Está en la página 1de 36

PRESENTASI KASUS

OLIGOHIDRAMNION

Disusun Oleh:

Dwi Endraningtias
108103000025

Pembimbing:

dr. Jimmy R. Tambunan, Sp.OG

Opponent:
Arini Estetia Putri
M. Kartika Widianto
Hilda Fakhrani F.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

RSUP FATMAWATI JAKARTA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
berkat, rahmat dan anugerahNya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan
presentasi kasus dengan judul Oligohidramnion ini. Senantiasa kita ucapkan
pula shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun maksud penyusunan presentasi kasus ini adalah dalam rangka
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan di
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati periode 28 Januari 2013 5 April 2013.
Pada kesempatan ini pula, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: dr.
Jimmy R. Tambunan, Sp.OG sebagai pembimbing dalam pembuatan kasus ini,
serta semua pihak yang turut serta membantu baik dalam penyusunan kasus
maupun membimbing serta menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam
penyelesaian kasus ini yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
Presentasi kasus ini saya susun dengan segenap tenaga dan usaha, namun
saya menyadari bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, saya sangat mengharapkan
saran dan kritik untuk menyempurnakan presentasi kasus ini di masa yang akan
datang.
Akhir kata, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat baik bagi saya
sendiri, rekan-rekan saya di tingkat klinik, pembaca, Fakultas Kedokteran UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, serta semua pihak yang membutuhkan.

Jakarta, Maret 2013

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. ii

Daftar Isi .......................................................................................................... iii

Bab I Pendahuluan ....................................................................................... 1

Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................ 3

Bab III Ilustrasi Kasus ..................................................................................... 20

Bab IV Analisa Kasus ..................................................................................... 29

Bab V Penutup ............................................................................................... 32

Daftar Pustaka .................................................................................................. iv


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pada keadaan normal, volume cairan amnion meningkat hingga sekitar 1 L
atau sedikit lebih pada 36 minggu, tetapi setelah itu akan berkurang. Pada
postmatur, mungkin akan hanya tersisa 100 hingga 200 ml atau kurang. Pada
beberapa kasus yang jarang, volume cairan amnion mungkin turun jauh di bawah
batas normal dan kadang-kadang berkurang hingga hanya beberapa ml cairan
kental. Berkurangnya volume cairan tersebut disebut oligohidramnion dan secara
sonografis didefinisikan sebagai indeks cairan amnion (AFI) 5 cm atau kurang.1
Penyebab keadaan ini belum sepenuhnya dipahami. Secara umum,
oligohidramnion yang terjadi pada awal kehamilan jarang dijumpai dan sering
memiliki prognosis buruk. Sebaliknya, berkurangnya volume cairan mungkin
cukup sering ditemukan pada kehamilan yang berlanjut melewati aterm. Risiko
penekanan tali pusat dan pada gilirannya distres janin, meningkat akibat
berkurangnya cairan amnion pada semua persalinan, apalagi kehamilan
postmatur.1
Oligohidramnion hampir selalu tampak jelas jika terdapat obstruksi
saluran kemih janin atau agenesis ginjal. Agenesis ginjal merupakan penyulit pada
sekitar 1 dari 4000 kelahiran. Pada sonografi tidak terlihat ginjal, dan kelenjar
adrenal biasanya membesar dan menempati fosa ginjal. Tanpa ginjal, tidak ada
pembentukan urin, dan terjadi oligohidramnion berat yang menyebabkan
hipoplasia paru, kontraktur ekstremitas, wajah tertekan yang khas, dan akhirnya
kematian. Sebanyak 15% - 25% kasus yang dilaporkan berkaitan dengan anomali-
anomali janin. Kebocoran kronis akibat adanya defek di membran dapat cukup
banyak mengurangi volume cairan, tetapi umumnya segera terjadi persalinan.
Terpajan inhibitor ACE juga dilaporkan berkaitan dengan oligohidramnion.1

Etiologi sekunder lainnya, misalnya pada ketuban pecah dini (premature


rupture of the membrane = PROM). Penyebab sekunder biasanya dikaitkan
dengan pecahnya membran ketuban, kehamilan post-term sehingga terjadinya
penurunan fungsi plasenta, gangguan pertumbuhan janin, penyakit kronis yang
diderita ibu seperti hipertensi, diabetes mellitus, gangguan pembekuan darah, serta
adanya penyakit autoimun seperti Lupus Eritematosus Sistemik.2

Prognosis janin buruk pada oligohidramnion awitan dini dan hanya


separuh janin yang bertahan hidup. Sering terjadi persalinan prematur dan
kematian neonatus. Oligohidramnion berkaitan dengan pelekatan antara amnion
dan bagian-bagian janin serta dapat menyebabkan cacat serius termasuk amputasi.
Selain itu, dengan tidak adanya cairan amnion, janin mengalami tekanan dari
semua sisi dan menunjukkan penampilan yang aneh disertai cacat muskuloskeletal
seperti jari tabuh. Hipoplasia paru juga dilaporkan berkaitan dengan
oligohidramnion awitan dini dan terjadi pada sekitar 15% janin oligohidramnion
yang teridentifikasi selama dua trimester pertama.1

Indeks cairan amnion yang kurang dari 5 cm setelah 34 minggu berkaitan


dengan peningkatan risiko kelainan hasil akhir janin. Sebagai contoh, kehamilan
dengan indeks cairan amnion intrapartum kurang dari 5 cm berisiko besar
mengalami deselerasi denyut jantung janin variabel, sesar atas indikasi distres
janin, dan skor Apgar 5 menit yang kurang dari 7.1

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui faktor


penyebab terjadinya oligohidramnion, cara mendiagnosis, serta bagaimana cara
penanganan dalam kehamilan dan persalinan pada ibu yang mengandung janin
dengan oligohidramnion.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Kavum Amnion

Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi kuat.


