Está en la página 1de 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
pada umumnya akan berakhir pada penyakit ginjal tahap akhir/gagal ginjal (end-
stage renal disease). Sedangkan gagal ginjal kronik atau ESRD ini merupakan
suatu kondisi klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible,
yang membutuhkan terapi pengganti ginjal yang tetap untuk mempertahankan
kehidupan, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) tahun
2012, penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai suatu abnormalitas struktur
ataupun fungsi ginjal yang telah terjadi selama tiga bulan atau lebih, yang dapat
diklasifikasikan menurut etiologinya, atau menurut laju filtrasi glomerulus (LFG)
atau derajat albuminurianya.2
PGK kini menjadi masalah kesehatan serius di dunia, di mana terdapat
peningkatan angka insidensi, prevalensi, selain itu prognosis yang buruk dan
tingginya biaya dalam penatalaksanaannya (cost). Berdasarkan data epidemiologi
dari National Kidney Foundation memaparkan bahwa terdapat sekitar 10% dari
populasi dunia terkena PGK, yang menyebabkan kematian pada 409.000 jiwa pada
tahun 1990 menjadi 956.000 jiwa pada tahun 2013. Sekitar lebih dari 2.000.000
jiwa di seluruh dunia mendapatkan terapi dialisis atau transplantasi ginjal untuk
dapat hidup, namun jumlah ini hanya mewakili sekitar 10% dari total populasi yang
membutuhkan terapi ini, dan oleh sebab itu terdapat jutaan jiwa yang meninggal
setiap tahunnya karena tidak mendapatkan akses untuk terapi.3,4
Data di Amerika Serikat, pada tahun 1995-1999 menyatakan insidens
penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk per tahun, dan
angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Menurut data dari National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), terdapat 1 dari
10 orang dewasa pada populasi Amerika Serikat mengalami PGK dengan berbagai

1
stadium, dan menjadi penyebab kematian ke sembilan terbanyak. Prevalensi PGK
di Amerika Serikat meningkat secara bermakna sesuai usia (4% pada usia 29-39,
47% pada usia >70 tahun).5 Sedangkan untuk angka ESRD diperkirakan terdapat
sekitar 350 jiwa per 1 juta populasi, dengan angka prevalensi sangat tinggi pada
usia >65 tahun (5% menjadi 37% pada kelompok usia ini). Di negara ini pula, total
biaya yang dibutuhkan untuk PGK sebesar lebih dari $48 miliar per tahunnya dan
anggaran untuk tatalaksana gagal ginjal sebesar 6,7% dari total anggaran kesehatan.
Di Uruguay, total biaya yang dihabiskan pertahunnya untuk dialisis sebesar $23
juta yang merupakan 30% dari anggaran negara ini untuk tatalaksana spesialis. Di
Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal
ginjal pertahunnya.1
Diperkirakan bahwa angka kejadian gagal ginjal meningkat secara
signifikan pada beberapa negara berkembang, seperti India dan China, di mana
jumlah populasi lanjut usia yang juga meningkat. Pada negara dengan pendapatan
menengah (negara berkembang) memiliki dampak yang tentu lebih buruk dari
negara maju dari segi biaya. Terapi dengan dialysis atau transplantasi menyebabkan
beban finansial yang besar untuk orang-orang yang membutuhkannya. Pada 112
negara berkembang lainnya , termasuk Indonesia, banyak orang tidak mendapatkan
terapi yang memadai, menyebabkan angka kematian sebesar lebih dari 1.0000.000
jiwa pertahun akibat gagal ginjal yang tidak ditatalaksanai.6
Data epidemiologi di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2013 memaparkan
prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia adalah 0,2% dari total populasi.
Adapun provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah (0,5%). Jika
saat ini penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa berarti terdapat 504.248 jiwa
yang menderita PGK. Berikut gambar yang menampilkan infromasi jumlah pasien
yang mengalami penyakit ginjal tahap akhir (stadium 5) berdasarkan etiologi dan
geografisnya di Indonesia tahun 2011.7

2
Sumber: Riset Kesehatan Dasar, 2013.
Gambar 1. Prevalensi ESRD di Indonesia berdasarkan Etiologi dan Geografisnya.7

Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa penyebab terbanyak ESRD di


Indonesia adalah nefropati diabetik dan penyakit ginjal hipertensi. Jumlah penderita
penyakit ginjal kronik diperkirakan akan terus meningkat, peningkatan ini
sebanding dengan peningkatan populasi, peningkatan populasi usia lanjut, serta
peningkatan jumlah pasien hipertensi dan diabetes.7
Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang besar di dunia. Salah
satu cara untuk mengurangi dampak besar dari penyakit ini (baik dampak ekonomi,
kualitas hidup, dan komplikasinya) adalah dengan intervensi sedini mungkin.
Untuk mencapai hal ini, kita harus dapat mengidentifikasi terlebih dahulu individu
dengan risiko tinggi mengalami gagal ginjal.8
Pada umumnya pasien dengan PGK akan mengalami progresivitas
penurunan fungsi ginjal dan kerusakan struktur nefron, yang kemudian berakhir
sebagai End-Stage Renal Disease (ESRD). Oleh sebab apapun pada PGK, nefron
mengalami kerusakan, namun nefron residu yang masih berfungsi akan beradaptasi
(hiperfiltrasi dan hipertrofi) untuk mempertahankan bersihan kreatinin. Namun,
akibat mekanisme ini, timbul reaksi berantai yang menyebabkan kerusakan nefron
residu secara bertahap, yang akan mengarahkan kondisi penyakit ke ESRD.9
Kecepatan progresivitas bergantung pada multifaktorial. Faktor-faktor yang
diperkirakan berpengaruh adalah usia, penyebab utama, jenis kelamin, ras, genetik

3
(riwayat keluarga), tekanan darah, proteinuria, LFG, kadar gula darah (diabetes
mellitus), dyslipidemia, Indeks Massa Tubuh (IMT), kadar asam urat, riwayat
merokok, konsumsi obat-obatan (aminoglikosida, COX-2 inhibitors, NSAID/Non-
Steroid Anti-Inflammatory Drugs, zat kontras), ada tidaknya riwayat shock atau
dehidrasi berat.8 Namun, tidak semua PGK akan berakhir kepada ESRD. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Ghoul et al. pada 177 pasien PGK yang difollow up
selama 47 bulan, didapatkan hasil bahwa terdapat sekitar 30% dari pasien PGK,
tetap stabil (non-progressive), hal ini dihubungkan dengan tekanan darah yang
stabil, proteinuria yang rendah, dan terkontrolnya faktor-faktor risiko penyakit
jantung koroner seperti kolesterol, dan IMT.10
Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: Faktor-faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal Kronik/End-
Stage Renal Disease (ESRD) pada Pasien Rawat Jalan di Unit Hemodialisa RSUD
Undata Palu, Sulawesi Tengah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah: Faktor-faktor apa saja yang memberikan pengaruh terhadap kejadian
Gagal Ginjal Kronik/ ESRD?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian gagal ginjal kronik (ESRD).
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1) Untuk mengidentifikasi karakteristik penderita gagal ginjal kronik/
ESRD yang berobat jalan di unit hemodialisa di RSUD Undata Palu
yang meliputi umur, jenis kelamin, dan pendidikan terakhir.

4
2) Untuk mengetahui hubungan riwayat hipertensi terhadap kejadian gagal
ginjal kronik/ESRD, hubungan tingkat tekanan darah dan pola
pengobatan antihipertensi terhadap kejadian gagal ginjal kronik.
3) Untuk mengetahui hubungan antara riwayat diabetes mellitus (DM),
tingkat gula darah dan pola pengobatan diabetes terhadap kejadian gagal
ginjal kronik.
4) Untuk mengetahui hubungan antara riwayat hiperkolesterolemia dan
pola pengobatan antihiperkolesterolemia dengan kejadian gagal ginjal
kronik/ESRD.
5) Untuk mengetahui hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan
kejadian gagal ginjal kronik/ESRD.
6) Untuk mengetahui riwayat merokok, jumlah rokok perhari dan durasi
merokok dengan kejadian gagal ginjal kronik/ESRD.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang epidemiologi
khususnya mengenai beberapa faktor risiko gagal ginjal kronik di RSUD
Undata Palu, sehingga dapat menjadi salah satu acuan telaah studi epidemiologi
dan kesehatan masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan peneliti dalam
menganalisis masalah kesehatan khususnya yang berkaitan dengan kajian
mengenai faktor risiko gagal penyakit ginjal kronik.
b. Bagi Tenaga Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi tenaga kesehatan
untuk lebih mengoptimalkan kemampuannya dalam melakukan penyuluhan
dan pengendalian faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian gagal
ginjal kronik.

