Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
pada umumnya akan berakhir pada penyakit ginjal tahap akhir/gagal ginjal (end-
stage renal disease). Sedangkan gagal ginjal kronik atau ESRD ini merupakan
suatu kondisi klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible,
yang membutuhkan terapi pengganti ginjal yang tetap untuk mempertahankan
kehidupan, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) tahun
2012, penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai suatu abnormalitas struktur
ataupun fungsi ginjal yang telah terjadi selama tiga bulan atau lebih, yang dapat
diklasifikasikan menurut etiologinya, atau menurut laju filtrasi glomerulus (LFG)
atau derajat albuminurianya.2
PGK kini menjadi masalah kesehatan serius di dunia, di mana terdapat
peningkatan angka insidensi, prevalensi, selain itu prognosis yang buruk dan
tingginya biaya dalam penatalaksanaannya (cost). Berdasarkan data epidemiologi
dari National Kidney Foundation memaparkan bahwa terdapat sekitar 10% dari
populasi dunia terkena PGK, yang menyebabkan kematian pada 409.000 jiwa pada
tahun 1990 menjadi 956.000 jiwa pada tahun 2013. Sekitar lebih dari 2.000.000
jiwa di seluruh dunia mendapatkan terapi dialisis atau transplantasi ginjal untuk
dapat hidup, namun jumlah ini hanya mewakili sekitar 10% dari total populasi yang
membutuhkan terapi ini, dan oleh sebab itu terdapat jutaan jiwa yang meninggal
setiap tahunnya karena tidak mendapatkan akses untuk terapi.3,4
Data di Amerika Serikat, pada tahun 1995-1999 menyatakan insidens
penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk per tahun, dan
angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Menurut data dari National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), terdapat 1 dari
10 orang dewasa pada populasi Amerika Serikat mengalami PGK dengan berbagai
1
stadium, dan menjadi penyebab kematian ke sembilan terbanyak. Prevalensi PGK
di Amerika Serikat meningkat secara bermakna sesuai usia (4% pada usia 29-39,
47% pada usia >70 tahun).5 Sedangkan untuk angka ESRD diperkirakan terdapat
sekitar 350 jiwa per 1 juta populasi, dengan angka prevalensi sangat tinggi pada
usia >65 tahun (5% menjadi 37% pada kelompok usia ini). Di negara ini pula, total
biaya yang dibutuhkan untuk PGK sebesar lebih dari $48 miliar per tahunnya dan
anggaran untuk tatalaksana gagal ginjal sebesar 6,7% dari total anggaran kesehatan.
Di Uruguay, total biaya yang dihabiskan pertahunnya untuk dialisis sebesar $23
juta yang merupakan 30% dari anggaran negara ini untuk tatalaksana spesialis. Di
Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal
ginjal pertahunnya.1
Diperkirakan bahwa angka kejadian gagal ginjal meningkat secara
signifikan pada beberapa negara berkembang, seperti India dan China, di mana
jumlah populasi lanjut usia yang juga meningkat. Pada negara dengan pendapatan
menengah (negara berkembang) memiliki dampak yang tentu lebih buruk dari
negara maju dari segi biaya. Terapi dengan dialysis atau transplantasi menyebabkan
beban finansial yang besar untuk orang-orang yang membutuhkannya. Pada 112
negara berkembang lainnya , termasuk Indonesia, banyak orang tidak mendapatkan
terapi yang memadai, menyebabkan angka kematian sebesar lebih dari 1.0000.000
jiwa pertahun akibat gagal ginjal yang tidak ditatalaksanai.6
Data epidemiologi di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2013 memaparkan
prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia adalah 0,2% dari total populasi.
Adapun provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah (0,5%). Jika
saat ini penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa berarti terdapat 504.248 jiwa
yang menderita PGK. Berikut gambar yang menampilkan infromasi jumlah pasien
yang mengalami penyakit ginjal tahap akhir (stadium 5) berdasarkan etiologi dan
geografisnya di Indonesia tahun 2011.7
2
Sumber: Riset Kesehatan Dasar, 2013.
Gambar 1. Prevalensi ESRD di Indonesia berdasarkan Etiologi dan Geografisnya.7
3
(riwayat keluarga), tekanan darah, proteinuria, LFG, kadar gula darah (diabetes
mellitus), dyslipidemia, Indeks Massa Tubuh (IMT), kadar asam urat, riwayat
merokok, konsumsi obat-obatan (aminoglikosida, COX-2 inhibitors, NSAID/Non-
Steroid Anti-Inflammatory Drugs, zat kontras), ada tidaknya riwayat shock atau
dehidrasi berat.8 Namun, tidak semua PGK akan berakhir kepada ESRD. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Ghoul et al. pada 177 pasien PGK yang difollow up
selama 47 bulan, didapatkan hasil bahwa terdapat sekitar 30% dari pasien PGK,
tetap stabil (non-progressive), hal ini dihubungkan dengan tekanan darah yang
stabil, proteinuria yang rendah, dan terkontrolnya faktor-faktor risiko penyakit
jantung koroner seperti kolesterol, dan IMT.10
Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: Faktor-faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal Kronik/End-
Stage Renal Disease (ESRD) pada Pasien Rawat Jalan di Unit Hemodialisa RSUD
Undata Palu, Sulawesi Tengah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah: Faktor-faktor apa saja yang memberikan pengaruh terhadap kejadian
Gagal Ginjal Kronik/ ESRD?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian gagal ginjal kronik (ESRD).
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1) Untuk mengidentifikasi karakteristik penderita gagal ginjal kronik/
ESRD yang berobat jalan di unit hemodialisa di RSUD Undata Palu
yang meliputi umur, jenis kelamin, dan pendidikan terakhir.
4
2) Untuk mengetahui hubungan riwayat hipertensi terhadap kejadian gagal
ginjal kronik/ESRD, hubungan tingkat tekanan darah dan pola
pengobatan antihipertensi terhadap kejadian gagal ginjal kronik.
