Está en la página 1de 44

ASPEK YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN

PENINJAUAN DALAM PENYELESAIAN


PERKARA PERDATA

HASIL

Diajukan Sebagai Persyaratan Guna


Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Pada
Fakultas Hukum Universitas Tadulako

OLEH :

ASRYANTO H. YUNUS
STB : D. 101.12.045

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2016

i
HALAMAN PENGESAHAN

NAMA : ASRYANTO H. YUNUS

STAMBUK : D 101 12 045

JUDUL : ASPEK YURIDIS TENTANG PENGGUNAAN

PENINJAUAN SETEMPAT DALAM PENYELESAIAN

PERKARA PERDATA

PALU,2016

Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan

Pembimbing I Pembimbing II

NASRUM, S.H., M.H ILHAM NURMAN, S.H. M.H


NIP. 19580601 198403 1 006 NIP. 19600621 199003 1 002

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Tadulako

Dr. JOHNNY SALAM, S.H., M.H


Nip. 19570212 198601 1 001

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...........................................................................................


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................
KATA PENGANTAR ............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ...................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 4
D. Kegunaan Penulisan ...................................................................... 5
E. Metode Penelitian.......................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian ................................... 7
B. Pengajuan Pembuktian .................................................................. 9
C. Alat-alat Bukti dan Kekuatan Hukumnya ................................... 12
D. Peninjauan Setempat Sebagai Alat Bukti .................................... 25
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 32
A. Pengajuan Bukti Peninjauan Setempat Pada Persidangan Perdata
..................................................................................................... 32
B. Hambatan dalam hal pelaksanaan pengajuan bukti peninjauan
setempat....................................................................................... 35
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 38
A. Simpulan ..................................................................................... 38
B. Saran ............................................................................................ 40

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemeriksaan perkara pada pengadilan baik perdata maupun perkara

pidana, maka yang paling menentukan adalah soal pembuktian. Oleh sebab itu

dikarenakan putusan akhir oleh hakim sangat ditentukan. Oleh hasil pembuktian

selama penyelesaian perkara berlangsung. Ini ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan sebagaimana dalam pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg dan

Pasal 1865 KUHPerdata, yang berbunyi : barang siapa yang mengatakan

mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan

haknya itu, atau untuk membatah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya

adanya hak itu atau adanya perbuatan itu.

Ketentuan pasal tersebut yang dikemukakan diatas, bahwa kedua belah

pihak baik tergugat maupun penggugat dapat dibebani pembuktian, utamanya

penggugat wajib membuktikan peristiwa-peristiwa yang diajukan, sedangkan

penggugat berkewajiban membuktikan peristiwa yang diajukan, sedangkan

tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Selanjutnya penggugat tidak

diwajibkan untuk membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian juga

sebaliknya, tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran bantahan

peristiwa yang diajukan oleh penggugat.

Olehnya itu bilamana penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang

telah diajukan di Pengadilan atau Hakim, maka ia harus dikalahkan dalam artian

1
gugatannya ditolak atau tidak diterima, begitu pula sebaliknya apabila tergugat

tidak dapat membuktikan bantahannya yang diajukan didepan persidangan,

maka ia harus pula dikalahkan. Maka dengan demikian pembenaran

pembuktian sangatlah penting karena menetukan jalanriya peradilan.

Pembuktian adalah penyajian alat alat bukti yang syah menurut hukum

kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian

tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.1

Pembuktian ini sangat penting untuk menentukan jalannya pemeriksaan

perkara didepan sidang pengadilan. Karena masalah pembuktian adalah

masalah bagaimana menetapkan persoalan kepada kedudukan yang sebenarnya.

Untuk menetapkan hukum, hakim berpegang kepada bukti-bukti yang diajukart

itu, hakim barn menetapkan hukumnya guna dasar keputusan yang akan

diberikan.

Dalam melakukan pembuktian, pihak-pihak yang berperkara disidangkan,

harus mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukurn pembuktian dimana

telah diatur tentang cara pembuktian, macam- macam alat bukti serta

kekuatannya dan sebagainya.

Menurut sistem HIR, dalam persidangan perkara perdata hakim terikat

pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil

keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Pengertian secara luas, membuktikan adalah membenarkan hubungan

hukum, yaitu misainya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat,

1
Riduan Syahrani, Hukum Pembuktian, Jakarta, Penerbit, Bina Aksara, 2001, hlm. 55

2
pengabulan ini mengandung arti, bahwa hakim menarik kesimpulan, bahwa apa

yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat

dan tergugat adalah benar. Berhubung dengan itu, membuktikan dalam arti

yang luas adalah memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat yang sah.

Pengertian dalam arti yang terbatas pembuktian hanya diperlukan apabila

yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak

dibantah, tidak perlu dibuktikan. Kebenaran yang tidak dibantah, tidak perlu

dibuktikan. Kebenaran yang tidak dibantah itu tidak perlu diselidiki. Yang harus

dikemukakannya. Jikalau ia berkehendak, bahwa Ia tidak akan kalah

perkaranya. Dalam arti yang terbatas inilah orang mempersoalkan hal

pembagian beban pembuktian.

Bilamana pihak tergugat mengakui kebenaran keseluruhan atas dasar

gugatan, berarti tergugat telah memberi pengakuan secara murni dan bulat.

Dengan adanya suatu pengakuan yang bulat dan murni, maka kewajiban

pembuktian sama sekali tidak diperlukan lagi.

Dalam hukum perdata dikenal lima macam alat bukti sebagaimana diatur

dalam ketentuan pasal pada pasal 164 HIR atau 284 RBg. Atau 1866 BW, terdiri

atas alat bukti surat atau tulisan, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan dan

sumpah.

Selain 5 alat bukti yang disebutkan dalam pasal terdahulu, maka diluar

pasal 164 HIR atau 284 Rbg. Atau 1866 BW tersebut masih terdapat alat-alat

bukti yang dapat dipergunakan untuk memperoleh kepastian mengenai

3
kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu alat bukti pemeriksaan

setempat yang diatur dalam pasal 153 HIR atau 180 RBg.

Adapun yang dimaksud setempat ialah pemeriksaan mengenai perkara

oleh hakim karena jabatan yang dilakukan diluar gedung atau kedudukan

pengadilan supaya hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau

keterangan yang memberi kepastian mengenal peristiwa-peristiwa yang

menjadi sengketa.2

Olehnya itu tujuan peninjauan setempat ialah agar hakim memperoleh

kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa maka fungsi pemeriksaan

setempat pada hakekatnya adalah sebagai alat bukti.

B. Perumusan Masalah

Bertolak pada uraian tersebut diatas, maka penulis mencoba untuk

mengkaji pokok - pokok permasalahan yang akan dikaji dalam bentuk skripsi

sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan pengajuan bukti peninjauan setempat oleh hakim

dalam penyelesaian perkara perdata.

2. Apa saja yang menjadi hambatan hambatan dalam pelaksanaan pengajuan

bukti peninjauan setempat.

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksana penyajian bukti peninjauan

setempat oleh hakim, dalam penyelesaian perkara perdata.

2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1985.

4
2. Untuk mengetahui apa saja hambatan hambatan dalam pelaksanaan

peninjauan setempat

D. Kegunaan Penulisan

1. Diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dalam memahami berapa

pentingnya Bukti Pemeriksaan Setempat dalam pemeriksaan perkara

perdata oleh Hakim di Pengadilan.

2. Diharapkan dan hasil penulisan ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran perkembangart ilmu hukum khususriya pada hukum acara

perdata.

