Está en la página 1de 33

Borang Portofolio Kasus Paru

Topik : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Tanggal (kasus) : 19 Juli 2016 Presenter : dr. Aina Sarah
Tanggal Presentasi : 2 Agustus 2016 Pendamping : dr. Nurweti Emida
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Lubuk Sikaping
Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Laki-laki, usia 56 tahun, mengeluhkan sesak nafas bertambah berat sejak 4 hari
Deskripsi : SMRS, pasien didiagnosis: Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut
dengan Bronkopneumonia
Tujuan : Mengenali, melakukan penegakan diagnosis dan pengobatan awal pada PPOK.
Bahan
Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Bahasan :
Cara
Diskusi Presentasi dan Diskusi E-mail Pos
Membahas :
Nama : Tn. MI, Laki-laki, 56 tahun, BB :
Data Pasien : No. Registrasi : 09.32.95
75 kg, TB : 170 cm
Nama RS : RSUD Lubuk Sikaping Telp : - Terdaftar sejak : 19 Juli 2016
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis :PPOK Eksaserbasi Akut dengan Bronkopneumonia

2. Gambaran Klinis :
Sesak nafas dialami pasien sejak 1 bulan SMRS. Keluhan ini dirasakan pasien semakin
memberat dalam 4 hari SMRS. Sesak nafas berbunyi menciut, diperberat dengan aktivitas dan
berkurang jika beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh makanan, debu, cuaca dan posisi.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 4 hari SMRS, berdahak warna putih, sulit dikeluarkan.
Demam dialami 4 hari SMRS.
Pasien menyangkal pernah mengalami bengkak di kaki dan/atau nyeri dada.
Mual (+). muntah (-), tidak dijumpai penurunan berat badan.
BAB dan BAK biasa.

3. Riwayat Pengobatan: Pasien belum pernah berobat sebelumnya untuk penyakit sekarang.
Riwayat minum obat paket 6 bulan disangkal. Sebelumnya, pasien berobat untuk penyakit
hipertensi dan stroke.

4. Riwayat Kesehatan / penyakit

1
Riwayat penyakit Asma dan Tuberkulosis Paru disangkal. Pasien sebelumnya menderita
penyakit Hipertensi dan Stroke.
5. Riwayat Keluarga :Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien.
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :
Pasien memiliki kebiasaan merokok sebanyak 1 bungkus per hari selama 35 tahun, berhenti
merokok sejak 2 tahun SMRS.

Daftar Pustaka :
1.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia., Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia;
PDPI (Update 2011)
2.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia., Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia;
PDPI (Update 2003)
3.Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the
diagnosis, management and prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (Update
2007).
4. http://www.uns.ac.id/cp/penelitian.php?act=det&idA=263
5. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/03d30d1af7ad7c5a8d86e7c8f2786fe69dba7
492.pdf
6. Fishman, Alfred P., et al. 2008. Fishmans Pulmonary Diseases and Disorders 4 th Edition
Volume 1. USA: McGraw Hill.
Hasil Pembelajaran :

1. Untuk mengetahui etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


2. Untuk dapat menegakkan diagnosa Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
3. Untuk mengetahui penetalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
4. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif :

Keluhan Utama: Sesak nafas dialami pasien sejak 1 bulan SMRS. Keluhan ini

2
dirasakan pasien semakin memberat dalam 4 hari SMRS. Sesak nafas berbunyi
menciut, diperberat dengan aktivitas dan berkurang jika beristirahat. Sesak tidak
dipengaruhi oleh makanan, debu, cuaca, dan posisi.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 4 hari SMRS, berdahak warna putih, sulit
dikeluarkan.
Demam dialami 4 hari SMRS.
Pasien menyangkal pernah mengalami bengkak di kaki dan/atau nyeri dada.
Mual (+). muntah (-), tidak dijumpai penurunan berat badan.
BAB dan BAK biasa.