3) Untuk mengetahui hubungan antara riwayat diabetes mellitus (DM),
tingkat gula darah dan pola pengobatan diabetes terhadap kejadian gagal
ginjal kronik.
4) Untuk mengetahui hubungan antara riwayat hiperkolesterolemia dan
pola pengobatan antihiperkolesterolemia dengan kejadian gagal ginjal
kronik/ESRD.
5) Untuk mengetahui hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan
kejadian gagal ginjal kronik/ESRD.
6) Untuk mengetahui riwayat merokok, jumlah rokok perhari dan durasi
merokok dengan kejadian gagal ginjal kronik/ESRD.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang epidemiologi
khususnya mengenai beberapa faktor risiko gagal ginjal kronik di RSUD
Undata Palu, sehingga dapat menjadi salah satu acuan telaah studi epidemiologi
dan kesehatan masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan peneliti dalam
menganalisis masalah kesehatan khususnya yang berkaitan dengan kajian
mengenai faktor risiko gagal penyakit ginjal kronik.
b. Bagi Tenaga Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi tenaga kesehatan
untuk lebih mengoptimalkan kemampuannya dalam melakukan penyuluhan
dan pengendalian faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian gagal
ginjal kronik.
5
c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
masyarakat khususnya masyarakat yang belum terkena penyakit ginjal
kronik untuk tidak menerapkan pola hidup yang dapat memperbesar resiko
kejadian gagal ginjal kronik.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Klasifikasi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dapat diklasifikasi PGK berdasarkan LFG
atau albuminuria atau berdasarkan etiologinya yang akan dijelaskan kemudian.
Untuk klasfikasi berdasarkan LFG dapat dilihat pada tabel di bawah.
7
Stadium LFG (mL/menit/1,73m2) Keterangan
G3b 30-44 Penurunan sedang-berat
G4 15-29 Penurunan berat
G5 <15 Gagal ginjal
Sumber: Clinical Evaluation Guidelines for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease, 2013.
8
tersebut merupakan 50% dari penurunan LFG normal rata-rata, yang
menandakan adanya kerusakan 50% dari nefron dan dihubungkan dengan
semakin besarnya kemungkinan timbulnya komplikasi (ESRD, komplikasi
kardiovaskular, sindrom uremia, dll).2,8
3. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan
negara lainnya. Tabel di bawah menunjukkan penyebab utama dan insiden
penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan perhimpunan Nefrologi
Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatata penyebab ginjal gagal ginjal yang
menjalani hemodialisa di Indonesia.1
Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab lain yang
tidak diketahui.1
Penyebab Insidensi
Diabetes Melitus 44%
Tipe 1 (7%)
Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah 27%
besar
Glomerulonefritis 10%
Nefritis Interstisialis 4%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit Lain 4%
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2 Edisi 6, 2012.
9
Tabel 4. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia tahun 2000.1
Penyebab Insidensi
Glomerulonefritis 46,39%
Hipertensi 8,46%
10
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresivitas
PGK adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dyslipidemia. Terdapatnya
variabilitas individual untuk terjadinya sclerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstisial.1
Pada stadium paling dini dari penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan di mana basal LFG masih normal
atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien belum
merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan menurun, dan
11
penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus,
mual muntah, dan lain sebagainya.1
Kesimpulannya bahwa apapun etiologi dari PGK tersebut, kerusakan nefron
akan diadaptasi oleh nefron yang masih sehat, namun secara perlahan nefron
tersebut juga akan mengalami kerusakan progresif akibat kondisi mekanik
(hiperfiltrasi dan hipertensi glomerulus) dan kondisi biokimiawi (TGF-B) yang
memicu sklerosis dan fibrosis yang merusak fungsi nefron tersebut.1
12
osteodistrofi renal, gagal jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit.1
2. Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya, PGK tidak bergejala dan tidak didapatkan kelainan
pemeriksaan fisik yang berarti. Kecuali jika diketahui penyebab dasarnya,
maka hasil pemeriksaan fisik akan sesuai dengan etiologinya (misalnya SLE
didapatkan ruam kulit, nyeri sendi, diabetes, anemi, hipertensi, dll). Oleh
karena itu, pentingnya pemeriksaan lanjutan (laboratorium, pencitraan, dan
histopatologi) bagi pasien yang beresiko tinggi dan sangat dicurigai
mengalami PGK.12
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang terpenting pada PGK adalah darah
rutin, panel metabolic, urinalisis, dengan perhitungan fungsi ginjal. Anemia
normositik normokromik sering ditemui pada kasus PGK. Penyebab anemia
yang lainnya sebaiknya telah disingkirkan.12
Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin serum kadarnya
meningkat pada pasien PGK. Hiperkalemia dan rendahya kadar bikarbonat
juga dapat ditemui. Serum albumin dapat menurun akibat kehilangan
protein oleh kerusakan ginjal atau malnutrisi. Pemeriksaan profil lipid pada
pasien PGK sebaiknya dilakukan untuk memantau resiko penyakit
kardiovaskular. Pemeriksaan kadar fosfat, 25-hidroksivitamin D, dan alkali
fosfatase dan hormone paratiroid sebaiknya diperiksa untuk mengetahui ada
tidaknya komplikasi pada tulang (osteodistrofi renalis).12
Pemeriksaan yang paling penting dari PGK yaitu menghitung fungsi
ginjal, dapat dilakukan dengan:9
a. Persamaan Cockroft-Gault
([140] []
Estimasi bersihan kreatinin (eCCl) = 72
13
b. Persamaan Modification of Diet in Renal Disease Study (MDRD)
LFG (mL/menit/1,73m2) = 1,86
Keterangan: hasil dikalikan dengan 0,742 untuk perempuan
hasil dikalikan dengan 1,21 untuk ras afrika-amerika
Persamaan ini tidak membutuhkan berat badan pasien seperti cockroft-
gault. Hasil ini menggambarkan fungsi ginjal, namun untuk penentuan
ada tidaknya kerusakan struktur ginjal, tetap harus berpatokan juga pada
pemeriksaan lainnya, seperti proteinuria, kadar eritrosit, pH darah,
elektrolit, dll.