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh bahan dari hasil penelitian sesuai dengan tujuan

penulisan, maka akan menggunakan metode penelitian hubungan normative,

dengan melakukan pendekatan yang bersifat yuridis normative dengan

menggunakan bahan bahan hukum seperti bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder.

Bahan hukum primer yang dimaksudkan adalah berbagai peraturan

perundang undangan yang berkaitan langsung dengan objek kajian baik yang

terdapat dalam undang undang maupun yang diatur dalam hukum

pembuktian.

Selanjutnya sebagai bahan pendukung dari bahan hukum primer penulis

juga menggunakan bahan hukum sekunder seperti bahan pustaka (library

research) yang terdiri dari buku buku hukum dan non hukum dari hasil

5
penelitian tulisan tulisan para ahli hukum, majalah- majalah, artikel artikel

dsb.

Bahan bahan yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif dan

disajikan / dipaparkan secara deskriptif.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian

Dalam penyelesaian suatu perkara di Pengadilan maka masalah

pembuktian adalah merupakan suatu bagian daripada hukum acara yang sangat

penting bagi mereka yang selalu berurusan dalam sidang di Pengadilan, begitu

juga bagi masyarakat. Oleh karena itu di dalam suatu proses persidangan

perkara bagian yang sangat diperhatikan adalah pada acara pembuktiannya.

Dalam persidangan perkara di Pengadilan Negeri hakim mempunyai tugas

untuk dapat mengakui kebenaran suatu peristiwa yang bersangkutan, dan

kebenaran peristiwa ini dapat diupayakan dengan pembuktian. Untuk dapat

menjatubkan putusan yang adil maka hakim harus mengenal peristiwanya yang

telah dibuktikan kebenarannya.

Sekiranya subyek hukum di dalam mempertahankan haknya ataupun

menuntut haknya di dalam suatu persengketaan, maka hal itu akan tidak dapat

berhasil jika tidak disertai dengan alat-alat bukti yang benar dan dapat

dipertanggungjawabkan atas kebenarannya menurut peraturan yang berlaku.

Menurut Prof. R. Subekti, SH., dalam bukunya yang berjudul Hukum

Pembuktian, mengatakan bahwa Yang dimaksud dengan membuktikan ialah

7
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan

dalam suatu persengketaan.3

Apa yang dikemukakan oleh Prof. R. Subekti, SH ini, maka nampaklah

bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara

di muka hakim atau pengadilan. Sedangkan menurut Prof. Dr. Sudikno

Mertokusumo, SH. Dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata

Indonesia mengatakan bahwa membuktikan mengandung beberapa pengertian

sebagai berikut:

1. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Membuktikan disini berarti

memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang

dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

2. Kata membuktikan dalam arti konvensionil. Membuktikan disini berarti

memberi kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya yang mempunyai

tingkatan-tingkatan, yaitu kepastian yang didasarkan atau perasaan belaka

dan kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal.

3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis, membuktikan

dalam arti yuridis ini tidak menuju kebenaran mutlak, ada kemungkinannya

bahwa pengakuan, kesksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau

dipalsukan. Maka dalam hal dimungkinkan adanya bukti lawan.

Membuktikan dalam arti yuridis yaitu memberikan dasar yang cukup

3
R. Subekti, Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Jakarta, Penerbit, Pradnya Paramitha, 2001.
Hlm. 7

8
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi

kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.4

Menurut Prof. Dr. R. Supomo, SH. menyatakan bahwa tugas hakim ialah

menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi perkara itu, benar-benar

ada atau tidak. Hubungan hukum inilah harus terbukti di muka hakim dan tugas

kedua belah pihak yang berperkara ialah memberi bahan-bahan bukti yang

diperlukan oleh hakim.5

Suatu persidangan perkara perdata, yang harus peristiwa atau keadaan dan

bukan hukumnya sesuatu. Peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-

pihak yang berperkara belum tentu semuanya penting bagi hakim guna dasar

pertimbangan daripada putusannya. Peristiwa-peristiwa itu masih harus

disaring oleh hakim, harus dipisahkan mana yang penting (relevant, material)

bagi hukum dan mana yang tidak (irrelevant, immaterial). Maka peristiwa-

peristiwa yang relevant itulah yang harus ditetapkan dan oleh karena itulah

harus dibuktikan.

B. Pengajuan Pembuktian

Penerapan pembuktian merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh

para pihak yang sedang berperkara di pengadilan dan bukan oleh hakim. Tetapi

hakimlah yang membebani para pihak dengan pembuktian.

Dalam suatu persidangan perkara di pengadilan yang harus dibuktikan oleh

para pihak yang berperkara bukanlah hukumnya, tetapi peristiwanya atau

4
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit. Hlm. 103-104
5
R. Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta, Penerbit, Pradnya Paramitha, 2004. Hlm.
62

9
hubungan hukumnya yang menimbulkan hak atau yang menghapuskan hak.

Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang

tidak penting tidak perlu dibuktikan.

Pembuktian adalah merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai

rasa keadilan yang menyentuh bagi para pihak yang berperkara atau

bersengketa. Sebab apabila dalam cara membuktikan ini dirasakan berat sebelah

dan tidak adil, maka secara apriori menjerumuskan pihak yang menerima beban

pembuktian yang terlampau berat ke urang kekalahan. Karena masalah cara

beban pembuktian ini merupakan masalah hukum, maka tentunya akan selalu

mewarnai dalam setiap tingkat peradilan, karenanya dapat diperjuangkan

sampai tingkat kasasi di pengadilan kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Dalam hal

ini berlaku suatu ketentuan bagi mereka yang mengajukan dalil-dalil berupa

peristiwa atau kejadian tentang proses terjadinya hak yang ia miliki. Tetapi

beban pembuktian ini kadangkala harus dibuktikan oleh pihak yang

menyangkal terhadap keabsahan hak yang dikuasai oleh pihak lawan, namun

demikian pertimbangan terletak pada pembuktian. Dan hendaknya hakim di

dalam cara membagi beban pembuktian itu yang terdapat pada tingkat-tingkat

peradilan, benar-benar menitik beratkan pada pertimbangan keadilan.

Begitu pentingnya persoalan membuktikan, maka hal yang perlu untuk

mengerti tentang bagaimana cara membuktikan. Yang dimaksud dengan cara

membuktikan adalah merupakan suatu cara yang diberikan atau dibebankan

kepada seseorang atau suatu pihak yang sedang berperkara di pengadilan untuk

meyakinkan hakim atas kebenaran sesuatu dalil yang dajukannya.

10
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa pembuktian itu adalah

dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh hakim. Dengan demikian hakimlah

yang diberi hak untuk memberikan cara pembebanan pembuktian kepada para

pihak dalam suatu perkara di pengadilan (bewijislast, burden of proof).

Di dalam cara pembagian beban pembuktian yang tercantum pada Pasa 163

HIR, atau 283 RBg., atau 1865 BW, diuraikan ketentuan-ketentuan yang

memuat kedua belah pihak baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani

dengan pembuktian, terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa-

peristiwa yang diajukan, sedangkan tergugat wajib mengajukan bukti

bantahannya penggugat. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran

bantahan dan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan

urituk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat. Pasal

163 HIR, atau 283 RBg., atau 1865 BW, mengatakan bahwa:

Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada

suatu peristiwa untuk menguatkan haknya atau untuk menyangkal hak orang

lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

Hendaknya tidak selalu satu pihak saja yang diwajibkan memberi bukti,

melairikan menurut keadaan yang konkrit pembuktian terhadap sesuatu hal itu

henclaknya diwajibkan kepada pihak yang hetminst bezwaard atau paling

sedikit diberatkan (1980: 63).

