Está en la página 1de 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri merupakan salah satu penyebab paling sering pasien datang berobat ke
dokter. Nyeri mengganggu fungsi sosial dan kualitas hidup penderitanya. Nyeri
bersifat sangat subjektif karena persepsi nyeri berbeda pada setiap orang dalam
hal skala atau tingkatannya.1

Berdasarkan data dari National Health Interview Survey (NHIS) menunjukkan


sekitar 25 juta masyarakat Amerika menderita nyeri kronik dan sekitar 23 juta
dilaporkan menderita nyeri yang berat2, sedangkan berdasarkan hasil penelitian
WHO yang melibatkan lebih dari 25.000 pasien dari 14 negara menunjukkan 22%
pasien menderita nyeri, minimal selama 6 bulan. Sedangkan prevalensi nyeri di
RS Sanglah Denpasar pada tahun 2012, yaitu selama 24 jam pascaoperasi
sebanyak 60% mengalami nyeri ringan dan 12-20% mengalami nyeri sedang
berat.

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi
kerusakan jaringan atau suatu keaadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. 3

Nyeri dapat timbul di bagian tubuh manapun sebagai respon terhadap stimulus
yang berbahaya bagi tubuh, seperti suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin,
tertusuk benda tajam, patah tulang, dan lain-lain. Rasa nyeri timbul apabila terjadi
kerusakan jaringan akibat luka, terbentur, terbakar, dan lain sebagainya.

Nyeri selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme


proteksi, defensif, dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi,
sensible nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma
atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan
tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk imobilisasai organ
tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensible yang dirasakan
akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat berperan

1
sebagai penunjang diagnostik, karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu,
proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya nyeri yang
dirasakan oleh seseorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien
tersebut menderita radang usus buntu.4

Depresi memainkan peranan penting dalam hal pengalaman mengenai nyeri


kronik. Beberapa peneliti berupaya mencari hubungan antara depresi dengan nyeri
kronik. Penyakit emosional biasanya berhubungan dengan keluhan nyeri kronik,
dan pasien dengan nyeri kronik sering mengakibatkan terjadinya gangguan
psikologis seperti gangguan tidur dan gangguan afektif.4,5,6

Penatalaksanaan terhadap nyeri, terutama nyeri kronik yang berkaitan dengan


depresi tidak hanya menggunakan obat-obatan analgetik rutin. Beberapa
penelitian membuktikan efektifitas penggunaan beberapa jenis obat selain
analgetik sebagai adjuvan terhadap penatalaksanaan nyeri. Salah satu jenis obat
yang kini mulai digunakan sebagai adjuvan terapi nyeri adalah antidepresan.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan dengan terapi
kombinasi analgetik dan antidepresan, pada hakikatnya tidak saja tertuju kepada
usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud
meningkatkan kualitas kehidupan pasien, sehingga pasien dapat kembali
menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri


The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan
nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan
terjadi kerusakan jaringan atau suatu keaadaan yang menunjukkan kerusakan
jaringan.

Berdasarkan batasan tersebut terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu:3

1. Persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan


dengan pengalaman emosional meyusul adanya kerusakan jaringan
yang nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut
sebagai nyeri akut.
2. Perasaan yang sama dapat terjadi tanpa disertai kerusakan jaringan yang
nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut
sebagai nyeri kronis.

Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan


derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual
yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis
kelamin.

2.2 Klasifikasi Nyeri

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi7:

a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan
ujung saraf sensoris dan simpatik.

b. Nyeri neurogenik

3
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf
perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf
perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk
dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada
perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya allodynia. Hal
ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari
noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained
pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini
sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik
konvensional.

c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi4:

a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi,
hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah :
menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut dapat berupa:

1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa


2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan
jaringan ikat
3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral

b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang
tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit atau operasi) atau
awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri
ini disebabkan oleh :

1. Kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf

4
2. Non kanker akibat trauma, proses degenerasi dan lain-lain

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:


a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari
hari dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang
bila penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri.