5
c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
masyarakat khususnya masyarakat yang belum terkena penyakit ginjal
kronik untuk tidak menerapkan pola hidup yang dapat memperbesar resiko
kejadian gagal ginjal kronik.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi, Klasifikasi dan Etiologi Penyakit Ginjal Kronik (PGK)


1. Definisi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif
dan pada umumnya akan berakhir pada penyakit ginjal kroniktahap akhir/ gagal
ginjal (end-stage renal disease). Sedangkan gagal ginjal atau ESRD ini
merupakan suatu kondisi klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal
yang irreversible, yang membutuhkan terapi pengganti ginjal yang tetap untuk
mempertahankan kehidupan, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1
Sedangkan menurut KDIGO, PGK adalah adanya kelainan struktural atau
fungsional pada ginjal yang berlangsung minimal tiga bulan, dapat berupa
kelainan structural yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium
(albuminuria, sedimen urin, kelainan elektrolit akibat ginjal), pemeriksaan
histologi, pencitraan, atau riwayat transplantasi ginjal atau adanya gangguan
fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1,73m2.2

2. Klasifikasi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dapat diklasifikasi PGK berdasarkan LFG
atau albuminuria atau berdasarkan etiologinya yang akan dijelaskan kemudian.
Untuk klasfikasi berdasarkan LFG dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 1. Klasfikasi PGK berdasarkan LFG.2

Stadium LFG (mL/menit/1,73m2) Keterangan


G1 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Penurunan ringan
G3a 45-59 Penurunan ringan-sedang
Sumber: Clinical Evaluation Guidelines for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease, 2013.

7
Stadium LFG (mL/menit/1,73m2) Keterangan
G3b 30-44 Penurunan sedang-berat
G4 15-29 Penurunan berat
G5 <15 Gagal ginjal
Sumber: Clinical Evaluation Guidelines for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease, 2013.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa PGK berarti adanya


kerusakan struktur atau gangguan fungsi ginjal yang telah berlangsung tiga
bulan atau lebih. Kerusakan struktur salah satunya dapat dinilai dengan derajat
albuminuria.2

Tabel 2. Klasifikasi PGK berdasarkan albuminuria.2

Kategori Albumin Rasio Rasio Keterangan


(mg/24 Albumin/Kreatinin Albumin/Kreatinin
jam) (mg/mmol) (mg/g)

A1 < 30 <3 < 30 Normal atau


meningkat
sedikit
A2 30-300 3-30 30-300 Meningkat

A3 > 300 > 30 > 300 Sangat


Meningkat
Sumber: Clinical Evaluation Guidelines for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease, 2013.

Berdasarkan tabel diatas dan berdasarkan definisi, seseorang dapat


dikatakan mengalami PGK apabila ada bukti kerusakan secara struktur atau
gangguan fungsi dari ginjal selama minimal tiga bulan atau lebih. Secara
fungsional ada masalah pada ginjal dikatakan PGK jika LFG berada pada <60
mL/menit/1,73m2 (G3a-G5) ada atau tidaknya kelainan struktural. Sedangkan
jika LFG masih berada pada >60 mL/menit/1,73m2 (G1 dan G2) belum dapat
dikatakan PGK kecuali jika ada bukti terdapatnya kerusakan struktural melalui
pemeriksaan albumin urin, pencitraan, atau histopatologi).1,2
Jadi penurunan LFG saja tidak dapat dijadikan dasar dalam diagnosis LFG.
Selain itu, angka 60 mL/menit/1,73m2 dijadikan patokan dasar karena angka

8
tersebut merupakan 50% dari penurunan LFG normal rata-rata, yang
menandakan adanya kerusakan 50% dari nefron dan dihubungkan dengan
semakin besarnya kemungkinan timbulnya komplikasi (ESRD, komplikasi
kardiovaskular, sindrom uremia, dll).2,8

3. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan
negara lainnya. Tabel di bawah menunjukkan penyebab utama dan insiden
penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan perhimpunan Nefrologi
Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatata penyebab ginjal gagal ginjal yang
menjalani hemodialisa di Indonesia.1
Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab lain yang
tidak diketahui.1

Tabel 3. Penyebab Utama PGK di Amerika Serikat (1995-1999).1

Penyebab Insidensi
Diabetes Melitus 44%
Tipe 1 (7%)
Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah 27%
besar
Glomerulonefritis 10%

Nefritis Interstisialis 4%

Kista dan Penyakit Bawaan Lain 3%

Penyakit Sistemik (lupus, dan vaskulitis) 2%

Neoplasma 2%

Tidak diketahui 4%

Penyakit Lain 4%
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2 Edisi 6, 2012.

9
Tabel 4. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia tahun 2000.1

Penyebab Insidensi
Glomerulonefritis 46,39%

Diabetes Melitus 18,65%

Obstruksi dan Infeksi 12,85%

Hipertensi 8,46%

Sebab Lain 13,65%


Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2 Edisi 6, 2012.

B. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik


Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan dua mekanisme kerusakan
pada ginjal, yang pertama mekanisme awal yang spesifik terkait dengan
penyebab dasar kerusakan ginjal (misalnya kompleks imun, mediator inflamasi
tertentu seperti pada glomerulonephritis, atau paparan toksin pada penyakit
tertentu yang menyerang tubulus renalis dan interstisial). Mekanisme kedua
yaitu suatu mekanisme progresif, di mana terdapat hiperfiltrasi dan hipertrofi
dari nefron residu yang viable, yang kemudian secara berangsur mengarahkan
pada kehilangan massa ginjal secara perlahan apapun etiologinya.9
Respon yang terjadi akibat kekurangan jumlah nefron yang progresif
dimediasi oleh hormone vasoaktif, sitokin, dan hormone pertumbuhan. Pada
akhirnya, respon adaptif jangka pendek ini (hipertrofi dan hiperfiltrasi) menjadi
respon maladaptif seiring dengan peningkatan tekanan dan aliran darah yang
menjadi faktor predisposisi untuk terjadinya sclerosis dan kerusakan nefron
residu lebih banyak. Peningkatan aktivitas intrarenal dari sumbu renin
angiotensin aldosterone tampaknya berkontribusi terhadap respon awal
hiperfiltrasi dan terhadap respon lanjutan hipertrofi dan sclerosis yang mana
pada sclerosis dan hipertrofi ini juga dirangsang oleh Transforming Growth
Factor (TGF-B). Proses ini menjelaskan mengapa berkurangnya massa ginjal
dari gangguan lokal yang terjadi pada ginjal itu sendiri mencetuskan
progresivitas kerusakan ginjal secara keseluruhan setelah bertahun-tahun.9

10
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresivitas
PGK adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dyslipidemia. Terdapatnya
variabilitas individual untuk terjadinya sclerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstisial.1

Gambar 2. Patogenesis Penyakit Ginjal Kronik.11

Pada stadium paling dini dari penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan di mana basal LFG masih normal
atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien belum
merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan menurun, dan

11
penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus,
mual muntah, dan lain sebagainya.1
Kesimpulannya bahwa apapun etiologi dari PGK tersebut, kerusakan nefron
akan diadaptasi oleh nefron yang masih sehat, namun secara perlahan nefron
tersebut juga akan mengalami kerusakan progresif akibat kondisi mekanik
(hiperfiltrasi dan hipertensi glomerulus) dan kondisi biokimiawi (TGF-B) yang
memicu sklerosis dan fibrosis yang merusak fungsi nefron tersebut.1

C. Dasar Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik


1. Anamnesis
PGK memiliki perlangsungan yang cukup lama namun progresif.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ketika stadium PGK masih
berada pada tahap G1 atau G2, maka kebanyakan pasien tanpa gejala
(asimtomatik). Pada umumnya gejala atau kelainan klinis mulai tampak
pada PGK stadium G4-G5 (LFG <30mL/menit/m2). Pasien dengan penyakit
tubulointerstisial, polikistik renalism sindrom nefrotik dan kondisi lain yang
berhubungan dengan gejala positif seperti polyuria, hematuria, edema lebih
cenderung menimbulkan gejala pada stadium lebih awal.12
Gejala-gejala yang bisa timbul pada PGK terbagi menjadi tiga
bagian besar, pertama gejala sesuai dengan penyakit yang mendasari, seperti
diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu saluran kemih, hipertensi,
hiperurikemia, pertama gejala sesuai dengan penyakit yang mendasari,
seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu saluran kemih,
hipertensi, hiperurikemia, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dsb.
Kelompok gejala kedua yaitu sindrom uremia yang terdiri dari lemah,
letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume (volume
overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-
kejang, hingga koma. Gejala komplikasi antara lain, hipertensi, anemia,

12
osteodistrofi renal, gagal jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit.1
2. Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya, PGK tidak bergejala dan tidak didapatkan kelainan
pemeriksaan fisik yang berarti. Kecuali jika diketahui penyebab dasarnya,
maka hasil pemeriksaan fisik akan sesuai dengan etiologinya (misalnya SLE
didapatkan ruam kulit, nyeri sendi, diabetes, anemi, hipertensi, dll). Oleh
karena itu, pentingnya pemeriksaan lanjutan (laboratorium, pencitraan, dan
histopatologi) bagi pasien yang beresiko tinggi dan sangat dicurigai
mengalami PGK.12
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang terpenting pada PGK adalah darah
rutin, panel metabolic, urinalisis, dengan perhitungan fungsi ginjal. Anemia
normositik normokromik sering ditemui pada kasus PGK. Penyebab anemia
yang lainnya sebaiknya telah disingkirkan.12
Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin serum kadarnya
meningkat pada pasien PGK. Hiperkalemia dan rendahya kadar bikarbonat
juga dapat ditemui. Serum albumin dapat menurun akibat kehilangan
protein oleh kerusakan ginjal atau malnutrisi. Pemeriksaan profil lipid pada
pasien PGK sebaiknya dilakukan untuk memantau resiko penyakit
kardiovaskular. Pemeriksaan kadar fosfat, 25-hidroksivitamin D, dan alkali
fosfatase dan hormone paratiroid sebaiknya diperiksa untuk mengetahui ada
tidaknya komplikasi pada tulang (osteodistrofi renalis).12
Pemeriksaan yang paling penting dari PGK yaitu menghitung fungsi
ginjal, dapat dilakukan dengan:9
a. Persamaan Cockroft-Gault
([140] []
Estimasi bersihan kreatinin (eCCl) = 72

Untuk perempuan, dikalikan dengan 0,85.


