Está en la página 1de 36

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kinerja

2.1.1 Definisi Kinerja

Pencapaian kinerja yang optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki seorang

karyawan merupakan hal yang selalu menjadi perhatian para pemimpin organisasi.

Menurut Robbins (2006), kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang mana hal ini

menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan

berusaha dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Menurut Triffin dan MacCormick (1979), kinerja individu berhubungan

dengan individual variable dan situational variable. Perbedaan individu akan

menghasilkan kinerja yang berbeda pula. Individual variable adalah variabel yang

berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan, misalnya kemampuan,

kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sedangkan situational variable

adalah variabel yang bersumber dari situasi pekerjaan yang lebih luas (lingkungan

organisasi), misalnya pelaksanaan supervisi, karakteristik pekerjaan, hubungan

dengan teman sekerja dan pemberian imbalan.

Menurut Mangkunegara (2002), adalah hasil kerja secara kuantitas dan

kualitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam

menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan

Universitas Sumatera Utara


penilaian terhadap kinerja karyawannya. Penilaian kinerja merupakan alat yang

sangat berpengaruh untuk mengevaluasi kerja karyawan bahkan dapat memotivasi

dan mengembangkan karyawan.

2.1.2 Kinerja Keperawatan

Kinerja profesi keperawatan dinilai tidak hanya berdasarkan konsep keilmuan

yang dimiliki tetapi juga berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Untuk

memberikan pelayanan yang prima seorang perawat tidak hanya membutuhkan

keahlian medis tetapi harus memiliki empati dan tingkat emosionalitas yang baik

(PPNI, 2002).

Pengembangan bidang keperawatan sebagai suatu profesi, diperlukan

penetapan standar praktik keperawatan. Standar praktik sangat penting untuk menjadi

pedoman objektif di dalam menilai asuhan keperawatan. Apabila sudah ada standar,

klien akan yakin bahwa ia mendapatkan asuhan yang bermutu tinggi. Standar praktik

juga sangat penting jika terjadi kesalahan yang terkait dengan hukum (Sitorus, 2006).

Penetapan standar ini juga bertujuan untuk mempertahankan mutu pemberian

asuhan keperawatan yang tinggi. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sudah

menetapkan standar praktek keperawatan yang dikembangkan berdasarkan standar

praktik keperawatan yang dikeluarkan oleh American Nursing Association/ANA

(PPNI, 2002). Standar praktik keperawatan adalah :

Standar I : Perawat mengumpulkan data tentang kesehatan klien.

Standar II : Perawat menetapkan diagnosa keperawatan.

Standar III : Perawat mengidentifikasi hasil yang diharapkan untuk setiap klien.

Universitas Sumatera Utara


Standar IV : Perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan yang berisi

rencana tindakan untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Standar V : Perawat mengimplementasikan tindakan yang sudah ditetapkan dalam

rencana asuhan keperawatan.

Standar VI : Perawat mengevaluasi perkembangan klien dalam mencapai hasil

akhir yang sudah ditetapkan.

Standar pelayanan keperawatan yang disebutkan di atas merupakan standar

umum yang dilakukan oleh seluruh perawat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya

sebagai perawat.

2.1.3 Tujuan Penilaian Kinerja

Menurut Simamora (2004), penilaian kinerja (performance appraisal) adalah

prosesnya organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Penilaian kinerja

memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam

menjelaskan tujuan-tujuan dan standar kinerja individu di waktu berikutnya.

Menurut Simamora (2004), menyatakan tujuan penilaian kinerja digolongkan

kedalam tujuan evaluasi dan tujuan pengembangan.

a. Tujuan Evaluasi.

Melalui pendekatan evaluatif, dilakukan penilaian kinerja masa lalu seorang

karyawan. Evaluasi yang digunakan untuk menilai kinerja adalah rating deskriptif.

Hasil evaluasi digunakan sebagai data dalam mengambil keputusan-keputusan

mengenai promosi dan kompensasi sebagai penghargaan atas peningkatan kinerja

karyawan.

Universitas Sumatera Utara


b. Tujuan Pengembangan.

Pendekatan pengembangan diharapkan dapat meningkatkan kinerja karyawan di

masa yang akan datang. Aspek pengembangan dari penilaian kinerja mendorong

perbaikan karyawan dalam menjalankan pekerjaannya.

2.1.4 Unsur-unsur Penilaian Kinerja

Unsur-unsur kinerja atau prestasi kerja para karyawan akan dinilai oleh setiap

perusahaan tidak selalu sama, namun pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai tersebut

mencakup hal-hal sebagai berikut (Simamora, 2004):

a. Efisiensi Kinerja

Efisiensi kinerja adalah karyawan selalu berusaha menampilkan hasil kerja yang

lengkap dan tidak melakukan kesalahan.

b. Efektivitas Kinerja

Efektivitas kinerja adalah melakukan sesuatu dengan tepat atau kemampuan untuk

menentukan tujuan yang tepat.

c. Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah kemampuan karyawan untuk menyelesaikan tugas tepat

waktu sesuai dengan ketentuan perusahaan, karyawan bersedia bekerja lembur jika

pekerjaan yang ditugaskannya belum selesai, karyawan berusaha mempelajari hal-

hal baru yang belum diketahuinya yang menyangkut pekerjaan, karyawan selalu

mencari jalan keluar atas masalah pekerjaan yang dihadapinya dan karyawan selalu

meneliti hasil pekerjaannya.

Universitas Sumatera Utara


d. Kerjasama

Kerjasama karyawan adalah suatu kondisi dimana setiap karyawan saling bertukar

pikiran dan saling membantu dalam menyelesaikan pekerjaannya.

e. Loyalitas.

Loyalitas karyawan adalah kesetiaan karyawan terhadap perusahaan. Setiap

karyawan merasa memiliki perusahaan (sense of belonging) yang tinggi sehingga

karyawan akan selalu setia bekerja.

f. Komunikasi

Komunikasi karyawan adalah komunikasi karyawan dengan atasan dan sesama

rekan kerja.

g. Suasana Kerja

Suasana kerja karyawan adalah keadaan tempat bekerja karyawan yang

mendukung untuk membantu menyelesaikan setiap pekerjaannya.

h. Disiplin

Disiplin adalah kepatuhan karyawan akan aturan yang ditentukan oleh perusahaan,

disiplin akan waktu bekerja dan frekuensi kehadiran.

2.1.5 Manfaat Penilaian Kinerja

Ada lima manfaat penilaian kinerja yang dikemukakan oleh Mulyadi (1997),

yaitu:

1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian

karyawan secara maksimum.