2. Objektif :

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kooperasi : Kooperatif.
Keadaan gizi : Gizi cukup.
Tekanan darah : 160/120 mmHg.
Nadi : 88 kali / menit.
Suhu : 37,3oC
Pernapasan : 32 kali / menit.
Antropometri
BB : 75 kg.
TB : 170 cm.
BMI :24,48 = BMI Preobese

STATUS INTERNUS
Kepala : Tidak ada kelainan.
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor (diameter
3mm/3mm), RC +/+.
Kulit : Turgor kulit baik, tidak ikterik / sianosis / pucat.
Mulut : mukosa mulut dan bibir basah, deviasi sudut mulut (+) ke kanan.
Leher : JVP 5-2 cmH2O, trakea di tengah.

3
KGB : tidak terdapat pembesaran di leher, axilla dan inguinal.
Thoraks
a. Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-)
Palpasi : fremitus melemah kanan dan kiri
Perkusi : Hipersonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Ekspirasi memanjang, ronkhi (+/+), wheezing (+/+).
b. Jantung
Inspeksi : Iktus jantung tidak terlihat.
Palpasi : Iktus teraba pada ICS V LMCS
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bising tidak ada, bunyi jantung tambahan tidak ada.
c. Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani di seluruh lapangan abdomen.

d. Ekstremitas : Capillary refill time baik, oedem (-), sianosis (-), tremor (-),
hemiplegia dekstra.

3. Assesment

DIAGNOSIS :
Diagnosis Kerja : PPOK Eksaserbasi Akut + Bronkopneumonia + Hipertensi +
Post Stroke
4. Plan

1) Umum
O2 2 3 L/menit
IVFD RL 8 jam/kolf

2) Khusus
Nebu salbutamol 6x1

4
Drip Aminophylline 11 cc dalam infus RL (8 jam/kolf)
Injeksi Ceftriaxone 1x2gr (ST)
Injeksi Bromhexin HCl 3 x 4 mg
Methylprednisolone tab 2 x 4 mg
Cetirizin tab 1 x 10 mg
Candesartan tab 1 x 8 mg
Paracetamol tab (K/P)

3) Rencana
Cek Darah Lengkap
Rontgen Thorax PA
Fisioterapi dada

LABORATORIUM (20/7/16)
Hb : 13,0 g/dL
Leukosit : 7.300 /mm3
Ht : 43,0 %
Trombosit : 317.000 /mm3

5
Rontgen Thorax PA:
Inspirasi tidak maksimal
Trakea di tengah
Pelebaran sela iga
Hiperlusensi lapangan paru
Gambaran infiltrat di lapangan paru kiri
Kesan: PPOK dan Bronkopneumonia (S)

6
Follow up

20 Juli 2016
Rawatan Hari I
S : - Sesak Nafas (+) berkurang
- Batuk (+)
- Demam
- Nafsu makan menurun
O :
Keadaan Umum : Sedang Nadi : 86 kali/menit
Kesadaran : Compos Mentis Nafas : 30 kali/menit
Tekanan Darah : 160/120 mmHg Suhu : 37,0 C

Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)


Pulmo : ekspirasi memanjang (+/+)
rhonki (+/+), wheezing (+/+)

A : - PPOK eksaserbasi akut


- Bronkopneumonia
- Hipertensi
- Post Stroke
- Gastritis
P:
1) Umum
O2 2 3 L/menit
IVFD RL 8 jam/kolf
2) Khusus
Nebu Salbutamol 6 x 1
Nebu Fluticasone Propionate 2 x 1
Drip Aminophylin 11 cc dalam infus RL (8 jam/kolf)
Injeksi OMZ 1 x 1
Injeksi Ceftriaxone 1 x 2gr (ST)
Injeksi Bromhexin HCl 3 x 4 mg
Cetirizin tab 1 x 10 mg

7
Candesartan tab 1 x 16 mg
Paracetamol tab (K/P)
Clopidogrel 1 x 1 tab
Simvastatin 1 x 20 mg
Piracetam 2 x 1200

Rencana:
- Fisioterapi dada

Follow up

21 Juli 2016
Rawatan Hari II
S : - Sesak Nafas (+) berkurang
- Batuk (+)
- Demam (-)
- Nafsu makan (+) berkurang
O :
Keadaan Umum : Sedang Nadi : 88 kali/menit
Kesadaran : Compos Mentis Nafas : 28 kali/menit
Tekanan Darah : 140/100 mmHg Suhu : 36,8 C

Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)


Pulmo : Suara nafas ekspirasi memanjang
rhonki (+/+), wheezing (+/+)

A : - PPOK eksaserbasi akut


- Bronkopneumonia
- Hipertensi
- Post Stroke
- Gastritis

P:

8
1) Umum
O2 2 3 L/menit
IVFD RL 8 jam/kolf
2) Khusus
Nebu salbutamol 6 x 1
Drip Aminophylin 11 cc dalam infus RL (8 jam/kolf)
Injeksi Dexamethasone 3 x 1
Injeksi OMZ 1 x 1
Injeksi Ceftriaxone 1 x 2gr (ST)
Injeksi Bromhexin HCl 3 x 4 mg
Cetirizin tab 1 x 10 mg
Candesartan tab 1 x 16 mg
Paracetamol tab (K/P)
Clopidogrel 1 x 1 tab
Simvastatin 1 x 20 mg
Piracetam 2 x 1200

Rencana:
-Fisioterapi Dada

Follow up

22 Juli 2016
Rawatan Hari III
S : - Sesak Nafas (+) berkurang
- Batuk (+)
- Demam (-)

O :
Keadaan Umum : Sedang Nadi : 90 kali/menit
Kesadaran : Compos Mentis Nafas : 26 kali/menit
Tekanan Darah : 180/100 mmHg Suhu : 36,8 C

Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

9
Pulmo : Suara nafas ekspirasi memanjang
rhonki (+/+), wheezing (-/-)

A : - PPOK eksaserbasi akut


- Bronkopneumonia
- Krisis Hipertensi
- Post Stroke
- Gastritis

P:
3) Umum
O2 2 3 L/menit
IVFD RL 8 jam/kolf

4) Khusus
Nebu salbutamol 6 x 1
Drip Aminophylin 11 cc dalam infus RL (8 jam/kolf)
Injeksi Dexamethasone 3 x 1
Injeksi OMZ 1 x 1
Injeksi Ceftriaxone 1 x 2gr (ST)
Injeksi Bromhexin HCl 3 x 4 mg
Cetirizin tab 1 x 10 mg
Candesartan tab 1 x 16 mg
Paracetamol tab (K/P)
Clopidogrel 1 x 1 tab
Simvastatin 1 x 20 mg
Piracetam 2 x 1200

Pasien dipindahkan ke ruang rawat Neurologi (22/07/16) untuk penatalaksanaan


keluhan defisit neurologis mendadak.

