Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
TINJUAUAN PUSTAKA
Pergerakan okular diatur oleh enam otot ekstraokuler. Nervus cranial yang
(abdusens). Selain itu, Nervus III juga mempersyarafi levator palpebra dan muskulus sfingter
pupil.1
Tabel 2.1 Origo dan Insersi Muskulus Ekstra Okular
orbitalis superior
2. M. Rektus Medialis anulus zinii 5 mm di belakang limbus N III
3. M. Rektus Inferior anulus zinii 6 mm di belakang limbus N III
4. M. Oblik Superior fossa lakrimal sklera posterior 2 mm N III
mata
6. M.Rektus Lateralis anulus zinii di atas dan 7 mm di belakang limbus N VI
saat yang bersamaan. Gerakan kojugat horizontal melibatkan pergerakan simultan pada kedua
mata dengan arah berlawanan dari garis tengah. Satu mata bergerak ke medial, sedangkan mata
lainnya bergerak ke arah lateral. Dengan demikian gerakan konjugat bergantung pada ketepatan
koordinasi persarafan kedua mata dan pada nuklei otot yang menpersarafi gerakan mata pada
kedua sisi. Hubungan saraf sentral yang kompleks juga mempengaruhi terjadinya gerakan
tersebut. Saraf yang mempersarafi otot-otot mata juga berperan pada beberapa refleks yaitu
Esotropia adalah salah satu tipe strabismus atau ketidakseimbangan mata. Istilah
esotrofia berasal dari bahasa Yunani yaitu eso- yang berarti ke dalam dan trepo yang berarti
giliran. Esotropia atau yang diistilahkan sebagai mata silang terjadi ketika salah satu mata
melihat lurus ke depan sedangkan mata lainnya berbelok kea rah hidung. Istilah esotropia
kongenital adalah esodeviasi dengan onset sebelum berusia enam tahun, Sudut deviasi biasanya
sangat besar, dan lebih dari 30 primsa dioptric (PD). Esotropia kongenital sering dihubungkan
dengan nistagmus yang merupakan disosiasi deviasi vertical dan overreaksi dari otot oblik
inferior.2
Strabismus merupakan masalah mata yang paling banyak pada usia anakanak dimana 5
dari setiap 100 anak di US mengalami strabismus atau 12 juta orang dari 245 juta populasi
penduduk. Prevalensi esotropia kongenital lebih banyak daripada esotrofia jenis lain yaitu 28-
54%. Studi berbasiskan populasi dari tahun 1965 sampai dengan 1994 dilaporkan bahwa
prevalensi kelahiran dengan esotrofia kongenital adalah 25 per 10.000 atau 1 dari 403 lahir
hidup. 3
Penyebab pasti dari esotrofia kongenital masih belum teridentifikasi. Beberapa ahli
berkeyakinan bahwa ada kaitan dengan komponen genetik. Berdasarkan penelitian Tychsen dan
Lisberger, 1986, ditemukan bahwa pasien strabismus yang memiliki strabismus berat memiliki
dua saudara kandung dengan esotrofia kongenital. Selain itu investigasi skala besar menunjukkan
bahwa 20%-30% anakanak yang lahir dari orang tua strabismus akhirnya akan berkembang
menjadi strabismus.3
Beberapa faktor risiko tertentu yang dihubungkan dengan esotrofia kongenital seperti
lahir prematur, riwayat keluarga yang memiliki kelainan mata, komplikasi selama masa
kehamilan seperti hipoksia/iskemia ensepalopati, kelainan sistemik, dan penggunaan obat selama
masa kehamilan. Perhatian lebih terhadap faktor risiko tersebut dapat menjadi deteksi dini dan
2.5 Patogenesis
Penyebab esotropia kongenital masih belum diketahui. Perdebatan mengenai etiologinya
terfokus pada implikasi dari 2 teori. Konsep "sensoris" Worth mengatakan bahwa esotropian
kongenital merupakan hasil dari penurunan pusat fusi di otak. Menurut teori ini mengembalikan
fungsi mata binokular dikatakan tidak berguna karena tidak ada cara untuk menyediakan
pengganti dari hilangnya fungsi neural. Chavasse tidak setuju dengan teori Worth dan percaya
bahwa penyebab utama esotropia kongenital adalah mekanik dan berpotensi untuk dapat
2.6 Klasifikasi
esotropia :4
1. Esotropia konkomitan, yaitu bila sudut penyimpangan sama besarnya pada semua
arah pandangan.