4. Pemeriksaan Radiologis dan Histopatologis
Pemeriksaan radiologi PGK untuk melihat penyebab dasar, atau
mengetahui ukuran dan struktur anatomi ginjal. Dapat dilakukan foto polos
abdomen untuk melihat batu saluran kemih, USG dapat melihat ukuran
ginjal yang mengecil pada PGK, penipisan korteks akibat sklerosis dan
fibrosis, melihat hidronefrosis, kista, abses, dll. Pemeriksaan ginjal dengan
kontras sebaiknya dihindari pada PGK karena dikhawatirkan menyebabkan
toksik pada kontras.1
Pemeriksaan histopatologis dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, di mana diagnosis secara non-invasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menerapkan terapi, prognosis dan evaluasi hasil terapi
yang diberikan. Kontraindikasi biopsy ginjal pada ukuran ginjal sudah
mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan
obesitas.1
14
harapan pertolongan lagi, keadaan tersebut dinamakan gagal ginjal/ESRD. Pada
keadaan ini, ginjal sudah tidak dapat mengeliminasi toksin yang ada dalam
tubuh, sehingga membutuhkan terapi/metode khusus yang disebut sebagai
terapi pengganti ginjal. Salah satu terapi pengganti ginjal adalah hemodialysis.
Adapun jenis-jenis terapi pengganti ginjal, yaitu hemodialysis, peritoneal
dialysis, dan transplantasi ginjal, namun hemodialysis merupakan metode
paling banyak digunakan pada pasien ESRD (>90%).13
Hemodialisis menggunakan prinsip difusi dari zat terlarut (zat toksin seperti
urea dan kreatinin dan zat lainnya) dari darah ke mesin dialisat melalui
membrane semipermeabel. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin
tinggi bila perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, diberi
tekanan hidrostatik di kompartemen darah, dan bila tekanan osmotik di
kompartemen cairan dialysis lebih tinggi.13
Tujuan dari proses hemodialisis ini adalah mengeliminasi toksin baik itu
dengan berat molekul rendah maupun tinggi. Prosedur kerja terjadi dengan cara
darah dipompa oleh mesin dari tubuh pasien ke mesin dialysis dengan kecepatan
300-500 mL/menit dan dipompa kembali ke tubuh dengan kecepatan aliran 500-
800 mL/menit. Dosis dialisis (fraksi bersihan urea persatu kali proses
hemodialysis) ditentukan bergantung pada ukuran tubuh pasien, residu fungsi
ginjal, intake protein, derajat kelainan metabolism dan faktor komorbid lainnya.
15
Kebanyakan pasien dengan ESRD memerlukan 9 sampai 12 jam seminggu yang
dibagi dalam tiga sesi, biasanya 4 jam persesi. Komplikasi akut dari
hemodialysis adalah hipotensi, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung, gatal, demam, menggigil. Hipotensi merupakan
komplikasi tersering, yang dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adanya
shunt arteri vena yang besar atau laju ultrafiltrasi yang terlalu tinggi.14
Pada umumnya indikasi dialisis pada PGK jika LFG sudah kurang dari 5
mL/menit/1,73m2, namun dapat juga dilakukan hemodialisa pada kondisi
berikut :
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum >6 mEq/L
Ureum darah > 200 mg/dL
pH darah < 7,1
Anuria berkepanjangan (>5 hari)
Fluid Overloaded
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler semipermiabel
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik, kendala yang
ada adalah biaya yang mahal.13
16
Menurut KDIGO tahun 2013, prognosis dari PGK ditentukan dari penyebab
PGK, derajat penurunan LFG, derajat albuminuria, dan ada tidaknya faktor-
faktor komorbid yang lainnya. Untuk prognosis berdasarkan LFG dan derajat
albuminuria, bisa dilihat pada gambar berikut, dengan keterangan bahwa kotak
hijau artinya resiko rendah, kotak orange artinya resiko menengah/moderat,
sedangkan warna merah berarti resiko tinggi (prognosis buruk).2
2. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada kondisi gagal ginjal terminal (tahap akhir)
yang membutuhkan terapi pengganti ginjal berasal dari ketidakmampuan ginjal
melakukan fungsinya. Walaupun serum urea dan kreatinin dapat digunakan
untuk mengukur fungsi ekskresi ginjal, akumulasi dari dua molekul ini tidak
terlalu berperan dalam timbulnya gejala akibat sindrom uremia. Ratusan jenis
toksin yang menumpuk pada gagal ginjal berimplikasi terhadap kejadian
sindom uremia. Toksin tersebut termasuk senyawa yang larut air, hidrofobik,
terikat oleh protein, bermuatan ion, dan yang tidak bermuatan listrik. Termasuk
pula didalamnya produk nitrogen hasil metabolisme (guanido, asam urat,
hipurat, hasil metabolism asam nukleat, poliamina, mioinositol, fenol, benzoat,
dan indol. Senyawa dengan berat antara 500-1500 Da yang disebut molekul
17
ukuran sedang, juga tertahan di tubuh dan berkontribusi terhadap morbiditas
dan mortalitas.9
Sindrom uremia yang merupakan komplikasi dari gagal ginjal terjadi akibat
kegagalan eksresi ginjal dan mekanisme lanjutan akibat gangguan ginjal tingkat
lanjut. Fungsi metabolik dan regulasi nutrisi oleh ginjal juga terganggu yang
menyebabkan terjadinya anemia, malnutrisi, dan abnormalitas metabolism
karbohidrat, lemak dan protein. Lebih lanjut, kadar plasma dari hormon insulin,
PTH, glukagon, hormone seks, dan prolactin berubah akibat gagal ginjal. Pada
akhirnya, perburukan fungsi ginjal lebih lanjut akan mengakibatkan inflamasi
sistemik, ditandai dengan kenaikan CRP (C-Reactive Protein). Jadi,
patofisiologi sindrom uremia dapat dibagi menjadi tiga manifestasi kelainan,
yaitu akibat dari akumulasi produk toksin yang mestinya dieksresikan oleh
ginjal, termasuk hasil sisa metabolisme protein, akibat dari gangguan fungsi
homeostasis ginjal, yakni homeostasis cairan dan elektrolit serta regulasi
hormonal, dan inflamasi sistemik progresif, dengan konsekuensi vaskuler dan
nutrisinya.9
18
F. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Penyakit Ginjal Kronik
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi penyakit ginjal kronik. Parameter uji yang utama dalam menilai
progresivitas PGK adalah perhitungan LFG dan derajat albuminuria, karena
parameter ini mencerminkan tingkat gangguan fungsi dan struktural dari ginjal.