Universitas Sumatera Utara


2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan, sepcrti

promosi, transfer dan pemberhentian.

3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan

menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.

4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka

menilai kinerja mereka.

5. Menyediakan suatu dasar distribusi penghargaan

2.1.6 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja

Mangkunegara (2002) mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi

kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).

a. Faktor Kemampuan (ability).

Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatannya dan

terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari hari, maka ia lebih mudah untuk

mencapai kinerja yang diharapkan.

b. Faktor Motivasi (motivation).

Motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi

merupakan kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja atau organisasi.

Kinerja profesi keperawatan dinilai tidak hanya berdasarkan konsep keilmuan

yang dimiliki tetapi juga berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Untuk

memberikan pelayanan yang prima seorang perawat tidak hanya membutuhkan

keahlian medis belaka tetapi ia harus memiliki empati dan tingkat emosionalitas yang

baik. Kinerja perawat melalui asuhan keperawatan yang langsung di berikan pada

Universitas Sumatera Utara


klien pada bagian tatanan pelayanan kesehatan terdiri dari 5 (lima) komponen, yaitu

melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa, menyusun perencanaan,

implementasi, dan evaluasi hasil-hasil tindakan klien. Kinerja perawat yang diukur

melalui asuhan keperawatan ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

perawat di Rumah sakit dirangkum dalam bentuk dokumentasi asuhan keperawatan.

2.2 Budaya Organisasi

2.2.1 Pengertian Budaya

Budaya (culture) berasal dari perkataan lain colere yang artinya mengolah,

mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah atau bertani.

Atau bisa juga diartikan sebagai segala daya dan aktivitas untuk mengolah dan

mengubah alam. Budaya merupakan nilai-nilai dan kebiasaan yang diterima sebagai

acuan bersama yang diakui dan dihormati. Budaya telah menjadi konsep penting

dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama.

2.2.2 Pengertian Organisasi

Menurut Etzioni dalam Tjandra (2005), organisasi merupakan suatu bentuk

kerjasama kelompok manusia atau orang di bidang tertentu untuk mencapai tujuan

tertentu. Menurut Schmerhorn dalam Tika (2006), organisasi adalah kumpulan orang

yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Chester

J. Bernard dalam Tika (2006), organisasi adalah kerjasama dua orang atau lebih,

suatu sistem dari aktivitas-aktivitas dan kekuatan-kekuatan perorangan yang

dikoordinasikan secara sadar.

Universitas Sumatera Utara


Organisasi memiliki ciri-ciri adanya pembagian kerja, kekuasaan dan

tanggung jawab berkomunikasi, pembagian yang direncanakan untuk mempertinggi

realisasi tujuan khusus, adanya satu atau lebih pusat kekuasaan yang mengawasi

penyelenggaraan usaha-usaha bersama dalam organisasi dan pengawasan, serta

memiliki pengaturan personil dalam mengatur anggotanya dalam melaksanakan tugas

organisasi. Sedangkan menurut Hendri L. Sisk dalam Cahyani (2004) menyatakan

organisasi sebagai suatu kelompok orang yang terlibat bersama-sama dalam

hubungan yang resmi untuk mencapai suatu tujuan.

Organisasi memiliki ciri-ciri adanya pembagian kerja kekuasaan dan tanggung

jawab berkomunikasi, pembagian yang direncanakan untuk mempertinggi realisasi

tujuan khusus, adanya satu atau lebih pusat kekuasaan yang mengawasi

penyelenggaraan usaha-usaha bersama dalam organisasi dan pengawasan, serta

memiliki pengaturan personil dalam mengatur anggotanya dalam melaksanakan tugas

organisasi. Organisasi sesungguhnya merupakan suatu koneksitas manusia yang

bersifat resmi, ditandai oleh aktivitas kerjasama, terintegrasi dalam lingkungan yang

lebih luas, memberikan pelayanan dan produksi tertentu dan tanggung jawab kepada

hubungan dengan lingkungannya.

2.2.3 Pengertian Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah norma-norma dan kebiasaan yang diterima sebagai

suatu kebenaran oleh semua orang dalam organisasi. Budaya organisasi menjadi

acuan bersama di antara manusia dalam berinteraksi dalam organisasi. Jika orang

Universitas Sumatera Utara


bergabung dalam sebuah organisasi, mereka membawa nilai-nilai dan kepercayaan

yang telah diajarkan kepada mereka.

Menurut Peter F. Drucker dalam Tika (2006), budaya organisasi adalah pokok

penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya

dilaksanakan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian diwariskan

kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan

dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas.

Menurut Schein dan Amstrong dalam Heidjrachman (1996) menyatakan

bahwa budaya perusahaan sebagai pola asumsi dasar yang ditemukan oleh kelompok

tertentu, ditemukan atau dikembangkan untuk mempelajari cara mengatasi masalah-

masalah adaptasi dari luar dan cara berintegrasi, yang telah berfungsi dengan baik

atau dianggap berlaku, dan karena itu harus diajarkan kepada para anggota baru

sebagai yang benar untuk mengundang, memikirkan, dan merumuskan masalah-

masalah ini.

Robbins (2006) menyatakan bahwa budaya organisasi (organization culture)

sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang

membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain. Sebuah sistem pemaknaan

bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi

lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-

nilai organisasi (a system of shared Meaning held by members that distinguishes the

organization from other organization. This system of shared meaning is, oncloser

examination, a set of key characteristics that the orgnization value).

Universitas Sumatera Utara


Budaya organisasi adalah norma-norma dan kebiasaan yang diterima sebagai

suatu kebenaran oleh semua orang dalam organisasi. Budaya organisasi menjadi

acuan bersama diantara manusia dalam melakukan interaksi dan organisasi. Menurut

Susanto (2007) yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah sebagai nilai-nilai

yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan

eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-

masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana

mereka harus bertindak dan berperilaku.

Hofstede (1993) menyatakan bahwa budaya organisasi sebagai konstruksi dari

dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable)

dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level observable, budaya organisasi

mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam, pola perilaku,

peraturan, bahasa, dan seremoni yang dilakukan perusahaan. Pada level

(unobsorvable), budaya organisasi mencakup shared value, norma-norma,

kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan

keadaan-keadaan sekitarnya. Perusahaan yang berorientasi pada kepentingan pasar

memerlukan budaya dukungan (support culture) dan budaya prestasi (achievement

culture) sebagai cara meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan. Budaya

organisasi yang efektif adalah budaya organisasi yang mengakar kuat dan dalam.

