Está en la página 1de 12

La Jamaa

Kamis, 13 Februari 2014


Perkawinan antar orang berbeda agama

Problematika Perkawinan Antar Orang yang Berbeda Agama

Dr. La Jamaa, MHI

A. Pendahuluan
Bila diamati secara mendalam, salah satu yang disyari'atkan Islam adalah
pelestarian keturunan. Pernikahan disyari'atkan oleh Islam karena merupakan salah
satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan serta mmenjadi kunci ketenteraman
masyarakat. Oleh karena itu, adanya perkawinan merupakan suatu kebutuhan pokok
ummat manusia guna memelihara kedamaian dan keteraturan dalam kehidupan.
Dengan demikian maka masalah perkawinan yang diatur sedemikian rupa oleh Islam
bukanlah suatu persoalan yang dikesampimgkan. Tetapi merupakan suatu institusi
yang mutlak harus diikuti dan dipelihara.
Perkawinan adalah akad yang menghalalkan hubungan antara dua pihak yang
berakad sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan syara. Dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 disebutkan, bahwa:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Dengan demikian mendirikan rumah tangga yang kekal dan harmonis yang diikat
tali perkawinan merupakan hal yang suci. Dengan demikian perkawinan bukan sekedar
kontrak perjanjian perdata. Perjanjian dalam perkawinan merupakan perjanjian yang
sakral di hadapan Tuhan. Namun demikian tidak jarang terjadi tugas yang mulia
tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terjadi, karena orang muda yang
akan menempuh kehidupan rumah tangga hanya dapat mengartikan cinta sebagai
suatu keindahan dan romantisme belaka, mereka baru memiliki cinta dan emosi karena
belum diikat oleh rasa tanggung jawab yang sempurna. Sehingga banyak yang berakhir
dengan perceraian.2
Realitas menunjukkan bahwa terkadang anak muda memandang kehidupan
dalam perkawinan sebagai kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan tanpa
problematika sehingga pertimbangan keberagamaan terabaikan. Jelasnya, bahwa
dalam memilih calon pendamping hidupnya hanya didasarkan kepada faktor fisik (cantik
atau tampan) dan materi (kekayaan) tanpa mempertimbangkan kualitas keberagamaan
calon isteri atau suaminya. Sehingga terjadi perkawinan antar orang yang berbeda
agama, baik antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non muslim maupun
sebaliknya.

Masalahnya, adalah bagaimana legalitas (keabsahan) perkawinan mereka


menurut hukum Islam? Demikian juga keberadaan anal-anak yang lahir dari perkawinan
antar beda agama tersebut?
B. Konsepsi Perkawinan Menurut Islam
Islam diturunkan sebagai agama yang sempurna yang di dalamnya terkandung
nilai-nilai yang luhur sebagai petunjuk bagi umat manusia pada umumnya dan umat
Islam pada khususnya. Salah satu tuntunan Islam kepada umat manusia adalah
pelembagaan perkawinan. Keberadaan lembaga perkawinan pada hekekatnya untuk
mengakomodir kebutuhan manusia sekaligus untuk membedakan manusia yang
mempunyai harkat dan martabat dengan binatang yang tidak membutuhkan lembaga
perkawinan.

Secara fitrah setiap orang membutuhkan lawan jenisnya sebagai pendamping


hidupnya. Hal itu didorong oleh naluri ketertarikan kepada lawan jenisnya. Dengan
adanya lembaga perkawinan, naluri insaniah tersebut dapat tersalurkan secara
legal, mewujudkan kestabilan tatanan kehidupan umat manusia pada umumnya. Selain
itu perkawinan memberikan ketenteraman dan ketenangan lahir dan batin bagi kedua
belah pihak (laki-laki dan wanita). Hal ini diabadikan dalam QS. al-Rum: 21




Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.3
Kata taskun terambil dari kata sakana yang berarti diam, tenang
setelah sebelumnya goncang dan sibuk. Dari makna inilah, rumah dinamakan sakan
karena dia menjadi tempat memperoleh ketenangan setelah sebelumnya penghuninya
sibuk beraktivitas di luar rumah. Pernikahan melahirkan ketenangan batin.
Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya masing-
masing pasangan dengan pasangannya. Allah telah menciptakan dalam diri setiap
makhluk dorongan untuk menyatu dengan pasangannya apalagi masing-masing mau
mempertahankan eksistensi jenisnya. Dari sini Allah menciptakan pada diri mereka
naluri seksual, yang dari hari ke hari memuncak dan mendesak pemenuhannya. Melalui
kebersamaan dalam pernikahan, kekacauan pikiran dan gejolak jiwa itu mereda dan
masing-masing memperoleh ketenangan.4 Ini berarti bahwa keluarga yang dibangun
dalam ikatan pernikahan berwujud keluarga sakinah. Keluarga yang mampu
memberikan ketenangan dan kedamaian penghuninya.
Terwujudnya keluarga sakinah dibutuhkan suasana mawaddah karena orang
yang memiliki sifat mawaddah tidak akan rela pasangannya disentuh oleh sesuatu yang
mengeruhkannya, kendati boleh jadi dia memiliki sifat dan kecenderungan bersifat
kejam. Seorang penjahat yang dipenuhi hatinya oleh mawaddah, bukan saja tidak rela
pasangan hidupnya menanggung keburukan bahkan ia bersedia mengorbankan diri
demi kekasihnya. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari
kehendak buruk. Kalau seseorang menginginkan kebaikan dan mengutamakannya
untuk orang lain, maka dia telah mencintainya. Tetapi jikwa seseorang menghendaki
kebaikan untuk pasangannya, serta tidak menghendaki selain kebaikan untuknya- apa
pun yang terjadi- maka mawaddah telah menghiasi hati orang itu.5
Pasangan suami isteri yang memiliki sifat mawaddah adalah tidak meletakkan
kebahagiaan kehidupan keluarga pada kenikmatan duniawi. Dalam pandangannya
tidak ada celah-celah yang menjadi sumber keburukan pasangannya dalam jiwanya.
Implikasinya adalah pasangan suami isteri yang memiliki mawaddah tak akan pernah
memutuskan hubungan apa pun yang terjadi.
Di samping membutuhkan cinta, mawaddah, keluarga sakinah juga
membutuhkan rahmah, dan amanah Allah. Keempatnya merupakan tali temali ruhani
perekat pernikahan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada
rahmah, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu
beragama, amanahnya terpelihara, karena Allah memerintahkan dengan firman-Nya
dalam al-Nisa (4): 19




)19 : (


Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.6

Rahmah, adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat


menyaksikkan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk
memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami isteri
akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi
pasangannya serta menolak segala yang mengganggunya.7

Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan pernikahan karena


betapa pun hebatnya seseorang (suami dan isteri), pasti mempunyai kelemahan dan
betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Sehingga suami
dan isteri harus berusaha untuk saling melengkapi sesuai isyarat QS. al-Baqarah (2):
187:
)187 : (

... Isteri-isteri kamu adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk
mereka...8

Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami isteri saling membutuhkan
sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami isteri -
yang masing-masing menurut kodratnya mempunyai kekurangan harus dapat
berfungsi menutup kekurangan pasangannya, seperti halnya pakaian menutup aurat
(kekurangan) pemakainya. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi pemakainya, maka
suami adalah hiasan bagi isterinya, begitu pula sebaliknya (QS. Al-Araf (7): 26). Kalau
pakaian mampu memelihara manusia dari sengatan panas dan dingin (QS. Al-Nahl:
81), maka suami terhadap isterinya dan isteri terhadap suaminya harus mampu
melindungi pasangannya dari krisis dan kesulitan yang mereka hadapi.9

Dengan kata lain hubungan suami isteri dalam sebuah keluarga sakinah adalah
seperti hubungan antara raga manusia dengan pakaian yang dikenakannya. Hati dan
jiwa pasangan sudah sedemikian melekat sehingga keduanya hidup bersama secara
damai dalam atmosfir cinta yang harmonis.10
Di samping itu pernikahan adalah merupakan amanah. Amanah adalah sesuatu
yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena
kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta
keberadaannya aman di tangan yang diberi. Dalam konteks ini, isteri adalah amanah di
pelukan suami, suami pun adalah amanah di pangkuan isteri. Tidak mungkin orang tua
dan keluarga masing-masing akan merestui pernikahan tanpa adanya rasa percaya dan
aman itu. Suami dan isteri tak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan
percaya kepada pasangannya.11

