Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
pterygium cukup sering didapati. Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya
matahari atau penghuni di negara tropika. Apalagi karena faktor risikonya adalah
paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh papaparan
alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan), karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada pada di lingkungan
degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral
digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas
sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil
1.2. Tujuan
Pada laporan kasus ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pterygium
pterygium.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
dibawahnya.
mudah bergerak. 1
2
2.2. Anatomi Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 1
1. Epitel
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
barrier.
2. Membran Bowman
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
3
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai
4. Membrane descement
tebal 40m.2
5. Endotel
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di
daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
4
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.1
sayap, khususnya untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang abnormal dalam
apeks lipatan ini menyatu dengan kornea sehingga tidak dapat digerakkan
sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera, dan kemudian bagian
5
bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaannya. 7
Gambar 3 : Pterygium 1
Gambar 4 : Pterygium 8
2.4 Epidemiologi
pada daerah ekuator antara 0,7% sampai 31% tergantung pada populasi dan
tempat tinggal. Penduduk daerah tropis seperti Indonesia dengan paparan sinar
6
matahari tinggi memiliki resiko pterigium lebih besar daripada penduduk non
tropis. Hasil survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mendapatkan prevalensi
pterigium di Indonesia pada kedua mata sebesar 3,2% dan prevalensi pterygium
satu mata sebesar 1,9%. Prevalensi pterygium kedua mata tertinggi di Provinsi
Sumatera Barat yaitu sebesar 9,4% dan prevalensi pterygium satu mata tertinggi
di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 4,1%. Prevalensi pterigium satu
mata di Bali didapatkan sebesar 2,2% dan pterygium kedua mata didapatkan
dari 2% untuk daerah diatas 40olintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. Terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dan daerah yang
terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
1. Jenis Kelamin
7
2. Umur
2.5 Etiologi
iritatif kronis akibat sinar ultraviolet, debu, udara panas, pengeringan dan
pterygium antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain yang terbang
2.6 Patofisiologi
bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak
dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
8
kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal
temporal.7
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat
dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.2,7
9
Gambar 5 : Histologi Pterygium 2
2.7 Patogenesis
pada daerah dengan paparan tinggi sinar UV khususnya pada ekuator. Selain itu,
pterigium juga banyak ditemukan pada pekerja aktif diluar ruangan. 7,8
lapisan air mata, iritasi kronis okular, inflamasi kronis dengan produksi faktor
elastis serta infeksi okular oleh virus Human Papilloma. Hampir setengah kasus
pterigium menunjukkan ekspresi abnormal p53 tumor supresor gen, yaitu suatu
marker neoplasia yang bertanggung jawab pada siklus sel, diferensiasi sel dan
proses apoptosis. 7
10
Lapisan dan fungsi air mata yang abnormal pada pterigium merupakan
fungsi air mata tetap normal pada pterigium. Lapisan air mata adalah mekanisme
pertahanan pertama akibat trauma lingkungan seperti paparan UV, debu, angina
atau iritan lain. Beberapa penulis menemukan sebaliknya, bahwa adanya patologi
11
Gambar 6 : Patogenesis pterygium 7
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien
12
Merasa seperti ada benda asing
Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan
limbus, berkembang menuju kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan
Gambar 7 : Terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas
tertutup oleh pertumbuhan pterygium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
13
Derajat 2 : Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
2.10 Diagnosis
Pada anamnesis ditemukan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu
atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini
mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-
peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin
terhadap sinar matahari atau partikel debu. Uji ketajaman visual dapat dilakukan
1. Pinguekula
berwarna kekuningan.
14
Gambar 8 : Pinguekula 7
2. Pseudopterygium
yang merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea.
cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus
15
Gambar 9 : Pseudopterygium
Pterygium Pseudopterigium
dll
2.12 Penatalaksanaan
1. Konservatif
derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes
mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
16
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan
pada kornea.4
2. Bedah
berat.4,8
2. Pterygium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
17
7. Terjadi pertumbuhan pterygium secara progresif ke arah aksis
B. Teknik Pembedahan
18
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
autografts konjungtiva.8
C. Terapi Tambahan
19
tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygium.
terapi tersebut.4,8
mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan
cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
minggu.
20
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14
dexamethasone.
3. Sinar Beta.
1 minggu.
2.13 Komplikasi
Iritasi
Infeksi
Ulkus kornea
Diplopia
Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini
21
bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau
2.14 Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan,
petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai
2.15 Prognosis
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata
22
BAB III
LAPORAN KASUS
Agama : Hindu
Pekerjaan : IRT
Keluhan Utama:
dan terasa silau saat melihat. Pasien mengaku tidak pernah berobat
dan dikatakan akan dirujuk dan dioperasi di Denpasar dan sudah dibuatkan
23
Riwayat Penyakit Dahulu:
Status Generalis
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36 oC
Status Oftamologis
OD OS
24
Visus 20/50 20/50
Segmen Anterior
Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)
Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)
kornea kornea
25
Pemeriksaan Tonometri : Tidak dilakukan
Pinguekula
Pseudopterygium
3.6 Penatalaksanaan
Ciprofloksasin 2 x 500 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Xitrol 6 x1 OD
3.7 Prognosis
26
BAB IV
PEMBAHASAN
dengan keluhan utama mata perih dan sering merah pada kedua mata sejak lama.
Pasien juga mengaku penglihatan kabur dan pandangan silau pada kedua mata.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya gambaran jaringan seperti lemak yang
menutupi kedua mata pasien. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien
terkena pterigium. Hal ini diduga berkaitan dengan paparan sinar matahari
khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat
lesi pterigium sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke
27
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pterygium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini di
banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab
dari pterygium.
lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena
stadiumnnya.
tenang, dan periode pertumbuhan yang cepat. Pterigium yang progresif tumbuh
pembedahan. Pada fase awal yang berjalan lambat tidak diperlukan pembedahan.
tipe yang progresif pasien akan mengeluh tentang irtitasi atau penglihatan yang
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
hal:2-6, 116 117
2. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
3. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.
Philadelphia:Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
4. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbit Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
5. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P.
Whitcher edisi 17Jakarta : EGC, 2009 Hal 119
6. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorlands Illistrated Medical
Dictionary. 29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
7. American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org
8. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2012.
Management of Pterygium.
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm
29