10
DISKUSI

Pasien laki-laki berumur 56 tahun datang ke RSUD Lubuk Sikaping pada 19 Juni 2016
dan didiagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dengan Bronkopneumonia.
Diagnosa tersebut berdasarkan anamnesis yaitu sesak nafas yang dirasakan pasien sejak
1 bulan SMRS. Keluhan ini semakin memberat dalam 4 hari SMRS disertai bunyi
menciut. Sesak nafas diperberat dengan aktivitas dan berkurang jika beristirahat. Sesak tidak
dipengaruhi oleh makanan, debu, posisi, dan cuaca. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 4
hari SMRS, berdahak warna putih. Pasien mengaku ada demam, namun tidak tinggi. Pasien
mengaku tidak pernah mengalami bengkak di kaki dan nyeri dada. Batuk dikeluhkan pasien
sejak 4 hari SMRS, disertai dengan dahak berwarna putih. Riwayat asma dan TB
disangkal. Riwayat hipertensi dan stroke dijumpai.
Pada pemeriksaan generalis didapatkan, TD 160/120 mmHg, nadi 88 x/menit, RR 32
x/menit , suhu afebris. Pada pemeriksaan thoraks, didapatkan bentuk dada simetris, tidak ada
ketinggalan gerak, retraksi dan juga tidak terdapat jejas, pada palpasi fremitus melemah,
perkusi terdengar hipersonor pada kedua lapangan paru, dan untuk auskultasi terdengar
ekspirasi memanjang, rhonki (+/+), wheezing (+/+).
Dari hasil pemeriksaan foto thoraks, dijumpai bahwa pasien tidak inspirasi maksimal
saat pengambilan foto, selain itu ditemukan pelebaran sela iga, hiperlusensi lapangan paru,
tampak gambaran infiltrat lapangan tengah paru kiri. Kesan yang diperoleh adalah PPOK +
Bronkopneumonia (S)
Hari rawatan ke-1 pasien masih mengeluhkan sesak nafas dan batuk. Pada rawatan hari
pertama, diberikan terapi oksigen, pemberian cairan, nebulisasi Salbutamol 6x1 dan
Fluticasone propionate 2 x 1, drip Aminophylline 11 cc dalam RL dengan kecepatan 8
jam/kolf, injeksi antibiotik Ceftriaxone 1x2 gr, metilprednisolon tablet 2 x 4 mg, cetirizin 1 x
10 mg, injeksi Bromhexine HCl, dan obat penurun panas jika ada demam. Pasien dianjurkan
untuk fisioterapi dada. Hari rawatan kedua sesak sudah mulai berkurang dan tidak demam,
tetapi masih ada batuk. Nebulisasi kortikosteroid dihentikan dan ditambahkan injeksi
Dexamethasone 3 x 1. Hari rawatan ketiga sesak nafas sudah lebih berkurang, tetapi timbul
gejala defisit neurologis sehingga pasien dipindahkan ke ruangan Neurologi untuk
mendapatkan terapi lebih lanjut bagi penyakit Stroke.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hanbatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif, nonreversibel atau reversibel
parsial.1 Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan obstruksi
saluran nafas kecil dan kerusakan parenkim yang bervariasi tiap individu. Selain itu, PPOK
juga memiliki efek sistemik yang menandakan sudah terdapat kondisi komorbid lainnya.
Akibatnya, penderita akan mengeluhkan sesak napas dan penurunan kapasitas latihan yang
berdampak pada kualitas hidupnya.2
PPOK adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat Indonesia. Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan
semakin tingginya pajanan faktor risiko, meliputi faktor pejamu terkait PPOK, meningkatnya
jumlah perokok pada usia muda, serta pencemaran udara.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2002, PPOK
menempati urutan ke-3 sebagai penyebab kematian di dunia, setelah penyakit kardiovaskuler
dan kanker. Sementara itu, menurut The Asia Pacific COPD Round Table Group, jumlah
penderita PPOK derajat sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik mencapai 56,6 juta
penderita, di mana penderita di Indonesia diperkirakan 4,8 juta orang atau sekitar 5,6%.
Tidak ada data yang akurat di Indonesia mengenai penyakit PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.1
Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita
yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala
sesak terutama pada aktivitas, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik,
klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas
yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit
Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT).

12
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

I. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun dan berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat

penyakit2.

II. KLASIFIKASI
Emfisema dan bronkhitis kronik tidak lagi dimasukkan kedalam klasifikasi/defenisi
dari PPOK, karena emfisema merupakan diagnosis patologik sedangkan bronkitis kronik
merupakan diagnosis klinis. Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran
2
udara dalam saluran nafas .

III. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi, morbiditas dan mortalitas dari PPOK berbeda-beda pada tiap negara, etnik
dan kelompok sosial dalam suatu negara, namun secara general, PPOK berkaitan langsung
dengan prevalensi merokok walaupun pada negara tertentu, polusi udara seperti asap
pembakaran hutan, sisa pembakaran dari minyak biomass juga berpengaruh sebagai faktor
resiko dari kejadian PPOK.3

Dari studi yang dilakukan pada 12 negara asia pasifik, prevalensi kejadian PPOK
pada individu dewasa (usia > 30 tahun) adalah sebanyak 6,3% penduduk. Dengan prevalensi
terendah yaitu 3,5% (Hongkong dan Singapura) dan tertinggi 6,7% (Vietnam). Menurut
WHO, PPOK meningkat dari peringkat ke 12 menjadi peringkat ke 5 penyakit terbanyak di
dunia.

Angka morbiditas di Amerika Serikat adalah sebanyak 8juta kasus berobat jalan,
1,5juta kasus kegawatdaruratan, dan 637.000 pasien rawat inap. Angka Mortalitas menurut
The Global Burden of Disease Study menyatakan bahwa PPOK merupakan penyebab

13
kematian nomor 6 pada tahun 1990 dan akan meningkat menjadi penyebab kematian nomor 3
pada tahun 2020.