Kesediaan seorang isteri untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki,


meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya, dan mengganti semua
itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama laki-laki asing yang menjadi
suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam, karena ia merasa
yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih dan pembelaan suami
terhadapnya tidak kurang dari pembelaan saudara-saudaranya. Dalam konteks ini
Sayyid Qub mengatakan bahwa al Quran mengabadikan tentang sentuhan
kehangatan dan keceriaan yang memberikan kemesraan, kelembutan dan kesejukan
dalam hubungan suami isteri, yang berbeda dengan citra kekasaran binatang.12
Ini berarti bahwa pasangan suami isteri yang membangun keluarga sakinah akan
hidup harmonis di antara keduanya dan dengan anak-anaknya dalam suasana saling
mengasihi dan menyayangi sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah
tangganya.
Mengingat kehidupan keluarga yang ideal menurut Islam, adalah keluarga
saknah, mawaddah dan rahmah, maka para ulama fiqh sepakat bahwa untuk memulai
suatu pernikahan ada beberapa langkah yang perlu dilalui dalam upaya mencapai cita-
cita keluarga sakinah.
Langkah-langkah itu dimulai dengan peminangan (khitbah) calon isteri oleh pihak
laki-laki dan melihat calon isteri; sebaliknya pihak perempuan juga berhak melihat dan
menilai calon suaminya dari segi keserasiannya. Dari berbagai rangkaian pendahuluan
pernikahan itu menurut Muhammad Zaid al-Ibyan (tokoh fiqh dari Bagdad), Islam
mengharapkan dalam pernikahan nanti tidak muncul kendala yang akan
menggoyahkan suasana saknah, mawaddah, dan rahmah itu.13
Tidak kalah pentingnya pula, bahwa dasar utama pembentukan keluarga sakinah
juga ditentukan keberagamaan pasangan hidup. Sebab hal ini akan mendorong
terwujudnya saling pengertian dan mempercayai antara suami isteri. Keberagamaan
pasangan hidup akan memberikan nilai positif dalam kehidupan keluarga. Nabi saw
bersabda:








14
Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw bersabda: Perempuan itu dinikahi karena
empat hal; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya. Maka carilah yang beragama supaya kamu bahagia.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa perkawinan mempunyai suatu
tujuan yang harus dipahami oleh calon suami istri, supaya terhindar dari keretakan
dalam rumah tangga, yang biasanya berakhir dengan perceraian yanga sangat dibenci
oleh Allah. Adapun tujuan perkawinan antara lain:
1. Menentramkan Jiwa.
Allah menciptakan hamba-Nya hidup berpasangan dan tidak hanya manusia
saja, tetapi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu adalah suatu yang alami, yaitu laki-
laki tertarik kepada wanita dan begitu juga sebaliknya.
Bila sudah terjadi akad nikah si wanita merasa jiwanya tenteram, karena merasa
ada yang melindungi dan ada yang bertangung jawab dalam rumah tangga. Si suami
pun merasa tenteram karena merasa ada yang mendampinginya untuk mengurus
rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka, dan teman
bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. Sebagaimana diisyaratkan
Allah dalam QS al-Rum: 21 di atas.

