Está en la página 1de 7

DIMANAKAH ALLAH

Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta
merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan
hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada
Rabbnya juga sempurna

-Abdurrahman bin Nashir As Sadi, Al Qaulus Sadid, hlm. 110-

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Salah satu tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah dengan kesempurnaan cinta
dan kehinaan diri. Apa itu cinta? Cinta tidak bisa didefinisikan. Jika didefinisikan maka akan
semakin rancu. Apabila diakatakan cinta tentu semua orang bisa memahaminya. Allah Taala
dicintai bukan karena sesuatu yang lain, Allah dicintai dari berbagai sisi. Seluruh hati diciptakan
dengan tabiat cinta kepada siapa saja memberinya nikmat dan bersikap baik kepadanya. Maka
bagaimana dengan dzat yang seluruh kebaikan berasal darinya? Tidak ada satu nikmat pun yang
dirasakan makhluk kecuali berasal dari-Nya.

Kesempurnaan cinta dan kehinaan itu tentu tidak bisa dicapai bila tidak mengenal Allah Taala
dengan benar. Sebab kecintaan itu berbuah dari sisi kesempurnaan dzat yang dicintai serta
kebaikan yang dilakukan oleh dzat tersebut. Tidak-lah kedua sebab tersebut dapat diraih
kecuali dengan mengenal dzat yang dicintainya. Semakin seseorang mengenal yang ia cintai
akan semakin bertambah pula cinta kepadanya. Sedangkan cinta adalah faktor utama
penggerak hati sebagaimana yang diakatan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,

Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan
harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan
didapatkan di dunia dan di akhirat.

(Majmu Fatawa, 1/95)

Begitu pula Syaikh As Sadi rahimahullah,

Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta
merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan
hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada
Rabbnya juga sempurna.

(Al-Qaulus Sadid, hal. 110)

Inilah ilmu yang utama dan paling utama dari seluruh ilmu yang ada serta wajib bagi seseorang
untuk mengilmuinya, yakni ilmu tentang Allah. Tidaklah kesempuraan iman dapat diraih,
kedudukan yang tinggi dalam agama bisa digapai selain dengan memahaminya.

Kebanyakan manusia beriabdah memikirkan tentang banyaknya ibadah. Hal ini tidak menjdai
masalah jika dilandasi dengan landasan yang benar. Namun bila tidak akan bertentangan
dengan surah Al-Mulk ayat 2, firman Allah ahsanu amalaa (amal yang baik) yaitu dilandasi
iman dan tauhid serta mengikuti petunjuk Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam. Dan ini
hanyalah dimiliki oleh orang yang memiliki pemahaman yang benar. Ibnul Qoyyim berkata,
Ilmu menjadikan yang sedikit berpahala banyak (Miftah Daar As Sadaah, Ibnul Qayyim Al
Jauziyah)

Oleh karena itu termasuk salah satu hal yang urgent adalah memahami bahwa Allah Taala
berada di atas langit dan bersemayam di atas arsy-Nya. Pada kesempatan kali ini akan kami
uraikan pembahasan seputar keberadaan Allah Taala yakni: fis samaa (di atas langit)

Sebelum masuk pada pembahasan inti, ada yang perlu diperhatikan oleh pembaca beberapa
kaidah (yang kami tuliskan belum semua kaidah) memahami Tauhid asma wa shifat (nama dan
sifat Allah). Ketahuilah:

1. Ahlussunnah wal jamaah dalam seluruh pembahasan agama, tidak lain selalu kembali
kepada al-Quran dan as-sunnah. Dan mereka selalu mengikuti kebenaran yang dijelaskan oleh
al-Quran dan sunnah. Serta mereka selalu berjamaah dalam mengikuti kebenaran tersebut,
sehingga dikatan al-Jamaah.

2. Secara global aidah ahlussunnah adalah mengimani apa yang dijelaskan oleh Allah dalam al-
Quran dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallamdalam hadits-haditsnya yang shahih, tentang
nama dan shifat Allah Taal, dengan keimanan yang selamat dari penafian, pernyerupaan,
penyelewengan makna, dan menanyakan tentang kaifiyat nama dan sifat Allah. Dan juga
menafikan seluruh sifat yang dinafikan Allah dan Rasulullah.

3. Jika tidak terdapat penjelasan tentang diri Allah yang berasal dari Allah maupun dari
Rasulullah maka kita tidak bisa mengetahui hal tersebut. Karena tidak ada yang lebih tahu
tentang Allah daripada Allah sendiri, serta tidak ada yang lebih tahu tentang Allah dari kalangan
manusia selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka jika tidak terdapat keterangan
mengenai hal itu ahlussunnah tidak akan berani berbicara.
4. Ada sebuah kaidah berharga: Nama-nama Allah (asmaul husna) adalah nama sekaligus sifat.
Contoh: nama Allah As-Samii menunjukkan akan sifat As-Samu (pendengaran), Al-Bashir
menunjukkan akan sifat Al-Bashar (penglihatan). Namun tidak sebaliknya.