2. Esotropia nonkomitan, yaitu bila besarnya sudut penyimpangan berbeda-beda
2.7 Diagnosis
Esotropia kongenital klasik melibatkan sudut deviasi yang besar melebihi 20 dioptri
prisma (PD) pada pengukuran reflek cahaya kornea. Sesuai aturan, anak-anak dengan esotropia
yang lebih besar atau sama dengan 40 PD pada usia 2-4 bulan awal jarang menjadi orthoporia
secara spontan.3
Pada anak dengan deviasi sudut yang lebih kecil (< 40 PD) atau dengan sudut yang
seperti :3
stereopsis.
Skotoma sentral selalu dapat diidentifikasi. Pada kondisi lain, telah dilaporkan bahwa
kuadran inferonasal pada lapang pandangan mengalami penyemoitan pada pasien dengan
dengan tipe V dimana esodeviasi lebih besar pada bagian bawah daripada bagian atas.
Esotropia kongenital tipe V disebabkan oleh overaksi dari muskulus obliqus inferior.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Pemeriksaan Kelainan Refraksi
1. Pemeriksaan Aspek Motorik
Menentukan Besar Sudut Deviasi
a. Uji Prisma dan Penutupan
Uji penutupan (cover test)
Uji membuka penutup (uncover test)
Uji penutup berselang seling (alternate cover test)
Penutup ditaruh berselang seling didepan mata yang pertama dan kemudian
mata yang lain. Uji ini memperlihatkan deviasi total (heterotropia dan
heteroforia)
yang semakin tinggi dengan kekuatan satu atau kedua mata sampai terjadi netralisasi
kekuatan base out yang semakin tinggi didepan salah satu atau kedua mata sampai
gerakan re-fiksasi horizontal dicapai oleh mata yang deviasi. (Rusdianto, 2006)
c. Uji Objektif
Uji prisma dan uji tutup bersifat objektif, karena tidak diperlukan laporan
laporan pengamatan sensorik Dari pasien. Namun diperlukan kerjasama dan tajam
penglihatan yang utuh. Uji batang Maddox bersifat subjektif, Karena nilai akhir
pasien dalam keadaan bingung atau tidak kooperatif, mungkin tidak respon terhadap
uji ini. Cara-cara penentuan klinis posisi mata yang tidak memerlukan pengamatan
sensorik pasien (uji objektif) jauh kurang akurat, walaupun kadang-kadang masih
bermanfaat. Terdapat dua metode yang sering digunakan yang bergantung pada
Metode Hirschberg
Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian lihat pantulan
iii. Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka deviasinya 30
didepan mata sedang deviasi. Kekuatan prisma yang diperlukan agar refleksi kornea
pada mata yang juling berada ditengah-tengah pupil menunjukkan besarnya sudut
deviasi.
Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang digerakkan kesegala
arah pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat diketahui. Kelemahan seperti
ini bisa karena paralisis otot atau karena kelainan mekanik anatomik. (Rusdianto, 2006)
Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya pada jarak 33 cm
dalam 9 posisi diagnosis primer lurus kedepan; sekunder kekanan, kekiri keatas dan
kebawah; dan tersier keatas dan kekanan, kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan
kebawah dan kekiri. Rotasi satu mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya
Konsensus: pada posisi tersier otot-otot obliq dianggap bekerja-lebih atau bekerja-kurang
berkaitan dengan otot-otot rektus pasangannya. Fiksasi pada lapangan kerja otot paretik
menyebabkan kerja-lebih otot pasangannya, karena diperlukan rangsangan yang lebih
besar untuk berkontraksi. Sebaliknya, fiksasi oleh mata yang normal akan menyebabkan
a. Uji stereopsis
bila dilihat monocular. Lapangan titik-titik secara acak (A field of random dots)
terlihat oleh mata masing-masing tetapi hubungan titik ke titik yang sesuai antara 2
sasaran adalah sedemikian rupa sehingga bila ada stereopsis akan tampak suatu
b. Uji Supresi
Adanya supresi bisa ditunjukkan dengan uji 4 titik Worth. Gagang pencoba
dengan 4 lensa merah didepan satu mata dan lensa hijau didepan mata yang lain.
berwarna ini adalah tanda untuk persepsi mata masing-masing dan bulatan putih yang
bisa dilihat kedua mata dapat menunjukkan adanya diplopia. Pemilahan bulatan-
bulatan dan jaraknya Dari mata, menentukan luasnya retina yang diperiksa. Daerah
fovea dan daerah perifer dapat diperiksa dengan jarak dekat atau jauh.5
menunjukkan bahwa titik retina perifer pada satu mata dan fovea mata lainnya
Uji ini merupakan uji metode yang kedua. Kaca bening dengan alur-alur halus
yang arahnya berbeda tiap-tiap mata ditempatkan didepan mata. Kondisi uji sedapat
mungkin mendekati penglihatan normal. Terlihat sebuah titik sumber cahaya dan
seberkas sinar tegak lurus pada arah alur. Jika unsur retina perifer mata yang
berdeviasi menunjuk berkas cahaya melalui titik sumber cahaya maka berarti ada
2.9 Tatalaksana
orthotropia. Idealnya, hasil ini terdapat dalam penglihatan normal pada setiap mata dan dalam
pengembangan setidaknya beberapa derajat fusi sensorik yang akan menjaga keselarasan gerakan
bola mata.6
Sudut deviasi yang lebih kecil dapat ditatalaksana dengan lensa prisma dengan atau tanpa
terapi oklusi, berdasarkan ada tidaknya ambliopia. Menampilkan refraksi yang baik dengan
sikloplegik penuh pada esotropia kongenital. Kombinasi sikloplegik yang umum digunakan
adalah 2,5% phenylephrine dan 1% cyclopentolate. Penting untuk menutup satu mata selama
melakukan pemeriksaan retinoskopi untuk membuat jarak yang akurat dengan visual aksis. Rata-
rata refraksi sikloplegik pada anak dengan esotropia kongenital tanpa masalah perkembangan
dan sistemik lainnya adalah sferis hiperopik ringan dengan astigmatisma ringan, yang stabil pada
dan/atau ketika unisometropia 1.50 D. tambahan, silinder lebih besar dari atau rata-rata +0.5D
dapat diberikan. Pada kondisi lain, myopia diatas -4.00 memerlukan lensa koreksi. Koreksi
fiksasi
2. Lensa minus dapat menurunkan kekuatan akomodasi dan sudut strabismus, terutama fiksasi
didekat target.
Ketika terdapat ambliopia maka, terapi oklusi merupakan satu-satunya pilihan. Bayi
diperiksa ulang setelah beberapa minggu untuk melihat respon terapi dan untuk meyakinkan
bahwa oklusi pada ambliopia tidak berkembang pada mata yang dominan. Akhir dari terapi
dengan pembedahan. Tychsen menyatakan bahwa ketika dokter bedah telah menemukan bayi
dengan esotropia kongenital melebihi 12 PD, maka penatalaksanaan bedah harus dilakukan.
