Está en la página 1de 38

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN SISTEM


NEUROLOGI: TRAUMA KAPITIS/ KEPALA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Kelompok
Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
Dosen Pembimbing : Ns. Honoratus Haris Pastiyanto S. Kep

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 :

1. Antonius Ari Wibowo (1001140003)


2. Siska Novi Anggraini (1001140043)

UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan yang
berjudul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Neurologi tepat pada waktunya.
Penulisan Asuhan Keperawatan ini merupakan penugasan dari mata kuliah
blok Keperawatan Medikal Bedah II. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing kami Ns. Honoratus Haris Pastiyanto S. Kep yang telah
memberikan sarannya dalam pembuatan Asuhan Keperawatan ini dan teman-
teman yang telah memberikan dukungan dan membantu dalam pembuatan
Asuhan Keperawatan ini.
Penulis berharap Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna memberikan sifat
membangun demi kesempurnaan Asuhan Keperawatan ini. Penulis menyadari
bahwa Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari sempurna mengingat penulis
masih tahap belajar dan oleh karna itu mohon maaf apabila masih banyak
kesalahan dan kekurangan di dalam penulisan Asuhan Keperawatan ini.

Palembang, Oktober 2016

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii


DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ........................................................................... 1
B. Ruang lingkup ........................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ....................................................................... 3
D. Metode penulisan ...................................................................... 4
BAB II TINJAUAN TEORI
1. Konsep Dasar Medik ................................................................ 5
a. Pengertian .............................................................................. 5
b. Anatomi Fisiologi .................................................................. 5
c. Klasifikasi .............................................................................. 8
d. Etiologi................................................................................... 9
e. Manifestasi Klinis ................................................................. 10
f. Patofisiologi ........................................................................... 13
g. Pemeriksaan diagnostik ......................................................... 16
h. Komplikasi ............................................................................. 18
i. Penatalaksanaan medis .......................................................... 22
2. Konsep Dasar Keperawatan .................................................... 25
1. Pengkajian ............................................................................ 25
2. Diagnosa Keperawatan ......................................................... 27
3. Intervensi .............................................................................. 27
4. Implementasi ........................................................................ 31
5. Evaluasi ................................................................................ 31
6. Patoflow Diagram Teori ....................................................... 32
BAB III PENUTUP
A. Kesimpualan .............................................................................. 33
B. Saran .......................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
.No head injury is so serious that it should be despaired of, nor so trivial
as to be lightly ignored, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala
yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada
juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat
mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan
selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian
ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010).
Menurut penelitian yang dilakukan olehNational Trauma Project di Islamic
Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan
yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga
disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009).
Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan
diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000
(Thomas, 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi
pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8
per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma
kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang
mangalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus (1993),
dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda
mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat
kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma
kepala disebabkan oleh terjatuh.
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan
dan terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang
mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala
terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu,
Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta

1
hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat
kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).
Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai
1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala
ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3%
(1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian
akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448.Bila dilihat
prevalensi penderita trauma kepala cukup besar dan meningkat dari tahun ke
tahun, hal ini menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehatan, khususnya
perawat .
Cidera kepala/trauma kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak, dan otak. (Morton, 2012).
Trauma kepala adalah (terbuka dan tertutup) terdiri dari : fraktur
tengkorak, komusio (gegar) serebri, kontusio (memar)/laserasi dan perdarahan
serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak).
(Doenges, 2000)`
Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan
sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh
suatu benturan keras pada kepala.
Trauma ini perlu penanganan dan pengobatan yang tepat dan sesegera
mungkin karena apabila tidak disegerkan akan mengakibatkan dampak yang
buruk sampai dengan fatal dan dari data diatas maka penulis tertarik untuk
membahas tentang masalah Trauma Kapitis dengan judul Asuhan
Keperawatan pada Gangguan Sistem Neurologi: Trauma Kapitis

2
B. Ruang Lingkup
Penulisan Asuhan Keperawatan ini difokuskan dengan mengingat
keterbatasan waktu yang ada pada penulis, maka dalam penulisan makalah ini
penulis membatasi ruang lingkup masalah hanya pada asuhan keperawatan
gangguan sitem Neurologi; Trauma Kapitis