Perusahaan yang berbudaya demikian, hampir semua individunya menganut nilai-

nilai yang seragam dan konsisten.

Universitas Sumatera Utara


Setiap organisasi atau bahkan setiap bagian dalam suatu organisasi

menunjukkan simbol dan ritual yang berbeda karena di dalamnya terdiri dari berbagai

individu dengan latar belakang dan pengalaman yang beragam. Hofstede (1993)

menyatakan bahwa ada 6 (enam) dimensi budaya organisasi yang dapat ditemukan

pada berbagai organisasi, yaitu:

a. Process-oriented versus results-oriented

Organisasi dengan budaya berorientasi pada proses ditandai dengan karyawan

yang bekerja di dalamnya cenderung memperhatikan pada proses kegiatan dan bukan

pada pencapaian hasil, menghindari risiko, tidak berusaha dengan keras, dan

berpendapat bahwa setiap hari esok yang akan dialaminya bermakna sama dengan

hari-hari sebelumnya tanpa perubahan tantangan. Sebaliknya pada budaya organisasi

yang berorientasi pada hasil, karyawan cenderung memusatkan perhatiannya pada

pencapaian hasil terlepas dari proses atau kegiatan yang dilakukannya, merasa

nyaman dengan situasi yang berbeda atau menantang, selalu berusaha secara

maksimal, dan menganggap bahwa datangnya hari esok akan membawa tantangan

tersendiri yang berbeda dengan hari-hari atau waktu sebelumnya. Dengan konteks

yang demikian ini, budaya organisasi dengan orientasi-orientasi pada hasil

merupakan strong culture atau budaya yang positif.

b. Employee-oriented versus job-oriented

Dalam organisasi yang berorientasi pada employee, karyawan merasa bahwa

masalah-masalah personel mereka pada dasarnya adalah masalah organisasi juga,

pimpinan harus bertanggung jawab dalam mengatasi masalah kesejahteraan individu

Universitas Sumatera Utara


dan keluarganya, sementara dalam pengambilan keputusan organisasi cenderung

melibatkan banyak pihak atau komunal. Sebaliknya dalam organisasi yang

berorientasi pada job, karyawan merasakan adanya tekanan yang kuat untuk

menyelesaikan semua pekerjaan, sementara proses pengambilan keputusan dilakukan

secara invidual.

c. Parochial versus professional

Pengenalan terhadap organisasi yang berbudaya parochial dapat ditentukan

melalui perasaan karyawan dalam hal ikut memiliki organisasi (employees belonging

to the organization). Sementara dalam organisasi berbudaya profesional, faktor

profesionalisme karyawan merupakan penentu utama sebagai identitas organisasi.

d. Open system versus closed system

Karyawan dalam organisasi dengan sistem terbuka merasa bahwa organisasi

dan semua karyawannya bersikap terbuka dan mau menerima terhadap hadirnya

pendatang/pegawai baru dan pihak-pihak eksternal lainnya, semua pihak merasa ada

kesesuaian dengan nilai-nilai organisasi, serta karyawan baru tidak memerlukan

waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan organisasi. Dalam organisasi

dengan budaya sistem tertutup, interaksi antara karyawan cenderung tertutup dan

rahasia, hanya orang-orang atau pihak tertentu yang merasa cocok atau sesuai dengan

nilai-nilai organisasi, sementara bagi karyawan baru membutuhkan waktu yang lama

untuk menyesuaikan diri dengan keadaan organisasi.

Universitas Sumatera Utara


e. Tight control versus loose control

Pengendalian yang ketat ditunjukkan dengan adanya kesadaran setiap individu

terhadap pentingnya makna efisiensi (cost-conscious), cenderung tepat waktu dalam

pekerjaan dan penyelesaiannya dan karyawan bersikap serius tentang organisasi dan

pekerjaannya. Adapun dalam organisasi yang berbudaya pengendalian longgar

menunjukkan tidak adanya pihak yang menyadari makna pentingnya tentang biaya

(cost), bekerja tidak sesuai dengan jadwal penyelesaian, dan banyak menggelar jokes

tentang organisasi dan pekerjaannya.

f. Pragmatic versus normative emphasis towards clients

Organisasi dengan budaya pragmatis memiliki ciri khusus, yaitu terdapat

penekanan utama pada pemenuhan kebutuhan pelanggan di mana hasil yang dicapai

merupakan pertimbangan yang lebih penting daripada sekedar suatu pelaksanaan

prosedur yang benar. Organisasi seperti ini juga bersifat fleksibel dalam menyikapi

etika dalam bisnis. Sebaliknya organisasi dengan budaya normatif di dalamnya

terdapat upaya keras untuk mematuhi prosedur dengan benar dan menganggapnya

lebih penting daripada pencapaian hasil, sementara terhadap etika organisasi memiliki

standar tinggi yang dipakai sebagai acuan.

Dimensi keenam dalam budaya organisasi ini utamanya berkaitan dengan

topik terkini dalam bisnis, yaitu tentang orientasi perusahaan pada pelanggan.

Perusahaan yang berbeda pada tekanan kompetensi yang ketat cenderung berbudaya

pragmatis, sebaliknya organisasi yang bersifat monopolistis di mana tidak terdapat

persaingan dalam bisnis cenderung bersifat normatif.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, budaya organisasi dapat dikatakan

sebagai aturan main yang ada di dalam perusahaan yang akan menjadi pegangan dari

sumber daya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk

berperilaku dalam organisasi. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam perilaku dan sikap

mereka sehari-hari selama mereka berada dalam organisasi tersebut dan sewaktu

mewakili organisasi berhadapan dengan pihak luar. Dengan kata lain, budaya

organisasi mencerminkan cara karyawan melakukan sesuatu (membuat keputusan,

melayani orang, dan sebagainya).

2.2.4 Karakteristik Budaya Organisasi

Robbins (2006) menyatakan ada 10 karakteristik yang apabila dicampur dan

dicocokkan, dengan budaya organisasi. Kesepuluh karakteristik budaya organisasi

tersebut sebagai berikut:

1. Inisiatif Individual

Inisiatif individual adalah merupakan tanggung jawab, kebebasan atau

independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif

individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi

sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan

organisasi/perusahaan.

2. Toleransi terhadap Tindakan Berisiko

Dalam budaya organisasi perlu ditekankan, sejauh mana para pegawai

dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovasi dan pengambilan risiko. Suatu

budaya organisasi dikatakan baik, apabila dapat memberikan toleransi kepada

Universitas Sumatera Utara


anggota para pegawai untuk dapat bertindak agresif dan inovasi untuk memajukan

organisasi/perusahaan serta berani mengambil risiko terhadap apa yang dilakukannya.