Bagian dalam selaput yang berhubungan dengan cairan merupakan jaringan sel
kuboid yang asalnya ektoderm. Bagian luar dari selaput ialah jaringan mesenkim
yang berasal dari mesoderm. Lapisan amnion ini berhubungan dengan korion
leave. Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer
cairan dan metabolik. Lapisan ini menghasilkan zat penghambat
metalloproteinase-1. Sel mesenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga
selaput menjadi lentur dan kuat. Selaput amnion juga meliputi tali pusat, sebagian
cairan akan berasal pula dari difusi pada tali pusat.2

Sejak awal kehamilan cairan amnion telah dibentuk. Cairan amnion


merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi sekaligus menunjang
pertumbuhan. Osmolalitas, kadar natrium, ureum, kreatinin tidak berbeda dengan
kadar pada serum ibu yang menandakan kadar di cairan amnion merupakan hasil
difusi dari ibunya. Fungsi cairan amnion yang juga penting ialah menghambat
bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan seng.2
Gambar 1. Embriologi Kavum Amnion
Sumber: http://reproduksiumj.blogspot.com/2011/09/gangguan-volume-cairan-amnion.html

2.2 Cairan Amnion

Di dalam ruang yang diliputi oleh selaput janin yang terdiri dari lapisan
amnion dan korion, terdapat likuor amnii atau yang sering disebut air ketuban.
Volume likuor amnii pada hamil cukup bulan adalah 1000 ml1500 ml, warnanya
putih, agak keruh, serta mempunyai bau yang khas (agak amis). Cairan ini
memiliki pH 7,2 dan berat jenis 1,008 yang terdiri atas 98% air. Sisanya terdiri
dari garam anorganik serta bahan organik dan bila diteliti benar, terdapat rambut
lanugo (rambut halus yang berasal dari bayi), sel-sel epitel, dan verniks kaseosa
(lemak yang meliputi kulit bayi). Protein ditemukan rata-rata 2.6% gram per liter,
sebagian besar sebagai albumin.2
Gambar 2. Rasio Lesitin dan Sfingomielin
Sumber: Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta; PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Terdapat lesitin dan sfingomielin yang sangatlah penting untuk
mengetahui apakah janin memiliki paru yang sudah siap untuk berfungsi. Dengan
peningkatan kadar lesitin permukaan alveolus paru diliputi oleh zat yang
dinamakan surfaktan dan merupakan syarat untuk berkembangnya paru dan
bernapas. Untuk menilai hal ini, digunakan perbandingan antara lesitin dan
sfingomielin.3

Pada saat persalinan warna cairan amnion ini terkadang menjadi agak
kehijauan karena sudah tercampur dengan mekonium (kotoran pertama yang
dikeluarkan bayi dan mengandung empedu). Berat jenis likuor akan menurun
berdasarkan dengan tuanya umur kehamilan.3

Pada usia kehamilan < 8 minggu, cairan amnion dihasilkan oleh transudasi
cairan melalui amnion dan kulit janin. Pada usia kehamilan 8 minggu, janin mulai
menghasilkan urin yang masuk ke dalam rongga amnion. Urin janin secara cepat
menjadi sumber utama produksi cairan amnion. Saat menjelang aterm, janin
menghasilkan 800 ml 1000 ml urin. Paru janin menghasilkan sejumlah cairan
300 ml per hari saat aterm, namun sebagian besar ditelan sebelum masuk ruang
amnion.3
ABSORBSI CAIRAN

Gambar 3. Proses Absorbsi Cairan Amnion


Sumber: http://reproduksiumj.blogspot.com/2011/09/gangguan-volume-cairan-amnion.html
Pada usia kehamilan < 8 minggu, cairan amnion transudatif direabsorbsi
secara pasif. Pada usia kehamilan 8 minggu, janin mulai melakukan proses
menelan. Proses ini secara cepat akan menjadi mekanisme utama absorbsi cairan
amnion. Menjelang aterm, melalui proses menelan terjadi absorbsi cairan sebesar
500 ml 1000 ml per hari.3

Absorbsi cairan amnion dalam jumlah sedikit juga terjadi melalui selaput
amnion dan masuk ke dalam aliran darah janin. Menjelang aterm, jalur ini
melakukan absorbsi sebesar 250 ml. Sejumlah kecil cairan amnion melintasi
membran amnion dan masuk ke aliran darah ibu sebesar 10 ml per hari pada usia
kehamilan menjelang aterm.2

Pada usia kehamilan 34 minggu, volume cairan amnion mencapai


maksmial (750 ml 800 ml) dan setelah itu akan menurun, sehingga pada usia
kehamilan 40 minggu volume cairan amnion 600 ml. Dan melewati usia 40
minggu, jumlah cairan amnion akan terus menurun.2

Secara klinik cairan amnion akan dapat bermanfaat untuk deteksi dini
kelainan kromosom dan kelainan DNA dari 12 minggu 20 minggu. Cairan
amnion yang terlalu banyak disebut polihidramnion (> 2 Liter) yang mungkin
berkaitan dengan diabetes atau trisomi 18. Sebaliknya, cairan yang kurang disebut
oligohidramnion yang berkaitan dengan kelainan ginjal janin, trisomi 21 atau 13,
atau hipoksia janin. Oligohidramnion dapat dicurigai bila terdapat kantong
amnion yang kurang dari 2 x 2 cm, atau indeks cairan pada 4 kuadran kurang dari
5 cm. Setelah 38 minggu, volume akan berkurang, tetapi pada post-term
oligohidramnion merupakan penanda serius apalagi bila bercampur mekonium.2

Gambar 4. Perubahan Volume Cairan Amnion Selama Kehamilan


Sumber: http://reproduksiumj.blogspot.com/2011/09/gangguan-volume-cairan-amnion.html
2.3 Fungsi Cairan Amnion

