara panas dari Primary Air Fan (P.A Fan) dan dibawa ke coal
burner (gambar 4.15) yang menghembuskan batubara tersebut ke dalam ruang
bakar untuk proses pembakaran dan terbakar seperti gas untuk merubah air
menjadi gas. Udara panas yang digunakan oleh P.A Fan dipasok dari F.D Fan
yang menekan udara panas setelah dilewatkan melalui Air Heater. FD Fan juga
memasok udara ke coal burner untuk mendukung proses pembakaran. Hasil
proses pembakaran yang terjadi menghasilkan limbah yang berupa abu dengan
perbandingan 14:1.
Panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar diserap oleh pipa-
pipa penguap/water walls menjadi uap jenuh/uap basah yang selanjutnya
dipanaskan dengan superheater. Kemudian uap tersebut dialirkan ke turbin
tekanan tinggi, dimana uap tersebut ditekan melalui nozzel ke sudu-sudu turbin.
Tenaga dari uap menghantam sudu-sudu turbin dan membuat turbin berputar.
Setelah melalui turbin tekanan tinggi, uap dikembalikan ke boiler untuk
dipanaskan ulang di reheater sebelum uap tersebut digunakan di I.P Turbin dan
L.P Turbin. Poros turbin tekanan rendah dikopel dengan rotor generator. Rotor
dalam elektromagnit berbentuk silinder ikut berputar apabila turbin berputar.
Generator dibungkus dalam stator generator. Stator ini digulung dengan
menggunakan batang tembaga. Listrik dihasilkan dalam batang tembaga pada
stator oleh elektromagnit rotor melalui perputaran dari medan magnit.
3. Kondensor
Uap yang melewati turbin akan didinginkan dan dikondensasikan menjadi
air di dalam condensor sebelum dikembalikan ke boiler. Air untuk keperluan
PLTU Cilegon sebanyak 86800 m3/jam atau sekitar 24,1 m3/detik diambil dari
laut, dimana debit air sebesar 400 m3/jam diolah terlebih dahulu sehingga
memenuhi syarat untuk digunakan air pengisi ketel (boiler) dan untuk berbagai
kebutuhan operasi lainnya. Air yang telah dipergunakan dikembalikan lagi ke laut
setelah didinginkan di saluran pendingin.

3.2 Komponen PLTMHD 100 MW


1. Transportasi Batubara
Serbuk batubara yang dikirim dari industri batubara yang selanjutnya akan
digunakan sabagai bahan bakar pembangkit. Bahan bakar di bawah tekanan
tesebut di hasilkan dari sistem produksi.
2. Combustor ( Ruang Bakar )
Didalam ruangan ini batubara dan ditambahkan dengan senyawa osidator
untuk memisahkan kadar oksigen dalam batubara sebelum dimasukkan ke dalam
pemanas awal dalam tangki ( couper ) sampai pada suhu 900 C. Pada ruang bakar
tersebut harus dioperasikan dalam keadaan bersih dari terak hasil pembakaran
sebelumnya Selanjutnya pada tahap ke dua, serbuk potasium karbonat di
injeksikan dan dicampurkan dengan serbuk batubara hasil dari pembakaran pada
tahap sebelumnya. Yang selanjutnya gas tersebut di semprotkan ke dalam MHD
channel dengan menggunakan nozlzle melintasi ruang pengukuran dan analisa
sebelum akhirnya di teruskan ke MHD channel.
3. MHD channel
Merupakan saluran kanal medan magnet, tempat dihasilkannya energi
listrik dari generator berupa arus DC selanjutnya akan dirubah menjadi AC
dengan menggunakan inverter sebelum diteruskan menuju terminal catu daya.
4. Diffuser
Bagian yang berfungsi menormalisasikan kecepatan dan tekanan gas fluida
dari hasil pembakaran. Setelah dari generator selanjutnya aliran kecepatan gas
tersebut dikurangi dan tekanannya dapat di normalkan kembali. Kemudian sisa
hasil pembakaran tadi di kirim menuju ruang pembersihan terak.
5. Magnet
Bagian tersebut merupakan bagian utama yang berfungsi sebagai
kumparan medan yang dapat menghasilkan kerapatan arus listrik apabila dilewati
gas plasma.
6. MHD Generator
Bagian dari sistem MHD yang berfungsi untuk membangkitkan tegangan
DC yang selanjutnya di konversikan menjadi tegangan AC melalui inverter.
7. Nozzle
Bagian ini berfungsi untuk mengijeksikan bahan bakar ke dalam saluran
kanal ( MHD duct)
4. Aspek Sosial
Pembangunan manusia mempunyai perspektif yang lebih luas karena
pembangunan seutuhnya tidak saja mencakup aspek fisik biologis, termasuk aspek
iman dan ketaqwaan juga mendapat perhatian yang sama besar. Model
pembangunan manusia menurut UNDP (1990) ditujukan untuk memperluas
pilihan yang dapat dicapai melalui upaya pemberdayaan penduduk. Pemberdayaan
penduduk ini dapat dicapai melalui upaya yang menitikberatkan pada peningkatan
kemampuan dasar manusia yaitu meningkatnya derajat kesehatan, pengetahuan
dan ketrampilan agar dapat digunakan untuk mempertinggi partisipasi dalam
kegiatan ekonomi produktif, sosial budaya, dan politik.
Untuk wilayah Cilegon pada tahun 2009 memeiliki IPM 75,3 % hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan manusia di wilayah Cilegon sudah tergolong
modern karena apabila dibandingkan dengan propinsi Banten yang hanya
mencapai 69,3%.