IV. FAKTOR RESIKO3


PPOK merupakan salah satu penyakit yang etiologinya berasal dari gene-enviroment
interaction.

1. Faktor Genetik

Faktor genetik yang paling sering disebutkan dalam literatur adalah defisiensi dari
alpha-1 antitripsin yang merupakan inhibitor dari serine protease yang terbanyak
beredar dalam sirkulasi. Penyebab genetik lainnya adalah kelainan pada kromosom
2q, perubahan dari transforming growth factor beta 1 (TGF-beta1), microsomal
epoxide hydrolase 1 (mEPHX1), dan tumor necrosis factor alpha (TNFa).

2. Faktor Lingkungan

Asap rokok yang terinhalasi baik secara aktif maupun pasif serta debu dan zat
kimiawi seperti uap, iritan, debu jalanan, gas buang kendaraan bermotor, asap kompor
merupakan contoh dari polusi yang sering terinhalasi dan menyebabkan PPOK.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
- riwayatnya: perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok
- derajat berat merokok menggunakan Indeks Brinkman (IB) yaitu jumlah rata-
rata batang rokok yang dihisap perharinya dikalikan dengan berapa tahun
subjek merokok: Ringan 0 200, 200 600, berat > 600.
Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis karena dipengaruhi
oleh faktor risiko genetik setiap individu.

3. Faktor Pertumbuhan dan Perkembangan Paru

Dari penelitian ditemukan bahwa adanya hubungan antara perkembangan dan


pertumbuhan paru pada masa gestasi, melahirkan dan anak-anak dengan kejadian
PPOK. Hal ini dibuktikan melalui meta analisis adanya hubungan antara berat lahir
dengan VEP1 pada masa dewasa.

4. Stres Oksidatif

14
Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan (kelebihan oksidan dan deplet dari
antioksidan) dapat menyebabkan kerusakan langsung pada paru dan mengaktifkan
proses inflamasi pada paru.

5.

6. Infeksi

Infeksi virus maupun bakteri dapat bepengaruh dalam kejadian PPOK maupun
perburukan PPOK. Riwayat infeksi pernafasan yang parah pada anak-anak dapat
menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan keluhan pernafasan pada saat
dewasa. Virus HIV juga dapat menyebabkan terjadinya HIV-induced pulmonary
inflammation, riwayat TB paru sebelumnya, riwayat infeksi saluran nafas bawah yang
berulang.

7. Status Sosioekonomi

8. Nutrisi

Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menyebabkan penurunan dari kekuatan
dan ketahanan otot pernafasan. Kelaparan dan perubahan anabolik dan katabolic
berhubungan dengan kejadian emfisema pada penelitian ekperimental yang dilakukan
terhadap hewan.

9. Asma

Menurut Tucson Epidemiological Study of Airway Obstructive Disease, penduduk


dewasa dengan asma memiliki 12 kali peningkatan resiko terjadinya PPOK dibanding
dengan penduduk dewasa normal lainnya.

V. DIAGNOSIS

Dalam mendiagnosis PPOK dibutuhkan kehadiran beberapa indikator kunci untuk

mendiagnosis PPOK.3

Dari karakteristik gejala kronis PPOK (dispnea, batuk, produksi sputum), dyspnea adalah
gejala yang paling mengganggu kehidupan sehari-hari pasien dan status kesehatan. Bila
mengambil sejarah medis pasien, penting untuk menyelidiki dampak dari dispnea dan lainnya
gejala pada kegiatan sehari-hari, pekerjaan, dan kegiatan sosial untuk memberikan

15
pengobatan sesuai. Anamnesis adalah untuk mendengarkan aktif, hal ini akan

mengungkapkan dampak tanda / gejala pada status kesehatan pasien. 3


3
Indikator kunci mempertimbangkan PPOK :

- Dispnea : progresif, selalu memberat bersamaan dengan aktifitas, persistent,


digambarkan oleh pasien dengan increased effort to breathe, heaviness, air
hunger, atau gasping.