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami, dan mengaplikasikan asuhan keperawatan
dengan gangguan sistem Neurologi; Trauma Kapitis
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami mengenai Anatomi fisiologi penyakit
penyakit gangguan sistem Neurologi : Trauma Kapitis
b. Mahasiswa mampu memahami mengenai Definisi penyakit gangguan
sistem Neurologi: Trauma Kapitis
c. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Etiologi
penyakit Trauma Kapitis
d. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Klasifikasi
penyakit Trauma Kapitis
e. Mahasiswa mampu memahami mengenai Patofisiologi penyakit
Trauma Kapitis
f. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Manifestasi
Klinis penyakit Trauma Kapitis
g. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Pemeriksaan
Penunjang penyakit Trauma Kapitis
h. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai
Penatalaksanaan medis penyakit Trauma Kapitis
i. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Asuhan
keperawatan penyakit Trauma Kapitis

3
D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif
untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penyusunan makalah ini penulis
menggunakan metode:
1. Studi kepustakaan
Dalam penyusunan asuhan keperawatan ini, penulis menggunakan beberapa
buku sumbersebagai referensi.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

1.Konsep Dasar Medik


A. Pengertian
Cidera kepala/trauma kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak, dan otak. (Morton, 2012).
Trauma kepala adalah (terbuka dan tertutup) terdiri dari : fraktur
tengkorak, komusio (gegar) serebri, kontusio (memar)/laserasi dan
perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral,
batang otak). (Doenges, 2000)`
Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan
sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan
oleh suatu benturan keras pada kepala.
B. Anatomi Fisiologi
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau
galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang
longgar danpericranium.
2. Tulang tengkorak
Tulang kepala terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal
dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun
disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses

5
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang .
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura
mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater

6
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg). Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu;
Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus . Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan.

5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III,
akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat

7
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan takanan intrakranial . Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari..
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media)
dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
7. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis..

C. Klasifikasi
1. Berdasarkan patologi
a) Cidera kepala primer
Merupakan cidera awal. Cidera awal menyebabkan gangguan
integrasi fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut, yang
menyebabkan kematian sel. Dan terjadi karena benturan langsung
atau tak langsung (akselerasi/deselerasi otak).
b) Cidera kepala sekunder
Cidera ini merupakan cidera yang menyebabkan kerusakan otak
lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK
yang tak terkendali, melalui respon fisiologi cedera otak, termasuk
edema serebral, perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamik
serebral, iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau
sistemik.
2. Berdasarkan jenis cidera

8
a) Cidera kepala terbuka: dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak
dan laserasi durameter. Trauma menembus tengkorak dan jaringan
otak.
b) Cidera kepala tertutup: dapat disamakan pada pasien dengan gegar
otak ringan dengan cidera serebral yang luas.
3. Berdasarkan berat ringanya ( GCS)
a) Cidera kepala ringan/minor
1) GCS 14-15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30
menit
3) Tidak ada fraktur tengkorak
4) Tidak ada kontusia serebral, hematoma
b) Cidera kepala sedang
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30 menit
kurang dari 24 jam
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak
4) Diikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma intrakranial
c) Cidera kepala berat
1) GCS 3-8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
3) Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma intra
kranial

D. Eiologi
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi,
akselerasi-deselerasi, coup-couter coup, dan cedera rotasional.
1. Cedera akselerasi: terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak ( misal: alat pemukul menghantam kepala atau peluru
yang ditembakan kekepala)

9
2. Cidera deselerasi: terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek
yang diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil.
3. Cidera Akselerasi-deselerasi: sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik
4. Cidera coup- couter coup: terjadi jika kepala terbentur yang
menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul dibagaian
belakang kepala.
5. Cidera Rotasional: terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak
berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau
robeknya neuron dalam subtansi alba serta robeknya pembuluh darah
yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

E. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan klinis biasa yang dipakai intik menentukan cedera
kepala menggunakan pemeriksaan GCS yang dikelompokkan menjadi
cidera kepala ringan, sedang dan berat.
1) Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya
fraktur( Smeltzer, suzanna, 2002).
a) Fraktur kuba kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur
b) Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga
dan hidung
c) Laserasi atau kotusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah
2) Kondisi cedera kepala yang dapat terjadi, antara lain:
a) Komosio serebri
tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi hanya kehilangan fungsi
otak sesaat ( pingsan <10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.