2.3 Mekanisme Nyeri

Nyeri timbul akibat adanya suatu rangsangan oleh zat-zat algesik pada
reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada
beberapa jaringan dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi, otot
rangka dan pulpa gigi. Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung bebas serat
saraf aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini diaktifkan oleh adanya
rangsangan dengan intensitas tinggi, misalnya berupa rangsangan termal,
mekanik, elektrik atau rangsang kimiawi.

Zat-zat algesik yang akan mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H, asam
laktat, serotonin, bradikinin, histamin, dan prostaglandin. Selanjutnya, setelah
resepto-reseptor nyeri diaktifkan oleh zat-zat algesik tersebut, impuls nyeri
disalurkan ke sentral melalui beberapa saluran saraf.4

Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri

Zat Sumber Menimbulkan nyeri Efek pada aferen primer

Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan


++
Serotonin Trombosis Mengaktifkan
+++
Bradikinin Kininogen plasma Mengaktifkan
+
Histamin Sel-sel mast Mengaktifkan

Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak Sensitisasi

Lekotrien Asam arakidonat dan sel rusak Sensitisasi

Substansi P Aferen primer Sensitisasi

5
Gambar 2.1 Fisiologi Nyeri

Rangkaian proses yang menyertai antara keusakan jaringan (sebagai sumber


stimuli nyeri ) sampai dirasakan persepsi nyeri adalah suatu proses elektro-
fisiologik, yang disebut sebagai nosisepsi. Ada 4 proses yang mengikuti suatu
proses nosisepsi yaitu:4

1. Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik
pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin,
serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam
laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-
reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas
serat-serat aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai
dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang
lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik
yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral
ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri
menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

2. Transmisi
Transmisi merupakan proses penyaluran impuls nyeri melalui serabut A-
delta dan C yang merupakan lanjutan dari proses tranduksi. Implus ini
akan disalurkan oleh serabut A-delta dan serabut C sebagai neuron
pertama dari perifer ke medulla spinalis dan disini impuls tersebut

6
mengalami modulasi sebelum di teruskan ke thalamus oleh traktus
sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari talamus selanjutnya impuls
disalurkan ke daerah somatosensoris di korteks serebri melalui neuron ke
tiga dan disini impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai
persepsi nyeri.

Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri


mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai
diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan
serat C (0.5-5 m/dtk).

3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (enkefalin, endorfin,
noradrenalin, serotonin) dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu
posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serabut A-delta dan serabut C
ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis tidak
semuanya diteruskan ke sentral melalui traktus spinotalamikus. Didaerah
ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi,
baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung
mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka
penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem
inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.

4. Persepsi
Persepsi adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik
yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada
gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal
sebagai persepsi nyeri.

7
PERCEPTION

MODULATION

TRANSMISSION

TRANSDUCTION

Gambar 2.2 Proses perjalanan nyeri

Sensitisasi Perifer

Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan


lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan
komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K +, pH menurun, sel
inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa
komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators)
dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi


nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada
reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi
akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi
kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer
akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas
nyeri di tempat cedera atau inflamasi.3

8
Gambar 2.3 Mekanisme Sensitisasi Perifer

Sensitisasi Sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di


sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer
bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.
Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor
ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke
medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler
neuron (transcription dependent).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan).
Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran
sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan
saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan
menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada
daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap
rangsangan nyeri.3

9
Gambar 2.4 Mekanisme Sensitisasi Sentral

2.4 Respon Tubuh terhadap Nyeri


Rangsang nyeri dapat mempengaruhi sistem organ dalam tubuh, diantaranya: 4

a. Sistem Kardiovaskuler dan Respirasi


Pelepasan kotekolamin, aldosteron, kortisol, hormon anti diuretik (ADH), dan
aktifasi angiotensin II akan menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon
hormon ini mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh darah
dan meningkatkan retensi Na+ dan air. Angiotensin II menimbulkan
vasokonstriksi. Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan
kontraktilitas otot jantung dan resistensi vaskular perifer, sehingga terjadi
hipertensi. Takikardia serta disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard.
Ditambah dengan retensi Na dan air, maka timbullah risiko gagal jantung
kongesti.