5. Ketika berbicara tentang asma washifat buanglah jauh-jauh sifat makhluk. Karena Allah Al-
Khaaliq (Yang Maha Menciptakan) tidak mngkin sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Contoh:
ketika kami katakan kaki, apa yang terpikir dalam pikiran anda? Anda akan berkata kaki ini
memiliki lima jari, tegak, berkulit, dan seterusnya. Tapi yang anda gambarkan adalah kaki
manusia, yang tentu saja berbeda dengan kaki gajah, penguin, kucing, bebek, dan kawan-
kawannya. Apalagi dengan sang Al-Khaaliq tentu sangatlah berbeda. Allah berfirman,

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat. (QS. Asy Syuro: 11)

Di antara sekian banyak asmaul husna ada nama Allah yakni: Al-Ala (Yang Maha Tinggi). Dia
Maha Tinggi dalam kedudukan-Nya, tinggi akan sifat dan keagungan-Nya. Karena sifat-sifat-Nya
sangat agung, memili puncak kesempurnaan dan keindahan sesuai keagungan-Nya. Bahkan
tidak ada seorang hamba yang dapat meliputi satu sifat-Nya. Al-Ala memiliki sifat Al-Uluw
yang meliputi tiga makna: ketinggian Allah dalam segi sifat-sifat-Nya, ketinggian dalam segi
kekuasaan dan kerajaan-Nya, dan ketinggian dzat Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Semua
sepakat mengenai dua makna pertama sifat Al-Uluw, namun mereka berselisih pendapat
dalam makna yang ketiga tentang ketinggian dzat Allah. Namun ahlussunnah sepakat bahwa
Allah memiliki ketinggian dari ketiga makna tersebut. Berikut ini adalah dalil-dalil yang
menunjukkan akan hal tersebut:

1. Dalil tegas yang menyatakan dengan tegas Allah berada di atas:

Dan Dialah yang berkuasa berada di atas hamba-hambaNya. (Al Anam : 18, 61)

Dari Saad bin Abi Waqqashsh radhiyallahuanhu, Bahwasanya Saad memutuskan terhadap
Bani Quraizhah (salah satu bani orang Yahudi Madinah) untuk mereka yang sudah baligh agar
dibunuh dan untuk ditawan keturunan mereka, serta dibagi harta mereka. Lalu hal tersebut
disampaikan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, Sungguh engkau
telah memutuskan terhadap mereka dengan hukum Allah yang ada di langit ketujuh. (HR. an-
Nasaai, al-Bazaar, al-Hakim dan selain mereka)

2. Penjelasan tentang naiknya sesuatu kepada-Nya:

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabbnya. (QS. Al Maarij : 4)


Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik. (QS. Fathir: 10)

Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat 'Isa kepada-Nya .. (QS. An Nisa : 158)

Apabila dikatan naik, sudah pasti dari bawah ke atas. Sedangkan bila dikatakan turun tentunya
dari atas ke bawah. Ini perkara mudah yang dipahami oleh seluruh manusia.

3. Penjelasan tentang diturunkannya al-Quran:

Diturunkan Kitab ini (Al Quran) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS.
Ghafir: 2)

Kitab (Al Quran ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Az
Zumar : 1)

4. Begitu pula penjelasan tentang keberadaan-Nya di atas langit:

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia akan
menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
(QS. Al Mulk : 16)

5. Penjelasan tentang diangkatnya kedua tangan dan diarahkan kepada-Nya:

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Salman al-Farisi radhiiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu


alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya Allah Mahamalu lagi Mahamulia, Dia malu jika hamba-Nya mengengkat kedua
tangannya kepada-Nya lalu Dia menolaknya dalam keadaan hampa. (HR. At Tirmidzi dan
dishahihkannya, al-Hakim, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Dawud)

6. Kabar berita dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang naik turunnya beliau antara Musa
alahissalaam dan Rabbnya pada malam Isra Miraj untuk meminta keringan shalat. Hadits yang
panjang ini diriwayatkan dalam Ash-Shahihain -Bukhari dan Muslim- dan selain keduanya.