5. Aspek Lingkungan
Aspek terbeasar dari maslah polusi PLTU berkaitan dengan
ketidakmurnian energi batu bara yanfg terdiri dari beberapa unsur yaitu : Karbon,
SO. Contohnya PLTU di India yang menggunakan batu bara dengan kandungan
sulfur 1% hingga 3% dan karbon 30%. Selama pembangkit beroperasi kandungan
senyawa-senyawa tersebut semakin meningkat dan mengalami perubahan susunan
kimianya menjadi SO,SO2, SO3, SiO2, Fe2O3. Di lain tingkat polusi yang perlu
mendapatkan penanganan khusus adalah senyawa Oksida. Oksida terbentuk dari
pemanasan gas nitrogen pada saat terjadi pembakaran. Selain itu ada beberapa zat
yang ikut dalam proses pembakaran diantaranya CO2, CO. Hal ini terjadi karena
pada saat terjadi pembakaran temperatur ruang bakar tidak stabil. Untuk
mengurangi kadar CO dan CO2 maka perlu temperatur yang tinggi dan stabil saat
pembakaran. Berdasarkan hasil analisa dalam penentuan polusi diantaranya gas
oksida, Nitrogen Nox, Karbon, sulfur dan kandungan partikel partikel lain yang
bermasalah. Kebanyakan senyawa-senyawa gas tersebut didapatkan dari hasil
pembakaran bahan bakar secara lanngsung. Kita tahu bahwa sistem 11
pembangkit tenaga uap di Indonesia adalah sumber penghasil pencemaran udara
karena untuk meng konversi batu bara menjadi energi listri masih dengan cara
lama yaitu melalui proses pembakaran. Perlu adanya pengendalian limbah dan
kebijakan-kebijakan baru agar pencemaran tidak menjadi penghambat dan
merambat ke semua aspek kehidupan.
Bila dibandingkan sumber energi lain, batubara merupakan sumber energi
yang mempunyai dampak negatif cukup besar terhadap lingkungan terutama dari
gas-gas buangnya.Analisa dampak lingkungan disini hanya melihat sisi akibat dari
proses pembakaran bahan bakar pada PLTU. Dalam pemilihan bahan bakar
tentunya sedapat mungkin dipilih bahan bakar yang mempunyai kandungan abu,
sulphur, nitrogen, dan karbon yang rendah. Dampak Lingkungan akibat
beroperasinya PLTU antara lain :
Limbah padat
Limbah Cair (Water Pollution)
Emisi Gas Hasil Pembakaran (SOx, NOx, CO2)
Sedangkan untuk PLTMHD sendiri memiliki pengaruh terhadap
lingkungan, dari beberapa pemantauan bahwa ditemukan kadar karbon, Nitrogen,
Sulfur yang tergantung dari hasil pembakarannya seperti faktor temperatur saat
pembakaran, tekanan saat pembakaran, rasio oksida yang banyak dalam
kandungan batu bara, rasio material bahan bakar, dan rasio stoichiometrik serta
rating pembersihan terak. Untuk meminimalkannya seperti polutan NO, SO.
Dapat diatasi dengan memaksimalkannya pembakaran sesuai dengan takaran yang
ada sebagai contoh rasio oksigen dalam kandungan batubara, rasio stoichiometri,
tekanan pada saat terjadi pembakaran, dan menjaga temperatur ruang pembakaran
tetapp stabil. Jadi sesuai dengan standarisasi kerja dari sistem MHD perlu
diperhatikan.

También podría gustarte