Bertambahnya cairan ekstraseluler di paruparu akan menimbulkan kelainan


ventilasi perfusi. Nyeri di daerah dada atau abdomen akan menimbulkan
peningkatan tonus otot di daerah tersebut sehingga dapat muncul risiko
hipoventilasi, kesulitan bernafas dalam dan mengeluarkan sputum, sehingga
penderita mudah mengalami penyulit atelektasis dan hipoksemia.

10
b. Sistem metabolisme dan endokrin
Nyeri akan menyebabkan respon hormonal bifasik, artinya terjadi pelepasan
hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin 2, hormon anti
diuretik, ACTH, GH, dan glukagon. Sebaliknya akan terjadi penekanan
sekresi hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Hormon katabolik
akan menyebabkan hiperglikemia melalui mekanisme resistensi terhadap
insulin dan proses glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein
dan lipolisis. Kejadian ini akan menyebabkan balans nitrogen negatif.
Aldosteron, kortisol, hormon anti diuretik menyebabkan retensi Na dan air.
Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah.
Dengan demikian terjadilah siklus vitriosus.

c. Sistem hematologi
Nyeri akan menimbulkan perubahan viskositas darah, fungsi platelet, terjadi
peningkatan adesivitas platelet,ditambah dengan efek katekolamin yang
menimbulkan vasokonstriksi, dan immobilisasi akibat nyeri, sehingga akan
mudah terjadi komplikasi trombosis.

d. Sistem imunitas
Nyeri akan menimbulkan limfopenia, leukositosis, depresi sistem
retikuloendotelial (RES).

e. Psikologis
Nyeri menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, tidak
mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan dan
minum, cemas, gelisah, perasaan tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan
seperti ini sangat mengganggu kehidupan normal penderita seharihari. Mutu
kehidupannya sangat rendah, bahkan sampai tidak mampu untuk hidup
mandiri layaknya orang sehat.

2.5 Penilaian Nyeri

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi


nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan
pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai
sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan

11
ekspresi nyeri yang dirasakan. Nyeri merupakan masalah yang sangat
subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya,
sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas
nyeri, antara lain:7,8
1. Verbal Rating Scale (VRSs)
Verbal Rating Scale merupakan skala pengukuran nyeri yang
menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang
dirasakan. Pasien diminta memilih kata-kata atau kalimat yang
menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang
ada. Teknik ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari
saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan, dibagi menjadi
beberapa kategori nyeri yaitu:

- Tidak nyeri (none)

- Nyeri ringan (mild)

- Nyeri sedang (moderate)

- Nyeri berat (severe)

- Nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale (NRSs)

Numerical Rating Scale merupakan skala pengukuran nyeri yang


menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari
intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas
nyeri yang dirasakan dari angka 0-10. 0menggambarkan tidak ada
nyeri sedangkan 10 menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.5 Numeric pain intensity scale7

12
3 Visual Analogue Scale (VAS)

Visual Analogue Scale merupakan skala pengukuran nyeri yang paling sering
digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Skala ini menggunakan garis
sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang
sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah
sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan
dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya
adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin
sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.7,8

Gambar 2.6 Visual Analog scale7

4 McGill Pain Questionnaire (MPQ)

McGill Pain Questionnaire merupakan pengukuran nyeri dengan


menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejala nyeri yang
dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain
sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan
merangking dari 0 sampai 3.

5 Wong Baker Faces Pain Scale

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien
dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang
kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal
setempat.

13
Gambar 2.7 Faces Pain Scale7

2.6 Penatalaksanaan Nyeri

Sebelum dilakukannya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus


memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam
pengelolaan nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :4

1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama.