- Batuk kronik : biasa intermitten dan biasa juga tidak produktif.

- Produksi sputum kronik : setiap pola produksi sputum yang kronik mungkin
menunjukkan PPOK.

- Sejarah terpapar dengan faktor resiko : Asap rokok, sering juga oleh debu atau bahan-
bahan kimia lain, asap dari rumah masakan atau pemanas bahan bakar.

Pemeriksaan fisis1,2,4
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan:
Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema
tungkai
Palpasi
Fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong
ke bawah
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa

16
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah:
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ). Obstruksi :
% VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan
sore, tidak lebih dari 20%

Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan <
200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada PPOK akan
terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar

17
Tabel 2.1 Stadium Keparahan PPOK3

Stadium Kriteria

I. PPOK Ringan VEP1/KVP <70%

VEP1 80% prediksi

II. PPOK Sedang VEP1/KVP < 70%

50% < VEP1 < 80% prediksi

III. PPOK Berat VEP1/KVP 70%

30% < VEP1 < 50% prediksi

IV. PPOK Sangat Berat VEP1/KVP < 70%

VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 < 50%


prediksi disertai gagal nafas kronik

VI. PATOGENESIS PPOK

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer,
parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil
dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran
nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang
akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat
sakit.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari
berbagai macam penyakit paru.
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan
kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar,
aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti
interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide
(MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang

18
neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga
timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan
menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses
inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan.
Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu
elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid
dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan
menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi
anion hipohalida (HOCl ).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk
kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi
sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi
alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh
leukosit dan polusi dan asap rokok.
Pada perokok yang menderita PPOK produksi antiprotease mungkin tidak cukup
untuk menetralisir efek berbagai protease dan mungkin juga karena faktor genetik yang
berperan dalam terganggunya fungsi dan produksi protein ini.
Beberapa studi mendapatkan adanya peningkatan stres oksidatif yang berperan
penting pada PPOK melalui mekanisme aktivasi transkripsi nuclear factor B (NfB) dan
activator protein-1(AP-1) yang menginduksi neutrophilic inflammation serta merusak
antiprotease seperti -1 AT yang meningkatkan terjadinya inflamsi dan proses proteolitik.
Terjadinya proses inflamasi akan merusak matriks ekstraseluler, berakibat pada
kematian sel dimana kemampuan memperbaiki dan memulihkan kerusakan terebut tidak
adekuat sehingga terjadilah hambatan jalan udara yang progresif dan ireversibel.5,6

VII. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK1:
1.Mengurangi gejala
2.Mencegah progresivitas penyakit
3.Meningkatkan toleransi latihan
4.Meningkatkan kualitas hidup penderita
5.Mencegah dan mengobati komplikasi
6.Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
7.Menurunkan angka kematian

19
Tabel 2.2. Penatalaksanaan Sesuai Derajat PPOK
PPOK Ringan PPOK Sedang PPOK Berat PPOK Sangat Berat

Hindari faktor risiko : Berhenti merokok, pajanan kerja


Dipertimbangkan pemberian vaksinasi influenza
Tambahkan bronkodilator kerja pendek (bila diperlukan)
Berikan pengobatan rutin dengan satu atau lebih
bronkodilator kerja lama
Tambahkan rehabilitasi fisis
Tambahkan inhalasi glukokortikoid jika
terjadi eksaserbasi berulang-ulang
-Pemberian O2 jangka
panjang jika terjadi
gagal nafas kronik
-Ventilasi mekanis
pada gagal nafas
-Pertimbangkan
pembedahan

TABEL 2.3. KARAKTERISTIK DAN REKOMENDASI PENGOBATAN BERDASARKAN DERAJAT PPOK2

DERAJAT PENGOBATAN
Semua Derajat - Edukasi (hindari faktor pencetus)
- Bronkodilator kerja singkat (SABA,
Antikolinergik kerja cepat, xantin) bila perlu
- Vaksinasi influenza
Derajat I VEP1/KVP < 70% Bronkodilator kerja singkat (SABA,
PPOK Ringan VEP1 80% Antikolinergik kerja cepat, xantin) bila perlu