3. Pengarahan

Pengarahan dimaksudkan sejauh mana suatu organisasi/perusahaan dapat

menciptakan dengan jelas sasaran perusahaan dan harapan yang diinginkan. Sasaran

dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi, dan tujuan organisasi. Kondisi

dapat berpengaruh terhadap kinerja organisasi/perusahaan.

4. Integrasi

Integrasi dimaksudkan bahwa suatu organisasi/perusahaan dapat mendorong

unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit-

unit organisasi dalam bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit-unit

organisasi dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang

dihasilkan.

5. Dukungan Manajemen

Dukungan manajemen dimaksudkan para manajer dapat memberikan

komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap bawahan

(karyawan). Dukungan manajemen ini sangat membantu kelancaran kinerja suatu

organisasi/ perusahaan.

6. Kontrol

Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau norma-norma

yang berlaku dalam suatu organisasi atau perusahaan. Untuk itu diperlukan sejumlah

Universitas Sumatera Utara


peraturan dan tenaga pengawas (atasan langsung) yang dapat digunakan untuk

mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai/karyawan dalam suatu organisasi.

7. Identitas

Identitas dimaksudkan bahwa para anggota/karyawan suatu organisasi/

perusahaan dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai satu kesatuan dalam

perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian profesional

tertentu. Identitas diri sebagai satu kesatuan dalam perusahaan sangat membantu

manajemen dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi/perusahaan.

8. Sistem Imbalan

Sistem Imbalan dimaksudkan alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi,

dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan

senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. Sistem imbalan yang didasarkan atas

prestasi kerja pegawai dapat mendorong pegawai/karyawan suatu

organisasi/perusahaan untuk bertindak dan berperilaku inovasi dan mencari prestasi

kerja yang maksimal sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.

Sistem imbalan yang didasarkan atas senioritas dan pilih kasih, akan berakibat

tenaga kerja yang punya kemampuan dan keahlian dapat berlaku pasif dan frustasi.

Kondisi semacam ini dapat berakibat kinerja organisasi/perusahaan menjadi

terhambat.

9. Toleransi terhadap Konflik

Para pegawai atau karyawan didorong untuk mengemukakan konflik melalui

kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena yang sering

Universitas Sumatera Utara


terjadi dalam suatu organisasi/perusahaan. Namun, perbedaan pendapat atau kritik

yang terjadi bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan perbaikan atau perubahan

strategi untuk mencapai tujuan suatu organisasi/perusahaan.

10. Pola Komunikasi

Komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Kadang-kadang

hierarki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola komunikasi antara atasan dan

bawahan atau antar karyawan itu sendiri.

2.2.5 Budaya Kuat, Budaya Lemah serta Budaya Adaptif

Budaya menyampaikan kepada karyawan bagaimana pekerjaan dilakukan dan

apa-apa saja yang bernilai penting. Bergantung pada kekuatannya, budaya dapat

mempunyai pengaruh yang bermakna pada sikap dan perilaku anggota-anggota

organisasi. Suatu budaya yang kuat ditandai oleh nilai-nilai inti organisasi yang

dipegang kukuh dan disepakati secara luas. Pada budaya yang kuat para anggota

memegang tata nilai inti organisasi (core values) secara intensif dan dianut bersama

secara meluas (Robbins, 2006). Menurut Sathe seperti dikutip Ndraha (2003), budaya

yang ideal adalah budaya kuat, di mana kekuatan budaya mampu memengaruhi

intensitas perilaku.

Organisasi dengan budaya kuat memiliki serangkaian nilai dan norma yang

kohesif dan mengikat anggota organisasi dan mendorong munculnya komitmen dari

anggotanya untuk mencapai tujuan organisasi. Organisasi tersebut mengadopsi

praktek-praktek ketenagakerjaan yang menunjukkan komitmen pada para anggotanya

(Ratmawati dan Herachwati, 2006). Menurut Kuczmarski dan Kuczmarski seperti

Universitas Sumatera Utara


dikutip Hanafi (2006), budaya yang kuat dan kohesif adalah budaya yang

menegaskan nilai-nilai dan norma imperatif untuk diwujudkan dalam tindakan nyata

sehari-hari. Nilai-nilai dan norma imperatif dikomunikasikan dan disepakati menjadi

pedoman perilaku yang diharapkan bersama. Semakin banyak anggota organisasi

yang menerima nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap nilai-

nilai tersebut, semakin kuat suatu budaya. Suatu budaya yang kuat memiliki pengaruh

yang besar terhadap sikap anggota organisasi dibandingkan dengan budaya yang

lemah (Robbins, 2006). Sebaliknya, budaya perusahaan dipandang lemah bila sangat

terfragmentasi dan tidak disatukan dan diikat dalam nilai dan keyakinan bersama.

2.2.6 Fungsi dan Manfaat Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki beberapa fungsi organisasi, yaitu (1) memberi

batasan untuk mendefinisikan peran, sehingga memperhatikan perbedaan yang jelas

antar organisasi; (2) memberikan pengertian identitas terhadap anggota organisasi; (3)

memudahkan munculnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar dibanding

minat anggota organisasi secara perorangan; (4) menunjukkan stabilitas sistem sosial;

(5) memberikan pengertian dan mekanisme pengendalian yang dapat dijadikan

pedoman untuk membentuk sikap serta perilaku para anggota organisasi; dan (6)

membantu para anggota organisasi mengatasi ketidakpastian, karena pada akhirnya

budaya organisasi berperan untuk membentuk pola pikir dan perilaku anggota

organisasi (Robbins, 2006).

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh kedua belah pihak, baik

organisasi maupun para anggotanya, manakala suatu organisasi menerapkan budaya

organisasi, dalam pengertian memberi perhatian pada sistem nilai yang dianut

Universitas Sumatera Utara


organisasi. Manfaat tersebut adalah: (1) memberikan pedoman bagi tindakan

pengambil keputusan; (2) mempertinggi komitmen organisasi; (3) menambah

konsistensi perilaku para anggota organisasi; dan (4) mengurangi keraguan para

anggota organisasi, karena budaya memberitahukan kepada anggota organisasi

bagaimana sesuatu dilakukan dan apa yang dianggap penting.

Memerhatikan fungsi dan manfaat budaya tersebut di atas, maka budaya

dalam suatu organisasi sangat penting. Oleh karena itu budaya senantiasa dipelihara

dan dikembangkan karena disadari budaya merupakan alat (tool) dalam setiap

melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasi serta menjadi stimulasi untuk

meningkatkan kinerja organisasi.