2. Menentukan penyebab dan derajat atau stadium penyakit dengan tepat.

3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga.

4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan.

5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi.

6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan.

7. Merencanakan pengobatan, bila perlu secara multidisiplin.

Setelah diagnosis nyeri ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun.


Untuk itu berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam pada
dasarnya digolongkan dalam:

1. Modalitas fisik pada unit rehabilitasi medik

2. Modalitas kognitif-behavioral melalui pendekatan psikososial

3. Modalitas invasif melalui pendekatan perioperatif dan radioterapi

4. Modalitas psikoterapi

5. Modalitas Farmakoterapi

14
Modalitas Farmakoterapi

Garis besar terapi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesik


Ladder. Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan
nyeri itu terdiri dari:

a. Langkah pertama, sebaiknya menggunakan obat analgesik non opiate,


seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors.
b. Apabila masih tetap nyeri, ditambahkan obat opioid lemah misalnya
kodein.

c. Apabila masih belum reda atau menetap, maka disarankan untuk


menggunakan opioid keras, yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesik Ladder dapat diterapkan untuk
nyeri kronik maupunnyeri akut, yaitu:

a. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3

b. Pada nyeri akut, sebaliknya mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat ditambahkan adjuvant atau
obat pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam
masing-masing taraf penanggulangan nyeri, khususnya unuk lebih
meningkatkan efektivitas analgesik dan mengatasi gejala-gejala yang
menyertai.4

15
Gambar 2.8 WHO Three Step Analgesik Ladder

Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi


dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada
transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses
modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin,
dan pada persepsi diberikan anestetik umum.

Analgesik Non-Narkotik yang biasa digunakan : 4

1. Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) terkenal karena memiliki


kemampuan analgesia, antiinflamasi, dan antiterapeutik. Obat ini dapat
menginhibisi produksi prostaglandin, zat endogen yang potensial
hiperalgesik. Sampai sekarang NSAID ada yang dapat diberikan secara
per oral, rektal, intramuskular atau intravena.

2. Ketorolak telah diakui oleh ahli bedah maupun anestesiologi dapat


dipergunakan untuk analgesik pasca bedah. Keaktifan ketorolak 30 mg
intramuskular equivalen dengan 10 mg morfin. Efek analgesia dimulai
10 menit setelah penyuntikan dan berlangsung sampai 4-6 jam.

3. Klonidin mulai banyak dipergunakan pasca bedah, tetapi dikombinasi


dengan opioid atau analgesik atau dengan anastestik lokal hingga
kualitas analgesia dan lama analgesia yang didapat meningkat secara
signifikan. Pemberian klonidine 4-6 mikrogram/kg i.v sesaat sebelum
selesai operasi, menghasilkan analgesia pasca bedah dan mencegah
menggigil pasca bedah yang secara dengan pemberian petidine 0,3 mg
i.v.

16
Obat-obat pembantu (adjuvan) antara lain:
1. Kortikosteroid
Obat ini dapat bersifat mempertinggi taraf alam perasaan yang sedang
menurun, dan selanjutnya bersifat anti-infalamasi, antiemetik,
meningkatkan nafsu makan membantu mengatasi kakeksia dan
anoreksia. Perlu diketahui pula, bahwa obat ini dapat mengurangi
tekanan intrakranial dan kompresi epidural dan susunan saraf spinal.
2. Antikonvulsan
Obat ini dapat bedrmanfaat untuk meringankan nyeri neuropatik yang
sifatnya menusuk dan membakar. Sebaiknya harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien yang mejalani terapi kimia (kemoterapi) dan terapi
radiasi.
3. Antidepresan
Bermanfaat dalam mengurangi nyeri neuropatik karena memiliki efek
analgesik sehingga dapat memperkuat kasiat analgetik morfin.
4. Neuroleptik
Bermanfaat dalam membantu sindrom nyeri kronik dan memiliki sifat
antiemetik, anti cemas dan anti konstipasi.
5. Psikostimulan
Digunakan untuk mengurangi sedasi yang diakibatkan opioid, terutama
bila pengurangan dosis atau frekuensi pemberian obat opioid tidak
berhasil mengurangi sedasi.