7. Kabar berita dari Allah tantang Firaun bahwa dia berkeinginan untuk naik ke atas langit dan
melihat sesembahannya Musa alaihissalaam, lalu kemudian dia mendustakkannya:

Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya
aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan
sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta". (QS. Ghafir: 36-37)

Maksudnya, Firaun meyakini Musa berdusta dalam kabar beritanya(Musa) tentang keberadaan
Allah di atas langit.
8. Dengan fitroh. Lihatlah diri anda ketika berdoa. Ke arah manakah tangan anda. Ke kanankah,
ke kirikah, atau ke mana-mana (karena ada sebagian orang yang mengatakan Allah berada di
mana-mana). Tentu tidak. Tangan anda akan menengadah ke atas beserta pula hati anda dan
perasaan anda terpaut dengan sendirinya ke atas. Bukan ke mana-mana.

9. Pertanyaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang budak milik Muawiyah
bin al-Hakam, dan ini adalah dalil yang sangat gamblang yang menunjukkan Allah di atas langit.

Saya memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah antara
Uhud dan Al Jawaniyyah (daerah di dekat Uhud, utara Madinah). Lalu pada suatu hari dia
berbuat suatu kesalahan, dia pergi membawa seekor kambing. Saya adalah manusia, yang tentu
juga bisa timbul marah. Lantas aku menamparnya, lalu mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam dan perkara ini masih mengkhawatirkanku. Aku lantas berbicara pada beliau, Wahai
Rasulullah, apakah aku harus membebaskan budakku ini? Bawa dia padaku, beliau
shallallahu alaihi wa sallam berujar. Kemudian aku segera membawanya menghadap beliau
shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya pada budakku ini,

Di mana Allah?

Dia menjawab, Di atas langit.

Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya lagi, Siapa saya? Budakku menjawab, Engkau
adalah Rasulullah. Lantas Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin. (HR. Muslim dalam shahihnya no.537)

Ada tiga buah faedah yang bisa kita ambil:

a. Disyariatkan untuk menanyakan aynallah (di mana Allah), sebab ini merupakan pertanyaan
Rasulullah. Jika ada yang melarang pertanyaan ini maka kami katakan, Andakah yang lebih
tahu ataukah Rasulullah?!!

b. Disyariatkan dengan jawaban Fis samaa (di atas langit)

c. Pertanda keimanan adalah meyakini Allah Fis samaa

Maka dari sudah sangat jelaslah bahwa Allah berada di atas langit.

Beberapa pertanyaan:

1. Bagaimana dengan dalil, Allah bersama kita?


Jawaban: Allah Taala bersama makhluknya dengan ilmu-Nya. Sedangkan dzat Allah tetaplah di
atas arsy-Nya. Sebagai contoh: anda mengatakan harta saya ada bersama saya. Padahal harta
anda bisa saja ada di rumah, di mobil, di tabungan, dan sebagainya. Begitu pula dengan anda
mengatakan kami terus berjalan, dan rembulan bersama kami. Yang menjadi dalil bagi mereka
adalah firman Allah

Allah Taala bersama kalian. (QS. Al Hadiid: 4) Nuaim bin Hammad mengatakan bahwa
maksud ayat tersebut adalah, Tidak ada sesuatu pun dari ilmu Allah yang samar dari-Nya.
Tidakkah kalian memperhatikan firman Allah,

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. (QS. Al
Mujadilah: 7) (Al Uluw lil Aliyyil Ghoffar)

2. Bagaimana dengan, Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (QS. Qaaf:
16)

Jawaban: Yang dimaksud oleh ayat ini adalah para malaikat-Nya itu lebih dekat kapada manusia
daripada kedekatan mareka dengan urat lehernya sendiri. Sebab di ayat selanjutnya dikatakan,

(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah
kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. (QS. Qaaf: 17) (Tafsir Ibnu Katsir)

Alhamdulillah selesai sudah pembahasan kali ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wa shalallahu ala Nabiyyina Muhammad wa ala aali hi wa shahbihi wa sallam, Akhiru dawana
anil hamdulillahi Rabbil Aalamiin.

Diselesaikan di tengah gelapnya hari pada 28 november 2011

Referensi Penulisan:

1. At-Tauhid lish shaffil awwal al-adi

2. Tafsir Ibnu Katsir

3. Tazkiyatn Nafs wa tarbiyatuha kama yuqarrirruhu ulama as-salaf

4. Tahdzib Tashil al-Aqidah al-Islamiyah

5. http://www.rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2958-di-manakah-allah-2.html

(28-11-2011)

6. http://www.rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3014-di-manakah-allah-6.html
(28-11-2011)

7. Hasil kajian Dr. Muhammad Nur Ihsan hafizhahullah

Disalin dari situs addawaa.co.nr

Buah karya dari akhuna Ahmad Adam Zari Ardi Ramadhan[1] hafizhahullah

Diedit kembali oleh Regin Iqbal Mareza

Dipublikasikan ulang di Cafe Sejenak

www.cafe-islamicculture.blogspot.com

[1] Penulis kini sedang menempuh pendidikan di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut

También podría gustarte