Derajat II VEP1/KVP < 70% 1. Pengobatan reguler dengan


PPOK Sedang 50% VEP1 80% bronkodilator
Prediksi dengan atau - Antikolinergik kerja lama
tanpa gejala sebagai terapi pemeliharaan
- LABA
- Simptomatik
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi respirasi)
Derajat III VEP1/KVP 70% 3. Pengobatan reguler dengan
PPOK Berat 30% VEP1 50% bronkodilator
Prediksi dengan atau - Antikolinergik kerja lama

20
tanpa gejala sebagai terapi pemeliharaan
- LABA
- Simptomatik
- Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respons klinis
atau eksaserbasi
4. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi respirasi)

Derajat IV: Derajat IV 1. Pengobatan reguler dengan 1 atau


PPOK Sangat VEP1/KVP < 70% lebih bronkodilator:
Berat VEP1 <30% - Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
- LABA
- Simptomatik
- Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respons klinis
atau eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi respirasi)
3. Terapi oksigen jangka panjang bila
gagal napas
4. Ventilasi mekanis non- invasif
5. Pertimbangkan terapi pembedahan

Penatalaksanaan Umum PPOK

1. Edukasi2
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktivitas optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,
tingkat
pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.

21
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas sehari-hari
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
prioritas bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok, disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan : macam obat dan jenisnya, cara penggunaannya yang benar
(oral, MDI atau nebuliser), waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waktu
tertentu atau kalau perlu saja), dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen : kapan saja oksigen harus digunakan, berapa dosisnya,
mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya : Menjelaskan mengenai tanda
eksaserbasi, yaitu : batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah, dan sputum berubah
warna.
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas.

2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long
acting). Macam macam bronkodilator:

Antikolinergik

22
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari ).
Agonis beta 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang bentuk
injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
Xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama
pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak
(pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.
Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif
yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I: - amoksisilin dan makrolid
- Lini II : - amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
Pada perawatan di Rumah Sakit, dapat dipilih: Amoksilin dan klavulanat,
Sefalosporin generasi II & III injeksi, Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti
pseudomonas yaitu Aminoglikose per injeksi, Kuinolon per injeksi, Sefalosporin generasi IV
per injeksi.

23
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan
sebagai pemberian yang rutin

e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin

f. Antitusif, diberikan dengan hati hati:

Tabel 2.4. Obat-obatan PPOK Berdasarkan Gejala3

24
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun
organ-organ lainnya.
Manfaat oksigen yaitu untuk: mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi
hipertensi pulmonal, mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit, memperbaiki
fungsi neuropsikiatri, meningkatkan kualitas hidup

25
Indikasi terapi oksigen:
PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain.

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di
rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik.
Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat
darurat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di
rumah dibedakan :
Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila
tidur atau sedang aktivitas, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan
nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang
sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan beraktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau
pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi

a. Ventilasi Mekanik Tanpa Intubasi


Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik
dan dapatdigunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah
Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping
harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.

26
Indikasi penggunaan NIPPV
- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan
abdominal paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit

b. Ventilasi Mekanik Dengan Intubasi


Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit
bila ditemukan keadaan seperti misalnya, gagal napas yang pertama kali, perburukan yang
belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki, misalnya pneumonia,
dan aktivitas sebelumnya tidak terbatas
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :
- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan
abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
- Gagal napas
- Somnolen, gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,
barotrauma, efusi pleura masif)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai
berikut :
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
- Aktivitas sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal.
- VAP (ventilator acquired pneumonia)
- Barotrauma
- Susah lepas dari alat bantu, sebenarnya dapat diatasi dengan keseimbangan antara
kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi, bronkodilator dan obat-obatan
lain adekuat, nutrisi seimbang, dibantu dengan NIPPV.

27
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi
masalah karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi
akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan
kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal
feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi
lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen consumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia
dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat
menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi.
Gangguan elektrolit yang terjadi berupa hipofosfatemi, hiperkalemi, hipokalsemi,
hipomagnesemi . Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian
nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih
sering.