Adapun fungsi cairan amnion adalah sebagai berikut:2

1. Sebagai pelindung bagi janin terhadap trauma dari luar

2. Melindungi tali pusat dari tekanan

3. Memungkinkan pergerakan janin secara bebas sehingga mendukung


perkembangan sistem muskuloskeletal janin

4. Berperan dalam perkembangan paru janin

5. Melumasi kulit janin

6. Mencegah korioamnionitis pada ibu dan infeksi janin melalui sifat


bakteriostatik

7. Membantu mengendalikan suhu tubuh janin


2.4 Pengukuran Volume Cairan Amnion

Pemeriksaan dengan ultrasonografi adalah metode akurat untuk


memperkirakan volume cairan amnion dibandingkan pengukuran tinggi fundus
uteri. Penentuan AFI (Amniotic Fluid Index) adalah metode semikuantitatif untuk
memperkirakan volume cairan amnion.6

Gambar 5. Pengukuran Cairan Amnion


Sumber: http://reproduksiumj.blogspot.com/2011/09/gangguan-volume-cairan-amnion.html

Gambar 6. Pengukuran cairan amnion berdasarkan empat kuadran


Sumber: Gabbe, Steven G. 2012. Obstetrics: Normal and Problem Pregnancies, 6th Ed. USA:
W.B. Saunders, Elsevier.
AFI adalah jumlah dari kantung amnion vertikal maksimum dalam cm
pada masing-masing empat kuadran uterus. AFI normal pada usia kehamilan lebih
dari 20 minggu: 5 20 cm. Mulai dari awal bulan kelima, janin menelan cairan
amnionnya sendiri dan diperkirakan janin meminum cairan amnionnya 400
ml/hari yaitu sekitar separuh dari jumlah totalnya. Urin janin masuk ke dalam
cairan amnion setiap hari pada bulan kelima, tetapi urin ini sebagian besar adalah
air, karena plasenta saat itu berfungsi sebagai tempat pertukaran sisa-sisa
metabolisme. Pada saat lahir, membran amniokorion membentuk gaya hidrostatik
yang akan membantu melebarkan saluran leher rahim.4

2.5 OLIGOHIDRAMNION

Pada keadaan normal, volume cairan amnion meningkat hingga sekitar 1L


atau sedikit lebih pada 36 mingg, tetapi setelah itu akan berkurang. Pada
postmatur, mungkin akan hanya tersisa 100 hingga 200ml atau kurang. Volume
cairan ketuban meningkat selama masa kehamilan, dengan volume sekitar 30 ml
pada 10 minggu kehamilan dan puncaknya sekitar 1 L di 34-36 minggu
kehamilan.1

Sekitar 8% wanita hamil memiliki cairan ketuban terlalu sedikit.


Oligohidramnion dapat terjadi kapan saja selama masa kehamilan, walau pada
umumnya sering terjadi di masa kehamilan trimester terakhir. Sekitar 12% wanita
yang masa kehamilannya melampaui batas waktu perkiraan lahir (usia kehamilan
42 minggu) juga mengalami oligohidramnion, karena jumlah cairan ketuban
yangberkurang hampir setengah dari jumlah normal pada masa kehamilan 42
minggu.5

Pada beberapa kasus yang jarang, volume cairan amnion mungkin turun
jauh di bawah batas normal dan kadang-kadang berkurang hingga hanya beberapa
ml cairan kental. Berkurangnya volume cairan ini disebut oligohidramnion dan
secara sonografis didefinisikan sebagai indeks cairan amnion (AFI) 5 cm atau
kurang. Penyebab keadaan ini belum diketahui secara pasti. Akan tetapi secara
umum, oligohidramnion yang terjadi pada awal kehamilan jarang dijumpai dan
sering memiliki prognosis buruk. Sebaliknya, berkurangnya volume cairan
mungkin akan cukup sering ditemukan pada kehamilan yang berlanjut melewati
aterm. Resiko penekanan tali pusat, dan distres janin meningkat akibat
berkurangnya cairan amnion pada semua persalinan, apalagi pada kehamilan
postmatur.1

DEFINISI

Oligohidramnion adalah suatu keadaan abnormal dimana volume cairan


amnion kurang dari normal. Volume ketuban normal seharusnya mencapai 300-
500 ml, tetapi pada kasus oligohidramnion volume air ketuban kurang dari
normal. (Linda K.Brown dan V. Ruth Bennett) Oligohidramnion adalah suatu
keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu kurang dari 500 cc atau
setengah liter.5

Pada suatu keadaan tertentu banyaknya air ketuban berkurang dari normal.
Bila sampai kurang dari 500 cc maka akan disebut sebagai oligohidramnion.
Biasanya cairannya kental, keruh, berwarna kuning kehijau-hijauan. 3
Oligohidramnion merujuk pada jumlah cairan amnion yang lebih sedikit (kurang
dari 400ml).4

Oligohidramnion adalah kondisi di mana cairan ketuban terlalu sedikit,


yang didefinisikan sebagai indeks cairan amnion (AFI) di bawah persentil
5. Volume cairan ketuban meningkat selama masa kehamilan, dengan volume
sekitar 30 ml pada 10 minggu kehamilan dan puncaknya sekitar 1 L di 34-36
minggu kehamilan.6

EPIDEMIOLOGI

Sekitar 8% wanita hamil memiliki cairan ketuban yang terlalu sedikit.


Oligohidramnion dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, tetapi pada
umumnya sering terjadi pada trimester akhir masa kehamilan. Sekitar 12% wanita
yang masa kehamilannya melampaui batas waktu perkiraan lahir (usia kehamilan
42 minggu) mengalami oligohidramnion karena jumlah cairan ketuban yang
berkurang hampir setengah dari jumlah normal pada masa kehamilan. Di Amerika
Serikat, oligohidroamnion merupakan komplikasi pada 0.5% 5.5% kehamilan.
Severe oligohidramnion terjadi pada 0.7% kehamilan.5