Jika penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukan, maka ia

harus dikalahkan, sedangkan kalau tergugat tidak dapat membuktikan

bantahannya maka Ia harus pula dikalahkan. Dengan demikian bilamana salah

11
satu pihak dibebani dengan pembuktian dan ternyata ia tidak dapat

membuktikan, maka ia akan dikalahkan. Hal semacam ini merupakan resiko

bagi pihak yang tidak dapat membuktikan baik peristiwa yang diajukan maupun

bantahan yang diajukan. Kesemuanya ini pada hakekatnya adalah untuk

memenuhi syarat keadilan, agar resiko pembuktian itu tidak berat sebelah.

Disisi lain adanya asas cara pembagian beban pembuktian yang tercantum

di ketentuan-ketentuan seperti yang telah disebutkan penulis tadi, maka masih

ada beberapa ketentuan khusus yang lebih tegas, antara lain dapat disebut dalam

Pasal 533, 535, 1244 KUH Perdata.

Malikul adil dalam bukunya Pembaharuan Hukum Perdata kita

sebagaimana dikutip Prof. R. Subekti, SH dalam karyanya Hukum Acara

Perdata menyatakan hakim yang insyaf akan kedudukannya tidak akan lupa

bahwa dalam membagi-bagi beban pembuktian, harus bertindak jujur dan

sportif, tidak akan membebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan hal

yang dapat dibuktikan (1982: 85)

C. Alat-alat Bukti dan Kekuatan Hukumnya

Dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah,

yang berarti bahwa hakim biasanya boleh mengambil keputusan berdasarkan

alat bukti dalam hukum acara perdata yang disebutkan dalam peraturan

perundang-undangan, yaitu pada Pasal 164 HR. atau 284 RBg., atau 1866 KUH

Perdata, adalah sebagai berikut:

1. Bukti tulisan atau surat

2. Bukti saksi

12
3. Persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpah

Urutan dalam alat bukti ini, maka tampaklah bahwa alat bukti tulisan atau

surat sebagai urutan yang paling atas, oleh karena itu di dalam perkara perdata

bukti tulisan dan surat dianggap sebagai alat bukti yang terpenting dan pada

umumnya mereka yang melakukan perbuatan hukum dilakukan dengan secara

tertulis.

Selain alat-alat bukti yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 164 HIR, atau

284 RBg., atau 1866 KUH Perdata seperti tersebut di atas, maka di luar pasal-

pasal tersebut masih terdapat alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk

memperoleh kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa yang menjadi

sengketa, yaitu alat bukti peninjauan setempat (descente, gerechtelyk

plaatsopening en bezichtinging), yang diatur pada Pasal 153 HIR, atau 180

RBg., dan alat bukti keterangan ahli (expertise) yang diatur pada Pasal 154 HIR,

atau 181 RBg.

Berdasar pada uraian diatas penuiis akan membahas alat-alat bukti yang

telah disebutkan dalam ketentuan pasal-pasal terdahulu, yaitu sebagai berikut:

1. Alat bukti tulisan atau surat

Sebagaimana telah penulis utarakan di atas, bahwa alat bukti tulisan

atau surat dalam hukum acara perdata dianggap sebagai alat bukti yang

paling utama, dan biasanya memang sengaja diadakan oleh para pihak,

dengan tujuan untuk memperkuat kedudukannya dalam suatu perbuatan

13
hukum. Makin maju suatu masyarakat makin banyaklah bukti tulisan ini

diadakan dalam suatu perhubungan sosial dalam masyarakat yang

merupakan perhubungan hukum.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., mengatakan bahwa

yang disebut alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat

tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau

untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai

pembuktian Op.cit 116)

Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda

bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk

dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. Seperti potret atau gambar

tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran, demikian pula dengan

sebuah peta meskipun ada tanda-tanda bacaarinya, tetapi tidak mengandung

buah pikiran atau isi hati

2. Alat bukti saksi

Pentingnya saksi di dalam proses penyelesaian perkara perdata.

Keterangan saksi yang dapat dinilai sebagai keterangan yang bernilai

pembuktian, terbatas pada keterangan tentang peristiwa yang Iangsung

dialami sendiri oleh saksi, baik tentang apa yang diketahui atau dilihatnya

atau didengarnya pada waktu peristiwa tersebut terjadi. Pengalamannya

tersebut harus mempunyai sumber yang terang dan jelas, dan bahwa

pengetahuan, penglihatan atau pendengarannya itu harus merupakan akibat

Iangsung dari peristiwa yang dialaminya itu. Selanjutnya pendapat pribadi

14
atau perkiraan-perkiraan khusus sebagai hasil dari kesimpulan sesuatu

peristiwa dan saksi tidaklah diperkenankan untuk dijadikari sebagai alat

bukti.

Keterangan saksi harus diberikan secara lisan dan tidak boleh

diwakilkan juga tidak boleh dibuat secara tertulis. Keterangan tertulis dari

pihak ketiga adalah alat bukti tertulis atau surat. Kesaksian yang didengar

dari orang lain (testimonium de auditu) bukan merupakan kesaksian, hal ini

dapat dilakukan sebagai sumber persangkaan. Meskipun kesaksian yang

didengar dari orang lain merupakan larangan, namun tidaklah berarti

kesaksian yang dimaksud tidak ada harganya sama sekali, karena kesaksian

yang dimaksud dapat dipakai sebagai alasan untuk mempercayai suatu

keterangan saksi lain yang menerangkan mengenai sesuatu kejadian atau

peristiwa yang pernah didengarnya oleh saksi testimonium de auditu

(didengar dari orang Lain), ataupun untuk menyusun suatu persangkaan.

Hal yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menerima keterangan

saksi adalah adanya:

1. Persamaan antara kesaksian-kesaksian yang ada satu sama lain nya.

2. Persesuaian antara kesaksian itu dengan alat-alat bukti lain.

3. Latar belakang dan kesaksian itu sendiri.

4. Penilaian terhadap pribadi saksi, misalnya menyangkut masalah cara

hidupnya, pendidikannya, kesusilaan dan lain sebagainya, hal mana

mungkin mendorong saksi untuk memberikan keterangan sebagaimana

yang diucapkan di muka Persidangan (1985:425)

15
Terhadap ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah sangat penting,

oleh karena mana hakim dapat meriilai tentang keterangan saksi itu, yang

berarti adanya kesempatan bagi hakim untuk mempergunakan

keyakinannya dalam menilai kesaksian tersebut. Akan tetapi dalam hal ini

sayang sekali tidak mungkin dapat tercapai, oleh karena di dalam perkara

perdata hakim yang hanya menilai kebenaran formil saja dan bukan menilai

kebenaran materiil.

Bunyi Pasal 169 HIR, atau 306 RBg., atau 1905 BW, menentukan

bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa suatu alat bukti lain, tidak boleh

dipercaya di dalam hukum. Karena sering dikatakan seorang saksi bukan

saksi (unus testis nulilus test is) artinya keterangan seorang saksi saja baru

merupakan permulaan pembuktian, selanjutnya hakim dapat membebani

sumpah kepada salah satu pihak yang hanya mengajukan seorang saksi

tanpa alat bukti lain.

Pada asasnya setiap orang yang cakap yang bukan salah satu pihak

dapat didengar sebagai saksi dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan

wajib memberi kesaksian. Dan kewajiban untuk memberi kesaksian ini

ternyata dari Pasal 139 HIR, atau 165 RBg., atau 1909 BW serta adanya

sanksi-sanksi yang diancamkan apabila mereka tidak memenuhinya.