2.7 Mekanisme Antidepresan sebagai Analgesia

Sebagai suatu adjuvan yang digunakan dalam terapi nyeri (adjuvan


analgesia), antidepresan memiliki beberapa mekanisme antinosisepsi,
beberapa diantaranya terkait dengan pengaruh antidepresan terhadap zat-zat
berikut di dalam tubuh:2,9,14

a. NE dan 5-HT
Nyeri ditransmisikan dari lokasi perifer melalui dua sel saraf aferen yaitu
serat A delta dan C, kemudian bersinaps dengan kornu dorsalis medula
spinalis. Pada proses awal dari informasi nyeri dikonduksi terlebih dahulu

17
sebelum ditransmisikan melalui traktus ascenden menuju thalamus dan
area otak yang lebih tinggi. Neurotransmiter yang utama terlibat dalam
jalur descenden misalnya Norepineprin dan Serotonin ( NE dan 5-HT)
bekerja secara sinergis dalam mengurangi transmisi dari informasi nyeri
dari perifer menuju susunan saraf pusat. Analgesia yang dihasilkan oleh
antidepresan dimediasi melalui peningkatan aktivitas dan ketersediaan NE
dan 5-HT dalam jalur descenden. NE dan 5-HT merupakan komponen dari
analgesik endogen yang menghambat impuls nyeri pada fase modulasi.
Pada medula spinalis, sintesis dan pelepasan pain promoting
neurotransmiter seperti substansi P dan glutamat, dikurangi dan dihambat
oleh kedua neurotransmiter tersebut (NE dan 5-HT). 10

b. Opioid
Pengaruh analgesia dari antidepresan juga dapat melibatkan mekanisme
lain. Antidepresan tertentu dapat memperkuat efek opioid pada susunan
saraf pusat. Sebagai contoh analgesia morfin dapat ditingkatkan efeknya
oleh amitriptilin, imipramin, fluoxetine, sertralin, dan nefazodone. Di lain
pihak, di dalam otak antidepresan dapat mengurangi kelebihan output
limbik yang dapat berkontribusi depresi dan kecemasan yang memicu
terjadinya nyeri.10

c. Ion channel
Beberapa antidepresan seperti golongan Tricyclic antidepresan (TCA),
juga memiliki fungsi penghambat sodium channel yang dapat mengurangi
aktivitas neuron yang menyampaikan informasi nyeri dari susunan saraf
pusat, misalnya pada nyeri yang dimediasi secara simpatetik dan nyeri
neuropatik.10,11

d. Adenosin

18
Serupa dengan efek yang terjadi pada opioid, antidepresan juga bekerja
sebagai analgesik dengan cara menghambat uptake adenosin, baik pada
jalur pada spinal maupun supra spinal.10,12

Gambar 2.9 Kondisi patologi nyeri7 kronis dan depresi yang berhubungan
dengan penyakit yang berkaitan dengan noradrenalin dan serotonin.
Pengobatan dengan antidepresan dapat membantu memperbaiki kondisi
tersebut.9

Gambar 2.10 Site of action Antidepresan

19
Tabel 2.2 Mekanisme kerja antidepresan9

20
2.8 Penggunaan Klinis Antidepresan sebagai Analgesia

Analgesik adjuvan sebenarnya bukanlah obat yang utamanya digunakan


sebagai obat penghilang nyeri (analgesik). Obat-obat tersebut utamanya
bekerja untuk mengatasi kondisi selain nyeri. Obat-obat yang dapat
digunakan sebagai analgesik adjuvan memiliki hubungan yang signifikan
dalam mengatasi nyeri apabila digunakan secara tunggal ataupun dikombinasi
dengan obat analgesik lainnya dalam mengatasi kasus nyeri yang persisten
seperti nyeri neuropatik. Salah satu obat yang termasuk ke dalam obat
analgesik adjuvan adalah antidepresan.3,9

1. Antidepresan Trisiklik (TCA)

Mekanisme kerja: Obatobat ini menghambat resorpsi dari serotonin dan


noradrenalin dari sela sinaps di ujung-ujung saraf.