ETIOLOGI

Penyebab pasti oligohidroamnion belum diketahui sepenuhnya. Mayoritas


wanita hamil yang mengalami oligohidramnion tidak diketahui pasti apa
penyebabnya. Penyebab oligohidramnion yang telah diketahui adalah cacat
bawaan janin dan bocornya kantung/membran cairan ketuban yang mengelilingi
janin dalam rahim. Sekitar 7% bayi yang mengalami oligohidramnion mengalami
cacat bawaan, seperti gangguan ginjal dan saluran kemih karena jumlah urin yang
diproduksi janin berkurang.7
Oligohidramnion hampir selalu tampak jelas jika terdapat obstruksi
saluran kemih janin atau agenesis ginjal. Agenesis ginjal merupakan penyulit pada
sekitar 1 dari 4000 kelahiran. Pada sonografi tidak terlihat ginjal, dan kelenjar
adrenal biasanya membesar dan menempati fosa ginjal. Tanpa ginjal, tidak ada
pembentukan urin, dan terjadi oligohidramnion berat yang menyebabkan
hipoplasia paru, kontraktur ekstremitas, wajah tertekan yang khas, dan akhirnya
kematian. Sebanyak 15% - 25% kasus yang dilaporkan berkaitan dengan anomali-
anomali janin. Kebocoran kronis akibat adanya defek di membran dapat cukup
banyak mengurangi volume cairan, tetapi umumnya segera terjadi persalinan.
Terpajan inhibitor ACE juga dilaporkan berkaitan dengan oligohidramnion.1

Etiologi sekunder lainnya, misalnya pada ketuban pecah dini (premature


rupture of the membrane = PROM). Penyebab sekunder biasanya dikaitkan
dengan pecahnya membran ketuban, kehamilan post-term sehingga terjadinya
penurunan fungsi plasenta, gangguan pertumbuhan janin, penyakit kronis yang
diderita ibu seperti hipertensi, diabetes mellitus, gangguan pembekuan darah, serta
adanya penyakit autoimun seperti Lupus Eritematosus Sistemik.2
Masalah lain yang juga berhubungan dengan oligohidramnion adalah
masalah karena pengobatan yang dilakukan untuk menangani tekanan darah
tinggi, yang dikenal dengan nama angiotensin-converting enxyme inhibitor
(contohnya captopril), dapat merusak ginjal janin dan menyebabkan
oligohidramnion parah dan dapat menyebabkan kematian janin. Wanita yang
memiliki penyakit tekanan darah tinggi yang kronis seharusnya berkonsultasi
terlebih dahulu dengan ahli kesehatan sebelum merencanakan kehamilan untuk
memastikan bahwa tekanan darahnya dapat tetap terawasi baik dan pengobatan
yang mereka gunakan aman diminum selama masa kehamilan.5

ABSORBSI KURANG atau KEHILANGAN CAIRAN MENINGKAT:

Ketuban Pecah Dini (50% kasus oligohidramnion)

PENURUNAN PRODUKSI AMNION:

Kelainan kongenital ginjal (agenesis ginjal, displasia ginjal) dan paparan


terhadap ACE inhibitor yang akan menurunkan output ginjal janin.
Obstruksi orifisium uretra eksterna janin.
Insufisiensi uteroplasenta (solusio plasenta, preeklampsia, sindroma
postmaturitas) menurunkan perfusi ginjal dan produksi urin.
Infeksi kongenital Defek jantung janin NTDs, sindroma twin to twin
tranfusion, efek obat NSAID.

FAKTOR RESIKO OLIGOHIDRAMNION

Wanita dengan kondisi-kondisi di bawah ini memiliki insiden


oligohidramnion yang tinggi:1,2,5

1. Anomali kongenital (misalnya: agenesis ginjal, sindrom potter).

2. Retardasi pertumbuhan intra uterin.

3. Ketuban pecah dini (24-26 minggu).


DIAGNOSIS
Kecurigaan terjadinya oligohidramnion dari pemeriuksaan fisik adalah bila
tinggi fundus uteri lebih rendah dari yang diharapkan atau dari usia kehamilan
yang seharusnya. Pada pemeriksaan Ultrasonografi ditemukan:1,2
Jumlah cairan amnion < 300 ml
Ukuran kantung amnion vertikal 2 cm tidak ada
AFI < 95 persentile untuk usia kehamilan tertentu
Pada kehamilan aterm AFI < 5 cm

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:5

1) Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballotemen.
2) Ibu merasa nyeri di perut pada setiap gerakan janin.
3) Sering berakhir dengan partus premature.
4) Bunyi jantung janin sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar
lebih jelas.
5) Persalinan lebih lama daripada biasanya.
6) Pada saat his akan terasa sakit sekali.
7) Bila ketuban pecah, air ketuban yang keluar sedikit sekali bahkan tidak
ada yang keluar.

PATOFISOLOGI

Fisiologi normal

AFV (Amniotic Fluid Volume) meningkat secara bertahap pada kehamilan


dengan volume sekitar 30 ml pada kehamilan 10 minggu dan mencapai
puncaknya sekitar 1L pada kehamilan 34-36 minggu. AFV menurun pada akhir
trimester pertama dengan volume sekitar 800 ml pada minggu ke-40. Berkurang
lagi menjadi 350 ml pada kehamilan 42 minggu dan 250 ml pada kehamilan 43
minggu. Tingkat penurunan sekitar 150 ml/minggu pada kehamilan 38-43
minggu. Mekanisme perubahan tingkat produksi AFV belum diketahui dengan
pasti meskipun diketahui berhubungan dengan aliran keluar-masuk cairan amnion
pada proses aktif. Cairan amnion mengalami sirkulasi dengan tingkat pertukaran
sekitar 3600 ml/jam.3,7

Faktor utama yang mempengaruhi AFV:

1. Pengaturan fisiologis aliran oleh fetus

2. Pergerakan air dan larutan di dalam dan yang melintasi membran

3. Pengaruh maternal pada pergerakan cairan transplasenta

Gambar 7. Amniotic Fluid Pathways

Patofisiologi

Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan oligohidramnion adalah


kelainan kongenital, PJT, ketuban pecah, kehamilan post-term, insufisiensi
plasenta, dan obat-obatan (misalnya dari golongan antiprostaglandin). Kelainan
kongenital yang paling sering adalah kelainan saluran kemih (kelainan ginjal
bilateral dan obstruksi uretra) dan kelainan kromosom (triploidi, trisomi 18 dan
13). Trisomi 21 jarang memberikan kelainan pada sauran kemih sehingga tidak
menimbulkan oligohidramnion. Insufisiensi plasenta oleh sebab apapun dapat
menyebabkan hipoksia janin. Hipoksia janin yang berlangsung kronis akan
memicu mekanisme redistribusi darah. Salah satu dampaknya adalah terjadinya
penurunan aliran darah ke ginjal, produksi urin berkurang dan terjadi
oligohidramnion.2