Terdapat berbagai faktor resiko kejadian dari penyakit ginjal kronik, faktor risiko
tidak dapat diubah (non-modifiable) adalah usia, jenis kelamin (laki-laki lebih
beresiko), genetik, durasi terkena PGK dan ras (afrika-amerika), sedangkan faktor
risiko yang dapat diubah adalah tekanan darah, glukosa darah, kolesterol, indeks
massa tubuh, profil lipid, proteinuria, asam urat, dan anemia.15
Oleh karena beragamnya faktor risiko, maka penulis membatasi variabel yang
diteliti pada penelitian ini sesuai dengan yang tertera pada BAB I tentang tujuan
khusus, yaitu:
1. Tekanan Darah
Salah satu faktor risiko yang berperan adalah tekanan darah. Tekanan darah
terdiri dari tekanan sistolik yaitu tekanan tertinggi yang terjadi ketika otot
jantung berkontraksi dan tekanan diastolik yaitu tekanan terendah yang terdapat
ketika jantung mengalami pengisian (otot jantung berelaksasi). Tekanan darah
sistemik berpengaruh terhadap faktor hemodinamik intraglomerulus. Tekanan
darah dipengaruhi oleh retensi sodium dan air, aktivasi system Renin-
Angiotensin-Aldosteron, serta aktivasi sistem saraf simpatis.16
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, oleh sebab apapun sebagai
etiologi PGK maka akan menyebabkan kerusakan beberapa nefron. Nefron
yang masih baik mengambil alih fungsi yang sudah rusak dan mengalami
hiperfiltrasi untuk mempertahankan LFG dalam batas normal. Nefron yang
masih intak mengalami hipertensi glomerulus dan vasodilatasi. Jika ditambah
dengan faktor hipertensi sistemik, maka tekanan akan diteruskan ke
intraglomerulus, hal ini akan menyebabkan cedera glomerulus, dan pada
pemeriksaan biopsi didapatkan sklerosis glomerulus sekunder. Proliferasi sel
glomerulus, infiltrasi makrofag, dan akumulasi komponen matriks ekstraselular
berkontribusi terhadap lesi sklerotik glomerulus, meregangkan kapiler, yang
19
kemudian juga meregangkan sel mesangial dan menginduksi proliferasi
mesangial. Perubahan ini terjadi tidak diyakini pasti mekanismenya,
diperkirakan penyebab dari mekanisme ini adalah adanya TGF-B
(Transforming Growth Factor-B) dan PDGF (Platelet-Derived Growth Factor).
Selain itu, pada orang dengan hipertensi primer, bahwa terdapat aktivitas RAA
sistem yang berlebihan yang di mana diketahui bahwa Angiotensin-II selain
dapat meningkatkan tekanan intraglomerulus, juga berperan dalam fibrosis
tubulointerstisial dengan cara meningkatkan stimulasi pengeluaran sitokin dan
growth factor serta aktivasi makrofag.16
Proses di atas akan semakin progresif menyebabkan kerusakan nefron
residu karena sklerotik dan fibrosis tadi, yang akhirnya justru semakin
menurunkan LFG total, penurunan LFG total akan meningkatkan volume darah
total yang berhubungan dengan tekanan darah sistemik, jadi terjadi lingkaran
yang saling mempengaruhi hingga akhirnya terjadi ESRD. Tekanan
intraglomerulus juga dapat diketahui dengan derajat albuminuria. Tingginya
tekanan intraglomerulus menyebabkan semakin banyaknya albumin yang
terfiltrasi dan lolos hingga ke urin. Sehingga estimasi LFG dan albuminuria
dapat dijadikan standar dalam menilai progresivitas Penyakit Ginjal Kronik
(PGK).16
Hipertensi telah lama diidentifikasi sebagai faktor risiko pada PGK dan
ESRD, dan terjadi pada 27% pada pasien ESRD di Amerika Serikat dan 28%
dari pasien hemodialisa di Turki. Dari studi lain menunjukkan 5,9% dari 8683
sampel penelitian kohort yang memiliki kadar serum kreatinin >1,5 mg/dl,
setelah difollow up 2,3% dari sampel ini mengalami kehilangan fungsi ginjal
yang signifikan setelah 5 tahun.8
20
hiperfiltrasi, peningkatan jalur poliol (polyol pathway), produksi AGEs
(Advanced-Glycation End Products) dan ROS (Reactive Oxygen Species).8
Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya
kadar glukosa, hiperglikemia, dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/
perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-
sel mesangial. Keadaan ini dapat menyebabkan glomerulosklerosis dan
berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada
permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya
albuminuria.17
Glikosilasi non enzimatik adalah reaksi reversible pengikatan glukosa pada
protein, lemak, dan asam nukleat tanpa aktivitas enzim. Dengan adanya
hiperglikemia yang terus-menerus, glukosa akan menjadi irreversibel berikatan
dengan kolagen dan protein-protein lain dalam dinding pembuluh darah dan
jaringan interstisial. Produk inilah yang disebut AGEs (Advanced Glycation
End-Products). AGEs dapat menyebabkan kerusakan jaringan atau keadaan
patologis melalui beberapa mekanisme:17
a. Pengikatan protein seperti albumin, LDL (Low-Density Lipoprotein),
immunoglobulin dan penebalan membran basalis atau peningkatan
permeabilitas pembuluh darah
b. Pengikatan pada reseptor-reseptor sel seperti makrofag, menyebabkan
pelepasan sitokin dan hormon pertumbuhan yang dapat menstimulasi
terjadinya proliferasi pada glomerulus dan dinding sel otot polos pada
pembuluh darah.
