Está en la página 1de 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN FRAKTUR


LUMBAL DI RUANG 18 RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Oleh:

Ingga Budiarto, S.Kep.

NIM.16010310

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

2017
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR LUMBAL

A. DEFINISI
Vertebra lumbalis terletak di region punggung bawah antara region torakal dan
sacrum. Vertebra pada region ini ditandai dengan corpus vertebra yang berukuran besar,
kuat, dan tiadanya costal facet. Vertebra lumbal ke 5 (VL5) merupakan vertebra yang
mempunyai gerakan terbesar dan menanggung beban tubuh bagian atas (Yanuar 2002).
Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebra, dan
lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan oleh jenis dan luasnya
(Brunner and Suddarth, 2000).
Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian
bawah. Bentuk cidera ini mengenai ligament, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh
darah, dan mengakibatkan iskemia pada medulla spinalis (Batticaca, 2008).

B. PATOFISIOLOGI
Perjalanan Penyakit Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi
antarakorpus vertebra yang saling berdekatan. Diantaranya korpusvertebra mulai dari
vertebra sevikalis kedua sampai vertebrasakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-
discus inimembentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpuspulposus ditengah
dan annulus fibrosus di sekelilingnya. Nucleuspulposus merupakan rongga
intervertebralis yang terdiri darilapisan tulang rawan dalam sifatnya semigelatin,
mengandungberkas-berkas serabut kolagen, sel sel jaringan penyambungdan sel-sel
tulang rawan.
Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpusvertebra yang
berdekatan, selain itu juga memainkan perananpenting dalam pertukaran cairan antara
discus dan pembuluh-pembuluh kapiler.Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut
akanmempengaruhi berbagai bagian struktur yang adadisekelilingnya seperti otot dan
pembuluh darah. Akibat yangterjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe,
danluas fraktur. Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak,terjadi perdarahan
pada otot dan persendian, ada dislokasi ataupergeseran tulang, ruptur tendon, putus
persyarafan, kerusakanpembuluh darah dan perubahan bentuk tulang dan deformitas.Bila
terjadi patah tulang, maka sel sel tulang mati. Perdarahanbiasanya terjadi disekitar
tempat patah dan kedalaman jaringanlunak disekitar tulang tersebut dan biasanya juga
mengalamikerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur continue dari hemisfer serebral
dan memberikan tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otot.
Panjangnya kira-kira 45 cm dan menipis pada jari-jari (Smeltzer, 2001).
Medula spinalis tersusun dari 33 segmen yaitu 7 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5
sakral, dan 5 segmen koksigis. Medula spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal,
masing-masing segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh. Columna Vertebralis
atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh
sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang, berfungsi melindungi
medulla spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke
tulang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitu
intervertebralis atau bantalan tulang belakang. Panjang rangkaian tulang belakang pada
orang dewasa dapat mencapai 57-67 cm. Medula spinalis yang keluar dari foramen
intervertebralis dikelompokkan dan dinamai sesuai dengan daerah yang ditempatinya
(Smeltzer, 2001).
Struktur medulla spinalis, dikelilingi oleh meningen, arakhnoid, dan pia mater.
Diantara durameter dan kanalis vertebralis terdapat ruang epidural. Medulla spinalis
berbentuk seperti huruf H dengan badan sel saraf (substansia grisea) dikelilingi traktus
asenden dan desenden (substansia alba). Bagian yang membentuk H meluas dari bagian
atas dan bersamaan menuju bagian tanduk anterior (anterior horn). Keadaan tanduk-
tanduk ini berupa sel-sel yang mempunyai serabut-serabut, yang membentuk ujung akar
anterior (motorik) dan berfungsi untuk aktivitas yang disadari dan aktivitas reflex dari
otot-otot yang berhubungan dengan medulla spinalis. Bagian posterior yang tipis (upper
horn) mengandung sel-sel berupa serabut-serabut yang masuk ke ujung akar posterior
(sensorik) dan kemudian bertindak sebagai relay station dalam jaras reflex/sensorik.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:
a. Vetebra Cervicalis
Vertebrata cervicalis ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.Veterbrata cervicalis
ketujuh disebut prominan karena mempunyaiprosesus spinosus paling panjang.
b. Vertebra Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah
12 buah yang membentuk bagian belakangthorax.
c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,berjumlah 5 buah
yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpusvertebra yang besar ukurannya
sehingga pergerakannya lebih luaskearah fleksi.
a. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkangdimana ke 5
vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
b. Os. Coccygeal
c. Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalamirudimenter.
Beberapa segmen ini membentuk 1 pasang saraf coccygeal (Price, 2005)
Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak
dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus yang disebut
meningen. Lapisan-lapisan dan struktur yang mengelilingi medula spinalis dari luar ke
dalam antara lain:
a. Dinding kanalis vertebralis (terdiri atas vertebrae dan ligamen)
b. Lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman pembuluhpembuluh
darah vena.
1) Duramater
2) Arachnoid
3) Ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisiliquor cerebrospinalis
4) Piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung
membungkus permukaan sebelah luar medula spinalis.
Lapisan meningen terdiriatas pachymeninx (duramater) dan leptomeninx (arachonoid
dan piameter). Pada masa kehidupan intrauterine usia 3 bulan, panjang medulla spinalis
sama dengan panjang kanalis vertebralis, sedang dalam masa-masa berikutnya kanalis
vertebralis tumbuh lebih cepat dibandingkan medula spinalis sehingga ujung kaudal
medula spinalis berangsur-angsur terletak pada tingkat yang lebih tinggi. Pada saat lahir,
ujung kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi kaudalcorpus vertebrae lumbalis II.
Pada usia dewasa, ujung kaudal medula spinalis umumnya terletak setinggi tepi kranial
corpus vertebrae lumbalis IIatau setinggi discus intervertebralis antara corpus vertebrae
lumbalis I dan II. Terdapat banyak jalur saraf (tractus) di dalam medula spinalis.