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah:5, 9,13

a. Amitriptilin
Dosis lazim: 25 mg dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis
maksimum 150-300 mg sehari.
Kontra Indikasi: penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif
sumsum tulang, kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO.
Interaksi Obat: bersama guanetidin meniadakan efek antihipertensi,
bersama depresan SSP seperti alkohol, barbiturate, hipnotik atau
analgetik opiate mempotensiasi efek gangguan depresif SSP termasuk
gangguan depresif saluran napas, bersama reserpin meniadakan efek
antihipertensi.

21
Perhatian: ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi ginjal
menurun, glakuoma, kecenderungan untuk bunuh diri, kehamilan,
menyusui, epilepsi
Indikasi klinis: nyeri neuropatik seperti post-herpetic neuralgia,
diabetic peripheral neuropathy, polineuropati, nyeri fasial atipikal,
nyeri kanker, nyeri pinggang.

b. Imipramin
Dosis lazim: 75-400 mg sehari.
Kontra Indikasi: Infark miokard akut
Interaksi Obat: anti hipertensi, obat simpatomimetik, alkohol, obat
penekan SSP
Perhatian: kombinasi dengan MAO, gangguan kardiovaskular,
hipotensi, gangguan untuk mengemudi, ibu hamil dan menyusui.
Indikasi klinis: nyeri neuropatik seperti post-herpetic neuralgia,
diabetic peripheral neuropathy, polineuropati, nyeri fasial atipikal,
nyeri pinggang.

c. Klomipramin
Dosis lazim : 75-300 mg sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard, pemberian bersamaan dengan MAO,
gagal jantung, kerusakan hati yang berat, glaukoma sudut sempit
Interaksi Obat : dapat menurunkan efek antihipertensi penghambat
neuro adrenergik, dapat meningkatkan efek kardiovaskular dari
noradrenalin atau adrenalin, meningkatkan aktivitas dari obat penekan
SSP, alkohol.
Perhatian : terapi bersama dengan preparat tiroid, konstipasi kronik,
kombinasi dengan beberapa obat antihipertensi, simpatomimetik,
penekan SSP, antikolinergik, penghambat reseptor serotonin selektif,
antikoagulan, simetidin. Monitoring hitung darah dan fungsi hati,
gangguan untuk mengemudi.

22
Indikasi klinis: nyeri neuropatik seperti post-herpetic neuralgia,
diabetic peripheral neuropathy, polineuropati, nyeri fasial atipikal, nyeri
kanker, nyeri pinggang.13

Obat antidepresan dapat digunakan pada nyeri kronik pada pasien


kanker. Sebanyak sampai 25% penderita kanker mengalami depresi
yang tampak jelas. TCA (amitriptyline, nortriptiline, imipramine, dan
clomipramine) adalah antidepresan yang paling sering digunakan pada
pengobatan nyeri neuropati, misalnya pada diabetes, kanker, infeksi
virus, dan nerve compression. TCA dapat mengatasi nyeri dari berbagai
sindrom nyeri (termasuk kanker) pada 40-70% pasien. Diantara TCA,
amitriptyline dipertimbangkan sebagai antidepresan gold standard
untuk berbagai kondisi nyeri. Golongan obat ini biasanya diberikan
sebagai dosis tunggal menjelang tidur guna mengurangi timbulnya efek
samping di siang hari. Antidepresan trisiklik ini memiliki efek hemat
opiat.3,9,11

2. SSRI ( Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)

Mekanisme kerja : obat-obat ini menghambat resorpsi dari serotonin.


