Está en la página 1de 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus

pterygium cukup sering didapati. Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya

matahari atau penghuni di negara tropika. Apalagi karena faktor risikonya adalah

paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh papaparan

alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan), karena sering

terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada pada di lingkungan

berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. 1,5

Pterygium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral

di sisi nasal. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea

digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas

sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil

kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva

dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.7

1.2. Tujuan

Pada laporan kasus ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pterygium

dimulai dari anatomi konjuntiva, epidemiologi, etiologi, gejala klinis,

patofisiologi, patogenesis, komplikasi, penatalaksanaan hingga prognosis

pterygium.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata

bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.

Konjungtiva inimengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.1

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar

digerakkan dari tarsus.

Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera

dibawahnya.

Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal

dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan

dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata

mudah bergerak. 1

Gambar 1 : Anatomi Konjungtiva 2

2
2.2. Anatomi Kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus

cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 1

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel

Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang

saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke

depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel

gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel

poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini

menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan

barrier.

epitel berasal dari ektoderm permukaan.1

2. Membran Bowman

Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan

kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari

bagian depan stroma.

Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.1

3. Stroma

Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu

dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang

di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali

3
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai

15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan

fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit

membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio

atau sesudah trauma.2

4. Membrane descement

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma

kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.

Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai

tebal 40m.2

5. Endotel

Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-

40m. endotel melekat pada membrane descement melalui

hemidesmosom dan zonula okluden.2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf

siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,

masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan

selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis

terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di

daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi

dalam waktu 3 bulan.1

4
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system

pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema

kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.1

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata

di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40

dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.1

Gambar 2 : Anatomi Kornea 8

2.3. Definisi Pterygium

Menurut kamus kedokteran Dorland, pterygium adalah bangunan mirip

sayap, khususnya untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang abnormal dalam

fisura interpalpebralis, yang membentang dari konjungtiva ke kornea, bagian

apeks lipatan ini menyatu dengan kornea sehingga tidak dapat digerakkan

sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera, dan kemudian bagian

dasarnya menyatu dengan konjungtiva. 6

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium adalah poliferasi

jaringan subconjunctiva berupa granulasi fibrovaskular dari nasal konjuntiva

5
bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi

permukaannya. 7

Pterygium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk

segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular

konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif .1

Gambar 3 : Pterygium 1

Gambar 4 : Pterygium 8

2.4 Epidemiologi

Kejadian pterygium tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi meningkat

pada daerah ekuator antara 0,7% sampai 31% tergantung pada populasi dan

tempat tinggal. Penduduk daerah tropis seperti Indonesia dengan paparan sinar

6
matahari tinggi memiliki resiko pterigium lebih besar daripada penduduk non

tropis. Hasil survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mendapatkan prevalensi

pterigium di Indonesia pada kedua mata sebesar 3,2% dan prevalensi pterygium

satu mata sebesar 1,9%. Prevalensi pterygium kedua mata tertinggi di Provinsi

Sumatera Barat yaitu sebesar 9,4% dan prevalensi pterygium satu mata tertinggi

di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 4,1%. Prevalensi pterigium satu

mata di Bali didapatkan sebesar 2,2% dan pterygium kedua mata didapatkan

sebesar 4,4%. 1,6

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada

lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang

dari 2% untuk daerah diatas 40olintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis

lintang 28-36o. Terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dan daerah yang

terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat

disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif

angka kejadian di lintang bawah.7,8

Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi

visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi

sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.3

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya 7,8 :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali

lebih banyak dibandingkan wanita.

