Está en la página 1de 77

CA.

LARING

A. Pengertian
Kanker laring adalah keganasan yang terjadi pada sel skuamosa laring.
(Boeis, 1997)
Ca laring merupakan tumor yang ketiga menurut jumlah tumor ganas
dibidang THT dan lebih bannyak terjadi pada pria berusia 50-70 tahun. Yang
sering adalah jenis karsinoma sel skuamosa. (Kapita Selekta Kedokteran,
edisi 3. Hal: 136)

B. Etiologi
Penyebab kanker laring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh
para ahli bahwa perokok dan peminum alcohol merupakan kelompok orang-
orang dengan resiko tinggi terhadap terjadinya kanker laring. Penelitian
epidemiologic menggambarkan beberapa hal yang diduga menyebabkan
terjadinya kanker laring yang kuat ialah rokok, alcohol, dan oleh sinar
radioaktif.

C. Manifestasi Klinis
1. Suara serak dalah hal pertama yang akan tampak pada pasien dengan
kanker pada daerah glotis karena tumor mengganggu kerja pita suara
selama berbicara .Suara mungkin parau yang puncaknya suara rendah.
2. Nyeri dan rasa terbakar saat minum air hangat atau minum jus jerik adalh
tanda dini kanker subglotis atau supra glottis
3. Teraba massa di belakang leher
4. Batuk yang kadang-kadang dengan reak yang bercampur darah
dikarenakan adanya ulserai pada tumor tersebut
5. Disfagia, kesulitan bernafas dan nafas bau merupakan gejala tahap lanjut.
6. Pembesaran nodus limfa servikal ,penurunan berat badan dan status
kelelahan umum dan nyeri yang menjalar ke telinga dapat terjadi
bersama metastase.
D. Patofisiologi
Kanker laring yang terbatas pada pita suara tumbuh perlahan karena
suplai limfatik yang jarang. Di tempat manapun yang kering (epiglottis, pita
suara palsu, dan sinus-sinus piriformis) banyak mengandung pembuluh limfe,
dan kanker pada jaringan ini biasanya meluas dengan cepat dan segera
bermetastase ke kelenjar limfe leher bagian dalam. Orang-orang yang
mengalami serak yang bertambah berat atau suara serak lebih dari 2 minggu
harus segera memeriksakan dirinya. Suara serak merupakan tanda awal
kanker pita suara, jika pengobatan dilakukan pada saat serak timbul (yang
disebabkan tumor sebelum mengenai seluruh pita suara) pengobatan biasanya
masih memungkinkan.
Tanda-tanda metastase kanker pada bagian laring biasanya berupa
pembengkakan pada leher, nyeri pada jakun yang menyebar ke telinga,
dispread, disfagia, pembesaran kelenjar limfe dan batuk. Diagnosa kanker
laring dibuat berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik terhadap laring
dengan laringoskopi langsung dan dari biopsy dan dari pemeriksaan
mikroskopi terhadap laring. (C. Long Barbara. 1996: 408-409).

E. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
Data awal yang ditemukan pada klien dengan kanker laring adalah
suara serak yang tidak sembuh-sembuh yang disertai dengan adanya
pembesaran dan perubahan pada daerah leher. Menurut Cody D. Thaher,
C. Long Barbara, Harrison, Sjmsuhidayat dan Suddart Bunner pada
pengkajian akan didapatkan data sebgai berikut:
a. Jenis kelamin: Laki laki lebih banyak dari pada perempuan 2:1
b. Pekerjaan: Pekerjaan yang menggunakan suara yang berlebihan,
seperti penyanyi, penceramah, dosen.
c. Tempat tinggal: Tinggal di daerah dengan tingkat pencemaran polusi
yang tinggi, seperti tinggal di wilayah industri
Keluhan utama pada klien ca. laring meliputi nyeri tenggorokan.
sulit menelan, sulit bernapas, suara serak, hemoptisis dan batuk,
penurunan berat badan, nyeri tenggorokan, lemah.
2. Pengkajian Sekunder
a. Pemeriksaan fisik
Yang pertama sering didapatkan tidak ada tanda yang khas dari
luar, terutama pada stadium dini/permulaan, tetapi bila tumor sudah
menjalar ke kelenjar limpe leher, terlihat perubahan kontur leher dan
hilangnya krepitasi kartilago laring. Pada saat dipalpasi mungkin
terdapat pembengkakan. Kaji kemampuan pasien untuk mendengar,
melihat, membaca dan menulis. Kerusakan visual dan buta huruf
fungsional dapat menimbulkan masalah tambahan dengan
komunikasi dan membutuhkan pendekatan kreatif untuk memastikan
pasien dapat mengkomunikasikan semua kebutuhannya.
b. Pemeriksaan penunjang
1) Laringoskopi: Cara memeriksa laring dengan melakukan
inspeksi terhadap sisi luar laring pada leher dan gerakan-gerakan
pada saat menelan. Pada kanker laring gerakan menelan akan
bergerak ke bawah saat inspirasi atau tidak bergerak. Pada
palpasi ditemukan adanya pembesaran dan nyeri.
2) Pemeriksaan sinar x jaringan lunak: Terdapat penonjolan pada
tenggorokan.
3) Pemeriksaan poto kontras: Dengan penelanan borium
menunjukkan adanya lesi-lesi.
4) Pemeriksaan MRI: Identifikasi adanya metastasis dan evaluasi
respon pengobatan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya suara serak adalah hal yang akan Nampak pada pasien
dengan kanker pada daerah glottis, pasien mungkin mengeluhkan nyeri
dan rasa terbakar pada tenggorokan, suatu gumpalan mungkin teraba di
belakang leher. Gejala lanjut meiputi disfagia, dispnoe, penurunan berat
badan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat laryngitis kronis, riwayat sakit tenggorokan, riwayat
epiglottis.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kesehatan keluarga :Riwayat anggota keluarga yang
terdiagnosa positif kanker laring.

F. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan pengangkatan
sebagian atau seluruh glotis, gangguan kemampuan untuk bernapas,
batuk dan menelan, serta sekresi banyak dan kental.
2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan defisit anatomi
(pengangkatan batang suara).
3. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan penekanan serabut
syaraf oleh sel-sel tumor.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
gangguan saluran pencernaan (disfagia).
5. Gangguan citra diri berhubungan dengan kehilangan suara, perubahan
anatomi wajah dan leher.

G. Intervensi
Menurut Doenges E. Marlyn (2000), dan Carpenito (1999), perencanaan
dan intervensi keperawatan pada klien kanker laring adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan pengangkatan
sebagian atau seluruh glotis, gangguan kemampuan untuk bernapas,
batuk dan menelan, serta sekresi banyak dan kental.
a. Tujuan: Klien dapat mempertahankan jalan nafas paten.
b. Kriteria hasil: Tidak sesak dan klien menunjukkan perilaku untuk
memperbaiki jalan napas, batuk efektif dan bunyi napas.
c. Intevensi :
1) Kaji frekuensi pernapasan catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
Rasional: Pada kanker laring biasanya menyebabkan dipsnue.
2) Catat adanya derajat dipsnue misalnya keluhan lapar udara,
gelisah, ansietas, disteres, pernapasan dan penggunaan otot
bantu.
Rasional: Disfungsi pernapasan merupakan proses kronis atau
stadium akhir.
3) Auskuitasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas.
Rasional: Pada beberapa derajat kanker laring terjadi obstruksi
jalan napas dan dapat atau tidak dimanifestasikan adanya bunyi
napas.
4) Atur posisi yang nyaman.
Rasional: Mempermudah fungsi pernapasan.
5) Dorong atau bantu klien latihan napas abdomen atau bibir.
Rasional: Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi
dan mengontrol dipsnea dan menurunkan jebakan udara.
6) Observasi karakteristik batuk misalnya menetap batuk pendek,
batuk basah bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan
upaya batuk.
d. Kolaborasi
1) Berikan bronkodilator.
Rasional: Merilekskan otot halus dan menurunkan kognesti
lokal, menurunkan spasne jalan napas dan produk mukosa.
2) Berikan xantin.
Rasional: Menurunkan edema mukosa dan spasme otot polos.
3) Berikan kromolin flunisunida (aerobic).
Rasional: Menurunkan edema.
4) Berikan antimikroba.
Rasional: Diindikasikan untuk mengontrol pneumonia.
5) Berikan analgetik dan penekan batuk.
Rasional: Memungkinkan pasien untuk istirahat dan menghemat
energi.
6) Berikan humidifikasi.
Rasional: Kelembaban akan menurunkan kekentalan secret yang
mempermudah pengluaran yang dap[at membantu menurunkan
atau menjaga pembentukan mukosa tebal pada bronkus.
2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan defisit anatomi
(pengangkatan batang suara).
a. Tujuan: Pasien dapat berkomunikasi dengan aktif.
b. Kriteria hasil: Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah
komunikasi, membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat
diekspresikan menggunakan sumber-sumber yang tepat.
c. Intervensi:
1) Kaji tipe atau derajat disfungsi, kesulitan.
Rasional: Untuk menentukan terapi.
2) Bantu menentukan stadium penyakit perhatikan kesalahan
dalam komunikasi dalam dan berikan umpan balik.
Rasional: Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk
memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa
komunikaai yang diucapkan tidak nyata.
3) Mintalah pasien untuk mengikutu perintah sederhana (seperti
buka mata, tunjuk ke pintu) ulangi dengan kata atau kalimat
yang sederhana.
Rasional: Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan
sensor.
4) Berkan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan
tulis, gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-
gambar, daftar kebutuhan, demonstrasi).
Rasional: Memberikan komunikasi tentang kebutuhan
berdasarkan keadaan atau defisit yang mandiri.
5) Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan dan
dengan tenang. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban ya
atau tidak, selanjutnya kembangkan pada pertanyaan yang lebih
kompleks sesuai respon pasien.
Rasional: Menurunkan kebingungan atau ansietas selama proses
komunikasi.
6) Bicaralah dengan nada normal dan hindari percakapan yang
cepat. Berikan pasien jarak waktu untuk berespon. Bicaralah
tanpa tekanan terhadap sebuah respon.
Rasional: Pasien tidak perlu merusak pendengaran dan
meninggikan suara dapat menimbulkan marah pasien atau
menyebabkan kepedihan. Memfokuskan respon dapat
mengakibatkan frustasi dan mungkin menyebabkan pasien
terpaksa untuk bicara otomatis.
7) Anjurkan pengunjung atau orang terdekat mempertahankan
usahanya untuk berkomunikasi dengan pasien, seperti membaca
surat, diskusi tentang hal-hal yang terjadi pada keluarga.
Rasional: Mengurangi isolasi social pasien dan meningkatkan
penciptaan komunikasi yangb efektif.
3. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan penekanan serabut
syaraf oleh sel-sel tumor.
a. Tujuan: Nyeri pada pasien sedikit berkurang dengan mengikuti
aturan pemakai farmakologis yang telah ditentukan dapat
menggunakan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai
indikasi.
b. Kriteria hasil: Melaporkan penghilangan nyeri maksimal/control
dengan pengaruh minimal pada AKS. Mengikuti farmokologis yang
diperlukan, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi
dan aktivitas hiburan sesuai indikasi untuk situasi individu.
c. Intervensi:
1) Tentukan riwayat nyeri misal : lokasi nyeri, frekuensi, durasi
dan intensitas dan tindakan penghilang yang digunakan.
Rasional: Informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi
kebutuhan atau keefektifan intetrvensi.
2) Berikan tindakan kenyamanan dasar (misal reposisi, gosokan
punggung) dan aktivitas hiburan (misal musik dan TV).
Rasional: Meningkatkan relaksasi dan membantu memfokuskan
kembali perhatian.
3) Dorong penggunaan keterampilan manajemen nyeri (misal
teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi), tertawa,
musik dan sentuhan terapeutik.
Rasional: Memungkinkan pasien untuk berpartisipasi secara
aktif dan meningkatkan masa control.
4) Evaluasi penghilangan nyeri atau control.
Rasional: Kontrol nyeri maksimum dengan pengaruh minimum
pada AKS.
d. Kolaborasi
1) Kembangkan rencana manajemen nyeri dengan pasien dan
dokter.
Rasional: Rencana terorganisasi mengembangkan kesempatan
untuk control nyeri.
2) Beri analgesic sesuai indikasi misal: bromstoms cocktail,
morfin, metadon atau campuran narkotik IV khusus.
Rasional: Nyeri adalah komplikasi sering dari kanker meskipun
respon individual berbeda saat perubahan penyakit atau
perubahan terjadi penilaian dosis dan pemberian akan
diperliukan.
3) Berikan penggunaan CPA dengan cepat.
Rasional: Analgesia dikontrol pasien sehingga pemberian obat
tepat waktu, mencegah fruktuasi, pada intensitas nyeri, sering
pada dosis total rendah akan diberikan melealui metode
konvensional.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
gangguan saluran pencernaan (disfagia).
a. Tujuan: Nutrisi klien adekuat.
b. Kriteria hasil: Mendemonstrasikan pemeliharaan kemajuan
peningkatan BB sesuai tujuan, tidak mengalami tanda-tanda dalam
rentan normal.
c. Intervensi:
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan
menangani sekresi.
Rasional: Faktor ini menentukan pilihan terhadap jenis makanan
sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.
2) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan atau nilainya
suara yang hiperaktif.
Rasional: Fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik, jadi
bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan
atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ilius.
3) Timbang BB sesuai indikasi.
Rasional: Mengevaluasi keefektifan/kebutuhan mengubah
pemberian nutrusi.
4) Berikan makan dalm jumlah kecil dan dalam waktu sering
dengan teratur.
Rasional: Meningkatkan prosese pencernaan dan toleransi
pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan
kerja sama pasien saat makan.
5) Tingkatkan kenyamanan lingkungan yang sama termasuk
sosialisasi saat makan. Anjurkann oranhg terdekat untk
membawa yang disukai pasien.
Rasional: Meskipun proses penilaian pasien memerlukan
bantuan makan dan menggunakan alat bantu, sosialisasi waktu
makan dengan orang terdekat atau teman dapat meningkatakan
pemasukan.
6) Kaji feses, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya.
Rasional: Pendarahan subakut/akut dapat terjadi.
5. Gangguan citra diri berhubungan dengan kehilangan suara, perubahan
anatomi wajah dan leher.
a. Tujuan: Menunjukkan konsep diri yang bagus.
b. Kriteria hasil: Mampu mengungkapkan kenyataan secara fealietis
dan penerimaan terhadap suaranya, mampu mengenali dan bekerja
sama dalam perubahan konsep diri peran tanpa menimbulkan harga
diri rendah mampu mengembangkan perencanaan yang realistis
untuk mengadaptasi perubahan peran.
c. Intervensi:
1) Ciptakan atau pertahankan hubungan terapeuitik pasien perawat,
Diskusikan perasaan takut atau hal yang dipikirkan pasien.
Rasional: Meremehkan sikap peduli dan mengembangkan rasa
saling percaya antara pasien dengan perawat, dimana pasien
bebas mengekspresikan ketakutan ditolak hilangnya fungsi suara
yang dimiliki sebelumnya, tidak berdaya mengenai perubahan
yang terjadi.
2) Catat tingkah laku menarik diri, sikap menyangkal atau terlalu
memungkirkan proses penyakitnya.
Rasional: Awalnya mungkin merupakan respon yang normal
tapi jika berkepanjangan bisa menghalangi untuk menghadapi
kenyataan seharusnya dan dapat menurunkan ke arah koping
yang tidak efektif.
3) Jelaskan bahwa emosi yang labil adalah wajar. Pemecahan
masalah merupakan langkah untuk menangani masalah ini.
Rasional: Menghilangkan kecemasan dan membantu usah untuk
menangani munculnya emosi yang tidak diharapkan.
4) Beri masukan pada klien untuk memodifikasi gaya berpakaian
untuk meningkatkan konsep diri seperti memakai jilbab pada
perempuan, menggunakan syal atau baju dengan kerah tertutup.