Secara umum, oligohidramnion berhubungan dengan:

- Ruptur membran amnion/Rupture of Amniotic Membranes (ROM)


- Gangguan kongenital dari jaringan fungsional ginjal atau yang disebut
obstructive uropathy
Keadaan-keadaan yang mencegah pembentukan urin atau masuknya
urin ke kantong amnion.
Fetal urinary tract malformations, seperti renal agenesis, cystic
dysplasia dan atresia uretra.
- Reduksi kronis dari produksi urin fetus sehingga menyebabkan penurunan
perfusi ginjal
Sebagai konsekuensi dari hipoksemia yang menginduksi redistribusi
cardiac output fetal.
Pada growth-restricted fetuse, hipoksia kronis menyebabkan
kebocoran aliran darah dari ginjal ke organ-organ vital lainnya.
Anuria dan oliguria.
- Post-term gestation
- Penurunan efisiensi fungsi plasenta, namun belum diketahui secara pasti
- Penurunan aliran darah dari ginjal fetus dan penurunan produksi urin fetus

Gambar 8. Patofisiologi Terjadinya Oligohidramnion

Sumber: Gabbe, Steven G. 2012. Obstetrics: Normal and Problem Pregnancies, 6th Ed. USA: W.B.
Saunders, Elsevier.
PENATALAKSANAAN

Supaya volume cairan ketuban kembali normal, pada umumnya akan


dianjurkan ibu hamil untuk menjalani pola hidup sehat, terutama makan makanan
dengan asupan gizi berimbang. Pendapat bahwa satu-satunya cara
untuk memperbanyak cairan ketuban adalah dengan memperbanyak porsi dan
frekuensi minum adalah salah. Dan tidak benar bahwa kurangnya air ketuban
membuat janin tidak bisa lahir normal sehingga harus dioperasi atau
perabdominam. Bagaimanapun juga, persalinan perabdominam merupakan pilihan
terakhir pada kasus oligohidramnion.5

Ibu hamil juga direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan USG


setiap minggu bahkan lebih sering untuk mengamati apakah jumlah cairan
ketuban terus berkurang atau tidak. Jika indikasi berkurangnya cairan ketuban
tersebut terus menerus berlangsung, disarankan supaya persalinan dilakukan lebih
awal dengan bantuan induksi untuk mencegah komplikasi selama persalinan dan
kelahiran.1,7

Jika wanita mengalami oligohidramnion di saat-saat mendekati persalinan,


dapat dilakukan tindakan memasukan larutan salin kedalam rahim. Infus cairan
kristaloid untuk mengganti cairan amnion yang berkurang secara patologis sering
digunakan selama persalinan untuk mencegah penekanan tali pusat.1

KOMPLIKASI

Oligohidramnion yang terjadi oleh sebab apapun akan berpengaruh buruk


kepada janin. Komplikasi yang sering terjadi adalah PJT, hipoplasia paru,
deformitas pada wajah dan skelet, kompresi tali pusat dan aspirasi mekonium
pada masa intrapartum, dan kematian janin.2

Mekanisme atau patofisiologi terjadinya oligohidramnion dapat dikaitkan


dengan adanya sindroma potter, dimana keadaan tersebut merupakan suatu
keadaan kompleks yang berhubungan dengan gagal ginjal bawaan dan
berhubungan dengan oligohidramnion. Oligohidroamnion menyebabkan bayi
tidak memiliki bantalan terhadap dinding rahim. Tekanan dari dinding rahim
menyebabkan gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu karena ruang
di dalam rahim sempit, maka anggota gerak tubuh akan menjadi abnormal atau
mengalami kontraktur dan terpaku pada posisi abnormal. Oligohidroamnion juga
menyebabkan terhentinya perkembangan paru (hipoplasia paru) sehingga pada
saat lahir paruu tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada sindroma potter,
kelainan yang utama adalah gagal ginjal bawaan baik karena kegagalan
pembentukan ginjal atau yang disebut agenesis ginjal bilateral ataupun karena
penyakit ginjal lainnya yang akan menyebabkan ginjal gagal berfungsi. Dalam
keadaan normal, ginjal membentuk cairan amnion sebagai urin dan dengan tidak
adanya cairan amnion menyebabkan gambaran yang khas dari sindroma potter.2,5

Gejala sindrom Potter berupa:

1. 1Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus,


pangkalhidung yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke
belakang)
2. Urin tidak terproduksi
3. Gawat pernafasan

Pulmonary hypoplasia

Oligohydrominios

Twisted skin (wrinkly skin)

Twisted face (Potter facies)

Extremities defects

Renal agenesis (bilateral)


Gambar 9. Sindroma Potter

Sumber: http://doctorsgates.blogspot.com/2010/10/mnemonic-for-features-of-potter.html

Hipoplasia paru

Hipoplasia paru dilaporkan berkaitan dengan oligohidramnion awitan dini


dan terjadi pada sekitar 15% janin dengan oligohidramnion yang teridentifikasi
selama dua trimester pertama. Pada kehamilan ini, terdapat beberapa
kemungkinan yang dapat menyebabkan hipoplasia paru. Pertama, penekanan pada
toraks dan pengembangan paru. Kedua, tidak adanya gerakan bernafas janin akan
mengurangi aliran masuk cairan ke paru. Ketiga dan yang paling diterima
mengusulkan bahwa pada keadaan oligohidramnion terjadi kegagalan menahan
cairan amnion atau peningkatan aliran keluar disertai dengan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan paru. Oleh karena itu, jumlah cairan amnion
yang dihirup oleh janin normal berperan penting dalam pertumbuhan paru.1