10
b) Kontusio serebri
adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak ( pingsan >10
menit) atau terdapat lesi neurologik yang jelas. Kontusio serebri
sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak.
Kontusio serebri dalam waktu beberapa jam atau hari, dapat
berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan
tindakan operasi. (Brain injuri Association of Michigan)
c) Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur
terbuka pada kranium. (Brain Injuri Association of Michigan)
d) Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber
perdarahanya adalah robekan arteri meningea media. Ditandai
dengan penurunan kesadaran dengan ketidaksamaan neurologis sisi
kiri dan kanan (hemiparese/plegi, pupil anisokor, reflek patologi
satu sisi). Jika perdarahan > 20cc atau 1 cm midiline shift>5 mm
dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan.
e) Subdural Hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan
dapat berasal dari Bridging vein, a/v cortical, sinus venous.
Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter
dan jaringan otak, dapat terjadi akut maupun kronik. Terjadi akibat
pecahnya pembuluh darah vena, perdarahan lambat dan sedikit.
Periode akut dapat terjadi dalam waktu 48 jam sampai 2 hari, 2
minggu atau beberapa bulan. Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala,
bingung, mengantuk, berpikir lambat, kejang dan udem pupil,
secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya
lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Pada
pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran hiperdens yang berupa

11
bulan sabit (cresent). Indikasi operasi jika perdarahan tebalnya >1
cm dan terjadi pergeseran garis tengah >5mm.
f) SAH ( Subarachnoid Hematom)
Merupakan perdarahan fokal didaerah subarachnoid. Gejala
klinisnya menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT scan
didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti arah girus-girus serebri
didaerah yang berdekatan dengan hematom. Hanya diberikan terapi
konservatif, tidak memerlukan terapi operatif.
g) ICH ( Intracerebral Hematom)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada
dalam jaringan otak. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan lesi
perdarahan diantara neuron otak yang relatif normal. Indikasi
dilakukan operasi adanya daerah hiperdens, diameter > 3 cm,
perifer, adanya pergeseran garis tengah.

h) Fraktur basis kranial


fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal,
oksipital, sphenoid dan etmoid. Terbagi menjadi fraktur basis kranii
anterior dan posterior. Pada fraktur anterior melibatkan tulang
etmoid dan sphenoid, sedangkan pada fraktur posterior melibatkan
tulang temporal, oksipital dan beberapa bagian tulang sphenoid.
Tanda terdapat fraktur basis kranii antara lain:
1) Ekimosis periorbital (racoons eyes)
2) Ekimosis mastoid (Battles sign)
3) keluar darah beserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga
( rinore atau otore)
4) Kelumpuhan nervus cranial

12
F. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh
proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi
kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang
area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi.
Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio
countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan
akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah
akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya
ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio
coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio
intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countercoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus
pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari
beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali

13
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu
yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel
dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin
secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan
pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan
tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke
menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen,
dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur
volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa
daerah tertentu dalam otak.
Kombinasi mekanisme cedera kepala mengakibatkan terjadinya cedera
pada jaringan otak dan menimbulkan kerusakan pada sawar darah otak
(Blood Brain Barrier). Cedera jaringan tersebut mengakibatkan
degranulasi sel-sel mast yang terdapat dalam jaringan otak. Degranulasi ini
memacu pelepasan histamin yang menimbulkan efek vaskuler berupa
peningkatan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler (Price,
2005:62).
Peningkatan permeabilitas kapiler memicu terjadinya eksudasi cairan
dari intravaskuler ke jaringan interstisiil otak dan menimbulkan edema
serebral (Price, 2005:1168).
Selain itu, trauma yang terjadi menimbulkan destruksi pada vaskuler di
daerah kepala. Destruksi ini menimbulkan hematoma. Hematoma dan
edema serebral dapat berpengaruh pada peningkatan TIK. Peningkatan
TIK didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis.
Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak (1400 gram), darah
(sekitar 75ml), dan cairan serebrospinal (sekitar 75ml). Keseluruhan
volume tersebut menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar
4-15 mmHg. Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga komponen