c. Merangsang terjadinya oksidasi lemak dan oksigen radikal
d. Inaktivasi nitrit oksida dengan peningkatan permeabilitas dan
vasodilatasi
e. Perubahan koaguluasi pada sel-sel endothelial
Jaringan-jaringan yang tidak memerlukan insulin untuk transpor glukosa
seperti ginjal, sel darah merah, pembuluh darah, retina mata, dan sel saraf,
menggunakan mekanisme pathway yang dinamakan polyol pathway. Dengan
adanya hiperglikemi, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose
21
reductase. Sorbitol kemudian akan diubah menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol
dehydrogenase. Akumulasi dari sorbitol dan fruktosa akan meningkatkan
tekanan osmotik intraseluler yang akan menarik air ke dalam sel, dan kerusakan
sel lebih lanjut.17
Selain itu, pada penelitian invitro didapatkan bahwa paparan glukosa pada
sel endotel dalam jangka panjang menimbulkan kelainan pada replikasi dan
pematangan sel endotel dan membran basalis. Seperti yang telah dijelaskan di
atas, bahwa hiperglikemi juga dapat menyebabkan produksi radikal bebas
melalui reaksi autooksidasi glukosa. Molekul radikal bebas tersebut berupa
anion superoksida, radikal hidroksil, dan hydrogen peroksida. Radikal bebas
dapat menyebabkan kerusakan struktur DNA sel dan kerusakan sel.17
Selain itu, hiperglikemi dapat menyebabkan DAG (Diacylglycerol) dan
kenaikan DAG akan meningkatkan aktivitas protein kinase C (PKC). Aktivasi
PKC menyebabkan perubahan-perubahan fungsi vaskuler. Perubahan-
perubahan yang terjadi berupa peningkatan VEGF (Vascular Endotelial Growth
Factor), ekspresi protein membran basalis (PAI/Plasminogen Activator
Inhibitor) dan fibronectin). Akibatnya terjadi perubahan membran basalis,
perubahan permeabilitas vaskuler, dan hemodinamik.17
Hasil penelitian tentang progresivitas penyakit ginjal pada pasien DM tipe
2 pada orang-orang pima Indian memperlihatkan karakteristik hiperfiltrasi
glomerulus. Hiperfiltrasi akan meningkatan sekresi katekolamin yang akan
merangsang reseptor B pada sel jukstaglomerulus kemudian renin kemudian
angiotensin II menyebabkan konstriksi arteriol eferen glomerulus yang
mengakibatkan hipertensi glomerulus yang mempercepat terjadinya penurunan
fungsi ginjal.17
Pada data epidemiologi di Turki, pasien diabetes jumlahnya sebesar 37,3%
dari total pasien yang menjalani hemodialysis rutin. Sebanyak 8% dari pasien
yang baru terdiagnosis DM tipe 2 telah ditemukan proteinuria saat diagnosis.
Pada mereka yang awalnya tidak terdapat proteinuria, resiko setelah 20 tahun
mengalami nefropati diabetik adalah 41%, 10 tahun mendatang resiko untuk
mengalami PGK progresif adalah 11%. Jadi setengah dari pasien DM tipe
22
diprediksi mengalami nefropati, dan 10% diantaranya mengalami penurunan
fungsi ginjal yang progresif.8,18
23
penurunan LFG yang terlihat pada 31 pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dan
mencetuskan nefropati. Pada mereka dengan kadar total kolesterol >7 mmol/L,
kecepatan penurunan LFG adalah tiga kali lebih tinggi disbanding mereka
dengan kadar serum kolesterol totalnya < 7 mmol/L. Kekuatan kadar kolesterol
total dalam memprediksi progresivitas pasien dengan nefropati diabetik pada
pasien DM tipe 1 telah dikonfirmasi pada penelitian terhadap 301 pasien yang
memiliki diabetes dan mengalami nefropati setelah follow up selama 7 tahun.19
Samuelsson et al. menemukan korelasi yang kuat antara lipoprotein yang
mengandung trigliserida tinggi dan kecepatan progresivitas pada pasien
nondiabetes dengan penyakit ginjal kronik. Muntner et al. kemudian
menunjukkan pasien dengan kadar HDL rendah dan hipertrigliseridemia
memiliki resiko untuk kehilangan fungsi ginjal. Di mana semua pasien yang
terlibat dalam penelitian ini (12.728 pasien) memiliki kreatinin <2 mg/dl pada
laki-laki dan <1,8 mg/dl pada perempuan menunjukkan hiperyrigliseridemia
sebagai faktor risiko independen untuk penyakit ginjal kronik. Telah terbukti
juga bahwa konsumsi statin dapat memberikan efek yang baik terhadap hewan
coba yang mengalami PGK. Studi lain menunjukkan bahwa kombinasi statin
dengan ACE-Inhibitor memiliki efek antiproteinuria yang kuat dengan
peningkatan fungsi ginjal yang signifikan. Kombinasi obat menunjukkan terjadi
glomerulosklerosis dan kerusakan tubulus yang lebih kecil dibanding dengan
placebo atau obat tanpa kombinasi.19
Berdasarkan pemaparan di atas bahwa secara teori hiperkolesterolemia
memiliki mekanisme yang mungkin dapat mempercepat progresifvitias PGK,
dan telah dibuktikan dalam penelitian in vivo baik pada hewan coba maupun
pada manusia.19
24
Sebuah studi epidemiologi skala besar dari Swedia meneliti pengaruh
obesitas terhadap penyakit ginjal kronik. Pada studi ini, sampel yang berada pada
usia antara 18 sampai 74 tahun dengan serum kreatinin 3,4 mg/dl (laki-laki) atau
2,8 mg/dl (perempuan) selama studi penelitian dianalisis. Berat badan berlebih
(IMT >25 kg/m2) pada usia 20 tahun dihubungkan dengan risiko PGK 3 kali
lebih besar dibandingkan dengan mereka dengan IMT normal (IMT<2 kg/m2).