7
2. Umur

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20

tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang

tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20 sampai 40 tahun dilaporkan

mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi.7,8

2.5 Etiologi

Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu

neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterygium diduga merupakan fenomena

iritatif kronis akibat sinar ultraviolet, debu, udara panas, pengeringan dan

lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan

pterygium antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain yang terbang

masuk ke dalam mata. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik

untuk kondisi ini. 2,3

2.6 Patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan

ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan

pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.6 Pterygium ini biasanya

bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak

dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva

akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke

meatus nasi inferior.7

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih

banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping

8
kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara

tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal

konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian

temporal.7

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan

proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,

Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan

basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat

dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang

sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.2,7

Histologi, pteryium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel

yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E. Berbentuk

ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang

dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan

fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin

acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area

hiperplasia dari sel goblet.2

9
Gambar 5 : Histologi Pterygium 2

2.7 Patogenesis

Patogenesis terjadinya pterigium belum diketahui dengan jelas. Beberapa

penelitian menunjukkan korelasi pterigium dengan paparan sinar UV, inflamasi,

paparan angin, debu dan iritasi kronis lainnya (American Academy of

Ophthalmology and Staff, 2011-2012). Pterigium ditemukan lebih sering terjadi

pada daerah dengan paparan tinggi sinar UV khususnya pada ekuator. Selain itu,

pterigium juga banyak ditemukan pada pekerja aktif diluar ruangan. 7,8

Teori lain yang menjelaskan terjadinya pterygium adalah abnormalitas

lapisan air mata, iritasi kronis okular, inflamasi kronis dengan produksi faktor

angiogenesis, mekanisme imunologik, faktor herediter, pembentukan jaringan

elastis serta infeksi okular oleh virus Human Papilloma. Hampir setengah kasus

pterigium menunjukkan ekspresi abnormal p53 tumor supresor gen, yaitu suatu

marker neoplasia yang bertanggung jawab pada siklus sel, diferensiasi sel dan

proses apoptosis. 7

10
Lapisan dan fungsi air mata yang abnormal pada pterigium merupakan

faktor resiko perkembangan pterigium walaupun ada penelitian menunjukkan

fungsi air mata tetap normal pada pterigium. Lapisan air mata adalah mekanisme

pertahanan pertama akibat trauma lingkungan seperti paparan UV, debu, angina

atau iritan lain. Beberapa penulis menemukan sebaliknya, bahwa adanya patologi

konjungtiva atau kornea seperti pterigium yang akan mengakibatkan gangguan

fungsi air mata (Li, et al., 2007; XingMing, et al., 2012)

11
Gambar 6 : Patogenesis pterygium 7

2.8 Gejala Klinis

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa

keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien

antara lain 3,5:

Mata sering berair dan tampak merah

12
Merasa seperti ada benda asing

Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium

tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme

irreguler sehingga mengganggu penglihatan

Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan

aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.

2.9 Pemeriksaan Fisik

Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada sclera ke arah

limbus, berkembang menuju kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan

konjungtiva tampak merah akibat dari iritasi dan peradangan.5

Gambar 7 : Terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas

fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea.2,7

Derajat pertumbuhan pterygium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang

tertutup oleh pertumbuhan pterygium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis

menurut Youngson) 2,7 :

Derajat 1 : Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

13
Derajat 2 : Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak

lebih dari 2 mm melewati kornea

Derajat 3 : Jika pterygium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak

melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter

pupil sekitar 3-4 mm)

Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil

sehingga mengganggu penglihatan.10

2.10 Diagnosis

Pada anamnesis ditemukan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu

atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini

mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-

lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari

peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin

tampak lebih kering dari biasanya.4

Dari anamnesis penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan

terhadap sinar matahari atau partikel debu. Uji ketajaman visual dapat dilakukan

untuk melihat apakah visus terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp

diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut.4

2.11 Diagnosis Banding

1. Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang

berwarna kekuningan.

14
Gambar 8 : Pinguekula 7

2. Pseudopterygium

Pterygium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterygium

yang merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea.

Pseudopterygium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang

cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus

kornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea.