Penjelasan Pasal 145 HIR atau 172 RBg., menyatakan bahwa syarat

untuk dapat didengar atau diangkat menjadi saksi yaitu harus sudah

mencapai umur 15 tahun, sehat pikirannya dan tidak dilarang oleh Undang-

Undang.

16
Kekuatan pembuktian dan saksi adalah sebagai alat bukti bebas, artinya

hakim tidak harus menerima atau mempercayainya, ia bebas untuk

mempercayai atau tidak mempercayainya sebagai alat bukti. Dan juga

kepada saksi sebelum memberikan keterangan harus disumpah menurut

agamanya, sesuai dengan ketentuan Pasal 147 HIR. Fungsi sumpah saksm

adalah untuk menjamin obyektifitas keterangannya, dan sumpah saksi ini

dinamakan sumpah promissoir.

3. Alat bukti persangkaan

Bukti persangkaan, diatur dalam Pasal 173 HIR, atau 310 RBg., dalam

pasal ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan persangkaan atau

dugaan itu. Tetapi dalam Pasal 1915 BW ditentukan bahwa yang dimaksud

dengan persangkaan adalah kesimpulan yang oleh Undang-Undang atau

oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa

lain yang belum terang kenyataannya. Dari ketentuan ini jelas bahwa

persangkaan itu hanyalah kesimpulan belaka dari ketentuan Undang-

Undang atau hakim tentang suatu peristiwa yang sudah jelas kepada

peristiwa yang belum jelas.

Yang menarik kesimpulan itu adalah hakim olehnya itu persangkaan

dinamakan persangkaan hakim, sedangkan bilamana penarikan

kesimpulan itu berdasarkan Undang-Undang maka persangkaan itu

dinamakan persangkaan Undang-Undang.

Ketentuan Pasal 1922 BW, persangkaan-persangkaan yang tidak

berdasarkan Undang-Undang adalah diserahkan kepada pertimbangan dan

17
kewaspadaan hakim, namun dalam hal ini tidak boleh memperhatikan

persangkaan-persangkaan lain, persangkaan yang demikian hanya boleh

dianggap dalam hal-hal mana Undang-Undang mengijinkan pembuktian

dengan saksi-saksi, begitu pula bilamana diajukan suatu bantuan terhadap

suatu perbuatan atau suatu akta berdasarkan alasan yang benitikad tidak

baik. Dan juga bilamana persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan ada

hubungannya dengan Iainnya.

Lebih lanjut pasal 1915 BW, akan penulis beberapa contoh

persangkaan.

1) Persangkaan Undang-Undang:

a. Dari adanya 3 (tiga) kwitansi atau tanda pembayaran berturut-turut,

dapat disimpulkan atau dipersangkakan bahwa semua angsuran

hutang telah terbayar dengan lunas.

b. Dari adanya penguasaan atau bezit atas suatu barang bergerak, dapat

disimpuikan atau dipersangkakan adanya hak milik atas barang

tersebut.

2) Persangkaan hakim:

Dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan perzinahan,

bahwa kalau dapat dibuktikan seorang laki-laki dan seorang perempuan

yang bukan suami istri, bersama-sama menginap dalam satu kamar yang

hanya ada satu tempat tidur, maka dipersangkakan mereka telah

melakukan suatu perzinahan.

18
Dalam perkara perdata, suatu persangkaan saja sudah boleh

dijadikan bukti untuk mengabulkan tuntutan penggugat karena tidak ada

ketentuan Undang-Undang yang melarangnya.

Persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak Iangsung hal ini

berarti dengan perantara atau melalui alat-alat bukti lain.

Persangkaan sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian yang

bebas, artinya terserah kepada kebijaksanaan hakim, seberapa jauh

hakim akan memberikan kekuatan sebagai alat bukti kepada

persangkaan yang didapat pada pemeriksaan perkaranya.

4. Alat bukti pengakuan

Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak

atau hubungan hukum yang diajukan pihak lawan. Pengakuan diatur dalam

Pasal 174 sampai 176 KIR, atau Pasal 311 sampai 313 RBg., atau Pasal

1923 sampai 1928 BW.

Dalam Pasal 174 HIR menyatakan bahwa pengakuan yang diucapkan

di muka hakim, merupakan bukti yang lengkap terhadap orang yang

mengucapkan pengakuan itu sendiri atau dengan pertolongan orang lain,

yang istimewa dikuasakan untuk melakukan hal itu (1988:188)

Berdasar pada adanya pengakuan maka sengketanya dianggap selesai,

sekalipun pengakuannya itu tidak sesuai dengan kebenaran, dan hakim tidak

perlu meneliti kebenaran pengakuan tersebut. Maka oleh karena itu pada

hakekatnya bahwa pengukuran bukanlah merupakan pernyataan tentang

kebenaran sekalipun biasanya memang mengandung kebenaran, akan tetapi

19
Iebih merupakan pernyataan kehendak untuk menyelesaikan suatu perkara.

Dan sekalipun dimuat sebagai alat bukti dalam Pasal 164 HIR, atau 284

RBg., atau 1866 BW pada hakekatnya pengakuan bukanlah merupakan alat

bukti (Op.cit 143).

Meskipun pengakuan yang diberikan oleh tergugat hanya merupakan

pernyataan saja, namun terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan

tergugat yang membenarkan gugatan hal itu harus diterima sebagai

pengakuan dan menjadi alat bukti, dengan alasan:

Setia orang yang mengakui atau membenarkan suatu dalil dari pihak

lawan, biarpun dalil itu tidak benar dianggap sebagai seorang yang

melepaskan suatu hak perdata, yang dibolehkan karena adalah terserah

kepada tiap-tiap orang untuk mempertahankan atau melepaskan hak-hak

yang berada dalam kekuasaannya (Subekti Opcit 53)

Pengakuan ini terbatas pada hak-hak yang ada dalam kekuasaannya

terhadap orang yang melakukan pengakuan, maka pengakuan tersebut tidak

dapat dipakai sebagai kekuatan yang mengikat, hakekat kebenaran yang

dicari dalam hukum perdata formil hanyalah kebenaran formil pula, bukan

mencari suatu kebenaran yang hakiki.

Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi 3 (tiga), yaitu:

1) Pengakuan murni (eveu PUT et simple) ialah pengakuan yang sifatnya

sederhana dan sesuai sepenuhrtya tuntutan pihak lawan.

20
2) Pengakuan dengan kualifikasi (gequalficeerde bekentenis, aveu qulifie)

ialah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari

tuntutan.

3) Pengakuan dengan klausula (geclausuleerde bekentenis, aveu

complexe) ialah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan

tambahan yang bersifat membebaskari (opcit 144)

Hakim tidak boleh memisah-misahkan atau memecah-mecah

pengakuan dan menerima sebagian dari pengakuan, sehingga tidak perlu

lagi dibuktikan dan menolak sebagian lainnya yang masih perlu dibuktikan

Iebih lanjut.

Bilamana pembagian pengakuan didasarkan pada Pasal 1923 BW,

maka pengakuan itu terdiri atas:

1) Pengakuan yang dikemukakan terhadap suatu pihak yang dilakukan di

muka sidang.

2) Pengakuan yang dikemukakan terhadap suatu pihak yang dilakukan di

luar sidang.

