Está en la página 1de 4

MAKNA HALAL BIHALAL

(Jejak Tradisi Halal Bihalal Di Indonesia (3))

Tradisi Halal Bihalal sebenarnya sudah lama dilakukan di Indonesia, bahkan pada era
kolonial (sebelum tahun 1945). Dalam majalah Narpawandawa yang terbit 3 Maret
1936 mencatat adanya kegiatan Halal Bihalal yang diselenggarakan oleh majalah
tersebut. Kegiatan ini dibarengkan dengan rapat (pertemuan) tahunan para aktivis
majalah tersebut. Halal bihalal diadakan tanggal 13 Januari 1936 di rumah Adiwijayan
Surakarta. Dihadiri oleh B.K.P.H. Suryaamijaya, K.P.P. Suryadipura, R.M.Ng.
Purwasastra, R.M.H. Mr. Kartadipura, R.M.H. Cakrawinata, R.M.T. Purwadipura,
R.M.Ng. Wiraatmaja, M. smubrata, K.R.M.H. Wuryaningrat, R.M.Ng. Sasradipraja,
R.M.Ng. Atmamijaya, R.M.Ng. Atmasaputra. Selain itu juga hadir warga sebanyak 140
putra dan 160 putri.

Dalam kesempatan tersebut K.R.M.H. Wuryaningrat, bertepatan pukul 08.50 (malam)


menyampaikan beberapa hal, antara lain demikian.

... saya mengadakan kegiatan pertemuan ini tanggal 4 syawal, karena sebagai orang
Jawa adatnya di bulan Syawal mengadakan halal bihalal. Meski ini terlambat, tetapi
saya tetap perlu menyampaikan apa maksud dari halal bihalal. Setiap hari raya
setelah puasa, kita semua disunahkan, yaitu mengutamakan silaturahim atau halal
bihalal. Silaturahim itu bahasa Arab yang berarti menyambung kasih sayang,
sedangkan halal bihalal bahasa Jawanya, apura ing apura.

Adat demikian itu sebenarnya sangat bermanfaat, dan mempunyai makna mendalam,
sebab manusia itu dasarnya dikepung oleh godaan-godaan yang mengajak untuk
perpecahan dan perselisihan dengan lainnya, padahal perpecahan dan perselisihan
itu adalah akar dari semua malapetaka.

Halal bihalal termasuk sarana merukunkan manusia, juga sebagai obat


menghilangkan penyakit perpecahan dan perselisihan. Sayangnya cara yang baik dan
besar manfaatnya ini sekarang hanya sebagai perkara yang disepelekan atau sekedar
adat saja, jarang sekali yang memahami maksud dan manfaatnya mengadakan halal
bihalal. Hanya sekedar kepantasan saja, bahkan ada yang menjadikannya tameng
untuk kesenengan saja. Maka tidak aneh jika ada kabar mengenai pertemuan malam
ini akan sepi, tidak hadir tanpa alasan, yang memerlukan datang hanya sedikit. Oleh
karena itu saya akan menjelaskan makan sejati Halal Bihalal.

Tadi saya sudah sampaikan bahwa manusia itu dikepung oleh godaan mengajak
perpecahan dan perselisihan dengan saudaranya sendiri. Ini penolaknya tidak ada
lagi selain manusia harus selalu dirukunkan. Maka Halal bihalal adalah sarana
merukunkan manusia, ini ditilik dari maksud arti menyambung kasih sayang dan maaf
memaafkan (silaturhami apura ingapura). Oleh karena itu akan saya jelaskan apa itu
rukun.
Ada yang memahami, bahwa rukun itu berkumpulnya orang yang mempunyai tujuan
tertentu. Sebaliknya kalau ada orang yang tidak mau berkumpul di situ disebut tidak
rukun. Pemahaman yang demikian ada benarnya, tetapi kurang penjelasannya.
Karena rukun itu mempunyai arti yang baik, sempurnanya arti rukun adalah demikian:
rukun itu berkumpunya manusia suatu waktu, mempunyai tujuan, serta setiap
orangnya mempunyai rasa kasih sayang serta peduli kepada lainnya. Jadi, meskipun
berkumpul, mempunyai tujuan tertentu pada hal tidak baik, itu juga tidak disebut rukun,
sebab tanpa ada rasa kasih sayang dan peduli, semoga berkumpulna kita malam ini
di dalem Adiwijayan malam ini, mempunyai rasa seperti kasih sayang orang tua
terhadap anaknya, adanya hanya cinta, peduli, tidak rela kalau anaknya menjadi tidak
baik. Maka orang tua tersebut selalu membenahi dan meluruskan perilaku anaknya,
orang tua yang sayang, meski usahanya itu tidak disenangai oleh yang diluruskan
perilakunya, itu diabaikan. Ia hanya ingin orang yang dicintai menjadi orang yang baik,
itulah makna rukun yang sejati.