Ketenteraman jiwa yang dirasakan pasangan suami isteri dalam ikatan


perkawinan itu bukan berarti tanpa kesalahpahaman atau perselisihan di antara
keduanya. Namun kesalahpahaman dan perselisihan yang terjadi dapat diselesaikan
secara bijak. Sehingga terjadinya kesalahpahaman dan perselisihan justru hanya
merupakan romantikan dalam bahtera rumah tangga, dan bukan sebagai berkembang
menjadi permusuhan.
2. Mewujudkan (melestarikan) Keturunan.
Biasanya sepasang suami istri tidak ada yang mendambakan anak turunan
untuk meneruskan kelengkapan hidup. Anak turunan diarahkan dapat mengambil alih
tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah tertanam di dalam jiwa suami atau istri.
Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah melalui firman-
Nya dalam QS. Al-Nahl: 72:




Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu
dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang
baik-baik.15
Jelasnya, bahwa melalui perkawinan akan dilahirkan generasi (anak cucu) yang
legal secara yuridis sehingga diharapkan akan memberikan kontribusi positif dalam
pembangunan keluarga dan masyarakat yang beradab.

Kalau dilihat dari ajaran Islam, di samping alih generasi secara estafet, anak
cucupun diharapkan dapat menyelamatkan orang tuanya (nenek-moyangnya) sesudah
meninggal dunia dengan memanjatkan do'a kepada Allah. Bahkan anak menjadi
investasi bagi kedua orangtua dalam menggapai keredaan Allah di dunia dan akherat.
Nabi saw bersabda:
:
) (
16
Artinya:
Jika manusia sudah meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara.
Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakan orangtuanya.
(HR. Muslim)
Dengan demikian anak yang dilahirkan dalam sebuah perkawinan, bukan hanya
untuk melanjutkan keturunan secara kuantitas umat, namun terlebih untuk
meningkatkan kualitas umat. Dalam konteks ini, anak merupakan amanah Tuhan
kepada kedua orangtuanya. Dalam konteks ini pula perkawinan melahirkan berbagai
tugas dan kewajiban bagi suami isteri- termasuk kewajiban mereka kepada anak-
anak yang dilahirkannya.
3. Memenuhi Kebutuhan Biologis.
Hampir semua manusia yang sehat jasmani dan rohaninya menginginkan
hubungan seks. Bahkan dunia hewanpun berperilaku demikian. Keinginan demikian
adalah alamiah, tidak perlu dibendung dan dilarang. Namun demikian pemenuhan
kebutuhan biologis itu harus diatur melalui lembaga perkawinan, supaya tidak terjadi
penyimpangan, tidak lepas bebas begitu saja sehingga norma-norma adat istiadat dan
agama dilanggar.

Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan sexual sudah ada tertanam
dalam diri manusia atas kehendak Allah. Kalau tidak ada kecenderungan dan keinginan
untuk itu tentu manusia tidak akan berkembangbiak. Hal ini serupa dengn firman Allah
dalam QS : An-Nisa :1





Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya
Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak... 17
4. Latihan Memikul Tanggung Jawab.
Pada dasarnya, Allah menciptakan manusia didalam kehidupan ini tidak hanya
untuk sekedar makan, minum, hidup kemudian mati seperti yang dialami oleh makhluk
hidup lainnya. Lebih jauh lagi manusia diciptakan supaya berpikir, menentukan,
mengatur, mengurus segala persoalan, mencari dan memberi manfaat untuk umat.
Sesuai dengan maksud penciptaan manusia dengan segala keistimewaan
berkarya, maka manusia itu tidak pantas bebas dari tanggung jawab. Manusia
bertanggung jawab dalam keluarga, masyarkat dan Negara. Latihan itu pula dimulai
dari ruang lingkup yang terkecil lebih dahulu (keluarga), kemudian baru meningkat
kepada yang lebih luas lagi.
C. Aspek Hukum Perkawinan Antar orang yang Berbeda Agama

Yang di maksud dengan "perkawinan antar orang yang berbeda agama" di sini,
ialah perkawinan orang Islam (laki-laki atau wanita) dengan wanita atau laki-laki non
Islam. Dalam masalah ini, terdapat tiga kemungkinan, antara lain:
1) Perkawinan antar seorang laki-laki Muslim dengan wanita musyrik ;
2) Perkawinan antar seorang laki-laki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab ;
3) Perkawinan antar seorang wanita Muslimah dengan laki-laki non Muslim
1. Perkawinan antara Seorang Muslim dengan Wanita Musyrik
Islam melarang perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita
musyrik, berdasarkan firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 221


Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik,
walaupun dia rnenarik hatimu.18

Namun demikian di kalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa


musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu Jarir al-Thabari -
seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah
dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-Quran memang
tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat
ini, seorang Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti
wanita Cina, India, dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa
kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu, yang percaya pada Tuhan
Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad
Abduh19 juga sependapat dengan ini.