2.2.7 Sumber-Sumber Budaya Organisasi

Isi dari suatu budaya organisasi terutama berasal dari tiga sumber (Robbins,

2006), yaitu:

a. Pendiri organisasi. Pendiri sering disebut memiliki kepribadian dinamis, nilai yang

kuat, dan visi yang jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya. Pendiri

mempunyai peranan kunci dalam menarik karyawan. Sikap dan nilai mereka siap

diteruskan kepada karyawan baru. Akibatnya, pandangan mereka diterima oleh

karyawan dalam organisasi, dan tetap dipertahankan sepanjang pendiri berada

dalam organisasi tersebut, atau bahkan setelah pendirinya meninggalkan

organisasi.

Universitas Sumatera Utara


b. Pengalaman organisasi menghadapi lingkungan eksternal. Pengalaman organisasi

terhadap tindakan tertentu dan kebijakannya mengarah pada pengembangan

berbagai sikap dan nilai.

c. Karyawan, hubungan kerja. Karyawan membawa harapan, nilai, sikap mereka ke

dalam organisasi. Hubungan kerja mencerminkan aktivitas utama organisasi yang

membentuk sikap dan nilai.

Budaya organisasi sering dibentuk dengan adanya pengaruh orang-orang yang

mendirikan organisasi tersebut, Juga lingkungan eksternal organisasi beroperasi, dan

oleh karyawan serta hakikat dari organisasi tersebut.

2.2.8 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja

Menurut Robbins (2006), budaya organisasi memengaruhi kinerja dan

karyawan. Persepsi subjektif karyawan secara keseluruhan terhadap organisasi

didasarkan pada beberapa faktor seperti derajat toleransi risiko, tekanan atau

perhatian tim serta dukungan masyarakat. Persepsi keseluruhan ini (persepsi baik atau

tidak baik) membentuk suatu budaya organisasi atau kepribadian, yang kemudian

memengaruhi kinerja karyawan yang mengakibatkan makin hebat dan kuatnya suatu

budaya. Faktor-faktor tersebut meliputi; (1) inovasi dan pengambilan risiko

(inovation and risk taking), (2) perhatian pada detail (attention to detail), (3) orientasi

hasil (outcome orientation), (4) orientasi masyarakat (people orientation),

(5) berorientasi tim (team orientation), (6) agresifitas (aggressiveness), dan

(7) stabilitas (stability)

Universitas Sumatera Utara


2.3 Insentif

Moorehead dan Griffin (2000) mendefinisikan pemberian insentif sebagai

sesuatu pemberian atau penghargaan yang diberikan oleh organisasi pada seseorang/

kelompok kerja yang menunjukkan prestasi/kinerja yang baik diluar ketentuan

pengupahan yang umum. Assad (2002), menarik kesimpulan mengenai upah/insentif

adalah penghargaan dari energi karyawan yang dimanifestasikan sebagai hasil

produksi, atau suatu jasa yang dianggap sama dengan itu, yang berwujud uang, tanpa

jaminan pasti dalam tiap-tiap minggu atau bulan.

Gibson et.al.(1996) menyebutkan 4 (empat) bentuk insentif yang umum

diberikan kepada karyawan yang berprestasi, yaitu:

1. Material berupa bonus, hadiah-hadiah khusus, uang cuti atau materi-materi lain dan

uang lembur. Kenaikan gaji khusus ataupun berkala dalam skala tertentu dapat

dianggap menjadi suatu bentuk dari insentif.

2. Promosi atau kenaikan pangkat serta jabatan.

3. Pengakuan atau pengumuman dari prestasi seseorang atau grup di lingkungan yang

luas.

4. Dalam bentuk yang berlawanan apabila prestasi atau kinerja tersebut ditemukan

tidak baik atau di bawah target maka bentuk reward lebih tepat disebut sebagai

ganjaran atau punishment (hukuman).

Menurut Simamora (2000), program insentif yang baik harus memenuhi

beberapa aturan sebagai berikut:

a. Sederhana, aturan sistem insentif haruslah ringkas, jelas dan dapat dimengerti.

Universitas Sumatera Utara


b. Spesifik, para karyawan perlu mengetahui secara rinci apa yang diharapkan supaya

mereka kerjakan.

c. Dapat dicapai, setiap karyawan harus memiliki kesempatan yang masuk akal untuk

memperoleh sesuatu.

d. Dapat diukur, tujuan yang terukur merupakan landasan di mana rencana insentif

dibangun.

2.3.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian Insentif

Pemberian insentif sangat dipengaruhi oleh falsafah/kebijakan manajemen

organisasi di dalam pemeliharaan sumber daya manusia. Secara psikologis manusia

memiliki sifat yang berbeda-beda dalam meneguhkan motivasi kerja. Ada manusia

yang tradisionil menurut A. Maslow dalam Moorehead dan Griffin (2000), sangat

dipengaruhi oleh penyediaan kebutuhan fisik dasar seperti makanan dan kebutuhan

fisiologis lain. Maslow sendiri mengungkapkan bahwa motivasi sebagian orang

sangat berlainan yaitu memenuhi kebutuhan psikologis yaitu self esteem atau self

fulfilment. Psikolog McClelland (1961), mengatakan ada faktor high achiever dan low

achiever yang menyebabkan tergeraknya motivasi individu di dalam berprestasi.

Menurut Gibson et.al. (1996), dasar atau kriteria pemberian insentif menjadi

motivasi tersendiri bagi karyawan untuk mencapai kriteria-kriteria yang ditentukan,

sehingga karyawan memperoleh insentif sesuai dengan diharapkan. Moorehead dan

Griffin (2000), menyebutkan pihak HRD (Human Resources Development)

memperhatikan semua faktor-faktor manusia dari personel perusahaan di dalam

mengembangkan pemeliharaan asset SDM. Jadi faktor-faktor yang memengaruhi

Universitas Sumatera Utara


sistem pemberian insentif oleh pihak manajemen adalah faktor-faktor motivasi yang

dipantau banyak atau dominan menjadi dasar budaya personel perusahaan. Insentif

lebih dikenal memiliki kaitan langsung dengan materi tetapi secara umum pemberian

yang bersifat non material disebut sebagai reward.

2.4 Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu institusi yang fungsi utamanya memberikan

pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tugas rumah sakit adalah melaksanakan

upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya

penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan

upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan.

Penyelenggaraan upayaupaya kesehatan dan mengelola rumah sakit agar

tetap dapat memenuhi kebutuhan pasien dan masyarakat yang dinamis, maka setiap

komponen yang ada di rumah sakit harus terintegrasi dalam satu sistem

Pelayanan kesehatan di rumah sakit terdiri dari :

1. Pelayanan medis, merupakan pelayanan yang diberikan oleh tenaga medis yang

profesional dalam bidangnya baik dokter umum maupun dokter spesialis.