14
ini mengakibatkan desakan pada ruang dan menaikkan tekanan intrakranial
(Price, 2005:1167).
Peningkatan TIK yang terjadi mempengaruhi kecepatan aliran darah ke
otak dan penekanan pada pusat pernafasan medulla oblongata dan pons.
Penurunan kecepatan aliran darah ke otak (Cerebral Blood Flow)
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke otak, sehingga memunculkan
masalah perfusi jaringan serebral tidak efektif (Nanda, 2005:233).
Sedangkan, penekanan pada medulla oblongata dan pons menyebabkan
terjadinya gangguan pada fungsi pernafasan (Guyton, 2007:539).
Gangguan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa pola nafas tidak
efektif (Nanda, 2005:27). Kombinasi antara gangguan suplai O2 ke otak
dan gangguan pada fungsi pernafasan akibat penekanan fungsi pernafasan
membutuhkan tindakan pemasangan intubasi ETT dan mayo yang
bertujuan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas dan membantu
pemenuhan kebutuhan oksigen secara adekuat. Keadaan ini dapat
mengurangi respon batuk pada pasien, dan membuat sekret menumpuk
pada saluran pernafasan. Penumpukan sekret ini menimbulkan masalah
keperawatan berupa bersihan jalan nafas tidak efektif (Nanda, 2005:4).
Selain itu, trauma kepala juga mengakibatkan terjadinya destruksi
vaskuler. Destruksi ini mengakibatkan hilangnya/ berkurangnya cairan
dalam intravaskuler. Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan
berupa kekurangan volume cairan tubuh (Nanda, 2005:89). Selain itu,
trauma kepala juga menimbulkan lesi pada daerah kepala. Lesi ini dapat
menjadi pintu masuk bagi agen infeksius untuk menyerang pertahanan
tubuh. Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa risiko
infeksi (Nanda, 2005:121).
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen

15
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %,
karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari
seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak
akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini
akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml /
menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T
dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol
akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari
dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila
dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur
dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada.
2. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting
dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan
yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita

16
cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah
dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan
penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas
tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif
normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi
peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari
penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi
di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya
struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering
berhubungan dengan outcome yang buruk.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam
menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia albadan
batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan
bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi
batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk
untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal
normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru
pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk
mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan
cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera
kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya
CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata
dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus
ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada
penderita cedera kepala ringan.
4. Angiografi cerebral : Menunjukan kelainan sirkulasi cerebral seperti
pergeseran jaringanotak akibat edema, perdarahan serta trauma.
5. CSS, Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

17
subarachnoid.

H. Komplikasi
Menurut Hudak and Gallo, (2005 ) komplikasi trauma kepala yaitu :
1. Edema pulmonal : Ini mungkin berasal dari gangguan neurologis atau
akibat sindrom distresspernafasan dewasa. Edema paru dapat akibat
dari trauma pada otak yang menyebabkanadanya reflek cushing.
Peningkatan pada tekanan darah sistemik terjadi sebagai respon
darisistem saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan
vasokontriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih banyak darah
dialirkan ke paru-paru.
2. Kejang : Kejang terjadi sekitar 10 % dari pasien trauma kepala selama
fase akut perawat harusmempersiapkan kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalanatau jalan nafas oral di
samping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam
jangkauan.Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi
obat. Diazepam merupakan obatyang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan melalui intravena.
3. Kebocoran cairan serebrospinal : Ini dapat akibat dari fraktur pada
fossa anterior dekat sinusfrontal atau dari fraktur tengkorak basilar
bagian petrosus dari tulang temporal.
Dalam periode waktu
1. Jangka pendek
a. Hematoma epidural
Letak epidural yaitu antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi
akibat pecahnya arteri meningea media atau cabang-cabangnya.
Gejalanya yaitu setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau
hanya nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya
tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang bersifat
progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi
melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-