Obesitas (IMT>30 kg/m2) pada laki-laki dan obesitas morbid (IMT>35 kg/m2)
pada perempuan pada masa hidupnya beresiko 3 sampai 4 kali untuk mengalami
PGK yang progresif.20
Obesitas mungkin berperan dalam kerusakan ginjal melalui mekanisme
inflamasi, stress oksidatif, disfungsi endotel, status protrombosis, hypervolemia,
dan gangguan adipokin.8 Obesitas tidak hanya dikaitkan dengan kejadian
proteinuria dan PGK, namun berperan pula dalam percepatan proses PGK
menjadi ESRD. Obesitas morbid sendiri tanpa adanya penyakit ginjal primer
dapat mencetuskan glomerulosklerosis. Diketahui pula penurunan berat badan
dapat mengurangi derajat proteinuria, dan hal ini meningkatkan survival rate
pada pasien dengan PGK stadium 5.16
5. Kebiasaan Merokok
Merokok dapat meningkatkan risiko PGK melalui pencetusan status
proinflamasi, protrombotik, disfungsi endotel, glomerulosklerosis, dan atrofi
tubulus. Pada studi yang melibatkan 7476 pasien non-diabetes, merokok >20
batang per hari meningkatkan resiko kejadian PGK. Pada studi lain, setiap
penambahan 5 batang rokok perhari, berhubungan dengan kenaikan kadar
kreatinin serum >0,3 mg/dl pada 31%.8
25
BAB III
DEFINISI OPERASIONAL DAN KERANGKA KONSEP
26
Dari dasar pemikiran ini, maka penulis merasa perlu untuk mengetahui dan
mengidentifikasi faktor-faktor risiko apa saja dari yang telah dijelaskan pada
literatur, yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit ginjal kronik (PGK) di kota
Palu, khususnya pada RSUD Undata Palu. Karena keterbatasan waktu dan
sumberdaya, maka penulis hanya membatasi variabel yang akan diteliti pada
penelitian ini yaitu karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan
terakhir), riwayat hipertensi, riwayat diabetes mellitus (DM), riwayat
hiperkolesterolemia, riwayat obesitas (pengukuran IMT), riwayat merokok.
B. Kerangka Teori
Kerangka teori berdasarkan tinjauan pustaka adalah sebagai berikut
27
C. Kerangka Konsep
Faktor Risiko:
1. Tekanan Darah
(Riwayat Hipertensi) Kejadian Gagal
2. Kadar Gula Darah
Ginjal Kronik
(Riwayat DM)
3. Riwayat
Hiperkolesterolemia
4. Indeks Massa Tubuh
(Riwayat Obesitas)
5. Kebiasaan Merokok
D. Definisi Operasional
Tabel 6. Definisi operasional variabel dan skala ukur
Skala
Cara Hasil
No Variabel Definisi Operasional Data
Pengukuran Pengukuran
Variabel Dependen
28
Skala
Cara Hasil
No Variabel Definisi Operasional Data
Pengukuran Pengukuran
4. Pendidikan Jenjang pendidikan Data Primer Dikategorikan Ordinal
formal terakhir yang menjadi :
ditempuh 0=pra sekolah
1=sekolah dasar
2=sekolah
menengah
3=perguruan tinggi
Variabel Independen
Tekanan Darah
29
Skala
Cara Hasil
No Variabel Definisi Operasional Data
Pengukuran Pengukuran
Variabel Independen
Gula Darah
30
Skala
Cara Hasil
No Variabel Definisi Operasional Data
Pengukuran Pengukuran
Variabel Independen
Merokok
E. Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis nol (H0)
a. Tidak ada hubungan antara riwayat hipertensi dengan kejadian gagal
ginjal kronik
b. Tidak ada hubungan antara riwayat diabetes mellitus (DM) dengan
kejadian gagal ginjal kronik
c. Tidak ada hubungan antara riwayat hiperkolesterolemia dengan
kejadian gagal ginjal kronik
d. Tidak ada hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kejadian
gagal ginjal kronik
e. Tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian gagal
ginjal kronik
2. Hipotesis alternatif (H1)
a. Ada hubungan antara riwayat hipertensi dengan kejadian gagal ginjal
kronik
31
b. Ada hubungan antara riwayat diabetes mellitus (DM) dengan kejadian
gagal ginjal kronik
c. Ada hubungan antara riwayat hiperkolesterolemia dengan kejadian
gagal ginjal kronik
d. Ada hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kejadian gagal
ginjal kronik
e. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian gagal ginjal
kronik
32
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain case-
control study. Penelitian case-control yaitu suatu penelitian dengan cara
membandingkan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan
paparannya pada masa lampau (retrospektif), rancangan tersebut bergerak dari
akibat/efek (penyakit) ke sebab (paparan/faktor resiko).21
Pada penelitian ini kelompok kasus adalah sampel yang mengalami penyakit
ginjal terminal/gagal ginjal kronik/ End-Stage Renal Disease (ESRD) berdasarkan
data rekam medik yang menjalani hemodialisa rutin di RSUD Undata Palu,
sedangkan kelompok kontrol adalah sampel yang tanpa penyakit ginjal kronik yang
berobat di RSUD Undata Palu. Rancangan penelitian ini di mana kasus dan kontrol
telah diketahui dan ditentukan jumlah sampelnya sejak awal, lalu masing-masing
dari kelompok tersebut ditelusuri ada tidaknya paparan faktor risiko yang mungkin
berpengaruh terhadap kejadian penyakit ginjal kronik (PGK) stadium akhir/gagal
ginjal.