2. Pelayanan keperawatan, merupakan pelayanan yang bukan tindakan medis

terhadap pasien, tetapi merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan oleh

perawat sesuai aturan keperawatan.

Universitas Sumatera Utara


3. Pelayanan penunjang medik ialah pelayanan penunjang yang diberikan terhadap

pasien, seperti : pelayanan gizi, laboratorium, farmasi, rehabilitasi medik, dan

lain-lain.

4. Pelayanan administrasi dan keuangan, pelayanan administrasi antara lain salah

satunya adalah bidang ketatausahaan seperti pendaftaran, rekam medis, dan

kerumahtanggaan, sedangkan bidang keuangan seperti proses pembayaran biaya

rawat jalan dan rawat inap pasien.

Menurut dengan Undang-Undang No. 44 tahun 2009, pembedaan tingkatan

menurut kemampuan unsur pelayanan kesehatan yang dapat disediakan, ketenagaan,

fisik dan peralatan, maka rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah

diklasifikasikan menjadi :

1. Rumah Sakit Umum Klas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas

dan kemampuan pelayanan medis spesialistik luas dan subspesialistik luas.

2. Rumah Sakit Umum Klas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas

dan kemampuan pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 spesialistik luas dan

subspesialistik terbatas.

3. Rumah Sakit Umum Klas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas

dan kemampuan pelayanan medis spesialistik dasar.

4. Rumah Sakit Umum Klas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas

dan kemampuan pelayanan medis dasar.

Universitas Sumatera Utara


2.5 Perawat

Tenaga keperawatan salah satu sumber daya manusia di rumah sakit yang

menentukan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini wajar

mengingat perawat adalah bagian dari tenaga paramedik yang memberikan perawatan

kepada pasien secara langsung, sehingga pelayanan keperawatan yang prima secara

psikologis merupakan sesuatu yang harus dimiliki dan dikuasai oleh perawat.

Perawat merupakan sub komponen dari sumber daya manusia khusus tenaga

kesehatan yang ikut menentukan mutu pelayanan kesehatan pada unit pelayanan

kesehatan. Keperawatan merupakan salah satu bentuk pelayanan yang menjadi bagian

dari sistem pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan pelayanan, perawat selalu

mengadakan interaksi dengan pasien, keluarga, tim kesehatan dan lingkungannya

dimana pelayanan tersebut dilaksanakan.

Undang-Undang No.36 tahun 2009, menyatakan bahwa profesi keperawatan

merupakan profesi tersendiri yang setara dan sebagai mitra dari disiplin profesi

kesehatan lainnya. Masyarakat dewasa ini sudah mulai memerhatikan pemberi jasa

pelayanan kesehatan termasuk tenaga perawat yang merupakan penghubung utama

antara masyarakat dengan pihak pelayanan secara menyeluruh. Bahkan menurut Nash

et.al yang dikutip oleh Swisnawati (1997), melaporkan penelitian yang dilakukan

oleh ANA (American Nurses Association) bahwa 60 % sampai 80 % pelayanan

preventif yang semula dilakukan oleh dokter, sebenarnya dapat diberikan oleh

perawat dengan kemampuan profesional dan menghasilkan kualitas pelayanan yang

sama.

Universitas Sumatera Utara


Melihat beban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh perawat maka

sering menimbulkan permasalahan, karena perawat merupakan orang yang paling

banyak berhubungan dengan pasien dibandingkan dengan petugas lain di rumah sakit,

maka pelayanan perawat sangat diperlukan dalam memenuhi kepuasan pasien yang

sedang dirawat di rumah sakit.

2.5.1 Definisi Perawat

Perawat adalah orang yang mengasuh, merawat dan melindungi, yang

merawat orang sakit, luka dan usia lanjut (Priharjo, 1995). Perawat adalah karyawan

rumah sakit yang mempunyai dua tugas yaitu merawat pasien dan mengatur bangsal

(Hadjam, 2001).

Gunarsa dan Gunarsa (1995), menyatakan bahwa perawat adalah seorang

yang telah dipersiapkan melalui pendidikan untuk turut serta merawat dan

menyembuhkan orang yang sakit. Usaha rehabilitasi dan pencegahan penyakit yang

dilaksanakannya sendiri atau dibawah pengawasan dan supervisi dokter atau suster

kepala.

Lokakarya Keperawatan Nasional (1983), mendefinisikan keperawatan

sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari

pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk

pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif kepada individu, keluarga dan

masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan

manusia. Pelayanan keperawatan di sini adalah cara perawat memberikan dukungan

emosional kepada pasien dan memperlakukan pasien sebagai manusia. Pada

Universitas Sumatera Utara


hakekatnya keperawatan merupakan suatu ilmu dan kiat, profesi yang berorientasi

pada pelayanan, memiliki empat tingkatan klien (individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat) serta pelayanan yang mencakup seluruh rentang pelayanan kesehatan

secara keseluruhan.

Berdasarkan definisi perawat dapat disimpulkan bahwa perawat adalah orang

yang memberikan pelayanan dalam mengasuh, merawat dan menyembuhkan pasien.

2.5.2 Fungsi Perawat

Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI, 2002), fungsi perawat

adalah :

a. Mengkaji kebutuhan pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat serta sumber

yang tersedia dan potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

b. Merencanakan tindakan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat berdasarkan diagnosis keperawatan.

c. Melaksanakan rencana keperawatan meliputi upaya peningkatan kesehatan,

pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan

termasuk pelayanan pasien dan keadaan terminal.

d. Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan.

e. Mendokumentasikan proses keperawatan.

f. Mengidentifikasi hal-hal yang perlu diteliti atau dipelajari serta merencanakan

studi kasus guna meningkatkan pengetahuan dan pengembangan ketrampilan dan

praktek keperawatan.

Universitas Sumatera Utara


g. Berperan serta dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada pasien,

keluarga, kelompok serta masyarakat.

h. Bekerja sama dengan disiplin ilmu terkait dalam memberikan pelayanan

kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat.

i. Mengelola perawatan pasien dan berperan sebagai ketua tim dalam melaksanakan

kegiatan keperawatan.