Suatu pengakuan tidak dapat ditarik kembali dengan alasan seolah-olah

orang yang melakukan pengakuan itu khilaf tentang hal hukum. Adapun

menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, SH., menyatakan bahwa Pasat 1926

BW adalah Iayak dan sekiranya dapat dipakai juga oleh Pengadilan Negeri

walaupun HIR tidak memuat ketentuan itu. Selanjutnya diperingatkan oleh

beliau bahwa pembatasan diperbolehkannya penarikan kembali pengakuan

21
hanya kepada salah satu perkiraan tentang keadaan yang dapat

menimbulkan salah paham.

Pada dasarnya hakim tidak terikat terhadap apa yang dikemukakan oleh

para pihak yang berperkara, maka dalam hal adanya salah perkiraan suatu

pihak tentang hukum, meskipun sebetulnya salah perkiraan ini tidak

dikemukakan, hakim dengan sendirinya harus melaksanakan hukum yang

sebenarnya. (R. Wirjono Prodjodikoro 1980:119)

Bilamana dicermati ketentuan Pasal 1927 BW menyebutkan bahwa

tentang suatu pengakuan lisan yang dilakukan dalam sidang pengadilan

tidak dapat dipakai, selain dalam hal-hal mana diijinkan pembuktian dengan

saksi. Pengakuan diluar sidang ini merupakan pembuktian secara tidak

langsung, karena pengakuan yang demikian itu disampaikan kepada hakim

secara tidak langsung oleh tergugat sendiri, tetapi melalui saksi-saksi yang

kebetulan mendengar sendiri pengakuan tergugat mengenal persengketaan

yang saat itu sedang diperiksa oleh hakim.

Pengakuan di luar sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan

melalui saksi-saksi seperti tersebut di atas ada batasbatasnya, yaitu bahwa

pembuktian menurut Undang-Undang tersebut diijinkan pembuktiannya

dengan saksi (Pasal 1895 BW), sedangkan kekuatan pembuktiannya

diserahkan kepada pertimbangan hakim yaitu untuk menentukan sampai

seberapa jauh kekuatan hukum yang dapat diberikan oleh suatu pengakuan

lisan yang dilakukan di luar sidang pengadilan.

22
Dengan demikian pengakuan secara lisan yang dilakukan di luar sidang

pengadilan tersebut tidak merupakan alat bukti yang mengikat, tetapi hanya

merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan bebas. Adapun selain

pengakuan di luar sidang secara lisan. Di dalam praktek pengadilan juga

mengakui adanya pengakuan di luar sidang pengadilan melalui tulisan, hal

ini merupakan surat-surat lain yang bukan akta, sehingga juga mempunyai

kekuatan pembuktian yang bebas.

5. Alat bukti sumpah

Alat bukti sumpah diatur dalam pasal-pasal 155-158 dan 177 hR atau

182- 185 dab 314 RBg juga Pasal 1929-1945 KUH Perdata.

Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang

diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan

rriengingat akan sifat Maha Kuasa dan Tuhan, dan percaya bahwa siapa

yang tidak benar akan dihukum olehNya. Jadi pada hakekatnya sumpah

merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan

(Opcit 147).

Sumpah memberikan jaminan bahwa keterangan yang diberikan oleh

seseorang adalah sungguh-sungguh benar sesuai dengan apa yang nyata-

nyata terjadi, baik dialami sendiri, dilihat maupun didengar sendiri oleh

seseorang yang memberi keterangan di depan pengadilan sebagai seorang

yang beragama. Dengan adanya sumpah di depan pengadilan sebenarnya

seseorang dituntut untuk memberikan keterangan yang benar di depan

pengadilan. Serta untuk pertanggung jawaban atas kebenaran keterangan

23
seseorang tersebut diserahkan kepada Tuhan sebagai saksi Yang Maha

Mengetahui. Selanjutnya dalam suatu pemeriksaan perkara kepada pihak-

pihak yang berperkara akan diperintahkan atau diijinkan mengangkat

sumpah atau tidak adalah sepenuhnya wewenang judex facti atau hakim

yang memeriksa tentang duduknya perkara.

Dalam pemeriksaan perkara perdata, sumpah diucapkan oleh salah satu

pihak yang berperkara pada waktu memberi keterangan mengenal

perkaranya. Oleh karenanya, kata Wirjono Prodjodikoro, sebetulnya

sumpah bukanlah sebagai alat bukti. Sedangkan yang sebetulnya menjadi

alat bukti ialah keterangan salah satu pihak yang berperara yang dikuatkan

dengan sumpah (opcit: 122)

Ketentuan HIR/RBg pembagian sumpah terdiri dari 3 (tiga) macam

sumpah sebagai alat bukti, yaitu

A. Sumpah pelengkap (suppletoir) ialah sumpah yang diperintahkan oleh

hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi

pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasan putusannya.

Untuk dapat diperiritahkan bersumpah peierigkap kepada salah satu

pihak harus ada pembuktian permulaan Iebih dulu. Dan kepada pihak

manakah harus diperintahkan untuk bersumpah pelengkap iril terserah

sepenuhnya kepada hakim yang mempunyai inisiatif untuk membebani

sumpah.

B. Sumpah pemutus (decisior) ialah sumpah yang diperintahkan oleh

hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah

24
uang ganti kerugian. Di dalam praktek sering terjadi bahwa jumlah uang

ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang bersangkutart itu simpang

siur, maka soal ganti rugi ini harus dipastikan dengan pembuktian.

Hakim tidaklah wajib untuk membebani sumpah penaksiran ini kepada

penggugat.

C. Sumpah pemutus (decisoir) ialah sumpah yang dibebankan atas

permintaan salah satu pihak kepada Iawannya. Hal ini seperti pada

ketentuan Pasal 156 HIR atau 183 RBg., atau 1930 BW. Pihak yang

minta Iawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang pihak

yang harus bersumpah disebut delaat. Pada sumpah pemutus ini dapat

dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama

sekali.

Kekuatan pembuktian sumpah penaksiran ini sama dengan sumpah

pelengkap, yaitu bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian

lawan. Semeritara itu pada hakekatnya sumpah pemutus maupun sumpah

pelengkap bukanlah merupakan alat bukti, karena merupakan keterangan

sepihak, maka tidak mengherankan kalau ada sementara penulis yang

menghendaki agar sumpah sebagai alat bukti dikeluarkan dan Pasal 164

RBg.

D. Peninjauan Setempat Sebagai Alat Bukti

Sebagaimana uraian diatas bahwa selain alat bukti yang disebutkan dalam

pasal HIR atau 284 RBg., atau 1866 BW, maka diluar pasal pasal tersebut

masih terdapat alat alat bukti lagi yang dapat dipergunakan untuk memperoleh

25
kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu

(descente, gerechtellijk plaatsopening en bezichtinging) yang diatur pada Pasal

153 HIR atau 180 RBg serta alat bukti keterangan ahli (expertise) yang diatur

pada Pasal 154 HIR atau 181 RBg.

1. Pengertian Bukti Peninjauan Setempat

Ketentuan mengenai peninjauan setempat yang diatur dalam Pasal 153

HIR atau 180 RBg mengatakan demikian:

(1) Jika ditimbang perlu atau ada faedanya, maka ketua boleh mengangkat

satu atau dua orang komisaris dan pada dewan itu, yang dengan bantuan

panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan

peninjauan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan kepada hakim.

(2) Panitera pengadilan hendaklah membuat proses perbal atau berita acara

tentang pekerjaan itu dan hasilnya, yang perlu ditandatangani oleh

komisaris-komisaris dari panitera pengadilan itu.