Setiap orang di majalah Narpawandawa harus memiliki rasa seperti orang tua
terhadap anaknya, didasari cinta, jadi maksud halal bihalal ini supaya menata agar
tetap awet rukun, jangan sampai ada perpecahan dan perselisihan. Seperti yang
disabdakan Tuhan dalam Quran, watasimu bihablillahi jamian wala tafarroqu,
artinya: berpeganglah tali Allah (kerukunan) dan jangan berpisah dan berselisih.

Adapun tanda-tanda halal bihala yang diterima dan tidak itu sebagai berikut; jika
sesudah halal bihalal kerukunannya berkurang dibanding sebelumnya, ini pertanda
halal bihalalnya tidak diterima. Sedangkan jika sesudah halal bihalal kerukunannya
serta kasih sayang meningkat dibanding sebelumnya, itu pertanda halal bihalal
diterima (berhasil).

Ada anjuran Ngalkomah kepada anaknya, begini: jika membangun persaudaraan,


pilihlah 1) orang yang mempunyak watak, ketika engkau layani dia mau menjaga
anda, 2) ketika engkau sayangi dia mengimbangi, 3) jika engkau susah mau
menolong, 4) jika engkau berbuat baik dia menjaga, 5) jika berbuat jelak mau
mengingatkan, 6) jika berbuat baik dia mengingatnya, 7) jika engkau punyai aib mau
menutupinya rapat, 8) jika engkau kena musibah mau ikut susah, juga kalau dapat
senang ikut senang, 9) nasehatnya baik, jika dia salah mau mengalah dan 10) yang
pokok dia berbudi pekerti.

Semoga kita semua warga Narpawandawa dapat mengambil hikmah yang baru saya
sampaikan, juga mau maaf memaafkan kesalahan satu sama lain. Sebab dalam
setahun ini pasti kita punya dua dosa. Pertama, dosa diri sendiri, seperti kepleset,
tersedak, kesdandung, ini menebusnya/membesihkannya melalui kehati-hatian.
Kedua dosa kepada manusia lain, sarana membesihkannya melalui halal bihalal.
Saya dan teman-teman pengurus meminta kepada warga/pembaca bisa memberi
maaf kalau selama setahun ini dalam memimpin perkumpulan ada yang membuat
tidak kecocokan/kesalahan, semoga terhapus di malam ini...

TRADISI MUDIK DAN HALAL BIHALAL


(Jejak Tradisi Halal Bihalal di Indonesia (4))

Selain sumber dari majalah Narpawandawa, tradisi Halal Bihalal juga terekam dalam
majalah Kejawen. Majalah Kejawen yang terbit 1 Desember 1937 (tahun XII)
mengulas mengenai makna halal bihalal. Demikian pula tradisi mudik, ternyata juga
sudah dilakukan menjadi tradisi sejak lama, di era kolonial.

Berikut saya kutipkan (sudah alih bahasa Indonesia).

Katndha ugr sampun ngancik prpgan bakda kirang sadintn, ebahipun tiyang
ingkang sami tata-tata badhe Riadinan lir gabah dn intri. Dalasan untabipun tiyang
dhusun ingkang sami nyambutdaml bbrah punapadene ingkang sami ngngr
wontn ing kitha utawi nagari, pating balbr akrig lampit sami mantuk dhatng
dhusunipun, ngantos ing kitha katingal spn tiyang ssadean.