Pseudopterygium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura

palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada pseudopterygium juga dapat

diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigyum tidak. Pada

pseudopterygium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya

kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain

pseudopterygium, pterygium dapat pula didiagnosis banding dengan

pannus dan kista dermoid.2,4

15
Gambar 9 : Pseudopterygium

Perbedaan pterygium dengan pseudopterigium 2,4

Pterygium Pseudopterigium

Sebab Proses degenerative Reaksi tubuh penyembuhan

dari luka bakar, GO, difteri,

dll

Kekambuhan Residif Tidak

Usia Dewasa Anak

2.12 Penatalaksanaan

1. Konservatif

Pada pterygium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterygium

derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes

mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.

Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan

16
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan

pada kornea.4

2. Bedah

Pada pterygium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi

pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterygium maka bagian

konjungtiva bekas pterygium tersebut ditutupi dengan cangkok

konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk

menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterygium

yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan

komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.

Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium

yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup

berat.4,8

A. Indikasi Operasi 4,8

1. Pterygium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

2. Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi

pupil

3. Pterygium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair

dan silau karena astigmatismus

4. Penurunan visus akibat pterigium menutupi aksis visual atau akibat

pterygium menginduksi astigmat ireguler kornea

5. Gerak bola mata terbatas akibat restriksi

6. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

17
7. Terjadi pertumbuhan pterygium secara progresif ke arah aksis

visual yang memungkinkan terjadinya penurunan visus.

B. Teknik Pembedahan

Risiko dari terapi pembedahan pterygium adalah kekambuhan,

dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea.

Keuntungan teknik pembedahan yaitu epithelisasi yang lebih cepat,

jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.

Berikut beberapa teknik pembedahan.1

1. Teknik Bare Sclera

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara

memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan

tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan

dalam berbagai laporan.8

2. Teknik Autograft Konjungtiva

Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen

dan setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur

ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva

bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di

eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk

hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara

hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima,

manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft

tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia

18
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi

pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah

dengan teknik ini.8

3. Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk

mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari

penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian

besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran

amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan

fibrosis dan epithelialisai. Namun, tingkat kekambuhan sangat

beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 % dan 10,7 % untuk

pterygium primer dan setinggi 37,5 % untuk kekambuhan

pterygium. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft

konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran

Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan membran

basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.

Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin

untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan

episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam

autografts konjungtiva.8

C. Terapi Tambahan

Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi

terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi

19
tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygium.

Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh

cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari

terapi tersebut.4,8

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan

karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya

mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan

efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan:

aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi

pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah

operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan

MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.8

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah

kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan

cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari

angka kekambuhan yang terjadi. Untuk mencegah terjadi

kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian


4,8
:

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari

selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone

0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6

minggu.

20
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14

hari, diberikan bersamaan dengan salep mata

dexamethasone.

3. Sinar Beta.

4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata

: 1 tetes/ 3 jam selama 6minggu, diberikan bersamaan

dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroidselama

1 minggu.

2.13 Komplikasi

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut 3 :

Iritasi

Gangguan pergerakan bola mata.

Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

Dry eye sindrom

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut 3 :

Infeksi

Ulkus kornea

Graft konjungtiva yang terbuka

Diplopia

Adanya jaringan parut di kornea

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterygium adalah kekambuhan.

Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini

21
bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau

transplant membran amnion pada saat eksisi.3

2.14 Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan,

petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai

kacamata pelindung sinar matahari.4

2.15 Prognosis

Pterygium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.

Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata

atau beta radiasi.4

22
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. NNK

Tanggal lahir :12 Desember 1973

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Hindu

Suku bangsa : Bali, Indonesia

Pekerjaan : IRT

Alamat : Pulesari, Kawan, Bangli

MRS : 11 September 2017

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis)

Keluhan Utama:

Mata perih dan sering merah

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Pasien datang mengeluh mata yang perih dan sering muncul

kemerahan sejak lama. Pasien juga mengeluh penglihatannya yang kabur

dan terasa silau saat melihat. Pasien mengaku tidak pernah berobat

sebelumnya, namun beberapa hari yang lalu pasien sempat ke puskesmas

dan dikatakan akan dirujuk dan dioperasi di Denpasar dan sudah dibuatkan

jadwal operasinya, sekarang pasien hendak meminta rujukan untuk

dilaksanakan operasi tersebut.