D. ETIOLOGI
Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari fraktur adalah :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan industri
4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
5. Luka tusuk, luka tembak
6. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
7. Kejatuhan benda keras
a) Faktor patologis : fraktur yang terjadi pada lansia yang mengalami osteoporosis,
tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain.
b) Faktor stress : fraktur jenis ini dapat terjadi pada tulang normal akibat stress tingkat
rendah yang berkepanjangan atau berulang. Fraktur stress ini biasanya menyertai
peningkatan yang cepat tingkat latihan atlet, atau permulaan aktivitas fisik yang
baru. Karena kekuatan otot meningkat lebih cepat daripada kekuatan tulang
individu dapat merasa mampu melakukan aktivitas melebihi sebelumnya,
walaupun tulang mungkin tidak mampu menunjang peningkatan tekanan.

E. KLASIFIKASI
1. Fraktur kompresi (Wedge fractures)
Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan
membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang
mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh
dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala,
osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian
membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami
fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek
ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya.
2. Fraktur remuk (Burst fractures)
Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung,
dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinais.
Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang
disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. tepi
tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk
cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat
menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan syaraf parsial.
Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi paralysis
pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan
dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah
fraktur tersebut merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi.
Biasanya dengan scan MRI fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan
lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan.
3. Fraktur dislokasi
Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena kompresi,
rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat tidak
stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya korda
atau akar syaraf yang rusak. Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna
vertebralis dengan kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya
kompresi, penekanan, rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan
terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior,
fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra
anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke posterior. kolumna
vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur pada prosesus transversus dan
bagian bawah costa. Fraktur akan melewati lamina dan seringnya akan menyebabkan
dural tears dan keluarnya serabut syaraf.
4. Cedera pisau lipat (Seat belt fractures)
Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba-tiba
mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi, dislokasi fraktur
sering terjadi pada thoracolumbar junction. Kombinasi fleksi dan distraksi dapat
menyebabkan tulang belakang pertengahan menbetuk pisau lipat dengan poros yang
bertumpu pada bagian kolumna anterior vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman,
tubuh penderita terlempar kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra
kemungkinan dapat hancur selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak
sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil.