PROGNOSIS

Prognosis janin buruk pada oligohidramnion awitan dini dan hanya


separuh janin yang bertahan hidup. Sering terjadi persalinan prematur dan
kematian neonatus. Oligohidramnion berkaitan dengan pelekatan antara amnion
dan bagian-bagian janin serta dapat menyebabkan cacat serius termasuk amputasi.
Selain itu, dengan tidak adanya cairan amnion, janin mengalami tekanan dari
semua sisi dan menunjukkan penampilan yang aneh disertai cacat muskuloskeletal
seperti jari tabuh.1

Indeks cairan amnion yang kurang dari 5 cm setelah 34 minggu berkaitan


dengan peningkatan risiko kelainan hasil akhir janin. Sebagai contoh, kehamilan
dengan indeks cairan amnion intrapartum kurang dari 5 cm berisiko besar
mengalami deselerasi denyut jantung janin variabel, sesar atas indikasi distres
janin, dan skor Apgar 5 menit yang kurang dari 7.1
BAB III

ILUSTRASI KASUS

3.1 Identitas Pasien

Identitas Pasien

No. RM : 01218148

Nama : Ny. Priantih Marulloh

Usia : 30 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. H. Saleh RT 06/RW 07 Cienere, Limo, Depok

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : Tamat SMP

Status pernikahan : Menikah

Suami Pasien

Nama : Tn, Marulloh

Usia : 38 tahun

Pekerjaan : Pegawai

Pendidikan : Tamat SMA


3.2 Anamnesis
Autoanamnesis pada tanggal 19 Maret 2013, pk 14.45 WIB

3.2.1 Keluhan Utama


Pasien dirujuk dari puskesmas Cilandak karena anemia (Hb 8.8 g/dl).

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengaku hamil 9 bulan. HPHT 10-06-2012, TP 17-03-2013
sesuai usia kehamilan 40 minggu. Pasien mengaku ANC rutin di
puskesmas setiap bulan. USG dilakukan 1x saat usia kehamilan 36
minggu, dikatakan keadaan janin baik. Keluhan dengan mulas (-),
keluar air-air (-), keluar lendir darah 10 jam SMRS. Keputihan (+)
sejak 1 minggu SMRS berwarna putih susu, berbau dan gatal namun
sudah diobati dan keluhan membaik. Keluhan lemas, pusing, sakit
kepala, pandangan kabur, sesak, dan nyeri dada disangkal oleh pasien.
Gerak janin aktif (+), riwayat hipertensi dalam kehamilan sebelumnya
(-). BAK dirasakan lebih sering, BAB normal. 4 hari SMRS pasien
diperiksan di puskesmas Cilandak dan dikatakan Hb 8.8 g/dl kemudian
pasien dirujuk ke poli kebidanan RSUP Fatmawati, tidak dilakukan
transfusi hanya perubahan diet kalori. Pasien mengaku selama
kehamilan Hb berkisar 9-10 g/dl.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi (-), DM (-), anemia (-), hepatitis (-), penyakit jantung (-),
kelainan ginjal (-), asma (-), alergi makanan seafood (+), PMS (-).

3.2.4 Riwayat Operasi/Riwayat Rawat Inap


Pasien tidak pernah dioperasi dan dirawat di rumah sakit.

3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), kelainan ginjal (-), asma
(-), alergi (-).

3.2.6 Status Pernikahan


Pasien menikah 1x, usia pernikahan 11 tahun hingga saat ini.
3.2.7 Riwayat Menstruasi
Menarche di usia 13 tahun, siklus 28 hari, lamanya 4-5 hari, teratur,
ganti pembalut 2-3x/hari. HPHT: 10-6-2012.

3.2.8 Riwayat Kehamilan


1. Tahun 2002, lahir spontan, bayi perempuan, BL 3000 gram, usia
kehamilan 9 bulan, ditolong oleh bidan di RB, kondisi saat ini
sehat.
2. Hamil ini.

3.2.9 Riwayat KB
Pasien menggunakan KB suntik setiap 3 bulan (dilakukan rutin selama
7 tahun terakhir).

3.2.10 Riwayat Asuhan Antenatal


Pasien rutin periksa kehamilan di puskesmas Cilandak setiap bulan,
USG 1x dikatakan perkembangan janin baik.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaraan : Compos mentis
Tanda Vital :
- TD : 100/70 mmHg
- Nadi : 116 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
- Pernapasan : 20 x/menit, reguler
- Suhu : 36.5 C
BB : 58 kg
TB : 153 cm
IMT : 24.7 (Gizi baik)

Kepala : Normochepali

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

Telinga : Normotia, serumen (+/+), sekret (-/-)

Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1

Leher : Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid tidak teraba


membesar
Pemeriksaan Thorax

Paru : Suara napas vesikuler (+/+), rh (-/-), wh (-/-)

Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-).

Mammae : Simetris, retraksi puting (-/-), benjolan (-/-)

Abdomen : Perut membuncit sesuai usia kehamilan, striae


gravidarun (+), BU (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar

Ekstremitas : Akral hangat, CRP < 3 detik, edema (-), atrofi otot
(-)

Kulit : Tidak sianosis

3.3.2 Status Obstetri


TFU : 23cm, puka, HIS : (-), Kontraksi : Tidak ada, DJJ : 146 dpm

Inspeksi : v/u tenang, perdarahan (-)

Inspekulo : Portio livid, oue tertutup, flx (-), flr (+)

VT : Portio kenyal, posterior, t 3cm, (-), ketuban (-),


kepala H I-II

RT : Tidak dilakukan

3.4 Pemeriksaan Penunjang


3.4.1 Pemeriksaan USG
Kehamilan intra uterin, janin presentasi kepala tunggal hidup.
BPD: 9,5 mm/HC: 35,0 mm/AC: 34,1 mm/FL: 7,7 mm/ICA:
3,9/SDAU: 2,09
TBJ 3454 gr, plasenta berimplantasi di korpus depan,
oligohidramnion berat, terdapat lilitan tali pusat di leher.
Kesan: Janin tunggal hidup presentasi kepala, sesuai kehamilan 40
minggu, lilitan tali pusat 1x, oligohidramnion.
Saran: Terminasi kehamilan dan cari penyebab anemia.