23
Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat memakai kacamata (-)

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat diabetes mellitus disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:

Keluhan serupa seperti pasien disangkal. Tidak ada riwayat memakai

kacamata, riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : tampak sakit ringan

Kesadaran : compos mentis

Tekanan darah : 140/90 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Pernafasan : 20 x/menit

Suhu : 36 oC

Status Oftamologis

OD OS

24
Visus 20/50 20/50

Kedudukan Bola Mata Orthoforia

Gerakan Bola Mata

Segmen Anterior

Silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)

Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)

Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)

Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)

Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)

Konjungtiva bulbi Injeksi (-) Injeksi (-)

Kornea Terdapat jaringan Terdapat jaringan

fibrovaskular dari tepi fibrovaskular dari tepi

limbus hingga tepi limbus hingga tepi

kornea kornea

Bilik Mata Depan Sedang, jernih Sedang

Iris Kripta iris normal Kripta iris normal

Pupil Bulat, RC (+) Bulat, RC (+)

Lensa Jernih Jernih

25
Pemeriksaan Tonometri : Tidak dilakukan

Pemeriksaan Gonioskopi : Tidak dilakukan

3.4 Diagnosis Kerja

ODS Pterigium grade II

3.5 Diagnosis Banding

Pinguekula

Pseudopterygium

3.6 Penatalaksanaan

OD Eksisi Pterigium + conjungtival limbal graft

Ciprofloksasin 2 x 500 mg

Paracetamol 3 x 500 mg

Xitrol 6 x1 OD

3.7 Prognosis

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Gambar 10 : OD post op pterygium

26
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan Kasus

Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Bangli diantar oleh keluarganya

dengan keluhan utama mata perih dan sering merah pada kedua mata sejak lama.

Pasien juga mengaku penglihatan kabur dan pandangan silau pada kedua mata.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya gambaran jaringan seperti lemak yang

menutupi kedua mata pasien. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien

didiagnosis sebagai suatu pterygium.

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeneratif dan invasif. Penduduk Indonesia memiliki risiko tinggi

terkena pterigium. Hal ini diduga berkaitan dengan paparan sinar matahari

berlebihan yang diterima oleh mata.

Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis.

Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan

khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat

lesi pterigium sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke

kornea pada daerah fisura interpalpebralis, berwarna putih kekuningan. Bedakan

lesi pterygium dengan pinguekula dan pseudopterigium. Derajat pterygium dapat

dinilai dengan melihat luas pterygium. Penentuan derajat pterygium sangat

penting untuk penatalaksanaan selanjutnya. Prinsip penanganan pterygium dibagi

2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih kecil,

sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium dengan minimal derajat 2.

27
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pterygium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan

merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini di

karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga

banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab

dari pterygium.

Pterygium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki

lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena

faktor degeneratif. Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala

apapun(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah,

sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari

stadiumnnya.

Pterygium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan

pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak konstan. Terdapat periode klinis yang

tenang, dan periode pertumbuhan yang cepat. Pterigium yang progresif tumbuh

dan menjalar sampai ke tengah kornea sehingga dibutuhkan tindakan

pembedahan. Pada fase awal yang berjalan lambat tidak diperlukan pembedahan.

Dengan pengecualian pasien meminta pembedahan dengan alasan kosmetik. Pada

tipe yang progresif pasien akan mengeluh tentang irtitasi atau penglihatan yang

terganggu akibat pertumbuhan pterigium tersebut. Bila pterygium telah menjalar

mendekati pupil, tindakan pembedahan harus dilakukan.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
hal:2-6, 116 117
2. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
3. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.
Philadelphia:Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
4. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbit Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
5. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P.
Whitcher edisi 17Jakarta : EGC, 2009 Hal 119
6. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorlands Illistrated Medical
Dictionary. 29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
7. American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org
8. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2012.
Management of Pterygium.
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm

29

También podría gustarte