18
mula miosis, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi
terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi
herniasi tentorial. Kejadiannya biasanya akut (minimal 24jam
sampai dengan 3x24 jam) dengan adanya lucid interval, peningkatan
TIK dan gejala lateralisasi berupa hemiparese Pada pemeriksaan
kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma
subkutan. Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom
pupil melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai
tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, reflex
tendon meninggi dan refleks patologik positif. Pemeriksaan CT-Scan
menunjukkan ada bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS
biasanya jernih. Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah
(dekompresi) dan pengikatan pembuluh darah.
b. Hematom subdural
Letak subdural yaitu di bawah duramater. Terjadi akibat pecahnya
bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi
piamater serta arachnoid dari kortex cerebri. Gejala subakut mirip
epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala kronis
timbul 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma. Pada
pemeriksaan CT-Scan setelah hari ke 3 yang kemudian diulang 2
minggu kemudian terdapat bagian hipodens yang berbentuk cresent
di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti
kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak). Juga
terlihat bagian isodens dari midline yang bergeser. Operasi
sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan
subdural hematom akut terdiri dari trepanasidekompresi.
c. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,
terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat
trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-

19
kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari
kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan
gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi
neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala
yang hebat. Tanda dan gejala : Nyeri kepala; Penurunan kesadaran ;
Hemiparese; Dilatasi pupil ipsilateral; Kaku kuduk
e. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama
pingsannya, mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa
commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi
mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak
ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi dan
kesadaran menurun.
2. Jangka panjang
a. Kerusakan saraf cranial
1) Anosmia :Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan
sensasi pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila
parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi
penderita anosmia.
2) Gangguan penglihatan :Gangguan pada nervus opticus timbul
segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertai
hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan,
dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus,
skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau
hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera
yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus,
menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.

20
3) Oftalmoplegi :Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot
penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan pupil yang
midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi,
tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
4) Paresis fasialis :Umumnya gejala klinik muncul saat cedera
berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi,
kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi
yang mengalami kerusakan.
5) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai
vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara
koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya cedera yang
berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga menimbulkan
kerusakan pada organ lain.
b. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk
memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit
system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang
lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
c. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal
di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan
dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural,
dan herniasi transtentorial.
d. Sindrom pasca cedera kepala
Sindrom pasca trauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala,

21
vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan
daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi
seksual.
e. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri k arotis interna dengan sinus k avernosus, umumnya
disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa
bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau
pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai
hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunan
visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot
penggerak bola mata.
f. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
I. Penatalaksanaan Medik
1. Penanganan cedera kepala: (Satyanegara, 2010)
a) Stabilisasi kardiopulmoner mencangkup prinsip-prinsip ABC
(Airway-Breating-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipertensi,
anemia akan cenderung memperhebat peninggian TIK dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
b) Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada
kesempatan pertama.
c) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan dibagian tubuh lainya.
d) Pemeriksaan neurologis mencangkup respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik dan reflek okuloves tubuler.