3.4.2 Pemeriksaan CTG


Frekuensi dasar: 140 dpm; Variabilitas: 5-25 dpm; Akselerasi: (+);
Deselerasi: (-); His: (+); Gerak Janin: (+).
Kesan: Reassuring.
Hasil pemeriksaan OCT: (-)

3.4.3 Pemeriksaan Laboratorium

PEMERIKSAAN HASIL RUJUKAN


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.0 11.7- 15.5 g/dl
Hematokrit 33 33-45 %
Lekosit 7.0 5-10 rb/ul
Trombosit 267 150-440rb/ul
Eritrosit 4.20 3.80-5.20 jt/ul
VER 79.2 80-100 fl
HER 26.1 26-34 pg
KHER 33.0 32-36 g/dl
RDW 18.8 11.5-14.5 %
HEMOSTASIS
APTT 23.3 27.4-39.3 detik
Kontrol APTT 34.2 detik
PT 12.4 11.3-14.7 detik
Kontrol PT 13.7 detik
INR 0.88 -
DIABETES
Gula Darah Sewaktu 83 70-140 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium Tidak diperiksa 135-147 mmol/l
Kalium Tidak diperiksa 3.10-5.10 mmol/l
Klorida Tidak diperiksa 95-108 mmol/l
HEPATITIS
HbsAg Tidak diperiksa
Anti HCV Tidak diperiksa
SERO IMUNOLOGI
Golongan Darah A/Rhesus (+)
URINALISA
Urobilinogen 0.2 < 1 E.U./dl
Protein Urine Negative Negative
Berat Jenis 1.025 1.005-1.030
Bilirubin Negative Negative
Keton Negative Negative
Nitrit Negative Negative
pH 6.0 4.8-7.4
Lekosit Negative Negative
Darah/HB Negative Negative
Glukosa Urin/Reduksi Negative Negative
Warna Yellow Yellow
Kejernihan Clear Clear
SEDIMEN URIN
Epitel 1+ -
Lekosit 1-2 0-5 /LPB
Eritrosit 1-2 0-2 /LPB
Silinder Negative Negative /LPK
Kristal Negative Negative
Bakteri Negative Negative
Lain-Lain Negative Negative

3.5 Resume
Ny. Priantih, usia 30 tahun, mengaku hamil 9 bulan. HPHT 10-06-
2012, TP 17-03-2013 sesuai usia kehamilan 40 minggu. Pasien mengaku
ANC rutin di puskesmas setiap bulan. USG dilakukan 1x saat usia
kehamilan 36 minggu, dikatakan keadaan janin baik. Keluhan dengan
mulas (-), keluar air-air (-), keluar lendir darah 10 jam SMRS. Keputihan
(+) sejak 1 minggu SMRS berwarna putih susu, berbau dan gatal namun
sudah diobati dan keluhan membaik. Keluhan lemas, pusing, sakit kepala,
pandangan kabur, sesak, dan nyeri dada disangkal oleh pasien. Gerak janin
aktif (+), riwayat hipertensi dalam kehamilan sebelumnya (-). BAK
dirasakan lebih sering, BAB normal. 4 hari SMRS pasien diperiksan di
puskesmas Cilandak dan dikatakan Hb 8.8 g/dl kemudian pasien dirujuk
ke poli kebidanan RSUP Fatmawati karena anemia, tidak dilakukan
transfusi hanya perubahan diet kalori. Pasien mengaku selama kehamilan
Hb berkisar 9-10 g/dl. Pasien menikah 1x hingga saat ini, mempunyai 1
orang anak hidup, riwayat KB suntik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TFU: 23cm, puka, HIS: (-),
kontraksi: tidak ada, DJJ: 146 dpm. Inspeksi: v/u tenang, perdarahan (-).
Inspekulo: portio livid, oue tertutup, flx (-), flr (+). VT: portio kenyal,
posterior, t 3cm, (-), ketuban (-), kepala H I-II. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan hasil USG: janin tunggal hidup presentasi kepala,
sesuai kehamilan 40 minggu, lilitan tali pusat 1x, oligohidramnion. CTG
Reassuring. Hasil pemeriksaan OCT negative. Hasil pemeriksaan
laboratorium Hb 11.0 g/dl dan APTT 23.3 detik.
3.6 Diagnosis
Ibu: G2 P1 A0 Hamil 40 minggu JPKTH, oligohidramnion, serviks belum
matang, belum inpartu.
Janin: Janin tunggal hidup presentasi kepala.
3.7 Penatalaksanaan
Rdx/
- Observasi tanda vital (TD, N, RR, Suhu) per jam
- Observasi HIS, DJJ per 30 menit
- CTG
- Cek DPL, UL, GDS, PT/APTT
Rth/ Terminasi kehamilan sesuai CTG:
- CTG Reassuing: terminasi kehamilan pervaginam bila hasil
pemeriksaan OCT (+) SC CITO
pemeriksaan OCT (-) induksi misoprostol 4 x 2 mcg pv
- CTG Non-Reassuring: terminasi kehamilan perabdominan SC
CITO
Red/ Menjelaskan rencana di atas kepada keluarga pasien.

3.8 Prognosis
Prognosis ibu: ad bonam.
Prognosis janin: ad bonam.

3.9 Hasil
Lahir spontan bayi laki-laki, berat lahir 3400 gram, panjang badan
51 cm, skor Apgar 9/10. Cairan ketuban berwarna keruh, jumlah sedikit.
Lahir plasenta lengkap. Rupture grade II dilakukan perineorafi dan
hemostasis. Alat Keluarga Berencana yang dipasang IUD Post Plasenta.
Saat ini ibu dan bayi dalam keadaan baik di ruangan rawat gabung, sudah
pulang setelah 3 hari perawatan (19 Maret 2013 - 21 Maret 2013).