(terj-pertanda setiap memasuki masa prepegan, H-1, aktivitas manusia begitu


meriah, ke mana-mana. Demikian pula orang-orang desa yang bekerja atau ikut orang
di kota, semua pada pulang ke desanya, sampai-sampai kota sepi ditinggal orang
jualan).

Meski di saat itu banyak rayuan atau ancaman untuk tidak pulang kampung, tetap saja
diabaikan hanya demi pulang ke desanya. Meski mereka dirayu bahwa akan ada hal
yang lebih baik. Atau mereka akan diberi uang sedikit kalau pulang saat itu. Semua
diabaikan, mereka tetap bersemangat bertemu keluarga, karena itu adalah
kebahagiaan yang sangat besar bisa berkumpul dengan keluarga.

Dalam majalah Kejawen terbitan ini juga diingatkan bahwa ada hal yang lebih penting
dalam tradisi kemeriahan hari raya idul fitri, yaitu silaturahmi atau halal bi halal.

Silaturohmi punika tgsipun: nyambung sih. Dene halal-bihalal makatn tgsipun:


kalal-kinalalake utawi lila-linilakake, trangipun kados ta upami: klojak-kalajuking
ngangge barang darbkipun liyan, klinta-klintuning ginm, utawi kaladuking rmbag
ingkang dados nuwuhakn saksrik lan saru-siku sapanunggilanipun, punika sadaya
mugi sami dipun kalalakn, dipun lilakakn, utawi kabengkas sami sanalika, ing dintn
punika, dados halal-bihalal punika ckakipun: apura-ingapura
(terj-silaturahmi itu artinya menyambung kasih sayang, sedangkan halal bi halal itu
artinya, halal dihalalkan atau rela direlakan, jelasnya seperti: memakai barang orang
lain, salah benar ucapan, atau diskusi yang menimbulkan kebencian, saling sikut dan
lainnya, itu semua diharapkan samua dihalalkan, direlakan atau dihapus seketika, di
hari itu, jadi arti halal bihalal ringkasnya: maaf memaafkan

Wontnipun sabn Lbaran Siyam, sami silaturohmi dhatng sanak sadhrk, saha
tumrapipun pakmpalan daml ppanggihan halal-bihalal kalihan warganipun, amargi
manungsa punika namung tansah kbak ing pangodha, ingkang lajng ambujng
prlunipun piyambak, botn malu kawisunaning liyan, ingkang tundonipun adaml
crah lan pasulayan, tur botn namung dhatng sans bngsa kemawon, dalah
bangsanipun piyambak dumugi kulawarganipun pisan inggih asring ccongkrahan,
mngka congkrah punika ttela botn wontn saenipun, malah sagd daml
kapitunan ing sadayanipun, amila wajib dipun singkiri tbih.

Dene nyingkiri ccongkrahan, kalihan ambangun sih katrsnan, punika pancn dados
bakuning pasadherekan, tuwin sami kemawon kalihan bakuning kajngipun
pakmpalan-pakmpalan, inggih punika kdah sami katancban manah rukun purun
tulung-tinulung lan samad-sinamadan. Samngsa tiyang pasadherekanipun sagd
kados makatn, tuwin pakmpalan ingkang warganipun sami sayuk iyg ru-

--- 1525 ---

[Grafik]

kun saeka-kapti, inggih sae, jr sampun kasbut ing dalm kndha: rukun agawe
santosa, punika yktos, amargi bbasanipun malih wontn: yn sira arp nyandhang
sasuwk, kirim karcis sailat, mangan sga sapulukan, iku kudu ana tangan swu kang
tumandang.

Nanging manawi tiyang utawi pakmpalan tansah bncng cwng inggih botn
prayogi amargi sampun kalbt ing pocapan: crah bubrah, punika pancn nyata. Awit
saking punika, panyuwun kula dhatng para maos Kajawn sadaya, saha dhatng
bngsa kula ngumumipun, halal-bihalal sabn Lbaran Siyam wau sampun namung
kndl satatacara kemawon, nanging ugi kaparnga sami nglbtakn ing panggalih,
punapa wigatosipun silaturohmi kados ingkang kula aturakn ing nginggil. Wasana
sami anglanggngakn pangapuntn.

También podría gustarte