Hasilnya akan didapatkan estimasi bersihan kreatinin (estimated
creatinine clearance/ eCCl) dalam satuan mL/menit yang dapat
disamakan dengan laju filtrasi glomerulus (LFG).

13
b. Persamaan Modification of Diet in Renal Disease Study (MDRD)
LFG (mL/menit/1,73m2) = 1,86
Keterangan: hasil dikalikan dengan 0,742 untuk perempuan
hasil dikalikan dengan 1,21 untuk ras afrika-amerika
Persamaan ini tidak membutuhkan berat badan pasien seperti cockroft-
gault. Hasil ini menggambarkan fungsi ginjal, namun untuk penentuan
ada tidaknya kerusakan struktur ginjal, tetap harus berpatokan juga pada
pemeriksaan lainnya, seperti proteinuria, kadar eritrosit, pH darah,
elektrolit, dll.
4. Pemeriksaan Radiologis dan Histopatologis
Pemeriksaan radiologi PGK untuk melihat penyebab dasar, atau
mengetahui ukuran dan struktur anatomi ginjal. Dapat dilakukan foto polos
abdomen untuk melihat batu saluran kemih, USG dapat melihat ukuran
ginjal yang mengecil pada PGK, penipisan korteks akibat sklerosis dan
fibrosis, melihat hidronefrosis, kista, abses, dll. Pemeriksaan ginjal dengan
kontras sebaiknya dihindari pada PGK karena dikhawatirkan menyebabkan
toksik pada kontras.1
Pemeriksaan histopatologis dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, di mana diagnosis secara non-invasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menerapkan terapi, prognosis dan evaluasi hasil terapi
yang diberikan. Kontraindikasi biopsy ginjal pada ukuran ginjal sudah
mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan
obesitas.1

D. Hemodialisis sebagai Terapi Pengganti Ginjal/ Renal Replacement Therapy


Tahapan gagal ginjal kronik dapat dibagi menurut beberapa cara, antara lain
dengan memperhatikan faal ginjal yang tersisa. Bila faal ginjal yang masih
tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha pengobatan konservatif yang
berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan dan lain-lain tidak memberikan

14
harapan pertolongan lagi, keadaan tersebut dinamakan gagal ginjal/ESRD. Pada
keadaan ini, ginjal sudah tidak dapat mengeliminasi toksin yang ada dalam
tubuh, sehingga membutuhkan terapi/metode khusus yang disebut sebagai
terapi pengganti ginjal. Salah satu terapi pengganti ginjal adalah hemodialysis.
Adapun jenis-jenis terapi pengganti ginjal, yaitu hemodialysis, peritoneal
dialysis, dan transplantasi ginjal, namun hemodialysis merupakan metode
paling banyak digunakan pada pasien ESRD (>90%).13
Hemodialisis menggunakan prinsip difusi dari zat terlarut (zat toksin seperti
urea dan kreatinin dan zat lainnya) dari darah ke mesin dialisat melalui
membrane semipermeabel. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin
tinggi bila perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, diberi
tekanan hidrostatik di kompartemen darah, dan bila tekanan osmotik di
kompartemen cairan dialysis lebih tinggi.13

Gambar 3. Skema Hemodialisis.14

Tujuan dari proses hemodialisis ini adalah mengeliminasi toksin baik itu
dengan berat molekul rendah maupun tinggi. Prosedur kerja terjadi dengan cara
darah dipompa oleh mesin dari tubuh pasien ke mesin dialysis dengan kecepatan
300-500 mL/menit dan dipompa kembali ke tubuh dengan kecepatan aliran 500-
800 mL/menit. Dosis dialisis (fraksi bersihan urea persatu kali proses
hemodialysis) ditentukan bergantung pada ukuran tubuh pasien, residu fungsi
ginjal, intake protein, derajat kelainan metabolism dan faktor komorbid lainnya.

15
Kebanyakan pasien dengan ESRD memerlukan 9 sampai 12 jam seminggu yang
dibagi dalam tiga sesi, biasanya 4 jam persesi. Komplikasi akut dari
hemodialysis adalah hipotensi, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung, gatal, demam, menggigil. Hipotensi merupakan
komplikasi tersering, yang dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adanya
shunt arteri vena yang besar atau laju ultrafiltrasi yang terlalu tinggi.14
Pada umumnya indikasi dialisis pada PGK jika LFG sudah kurang dari 5
mL/menit/1,73m2, namun dapat juga dilakukan hemodialisa pada kondisi
berikut :
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum >6 mEq/L
Ureum darah > 200 mg/dL
pH darah < 7,1
Anuria berkepanjangan (>5 hari)
Fluid Overloaded
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler semipermiabel
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik, kendala yang
ada adalah biaya yang mahal.13

E. Prognosis dan Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik


1. Prognosis
Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang bersifat progresif, dan
pada stadium awal bersifat asimtomatik, sehingga jika tidak diketahui sejak
dini, maka tidak ada langkah-langkah intervensi yang dilakukan maka
kemungkinan akan menjadi suatu gagal ginjal semakin besar. Jika sudah sampai
pada tahap gagal ginjal (ESRD) yang membutuhkan terapi pengganti ginjal,
maka prognosis menjadi buruk, karena besarnya kemungkinan komplikasi yang
dapat timbul.1,2

16
Menurut KDIGO tahun 2013, prognosis dari PGK ditentukan dari penyebab
PGK, derajat penurunan LFG, derajat albuminuria, dan ada tidaknya faktor-
faktor komorbid yang lainnya. Untuk prognosis berdasarkan LFG dan derajat
albuminuria, bisa dilihat pada gambar berikut, dengan keterangan bahwa kotak
hijau artinya resiko rendah, kotak orange artinya resiko menengah/moderat,
sedangkan warna merah berarti resiko tinggi (prognosis buruk).2

Gambar 4. Prognosis PGK berdasarkan derajat penurunan LFG dan Albuminuria.2

2. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada kondisi gagal ginjal terminal (tahap akhir)
yang membutuhkan terapi pengganti ginjal berasal dari ketidakmampuan ginjal
melakukan fungsinya. Walaupun serum urea dan kreatinin dapat digunakan
untuk mengukur fungsi ekskresi ginjal, akumulasi dari dua molekul ini tidak
terlalu berperan dalam timbulnya gejala akibat sindrom uremia. Ratusan jenis
toksin yang menumpuk pada gagal ginjal berimplikasi terhadap kejadian
sindom uremia. Toksin tersebut termasuk senyawa yang larut air, hidrofobik,
terikat oleh protein, bermuatan ion, dan yang tidak bermuatan listrik. Termasuk
pula didalamnya produk nitrogen hasil metabolisme (guanido, asam urat,
hipurat, hasil metabolism asam nukleat, poliamina, mioinositol, fenol, benzoat,
dan indol. Senyawa dengan berat antara 500-1500 Da yang disebut molekul

17
ukuran sedang, juga tertahan di tubuh dan berkontribusi terhadap morbiditas
dan mortalitas.9
Sindrom uremia yang merupakan komplikasi dari gagal ginjal terjadi akibat
kegagalan eksresi ginjal dan mekanisme lanjutan akibat gangguan ginjal tingkat
lanjut. Fungsi metabolik dan regulasi nutrisi oleh ginjal juga terganggu yang
menyebabkan terjadinya anemia, malnutrisi, dan abnormalitas metabolism
karbohidrat, lemak dan protein. Lebih lanjut, kadar plasma dari hormon insulin,
PTH, glukagon, hormone seks, dan prolactin berubah akibat gagal ginjal. Pada
akhirnya, perburukan fungsi ginjal lebih lanjut akan mengakibatkan inflamasi
sistemik, ditandai dengan kenaikan CRP (C-Reactive Protein). Jadi,
patofisiologi sindrom uremia dapat dibagi menjadi tiga manifestasi kelainan,
yaitu akibat dari akumulasi produk toksin yang mestinya dieksresikan oleh
ginjal, termasuk hasil sisa metabolisme protein, akibat dari gangguan fungsi
homeostasis ginjal, yakni homeostasis cairan dan elektrolit serta regulasi
hormonal, dan inflamasi sistemik progresif, dengan konsekuensi vaskuler dan
nutrisinya.9