Hadjam (2001), mengemukakan beberapa modal dasar perawat dalam

melaksanakan pelayanan prima, antara lain :

a. Profesional dalam bidang tugasnya

Keprofesionalan perawat dalam memberikan pelayanan dilihat dari kemampuan

perawat berinspirasi, menjalin kepercayaan dengan pasien, mempunyai

pengetahuan yang memadai dan kapabilitas terhadap pekerjaan.

b. Mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi

Keberhasilan perawat dalam membentuk hubungan dan situasi perawatan yang

baik antara lain ditentukan oleh kemampuannya berhubungan dengan orang lain,

berkomunikasi dan bekerja sama.

c. Memegang teguh etika profesi

Asuhan keperawatan yang profesional sangat tergantung pada bagaimana perawat

dalam melaksanakan tugas-tugasnya selaku tenaga profesional berusaha

memegang teguh etika profesi.

d. Mempunyai emosi yang stabil

Universitas Sumatera Utara


Seorang perawat diharapkan mempunyai emosi yang stabil dalam menjalankan

profesinya. Jika perawat dalam menjalankan tugasnya diiringi dengan

ketenangan, tanpa adanya gejolak emosi, maka akan memberikan pengaruh yang

besar pada diri pasien.

e. Percaya diri

Kepercayaan diri menjadi modal bagi seorang perawat karena perawat dituntut

untuk bersikap tegas, tidak boleh ragu-ragu dalam melaksanakan dan memenuhi

kebutuhan pasien.

f. Bersikap wajar

Sikap yang wajar akan memberikan makna yang besar bagi pasien bahwa

perawat dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan ketentuan keperawatan dan

profesionalismenya.

g. Berpenampilan memadai

Perawat dengan penampilan yang bersih, dengan penampilan yang segar dalam

melakukan tugas-tugas perawatan diharapkan mampu mengubah suasana hati

pasien.

Kinerja profesi keperawatan dinilai tidak hanya berdasarkan konsep keilmuan

yang dimiliki tetapi juga berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Untuk

memberikan pelayanan yang prima seorang perawat tidak hanya membutuhkan

keahlian medis belaka tetapi ia harus memiliki empati dan tingkat emosionalitas yang

baik. Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2001), menunjukkan bahwa

kemampuan empati yang tinggi akan menimbulkan tingginya intensi prososial pada

Universitas Sumatera Utara


diri perawat. Dengan kata lain jika perawat dapat merasakan apa yang dirasakan oleh

pasien maka perawat akan cepat untuk melakukan perbuatan dan tindakan yang

ditujukan pada pasien dan perbuatan atau tindakan tersebut memberi keuntungan atau

manfaat positif bagi pasien.

Perawat sebagai seorang tenaga profesional dalam bidang pelayanan kesehatan

yang dihadapinya adalah manusia, sehingga dalam hal ini empati mutlak harus

dimiliki oleh seorang perawat. Dengan empati, seorang perawat akan mampu

mengerti, memahami dan ikut merasakan yang dirasakan, yang dipikirkan dan yang

diinginkan pasien.

Perawat harus peka dalam memahami alur pikiran dan perasaan pasien serta

bersedia mendengarkan keluhan pasien tentang penyakitnya. Dengan demikian

perawat dapat mengerti bahwa apa yang dikeluhkan merupakan kondisi yang

sebenarnya, sehingga respon yang diberikan terasa tepat dan benar bagi pasien.

Peranan perawat sangat besar dalam mengurangi buruknya kondisi psikologis

pasien yang muncul sebagai akibat penyakit yang dideritanya seperti cemas, takut,

stress sampai depresi. Dalam hal ini perawat berperan dalam menciptakan suasana

psikologis yang kondusif bagi usaha penyembuhan yang optimal yaitu dengan

memberikan pelayanan prima (Taylor, 1995).

Berdasarkan pendapat Gunarsa dan Gunarsa (1995), Hadjam (2001), PPNI

(2002) maka nilai-nilai yang dimiliki seorang perawat adalah profesional,

komunikatif, kerjasama, memiliki etika profesi, stabil, percaya diri, empati dan

berpenampilan memadai. Pada penelitian ini peneliti mengklasifikasikan budaya

Universitas Sumatera Utara


organisasi dalam beberapa value atau nilai yaitu: proaktif, inovasi dan pengambilan

risiko, orientasi pada hasil dan kerjasama tim.

2.6 HIV/AIDS

2.6.1 Pengertian HIV/AIDS

AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome,

merupakan sekumpulan gejala-gejala yang menyertai infeksi HIV (Phair and

Chadwick, 1997). Gejala-gejala tersebut tergantung dari infeksi oportunistik yang

menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh

(kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut

(Yunihastuti, 2005).

HIV (Human Immunodeficiency Virus), termasuk familia retrovirus. Sel-sel

darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang terinfeksi HIV adalah sel-sel

limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun (kekebalan) tubuh. HIV

memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel-sel tersebut,

sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh berangsur-

angsur menurun (De Cock et al, 2000).

2.6.2 Situasi Epidemi HIV/AIDS

a. Status Epidemi Global

AIDS yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 telah berkembang

menjadi masalah kesehatan global. Sekitar 60 juta orang telah tertular HIV dan 25

juta telah meninggal akibat AIDS, sedangkan saat ini orang yang hidup dengan HIV

Universitas Sumatera Utara


sekitar 35 juta. Setiap hari terdapat 7.400 orang baru terkena HIV atau 5 orang per

menit. Pada tahun 2007 terjadi 2,7 juta infeksi baru HIV dan 2 juta kematian akibat

AIDS (UNAIDS, 2008).

Ada 4,9 juta orang yang terinfeksi HIV di Asia, 440 ribu diantaranya adalah

infeksi baru dan telah menyebabkan kematian 300 ribu orang di tahun 2007. Cara

penularan di Asia sangat bervariasi, namun yang mendorong epidemi adalah tiga

perilaku yang berisiko tinggi: Seks komersial yang tidak terlindungi, berbagi alat

suntik di kalangan pengguna napza dan seks antar lelaki yang tidak terlindungi

(UNAIDS, 2008).

b. Status Epidemi di Indonesia

Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada turis asal

Belanda di Rumah Sakit Sanglah Bali pada tahun 1987. Jumlah orang yang terjangkit

HIV/AIDS yang sebenarnya di Indonesia sangat sulit diukur dan masih belum

diketahui keadaan sesungguhnya secara tepat. Perkiraan jumlah infeksi HIV dan

kecenderungannya dapat diamati melalui sistem surveilans HIV/AIDS yang

diselenggarakan secara nasional. Jumlah infeksi HIV dan kasus HIV/AIDS yang

dilaporkan oleh propinsi jauh lebih kecil dari keadaan sesungguhnya. Estimasi yang

dibuat pada tahun 2010 diperkirakan akan terdapat sekitar 90.000 130.000 penderita

HIV/AIDS atau sekitar 0,036 0,052% dari jumlah penduduk Indonesia (KPAN,

2010). Perkembangan epidemi yang meningkat di awal tahun 2000-an telah

ditanggapi dengan keluarnya Peraturan Presiden nomor 75 tahun 2006 yang

mengamanatkan perlunya intensi penanggulangan AIDS di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi yang berkembang

paling cepat (UNAIDS, 2008). Kementerian Kesehatan memperkirakan, Indonesia

pada tahun 2014 akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan

HIV dan AIDS dibandingkan pada tahun 2008 (dari 277.700 orang menjadi 813.720

orang). Ini dapat terjadi bila tidak ada upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang

bermakna dalam kurun waktu tersebut.