H. Daftar Pustaka
Bites, Barbara dkk, 1998. Buku Saku Pemeriksaan dan Riwayat Kesehatan.
Edisi 2. Jakarta: EGC.
Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Edisi 8.
Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan dan
Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: EGC.
C. Long, Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: IAPK
Pajajaran.
Doenges, E. Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Sjamsuhidayat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
EPISTAKSIS

A. Pengertian
Epistaksis adalah pedarahan hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal
atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala suatu kelainan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior
(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan
hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis
posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a
sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah,
anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar
sehingga perdarahan lebih hebat.

B. Etiologi
Penyebab lokal:
1. Trauma misalnya karna mengorek hidung, terjatuh, terpukul, benda asing
di hidung, trauma pembedahan, atau iritasi gas yang merangsang.
2. Infeksi hidung atau sinus paranasal, seperti rinitis, sinusitis, serta
granuloma spesifik seperti lepra dan sifilis.
3. Tumor, baik jinak maupun ganas pada hidung, sinus paranasal dan
nasofaring.
4. Pengaruh lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak,
seperti pada penerbang maupun penyelam (penyakit Caisson), atau
lingkungan yang udaranya sangat dingin.
5. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksisringan disertai
ingus berbau busuk.
6. Idiopatik, biasanya merupakan epistaksis yang ringan dan berulang pada
anak dan remaja.
Penyebab sistemik:
1. Penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi dan kelainan pembuluh darah.
2. Kelainan darah, seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukimia.
3. Infeksi sistemik, seperti demam berdarah dengue, influenza, morbili atau
demam tifoid.
4. Gangguan endokrin, seperti pada kehamilan, menars, dan menopause.
5. Kelainan kongenital, seperti penyakit Osler (hereditary hemorrhagic
telangiectasia).

C. Manifestasi Klinis
Epistaksis dibagi menjadi 2 kelompok:
1. Epistaksis anterior: Perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang
hidung kiri dan kanan) bagian depan, yaitu dari pleksus Kiesselbach atau
arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan
bila pasien duduk, darah akan keluar dari salah satu lubang hidung.
Seringkali dapat berhenti spontan dan mudah diatasi.
2. Epistaksis posterior: Perdarahan berasal dari bagian hidung yang paling
dalam, yaitu dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.
Epistaksis posterior sering terjadi pada usia lanjut, penderita hipertensi,
arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat
dan jarang berhenti spontan. Darah mengalir ke belakang, yaitu ke mulut
dan tenggorokan.

D. Patofisiologi
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian
depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua,
terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada
rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh
darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris
(maksila=rahang atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit)
mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan
dari arteri fasialis (fasial=muka). Bagian depan septum terdapat anastomosis
(gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior,
arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus
kiesselbach (littles area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar
melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat
belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior
(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan
hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis
posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang
a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah,
anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar
sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.

E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul:
1. Sinusitis
2. Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
3. Deformitas (kelainan bentuk) hidung
4. Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah)
5. Kerusakan jaringan hidung
6. Infeksi

F. Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama penanggulangan epistaksis:
1. Menghentikan perdarahan.
2. Mencegah komplikasi.
3. Mencegah berulangnya epistaksis.
Alat-alat yang digunakan : lampu kepala, spekulum hidung, alat hisap,
forseps bayonet, spatel lidah, kateter karet, pelilit kapas (cotton applicator),
lampu spiritus, kapas, tampon posterior (tampon Bellocq), vaselin, salep
antibiotik, larutan pantokain 2% atau semprotan silokain untuk anestesi lokal,
larutan adrenalin 1/10.000, larutan nitras argenti 20-30%, larutan triklorasetat
10%, atau elektrokauter.
1. Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis
singkat sambil mempersiapkan alat.
2. Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti pemasangan tampon dan
kaustik lebih baik daripada memberikan obat-obatan hemostatik sambil
menunggu epistaksis berhenti.
3. Pasien diminta duduk tegak (agar tekanan vaskuler berkurang dan mudah
membatukkan darah di faring). Bila dalam keadaan lemah atau syok,
pasien dibaringkan dengan bantal di belakang punggung. Sumber
perdarahan dicari dengan bantuan alat hisap agar hidung bersih dari
bekuan darah. Kemudian pasang tampon anterior yang telah dibasahi
dengan adrenalin dan lidokain atau pantokain untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi rasa nyeri untuk tindakan selanjutnya.
Biarkan 3-5 menit dan tentukan apakah sumber perdarahan di bagian
anterior atau posterior.
4. Pada anak yang sering mengalami epistaksi ringan, perdarahan
dihentikan dengan cara menekan kedua cuping hidung ke arah septum
selama beberapa menit.

G. Pengkajian
1. Biodata: Nama, umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Keluhan utama: Biasanya penderita mengeluh sulit bernafas,
tenggorokan.
4. Riwayat penyakit dahulu: Pasien pernah menderita penyakit akut dan
perdarahan hidung atau trauma, pernah mempunyai riwayat penyakit
THT, pernah menderita sakit gigi geraham.
5. Riwayat keluarga: Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga
yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien
sekarang.
6. Riwayat psikososial: Intrapersonal (perasaan yang dirasakan klien),
interpersonal (hubungan dengan orang lain).
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat: Untuk mengurangi flu
biasanya klien mengonsumsi obat tanpa memperhatikan efek
samping.
b. Pola nutrisi dan metabolisme: Biasanya nafsu makan klien berkurang
karena terjadi gangguan pada hidung.
c. Pola istirahat dan tidur: Klien merasa tidak dapat istirahat karena
klien sering pilek.
d. Pola persepsi dan konsep diri: Klien sering pilek terus-menerus dan
berbau menyebabkan konsep diri menurun.
e. Pola sensorik: Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu
akibat pilekterus menerus (baik purulen, serous, mukopurulen).
8. Pemeriksaan fisik:
a. Status kesehatan umum: Keadaan umum, tanda vital, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung: Rinuskopi (mukosa merah dan
bengkak).
Data Subyektif:
1. Mengeluh badan lemas
Data Obyektif:
1. Perdarahan pada hidung/mengucur banyak
2. Gelisah
3. Penurunan tekanan darah
4. Peningkatan denyut nadi
5. Anemia
6. Penyimpangan KDM
7. Trauma hidung
8. Masuknya benda asing
9. Mukosa hidung rapuh
10. Infeksi nyeri
11. Mual, muntah, anemia
12. Obstruksi jalan nafas
13. Cemas

H. Diagnosa Keperawatan
1. Perdarahan spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa
hidung yang rapuh.
2. Obstruksi jalan nafas berhubungan dengan bersihan jalan nafas tidak
efektif.
3. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun
pengeringan mukosa hidung.
4. Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita.