6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi
adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat

28
- Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, terapis respiratorik dan psikolog. Program
rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.

Penatalaksanaan pada Keadaan Stabil


Kriteria PPOK stabil adalah :
- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan
PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :


- Mempertahankan fungsi paru
- Meningkatkan kualitas hidup
- Mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau
di rumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil.
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh
keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus
menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.
Tujuan penatalaksanaan di rumah :
a. Menjaga PPOK tetap stabil
b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f. Meningkatkan kualitas hidup

29
Penatalaksanaan di rumah meliputi :
1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.
Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi, penggunaan terus
menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.
2. Terapi oksigen
Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang
disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada
waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen
tidak lebih dari 2 liter.
3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya.
4. Rehabilitasi
- Penyesuaian aktivitas
- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
- "Pursed-lips breathing"
- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
- Tanda eksaserbasi
- Efek samping obat
- Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen

Penatalaksanaan pada Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi: 1,3
1. Batuk makin sering/hebat
2. Produksi sputum bertambah banyak
3. Sputum berubah warna
4. Sesak napas bertambah
5. Keterbatasan aktivitas bertambah
6. Terdapat gagal napas akut pada gagal napas kronik
7. Kesadaran menurun

30
Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK1,3
1. Optimalisasi penggunaan obat-obatan
a. Bronkodilator
- Agonis 2 kerja singkat kombinasi dengan antikolinergik melalui inhalasi
(nebuliser)
- Xantin intravena (bolus dan drip)
b. Kortikosteroid sistemik
c. Antibiotik
- Golongan makrolid baru (azitromisin, Roksitromisin, Klaritromisin)
- Golongan kuinolon respirasi
- Sefalosporin generasi III/IV
d. Mukolitik
e. Ekspektoran
2. Terapi Oksigen
3. Terapi Nutrisi
4. Rehabilitasi fisik dan respirasi
5. Evaluasi progresivitas penyakit
6. Edukasi

Indikasi rawat:
1. Peningkatan gejala (sesak, batuk) saat tidak beraktivitas
2. PPOK dengan derajat berat
3. Terdapat tanda-tanda sianosis dan atau edema
4. Disertai penyakit komorbid lain
5. Sering eksaserbasi
6. Didapatkan aritmia
7. Diagnostik yang belum jelas
8. Usia lanjut
9. Infeksi saluran nafas berat
10. Gagal napas akut pada gagal napas kronik

Indikasi Rawat ICU


1. Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang gawat
2. Kesadaran menurun, letargi atau kelemahan otot-otot respirasi

31
3. Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 < 50
mmHg atau PaCO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasif atau non
invasif)
4. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanis invasif
5. Ketidakstabilan hemodinamik

VIII.KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:2
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik


Hasil analisis gas darah pO2 < 60 mmHg dan pCO2 > 60 mmHg, dan pH normal, maka
penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan pO2 dan pCO2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :


- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
- Infeksi berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi
lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Kor pulmonal ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai
gagal jantung kanan.

32
BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
PPOK atau penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit paru kronik yang ditandai
dengan hambatan aliran udara yang bersifat reversibel parsial atau irreversibel. PPOK tidak lagi
digolongkan menjadi emfisema dan bronkitis kronis karena keduanya tidak selalu mencerminkan
hambatan aliran udara.
Penyebab tersering pada PPOK akibat kebiasaan merokok yang sudah berlangsung lama dan
akibat terpapar polutan berbahaya seperti asap rokok, debu ataupun asap kendaraan atau asap kompor.
PPOK lebih sering terjadi pada pria dibanding pada perempuan dengan perbandingan 3 : 1, dan
biasanya PPOK terjadi pada usia >40 tahun.
Secara klinis dan spirometri, PPOK dibagi menjadi 4 stadium: ringan, sedang, berat, dan
sangat berat. Penatalaksanaan disesuaikan dengan stadium, meliputi golongan bronkodilator,
kortikosteroid, simptomatik, terapi oksigen, ventilasi mekanik, dan pembedahan juga dapat
dipertimbangkan. Selain itu, sangat penting dilakukan rehabilitasi untuk memperbaiki kualitas hidup
pasien.

33

También podría gustarte