22
Penilaian neurologi kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
rendah (syok).
e) Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya.
f) Pemberian pengobatan seperti: antiedemaserebri, anti kejang, dan
natrium bikarbonat.
g) Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti: scan tomografi computer
otak, angiografi serebral, dan lain-lain.
2. Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah:
a) amnesia antegrade/pascatraumatik
b) adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampai
berat
c) adanya riwayat penurunan kesadaran/pingsan
d) intoksikasi alcohol atau obat-obatan
e) adanya fraktur tulang tengkorak
f) adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (ottore/rinorre)
g) cedera berat bagi tubuh lain
h) indikasi social (tidak ada keluarga/pendamping dirumah)
3. Dari ringan sampai cidera berat:
a) mengantuk dan sukar dibangunkan
b) mual, muntah dan pusing hebat
c) salah satu pupil melebar atau adanya tampilan gerakan mata yang tak
biasa.
d) kelumpuhan anggota gerak salah satu sisi kejang
e) nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat
f) kacau/bingung (confuse) tidak mampu berkonsentrasi, terjadi
perubahan personalitas
g) gaduh, gelisah
h) perubahan denyut nadi atau pola pernafasan
4. Kriteria sederhana patokan tindakan operasi:
a) lesi masa intra atau ekstra-aksial yang menyebabkan pergeseran garis
tengah (pembuluh darah serebral anterior) yang melebihi 5mm

23
b) lesi masa ekstra-aksial yang tebalnya melebihi 5mm dari tabula
interna tengkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri serebri
anterior atau media
c) lesi massa ekstra-aksial bilateral dengan tebal 5mm dari tabula
eksternal (kecuali bila ada atrofi otak)
d) lesi massa intra-aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi
hebat dari arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis
tengah

24
B. Konsep Dasar Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal pemikiran dasar proses keperawatan,
bertujuan mengumpulkan informasi dari pasien agar perawat dapat
mengindentifikasi masalah kesehatan pasien.
1. Pengkajian
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese quadreplegia,
ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam
keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus
otot dan otot spastik.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)
Tanda : Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia
yang diselingi dengan bradikardia dan disritmia).
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi dan impulsif.

d. Eliminasi
Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami
gangguan fungsi.
f. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk,
air liur keluar dan disfagia).
g. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan

25
pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan
dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan
pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran sampai koma. Perubahan status
mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori), Perubahan pupil (respon terhadap cahaya,
simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti
perintah. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan,
penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetri,
genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam
tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparise, quedreplegia,
postur (dekortikasi dan deserebrasi), kejang, sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh.
h. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan
nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih
i. Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak, ronki,
mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
j. Keamanan
Gejala :Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda :Fraktur/dislokasi.
k. Gangguan penglihatan

26
Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti raccoon eye tanda Batle
di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
i. Gangguan kognitif.
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralysis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria, anomia.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan cidera biologis kontraktur
(terputusnya jaringan tulang)
b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
persepsi/kognitif, terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, misal,
tirah baring, immobilisasi.
c) Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia, gangguan
neurologis
d) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi
jalan nafas, ditandai dengan dipsnea.

3. Intervensi
A. Nyeri akut berhubungan dengan cidera biologis kontraktur (terputusnya
jaringan tulang)
Intervensi:
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
keparahan nyeri dan faktor presipitasinya
Rasional: mengakji nyeri secara komprehensif bertujuan untuk
mengetahui tingkat keparahan nyeri yang dirasakan oleh klien

27
2. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya kepada
mereka yang tidak mampu berkomunikasi efektif
Rasional: dengan melakukan obsevasi isyarat nonverbal dapat
menunjukkan ringan ataupun berat suatu nyeri yang dirasakan klien
3. Anjurkan klien mengunkapkan perasaan mengenai nyeri yang
dirasakan
Rasional: menurunkan perasaan terisolasi, marah, dan cemas yang
dapat meningkatkan nyeri tersebut.
4. Berikan kompres hangat/dingin, mandi air hangat, berikan masase
atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual.
Rasional:membantu pasien mendapatkan kontrol perasaaan tidak
nyaman secara konstan
5. Lakukan perubahan posisi secara teratur, berikan sokongan dengan
bantal, busa tau dengan selimut
Rasional: membantu menghilangkan ketegangan dan kelelahan otot
6. Berikan latihan rentang gerakan secara pasif
Rasional: menurunkan kekakuan sendi
7. Instuksikan/anjurkan untuk menggunakan teknik relaksasi seperti
visualisasi (menonton), latihan relaksasi yang berkembang,
imanjinasi terbimbing, biofeedback
Rasional: Memfokuskan kembali secara langsung dari
perhatian/persepsi dan meningkatkan koping yang dapat membantu
menghilangkan rasa nyeri
8. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai kebutuhan, hindari
penggunaan narkotika
Rasional: berguna untuk menghilangkan nyeri ketika metode lain
yang telah dicoba tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Narkotika (kecuali kodein yang memiliki efek lebih kecil) harus di
hindari jika masih mungkin karena obat-obat tersebut menekan
pernapasan dan mempunyai efek samping terhadap saluran