I. Intervensi
1. Perdarahan spontan berhubungan dengan trauma minor maupun
mukosa hidung yang rapuh.
a. Tujuan: Meminimalkan perdarahan.
b. Kriteria hasil: Tidak terjadi perdarahan, tanda vital normal, tidak
anemis.
c. Intervensi:
1) Monitor keadaan umum pasien.
2) Monitor tanda vital.
3) Monitor jumlah perdarahan pasien.
4) Awasi jika terjadi anemia.
5) Kolaborasi dengan dokter mengenai masalah yang terjadi
dengan perdarahan: pemberian transfusi, medikasi.
2. Obstruksi jalan nafas berhubungan dengan bersihan jalan nafas tidak
efektif.
a. Tujuan: Bersihan jalan nafas menjadi efektif.
b. Kriteria hasil: Frekuensi nafas normal, tidak ada suara nafas
tambahan, tidak menggunakan otot pernafasan tambahan, tidak
terjadi dispnoe dan sianosis.
c. Intervensi:
1) Kaji bunyi atau kedalaman pernapasan dan gerakan dada.
Rasional: Penurunan bunyi nafas dapat menyebabkan
atelektasis, ronchi dan wheezing menunjukkan akumulasi sekret.
2) Catat kemampuan mengeluarkan mukosa/batuk efektif.
Rasional: Sputum berdarah kental atau cerah dapat diakibatkan
oleh kerusakan paru atau luka bronchial.
3) Berikan posisi fowler atau semi fowler tinggi.
Rasional: Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan
menurunkan upaya pernafasan.
4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea.
Rasional: Mencegah obstruksi/aspirasi.
5) Pertahankan masuknya cairan sedikitnya sebanyak 250 ml/hari
kecuali kontraindikasi.
Rasional: Membantu pengenceran sekret.
6) Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik, ekspektoran,
bronkodilator.
Rasional: Mukolitik untuk menurunkan batuk, ekspektoran
untuk membantu memobilisasi sekret, bronkodilator
menurunkan spasme bronkus dan analgetik diberikan untuk
menurunkan ketidaknyamanan.
3. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas maupun
pengeringan mukosa hidung.
a. Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
b. Kriteria hasil: Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan
berkurang atau hilang, klien tidak menyeringai kesakitan.
c. Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri klien.
Rasional: Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan
tindakan selanjutnya.
2) Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya.
Rasional: Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien
berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri.
3) Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi.
Rasional: Klien mengetahui tehnik distraksi dan relaksasi
sehinggga dapat mempraktekkannya bila mengalami nyeri.
4) Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien.
Rasional: Mengetahui keadaan umum dan perkembangan
kondisi klien.
5) Kolaborasi dngan tim medis.
Rasional: Menghilangkan/mengurangi keluhan nyeri klien, yaitu
terapi konservatif: Obat acetaminopen, aspirin, dekongestan
hidung.
4. Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita.
a. Tujuan: Cemas klien berkurang/hilang
b. Kriteria hasil: Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan
pola kopingnya, klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit
yang dideritanya serta pengobatannya.
c. Intervensi:
1) Kaji tingkat kecemasan klien.
Rasional: Menentukan tindakan selanjutnya.
2) Berikan kenyamanan dan ketentraman pada klien.
Rasional: Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi
yang diberikan.
3) Temani klien.
4) Perlihatkan rasa empati (datang dengan menyentuh klien).
5) Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya
perlahan, tenang serta gunakan kalimat yang jelas, singkat
mudah dimengerti.
Rasional: Meningkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan
terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif.
6) Singkirkan stimulasi yang berlebihan.
Rasional: Dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan
akan meningkatkan ketenangan klien.
7) Tempatkan klien di ruangan yang lebih tenang.
8) Batasi kontak dengan orang lain/klien lain yang kemungkinan
mengalami kecemasan.
9) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui perkembangan klien secara dini.
10) Bila perlu, kolaborasi dengan tim medis.
Rasional: Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien.

J. Daftar Pustaka
Balai Penerbit. FKUI. 1998. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Gaya Baru.
Doengoes, Marilyn, et al, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Johnson. M. Maas. M. Moorhead. S. 2000. Nursing Outcome Classification
(NOC). Philadelpia: Mosby.
MC. Closky J. dan Bulaceck G. 2000. Nursing Interventions Classification
(NIC). Philadelpia: Mosby.
FARINGITIS

A. Pengertian
Faringitis (pharyngitis) adalah suatu penyakit peradangan yang
menyerang tenggorokan atau faring yang disebabkan oleh bakteri atau virus
tertentu. Kadang juga disebut sebagai radang tenggorokan. (Wikipedia)
Faringitis adalah keadaan inflamasi pada struktur mukosa,
submukosa tenggorokan. Jaringan yang mungkin terlibat antara lain
orofaring, nasofaring, hipofaring, tonsil dan adenoid.
Faringitis adalah penyakit tenggorokan, merupakan respon inflamasi
terhadap patogen yang mengeluarkan toksin. Faringitis juga bisa merupakan
gejala dari penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, seperti penyakit flu.

B. Klasifikasi
1. Faringitis Akut
Faringitis akut yaitu radang tenggorok yang disebabkan oleh
organisme virus hampir 70% dan streptokakus group A adalah organisme
bakteri yang umum berkenaan dengan faringitis akut yang kemudian
disebut sebagai streepthroat. Faringitis akut adalah suatu penyakit
peradangan tenggorokan (faring) yang sifatnya akut (mendadak dan cepat
memberat.
2. Faringitis Kronik
Faringitis kronik umumnya terjadi pada individu dewasa yang
bekerja/tinggal dengan lingkungan berdebu, menggunakan suara
berlebihan, menderita akibat batuk kronik, penggunaan habitual alkohol
dan tembakau.

C. Etiologi
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri. Kebanyakan
disebabkan oleh virus, termasuk virus penyebab common cold, flu,
adenovirus, mononucleosis atau HIV. Bakteri yang menyebabkan faritingitis
adalah streptokokus grup A, korinebakterium,dan arkanobakterium.
D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala faringitis dibedakan berdasarkan etiologinya, yaitu:
1. Virus
Jarang ditemukan tanda dan gejala yang spesifik. Faringitis yang
disebabkan oleh virus menyebabkan rhinorrhea, batuk, dan
konjungtivitis.
Gejala lain dari faringitis penyebab virus yaitu demam yang tidak
terlalu tinggi dan sakit kepala ringan. Pada penyebab rhinovirus atau
coronavirus, jarang terjadi demam, dan tidak terlihat adanya adenopati
servikal dan eksudat faring.
2. Bakteri
Faringitis dengan penyebab bakteri umumnya menunjukkan tanda
dan gejala berupa lelah, nyeri/pegal tubuh, menggigil, dan demam yang
lebih dari 380C. Faringitis yang menunjukkan adanya mononukleosis
memiliki pembesaran nodus limfa di leher dan ketiak, tonsil yang
membesar, sakit kepala, hilangnya nafsu makan, pembesaran limpa, dan
inflamasi hati.

E. Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat
secara langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi
lokal. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi,
kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi
menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat
pada dinding faring.
Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk
sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel
atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada
dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan
membengkak.

F. Komplikasi
1. Otitis Media Purulenta Bakterialis
Daerah telinga tengah normalnya adalah steril. Bakteri masuk
melalui tube eustacius akibat kontaminasi sekresi dalam nasofaring.
2. Abses Peritonsiler
Sumber infeksi berasal dari penjalaran faringitis/tonsilitis akut yang
mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil.
3. Sinusitis
Sinusitis adalah radang sinus yang ada disekitar hidung dapat berupa
sinusitis maksilaris/frontalis. Sinusitis maksilaris disebabkan oleh
komplikasi peradangan jalan napas bagian atas (salah satunya faringitis),
dibantu oleh adanya faktor predisposisi.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pada pemeriksaan dengan mempergunakan spatel lidah, tampak tonsil
membengkak, hiperemis, terdapat detritus, berupa bercak (folikel,
lakuna, bahkan membran). Kelenjar submandibula membengkak dan
nyeri tekan, terutama pada anak.
2. Pemeriksaan biopsi. Contoh jaringan untuk pemeriksaan dapat diperoleh
dari saluran pernapasan (sekitar faring) dengan menggunakan teknik
endoskopi. Jaringan tersebut akan diperiksa dengan mikroskop untuk
mengetahui adanya peradangan akibat bakteri atau virus.
3. Pemeriksaan sputum. Pemeriksaan sputum makroskopik, mikroskopik
atau bakteriologik penting dalam diagnosis etiologi penyakit. Warna, bau
dan adanya darah merupakan petunjuk yang berharga.
H. Pengkajian
1. Data Dasar
a. Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, bahasa yang digunakan, pekerjaan,
alamat, diagnosa medis, sumber biaya, dan sumber informasi).
2. Riwayat Kesehatan, meliputi:
a. Riwayat kesehatan sekarang. Mengkaji data subjektif yaitu data yang
didapatkan dari klien, meliputi:
1) Alasan masuk rumah sakit.
2) Keluhan utama: Nyeri saat menelan pada leher.
b. Riwayat kesehatan masa lalu. Mengkaji apakah sebelumnya pasien
pernah mengalami sakit yang sama atau yang berhubungan dengan
penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien
mengatakan pernah mengalami infeksi pada saluran tenggorokan dan
pernah menjalani perawatan di RS.
c. Riwayat kesehatan keluarga. Mengkaji apakah dalam keluarga
pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi: Kemerahan pada faring, adanya pembengkakan di daerah
leher.
b. Palpasi: Adanya kenaikan suhu pada bagian leher, adanya nyeri
tekan.
c. TTV: Suhu tubuh mengalami kenaikan, nadi meningkat, RR
meningkat.
4. Pengkajian Pola Gordon
a. Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan. Tanyakan pada klien
bagaimana pandangannya tentang penyakit yang dideritanya dan
pentingnya kesehatan bagi klien
b. Pola eliminasi. Kaji bagaimana pola defekasi konstipasi atau diare,
perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
Biasanya klien tidak mengalami gangguan eliminasi.
c. Pola aktivas latihan. Kaji bagaimana klien menjalani aktivitas sehari-
hari. Dapat mengalami gangguan bila inflamasinya parah.
d. Pola nutrisi metabolic. Kebiasaan makan makanan yang terpapar
kuman/virus, makanan yang mengandung pengawet (karsinogenik),
terpapar bahan-bahan kimia seperti tinggal di area dekat pabrik,
pengolahan limbah, asap kayu bakar. Klien akan mengalami
penurunan berat badan karena tidak cukupnya nutrisi karena nyeri
saat menelan akibat inflamasi penyakit.
e. Pola istirahat tidur. Kaji perubahan pola tidur klien selama sehat dan
sakit, berapa lama klien tidur dalam sehari. Biasanya klien tidak
mengalami perubahan pada pola istirahat.
f. Pola persepsi diri dan konsep diri. Kaji bagaimana klien memandang
dirinya dengan penyakit yang dideritanya. Konsep diri pasien
terutama gambaran diri terhadap perubahan tubuh Apakah klien
merasa rendah diri terhadap penyakit yang dideritanya. Biasanya
klien tidak ada gangguan.
g. Pola peran hubungan. Kaji bagaimana peran fungsi klien dalam
keluarga sebelum dan selama dirawat di rumah sakit. Dan bagaimana
hubungan sosial klien dengan masyarakat sekitarnya.
h. Pola reproduksi dan seksualitas. Kaji apakah ada masalah hubungan
dengan pasangan. Apakah ada perubahan kepuasan pada klien.
Biasanya tidak mengalami gangguan.
i. Pola koping dan toleransi stress. Kaji apa yang biasa dilakukan klien
saat ada masalah. Apakah klien menggunakan obat-obatan untuk
menghilangkan stres.
j. Pola nilai dan kepercayaan. Kaji bagaimana pengaruh agama
terhadap klien menghadapi penyakitnya. Apakah ada pantangan
agama dalam proses penyembuhan klien.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret.
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk menelan.
3. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada faring.
4. Hipertermia berhubungan dengan peradangan.