Dokter bedah harus melakukan 2 kali pengukuran strabismus sebelum melakukan operasi. 2
Tindakan bedah biasanya diindikasikan setelah terapi medis dan terapi ambliopia
melibatkan reseksi rektus media bilateral. Reseksi dari otot rektus medial dikombinasikan
dengan reseksi dari otot rektus ipsilateral lateral alternatif yang dapat diterima. Pada operasi dua-
otot rektus ini, dibutuhkan otot suku cadang horizontal untuk operasi berikutnya; ini umum
otot untuk meningkatkan kekuatan abduksi). Kebanyakan dokter mata setuju bahwa operasi
harus dilakukan lebih awal karena koreksi esotropia kongenital dengan operasi memberikan hasil
terbaik bila dilakukan pada anak usia kurang dari 12 bulan. Selain itu, juga dapat
antibiotik steroid digunkan untuk pengobatan minggu pertama postoperasi. Injeksi BOTOX
mencegah infeksi terutama pada konjungtiva. Obat yang bisa digunakan adalah
dexamethasone 0,1%. Tobramycin digunakan untuk bakteri gram positif dan gram negatif.
2. Neurotoksik
Botulinum toxin tipe A (BOTOX) adalah yang paling sering digunakan. Menghambat
OnabotulinumtoxinA (BOTOX)
Digunakan untuk injeksi pada muskulus ekstraokuler. Dosis terapi yang digunakan 1,25 2,5
U. dosis lebih rendah digunakan untuk deviasi lebih kecil dan dosis lebih tinggi digunakan untuk
Suntikan toksin botulinum ke dalam otot rektus medial telah digunakan oleh beberapa dokter
mata dalam pengobatan esotropia kongenital. Beberapa suntikan mungkin diperlukan dan jangka
panjang sensorik dan motorik hasil belum terbukti lebih unggul kepada orang-orang dari operasi
insisi.6
Injeksi Botulinum Toxic (BOTOX) ke dalam rektus medial telah disarankan sebagai terapi
alternatif untuk operasi. Beberapa penelitian telah meneliti manfaat dari prosedur ini dan
mendapatkan hasil yang kontras. Dalam menggunakan injeksi BOTOX pada rektus medial
bilateral, McNeer mencatat penurunan sudut esotropia pada 27 pasien dengan esotropia
kongenital lebih muda dari usia 12 bulan dan pada pasien lebih muda dari usia 24 bulan.
Penelitian jangka panjang hingga 95 bulan postinjeksi menunjukkan bahwa tidak hanya
penurunan signifikan dari sudut esotropia tetapi juga kesejajaran binocular (+10 PD) pada 89%
pasien.2
2.10 Prognosis
Prognosis yang lebih baik untuk kesejajaran okuler dan penglihatan dapat diperoleh
apabila operasi dilakukan sebelum usia 2 tahun. Faktor yang mempengaruhi perburukan
kesejajaran letak okuler dan penglihatan dipengaruhi oleh amblyopia preoperasi, manifestasi
Daftar Pustaka
1. Nana, Wijana. Gangguan Gerak Mata. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: EGC. 1996.
Hal: 277.
2. Vicente, Victor D, Ocampo JR. 2014. Infantile Esotropia. Medscape diakses pada tanggal 11
Juli 2017 dari http://emedicine.medscape.com/article/1198876-overview#a0199
3. Vicente, Victor D, Ocampo JR. 2014. Infantile Esotropia. Medscape diakses pada tanggal 14
Februari 2015 dari http://emedicine.medscape.com/article/1198876-overview#a0199
4. Tychsen L. Can ophthalmologists repair the brain in infantile esotropia? Early surgery,
stereopsis, monofixation syndrome, and the legacy of Marshall Parks. J AAPOS. 2005;
9(6):510-521.
5. Rusdianto. Diagnosis dan manajemen mikrostrabismus. The 4th Sumatera Ophthalmology
Meeting. 2006
6. American Academy of Ophtalmology. Infantile (Congenital) Esotrophia. USA : AAO. 2013.