Tetapi kebanyakan (jumhur) ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah baik


dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni Yahudi
(Yudaisme) dan Kristen tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang
bukan Islam, dan bukan pula Yahudi/Kristen tidak boleh dikawini oleh laki-laki Muslim,
apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu., Konghucu,
Majusi/Zoroaster, karena pemeluk agama selain Islam, Kristen, dan Yahudi itu
termasuk kategori "musyrikah".20
2. Perkawinan antara Seorang Laki-laki Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab
Jumhur (kebanyakan) ulama, baik Hanafi, Maliki, Syafii, maupun Hanbali
berpendapat, bahwa seorang laki-laki Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab
(Yahudi atau Kristen), sesuai firman Allah dalam QS.al-Maidah: 5




Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-
orang yang diberi kitab suci sebelum kamu...21
Ayat di atas memuat informasi bahwa seorang laki-laki muslim selayaknya
mengawini wanita beriman yang menjaga kehormatannya. Ayat ini juga menjelaskan
bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini wanita dari kalangan ahli kitab dengan
persyaratan wanita tersebut menjaga kehormatannya (wanita baik-baik). Dengan
demikian secara tekstual ayat, perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan
wanita ahli kitab- baik Kristen maupun Yahudi adalah boleh.
Selain berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan sunah
Nabi, dimana Nabi saw pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab, yang bernama Mariah
al-Qibtiyah (beragama Kristen). Demikian pula ada seorang sahabat Nabi yang
termasuk senior bernama Hudzaifah bin Al-Yaman pernah kawin dengan seorang
wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya. Ini berarti, bahwa
sahabat-sahabat Nabi yang lain setuju atas perkawinan Hudzaifah tersebut.

Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antara


seorang laki-laki Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, karena pada hakikatnya
doktrin dan praktek ibadah Kristen dan Yahudi itu mengandung unsur syirik yang cukup
jelas, misalnya ajaran trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria)
bagi umat Kristen, dan kepercayaannya Uzair putra Allah dan mengkultuskan Haikal
Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi.22
Di samping itu pada awal ayat di atas ternyata memuat informasi tentang
kehalalan makanan dan binatang sembelihan ahli kitab. Makanan dan binatang
sembelihan yang dibolehkan bagi orang Islam tentunya bukan makanan dan binatang
yang haram dikonsumsi oleh orang Islam. Dalam hal ini kebolehan mengawini ahli kitab
digandengkan dengan kehalalan makanan dan binatang sembelihan ahli kitab. Dengan
demikian kebolehan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab harus
bersifat selektif.

Jelasnya, bahwa laki-laki muslim yang kawin dengan wanita ahli kitab haruslah
memiliki keberagamaan yang mapan, bukan Islam KTP sehingga melalui pola
pergaulan dalam kehidupan rumah tangga, isteri merasakan ciri khas nuansa Islam
yang memiliki keunikan dalam jiwa isteri yang beragama lain. Sehingga bisa jadi isteri
tertarik hatinya memeluk Islam setelah merasakan keunikan ajaran Islam melalui
interaksi dengan suaminya yang muslim itu.
Sedangkan golongan Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah berpendapat bahwa
laki-laki muslim tidak kawin dengan wanita ahli kitab.23
Karena itu menurut Yusuf Qardawi ada beberapa ketentuan yang wajib
dipelihara saat mengawini wanita ahli kitab:
1) Harus dapat dipercaya keadaannya sebagai wanita ahli kitab, yakni beriman kepada
agama samawi yang asli, seperti Yahudi dan Nasrani;
2) Wanita itu menjaga kehormatannya, karena Allah melarang kawin dengan
sembarang wanita ahli kitab;
3) Wanita tersebut bukan dari kalangan yang memusuhi dan memerangi umat Islam;
4) Di balik perkawinan dengan wanira ahli kitab itu tidak menimbulkan fitnah atau
mudarat yang diperkirakan pasti terjadi atau diduga kuat akan terjadi.24
3. Perkawinan antara Seorang Wanita Muslimah dengan laki-laki non Muslim
Ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita
Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk
agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi (relevealed religion),
ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisime,
Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan
juga kitab yang serupa kitab suci, termasuk pula disini penganut Animisme, Atheisme,
Politisme dan sebagainya.25
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum larangan perkawinan antara wanita
muslimah dengan laki-laki non muslim, ialah :
a. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 :



Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang
mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik
daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Karena mereka (orang
musyrikh) menarikmu ke neraka, padahal Allah mengajakmu ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya...26
Ayat ini mengandung larangan menikahkan wanita mukmin dengan laki-laki musyrik.
Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan antara wanita mukmin dengan laki-laki musyrik
adalah haram hukumnya karena al-aslu fi al-nahyi li al-tahrim (pada dasarnya
larangan itu menunjukkan kepada haram).27
b. Ijma para Ulama tentang Larangan Perkawinan antara Wanita Muslimah
dengan Laki-laki Non-Muslim.
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (laki-laki/wanita)
dengan orang yang bukan Islam (laki-laki/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara
orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan
filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada
Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para nabi , kitab suci, malaikat,
dan percaya pula pada hari kiamat; sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya
tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan
irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman
untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti "kepercayaan/ideologi"
mereka.28

Jelasnya, bahwa Islam mustahil bertemu (kompromi) dengan keberhalaan.


Akidah tauhid yang murni bertentangan secara diametral dengan akidah syirik.29 Ibarat
dua garis yang sejajar mustahil berpotongan, walaupun secara matematis pada jarak
tak terhingga tampak seolah-olah berpotongan namun hal itu hanyalah khayalan,
mustahil terjadi dalam kenyataan.
Mengenai hikmah diperbolehkannya perkawinan antara seorang laki-laki Muslim
dengan wanita Kristen/Yahudi, ialah karena pada hakikatnya agama Kristen dan Yahudi
itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed
religion). Maka kalau seorang wanita Kristen/Yahudi kawin dengan laki-laki Muslim
yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran
dan kemauannya sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan
kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah
keluarga Islam. Sebab agama Islam mempunyai panutan/pedoman hidup yang lengkap,
mudah/praktis, flexible, demokratis, menghargai kedudukan wanita Islam dalam
keluarga, masyarakat, dan negara, toleran terhadap agama/kepercayaan lain yang
hidup di masyarakat, dan menghargai pula hak-hak asasi manusia terutama kebebasan
beragama, serta ajaran-ajarannya yang rasionable.

Fakta-fakta menunjukkan bahwa wanita-wanita Barat dan Timur yang kawin


dengan laki-laki Muslim yang baik dan taat pada ajaran agamanya, dapat terbuka
hatinya dan dengan kesadaran sendiri si istri masuk agama Islam.30 Namun, kalau
seorang pemuda muslim itu kualitas iman dan Islamnya masih belum baik, misalnya
Islamnya masih Islam KTP atau Islam Abangan, maka seharusnya ia tidak berani kawin
dengan pemudi Kristen/Yahudi yang militan, karena ia dapat terseret kepada agama
istrinya. Dan hal ini sesuai dengan taktik dan strategi Ahlul Kitab untuk memurtadkan
umat Islam dan kemudian menariknya ke agama mereka dengan berbagai cara.31

Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita Islam dengan


laki-laki Kristen/Yahudi, karena dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan
beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian terseret kepada agama
suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan
pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga
terhadap anak-anak melebihi ibunya. Dalam hal ini, fakta-takta sejarah menunjukkan
bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan
kebebasan beragama dan bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperti
agama Islam. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 120

Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu , hingga kamu mengikuti
agama mereka32
Dan berfirman Allah dalam Surat al-Nisa: 141



...Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
melenyapkan orang-orang yang beriman.33