28
pencernaan. kadang-kadang beramanfaat untuk menghilangkan
teganan otot

B. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


persepsi/kognitif, terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, misal,
tirah baring, immobilisasi.
Intervensi:
1. Kaji kemampuan pasien dalam immobilisasi
Rasional: mengetahui kemampuan batasan gerak pasien
2. Lakukan latihan pasif sedini mungkin
Rasional: Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot.
3. Beri footboard/penyangga kaki
Rasional: Mempertahankan posisi ekstremitas
4. Pertahankan posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai
Rasional: Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan terjadi dislokasi
5. Kolaborasi fisioterapi
Rasional: Tindakan fisioterapi dapat mencegah kontraktur

C. Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia, gangguan neurologis


Intervensi:
1. Kaji depresi, ansietas, dan peningkatan stress yang mungkin
memberikan konstribusi pada kehilangan memori.
Rasional: Untuk mengetahui intervensi selanjutnya
2. Kaji fungsi neurologis
Rasional: untuk menentukan masalah pasien, apakah kehilangan
memori atau demensia.
3. Bantu pasien untuk rileks
Rasional : untuk meningkatkan konsentrasi.
4. Berikan kesempatan pasien untuk konsentrasi seperti suatu
permainan pasangan kartu yang sesuai.

29
Rasional: untuk meningkatkan daya ingat klien dengan
menggunakan permainan
D. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi
jalan nafas, ditandai dengan dipsnea.
Rasional:
Intervensi
1. Kaji kepatenan jalan nafas
Rasional: Obstruksi dapat disebabkan oleh akumulasi sekret,
perlengketan mukosa, perdarahan, spasme bronkus, dan/atau
masalah dengan posisi trakeostomi/selang endotrakeal
2. Evaluasi gerakan dada dan auskultasi untuk bunyi nafas bilateral
Rasional: Gerakan dada simetris dengan bunyi nafas melalui area
paru menunjukkan letak selang tepat/ tak menutup jalan nafas.
Obstruksi jalan nafas bawah (mis. Pneumonia/atelektasis)
menghasilkan perubahan pada bunyi nafas seperti ronchi, mengi
3. Awasi letak selang endotrakeal
Rasional: Selang endotrakeal dapat masuk ke bronkus kanan,
sehingga menghambat aliran udara ke paru kiri dan pasien berisiko
untuk pneumothorak tegangan
4. Catat peningkatan dispnea, sekret terlihat pada selang
endotrakeal/trakeostomi, suara nafas tambahan (rales, ronchi,
wheezing, crakels, snoring)
Rasional: Pasien intubasi biasanya mengalami reflek batuk tak
efektif atau pasien dapat mengalami gangguan neuromuskuler atau
neurosensori
5. Hisap sekret sesuai kebutuhan, batasi penghisapan 15 detik atau
kurang
Rasional: Penghisapan tidak harus rutin, dan lamanya harus dibatasi
untuk menurunkan bahaya hipoksia.

30
6. Ubah posisi/berikan cairan dalam kemampuan individu
Rasional: Meningkatkan drainase sekret dan ventilasi pada semua
segmen paru, menurunkan risiko atelektasis
7. Ubah posisi/berikan cairan dalam kemampuan individu
Rasional: Meningkatkan ventilasi pada semua segmen paru dan alat
drainase sekret
8. Kolaborasi pemberian bronkodilator IV dan aerosol sesuai indikasi
Rasional: Meningkatkan ventilasi dan membuang sekret dengan
relaksasi otot halus/spasme bronkus