F. MANIFESTASI
Manifestasi klinis fraktur antara lain:
1. Edema/pembengkakan
2. Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsung pada jaringan,
peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan padadaerah fraktur.
3. Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur
4. Deformitas
5. Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan
6. Kehilangan fungsi
7. Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma terbuka
Manifestasi klinis fraktur vertebra berdasarkan lokasi fraktur adalah:
1. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical
a) C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan)
b) C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas
c) C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
d) C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
e) C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep
f) C8 : gangguan fungsi jari gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical
menyebabkankelumpuhan tetrapareseb.
2. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal
a) T1 : gangguang fungsi tangan
b) T1-T8 : gangguan fungsi pengendalian otot abdominal, gangguanstabilitas tubuh
c) T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh.
3. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal
Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal memberikan
gejala paraparese
a) L1 : Abdominalis
b) L2 : Gangguan fungsi ejakulasi
c) L3 : Quadriceps
d) L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut
4. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sacral
Gangguang motorik kerusakan pada daerah sacral menyebabkan gangguan miksi dan
defekasi tanpa para parese
5. Segmen lumbar dan sacral
Cedera pada segmen lumbar dan sakral dapat mengganggu pengendaliantungkai,
sistem saluran kemih dan anus. Selain itu gangguan fungsisensoris dan motoris,
cedera vertebra dapat berakibat lain sepertispastisitas atau atrofi otot.
a) S1 : Gangguan pengendalian tungkai
b) S2-S4 : Penile Erection
c) S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal menurut
Mahadewa dan Maliawan (2009) adalah :
1. Foto Polos
Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view. Posisi
lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk melihat instabilitas
ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat kesegarisan pada AP dan
lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae, garis spinolamina, artikulasi sendi
facet, jarak interspinosus. Posisi oblique berguna untuk menilai fraktur
interartikularis, dan subluksasi facet.
2. CT S c a n
CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang mengenai
elemen posterior dari tulang belakang. Fraktur dengan garis fraktur sesuai bidang
horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang baik dilihat dengan
CT scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat digunakan untuk melihat pendesakan
kanal oleh fragmen tulang, dan melihat fraktur elemen posterior.
3. MRI
MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medula spinalis
dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek seringkali lebih mudah
dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap penderita yang
menggunakan fiksasi metal, dimana akan memberikan artifact yang menggangu
penilaian.
Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI, memungkinkan kita bisa melihat
kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (ligamen, diskus dan medula
spinalis). Informasi ini sangat penting untuk menetukan klasifikasi cedera, identifikasi
keadaan instabilitas yang berguna untuk memilih instrumentasi yang tepat untuk
stabilisasi tulang.
4. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf
Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2 minggu setelah
terjadinya cedera. Elektromiografi dapat menunjukkan adanya denervasi pada
ekstremitas bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat membedakan lesi pada
medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi pada pleksus lumbal atau sacral.
5. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium klinik rutin dilakukan untuk menilai komplikasi pada
organ lain akibat cedera tulang belakang. Sedangkan menurut Arif Mutaqin (2005)
pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Rontgen. Pada pemeriksaan Rontgen, rnanipulasi penderita hams
dilakukan secara hati-hati. Pada fraktur C-2, pemeriksaan posisi AP dilakukan
secara khusus dengan membuka mulut. Pemeriksaan posisi AP secara lateral dan
kadang-kadang oblik dilakukan untuk menilai hal-hal sebagai berikut.
2) Diameter anteroposterior kanal spinal
3) Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
4) Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
5) Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus. Ketinggian ruangan diskus
intervertebralis Pembengkakan jaringan lunak
6) Pemeriksaan CT-scan terutama untuk melihat fragmentasi tan dan pergeseran
fraktur dalam kanal spinal.
7) Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi.
8) Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus
intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam sumsum tulang belakang.
H. PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama dan penanganan darurat:
1. Survey primer
a) Pertahankan airway dan imobilisasi tulang belakang
b) Breathing
c) Sirkulasi dan perdarahan
d) Disabilitas: AVPU /GCS, pupil
e) Exposure : cegah hipertermi
2. Resusitasi
a) Pastikan paten/intubasi
b) Ventilasi adaptif
c) Perdarahan berhenti nadi, CRT, urin output
3. Survey sekunder
a) GCS
b) Kaji TTv nadi, tekanan darah, suhu, RR
Terapi pada fraktur vertebra diawali denganmengatasi nyeri dan stabilisasi untuk cegah
kerusakan yang lebih parah.