Gambar 5. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik.11

18
F. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Penyakit Ginjal Kronik
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi penyakit ginjal kronik. Parameter uji yang utama dalam menilai
progresivitas PGK adalah perhitungan LFG dan derajat albuminuria, karena
parameter ini mencerminkan tingkat gangguan fungsi dan struktural dari ginjal.
Terdapat berbagai faktor resiko kejadian dari penyakit ginjal kronik, faktor risiko
tidak dapat diubah (non-modifiable) adalah usia, jenis kelamin (laki-laki lebih
beresiko), genetik, durasi terkena PGK dan ras (afrika-amerika), sedangkan faktor
risiko yang dapat diubah adalah tekanan darah, glukosa darah, kolesterol, indeks
massa tubuh, profil lipid, proteinuria, asam urat, dan anemia.15
Oleh karena beragamnya faktor risiko, maka penulis membatasi variabel yang
diteliti pada penelitian ini sesuai dengan yang tertera pada BAB I tentang tujuan
khusus, yaitu:
1. Tekanan Darah
Salah satu faktor risiko yang berperan adalah tekanan darah. Tekanan darah
terdiri dari tekanan sistolik yaitu tekanan tertinggi yang terjadi ketika otot
jantung berkontraksi dan tekanan diastolik yaitu tekanan terendah yang terdapat
ketika jantung mengalami pengisian (otot jantung berelaksasi). Tekanan darah
sistemik berpengaruh terhadap faktor hemodinamik intraglomerulus. Tekanan
darah dipengaruhi oleh retensi sodium dan air, aktivasi system Renin-
Angiotensin-Aldosteron, serta aktivasi sistem saraf simpatis.16
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, oleh sebab apapun sebagai
etiologi PGK maka akan menyebabkan kerusakan beberapa nefron. Nefron
yang masih baik mengambil alih fungsi yang sudah rusak dan mengalami
hiperfiltrasi untuk mempertahankan LFG dalam batas normal. Nefron yang
masih intak mengalami hipertensi glomerulus dan vasodilatasi. Jika ditambah
dengan faktor hipertensi sistemik, maka tekanan akan diteruskan ke
intraglomerulus, hal ini akan menyebabkan cedera glomerulus, dan pada
pemeriksaan biopsi didapatkan sklerosis glomerulus sekunder. Proliferasi sel
glomerulus, infiltrasi makrofag, dan akumulasi komponen matriks ekstraselular
berkontribusi terhadap lesi sklerotik glomerulus, meregangkan kapiler, yang

19
kemudian juga meregangkan sel mesangial dan menginduksi proliferasi
mesangial. Perubahan ini terjadi tidak diyakini pasti mekanismenya,
diperkirakan penyebab dari mekanisme ini adalah adanya TGF-B
(Transforming Growth Factor-B) dan PDGF (Platelet-Derived Growth Factor).
Selain itu, pada orang dengan hipertensi primer, bahwa terdapat aktivitas RAA
sistem yang berlebihan yang di mana diketahui bahwa Angiotensin-II selain
dapat meningkatkan tekanan intraglomerulus, juga berperan dalam fibrosis
tubulointerstisial dengan cara meningkatkan stimulasi pengeluaran sitokin dan
growth factor serta aktivasi makrofag.16
Proses di atas akan semakin progresif menyebabkan kerusakan nefron
residu karena sklerotik dan fibrosis tadi, yang akhirnya justru semakin
menurunkan LFG total, penurunan LFG total akan meningkatkan volume darah
total yang berhubungan dengan tekanan darah sistemik, jadi terjadi lingkaran
yang saling mempengaruhi hingga akhirnya terjadi ESRD. Tekanan
intraglomerulus juga dapat diketahui dengan derajat albuminuria. Tingginya
tekanan intraglomerulus menyebabkan semakin banyaknya albumin yang
terfiltrasi dan lolos hingga ke urin. Sehingga estimasi LFG dan albuminuria
dapat dijadikan standar dalam menilai progresivitas Penyakit Ginjal Kronik
(PGK).16
Hipertensi telah lama diidentifikasi sebagai faktor risiko pada PGK dan
ESRD, dan terjadi pada 27% pada pasien ESRD di Amerika Serikat dan 28%
dari pasien hemodialisa di Turki. Dari studi lain menunjukkan 5,9% dari 8683
sampel penelitian kohort yang memiliki kadar serum kreatinin >1,5 mg/dl,
setelah difollow up 2,3% dari sampel ini mengalami kehilangan fungsi ginjal
yang signifikan setelah 5 tahun.8

2. Kadar Gula Darah


Diabetes mellitus telah lama diketahui sebagai faktor determinan timbulnya
CKD (nefropati diabetik) dan ESRD pada negara berkembang dan negara maju.
Mekanisme yang terjadi pada nefropati diabetik adalah kerusakan sel

20
hiperfiltrasi, peningkatan jalur poliol (polyol pathway), produksi AGEs
(Advanced-Glycation End Products) dan ROS (Reactive Oxygen Species).8
Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya
kadar glukosa, hiperglikemia, dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/
perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-
sel mesangial. Keadaan ini dapat menyebabkan glomerulosklerosis dan
berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada
permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya
albuminuria.17
Glikosilasi non enzimatik adalah reaksi reversible pengikatan glukosa pada
protein, lemak, dan asam nukleat tanpa aktivitas enzim. Dengan adanya
hiperglikemia yang terus-menerus, glukosa akan menjadi irreversibel berikatan
dengan kolagen dan protein-protein lain dalam dinding pembuluh darah dan
jaringan interstisial. Produk inilah yang disebut AGEs (Advanced Glycation
End-Products). AGEs dapat menyebabkan kerusakan jaringan atau keadaan
patologis melalui beberapa mekanisme:17
a. Pengikatan protein seperti albumin, LDL (Low-Density Lipoprotein),
immunoglobulin dan penebalan membran basalis atau peningkatan
permeabilitas pembuluh darah
b. Pengikatan pada reseptor-reseptor sel seperti makrofag, menyebabkan
pelepasan sitokin dan hormon pertumbuhan yang dapat menstimulasi
terjadinya proliferasi pada glomerulus dan dinding sel otot polos pada
pembuluh darah.
c. Merangsang terjadinya oksidasi lemak dan oksigen radikal
d. Inaktivasi nitrit oksida dengan peningkatan permeabilitas dan
vasodilatasi
e. Perubahan koaguluasi pada sel-sel endothelial
Jaringan-jaringan yang tidak memerlukan insulin untuk transpor glukosa
seperti ginjal, sel darah merah, pembuluh darah, retina mata, dan sel saraf,
menggunakan mekanisme pathway yang dinamakan polyol pathway. Dengan
adanya hiperglikemi, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose

21
reductase. Sorbitol kemudian akan diubah menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol
dehydrogenase. Akumulasi dari sorbitol dan fruktosa akan meningkatkan
tekanan osmotik intraseluler yang akan menarik air ke dalam sel, dan kerusakan
sel lebih lanjut.17
Selain itu, pada penelitian invitro didapatkan bahwa paparan glukosa pada
sel endotel dalam jangka panjang menimbulkan kelainan pada replikasi dan
pematangan sel endotel dan membran basalis. Seperti yang telah dijelaskan di
atas, bahwa hiperglikemi juga dapat menyebabkan produksi radikal bebas
melalui reaksi autooksidasi glukosa. Molekul radikal bebas tersebut berupa
anion superoksida, radikal hidroksil, dan hydrogen peroksida. Radikal bebas
dapat menyebabkan kerusakan struktur DNA sel dan kerusakan sel.17
Selain itu, hiperglikemi dapat menyebabkan DAG (Diacylglycerol) dan
kenaikan DAG akan meningkatkan aktivitas protein kinase C (PKC). Aktivasi
PKC menyebabkan perubahan-perubahan fungsi vaskuler. Perubahan-
perubahan yang terjadi berupa peningkatan VEGF (Vascular Endotelial Growth
Factor), ekspresi protein membran basalis (PAI/Plasminogen Activator
Inhibitor) dan fibronectin). Akibatnya terjadi perubahan membran basalis,
perubahan permeabilitas vaskuler, dan hemodinamik.17
Hasil penelitian tentang progresivitas penyakit ginjal pada pasien DM tipe
2 pada orang-orang pima Indian memperlihatkan karakteristik hiperfiltrasi
glomerulus. Hiperfiltrasi akan meningkatan sekresi katekolamin yang akan
merangsang reseptor B pada sel jukstaglomerulus kemudian renin kemudian
angiotensin II menyebabkan konstriksi arteriol eferen glomerulus yang
mengakibatkan hipertensi glomerulus yang mempercepat terjadinya penurunan
fungsi ginjal.17
Pada data epidemiologi di Turki, pasien diabetes jumlahnya sebesar 37,3%
dari total pasien yang menjalani hemodialysis rutin. Sebanyak 8% dari pasien
yang baru terdiagnosis DM tipe 2 telah ditemukan proteinuria saat diagnosis.
Pada mereka yang awalnya tidak terdapat proteinuria, resiko setelah 20 tahun
mengalami nefropati diabetik adalah 41%, 10 tahun mendatang resiko untuk
mengalami PGK progresif adalah 11%. Jadi setengah dari pasien DM tipe