J. Intervensi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret.
a. Tujuan: Klien dapat bernapas dengan lancar/efektif.
b. Kriteria hasil: Klien dapat mengeluarkan sputum, frekuensi
pernapasan dalam batas normal (16-20 x/menit), klien mengatakan
dapat bernapas dengan lancar.
c. Intervensi:
1) Identifikasi kualitas atau kedalaman nafas pasien.
Rasional: Untuk mengetahui keadaan napas pasien.
2) Anjurkan untuk minum air hangat.
Rasional: Untuk mencairkan sputum agar mudah dikeluarkan.
3) Ajari pasien untuk batuk efektif.
Rasional: Agar pasien dapat secara mandiri megeluarkan
sputum.
4) Lakukan pengisapan sekret, bila perlu.
Rasional: Untuk mengelurkan sekret.
5) Kolaborasi untuk pemberian ekspektoran.
Rasional: Untuk mengencerkan dahak.
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk menelan.
a. Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
b. Kriteria hasil: Massa tubuh dan berat badan dalam batas normal,
nafsu makan klien meningkat.
c. Intervensi:
1) Kaji status nutrisi pasien.
Rasional: Informasi dasar status nutrisi.
2) Kaji kemampuan menelan.
Rasional: Mengetahui kemampuan menelan. Menetukan
tindakan lebih lanjut.
3) Berikan makanan yang lunak.
Rasional: Memudahkan dalam menelan.
4) Berikan nutrisi melalui IVFD.
Rasional: Memenuhi kebutuhan nutrisi yang tak bisa terpunuhi
lewat oral.
5) Anjurkan keluarga untuk menyuapi klien, bila perlu.
Rasional: Agar keluarga lebih kooperatif.
6) Kolaborasi berikan diet tinggi protein tinggi kalori.
Rasional: Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
3. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada faring.
a. Tujuan: Nyeri berkurang sampai hilang.
b. Kriteria hasil: Klien tidak terlihat meringis, klien mengungkapkan
nyeri berkurang, mampu menggunakan metode non farmakologi
untuk mengurangi nyeri, TTV dalam batas normal (nadi 60-100
x/menit, RR: 16-20 x/menit)
c. Intervensi:
1) Kaji nyeri menggunakan PQRST.
Rasional: Mengetahui tingkat nyeri dan sebagi data dasar dalam
menentukan tindakan.
2) Observasi tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum pasien.
3) Ajarkan teknik relaksasi.
Rasional: Memberikan rasa nyaman dan mengurangi rasa sakit.
4) Berikan informsi tentang nyeri, seperti sebab nyeri, berapa lama
akan berlangsung.
Rasional: Menambah pengetahuan keluarga. Keluarga lebih
kooperatif.
5) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgesik.
Rasional: Analgesik dapat mengurangi nyeri.
4. Hipertermia berhubungan dengan peradangan.
a. Tujuan: Suhu tubuh klien dalam batas normal.
b. Kriteria hasil: Suhu tubuh 36,5-37,5C.
c. Intervensi:
1) Monitor suhu minimal 2 jam sekali, sesuai dengan kebutuhan.
Rasional: Mengevaluasi efektivitas intervensi dan menjamin
keakuratan data.
2) Sesuaikan suhu lingkungan.
Rasional: Untuk kenyamanan pasien.
3) Anjurkan asupan cairan oral.
Rasional: Membantu menurunkan suhu tubuh, mencegah
dehidrasi.
4) Gunakan tindakan nonfarmakologi seperti kenakan baju tipis,
membuka selimut, kompres hangat. Jelaskan hal-hal tersebut
pada pasien dan keluarga.
Rasional: Dapat mengurangi demam dan memberikan rasa
nyaman. Pasien dan keluarga akan lebih kooperatif.
5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antipiretik.
Rasional: Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya di
hipotalamus.

K. Daftar Pustaka
Arsyad, Efiaty. 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan. Jakarta: FKUI.
David, Sabiston. 1994. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
Potter, Patricia A. 1956. Pengkajian Kesehatan. Jakarta: EGC.

LARINGITIS

A. Pengertian
B. Etiologi
C. Manifestasi Klinis
D. Patofisiologi
E. Pengkajian
F. Diagnosa Keperawatan
G. Intervensi
H. Daftar Pustaka
OTITIS MEDIA AKUT (OMA)

A. Pengertian
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. (Ahmad Mufti,
2005)
Otitis media akut adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang
disebabkan karena masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah.
(Smeltzer, 2001)
Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau
seluruhperiosteum telinga tengah (Mansjoer, Arif, 2001).

B. Etiologi
1. Disfungsi atau sumbatan tuba eustachius merupakan penyebab utama
dariotitis media yang menyebabkan pertahanan tubuh pada silia mukosa
tubaeustachius terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam
telinga tengah juga akan terganggu.
2. ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), inflamasi jaringan di sekitarnya
(misalnya sinusitis, hipertrofi adenoid), atau reaksi alergi (misalkan
rhinitisalergika). Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA, makin
besarkemungkinan terjadinya otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA
dipermudah karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya
agak horisontal.
3. Bakteri. Bakteri yang umum ditemukan sebagai mikroorganisme
penyebab adalah Streptococcus peumoniae, Haemophylus influenza,
Moraxella catarrhalis, dan bakteri piogenik lain, seperti Streptococcus
hemolyticus, Staphylococcus aureus, E. coli, Pneumococcus vulgaris.

C. Manifestasi Klinis
Gejala otitis media akut dapat bervariasi menurut beratnya infeksi dan
bisa sangat ringan dan sementara atau sangat berat. Keadaan ini biasanya
unilateral pada orang dewasa.
1. Membrane tymphani merah, sering menggelembung tanpa tonjolan
tulang yang dapat dilihat, tidak bergerak pada otoskopi pneumatic
(pemberian tekanan positif atau negative pada telinga tengah dengan
insulator balon yang dikaitkan ke otoskop), dapat mengalami perforasi.
2. Otorrhea, bila terjadi rupture membrane tymphani.
3. Keluhan nyeri telinga (otalgia).
4. Demam.
5. Anoreksia.
6. Limfadenopati servikal anterior.

D. Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas (ISPA)
yangdiebabkan oleh bakteri, kemudian menyebar ke telinga tengah melewati
tubaeustachius. Ketika bakteri memasuki tuba eustachius maka dapat
menyebabkan infeksi dan terjadi pembengkakan, peradangan pada saluran
tersebut. Proses peradangan yang terjadi pada tuba eustachius menyebabkan
stimulasi kelenjar minyak untuk menghasilkan sekret yang terkumpul di
belakang membran timpani. Jika sekret bertambah banyak maka akan
menyumbat saluran eustachius ,sehingga pendengaran dapat terganggu karena
membran timpani dan tulang osikel (maleus, incus, stapes) yang
menghubungkan telinga bagian dalam tidak dapat bergerak bebas. Selain
mengalami gangguan pendengaran, klien juga akan mengalami nyeri pada
telinga.
Otitis media akut (OMA) yang berlangsung selama lebih dari dua
bulandapat berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila faktor
higiene kurang diperhatikan, terapi yang terlambat, pengobatan tidak adekuat,
dan adanya daya tahan tubuh yang kurang baik.

E. Komplikasi
1. Peradangan telinga tengah (otitis media) yang tidak diberi terapi secara
benar dan adekuat dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga tengah
termasuk ke otak, namun ini jarang terjadi setelah adanya pemberian
antibiotik.
2. Mastoiditis.
3. Kehilangan pendengaran permanen bila OMA tetap tidak ditangani.
4. Keseimbangan tubuh terganggu.
5. Peradangan otak kejang.

F. Pemeriksaan Penunjang
Yang sering dilakukan pada kasus otitis media kronis ini diantaranya
meliputi:
1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar.
2. Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran
timpany.
3. Kultur dan uji sensitifitas: Dilakukan bila dilakukan timpanosesntesis
(aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani).

G. Pencegahan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya
OMA pada anak antara lain:
1. Pencegahan terjadinya ISPA pada bayi dan anak-anak.
2. Pemberian ASI minimal selama enam bulan.
3. Hindari pemberian susu botol ketika anak dalam keadaan berbaring.
4. Hindari pajanan terhadap asap rokok.

H. Pengkajian
1. Identitas Klien
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu. Apakah ada kebiasaan berenang, apakah
pernah menderita gangguan pendengaran (kapan, berapa lama,
pengobatan apa yang dilakukan, bagaimana kebiasaan
membersihkan telinga, keadaan lingkungan tenan, daerah industri,
daerah polusi).
b. Riwayat kesehatan sekarang. Kaji keluhan kesehatan yang dirasakan
pasien pada saat dianamnesa, seperti penjabaran dari riwayat adanya
kelainan nyeri yang dirasakan.
c. Riwayat kesehatan keluarga. Mengkaji ada atau tidak salah satu
keluarga yang mengalami penyakit yang sama. Ada atau tidaknya
riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang dan riwayat alergi
pada keluarga.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum klien
1) Kepala. Lakukan inspeksi, palpasi, perkusi di daerah telinga,
dengan menggunakan senter ataupun alat-alat lainnya apakah
ada cairan yang keluar dari telinga, bagaimana warna, bau, dan
jumlahnya,.apakah ada tanda-tanda radang. Kaji adanya nyeri
pada telinga
2) Leher. Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah leher.
3) Dada/thorak.
4) Jantung.
5) Perut/abdomen.
6) Genitourinaria.
7) Ekstremitas.
8) Sistem integumen.
9) Sistem neurologi
b. Data Pola Kebiasaan Sehari-hari
1) Nutrisi. Bagaimana pola makan dan minum klien pada saat sehat
dan sakit, apakah ada perbedaan konsumsi diitnya.
2) Eliminasi. Kaji miksi dan defekasi klien.
3) Aktivitas sehari-hari dan perawatan diri. Biasanya klien dengan
gangguan otitis media ini, agak susah untuk berkomunikasi
dengan orang lain karena ada gangguan pada telinganya
sehingga ia kurang mendengar/kurang nyambung tentang apa
yang dibicarakan orang lain.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes audiometri: AC menurun.
b. X ray: Terhadap kondisi patologi.
c. Tes berbisik.
d. Tes garpu tala

I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan proses peradangan
pada telinga tengah.
2. Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan
pendengaran.
3. Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di
telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran.
4. Cemas berhubungan dengan nyeri yang semakin memberat.

J. Intervensi
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan proses peradangan
pada telinga tengah.
Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
hasil
Tujuan: Nyeri 1. Ajarkan teknik 1. Teknik relaksasi
berkurang atau relaksasi pada yang benar dan
hilang. klien misalnya efektif dapat
Kriteria hasil: Nyeri bernafas perlahan, membantu
yang dirasakan klien teratur, atau nafas mengurangi nyeri
berkurang dengan dalam. yang dirasakan.
skala 2-0 dari 2. Kolaborasikan 2. Analgetik dapat
rentang skala 0-10. dengan tim medis menekan pusat
dalam pemberian saraf rasa nyeri,
analgetik. sehingga nyeri
dapat berkurang.
3. Untuk mengetahui
3. Kaji kembali nyeri keefektifan
yang dirasa oleh pemberian
klien setelah 30 analgetik.
menit pemberian
analgetik. 4. Informasi yang
4. Beri informasi cukup dapat
kepada klien dan mengurangi
keluarga tentang kecemasan yang
penyebab nyeri dirasaoleh klien
yang dirasakan. dan keluarga.

2. Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek


kehilangan pendengaran.

Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional


hasil
Tujuan: Klien dapat 1. Dapatkan apa 1. Dengan
kembali mendengar metode komunikasi mengetahui metode
dan melakukan yang dinginkan komunikasi yang
komunikasi. dan catat pada diinginkan oleh
Kriteria hasil: Klien rencana perawatan klien maka metode
dapat melakukan metode yang yang akan
komunikasi dengan digunakan oleh staf digunakan dapat
baik, menerima dan klien, seperti disesuaikan dengan
pesan melalui tulisan, berbicara, kemampuan dan
metoda pilihan ataupun bahasa keterbatasan klien.
(misalnya isyarat.
komunikasi tulisan, 2. Kaji kemampuan 2. Pesan yang ingin
bahasa lambang), untuk menerima disampaikan oleh
berbicara dengan pesan secara perawat kepada
jelas pada telinga verbal. Jika ia klien dapat
yang baik. dapat mendengar diterima dengan
pada satu telinga, baik oleh klien.
berbicara dengan
perlahan dan
dengan jelas
langsung ke telinga
yang baik (hal ini
lebih baik dari
pada berbicara
dengan keras).
3. Tempatkan klien 3. Memungkinkan
dengan telinga komunikasi dua
yang baik berhada arah anatara
pan dengan pintu. perawat dengan
klien dapat berjalan
dengan baik dan
klien dapat
menerima pesan
perawat secara
tepat.

3. Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksidi


telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran.

Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional


hasil
Tujuan: 1. Ajarkan klien 1. Keefektifan alat
Persepsi/sensoris untuk pendengaran
baik. menggunakan dan tergantung pada
Kriteria hasil: Klien merawat alat tipe gangguan/
akan mengalami pendengaran ketulian,
peningkatan secara tepat. pemakaian serta
persepsi/sensoris perawatannya yang
pendengaran sampai tepat.
pada tingkat 2. Instruksikan klien 2. Apabila penyebab
fungsional. untuk pokok ketulian
menggunakan tidak progresif,
teknik-teknik yang maka pendengaran
aman dalam yang tersisa
perawatan telinga sensitif terhadap
(seperti saat trauma dan infeksi
membersihkan sehingga harus
dengan dilindungi.
menggunakan
cutton bud secara
hati-hati,
sementara waktu
hindari berenang
ataupun kejadian
ISPA) sehingga
dapat mencegah
terjadinya ketulian
lebih jauh.
3. Observasi tanda- 3. Diagnosa dini
tanda awal terhadap keadaan
kehilangan telinga atau
pendengaran yang terhadap masalah-
lanjut. masalah
pendengaran rusak
secara permanen.
4. Instruksikan klien 4. Penghentian terapi
untuk antibiotika
menghabiskan sebelum waktunya
seluruh dosis dapat
antibiotik yang menyebabkan
diresepkan (baik organisme sisa
itu antibiotik resisten sehingga
sistemik maupun infeksi akan
lokal). berlanjut.

4. Cemas berhubuangan dengan nyeri yang semakin memberat.

Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional


hasil
Tujuan: Rasa cemas 1. Berikan informasi 1. Menunjukkan
klien akan kepada klien kepada klien bahwa
berkurang/hilang. seputar kondisinya dia dapat
Kriteria hasil: Klien dan gangguan yang berkomunikasi
mampu dialami. dengan efektif
mengungkapkan tanpa
ketakutan/kekhawati menggunakan alat
rannya, respon klien khusus, sehingga
tampak tersenyum. dapat mengurangi
rasa cemasnya.
2. Diskusikan dengan 2. Harapan-harapan
klien mengenai yang tidak realistik
kemungkinan tidak dapat
kemajuan dari mengurangi
fungsi kecemasan, justru
pendengarannya malah
untuk menimbulkan
mempertahankan ketidakpercayaan
harapan klien dalam klien terhadap
berkomunikasi. perawat.
3. Berikan informasi 3. Memungkinkan
mengenai kelompok klien untuk
yang juga pernah memilih metode
mengalami komunikasi yang
gangguan seperti paling tepat untuk
yang dialami klien kehidupannya
untuk memberikan sehari-hari
dukungan kepada disesuaikan dengan
klien. tingkat
keterampilannya
sehingga dapat
mengurangi rasa
cemas dan
frustasinya.
4. Berikan informasi 4. Dukungan dari
mengenai sumber- bebarapa orang
sumber dan alat-lat yang memiliki
yang tersedia yang pengalaman yang
dapat membantu sama akan sangat
klien. membantu klien.

K. Daftar Pustaka
Mansjoer Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta: FKUI.
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI.
Vaughan, Daniel G. dkk. 2000. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya
Medika.

OTITIS MEDIA KRONIS (OMK)

A. Pengertian
Otitis media kronis adalah infeksi menahun pada telinga tengah. Kondisi
yang berhubungan dengan patologi jaringan irrefersibel dan biasanya
disebabkan oleh episode berulang otitis media akut yang tak tertangani. Otitis
media adalah proses peradangan di telinga tengah dan mastoid yang menetap
> 12 minggu. Otitis media kronik adalah peradangan telinga tengah yang
gigih, secara khas untuk sedikitnya 1 bulan. Orang awam biasanya menyebut
congek. (Alfatih, 2007)

B. Etiologi
Otitis media kronis terjadi akibat adanya lubang pada gendang telinga
(perforasi) (Mediastore, 2009). Perforasi gendang telinga bisa disebabkan
oleh otitis media akut, penyumbatan tuba eustacius, cedera akibat masuknya
suatu benda ke dalam telinga atau akibat perubahan tekanan udara yang
terjadi secara tiba-tiba, luka bakar karena panas atau zat kimia. Bisa juga
disebabkan, antara lain:
1. Stapilococcus
2. Diplococcus pneumonie
3. Hemopilus influens
4. Gram Positif: S. Pyogenes, S. Albus
5. Gram Negatif: Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli
6. Kuman anaerob: Alergi, diabetes mellitus, TBC paru
Sedangkan penyebab lain, yaitu:
1. Lingkungan. Kelompok sosial ekonomi rendah memiliki insiden OMK
lebih tinggi.
2. Genetik. Luasnya sel mastoid yang dapat dikaitkan dengan faktor
genetik. Sistem-sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis
media.
3. Riwayat otitis media sebelumnya. Otitis media kronik merupakan
kelanjutan dari otitis media akut atau otitis media dengan efusi, tapi tidak
diketahui.
4. Infeksi. Organisme yang terutama dijumpai adalah bakteri Gram (-), flora
tipe usus, dan beberapa organisme lainnya.
5. Infeksi saluran nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa
telinga tengah menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap
organisme yangs ecara normal berada dalam telinga tengah, sehingga
memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun. Memiliki insiden lebih besar terhadap OMK.
7. Alergi. Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang
lebih tinggi dibanding yang bukan alergi.
8. Gangguan fungsi tuba eustacius. Pada telinga yang inaktif berbagai
metoda telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan
umumnya menyatakan bahwa tidak mungkin mengembalikan tekanan
menjadi negatif.

C. Manifestasi Klinis
Gejala berdasar tipe Otitis Media Kronik:
1. Otitis Media Kronik (OMK) Tipe Benigna
Gejala berupa discharge mukoid yang tidak terlalu berbau busuk,
ketika pertama kali ditemukan bau busuk mungkin ada tetapi dengan
pembersihan dan penggunaan antibiotik lokal biasanya cepat hilang,
discharge mukoid dapat konstan atau intermitten.
Gangguan pendengaran konduktif selalu di dapat pada pasien dengan
derajat ketulian tergantung beratnya kerusakan tulang-tulang
pendengaran dan koklea selama infeksi nekrotik akut pada awal penyakit.
Perforasi membran timpani terbatas pada mukosa sehingga membran
mukosa menjadi berbentuk garis dan tergantung derajat infeksi membran
mukosa dapat tipis dan pucat atau merah dan tebal, kadang suatu polip di
dapat tapi mukoperiosteum yang tebal dan mengarah pada meatus
menghalangi pandangan membran timpani dan telinga tengah sampai
polip tersebut diangkat. Discharge terlihat berasal dari rongga timpani
dan orifisium tuba eustachius yang mukoid dan setelah satu atau dua kali
pengobatan lokal bau busuk akan berkurang. Cairan mukus yang tidak
terlalu bau, datang dari perforasi besar tipe sentral dengan membran
mukosa yang berbentuk garis pada rongga timpani merupakan diagnosa
khas pada OMKS tipe benigna.
2. Otitis Media Kronik (OMK) dengan Kolesteatoma
Kolesteatoma atau benjolan mutiara (tumor mutiara) disebabkn oleh
pertumbuhan kulit liang telinga atau lapisan epitel gendang telinga yang
masuk ke telinga tengah atau mastoid. Mengenai patogenesisnya secara
tepat, dalam kurun waktu bertahun-tahun, ada banyak spekulasi serta
banyak macam teori.
Kolesteatoma dapat tumbuh masuk mellui pars flakisda (membran
shrapnell) maupun melalui pars tensa. Selaput gendang telinga mendesak
ke dalam dan melekat pada dinding medial atik atau dengan rangkaian
tulang pendengaran. Akibatnya timbul retraksi berupa kantong pada
gendang telinga, karena epitel mati tertimbun secara berlapis. Sumbatan
debris yang demikian tidak dapat lagi tumbuh secra alami keluar bersama
bersama gendang telinga, sehimgga seolah-olah terperangkap dalam
struktur telinga tengah. Akibat penimbunan epitel yang progresif itu
sumbatan jaringan memberi tekanan pada tulang sekitarnya, sehingga
lama-lama jaringan tulang ini pun mengalami erosi. Kadang-kadang,
proses ini berjaln tanda gejala, namun sering timbul infeksi sekunder
dengan keluhan mengeluarkan cairan telinga yang berbau, gangguan
pendengaran, atau komplikasi yang disebaban oleh kerusakan yang
disebabkan pada n. Fasialis atau labirin. Pada pemeriksaan otoskopi,
ditemukan debris epitel dalam liang telinga. Di belakangnya tampak
kolesteatoma dengan sisik kreatin putih. Kadang-kadang, tampak
granulasi atau polip di dalam lubang perforasi (kadang-kadang disebut
pertanda polip).
Kolesteatoma dapat tumbuh ke dalam os petrosum, bahkan
intrakranial. Rasa pusing yang di provokasi oleh tekanan pada liang
telinga luar merupakan tanda bahwa ada hubungan terbuka dengan
labirin.(gejala fistula positif). Pengobatan koleasteatoma hampir
mengeluarkannya secara operatif. Pad pasien usia lanjut, pada umumnya
pembentukan kolesterol lambat. Lekukan yang berup kantong itu dapat di
bersihkan di bawah mikroskop dengan alat penghisap secara teratur.
Adapula bentuk koleasteotoma primer, disebut koleasteotoma
kongenital, yang terbentuk dari sel-sel benih (kiembladcellen) dalam os
petrosis yang dalam sekali. Dalam hal ini tidak tampak adanya lubang
perrforasi pada gendang telinga.

D. Patofisiologi
Adanya celah/liang tengah yang pneumatisasinya terhalang. Diduga tuba
eustachius tidak berhasil membuka secukupnya sehingga tekanan udara di
ruang kedua sisi gendang telinga tengah lebih rendah dari pada udara telinga
luar. Otitis media yang berulang akan menghancurkan pars tensa dan tulang
pendengaran, luasnya kerusakan tergantung dari berat dan seringnya penyakit
kambuh. Prosessus longus inkus menderita paling dini karena aliran darah
kedaerah ini berkurang. Infeksi sekunder oleh bakteria dari liang telinga luar
menyebabkan keluarnya cairan yang menetap.

E. Komplikasi
Menurut Shangbough (2003) komplikasi OMK terbagi atas:
1. Komplikasi Intratemporal
a. Perforasi membran timpani
b. Mastoiditis akut
c. Parese nervus fasialis
d. Labrinitis
e. Petrositis
2. Komplikasi Ekstratemporal
a. Abses subperiosteal
3. Komplikasi Intrakranial
a. Abses otak
b. Tromboflebitis
c. Hidrocepalus otikus
d. Empisema subdural/ekstradural

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Otoskop, dilakukan untuk menegakkan diagnosis berdasarkan gejala dan
hasil pemeriksaan telinga.
2. Pembiakan terhadap cairan yang keluar dari telinga, berfungsi untuk
mengetahui organisme penyebabkan otitis media kronik (OMK).
3. Rontgen mastoid atau CT scan kepala untuk mengetahui adanya
penyebaran infeksi ke struktur di sekeliling telinga.
4. Tes audiometri dilakukan untuk mengetahui adanya penurunan
pendengaran.
5. X-ray dilakukan terhadap kalestatoma dan kekaburan mastoid.

G. Pengkajian
1. Biodata: Nama, umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.
2. Keluhan utama: Biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus,
tenggorokan.
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu: Pasien pernah menderita penyakit akut dan
perdarahan hidung atau trauma, pernah mempunyai riwayat penyakit
THT, pernah menderita sakit gigi geraham.
5. Riwayat keluarga: Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga
yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien
sekarang.
6. Riwayat psikososial
a. Intrapersonal: Perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
b. Interpersonal: Hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat: Untuk mengurangi flu
biasanya klien mengonsumsi obat tanpa memperhatikan efek
samping.
b. Pola nutrisi dan metabolisme: Biasanya nafsumakan klien berkurang
karena terjadi gangguan pada hidung.
c. Pola istirahat dan tidur: Klien merasa tidak dapat istirahat karena
klien sering pilek.
d. Pola persepsi dan konsep diri: Klien sering pilek terus menerus dan
berbau menyebabkan konsepdiri menurun.
e. Pola sensorik: Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu
akibat pilek terus menerus (baik purulen, serous, mukopurulen).
8. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum: Keadaan umum, tanda vital, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung: Nyeri tekan pada sinus,
rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).
Data subyektif:
1. Observasi nares:
a. Riwayat bernafas melalui mulut, kapan, onset, frekuensinya.
b. Riwayat pembedahan hidung atau trauma.
c. Penggunaan obat tetes atau semprot hidung: Jenis, jumlah,
frekuensinya, lamanya.
2. Sekret hidung:
a. Warna, jumlah, konsistensi sekret.
b. Epistaksis.
c. Ada tidaknya krusta/nyeri hidung.
3. Riwayat sinusitis:
a. Nyeri kepala, lokasi dan beratnya.
b. Hubungan sinusitis dengan musim/cuaca.
4. Gangguan umum lainnya: Kelemahan.
Data Obyektif:
1. Demam, drainage: Serous, mukopurulen, purulen.
2. Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan
sinus yang mengalami radang Pucat, Odema keluar dari hidng atau
mukosa sinus.
3. Kemerahan dan odema membran mukosa
4. Pemeriksaan penunjang:
a. Kultur organisme hidung dan tenggorokan.
b. Pemeriksaan rongent sinus.

H. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung.
2. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan dengan
obstruksi/adanya secret yang mengental.
3. Gangguan istirahat/tidur berhubungan dengan hidung buntu, nyeri
sekunder dari proses peradangan hidung.
4. Cemas berhubungan dengan prosedur tindakan medis (irigasi/operasi).
5. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan.
I. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung.
a. Tujuan: Nyeri klien berkurang atau hilang.
b. Kriteria hasil: Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan
berkurang atau hilang, klien tidak meringis kesakitan.
c. Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri klien.
Rasional: Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan
tindakan selanjutnya.
2) Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya.
Rasional: Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien
berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri.
3) Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi.
Rasional: Klien mengetahui tehnik distraksi dan relaksasi
sehinggga dapat mempraktekkannya bila mengalami nyeri.
4) Observasi tanda-tanda vital dan keluhan klien.
Rasional: Mengetahui keadaan umum dan perkembangan
kondisi klien.
5) Kolaborasi dngan tim medis untuk terapi konservatif (obat
acetaminopen, aspirin, dekongestan hidung, drainase sinus) atau
pembedahan.
Rasional: Menghilangkan/mengurangi keluhan nyeri klien.
2. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan dengan
obstruksi/adanya secret yang mengental.
a. Tujuan: Jalan nafas efektif setelah secret dikeluarkan.
b. Kriteria hasil: Klien tidak bernafas lagi melalui mulut, jalan nafas
kembali normal terutama hidung.
c. Intervensi:
1) Kaji penumpukan secret yang ada.
Rasional: Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan
selanjutnya.
2) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan
operasi.
3) Kolaborasi dengan tim medis untuk pembersihan secret.
Rasional: Kerjasama untuk menghilangkan penumpukan
secret/masalah.
3. Gangguan istirahat/tidur berhubungan dengan hidung buntu, nyeri
sekunder dari proses peradangan hidung.
a. Tujuan: Klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman.
b. Kriteria hasil: Klien tidur 6-8 jam sehari.
c. Intervensi:
1) Kaji kebutuhan tidur klien.
Rasional: Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan
kebutuhan istirahat tidur.
2) Ciptakan suasana yang nyaman.
Rasional: Agar klien dapat tidur dengan tenang.
3) Anjurkan klien bernafas lewat mulut.
Rasional: Pernafasan tidak terganggu.
4) Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat.
Rasional: Pernafasan dapat efektif kembali lewat hidung.
4. Cemas berhubungan dengan prosedur tindakan medis (irigasi/operasi).
a. Tujuan: Cemas klien berkurang/hilang.
b. Kriteria hasil: Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan
pola kopingnya.
c. Intervensi:
1) Kaji tingkat kecemasan klien.
Rasional: Menentukan tindakan selanjutnya.
2) Berikan kenyamanan dan ketentraman pada klien dengan temani
klien dan perlihatkan rasa empati.
Rasional: Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi
yang diberikan.
3) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui perkembangan klien.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan.
a. Tujuan: Agar tidak terjadi infeksi.
b. Kriteria: Tidak terjadi infeksi, tidak ada tanda-tanda infeksi.
c. Intervensi:
1) Observasi dan kaji karakteristik infeksi.
Rasional: Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.
2) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antibiotik.
Rasional: Untuk mencegah infeksi.

J. Daftar Pustaka
Doenges, M. G. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Lab. UPF. Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Surabaya: FK
UNAIR.
Prasetyo, B. Ilmu Penyakit THT. Jakarta: EGC.
POLIP HIDUNG

A. Pengertian
Polip hidung adalah masa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. (Endang Mangunkusumo, 2007)
Polip hidung adalah pembengkakan mukosa hidung yang berisi cairan
interseluler dan terdorong ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. (R. Pracy,
1989)
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang banyak berisi
cairan interseluler dan kemudian terdorong kedalam rongga hidung oleh gaya
berat. Polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal
atau sering kali bilateral. Polip hidung sering berasal dari sinus maksila
(antrum) dapat keluar melalui osteum sinus maksila, masuk ke rongga hidung
dan membesar di koana dan nasoparing. Polip ini disebut polip koana (antro
koana).
Walaupun tidak ganas, poliposis dapat mengganggu dengan banyak
keluhan karena cepat berkembang menjadi besar dan cenderung residif. Polip
dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan dari usia anak-anak
sampai usia lanjut.

B. Klasifikasi
Polip hidung terbagi menjadi 2 jenis, yakni:
1. Polip hidung tunggal: Jumlah polip hanya sebuah. Berasal dari sel-sel
permukaan dinding sinus tulang pipi (maxilla).
2. Polip hidung multiple: Jumlah polip lebih dari satu. Dapat timbul di
kedua sisi rongga hidung. Pada umumnya berasal dari permukaan
dinding rongga tulang hidung bagian atas (etmoid).
Pembagian stedium polip menurut mackay dan lund (1997) adalah:
1. Stadium 1: Polip masih terbatas di meatus medius.
2. Stadium 2: Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga
hidung tapi belum memenuhi rongga hidung.
3. Stadium 3: Polip yang masif.

C. Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau
reaksi atopik di dalam selaput mukosa hidung. Kerusakan jaringan setempat
dalam mukosa menimbulkan produksi berlebihan cairan interseluler dan
cenderung membentuk polip. Faktor predisposisi terjadinya polip antara lain:
1. Alergi terutama rinitis alergi
2. Sinusitis kronik
3. Iritasi
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka

D. Manifestasi Klinis
1. Sumbatan hidung
2. Menurunnya indra penciuman
3. Nyeri kepala
4. Keluarnya sekret hidung yang berkepanjangan
5. Iritasi hidung
6. Bersin-bersin
7. Suara sengau
Polip hidung jinak menyerupai buah anggur biasanya bilateral dan
menggantung pada konka media dan masuk ke rongga hidung. Apabila
disangka polip menyebabkan gangguan drainase sinus, maka pembengkakan
yang terjadi akan tertutup oleh nanah. Pada polip jinak tidak terjadi ulserasi
ataupun perdarahan dan biasanya tidak pernah unilateral.

E. Patofisiologi
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan
terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan
interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses
terus berlanjut mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan
turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai sehingga terbentuk
polip. Polip dikavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama.
Penyebab tersering adalah sinusitis kronis dan renitis alergi. Dalam jangka
waktu yang lama vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa
menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong
kesinus yang pada akirnya membentuk struktus yang bernama polip.
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan
interseluler dan kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat.
Polip yang dapat timbul dari bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan
sering kali bilateral. Polip hidung sering berasal dari sinus maksila (antrum)
dapat keluar melalui ostium sinus maksila dan masuk kerongga hidung dan
membesar di koana dan nasofaring, polip ini disebut polip koana.
Secara makroskopis, polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin berbentuk bulat atau lonjong berwarna putih keabu-abuan
agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila
ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit).
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa
hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang
sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neotrofil dan
makrofag. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena
sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng
berlapis tanpa keratinisasi.

F. Komplikasi
Satu buah polip jarang menyebabkan komplikasi, tapi dalam ukuran
besar atau dalam jumlah banyak (polyposis) dapat mengarah pada akut atau
infeksi sinusitis kronis, mengorok dan bahkan sleep apnea. Dalam kondisi
parah, akan mengubah bentuk wajah dan penyebab penglihatan
ganda/berbayang.

G. Diagnosis
1. Anamnesa
Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya ialah hidung
tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama
semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa didalam
hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain adalah gangguan
penciuman. Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah di seratai kelainan
organ di dekatnya berupa adanya post nasal drip, sakit kepala, nyeri
muka, suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur,
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Selain itu juga harus
ditanyakan rieayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan
alergi obat serta makanan.
2. Pemeriksaan Fisik
Polip yang masif dapat me menyebabkan deformitas hidung luar.
Dapat di jumpai pelebaran kavum nasi terutama polip yang berasal dari
sel-sel etmoid.
3. Rinoskopi Anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas
septum membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus
dan polip multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan
konka nasi inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi
dengan larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi
banyak pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil.
Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus etmoidalis, ostium sinus
maksilaris atau dari septum.
4. Rinoskopi Posterior
Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen
ada kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian
superior, yang menandakan adanya rinosinusitis.
5. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu
diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang
tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan
pemeriksaan naso-endoskopi.
6. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus para nasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral)
dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan
di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip nasi karena
dapat memberikan kesan positif palsu atau negatif palsu dan tidak dapat
memberikan informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan
variasi anatomis di daerah kompleks osteomeatal.
7. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan)
Sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau
sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasika pada
kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada
komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama
bedah endoskopi.
8. Tes alergi
Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat alergi lingkungan atau riwayat alergi pada keluarganya.
9. Laboratorium
Untuk membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sinusitis
alergi ditemukan eosinofil pada swab hidung, sedang pada non alergi
ditemukannya neutrofil yang menandakan adanya sinusitis kronis.

H. Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap
berlanjut. Rekurensi dari polip umumnya terjsdi bila adanya polip yang
multipel. Polip tunggal yang besar seperti polip antralkoanal jarang terjadi
relaps.
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan pada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eliminasi.
Secara medika mentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung
kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara
desentisisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan
cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

I. Pengkajian
1. Biodata: Nama, umur, sex, alamat, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan.
2. Keluhan utama: Biasanya klien mengeluh sulit bernafas, hidung rasa
tersumbat tidak hilang dan semakin lama semakin berat.
3. Riwayat penyakit sekarang: Klien mengeluh hidung tersumbat, sumbatan
ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien sering
mengeluhkan terasa ada massa didalam hidung dan sukar membuang
ingus. Klien juga mengeluh mengalami gangguan penciuman. Gejala
sekunder dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ di dekatnya
berupa adanya post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal
(bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan
penurunan kualitas hidup.
4. Riwayat penyakit dahulu: Klien pernah menderita penyakit akut seperti
asma, pernah mempunyai riwayat penyakit THT seperti rhinitis alergi,
intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat serta makanan, pernah
menderita sakit gigi geraham.
5. Riwayat penyakit keluarga: Adakah penyakit yang diderita oleh anggota
keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit
klien sekarang.
6. Riwayat psikososial: Interpersonal seperti perasaan yang dirasakan klien
(cemas, sedih). Hubungan dengan orang lain (minder).
7. Pola istirahat tidur: Klien mengeluh gangguan istirahat karena hidung
tersumbat dan pilek.
8. Pola sensorik: Biasanya pola penciuman klien terganggu karena hidung
buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen, serous, mukopurulen).
9. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing): Daya penciuman terganggu karena hidung buntu
akibat pilek terus menerus (baik purulen, serous, mukopurulen),
hidung terasa tersumbat, susah bernafas, mukosa merah dan
bengkak, merasa banyak lendir dan keluar darah.
b. B2 (Blood): Takikardi, disritmia, sakit kepala, pucat (anemia). Klien
merasa lesu dan pusing, demam, keringat malam, diaforesis.
c. B3 (Brain): Kesadarn komposmentis.
d. B4 (Bladder): Dalam batas normal.
e. B5 (Bowel): Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi
gangguan pada hidung dan proses penciuman, kelelahan, kelemahan
f. B6 (Bone): Nyeri tekan pada daerah hidung, nyeri pada tulang pipi.

J. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi/sumbatan pada
hidung.
2. Gangguan persepsi sensori: penciuman berhubungan dengan sekret yang
encer pada hidung.
3. Nyeri akut berhubungan dengan edema cavum nasal.
4. Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan penurunan proses penciuman.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya penyakit sekunder

K. Intervensi
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi/sumbatan pada
hidung.
a. Tujuan: Mempertahankan pola pernapasan normal/efektif bebas
dispnea, sianosis atau tanda lain seperti distress pernapasan.
b. Kriteria hasil: Frekuensi nafas normal 16-20 x/menit, tidak ada suara
nafas tambahan, tidak menggunakan otot pernafasan tambahan, tidak
terjadi dispnea dan sianosis.
c. Intervensi:
1) Kaji/awasi frekuensi pernapasan, kedalaman, irama. Perhatikan
laporan dispnea dan/atau penggunaan otot bantu pernapasan
cuping hidung, gangguan pengembangan dada.
Rasional: Perubahan (seperti takipnea, dispnea, penggunaan otot
aksesori) dapat mengindikasikan berlanjutnya keterlibatan/
pengaruh pernapasan yang membutuhkan upaya intervensi.
2) Beri posisi dan bantu ubah posisi secara periodik.
Rasional: Meningkatkan kenyamanan klien.
3) Anjurkan/bantu dengan tehnik napas dalam dan/atau pernapasan
bibir atau pernapasan diafragmatik abdomen bila diindikasikan.
Rasional: Membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan
napas kecil, memberikan klien beberapa kontrol terhadap
pernapasan, membantu menurunkan ansietas.
4) Awasi/evaluasi warna kulit, perhatikan pucat, terjadinya sianosis
(khususnya pada dasar kulit, daun telinga dan bibir).
Rasional: Proliferasi SDP dapat menurunkan kapasitas pembawa
oksigen darah, menimbulkan hipoksemia.
5) Kaji respon pernafasan terhadap aktifitas. Perhatikan keluhan
dispnea/lapar udara meningkat kelelahan. Jadwalkan periode
istirahat antara aktivitas.
Rasional: Penurunan oksigen seluler menurunkan kebutuhan
oksigan dan mencegah kelelahan.
6) Tingkatkan tirah baring dan berikan perawatan sesuai indikasi
selama eksaserbasi akut/panjang.
Rasional: Memburuknya keterlibatan pernafasan/hipoksia dapat
mengindikasika penghentian aktivitas untuk mencegah pengaruh
pernafasan lebih serius.
7) Berikan lingkungan tenang.
Rasional: Meningkatkan relaksasi, penyimpanan energi dan
menurunkan kebutuhan oksigen.
8) Observasi distensi vena leher, sakit kepala, pusing, edema
periorbital/fasial, dispnea dan stridor.
Rasional: Klien non-hodgkin pada resiko sindrom vena cava
superior dan obstruksi jalan nafas, menunjukkan kedaruratan
onkologis.
9) Kolaborasi pemberian oksigen.
Rasional: Memaksimalkan ketersediaan untuk kebutuhan
sirkulasi, membantu menurunkan hipoksemia.
2. Gangguan persepsi sensori: penciuman berhubungan dengan sekret yang
encer pada hidung.
a. Kriteria hasil: Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor
resiko yang potensi jika memungkinkan, menunjukan penurunan
perubahan sensori.
b. Intervensi:
1) Kaji perubahan penciuman yang terjadi.
Rasional: Untuk mengidentifikasi perubahan penciuman yang
terjadi.
2) Orientasikan terhadap bau-bauan.
Rasional: Dengan bau-bauan hidung akan merasakan
rangsangan.
3) Kurangi faktor-faktor penyebab.
Rasional: Dengan berkurangnya faktor-faktor penyebab akan
lebih mudah menangani gangguan yang terjadi.
3. Nyeri akut berhubungan dengan edema cavum nasal.
a. Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
b. Kriteria hasil: Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang
atau hilang, ekspresi wajah rileks, skala nyeri turun antara 0-3.
c. Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri klien.
Rasional: Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan
tindakan selanjutnya.
2) Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya.
Rasional: Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien
berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri.
3) Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi.
Rasional: Klien mengetahui tehnik distraksi dan relaksasi
sehingga dapat mempraktekannya bila mengalami nyeri.
4) Observasi tanda vital dan keluhan klien.
Rasional: Mengetahui keadaan umum dan perkembangan
kondisi klien.
5) Kolaborasi dengan tim medis dengan terapi konservatif dalam
pemberian obat acetaminopen, aspirin, dekongestan hidung.
Rasional: Menghilangkan/mengurangi keluhan nyeri klien.
4. Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan penurunan proses penciuman.
a. Tujuan: Menunjukkan peningkatan nafsu makan.
b. Kriteria hasil: Peningkatan masukan makanan, tidak ada penurunan
berat badan lebih lanjut.
c. Intervensi:
1) Pastikan pola diet biasa klien, yang disukai atau tidak disukai.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan/
kekuatan khusus.
2) Awasi masukan dan pengeluaran dan berat badan secara
periodik.
Rasional: Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan
lingkunganb cairan.
3) Berikan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi kalori
dan tinggi karbohidrat.
Rasional: Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan
yang tidak perlu/kebutuhan energi dari makanan banyak dan
menurunkan iritasi gaster.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya penyakit sekunder.
a. Tujuan: Infeksi tidak terjadi.
b. Kriteria hasil: Mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/
menurunkan risiko infeksi, meningkatkan penyambuhan luka, bebas
eritema (kemerahan, gatal), tidak terjadi demam.
c. Intervensi:
1) Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan
klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang/kolonisasi bakterial.
2) Pertahankan tehnik aseptik ketat pada prosedur/perawatan luka.
Rasional: Menurunkan risiko kolonisasi infeksi bakteri.
3) Berikan perawatan kulit, perianal, dan oral dengan cermat.
Rasional: Menurunkan risiko kerusakan kulit/jaringan dan
infeksi.
4) Bantu perubahan posisi/ambulasi yang sering.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah
decubitus pencetus infeksi.
5) Pantau suhu, catat adanya menggigil dan takikardi dengan/tanpa
demam.
Rasional: Adanya proses inflamasi/infeksi membutuhkan
evaluasi pengobatan.
6) Pantau/batasi kunjungan.
Rasional: Membatasi pemajanan pada bakteri/infeksi.
7) Kolaborasi dalam pemberian antiseptik topikal, antibiotik
sistemik.
Rasional: Mungkin digunakan secara propilaktik untuk
menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi
lokal.

L. Daftar Pustaka
Adams, George L., Boies. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Broek, Van Den. 2010. Ilmu Kesehatan Tenggorok Hidung dan Telinga. Edisi
12. Jakarta: EGC.
Lucente, Frank E. 2011. Ilmu THT. Jakarta: EGC.
Samsudin, Sonny. 1993. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. Jakarta:
EGC.
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2000. Penatalaksanaan dan Kelainan Telinga
Hidung Tenggorok. Edisi 2. Jakarta: FKUI.
RHINITIS

A. Pengertian
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung (Dorland,
2002). Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa.
Rinitis adalah suatu inflamasi membran mukosa hidung dan mungkin
dikelompokkan baik sebagai rinitis alergik atau nonalergik. Rinitis non-
alergik paling sering disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas, termasuk
rinitis viral (Common cold) dan rhinitis nasal dan bacterial. Terjadi sebagai
akibat masuknya benda asing kedalam hidung, deformitas structural,
neoplasma, dan massa. Rhinitis mungkin suatu menifestasi alergi, dimana
kasus ini disebut sebagai rhinitis alergik. (Smeltzer, Suzanne C. 2002. Hal
547-548)
B. Klasifikasi
1. Rinitis alergi musiman (Hay Fever)
Biasanya terjadi pada musim semi. Umumnya disebabkan kontak
dengan allergen dari luar rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang
menggunakan angin untuk penyerbukannya, debu dan polusi udara atau
asap.
2. Rinitis alergi yang terjadi terus menerus (Perennial)
Disebabkan bukan karena musim tertentu (serangan yang terjadi
sepanjang masa (tahunan)) diakibatkan karena kontak dengan allergen
yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, bulu binatang
peliharaan serta bau-bauan yang menyengat.
3. Rhinitis Non Alergi
Rhinitis non allergi disebabkan oleh infeksi saluran napas (rhinitis
viral dan rhinitis bakterial, masuknya benda asing ke dalam hidung,
deformitas struktural, neoplasma dan massa, penggunaan kronik
dekongestan nasal, penggunaan kontrasepsi oral, kokain dan anti
hipertensif.

C. Etiologi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap
sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase
yaitu:
1. Immediate Phase Allergic Reaction, berlangsung sejak kontak dengan
allergen hingga 1 jam setelahnya.
2. Late Phase Allergic Reaction, reaksi yang berlangsung pada dua hingga
empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat
berlangsung hingga 24 jam.

D. Manifestasi Klinis
1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2. Hidung tersumbat.
3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan
alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih
keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung
atau infeksi sinus.
4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan
tenggorokan.
5. Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang
berulang-ulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah debu. Sebenarnya bersin adalah mekanisme normal dari hidung
untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari
lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala
rhinitis alergi.
Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak.
Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan keluarnya
air mata.
Tanda dan gejala rinitis adalah rongesti nasal, nafas nasal (purulen
dengan renitis bakterialis) gatal pada nasal, dan bersin-bersin. Sakit kepala
dapat saja terjadi, terutama jika terdapat juga sinusitis. (Smeltzer, Suzanne C.
2002. Hal 548)

E. Patofisiologi
Terdapat hipersekresi kelenjar serosa pada mukosa traktus respiratoris
terutama pada mukosa hidung dan sinus, metaplasia epitel bersilia dan
peninggian relative sel cangkir. Membrana propria hidung dan sinus menjadi
sembab dan terdiri dari cairan interstitium. Sel jaringan interstitium
membentuk serbukkan seluler yang terdiri dari sel plasma, limfosit, monosit,
dan eosinofil. Endotel pembuluh darah membengkak sehingga
permeabilitasnya meninggi diikuti eksudasi serosa. (Ngastiyah, 2003)
Patofisiologi rhinitis adalah terjadinya inflamasi dan pembengkakkan
mukosa hidung, sehingga menyebabkan edema dan mengeluarkan secret
hidung. Rhinitis persisten (menetap) mengakibatkan sikatrik fibrosa pada
jaringan pengikat dan antropi kelenjar yang mengeluarkan lendir atau ingus.

F. Komplikasi
1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan
kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media yang sering
residif dan terutama kita temukan pada pasien anak-anak.
3. Sinusitis kronik.
4. Otitis media dan sinusitis kronik bukanlah akibat langsung dari rinitis
alergi melainkan adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat
drainase.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik
dan uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita
dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya
infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis
rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji
laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit
goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan
mukosa hidung. Uji provokasi nasal masih terbatas pada bidang penelitian.