I. TINDAKAN REHABILITASI
Penatalaksanaan pada fraktur vertebra lumbal diawali dengan mengatasi nyeri dan
stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. Semuanya tergantung dengan
tipe fraktur. Beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut
1. Braces dan orchotics. Fraktur yang yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi,
sebagai contoh : thoracolumbar-sacral (TLSO) untuk fraktur punggung bagian bawah.
2. Reduksi fraktur (seting tulang) Berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi atau reduksi terbuka dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan.
a) Reduksi tertutup
Pada kebanyakan kasus, teduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi
dan traksi manual.
b) Reduksi terbuka
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
membentuk pen, kawat, sekrup, plat, paku, atau batang logam.
3. Traksi. Adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya fraksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
4. Imobilisasi fraktur. Adalah reduksi fraktur, fragmen tulang harus diimobilisasikan
atau dipatahkan dalam posisi kesejajarannya yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, fraksi, pen, tekhnik gips atau fiksator
eksterna. Fiksasi interna dengan implan logam yang berperan sebagai bidai interna
untuk mengimobilisasi fraktur.
5. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi. Dilakukan dengan berbagai pendekatan
perubahan posisi, strategi, peredaran nyeri, pemberian analgetik, latihan atau aktivitas
sehari-hari yang diusakan untuk memperbaiki fungsi.