22
diprediksi mengalami nefropati, dan 10% diantaranya mengalami penurunan
fungsi ginjal yang progresif.8,18

3. Kadar Kolesterol Total


Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pada hewan coba terjadi
percepatan progresivitas dari PGK dikarenakan adanya hiperkolesterolemia.
Mekanisme pasti pada proses ini belum dapat diterangkan dengan jelas, diyakini
bahwa disatu sisi, hiperkolesterolemia dapat memperburuk PGK namun disisi
lain, bahwa adanya PGK dapat mencetuskan adanya hiperkolesterolemia.
Hiperkolesterolemia juga biasa terdapat pada pasien dengan diabetes mellitus.19
Penjelasan mengenai mekanisme di mana abnormalitas kadar serum lipid
mungkin berkontribusi terhadap progresivitas penyakit ginjal adalah lipid
sirkuler terikat dan terjebak pada molekul matriks ekstraseluler, di mana lipid
ini mengalami oksidasi membentuk ROS (reactive oxygen species) seperti
anion superoksida, dan hydrogen peroksida, menyebabkan penurunan dari
EDGI (Endothelium-Derived Growth Inhibitor), seperti prostasiklin dan nitrat
oksida, dengan peningkatan dari EDGF (Endothelial-Derived Growth Factor)
seperti angiotensin-II, endothelin-1 dan plasminogen activator inhibitor-1,
yang menyebabkan gangguan vascular yang signifikan pada ginjal. Makrofag
memfagosit lipid yang teroksidasi tadi dan membentuk foam cell (sel busa). Di
mana sel ini melepaskan sitokin yang merekrut makrofag lebih banyak ke
daerah lesi dan mempengaruhi deposisi lipid, fungsi endotel, dan proliferasi otot
polos vaskuler. Sel glomerulus memiliki kesamaan dengan karakteristik yang
terdapat pada dinding pembuluh darah dengan aterosklerosis, sehingga
mekanisme pathogenesis yang sama mungkin terjadi pada progresivitas
aterosklerosis dan penyakit ginjal kronik. Terdapat korelasi antara dyslipidemia
dengan reaksi stress oksidatif pada patogenesis kerusakan ginjal yang terlihat
pada hewan coba, di mana hiperlipidemia meningkatkan infiltrasi glomerulus
dan tubulus dan mencetuskan glomerulosklerosis.19
Pada penelitian di manusia pada satu dekade lalu telah dibuktikan melalui
penelitian bahwa terdapat hubungan antara kadar serum kolesterol dan

23
penurunan LFG yang terlihat pada 31 pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dan
mencetuskan nefropati. Pada mereka dengan kadar total kolesterol >7 mmol/L,
kecepatan penurunan LFG adalah tiga kali lebih tinggi disbanding mereka
dengan kadar serum kolesterol totalnya < 7 mmol/L. Kekuatan kadar kolesterol
total dalam memprediksi progresivitas pasien dengan nefropati diabetik pada
pasien DM tipe 1 telah dikonfirmasi pada penelitian terhadap 301 pasien yang
memiliki diabetes dan mengalami nefropati setelah follow up selama 7 tahun.19
Samuelsson et al. menemukan korelasi yang kuat antara lipoprotein yang
mengandung trigliserida tinggi dan kecepatan progresivitas pada pasien
nondiabetes dengan penyakit ginjal kronik. Muntner et al. kemudian
menunjukkan pasien dengan kadar HDL rendah dan hipertrigliseridemia
memiliki resiko untuk kehilangan fungsi ginjal. Di mana semua pasien yang
terlibat dalam penelitian ini (12.728 pasien) memiliki kreatinin <2 mg/dl pada
laki-laki dan <1,8 mg/dl pada perempuan menunjukkan hiperyrigliseridemia
sebagai faktor risiko independen untuk penyakit ginjal kronik. Telah terbukti
juga bahwa konsumsi statin dapat memberikan efek yang baik terhadap hewan
coba yang mengalami PGK. Studi lain menunjukkan bahwa kombinasi statin
dengan ACE-Inhibitor memiliki efek antiproteinuria yang kuat dengan
peningkatan fungsi ginjal yang signifikan. Kombinasi obat menunjukkan terjadi
glomerulosklerosis dan kerusakan tubulus yang lebih kecil dibanding dengan
placebo atau obat tanpa kombinasi.19
Berdasarkan pemaparan di atas bahwa secara teori hiperkolesterolemia
memiliki mekanisme yang mungkin dapat mempercepat progresifvitias PGK,
dan telah dibuktikan dalam penelitian in vivo baik pada hewan coba maupun
pada manusia.19

4. Indeks Massa Tubuh (IMT)


Salah satu faktor risiko terkuat yang dapat dimodifikasi dalam kejadian
ESRD adalah obesitas. Hipertrofi glomerulus dan hiperfiltrasi mungkin dapat
mempercepat kerusakan ginjal dengan meningkatkan ketegangan dinding
kapiler, dan mengurangi densitas podosit.8

24
Sebuah studi epidemiologi skala besar dari Swedia meneliti pengaruh
obesitas terhadap penyakit ginjal kronik. Pada studi ini, sampel yang berada pada
usia antara 18 sampai 74 tahun dengan serum kreatinin 3,4 mg/dl (laki-laki) atau
2,8 mg/dl (perempuan) selama studi penelitian dianalisis. Berat badan berlebih
(IMT >25 kg/m2) pada usia 20 tahun dihubungkan dengan risiko PGK 3 kali
lebih besar dibandingkan dengan mereka dengan IMT normal (IMT<2 kg/m2).
Obesitas (IMT>30 kg/m2) pada laki-laki dan obesitas morbid (IMT>35 kg/m2)
pada perempuan pada masa hidupnya beresiko 3 sampai 4 kali untuk mengalami
PGK yang progresif.20
Obesitas mungkin berperan dalam kerusakan ginjal melalui mekanisme
inflamasi, stress oksidatif, disfungsi endotel, status protrombosis, hypervolemia,
dan gangguan adipokin.8 Obesitas tidak hanya dikaitkan dengan kejadian
proteinuria dan PGK, namun berperan pula dalam percepatan proses PGK
menjadi ESRD. Obesitas morbid sendiri tanpa adanya penyakit ginjal primer
dapat mencetuskan glomerulosklerosis. Diketahui pula penurunan berat badan
dapat mengurangi derajat proteinuria, dan hal ini meningkatkan survival rate
pada pasien dengan PGK stadium 5.16

5. Kebiasaan Merokok
Merokok dapat meningkatkan risiko PGK melalui pencetusan status
proinflamasi, protrombotik, disfungsi endotel, glomerulosklerosis, dan atrofi
tubulus. Pada studi yang melibatkan 7476 pasien non-diabetes, merokok >20
batang per hari meningkatkan resiko kejadian PGK. Pada studi lain, setiap
penambahan 5 batang rokok perhari, berhubungan dengan kenaikan kadar
kreatinin serum >0,3 mg/dl pada 31%.8

25
BAB III
DEFINISI OPERASIONAL DAN KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti


Berdasarkan pemaparan dari tinjauan pustaka, bahwa penyakit ginjal kronik
(PGK) merupakan penyakit progresif yang ditandai dengan kerusakan struktural
atau penurunan fungsi ginjal.1 Terdapat beberapa faktor risiko dari kejadian
penyakit ini yang teridentifikasi memiliki pengaruh dari penelitian-penelitian
sebelumnya, yang terdiri dari yang modifiable (dapat dimodifikasi/diintervensi) dan
non-modifiable (tidak dapat dimodifikasi/tidak dapat diintervensi), yang dapat
dilihat pada tabel berikut:6,8
Tabel 5. Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik

Tidak dapat dimodifikasi Dapat dimodifikasi


(Non-modifiable) (Modifiable)
Usia (usia tua lebih berpengaruh) Tekanan Darah
Jenis Kelamin (laki-laki) Gula Darah
Ras Profil Lipid Serum
Genetik, riwayat keluarga Indeks Massa Tubuh
Kelainan Bawaan Merokok
Kadar asam urat
Proteinuria
Riwayat konsumsi obat-obat
nefrotoksik (NSAID, aminoglikosida,
COX-2 Inhibitor)
Sumber: Risk Factor for Chronic Kidney Disease: an Update, 2011

Berdasarkan pemaparan di atas, bahwa kejadian penyakit ginjal kronik (PGK)


dapat dicegah dengan mengidentifikasi faktor risiko yang dominan berpengaruh
terhadap kejadian penyakit ini. Hal ini menjadi penting dikarenakan bahwa
berdasarkan pemaparan sebelumnya, bahwa kejadian PGK akan bersifat progresif
dan jika sudah sampai pada tahap gagal ginjal, maka prognosisnya menjadi buruk,
dan berdampak besar pada kualitas hidup, biaya kesehatan, dan komplikasi-
komplikasi yang dapat timbul, yang bersifat sistemik.