Ayat tersebut di atas mengingatkan kepada umat Islam, hendaknya selalu


berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan
Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai
cara. Dan hendaknya umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan kepada mereka
untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan jalan perkawinan seorang wanita
dengan laki-laki non-Muslim.
Selaras dengan asumsi di atas, Cortenay Beale dalam bukunya Marriage Before
& After mengingatkan, bahwa pasangan suami istri yang terdapat religious antagonism
(perlawanan/permusuhan agama), misalnya perkawinan antara pemuda Katolik dengan
pemudi Protestan atau Yahudi atau agnostik, yang masing-masing yakin dan
konsekuen atas kebenaran agama/ideologinya, maka akan sulit sekali menciptakan
rumah tangga yang harmonis dan bahagia, karena masalahnya adalah masalah yang
sangat prinsip dan sensitif umat beragama.34

Menurut realitas, bahwa perkawinan antarorang yang berlainan agama bisa


menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah
tangga. Karena itu, tepat dan bijaksanalah bahwa agama Islam pada dasarnya
rnelarang perkawinan antara orang Islam (laki-laki/wanita) dengan orang yang bukan
Islam, kecuali laki-laki Muslim yang kualitas iman dan Islamnya cukup baik,
diperkenankan kawin dengan wanita Ahlul Kitab yang akidah dan praktek ibadah orang
Islam. Sayang jauh menyimpang dari ajaran tauhid yang murni. Itulah sebabnya
sebagian ulama melarang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita
Kristen/Yahudi, walaupun secara tekstual berdasarkan QS. Al-Maidah ayat 5, jelas
membolehkannya.
Karena itu, perkawinan antara orang Islam (laki-laki/wanita) dengan orang non-
Islam, yang dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil, tidaklah sah menurut hukum Islam,
karena perkawinannya tidak dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam, yakni tidak
memenuhi syarat dan rukunnya, antara lain tanpa wali nikah dan mahar/maskawin serta
tanpa ijab qabul menurut tata cara Islam.

Menurut hemat penulis, larangan perkawinan tersebut oleh Kompilasi Hukum


Islam (KHI) mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni :
Pertama, dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain ialah
pasal 2 ayat (1) UU Noinor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua, dari segi hukum Islam, dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut :
a. Sadduz zariah, artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya
kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam
dengan non-Islam;
b. Kaidah fiqh:
Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan.35
Dalam hal ini resiko dari perkawinan antara orang Islam dengan non Islam
adalah terjadinya kemurtadan dan broken home- yang harus didahulukan/diutamakan
daripada upaya mencari manfaat yakni menariknya memeluk agama Islam (islamisasi)
suami/istri, anak-anak keturunannya nanti, dan keluarga besar dari masing-masing
suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada prinsipnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang
beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam (Perhatikan Al-Qur'an
surat Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin seorang laki-laki Muslim dengan
seorang wanita dari Ahlul Kitab (Nasrani/Yahudi) berdasarkan QS.al-Maidah: 6
hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam laki-laki Muslim tersebut
haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang tinggi
(pindah agama atau cerai).36
Fenomena buruk dari perkawinan antara seorang muslim dengan non muslim
memang telah menjadi dilema dalam kehidupan. Karena pada satu sisi dampak
negatifnya sangat signifikan baik bagi ayah/ibu, maupun anak-anak yang dilahirkan
dalam keluarga tersebut. Namun di sisi lain tuntutan hak asasi manusia (HAM) justru
menganggap perkawinan seperti itu sebagai bagian dari hak asasi setiap orang.
D. Kesimpulan
1. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik adalah haram hukumnya
menurut hukum Islam. Demikian juga perkawinan wanita muslim dengan laki-laki non
muslim
2. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, boleh menurut al-
Quran, dengan syarat laki-laki termasuk orang yang kuat imannya serta memiliki
keberagamaan yang baik, serta wanita tersebut adalah wanita baik-baik.
3. Tetapi dalam perkembangan saat ini perkawinan antara laki-laki muslim dengan
wanita ahli kitab lebih banyak mudaratnya ketimbang maslahatnya. Karena itu
perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, dilarang.

También podría gustarte