BAB IV
ANALISA KASUS

Berkurangnya volume cairan amnion disebut oligohidramnion dan secara


sonografis didefinisikan sebagai indeks cairan amnion (AFI) 5 cm atau kurang. 1
Pada pasien ini dengan kehamilan 40 minggu didapatkan indeks cairan amnion
(ICA) 3,9 cm. Hal ini sudah termasuk ke dalam kriteria oligohidramnion. Pada
pemeriksaan fisik juga didapatkan TFU 23 cm yang sesuai dengan diagnosis
terjadinya oligohidramnion yaitu bila tinggi fundus uteri lebih rendah dari yang
diharapkan.

Oligohidramnion hampir selalu tampak jelas jika terdapat obstruksi


saluran kemih janin atau agenesis ginjal. Pada sonografi tidak terlihat ginjal, dan
kelenjar adrenal biasanya membesar dan menempati fosa ginjal. Tanpa ginjal,
tidak ada pembentukan urin, dan terjadi oligohidramnion berat yang menyebabkan
hipoplasia paru, kontraktur ekstremitas, wajah tertekan yang khas, dan akhirnya
kematian.1 Pada hasil USG pasien ini didapatkan perkembangan janin dan gerak
napas janin dalam batas normal. Sehingga tidak ada kelainan pada janin seperti
agenesis ginjal, hipoplasia paru ataupun kontraktur ekstremitas.
Prognosis pada ibu dan janin pada kasus ini adalah ad bonam, karena
kehamilan sudah memasuki aterm dan perkembangan serta TBJ janin dalam
keadaan normal yang mengindikasikan janin dapat adekuat untuk dilahirkan.
Namun, memang perlu dilakukan terminasi kehamilan segera karena kehamilan
dengan indeks cairan amnion intrapartum kurang dari 5 cm berisiko besar
mengalami deselerasi denyut jantung janin variabel, sesar atas indikasi distres
janin, dan skor Apgar 5 menit yang kurang dari 7.1

Terminasi kehamilan yang dilakukan pada kasus ini dengan cara


pervaginam karena hasil pemeriksaan CTG Reassuring dan pemeriksaan OCT (-).
Pada pasien ini serviks belum matang dan belum ada tanda inpartu maka
dilakukan induksi dengan Misoprostol (Cytotec) dengan pemberian secara
intravagina dengan dosis 25 g pada fornix posterior dan dapat diulang
pemberiannya setelah 6 jam bila masih belum terdapat kontraksi uterus. Bila
dengan dosis 2 x 25 g masih belum terdapat kontraksi uterus, berikan ulang
dengan dosis 50 g. Pemberian Misoprostol maksimum pada setiap pemberian
dan dosis maksimum adalah 4 x 50 g (200 g).

Dosis 50 g sering menyebabkan :

Tachysystole uterin

Mekonium dalam air ketuban

Aspirasi Mekonium

Pada bayi tidak didapatkan sindroma Potter seperti wajah Potter (kedua
mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal hidung yang melebar,
telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang), twisted skin/wrinkly
skin, hipoplasia paru, defek ekstremitas, dan agenesis ginjal.1,2 Lahir spontan bayi
laki-laki dengan berat lahir 3400 gram, panjang badan 51 cm, dan skor Apgar
9/10.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Oligohidramnion adalah suatu keadaan abnormal dimana volume cairan


amnion kurang dari normal. Volume ketuban normal seharusnya mencapai 300
-500 ml, tetapi pada kasus oligohidramnion volume air ketuban kurang dari
normal. Penyebab keadaan ini belum sepenuhnya dipahami. Secara umum,
oligohidramnion yang terjadi pada awal kehamilan jarang dijumpai dan sering
memiliki prognosis buruk. Sebaliknya, berkurangnya volume cairan mungkin
cukup sering ditemukan pada kehamilan yang berlanjut melewati aterm. Resiko
penekanan tali pusat dan pada gilirannya distres janin, meningkat akibat
berkurangnya cairan amnion pada semua persalinan, apalagi kehamilan postmatur.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat oligohidramnion adalah agenesis
ginjal, hipoplasia paru, defek muskuloskeletal, wajah tertekan yang khas, dan
akhirnya kematian janin.

5.2 Saran

Ibu hamil disarankan untuk menjalani pola hidup sehat, terutama makan
makanan dengan asupan gizi yang seimbang. Ibu hamil juga direkomendasikan
untuk menjalani pemeriksaan USG setiap minggu bahkan lebih sering untuk
mengamati perkembangan janin dan apakah jumlah cairan ketuban terus
berkurang atau tidak. Jika indikasi berkurangnya cairan ketuban tersebut terus
menerus berlangsung, disarankan agar ibu hamil segera ke dokter agar dilakukan
terminasi kehamilan lebih awal dengan bantuan induksi untuk mencegah
komplikasi selama persalinan dan kelahiran.
DAFTAR PUSTAKA

1. Leveno J, Kenneth et all. 2009. Oligohidramnion; dalam buku Panduan


Ringkas Obstetri Williams. Edisi Ke-21. Jakarta: EGC; hal 120-123.

2. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: PT


Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

3. Wiknjosastro, Hanifa. 2002. Penyakit serta kelainan plasenta dan selaput


janin; dalam buku: Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; p 339-361.

4. Sadler, TW. 2000. Selaput Janin dan Plasenta; dalam buku: Embriologi
Kedokteran LANGMAN. Edisi Ketujuh. Jakarta: EGC; p 101-121.

5. Rustam, Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri; Obstetri Fisiologi, Obstetri


Patologi. Edisi Kedua. Jakarta: EGC.

6. Gilbert WM. Amniotic fluid dynamics: In Obstetrics. 16th Edition. New York:
Oxford University Press. NeoReviews 2006; 7; e292-e299.

7. Wiknjosastro, Hanifa. 2002. Plasenta dan Likuor Amnii; dalam buku: Ilmu
Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; p
66-76.

También podría gustarte