J. KOMPLIKASI
1. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besarakibat trauma.
2. Mal union
Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga
menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek
menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yangterjepit diantara
fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi
palsu dengan sedikit gerakan (non union) juga dapat menyebabkan mal union.
3. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang.Non union
dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
a. Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur
dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringanfibros yang masih mempunyai
potensi untuk union dengan melakukankoreksi fiksasi dan bone grafting.
b. Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)terdapat
jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta ronga cairanyang berisi cairan,
proses union tidak akan tercapai walaupundilakukan imobilisasi lama.Beberapa
faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteumyang luas,
hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktuimobilisasi yang tidak
memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis).Non
union adalah jika tulang tidak menyambungdalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurangmemadai.
c. Delayed union, Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung
dalam waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan sklerosispada ujung-
ujung fraktur.
d. Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi
karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan
dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada
fraktur.
e. Emboli lemak. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh
darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
f. Sindrom Kompartemen. Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada
tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler
sekitarnya. Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula
padapemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu alirandarah
dan terjadi edema didalam otot. Apabila ischemi dalam 6 jam pertama tidak
mendapatkan tindakan dapat mengakibatkan kematian/nekrosis otot yang nantinya
akan diganti dengan jaringan fibros yang secara perlahan-lahan menjadi pendek
dan disebut dengan kontraktur volkmann.Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain
(nyeri), Parestesia, Pallor (pucat),Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis.
g. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia,dan
gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri ataukeadaan
penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan ataupemasangan traksi.
h. Dekubitus. Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena
itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.
K. PENGKAJIAN
Menurut Arif Muttaqin (2005) hal-hal yang perlu dikaji pada pasien fraktur lumbal
adalah sebagai berikut
1. Pengkajian.
a. Identitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. Usia muda), jenis
kela min (kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor
tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan
inkontinensia alvi, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan
deformitas pada daerah trauma.
c. Riwayat penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon
atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur
chance), dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya
sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas
secara total dan melemah/menghilangnya reeks alat dalam) ileus paralitik, retensi
urine, dan hilangnya refleks-refleks.
d. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol. Perawat perlu menanyakan
masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alkohol kepada klien
atau keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak sadar) karena sering terjadi
beberapa klien yang suka kebu t-kebu tan meneeunakan obat-oba tan adiktif atau
alkohol.
e. Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya
riwayat penyakit degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis dan
osteoartritis yang memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang.
Penyakit lainnya, seperti hipertensi, riwayat cedera tulang belakang sebelumnya,
diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan,
aspirin, vasodilator, dan obat-obat adiktif perlu ditanyakan agar pengkajian lebih
komprehensif.
f. Pengkajian psikososiospiritual. Pengkajian mengenai mekanisme koping yang
digunakan klien diperlukan untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya, perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat, serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat.
g. Pemeriksaan fisik. Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan klien. Umumnya, klien yang mengalami cedera tulang belakang
tidak mengalami penurunan kesadaran. Tanda-tanda vital mengalami perubahan,
seperti bradikardia, hipotensi, dan tandatanda syok neurogenik, terutama trauma
pada servikal dan toraks bagian atas.
2. Pernapasan
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis
(klien mengalami kelumpuhan otot-otot pernapasan) dan perubahan karena adanya
kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma pada tulang belakang sehingga
jaringan saraf di medula spinalis terputus. Dalam beberapa keadaan trauma sumsum
tulang belakang pada daerah servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik
sebagai berikut.
a. Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, re traksi
interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris. Pada observasi ekspansi dada
dinilai penuh a tau tidak penuh dan kesimetrisannya. Ketidaksimetrisan mungkin
menunjukkan adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur
tulang iga, dan pneumotoraks. Selain itu, juga dinilai retraksi otot-otot interkostal,
substernal, dan pernapasan abdomen.
b. Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi
jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada akibat adanya
blok saraf parasimpatis.
c. Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila trauma terjadipada rongga toraks.
d. Perkusi. Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada
toraks/hematoraks.
e. Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronki pada klien
dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menu run sering
didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang mengalami penurunan tingkat
kesadaran (koma). Saat dilakukan pemeriksaan sistem pemapasan klien cedera
tulang belakang dengan fraktur dislokasi vertebra lumbalis dan protrusi diskus
intervertebralis L-5 dan S-1, klien tidak mengalami kelainan inspeksi pernapasan.
Pada palpasi toraks, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kin. Pada
auskultasi, tidak didapatkan suara napas tambahan.
3. Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang didapatkan
renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat. Hasil pemeriksaan
kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada beberapa keadaan adalah tekanan
darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
dan ekstremitas dingin atau pucat. Bradikardia merupakan tanda perubahan perfusi
jaringan otak. Kulit yang tampak pucat menandakan adanya penurunan kadar
hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan
dan tanda-tanda awal dari suatu renjatan.
4. Persyarafan
a. Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan adalah
indika tor paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan. Pada keadaan lanjut, kesadaran klien cedera tulang belakang biasanya
berkisar dari letargi, stupor, semikoma sampai koma.
b. Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi
penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Klien yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya
mengalami perubahan status mental.
c. Pemeriksaan Saraf kranial:
1) Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan
tidak ada kelainan fungsi penciuman.
2) Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
3) Saraf III, 1V, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata
dan pupil isokor.
4) Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis
pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
7) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada
usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk
8) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. Pemeriksaan refleks:
1) Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan refleks pa tela
biasanya melemah karena kelemahan pada otot hamstring.
2) Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
yang didahului dengan refleks patologis.
3) Refleks Bullbo Cavemosus positif
e. Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada kauda ekuina, is
mengalami hilangnya sensibilitas secara menetap pada kedua bokong, perineum,
dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk mengenai
lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang.
f. Perkemihan. Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurun-nya perfusi pada ginjal.
g. Pencernaan. Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering didapatkan
adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta
kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal
yang akan berlangsung beberapa ha ri sampai beberapa minggu. Pemenuhan
nutrisi berkurang karena adaanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
Pemeriksaan rongga mulut dengan menilai ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi.
h. Muskuloskletal. Paralisis motor& dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada
ketinggian terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena.

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan refleks
spasme otot sekunder.
2. Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhan saraf
perkemihan.
M. PATHWAY
Trauma pada tulang belakang

Fraktur pada tulang lumbal

Perdarahan Mengeblok saraf Mengeblok saraf


Mikoskopik perasimpatis perasimpatis

Kelumpuhan Kerusakan
Edema Reaksi Reaksi jalur apatetik
otot napas
Peradangan anantetik desending

Penekanan
saraf & Syok Ileus Iskemia dan Terputusnya
pembuluh hipoksemia jaringan
spinal paralitik,
darah saraf medula
gangguan
fungsi spinalis
Nyeri rektum
Penurunan Gangguan
perfusi Akut pola napas Paralisis &
jaringan
Gangguan paraplegi
eliminasi

Hipoventilasi
Hambatan
mobilitas
fisik

Gagal napas

Kematian

También podría gustarte