Peningkatan penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif dan komprehensif

di Indonesia memerlukan pendekatan yang strategik, yang menangani faktor-faktor

struktural melibatkan peran aktif semua sektor. Tantangan yang dihadapi sungguh

besar dilihat secara geografi dan sosial ekonomi, Indonesia berpenduduk terbesar ke

empat di dunia dan terdiri lebih dari 17.000 pulau, dengan sistem pemerintahan

terdesentralisasi mencakup lebih dari 400 kabupaten dan kota dan 33 provinsi. Kasus

HIV telah dilaporkan oleh lebih dari 200 kabupaten dan kota di seluruh 33 provinsi

(KPAN, 2009).

Penyebaran infeksi HIV di Indonesia bervariasi antar wilayah. Kecuali di

Provinsi Papua dan Papua Barat, epidemi HIV pada sebagian besar provinsi di

Indonesia masih terkonsentrasi pada populasi kunci, dengan prevalensi >5%. Di

Provinsi Papua dan Papua Barat, epidemi sudah memasuki masyarakat dengan

prevalensi berkisar 1,36%-2,41% (Depkes RI, 2006).

Mengingat epidemi HIV merupakan suatu tantangan global dan salah satu

masalah yang paling rumit dewasa ini, maka keberhasilan penanggulangan HIV dan

AIDS di Indonesia, tidak saja memberikan manfaat bagi Indonesia tetapi juga

penanggulangan AIDS secara global. Acuan pengembangan strategi dan rencana di

Universitas Sumatera Utara


sektor, pemerintah daerah, swasta, para mitra kerja dan masyarakat dalam

penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Isi strategi dan rencana aksi ini telah

mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam dokumen Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN); yang selanjutnya akan menjadi acuan sektor-

sektor pemerintah yang terkait untuk mengembangkan strateginya masing-masing.

Rencana aksi nasional ini bagi daerah juga menjadi acuan untuk penyusunan rencana

aksi masing-masing daerah sebagai dasar untuk penyusunan RAPBD. Selain itu di

tingkat nasional dokumen ini menjadi instrumen untuk mobilisasi dana ke tingkat

nasional maupun internasional (Nafsiah, 2009).

c. Kecenderungan Epidemi HIV/AIDS ke Depan di Indonesia

Kecenderungan epidemi HIV ke depan dengan pemodelan memberikan

gambaran yang lebih jelas tentang penularan HIV saat ini dan perubahannya ke

depan. Proses pemodelan tersebut menggunakan data demografi, perilaku dan

epidemiologi pada populasi kunci. Dari hasil proyeksi diperkirakan akan terjadi hal-

hal berikut: (a) peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dari

0,21% pada tahun 2008 menjadi 0,4% di tahun 2014, (b) peningkatan jumlah infeksi

baru HIV pada perempuan, sehingga akan berdampak meningkatnya jumlah infeksi

HIV pada anak, (c) peningkatan infeksi baru yang signifikan pada seluruh kelompok

risiko, (d) perlu adanya kewaspadaan terhadap potensi meningkatnya infeksi baru

pada pasangan seksual (intimate partner) dari masing-masing populasi kunci,

(e) peningkatan jumlah ODHA dari sekitar 404.600 pada tahun 2010 menjadi 813.720

pada tahun 2014, (f) peningkatan kebutuhan ART dari 50.400 pada tahun 2010

menjadi 86.800 pada tahun 2014 (KPAN, 2010).

Universitas Sumatera Utara


2.7 Landasan Teori

Sumber Daya Manusia (SDM) dalam suatu perusahaan memegang peranan

yang sangat penting dalam menjalankan aktivitas dan fungsi-fungsi perusahaan dalam

mencapai tujuan perusahaan. Kinerja merupakan pencapaian yang optimal sesuai

dengan potensi yang dimiliki seorang karyawan. Kinerja dalam penelitian ini

mengacu kepada teori Gibson et.al. (1996), yang menyatakan bahwa ada 3 (tiga)

variabel yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu; a. variabel individu, b. variabel

organisasi dan c. variabel psikologis. Kinerja perawat pelaksana dalam penelitian ini

mengacu kepada tupoksi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Variabel

insentif dalam penelitian ini didasarkan atas prestasi kerja pegawai dapat mendorong

pegawai/karyawan suatu organisasi/perusahaan untuk bertindak dan berperilaku

inovasi dan mencari prestasi kerja yang maksimal sesuai kemampuan dan keahlian

yang dimilikinya (Robbins, 2006).

Budaya merupakan nilai dan norma yang berlaku di suatu organisasi dan

dianut secara bersama-sama oleh para anggotanya, yang merupakan faktor penting

dalam menentukan keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Bergantung pada

kekuatannya, budaya dapat mempunyai pengaruh yang bermakna pada sikap dan

perilaku anggota organisasi. Semakin kuat suatu budaya, semakin besar pengaruhnya

terhadap perilaku dan kinerja seorang karyawan. Budaya organisasi dalam penelitian

ini meliputi: (1) proaktif, (2) inovasi dan pengambilan risiko, (3) orientasi hasil dan

(5) kerjasama tim (Robbins, 2006).

Universitas Sumatera Utara


2.8 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan landasan teori maka dapat digabungkan menjadi suatu pemikiran

yang terintegrasi. Pemikiran yang terintegrasi tersebut merupakan kerangka konsep

dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Budaya Organisasi (X1)


a. Proaktif
b. Inovasi dan pengambilan risiko
c. Orientasi pada hasil
d. Kerjasama tim
Kinerja Perawat
Pelaksana
Pasien HIV/AIDS
(Y)
Insentif (X2)
a. Kriteria pemberian insentif
b. Sistem pemberian insentif
c. Bentuk pemberian insentif

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Sumber : Robbins (2006)

Universitas Sumatera Utara

También podría gustarte