26
Dari dasar pemikiran ini, maka penulis merasa perlu untuk mengetahui dan
mengidentifikasi faktor-faktor risiko apa saja dari yang telah dijelaskan pada
literatur, yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit ginjal kronik (PGK) di kota
Palu, khususnya pada RSUD Undata Palu. Karena keterbatasan waktu dan
sumberdaya, maka penulis hanya membatasi variabel yang akan diteliti pada
penelitian ini yaitu karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan
terakhir), riwayat hipertensi, riwayat diabetes mellitus (DM), riwayat
hiperkolesterolemia, riwayat obesitas (pengukuran IMT), riwayat merokok.

B. Kerangka Teori
Kerangka teori berdasarkan tinjauan pustaka adalah sebagai berikut

Sumber: Risk Factor for Chronic Kidney Disease: an Update, 2011

Gambar 6. Kerangka Teori

27
C. Kerangka Konsep

Faktor Risiko:

1. Tekanan Darah
(Riwayat Hipertensi) Kejadian Gagal
2. Kadar Gula Darah
Ginjal Kronik
(Riwayat DM)
3. Riwayat
Hiperkolesterolemia
4. Indeks Massa Tubuh
(Riwayat Obesitas)
5. Kebiasaan Merokok

Gambar 7. Kerangka Konsep

D. Definisi Operasional
Tabel 6. Definisi operasional variabel dan skala ukur

Skala
Cara Hasil
No Variabel Definisi Operasional Data
Pengukuran Pengukuran
Variabel Dependen

1. Gagal Ginjal Kronik Seseorang yang Data Dikategorikan Nominal


mengalami gagal ginjal Sekunder menjadi :
kronik berdasarkan Rekam 0 = Kontrol (tidak
diagnosis dokter dan Medik sakit)
sedang berobat 1 = Kasus (Sakit)
hemodialisis regular
Variabel Independen
Karakteristik Responden

2. Usia Lamanya hidup dalam Data Primer Dikategorikan Ordinal


tahun, yang dihitung menjadi :
sejak lahir 0=20-35 tahun
1=36-45 tahun
2=46-55 tahun
3=56-65 tahun
4= >65 tahun
3. Jenis Kelamin Karakteristik seks yang Data Primer Dikategorikan Nominal
membedakan pria dan Data menjadi :
wanita secara biologis Sekunder 0=Laki-laki
Rekam 1=Perempuan
Medik

28
Skala
Cara Hasil
No Variabel Definisi Operasional Data
Pengukuran Pengukuran
4. Pendidikan Jenjang pendidikan Data Primer Dikategorikan Ordinal
formal terakhir yang menjadi :
ditempuh 0=pra sekolah
1=sekolah dasar
2=sekolah
menengah
3=perguruan tinggi
Variabel Independen
Tekanan Darah

5. Riwayat hipertensi Seseorang yang pernah Data Primer Dikategorikan Nominal


mengalami tekanan menjadi :
darah >140/90 mmHg 0=ya
selama minimal 1 1=tidak
tahun sebelum
mengalami gagal ginjal
kronik
6. Riwayat berobat Perilaku berobat Data Primer Dikategorikan Nominal
antihipertensi antihipertensi menjadi :
responden 0=teratur
1=tidak teratur
7. Tekanan Darah Tekanan darah rata- Data primer Dikategorikan Ordinal
rata penderita gagal menjadi :
ginjal selama minimal 0=Normal (<120
1 tahun sebelum mmHg/ <80
mengalami gagal ginjal mmHg)
kronik 1= Prehipertensi
(120-139 mmHg /
80-89 mmHg)
2= Hipertensi
derajat 1 (140-159
mmHg / 90-99
mmHg)
3= Hipertensi
derajat 2 (160
mmHg / 100
mmHg)

29
Skala
Cara Hasil
No Variabel Definisi Operasional Data
Pengukuran Pengukuran
Variabel Independen
Gula Darah

8. Riwayat DM Riwayat pasien Data Primer Dikategorikan Nominal


terdiagnosis penyakit Data menjadi :
kencing manis oleh Sekunder 0=ya
dokter minimal 1 tahun Rekam 1=tidak
sebelum terdiagnosis Medik
gagal ginjal kronik
9. Riwayat berobat Perilaku pasien Data primer Dikategorikan Nominal
antidiabetik mengenai pengobatan menjadi :
antidiabetik yang 0=teratur
dilakukan 1= tidak teratur
10. Kadar gula darah Konsentrasi gula darah Data primer Dikategorikan Ordinal
sewaktu pasien rata- Data menjadi :
rata sebelum sekunder 0= <200mg/dl
terdiagnosis gagal rekam medik 1=200-300 mg/dl
ginjal kronik 2=300-400mg/dl
3= >400 mg/dl
Variabel Independen
Kadar Kolesterol

11. Riwayat Riwayat pasien Data primer Dikategorikan Norminal


Hiperkolesterolemia terdiagnosis Data menjadi :
hiperkolesterolemia sekunder 0= ya
oleh dokter minimal 1 rekam medik 1= tidak
tahun sebelum
mengalami gagal ginjal
kronik
12. Riwayat berobat Perilaku pasien Data primer Dikategorikan Nominal
antikolesterol mengenai pengobatan menjadi :
antikolesterol yang 0=teratur
dilakukan 1= tidak teratur
Variabel Independen
Indeks Massa Tubuh

13. Indeks Massa BB/(TB)2 Data primer Dikategorikan Ordinal


Tubuh (IMT) BB =berat badan (kg) Data menjadi :
TB = tinggi badan (m) sekunder 0= <25 kg/m2 (non-
Nilai IMT minimal 1 rekam medik obes)
tahun sebelum 1= 25 kg/m2
terdiagnosis gagal (obes)
ginjal kronik

30
Skala
Cara Hasil
No Variabel Definisi Operasional Data
Pengukuran Pengukuran
Variabel Independen
Merokok

14. Riwayat Merokok Adanya riwayat Data primer Dikategorikan Nominal


merokok tiap hari menjadi :
minimal selama 1 0=tidak merokok
tahun sebelum 1=merokok
terdiagnosis gagal
ginjal kronik
15. Jumlah rokok Banyaknya batang Data primer Dikategorikan Ordinal
rokok yang dikonsumsi menjadi :
responden perhari 0=1-20 batang
minimal selama 1 1= >20 batang
tahun sebelum
terdiagnosis gagal
ginjal
16. Lama Merokok Waktu penderita mulai Data primer Dikategorikan Ordinal
merokok sampai menjadi :
setahun sebelum 0= <10 tahun
terdiagnosis gagal 1= 10 tahun
ginjal

E. Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis nol (H0)
a. Tidak ada hubungan antara riwayat hipertensi dengan kejadian gagal
ginjal kronik
b. Tidak ada hubungan antara riwayat diabetes mellitus (DM) dengan
kejadian gagal ginjal kronik
c. Tidak ada hubungan antara riwayat hiperkolesterolemia dengan
kejadian gagal ginjal kronik
d. Tidak ada hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kejadian
gagal ginjal kronik
e. Tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian gagal
ginjal kronik
2. Hipotesis alternatif (H1)
a. Ada hubungan antara riwayat hipertensi dengan kejadian gagal ginjal
kronik

31
b. Ada hubungan antara riwayat diabetes mellitus (DM) dengan kejadian
gagal ginjal kronik
c. Ada hubungan antara riwayat hiperkolesterolemia dengan kejadian
gagal ginjal kronik
d. Ada hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kejadian gagal
ginjal kronik
e. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian gagal ginjal
kronik

32
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain case-
control study. Penelitian case-control yaitu suatu penelitian dengan cara
membandingkan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan
paparannya pada masa lampau (retrospektif), rancangan tersebut bergerak dari
akibat/efek (penyakit) ke sebab (paparan/faktor resiko).21
Pada penelitian ini kelompok kasus adalah sampel yang mengalami penyakit
ginjal terminal/gagal ginjal kronik/ End-Stage Renal Disease (ESRD) berdasarkan
data rekam medik yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Undata Palu,
sedangkan kelompok kontrol adalah sampel yang tanpa penyakit ginjal kronik yang
berobat di RSUD Undata Palu. Rancangan penelitian ini di mana kasus dan kontrol
telah diketahui dan ditentukan jumlah sampelnya sejak awal, lalu masing-masing
dari kelompok tersebut ditelusuri ada tidaknya paparan faktor risiko yang mungkin
berpengaruh terhadap kejadian penyakit ginjal kronik (PGK) stadium akhir/gagal
ginjal.