(3) Dalam RBg : Jika tempat yang akan diperiksa itu terletak di luar daerah

hukum tempat kedudukan pengadilan itu, maka ketua dapat minta

kepada pemerintah setempat supaya melakukan atau menyuruh

melakukan pemeriksaan itu dan mengirimkan dengan selekas-Iekasnya

berita acara pemeriksaan itu.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., yang dimaksud dengan

perjanjian setempat atau descente ialah:

Pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang


dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar
hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan

26
yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang telah menjadi
sengketa. (1985:154)

Selanjutnya menurut pendapatnya Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro,

SH., mengatakan bahwa Pengadilan Negeri bisa menunjuk seorang atau dua

orang hakim komisaris untuk dengan dibantu oleh seorang panitera

mengadakan pemeriksaan keadaan di tempat. Berhubung Pengadilan Negeri

sekarang melakukan pemeriksaan perkara dengan seorang hakim, maka

hakim itu dapat pergi sendiri ke tempat keadaan untuk melihat sendiri situasi

setempat. (1980:87)

Prof. R. Subekti, SH., memberikan suatu pendapat mengenai isi Pasal

153 HIR agar Pasal tersebut disesuaikan dengan keadaan pada dewasa ini,

dimana Pengadilan Negeri terkadang memeriksa dengan hakim tunggal dan

kadangkadang dengan majelis. Menurut beliau agar Pasal tersebut berbunyi:

Apabila dianggap perlu untuk melihat keadaan setempat atau guna

keperluan lain yang amat mendesak, Pengadilan Negeri dapat bersidang

di luar gedung Pengadilan Negeri, yaitu di Kantor Kepala Lingkungan

atau Kantor Kecamatan. Pada kesempatan itu pengadilan dapat

melakukan pemeriksaan keadaan di tempat, mendengar pihak

penggugat atau tergugat di rumahnya atau memeriksa saksi yang

bersangkutan (1972:76)

Peninjauan ditempat (plaatselqke anderzoek, local investigation)

dilakukan dengan pergi ketempat barang yang menjadi sengketa obyek

27
perkara, yang tidak dapat dibawa ke muka persidangan, misalnya keadaan

pekarangan, bangunan, dan lain-lain.

Dan menurut Riduan Syahrani, SH., mengatakan bahwa yang dimaksud

dengan peninjauan setempat adalah pemeriksaan mengenai fakta-fakta atau

keadaan-keadaan suatu perkara yang dilakukan hakim karena jabatannya di

tempat obyek perkara berada (1983:79).

Dengan melakukan peninjauan setempat, hakim dapat melihat atau

mengetahui secara langsung bagaimana keadaan atau fakta-fakta suatu

perkara. Pada waktu pemeriksaan setempat mungkin batas dan luas tanah

yang menjadi sengketa dilakukan pengukuran kembali, bagaimana

terjadinya suatu tabrakan dapat dilakukan rekonstruksi, bagaimana keadaan

gudang yang runtuh yang mengakibatkan kecelakaan dapat diamati secara

teliti dan seterusnya.

Olehnya peninjauan setempat ini bukanlah pemeriksaan oleh hakim

secara pribadi, tetapi pemeriksaan oleh hakim karena jabatannya, oleh

karena itulah pemeriksaan yang bersifat pribadi oleh hakim itu tidak boleh

dijadikan bukti.

2. Peranan alat bukti pemeriksaan setempat

Hakim dalam memeriksa perkara harus mengetahui dengan jelas seluk

beluk suatu perkara kadangkala tidak selalu mudah, apalagi keterangan yang

disarripaikan pihak-pihak yang berperkara dipersidangkan sangat tajam

bertentangan satu sama lain. Selain itu terhadap suatu keadaan kadangkala

tidak bisa atau tidak begitu mudah dijelaskan secara lisan maupun tulisan,

28
bahkan dengan gambar atau sketsa sekaligus, sedangkan untuk membawa

obyek yang ingin dijelaskan tersebut ke depan sidang pengadilan tidak

mungkin, misalnya barang-barang temp (tidak bergerak).

Memeriksa barang bergerak oleh hakim pada umumnya tidak

mengalami kesukaran oleh karena barang-barang bergerak itu mudah

dibawa atau diajukan di pengadilan yang berlangsung di gedung pengadilan.

Bilamana yang akan diperiksa oleh hakim itu barang temp (tidak bergerak),

maka sukarlah untuk mengajukan barang tetap itu di persidangan di gedung

pengadilan. Kalau hakim ingin memperoleh kepastian dan tidak hanya

menggantungkan keterangan saksi atau surat, maka persidangan haruslah

dipindahkan ke tempat barang tetap tersebut untuk mengadakan

pemeriksaan setempat atau pemeriksaan di tempat atau penglihatan keadaan

oleh hakim karena jabatannya yang memeriksa perkara sebagaimana

diuaraikan sebelum, maka peninjauan setempat pada hakekatnya tidak lain

dari keharusan membuat berita acara oleh panitera, hanya saja persidangan

tersebut berlangsung di luar gedung dan tempat kedudukan pengadilan,

tetapi masih di dalam wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan. Dan

bilamana pemeriksaan setempat itu dilakukan di luar wilayah hukum

pengadilan tertentu, maka dilakukan derigan delegasi atau limpahan

pemeriksaan.

Terhadap pelaksanaan peninjauan setempat dilakukan sendiri oleh

hakim ketua sidang, hakim-hakim anggota (jika majelis) dan panitera

pengganti serta dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara. Dan jika

29
dipandang perlu pelaksanaan pemeriksaan setempat dengan

mengikutsertakan pula aparat keamanan (polisi) dan para teknisi seperti juru

ukur dan juru gambar dan Badan Pertanahan Nasional untuk membantu

demi kelancaran pemeriksaan setempat tersebut.

Menurut Mr. R. Tresna bahwa Pasal 153 HIR ini adalah suatu

pelaksanaan dari asas yang sifatnya umum, yaitu bahwa hakim sebera boleh

harus mendapat keterangan yang jelas di dalam perkaranya, dengan

mengadakan pemeriksaan sendiri agar terdapat kebenaran. Oleh karena itu,

menurut pendapat beliau tidak ada keberatannya jika Ketua pun di dalam

susunan Pengadilan Negeri sekarang ini mengangkat seorang atau dua orang

komisaris dan Pengadilan Negeri untuk mengadakan pemeriksaan setempat.

Pokoknya ialah supaya dapat diadakan peninjauan setempat, misalnya

tentang keadaan pekarangan, bangunan-bangunan dan sebagainya, yang

tidak dapat dibawa ke muka sidang (Tresna 1989:155).

Peranan hakim pada Pengadilan Negeri selagai judex facti harus

memeriksa fakta-fakta dari suatu perkara dengan sebaik-baiknya, sehingga

Ia mengetahui dengan jelas segala seluk-beluknya. Dengan demikian ia

akan dapat mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya dan memberikan

putusan yang seadil-adilnya, menurut peraturan hukum yang berlaku.

Adanya peninjauan setempat itu, hakim mendapat kepastian tentang

peristiwa yang dikemukakan di dalam persidangan. Hasil pemeriksaan

setempat yang dituangkan dalam berita acara itu merupakan bahan resmi,

30
sehingga menjadi dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan

yang tepat.

Dengan demikian jelaslah bahwa peninjauan setempat bukan dilakukan

oleh hakim secara pribadi, tetapi dilakukan karena jabatannya, yang

dilakukan kalau dianggap perlu dan berguna bagi pemeriksaan suatu

perkara. walaupun peninjauan setempat ini dilakukan hakim karena

jabatannya namun pihak-pihak yang berperkara dapat memohon agar

dilakukan setempat tersebut, tapi yang menentukan tetap hakim ketua

sidang pengadilan. Dalam putusan tanggal 21 Januari 1974 No. 612

K/Sip/1973 Mahkamah Agung menyatakan bahwa perlu tidaknya diadakan

pemeriksaan setempat adalah Wewenang Judex facti (Ridwan Syahrani

1988: 80).