Obat-obat yang termasuk SSRI, yaitu:5,9
a. Fluoxetin
Dosis lazim : 20-80 mg sehari pada pagi hari, maksimum 80 mg/hari
dalam dosis tunggal atau terbagi.
Kontra Indikasi : hipersensitif terhadap fluoxetin, gagal ginjal yang
berat, penggunaan bersama MAO.
Interaksi Obat : MAO, Lithium, obat yang merangsang aktivitas SSP,
antidepresan, triptofan, karbamazepin, obat yang terkait dengan protein
plasma.
Perhatian : penderita epilepsi yang terkendali, penderita kerusakan hati
dan ginjal, gagal jantung, jangan mengemudi / menjalankan mesin.
Indikasi klinis : nyeri polineuropati diabetes.

b. Sertralin

23
Dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200 mg/hr.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap sertralin.
Interaksi Obat : MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik.
Perhatian : pada gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil,
menyusui, mengurangi kemampuan mengemudi dan mengoperasikan
mesin.

Indikasi klinis : nyeri polineuropati diabetes.

c. Citalopram
Dosis lazim : 20 mg/ hari, maksimum 40 mg/ hari.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat ini.
Interaksi Obat : MAO, sumatripan, simetidin.
Perhatian : kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan
bunuh diri.
Indikasi klinis : nyeri polineuropati diabetes.

Golongan antidepresan seperti golongan SSRI yaitu sertraline,


paroxetine, fluoxetine dan citalopram, bekerja menghambat reuptake
serotonin. Walaupun golongan ini memiliki efek samping yang lebih
minimal dibandingkan TCA, tetapi keefektifannya dalam menangani
nyeri neuropatik lebih rendah dibandingkan dengan TCA.

3. SNRI (Serotonin and Noradrenalin Reutake Inhibitor)

Mekanisme kerja: Menghambat neurotransmisi serotonin dan


noradrenalin secara simultan.

Obat yang termasuk golongan ini yang biasa digunakan untuk mengatasi
nyeri kronik yakni:5,9,11
a. Venlafaxine
Dosis lazim : 75-375 mg/hari
Kontra Indikasi : penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak
< 18 tahun.
Interaksi Obat : MAO, obat yang mengaktivasi SSP lain.

24
Perhatian : riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal
atau sirosis hati
Indikasi klinis : nyeri fibromialgia, migraine, nyeri neuropatik
b. Duloxetin
Dosis lazim : 60 mg 120 mg / hari
Kotra indikasi : pasien dengan gangguan fungsi hati.
Indikasi klinis : nyeri fibromialgia, polineuropatik diabetes.

Untuk obat golongan Serotonin and Norepineprin Reutake Inhibitor


(SNRI), Duloxetine dipilih sebagai terapi lini pertama dalam menangani
nyeri polineuropatik diabetes.11,12

2.9 Efek Samping Antidepresan sebagai Analgesia

Efek samping golongan TCA:3,9

Efek jantung: dapat menimbulkan gangguan penerusan impuls jantung


dengan perubahan EKG, pada overdosis dapat terjadi aritmia berbahaya.

Efek antikolinergik: akibat blokade reseptor muskarinik dengan


menimbulkan efek antara lain mulut kering, konstipasi, retensi urin,
takikardia, serta gangguan potensi dan akomodasi, keringat berlebihan.
Sedasi, hipotensi ortostatik dan pusing serta mudah jatuh merupakan
akibat efek antinoradrenalin, hal ini sering terjadi pada penderita lansia.

Efek anti serotonin: akibat blokade reseptor 5-HT post sinaptik dengan
bertambahnya nafsu makan dan berat badan.

Kelainan darah: seperti agranulositosis dan leukopenia.

Gejala penarikan: pada penghentian terapi dengan mendadak dapat timbul


antara lain gangguan lambung-usus, agitasi, sukar tidur, serta nyeri kepala
dan otot.

Efek samping golongan SSRI:9

25
Efek serotogenik berupa: mual, muntah, malaise umum, nyeri kepala,
gangguan tidur dan nervositas, agitasi atau kegelisahan yang sementara,
disfungsi seksual dengan ejakulasi dan orgasme terlambat.