Gambar 8. Rancangan Penelitian

33
B. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian
1. Lokasi
Lokasi penelitian ini adalah di unit hemodialisa RSUD Undata Palu,
Sulawesi Tengah. Peneliti memilih lokasi ini karena rumah sakit ini memiliki
unit hemodialisa yang merupakan rujukan utama untuk melakukan cuci darah
di Sulawesi Tengah, sehingga peneliti dengan mudah menemukan penderita
PGK yang dalam hal ini mengalami gagal ginjal terminal/ ESRD.
2. Waktu Pelaksanaan Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian ini yaitu pada bulan Oktober dan November
tahun 2016.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi Target
Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh penderita yang memenuhi
kriteria diagnosis penyakit ginjal kronik di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
2. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah penderita gagal ginjal kronik
yang berobat di RSUD Undata Palu pada bulan Oktober 2016.
3. Populasi Studi
Pada penelitian ini, populasi studi terdiri dari dua, yaitu:
a. Populasi kasus, yaitu seluruh pasien yang terdiagnosis gagal ginjal
kronik yang berobat jalan di unit hemodialisa RSUD Undata Palu pada
bulan Oktober 2016.
b. Populasi kontrol, yaitu seluruh pasien yang tidak terdiagnosis sebagai
penderita gagal ginjal kronik yang berobat di RSUD Undata Palu pada
bulan Oktober 2016.
4. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara metode
tertentu dan dianggap dapat mewakili populasi yang ditetapkan. Sampel harus
memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Pada penelitian
ini metode pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling, yaitu

34
peneliti memasukkan subjek penelitian yang berobat jalan di RSUD Undata
Palu yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi
hingga jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi.
Jenis sampel pada penelitian ini juga terbagi dua, yaitu:
a. Sampel kasus, yaitu sebagian dari pasien yang terdiagnosis gagal ginjal
kronik yang berobat jalan di unit hemodialisa RSUD Undata Palu pada
bulan Oktober 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi.
b. Sampel kontrol, yaitu sebagian dari pasien yang tidak terdiagnosis
sebagai penderita gagal ginjal kronik yang berobat di RSUD Undata
Palu pada bulan Oktober 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi.
5. Besar Sampel
Untuk menentukan besar sampel, digunakan rumus penentuan sampel untuk
penelitian case-control tidak berpasangan:22
(2 + (11 + 22))2
1 = 2 =
(1 2)2
Keterangan :
n1 dan n2 jumlah sampel minimal untuk masing-masing sampel kasus
(n1) dan sampel kontrol (n2).
Z : Tingkat kemaknaan, bernilai 1,96 (berdasarkan CI=95%, =0,05)
Z : Kekuatan /Power, bernilai 0,842 untuk =80%
P1 : Proporsi pajanan risiko pada kelompok kasus
P2 : Proporsi pajanan risiko pada kelompok kontrol
P = (P1 + P2)/2
Q1 = 1-P1 ; Q2 = 1-P2
Q = (Q1+Q2)/2
Berdasarkan rumus di atas serta merujuk pada penelitian yang telah ada
sebelumnya, maka sampel minimal untuk masing-masing variabel dapat dilihat
berdasarkan tabel berikut ini:17,23,24,25,26

35
Tabel 7. Jumlah sampel minimal untuk Setiap Perbandingan Satu Kasus Satu Kontrol

No. Variabel Peneliti P1 P2 OR N


1 Hipertensi Pranandari, 2015 0,55 0,23 4,044 36
2 Diabetes Melitus Putri, 2015 0,28 0,05 6,7 41
3 Hiperkolesterolemia Arsono, 2005 0,59 0,20 5,52 23
4 Obesitas Febryana, 2012 0,4 0,1 3,733 37
5 Merokok Hidayati, 2008 0,64 0,25 5,20 23

Dari tabel di atas, rata-rata jumlah sampel untuk memenuhi jumlah minimal
dari sampel berdasarkan variabel adalah 32 sampel. Dengan pertimbangan
kasus:kontrol 1:2, Jadi sampel kasus (n1) dibutuhkan sebesar 32 sampel dan
sampel kontrol (n2) dibutuhkan sebesar 64 sampel, total sampel yang dibutuhkan
adalah 96 sampel.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Tabel 8. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel Kasus dan Sampel Kontrol

Kriteria Inklusi Sampel Kasus Kriteria Inklusi Sampel Kontrol


a. Pasien yang didiagnosis sebagai a. Pasien yang berobat di RSUD
gagal ginjal kronik berdasarkan Undata Palu dan tidak terdiagnosis
data rekam medik dan dibuktikan sebagai penderita gagal ginjal
dengan sedang menjalani terapi kronik dibuktikan dengan data
hemodialisa rutin rekam medik dan wawancara
b. Usia responden minimal 20 tahun b. Usia responden minimal 20 tahun
c. Bersedia berpartisipasi dalam c. Bersedia berpartisipasi dalam
penelitian dengan menantangani penelitian dengan menandatangani
lembar persetujuan lembar persetujuan
Kriteria Eksklusi Sampel Kasus Kriteria Eksklusi Sampel Kontrol
a. Pasien yang terdiagnosis sebagai a. Data rekam medik pasien tidak
gagal ginjal kronik diakibatkan lengkap
kelainan kongenital/bawaan b. Pasien meninggal selama masa
b. Pasien yang telah menjalani penelitian
transplantasi ginjal
c. Data rekam medis pasien tidak
lengkap

36
E. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas (Independen)
Variabel bebas/independen adalah variabel yang mempengaruhi atau
sebagai penyebab dari variabel terikat/dependen, dalam penelitian ini yang
menjadi variabel bebas adalah karakteristik individu ( usia, jenis kelamin, dan
pendidikan terakhir), riwayat hipertensi, riwayat DM, riwayat
hiperkolesterolemia, indeks massa tubuh (IMT), riwayat merokok.
2. Variabel Terikat (Dependen)
Variabel terikat/dependen adalah variabel efek, atau variabel yang menjadi
akibat yang nilainya bisa berubah akibat variabel bebas. Dalam penelitian ini,
yang termasuk variabel terikat atau dependen adalah kejadian gagal ginjal
kronik.

F. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


1. Teknik Pengumpulan Data
a. Jenis Data yang Dikumpulkan
Data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer adalah jenis data yang didapatkan melalui wawancara
kepada sampel atau responden. Jenis data primer yang dikumpulkan adalah
informasi tentang karakteristik individu/responden (umur, jenis kelamin, dan
status pendidikan), riwayat hipertensi, riwayat diabetes mellitus, riwayat
hiperkolesterolemia, IMT (indeks massa tubuh), riwayat merokok.
Sedangkan data sekunder didapatkan dari hasil penelusuran rekam medik
pasien terkait hal yang belum jelas pada wawancara, untuk mengurangi bias
recall.
b. Prosedur Pengumpulan Data
1) Tahap Persiapan
a) Peneliti menyusun proposal penelitian
b) Pengurusan perizinan komisi etik penelitian
c) Pengurusan perizinan pelaksanaan penelitian di RSUD Undata
Palu

37
2) Tahap Pelaksanaan
a) Peneliti melakukan observasi lokasi yang akan digunakan
dalam proses penelitian.
b) Peneliti melakukan pemilihan sampel yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan tidak mempunyai kriteria eksklusi.
c) Peneliti memberikan penjelasan singkat mengenai latar
belakang, tujuan, dan manfaat penelitian, dan dilanjutkan
dengan informed consent.
d) Setelah itu, dilakukan wawancara dan pengisian kuesioner
penelitian oleh sampel penelitian/responden.
e) Jika diperlukan, dilakukan pengecekan terhadap rekam medik
pasien terkait riwayat yang tidak diketahui pasti untuk
mengurangi recall-biased.
f) Dilakukan pengecekan ulang pada kuesioner oleh peneliti.

2. Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Lembar kuisioner
Kuisioner ini digunakan sebagai daftar tilik pertanyaan yang akan
diajukan kepada setiap sampel dalam penelitian. Sebelum digunakan, tim
peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitasnya sehingga dapat
digunakan dalam proses penelitian.
b. Alat tulis
Alat tulis yang digunakan berupa buku catatan dan pulpen. Hal ini
dimaksudkan untuk mencatat informasi tambahan yang diperoleh selain
dari daftar tilik yang diajukan.
c. Alat Dokumentasi
Alat dokumentasi yang digunakan berupa kamera. Hal ini dimaksudkan
agar proses penelitian dapat terdokumentasi dan memiliki bukti fisik dalam
pelaporan.