Sekalipun peninjauan setempat ini tidak dimuat di dalam Pasal 164 HIR

atau 284 RBg., atau 1866 KUH Perdata sebagai alat bukti, tetapi oleh karena

tujuan pemeriksaan setempat atau pemeriksaan di tempat atau penglihatan

keadaan ialah agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang

menjadi sengketa, maka peranan pemeriksaan setempat pada hakekatnya

adalah sebagai alat bukti.

Berdasarkan pada pandangan para ahli hukum mengenai setempat serta

dan tujuan pemeriksaan setempat itu sendiri seperti yang telah diuraikan

terdahulu, maka penulis juga sependapat bahwa setempat dapat berperan

sebagai alat bukti yaitu untuk menambah keyakinan hakim tentang keadaan

atau fakta-fakta yang tidak dapat dikemukakan di depan sidang pengadilan.

31
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengajuan Bukti Peninjauan Setempat Pada Persidangan Perdata

Uraian pada bab bab terdahulu, bahwa dalam pelaksanaan tugas hakim

pada Pengadilan Negeri selalu judex facti harus memeriksa fakta-fakta dan

suatu perkara dengan sebaik-baiknya dan memberikan putusan yang seadil-

adilnya, menurut peraturan hukum yang berlaku.

Ada kalanya seorang hakim untuk dapat mengadakan putusan yang tepat,

membutuhkan tindakan melihat atau memeriksa langsung keadaan yang

menjadi dasar soal perselisihan antara para pihak yang bersengketa.

Pemeriksaan barang bergerak oleh hakim pada umumnya tidak mengalami

kesulitan, mungkin perkaranya mengenai barang perhiasan permata dan ada

perselisihan mengenai wujud dari perhiasan itu. Dalam hal ini barang itu harus

dibawa dalam persidangan dan diperlihatkan kepada hakim. Sedangkan yang

akan diperiksa oleh hakim itu barang tetap atau tidak bergerak, maka sukarlah

untuk mengajukan barang tetap itu pada persidangan di gedung pengadilan.

Mungkin perkaranya mengenai suatu keadaan yang istimewa dan sebidang

tanah atau suatu rumah pendiaman, misalnya bilamana ada perselisihan

mengenai batas dua bidang tanah yang bergandengan atau ada perselisihan

mengenai hak atas suatu bagian dari rumah kediaman. Dalam hal yang demikian

seringkali dianggap berguna oleh hakim karena jabatannya untuk melihat

32
sendiri keadaan itu di tempat yang bersangkutan, atau biasa disebut dengan

pemeriksaan setempat.

Sebagaimana praktek di Pengadilan Negeri, untuk diadakan atau

dipergunakannya setempat pada persidangan perkara perdata agar dapat

dijadikan sebagai alat bukti, hal ini dapat terjadi dari:

1. Para pihak yang berperkara, dalam hal ini dari pihak penggugat maupun

pihak tergugat dapat memohon kepada hakim agar dilakukan penggunaan

pemeriksaan setempat. Dikabulkan tidaknya permohonan untuk

mengadakan pemeriksaan setempat adalah wewenang hakim sebagai judex

facti.

2. Dilakukan oleh hakim karena jabatannya dengan pertimbangan rasa

keadilan dan tentunya akan berguna bagi pemeriksaan suatu persidangan

perkara berdasarkan peraturan hukum yang berlaku.

Pelaksanaan peninjauan setempat itu, hakim mendapat kepastian tentang

peristiwa yang dikemukakan pada persidangan perkara perdata yang sedang

diperiksanya. Hasil pemeriksaan setempat dibuat dalam berita acara oleh

panitera pengganti yang merupakan bahan resmi, sehingga menjadi dasar

pertimbangan hakim dalam mengambil putusan yang adil dan tepat.

Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang diberiarkan oleh Mahkamah Agung

yang menyatakan bahwa seorang juru sita atau wakilnya yang ditunjuk secara

sah oleh hakim Pengadilan Negeri untuk melaksanakan perintah hakim tersebut

dari hasil pemeriksaan setempat itu dapat menjadi keterangan bagi hakim yang

bersangkutan dalam pemeriksaan dan memutus suatu perkara yang dihadapinya

33
itu. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 31-7-1975 No.

966 K/Sip/1975 pada perkara perdata antara Eli Megawe melawan Babo Tohea

dan Leobar Tumengken (RY, II, 1977, halaman. 228).

Penggunaan peninjauan setempat sebagai alat bukti oleh dalam

perakteknya di Pengadilan Negeri, tidak diisyaratkan harus menunggu terlebih

dahulu penggunaan alat-alat bukti yang tercantum dalam Pasal 164 HIR atau

284 RBg., atau 1866 KUH Perdata. Atau dengan kata lain bahwa untuk

penggunaan pemeriksaan setempat sebagai bukti, tata urutan penggunaannya

dapat dikedepankan dahulu pada suatu persidangan perkara perdata. Dan hal ini

sudah tentu menurut pertimbangan yang tepat oleh hakim.

Dari hasil pemeriksaan setempat dapat digolongkan dalam pengetahuan

hakim. Pada praktek di Pengadilan Negeri, hasil dari peninjauan setempat ini

sangat besar pengaruhnya untuk pembuatan putusan pengadilan oleh hakim,

artinya bahwa hasil setempat ini mempunyai kekuatan pembuktian. Meskipun

pada dasarnya untuk kekuatan pembuktian dan hasil pemeriksaan setempat ini

diserahkan pada pertimbangan hakim peninjauan di Pengadilan Negeri,

pelaksanaan penggunaan setempat dilakukan sendiri oleh hakim ketua sidang,

hakim-hakim anggota (bila majelis) dan panitera pengganti. Selanjutnya para

pihak yang berperkara diharuskan hadir pada setiap diadakan peninjauan

setempat. Dan bilamana dipandang perlu oleh hakim, dapat mengikutsertakan

seperti aparat dari kelurahan atau desa, kecamatan, kabupaten, pihak kepolisian,

para teknisi di bidang pertanahan dan Badan Pertanahan Nasional dan Pejabat

Pembuat Akta Tanah.

34
Adapun biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri untuk

pemeriksaan setempat ini dibebankan kepada pihak penggugat, sebelum

penggugat mendaftarkan gugatannya di Pengadilan yang berkompeten untuk

memeriksa perkara, pihak penggugat harus membayar terlebih dahulu persekot

atau uang muka biaya perkaranya.

Dalam praktek di Pengadilan Negeri penggunaan pemeriksaan setempat ini

biasanya dilakukan berkenaan dengan hal-hal misalnya:

1. Batas-batas tanah.

2. Lokasi tanah / bangunan

3. Keadaan pekarangan, dan

4. Batas atau keadaan barang yang menjadi sengketa perkara dengan tidak

dapat dibawa ke muka sidang pengadilan.