H. Pengkajian
I. Diagnosa Keperawatan
J. Intervensi
K. Daftar Pustaka
SINUSITIS

A. Pengertian
B. Etiologi
C. Manifestasi Klinis
D. Patofisiologi
E. Pengkajian
F. Diagnosa Keperawatan
G. Intervensi
H. Daftar Pustaka

TONSILEKTOMI

A. Pengertian
Tonsilektomi adalah mengeluarkan seluruh tonsil dengan pembedahan.
(Kamus Kedokteran, 2000)

B. Etiologi
Penyebab tonsilitis adalah virus dan bekteri sebagian besar disebabkan
oleh virus yang merupakan juga faktor predisposisi dari infeksi bakterial.
Golongan virus:
1. Adenovirus
2. Virus echo
3. Virus influenza
Golongan bakteri:
1. Streptococcus
2. Mycrococcus
3. Corine bakterium diphterial

C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari tonsilitis terbagi atas tonsilitis akut dan kronis.
Kepekaan tonsil terhadap infeksi akut dapat meningkat apabila keadaan
organisme dari luar berlebihan.
Tanda dan gejala tonsilitis akut:
1. Penderita terlihat seperti sakit demam.
2. Mengeluh sakit tenggorokan dan sakit menelan.
3. Tonsil hyperemia.
4. Kelenjar lymphe jugularis membesar dan nyeri bila diraba.
Setelah serangan tonsilitis akut jaringan tonsil biasanya dapat kembali
normal tetapi ada juga yang tidak. Keadaan jaringan yang tidak normal ini
merupakan terbentuknya abses-abses kecil dan folikal limphoid disekitar
krypta dan dibatasi oleh jaringan ikat. Tonsil yang seperti ini dapat
menimbulkan gejala infeksi berulang tiga sampai empat bulan sekali.
Keadaan ini merupakan proses awal terjadinya tonsilitis kronis.
Tanda dan gejala tonsilitis kronis:
1. Tonsil hyperemia dan edema.
2. Kripta melebar dan tonsil berbenjol-benjol.
3. Suhu badan sub febris.
4. Penderita merasa tidak enak badan.

D. Patofisiologi
Pada waktu anak lahir belum mempunyai folikal dan biasanya berukuran
kecil, dengan demikian habisnya material antibodi, maka secara berangsur
terjadi pembesaran tonsil.
Pembesaran ini dapat melebihi normal, oleh karena infeksi saluran
pernafasan berat. Pembesaran tonsil yang sampai menimbulkan gangguan
serius biasanya terjadi pada anak berumur 3-5 tahun. Keadaan ini ditandai
dengan gangguan bernafas atau gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi,
karena usia tersebut mudah menderita infeksi saluran nafas atas. Apabila satu
atau dua tonsil meradang membesar sampai ketengah uvofaring maka
sebaiknya dilakukan tindakan pengangkatan tonsil atau disebut tonsilektomi.

E. Indikasi
Sebelum tonsilektomi dilakukan ditemukannya indikasi seperti:
1. Tonsilitis akut residivan. Yaitu tonsilitis akut yang berulang-ulang 4-5
kali tiap tahun.
2. Tonsilitis kronis dengan eksasurbasi. Yaitu tonsilitis akut dengan keluhan
ringan tapi terus menerus.
3. Abses peritonsil/tonsilitis akut dengan komplikasi. Jika sudah pernah
terjadi abses peritonsil maka kemungkinan untuk kambuh berulang-
ulangnya dikemudian hari besar sekali. Pada abses peritonsil jaringan
sekitar tonsil turut meradang sehingga perasaan sakit melebihi dari
tonsilitis akut biasa.
4. Streptokok tonsilitis yang berulang. Infeksi kuman streptokok yang
berulang dan tidak teratasi oleh berbagai antibiotik akan mengakibatkan
terjadinya kerusakan yang besar pada jaringan tonsil. Akibatnya tonsil
tidak lagi berfungsi sebagai alat penangkis kuman dan merupakan fokal
infeksi yang tidak dapat dikontrol.
5. Tonsil palatina sebagai fokat infeksi demam rematik.
6. Tonsil palatina menjadi serangan kuman atau diptheria cariur, misal
tonsilitis proso diphteria.
7. Tonsil hipertropi sehingga timbul obstruksi mekanik. Adanya
pembesaran tonsil yang sedemikian maka makan, minum bahkan
bernafas terutama di malam hari sudah terganggu. Jika tonsil hipertropi
tidak segera diangkat maka komplikasi seperti faringitis, bronkitis sering
terjadi dan sukat diatasi.
8. Otitis media purulen yang berulang.
9. Tonsil yang menunjukkan tanda maligna. Indikasi ini sangat definitif dan
tonsilektomi harus dilakukan karena kalau tumor ganas masih bersifat
insitu, tonsilektomi akan memberi hasil yang memuaskan tetapi bilamana
tumos sudah menjalar ke daerah sekitar tonsil, maka tonsilektomi akan
sia-sia, bahkan pembesaran tonsil unilateral yang luar biasa harus
dicurigai kemungkinan terjadinya maligna.

F. Kontraindikasi
1. Alergi yang mendasari. Tonsilektomi dapat memperburuk alergi pada
beberapa pasien.
2. Pilek berulang dan masalah kesehatan menahun jarang karena tonsil.
3. Pasien di bawah umur 3 atau 4 tahun.
4. Tonsil besar tanpa gejala. Harus diingat bahwa tonsil cenderung
membesar sampai sekitar umur 10-12 tahun, dan kemudian berinvolusio
mantap.
5. Adenitis cervicalis tuberkulosis tidak lagi dianggap sebagai indikasi.
6. Demam reumatik dan nefritis bukan indikasi, kecuali bila terapi
antibiotika intensif gagal menghilangkan streptokokus hemolitikus.
7. Desakan orang tua untuk tonsilektomi bukan merupakan suatu indikasi.

G. Komplikasi
1. Perdarahan pasca tonsilektomi
2. Menyebabkan hypertropi
3. Atelektase
4. Bronkhitis
5. Pneumonia
6. Abses paru

H. Jenis-jenis Teknik Operasi


1. Cara Guillotine
Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari
Philadelphia, sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang
adalah modifikasi Sluder. Di negara-negara maju cara ini sudah jarang
digunakan dan di Indonesia cara ini hanya digunakan pada anak-anak
dalam anestesi umum. Tehniknya adalah sbb:
a. Posisi pasien terlentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan
berhadapan dengan pasien.
b. Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi
dengan pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula.
c. Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut
melalui sudut kiri.
d. Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian
kutub bawah tonsil dimasukkan ke dalam Iubang guillotine. Dengan
jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh
jaringan tonsil masuk ke dalam Iubang guillotine.
e. Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
f. Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang
guillotine, dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan
sekitarnya dan diangkat keluar. Perdarahan dirawat.
2. Cara Diseksi
Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Cara ini
digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa, baik dalam anestesi
umum maupun lokal. Tehniknya adalah sbb:
a. Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan
kepala sedikit ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien.
b. Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.
c. Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial
d. Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil
dilepaskan dari fosanya secara tumpul sampai kutub bawah dan
selanjutnya dengan menggunakan jerat tonsil, tonsil diangkat.
Perdarahan dirawat.
3. Cryogenic Tonsilectomy
Tindakan pembedahan tonsil dapat menggunakan cara cryosurgery
yaitu proses pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi nekrosis. Bahan
pendingin yang dipakai adalah freon dan cairan nitrogen.
4. Teknik Elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil
disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik
transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek
pada jaringan.
Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik
berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi
ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
5. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung
kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk
membuka kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas.
Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan
total volume jaringan berkurang.

6. Skapel Harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan
minimal.
7. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk
karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi
untuk mengikis jaringan.
Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari
radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara
yang akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar
elektroda. Kelompok plasma tersebutakan mengandung suatu partikel
yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi
yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah
ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul
pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan
kerusakan jaringan sekitar.
8. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider
endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi,
namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian
alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
9) Laser (CO2-KTP).
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP
(Potassium Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat
jaringan tonsil. Tehnik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan
recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.

I. Pengkajian
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala: Kelemahan, kelelahan (fatigue).
2. Sirkulasi
Tanda: Takikardia, hiperventilasi (respons terhadap aktivitas)
3. Integritas Ego
Gejala: Stress, perasaan tidak berdaya.
Tanda: Tanda-tanda ansietas, mual, gelisah, pucat, berkeringat, perhatian
menyempit.
4. Eliminasi
Gejala: Perubahan pola berkemih.
Tanda: Warna urine mungkin pekat.
5. Maknan/Cairan
Gejala: Anoreksia, masalah menelan, penurunan menelan. Tanda:
Membran mukosa kering, turgor kulit jelek.
6. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Nyeri pada daerah tenggorokan saat digunakan untuk menelan,
nyeri tekan pada daerah sub mandibula.
Tanda: Wajah berkerut, berhati-hati pada area yang sakit, pucat,
berkeringat, perhatian menyempit.

J. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap komplikasi infeksi berhubungan dengan faktor
pembedahan.
2. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
3. Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
penurunan masukan cairan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
4. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan masukan sekunder terhadap nyeri saat
menelan.
5. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan terapeutik yang
berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang komplikasi,
nyeri, pengaturan posisi dan penatalaksanaan aktifitas.

K. Intervensi
1. Resiko tinggi terhadap komplikasi infeksi berhubungan dengan faktor
pembedahan.
a. Tujuan: Tidak ada infeksi, tidak ada komplikasi.
b. Intervensi:
1) Pantau suhu badan tiap 4 jam, keadaan luka ketika melakukan
perawatan.
2) Berikan antibiotik yang diresepkan, berikan paling sedikit 2 liter
cairan setiap hari ketika melaksanakan terapi antibiotik.
3) Berikan antipiretik yang ditentukan jika terdapat demam.
2. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
a. Tujuan: Klien menyatakan nyeri hilang/terkontrol, klien
menunjukkan rileks, istirajat/tidur dan peningkatan aktifitas dengan
tepat.
b. Intervensi:
1) Pantau TTV.
2) Berikan tindakan kenyamanan, misal perubahan posisi, musik,
relaksasi.
3) Jika diresepkan analgesik IV, aturlah analgesik secara rutin
selama 24 jam pertama, tidak menunggu pasien memintanya.
4) Beritahu dokter jika analgesik tidak dapat menghilangkan sakit.
3. Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
penurunan masukan cairan sekunder terhadap nyeri saat menelan.
a. Tujuan: Klien dapat meningkatkan masukan cairan minimal 2000
ml, memberitahu perlunya untuk meningkatkan masukan cairan
selama stress atau panas, memperlihatkan tidak adanya tanda dan
gejala dehidrasi.
b. Intervensi:
1) Kaji perubahan TTV, contoh peningkatan suhu tubuh/demam
memanjang, takikardi, hipotensi artostatik.
2) Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa.
3) Pantau masukan dan keluaran, catat warna, karakter, urine.
Hitung keseimbangan cairan, waspadai kehilangan yang tak
tampak, ukur BB sesuai indikasi.
4) Catat laporan mual/muntah.
4. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan masukan sekunder terhadap nyeri saat
menelan.
a. Tujuan: Klien menunjukkan peningkatan nafsu makan, klien dapat
mempertahankan/meningkatkan berat badan.
b. Intervensi:
1) Berikan makan porsi kecil dan sering atau makanan yang
menarik pasien.
2) Monitor status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.
3) Observasi distensi abdomen.
4) Atur rencana perawatan untuk mengurangi atau menghilangkan
bau yang menyebabkan ingin muntah atau prosedur yang
dilakukan mendekati waktu makan.
5. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan terapeutik yang
berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang komplikasi,
nyeri, pengaturan posisi dan penatalaksanaan aktifitas.
a. Tujuan: Klien dapat menggambarkan proses penyakit, penyebab-
penyebab dan faktor penunjang pada gejala dan aturan untuk
penyakit atau kontrol gejala, klien dapat mengungkapkan maksud
untuk melakukan perilaku kesehatan yang diperlukan atau keinginan
untuk pulih dari penyakit dan pencegahan kekambuhan atau
komplikasi.
b. Intervensi:
1) Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya
penyembuhan dan harapan kesembuhan, identifikasi perawatan
diri dan kebutuhan/sumber pemeliharaan rumah.
2) Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.
3) Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode
yang dianjurkan.
4) Tekankan pentingnya melanjutkan evaluasi medik dan
vaksin/imunisasi dengan tepat.
5) Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan pelaporan pemberian
perawatan kesehatan, misal kehilangan BB, demam.

L. Daftar Pustaka
Catzel, Pincus. 1992. Kapita Selekta Pediatri. Jakarta: EGC.
Cody, D.dan Thane R. 1993. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan.
Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilynn. E,.1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Rizal, Basjrah. 1986. Faringologi. Bandung: Alumni.

También podría gustarte