D. Implementasi
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari rencana keperawatan yang telah
ditentukan dengan tujuan memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk
memastikan bahwa hasil yang diberikan dan diharapkan pada pasien telah
tercapai. Menurut beberapa literatur hasil asuhan keperawatan yang
diharapkan pada pasien dengan gangguan sistem Neurologi :Trauma
Kapitis
1. Nyeri berkurang sampai dengan hilang
2. Dapat mempertahankan mobilitas fisik
3. Menunjukkan perbaikan memori
4. Jalan nafas paten

31
F. Patoflow diagram teori
Kecelakaan Lalulintas, Jatuh, Kekerasan Pemeriksaan diagnostik
Penatalaksanaan medis: 1. X-ray Tengkorak
1. Stabilisasi ABC 2. CT-Scan
TRAUMA KEPALA
2. ETT 3. MRI
3. GCS Akselerasi, Deselerasi, Rotasi 4. Angiografi cerebral
4. Medikamentosa 5. Lumbal punksi
5. Pembedahan Contusio Comotio laserasi Fr.Tengkorak

Cedera Jaringan Otak status kesehatan lesi di kepala


Tulang kranial
Peningkatan Vasodilatasi Vaskuler koping individu tak efektif tidak segera di atasi
Terputusnya kontinuitas Kebutuhan O2&
Jaringan tulang Glukosa. Peningkatan jumlah aliran TD: gelisah mikroorganisme mudah masuk
darah ke area cedera
MK: ansietas
Cedera jaringan Suplai menurun TD: luka terbuka
Akumulasi darah Peningkatan TIK MK: resiko
Merangsang nosiseptor metabolisme an- infeksi
Aerob glukosa Edema serebral Kompresi pd pusat suhu Jk tdk teratasi
Medulla spinalis
Pe Vol. IK TD: Herniasi Btg Otak
Persepsi nyeri Perubahan Termoregulator
MK: Hipertermia Penekanan medulla
TD: Nyeri Penekanan vaskuler /hipotermia oblongata
Cerebral
MK : Nyeri akut TD: Dyspnea
Hipoksia Cerebral
MK: Ggn Pola
Komplain paru tidak maksimal Iskemia TD: Konsentrasi penekanan pusat muntah Napas
berkurang
akumulasi sekret Nekrosis Jar.Otak TD: Penekanan NII dan N.III
sianosis MK: kerusakan
kemampuan pengeluaran sekret Penurunan Kesadaran MK: Ggn Perfusi memori TD: Penurunan Penglihatan
jaringan serebral Muntah Proyektil
TD: suara nafas tambahan TD: Tirah baring imobilisasi TD: melihat bayangan
MK: Ggn
MK : bersihan MK: Hambatan
Keseimbangan
jalan nafas tidak mobilitas fisik MK: Ggn Persepsi
cairan & Sensori : Penglihatan
efektif Elektrolit
32
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak.
Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala primer dan trauma kepala
sekunder yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan
(aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
2. Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral,
laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma
kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada
akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan
PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta
cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.
Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan
herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah
dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus
dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi
serta tindakan pembedahan.
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

B. Saran
Hasil asuhan keperawatan ini dapat digunakan sebagai bahan referensi yang
berkaitan dengan asuhan keperawatan Trauma kepala sehingga dapat
menambah pengetahuan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa di fakultas
ilmu kesehatan. Sebagai tambahan informasi dan bahan kepustakaan dalam

33
pemberian asuhan keperawatan dengan gangguan sistem neurologi trauma
kepala serta menambah pengetahuan oleh setiap pembaca dan menjadi
perhatian tersendiri.

34
DAFTAR PUSTAKA

Suzane, C, Smeltzer. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth.Cetakan 1, Volume 2, Ed 8. Jakarta: EGC
Syaifuddin.2013. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi
2.Jilid 1. Jakarta: Medika Salemba
Doenges, Marilynn E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:
EGC
Price, Sylvia, A.2006.Patifisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Cetakan 1, Ed 6, Vol 2 . Jakarta:EGC.

Amin, Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarakan Diagnosa Medis


dan Nanda Nic-Noc. Ed revisi, Jild 1, cet 1. Jogjakarta: Media Action.

35

También podría gustarte