B. Hambatan dalam hal pelaksanaan pengajuan bukti peninjauan setempat

Sebagaimana dalam praktek bahwa penggunaan pemeriksaan setempat

masih sering dijumpai beberapa hambatan. Hal ini akan menimbulkan banyak

akibat yang tidak diinginkan, baik terhadap Pengadilan Negeri sendiri dalam

memeriksa perkara lebih lanjut maupun terhadap para pihak yang berperkara

maupun terhadap masyarakat pada umumnya yang kini sedang berada dalam

tata kehidupan yang sedang berkembang hambatan hambatan yang antara lain

seperti :

1. Letak objek perkara setempat di Luar daerah hukum Pengadilan Negeri,

dalam hal ini sebagai Pengadilan Negeri yang berkompeten untuk

memeriksa perkara.

35
Menurut ketentuan Pasal 180 (3) RBg, yang menyatakan: Jika tempat yang

akan diperiksa itu terletak di luar deerah hukum, tempat kedudukan

pengadilan itu, maka ketua dapat minta kepada pejabat pemerintah setempat

supaya melakukan pemeriksaan itu dan mengirimkan dengan selekas-

Iekasnya berita acara pemeriksaan itu.

Meskipun telah ada ketentuan yang mengatur pemeriksaan setempat

terhadap obyek atau benda sengketa dan para pihak yang terletak di luar

daerah hukum tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang berkompeten.

Akan tetapi dalam praktek di Pengadilan Negeri, hal ini masih merupakan

salah satu hambatan untuk diadakannya penggunaan pemeriksaan setempat.

2. Karena adanya perubahan batas, misalnya terjadi terhadap perkara

mengenai batas dua bidang tanah yang dipersengketakan, oleh karena pohon

yang semula ada dan menjadi batas kedua bidang tanah tersebut telah

tumbang atau ditebang atau batas dengan sebuah selokan yang telah digeser.

Pernah juga terjadi pemeriksaan setempat terhadap rumah yang dibongkar

secara paksa oleh pihak tergugat, adanya barang-barang dagangan tergugat

yang rusak akibat warung tergugat yang rusak akibat warung tergugat

ditutup oleh penggugat dan sebagainya.

3. Karena kerusuhan atau terjadi perkelahian para pihak.

Hambatan ini terjadi dikarenakan misalnya para pihak tetap

berpegang pada pendirian atau pendapatnya mengenai batas-batas tanah

atau keadaan-keadaan lainnya yang menjadi obyek sengketa, hal ini dapat

dipahami sebab bilamana tidak ada perselisihan mengenai hak-hak tersebut,

36
maka sebagai konsekuensinya tidak akan muncul suatu perkara dari para

pihak di Pengadilan.

Hanya saja bila berdasar pada aturan hukum sebenarnya tidak ada

alasan untuk terjadinya suatu hambatan karfena hal tersebut adalah bahagian

dalam proses penyelesaian perkara demi kelancara pemeriksaan perkara di

pengadilan.

37
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Setelah diuraikan pembahasan pada bab bab terdahulu mengenai masalah

pelaksanaan penggunaan alat bukti setempat pada persidangan perkara perdata,

dengan berdasarkan landasan peraturan hukum pembuktian yang berlaku, maka

dapatlah diambil suatu simpulan sebagai berikut :

1. Bahwa jila pemeriksaan barang bergerak oleh hakim maka pada prinsipnya

tidak mengalami hambatan, sebab barang bergerak itu mudah dibawa atau

diajukan ke persidangan yang berlangsung di gedung pengadiIan. Namun

jika yang akan diperiksa hakim itu barang tetap atau tidak bergerak, maka

sukarlah untuk mengajukan barang tetap itu pada persidangan pengadilan.

Untuk itu hakim dalam mendapatkan kepastian hukum mengenai peristiwa-

peristiwa yang menjadi perselisihan dari para pihak yang berperkara, maka

perlu untuk menggunakan peninjauan setempat oleh hakim karena

jabatannya.

2. Bahwa peninjauan setempat (descente, gerechtelijk plaatsopening en

bezichtinging) diatur pada Pasal 153 HIR atau Pasal 180 RBg. Pemeriksaan

setempat bukan dilakukan oleh hakim secara pribadi, tetapi dilakukan

karena jabatannya. Oleh karena itu pemeriksaan setempat yang bersifat

pribadi dari hakim tidak dapat dijadikan sebagai bukti, dengan demikian

maka peranan dari efektif alat bukti peninjauan setempat pada praktek

38
persidangan perkara perdata adalah sangat besar pengaruhnya untuk

pembuatan putusan pengadilan oleh hakim, atau dengan kata lain bahwa

hasil setempat ini mempunyai kekuatan pembuktian hagi pembuatan

putusan pengadilan. Walaupun kekuatan pembuktian dari hasil

peninjauan setempat ini diserahkan pada pertimbangan hakim.

3. Bahwa penggunaan peninjauan setempat pada persidangan perdata sebagai

bukti, hal ini dapat terjadi dari :

- Adanya permohonan para pihak untuk dilakukan penggunaan

peninjauan setempat kepada hakim.

- Hakim karena jabatannya yang memeriksa perkara.

Dengan merujuk pada aturan dalam pasal 164 HIR dan 284 RBg atau pasal

1866 KUHPerdata hal itu karena berkenaan dengan masalah :

a. Batas batas tanah

b. Batas letak suatu bangunan

c. Karena sepadan pekarangan atau

d. Keadaan barang tetap yang tidak mungkin dibawah ke pengadilan

4. Bahwa hambatan hambatan pelaksanaan penggunaan peninjauan setempat

pada persidangan perkara perdata sebagai berikut :

- Berkaitan letak objek perkara peninjauan setempat di luar daerah hukum

tempat kedudukan Pengadilan Negeri.

- Karena hilangnya batas batas alam

- Karena terjadi kerusuhan atau perkelahian diantara para pihak.

39
B. Saran

1. Untuk meningkatkan efektivitas dari penggunaan peninjauan setempat

sebagai alat bukti pada persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri

maka disarankan bilamana dalam pembuatan undang undang yang beserta

peraturan pelaksanaannya terhadap hukum acara perdata yang baru sudah

selayaknya peninjauan setempat dicantumkan sebagai alat bukti yang sah

serta sejajar dengan alat alat bukti sebagaimana tercantum dalam pasal

164 HIR atau 284 RBg atau pasal 1866 KUHPerdata.

40
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, 1990. Hukum Acara Perdata Indonesia.


Alumni, Bandung.

Poerwo Adji Moelyono, D.mochtar Abdy,ET,al Pengantar Metode Penelitian


Ilmu Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial Penerbit Fero Lima. Malang 1988.

Riduan Syahrani, 2001, Hukum pembuktian. Bina Aksara, Jakarta.

.., Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Penerbit


Pustaka Kartini Jakarta.

K.Wanjik Saleh, 1982. Hukum Acara Perdata. Ghalia Indonesia, Jakarta.

M. Dahlan Saleh, 1970. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Yayasan pembinaan


Pekerjaan Sosial, Ujung Pandang.

Retnowulari Sutantio dan Iskandar Oenpkartawinata, 1989. Hukum Acara Perdata


Dalam Teori dan Praktek. Mandar Maju, Bandung.

R. Subekti, 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya Paramitha,


Jakarta

..2000. Hukum Pembuktian. Pradnya Paramitha, Jakarta.

..2002. Hukum Acara Perdata. Bina Cipta, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 1985. Hukum Acara Perdata. Liberty, Yogyakarta.

Syahraini Riduan, 1988. Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Umum.


Pustaka Kartini, Jakarta.

R. Soepomo, 1980. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Pradnya Paramitha, Jakarta.

R. Tresna, 1984. Komentar HIR. Pradnya Paramitha Jakarta.

R. Wirjono Projodikoro, 1980. Hukum Acara Perdata Indonesia. Sumur,


Bandung.

41

También podría gustarte