33
B. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian
1. Lokasi
Lokasi penelitian ini adalah di unit hemodialisa RSUD Undata Palu,
Sulawesi Tengah. Peneliti memilih lokasi ini karena rumah sakit ini memiliki
unit hemodialisa yang merupakan rujukan utama untuk melakukan cuci darah
di Sulawesi Tengah, sehingga peneliti dengan mudah menemukan penderita
PGK yang dalam hal ini mengalami gagal ginjal terminal/ ESRD.
2. Waktu Pelaksanaan Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian ini yaitu pada bulan Oktober dan November
tahun 2016.
34
peneliti memasukkan subjek penelitian yang berobat jalan di RSUD Undata
Palu yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi
hingga jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi.
Jenis sampel pada penelitian ini juga terbagi dua, yaitu:
a. Sampel kasus, yaitu sebagian dari pasien yang terdiagnosis gagal ginjal
kronik yang berobat jalan di unit hemodialisa RSUD Undata Palu pada
bulan Oktober 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi.
b. Sampel kontrol, yaitu sebagian dari pasien yang tidak terdiagnosis
sebagai penderita gagal ginjal kronik yang berobat di RSUD Undata
Palu pada bulan Oktober 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi.
5. Besar Sampel
Untuk menentukan besar sampel, digunakan rumus penentuan sampel untuk
penelitian case-control tidak berpasangan:22
(2 + (11 + 22))2
1 = 2 =
(1 2)2
Keterangan :
n1 dan n2 jumlah sampel minimal untuk masing-masing sampel kasus
(n1) dan sampel kontrol (n2).
Z : Tingkat kemaknaan, bernilai 1,96 (berdasarkan CI=95%, =0,05)
Z : Kekuatan /Power, bernilai 0,842 untuk =80%
P1 : Proporsi pajanan risiko pada kelompok kasus
P2 : Proporsi pajanan risiko pada kelompok kontrol
P = (P1 + P2)/2
Q1 = 1-P1 ; Q2 = 1-P2
Q = (Q1+Q2)/2
Berdasarkan rumus di atas serta merujuk pada penelitian yang telah ada
sebelumnya, maka sampel minimal untuk masing-masing variabel dapat dilihat
berdasarkan tabel berikut ini:17,23,24,25,26
35
Tabel 7. Jumlah sampel minimal untuk Setiap Perbandingan Satu Kasus Satu Kontrol
Dari tabel di atas, rata-rata jumlah sampel untuk memenuhi jumlah minimal
dari sampel berdasarkan variabel adalah 32 sampel. Dengan pertimbangan
kasus:kontrol 1:2, Jadi sampel kasus (n1) dibutuhkan sebesar 32 sampel dan
sampel kontrol (n2) dibutuhkan sebesar 64 sampel, total sampel yang dibutuhkan
adalah 96 sampel.
36
E. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas (Independen)
Variabel bebas/independen adalah variabel yang mempengaruhi atau
sebagai penyebab dari variabel terikat/dependen, dalam penelitian ini yang
menjadi variabel bebas adalah karakteristik individu ( usia, jenis kelamin, dan
pendidikan terakhir), riwayat hipertensi, riwayat DM, riwayat
hiperkolesterolemia, indeks massa tubuh (IMT), riwayat merokok.
2. Variabel Terikat (Dependen)
Variabel terikat/dependen adalah variabel efek, atau variabel yang menjadi
akibat yang nilainya bisa berubah akibat variabel bebas. Dalam penelitian ini,
yang termasuk variabel terikat atau dependen adalah kejadian gagal ginjal
kronik.
37
2) Tahap Pelaksanaan
a) Peneliti melakukan observasi lokasi yang akan digunakan
dalam proses penelitian.
b) Peneliti melakukan pemilihan sampel yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan tidak mempunyai kriteria eksklusi.
c) Peneliti memberikan penjelasan singkat mengenai latar
belakang, tujuan, dan manfaat penelitian, dan dilanjutkan
dengan informed consent.
d) Setelah itu, dilakukan wawancara dan pengisian kuesioner
penelitian oleh sampel penelitian/responden.
e) Jika diperlukan, dilakukan pengecekan terhadap rekam medik
pasien terkait riwayat yang tidak diketahui pasti untuk
mengurangi recall-biased.
f) Dilakukan pengecekan ulang pada kuesioner oleh peneliti.
38
G. Analisis dan Penyajian Data
1. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan lain-lain, sehingga
dapat dengan mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain. Analisis data dan uji statistik dilakukan dengan program IBM SPSS
20 (Statistical Product and Service Solution). Dalam penelitian ini, proses
analisis data adalah sebagai berikut:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Data kategorik dalam penelitian ini
disajikan dalam bentuk jumlah atau frekuensi tiap kategori (n) atau
persentase tiap kategori (%). Pada penelitian ini, untuk mendesripsikan
karakteristik responden dilakukan analisis distribusi variabel yang diteliti
dengan statistik deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik
untuk mengetahui proporsi masing-masing variabel.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap variabel yang diduga berhubungan
atau berkorelasi. Dilakukan dengan uji chi square yang digunakan untuk
menguji hipotesis hubungan yang signifikan antara faktor risiko (riwayat
hipertensi, riwayat DM, riwayat hiperkolesterolemia, IMT obesitas,
kebiasaan merokok) dengan kejadian penyakit ginjal kronik yang dalam
penelitian ini diseragamkan sebagai penyakit ginjal kronik (PGK) stadium
terminal atau gagal ginjal atau End-stage Renal Disease (ESRD). Jika tidak
memenuhi syarat dengan uji hipotesis chi square, maka dilakukan uji
hipotesis Kolmogorov-Smirnov. Dasar pengambilan keputusan adanya
hubungan tersebut berdasarkan tingkat kesalahan = 0,05 dengan
penafsiran signifikansi (nilai p) yaitu:
1) Jika nilai p > 0,05 maka tidak ada hubungan
2) Jika nilai p < 0,05, maka ada hubungan
39
Analisis selanjutnya yang digunakan untuk melihat variabel bebas
termasuk faktor risiko atau tidak adalah dengan melihat nilai Odds Ratio
(OR). Interpretasi Odds Ratio adalah sebagai berikut:
1) Jika OR > 1, berarti variabel tersebut berpengaruh (merupakan
faktor risiko)
2) Jika OR < 1, berarti variabel tersebut bersifat protektif.
c. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan besar dan eratnya
pengaruh antara variabel bebas dan terikat, serta melihat variabel bebas
mana yang paling erat hubungannya dengan variabel terikat. Analisis
multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda dengan tingkat
kemaknaan 5% (=0,05) untuk mengetahui hubungan masing-masing
variabel independen dengan variabel dependen. Variabel yang memiliki OR
tertinggi maka disebut variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap
kejadian penyakit ginjal kronik stadium ESRD.
2. Penyajian Data
Cara penyajian data penelitian ini dilakukan dalam berbagai bentuk. Pada
penelitian ini penyajian data dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penyajian
dalam bentuk teks/narasi, penyajian dalam bentuk tabel, dan penyajian dalam
bentuk grafik.
H. Etika Penelitian
1. Melakukan perizinan kepada komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin untuk melaksanakan penelitian.
2. Menyertakan surat pengantar dan permohonan izin melaksanakan penelitian
kepada pihak manajemen RSUD Undata Palu.
3. Menjaga kerahasiaan identitas yang terdapat dalam lembar kuesioner,
sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian
yang dilakukan.
40
I. Alur Penelitian
Langkah Hasil
Pengumpulan Data Awal Memperoleh data sekunder, jumlah penderita gagal ginjal
(latar belakang)
Merumuskan masalah, Tujuan Rumusan masalah, tujuan (umum dan khusus), dan
dan manfaat manfaat (praktis &teoritis)
Menentukan desain Penelitian Desain penelitian yang dianggap sesuai yaitu case-
control study
Penyajian data, hasil dan Data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi,
kesimpulan grafik, dan teks narasi
41
BAB V
A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
Penelitian ini telah dilakukan pada 96 responden yang terdiri dari 32
responden yang terdiagnosis gagal ginjal kronik di RSUD Undata Palu dan 64
responden yang tidak terdiagnosis sebagai gagal ginjal kronik yang melakukan
pengobatan di RSUD Undata Palu.
Adapun distribusinya bisa dilihat pada tabel berikut ini.
42
BAB VI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
43
DAFTAR PUSTAKA
44
12. Arora, P. (2015). Chronic Kidney Disease. Retrieved Oct 08th, 2016, from
http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview#a3.
13. Rahardjo P, E. S., Suhardjono. (2009). Hemodialisis. In A. Sudoyo, et al. (Ed.),
Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1050-1052). Jakarta: Interna Publishings.
14. Kathleen. (2008). Dialysis in the Treatment of Renal Failure. In e. a. Fauci AS
(Ed.), Harrison's Principles of Internal Medicine (17th ed., pp. 1772-1775). New
York: McGraw-Hill.
15. Levin, A. (2001). Identification of Patients and Risk Factor in Chronic Kidney
Disease-Evaluating Risk Factor and Therapeutic Strategies. [Review Article].
Nephrol Dial Transplant, 16(7), 57-60.
16. Metcalfe, W. (2007). How does early chronic kidney disease progress? [Review
Article]. Nephrol Dial Transplant, 22(9), 26-30. doi: 10.1093/ndt/gfm446
17. Arsono, S. (2005). Diabetes Melitus sebagai Faktor Risiko Gagal Ginjal
Terminal. Master of Health, Universitas Diponegoro, Semarang.
18. Lea JP, N. S. (2002). Diabetes mellitus and hypertension: key risk factors for
kidney disease. J Natl Med Assoc, 94(8), 75-155.
19. Roberto T, A. R., Dodesini, Lepore G. (2006). Lipids and Renal Disease.
[Review Article]. J Am Soc Nephrol 17(5), 145-147. doi: 10.1681
20. Ejerblad E, M. F. C., Lindblad P, et al. (2006). Obesity and risk for chronic
renal failure. [Original Article]. J Am Soc Nephrol., 17, 1695-1702.
21. Porta, M., ed. (Ed.) (2008). A Dictionary of Epidemiology (5th ed.). New York:
Oxford University Press.
22. Sastroasmoro S, I. S. (2014). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis (V
ed.). Jakarta: Sagung Seto.
23. Febryana, L. (2012). Hipertensi, obesitas dan Diabetes Melitus (Komponen
Sindrom Metabolik) Sebagai Prediktor Kejadian Penyakit Ginjal Kronik.
Udayana, Denpasar.
24. Floresa, P. (2015). Beberapa Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik di RSD dr.
Soebandi. Universitas Jember, Jember.
45
25. Hidayati, T., Kushadiwijaya, H., Suhardi. (2008). Hubungan antara Hipertensi,
Merokok, dan Minuman Suplemen Energi dan Kejadian Penyakit Ginjal
Kronik. Berita Kedokteran Masyarakat, 24(2), 90-102.
26. Pranandari R, S. W. (2015). Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik di Unit
Hemodialisa RSU Wates Kulon Progo. [Original Article]. Majalah
Farmaseutik, II(2), 316-320.
46