Sindroma serotonin antara lain: kegelisahan, demam, dan menggigil,


konvulsi, dan kekakuan hebat, tremor, diare, gangguan koordinasi.
Kebanyakan terjadi pada penggunaan kombinasi obat-obat generasi ke-2
bersama obat-obat klasik, MAO, litium atau triptofan, lazimnya dalam
waktu beberapa jam sampai 2-3 minggu. Gejala ini dilawan dengan
antagonis serotonin (metisergida, propanolol).

Efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek jantung sangat kurang atau


sama sekali tidak ada.

Efek Samping SNRI :

Lemah, pusing berputar, gangguan pencernaan, mengantuk.

Tabel 2.3 Antidepresan yang direkomendasikan untuk nyeri neuropati

26
BAB III

KESIMPULAN

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi
kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.

Garis besar terapi farmakologi terhadap nyeri mengikuti WHO Three Step
Analgesik Ladder. Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat
ditambahkan adjuvant atau obat pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant)
dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf penanggulangan nyeri, khususnya
unuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik dan mengatasi gejala-gejala yang
menyertai.

Antidepresan di luar fungsi utamanya sebagai terapi psikofarmaka dalam


menangani kasus depresi, juga diketahui memiliki peran sebagai analgesik
adjuvan. Obat-obat yang dapat digunakan sebagai analgesik adjuvan memiliki
hubungan yang signifikan dalam mengatasi nyeri apabila digunakan secara
tunggal ataupun dikombinasi dengan obat analgesik lainnya dalam mengatasi
berbagai kasus nyeri. Beberapa mekanisme diyakini mendasari perananan
antidepresan sebagai analgesik. Diantaranya yang paling sering dibahas dalam
beberapa penelitian adalah kemampuan antidepresan menghambat reuptake
serotonin dan noradrenalin.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Hecke O, Torrance N and Smith BH. Chronic pain epidemiology and its
clinical relevance. British Journal of Anaesthesia. 2013;111(1): 1318

2. Richard L. Nahin. Estimates of Pain Prevalence and Severity in Adults: United


States, 2012. The Journal of Pain, 2015; 16 (8): 769
DOI: 10.1016/j.jpain.2015.05.002

3. Dharmshaktu P, Tayal V, Kalra BS. Efficacy of Antidepressants as Analgesics:


A Review. J Clin Pharmacol 2012;52:6-17

4. Mangku, G., Buku Ajar Ilmu Anastesia dan Reanimasi. Bagian/SMF


Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Denpasar, 2010.217-27.

5. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 4th ed. Stamford:
Appleton and Lange, 2006, 359-73.

6. M Subramaniam, JA Vaingankar, E Abdin, SA Chong. Psychiatric morbidity


in pain conditions: Results from the Singapore Mental Health Study. Pain Res
Manag 2013;18(4):185-190

7. Katzung Gb. Antidepresants Agent. In: Basic and Clinical Pharmacology. 9 th


ed. Mc Grawhill. New York. 2007. p: 482-94.

8. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and


Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2007.

28
9. Blanca LC, Cristina AD, Lidia B, Juan AM, Esther B. Antidepressant Drugs
and Pain. 2012

10. Bader PD. Guidelines on Pain Management. European Association Urology


2010. p: 6-92.

11. Janakiraman R, Hamilton L, Aston W. Unravelling the efficacy of


antidepressants as analgesics. AFP 2016; 45:3.

12. Gallager RM et al. Biopsychosocial factor in Pain Medicine. In: Wallace MS,
Staats PS. Pain Medicine and Management Just Facts. Chapter 45. New York:
Mc Grawhill; 2005.244-54.

13. WHO Normative Guidelines on Pain Management. 2007. p: 1-50.

14. Nekovarova T, Yamamotova A, Vales K, Stuchlik A, Fricova J, Richard R.


Common mechanisms of pain and depression: are antidepressants also
analgesics?. Frontiers in Behavioral Neuroscience. 2014;8

29

También podría gustarte