38
G. Analisis dan Penyajian Data
1. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan lain-lain, sehingga
dapat dengan mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain. Analisis data dan uji statistik dilakukan dengan program IBM SPSS
20 (Statistical Product and Service Solution). Dalam penelitian ini, proses
analisis data adalah sebagai berikut:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Data kategorik dalam penelitian ini
disajikan dalam bentuk jumlah atau frekuensi tiap kategori (n) atau
persentase tiap kategori (%). Pada penelitian ini, untuk mendesripsikan
karakteristik responden dilakukan analisis distribusi variabel yang diteliti
dengan statistik deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik
untuk mengetahui proporsi masing-masing variabel.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap variabel yang diduga berhubungan
atau berkorelasi. Dilakukan dengan uji chi square yang digunakan untuk
menguji hipotesis hubungan yang signifikan antara faktor risiko (riwayat
hipertensi, riwayat DM, riwayat hiperkolesterolemia, IMT obesitas,
kebiasaan merokok) dengan kejadian penyakit ginjal kronik yang dalam
penelitian ini diseragamkan sebagai penyakit ginjal kronik (PGK) stadium
terminal atau gagal ginjal atau End-stage Renal Disease (ESRD). Jika tidak
memenuhi syarat dengan uji hipotesis chi square, maka dilakukan uji
hipotesis Kolmogorov-Smirnov. Dasar pengambilan keputusan adanya
hubungan tersebut berdasarkan tingkat kesalahan = 0,05 dengan
penafsiran signifikansi (nilai p) yaitu:
1) Jika nilai p > 0,05 maka tidak ada hubungan
2) Jika nilai p < 0,05, maka ada hubungan

39
Analisis selanjutnya yang digunakan untuk melihat variabel bebas
termasuk faktor risiko atau tidak adalah dengan melihat nilai Odds Ratio
(OR). Interpretasi Odds Ratio adalah sebagai berikut:
1) Jika OR > 1, berarti variabel tersebut berpengaruh (merupakan
faktor risiko)
2) Jika OR < 1, berarti variabel tersebut bersifat protektif.
c. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan besar dan eratnya
pengaruh antara variabel bebas dan terikat, serta melihat variabel bebas
mana yang paling erat hubungannya dengan variabel terikat. Analisis
multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda dengan tingkat
kemaknaan 5% (=0,05) untuk mengetahui hubungan masing-masing
variabel independen dengan variabel dependen. Variabel yang memiliki OR
tertinggi maka disebut variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap
kejadian penyakit ginjal kronik stadium ESRD.
2. Penyajian Data
Cara penyajian data penelitian ini dilakukan dalam berbagai bentuk. Pada
penelitian ini penyajian data dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penyajian
dalam bentuk teks/narasi, penyajian dalam bentuk tabel, dan penyajian dalam
bentuk grafik.

H. Etika Penelitian
1. Melakukan perizinan kepada komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin untuk melaksanakan penelitian.
2. Menyertakan surat pengantar dan permohonan izin melaksanakan penelitian
kepada pihak manajemen RSUD Undata Palu.
3. Menjaga kerahasiaan identitas yang terdapat dalam lembar kuesioner,
sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian
yang dilakukan.

40
I. Alur Penelitian
Langkah Hasil
Pengumpulan Data Awal Memperoleh data sekunder, jumlah penderita gagal ginjal
(latar belakang)

Identifikasi Masalah Menganalisis masalah berdasarkan data sekunder

Merumuskan masalah, Tujuan Rumusan masalah, tujuan (umum dan khusus), dan
dan manfaat manfaat (praktis &teoritis)

Menentukan desain Penelitian Desain penelitian yang dianggap sesuai yaitu case-
control study

Menentukan Populasi dan Pengambilan sampel menggunakan consecutive


Sampel sampling

Mengumpulkan data Hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi kegiatan


dikumpulkan dalam bentuk softcopy

Mengolah dan menganalisis


data Analisis univariat, bivariat, dan multivariat

Penyajian data, hasil dan Data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi,
kesimpulan grafik, dan teks narasi

Kesimpulan dan Saran pembahasan dirangkum dalam bentuk


Hasil dan Pembahasan
kesimpulan dan Saran
Kesimpulan saran

Gambar 9. Alur Pelaksanaan Penelitian

41
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
Penelitian ini telah dilakukan pada 96 responden yang terdiri dari 32
responden yang terdiagnosis gagal ginjal kronik di RSUD Undata Palu dan 64
responden yang tidak terdiagnosis sebagai gagal ginjal kronik yang melakukan
pengobatan di RSUD Undata Palu.
Adapun distribusinya bisa dilihat pada tabel berikut ini.

42
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra, K. (2012). Penyakit Ginjal Kronik. In A. Sudoyo, et al (Ed.), Ilmu


Penyakit Dalam (VI ed.). Jakarta: Interna Publishings.
2. KDIGO. (2013). Clinical Evaluation Guidelines for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements,
3(1), 1-150.
3. Foundation, N. K. (2015). World Kidney Day: Chronic Kidney Disease.
Retrieved Oct, 3rd, 2016, from http://www.worldkidneyday.org/faqs/chronic-
kidney-disease/.
4. GBD. (2013). Global, regional, and national age-sex specific all-cause and
cause-specific mortality for 240 causes of death, 1990-2013: a systematic
analysis for the Global Burden of Disease Study 2013. Lancet, 385(9963), 117-
171.
5. NKUDIC. (2012). Kidney Disease Statistics. Retrieved Oct 7th, 2016, from
http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/kustats/#17.
6. Couser WG, R. G., Mendis S, Tonelli M. (2011). The contribution of chronic
kidney disease to the global burden of major noncommunicable diseases.
Kidney International Supplements, 80(12), 1258-1270.
7. Kemenkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
8. Kanzaciogu, R. (2011). Risk Factor for Chronic Kidney Disease: an Update.
[Review Article]. Kidney International Supplements, 3(4), 368-371.
9. Bargman JM, S. K. (2008). Chronic Kidney Disease. In e. a. Fauci AS (Ed.),
Harrison's Principles of Internal Medicine (17th ed., pp. 1761-1771). New
York: MCGraw-Hill.
10. Ghoul, e. a. (2009). Nonprogressive kidney dysfunction and outcomes in older
adults with chronic kidney disease. J Am Geriatr Soc., 57(12), 2217-2223. doi:
10.1111/j.1532-5415.2009.02561.x.
11. Chaudry, S. (2011). Chronic Kidney Disease Patophysiology. Retrieved Oct
08th, 2016, from http://www.pathophys.org/ckd/.

44
12. Arora, P. (2015). Chronic Kidney Disease. Retrieved Oct 08th, 2016, from
http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview#a3.
13. Rahardjo P, E. S., Suhardjono. (2009). Hemodialisis. In A. Sudoyo, et al. (Ed.),
Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1050-1052). Jakarta: Interna Publishings.
14. Kathleen. (2008). Dialysis in the Treatment of Renal Failure. In e. a. Fauci AS
(Ed.), Harrison's Principles of Internal Medicine (17th ed., pp. 1772-1775). New
York: McGraw-Hill.
15. Levin, A. (2001). Identification of Patients and Risk Factor in Chronic Kidney
Disease-Evaluating Risk Factor and Therapeutic Strategies. [Review Article].
Nephrol Dial Transplant, 16(7), 57-60.
16. Metcalfe, W. (2007). How does early chronic kidney disease progress? [Review
Article]. Nephrol Dial Transplant, 22(9), 26-30. doi: 10.1093/ndt/gfm446
17. Arsono, S. (2005). Diabetes Melitus sebagai Faktor Risiko Gagal Ginjal
Terminal. Master of Health, Universitas Diponegoro, Semarang.
18. Lea JP, N. S. (2002). Diabetes mellitus and hypertension: key risk factors for
kidney disease. J Natl Med Assoc, 94(8), 75-155.
19. Roberto T, A. R., Dodesini, Lepore G. (2006). Lipids and Renal Disease.
[Review Article]. J Am Soc Nephrol 17(5), 145-147. doi: 10.1681
20. Ejerblad E, M. F. C., Lindblad P, et al. (2006). Obesity and risk for chronic
renal failure. [Original Article]. J Am Soc Nephrol., 17, 1695-1702.
21. Porta, M., ed. (Ed.) (2008). A Dictionary of Epidemiology (5th ed.). New York:
Oxford University Press.
22. Sastroasmoro S, I. S. (2014). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis (V
ed.). Jakarta: Sagung Seto.
23. Febryana, L. (2012). Hipertensi, obesitas dan Diabetes Melitus (Komponen
Sindrom Metabolik) Sebagai Prediktor Kejadian Penyakit Ginjal Kronik.
Udayana, Denpasar.
24. Floresa, P. (2015). Beberapa Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik di RSD dr.
Soebandi. Universitas Jember, Jember.

45
25. Hidayati, T., Kushadiwijaya, H., Suhardi. (2008). Hubungan antara Hipertensi,
Merokok, dan Minuman Suplemen Energi dan Kejadian Penyakit Ginjal
Kronik. Berita Kedokteran Masyarakat, 24(2), 90-102.
26. Pranandari R, S. W. (2015). Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik di Unit
Hemodialisa RSU Wates Kulon Progo. [Original Article]. Majalah
Farmaseutik, II(2), 316-320.

46

También podría gustarte