Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan salah satu penyebab paling sering pasien datang berobat ke
dokter. Nyeri mengganggu fungsi sosial dan kualitas hidup penderitanya. Nyeri
bersifat sangat subjektif karena persepsi nyeri berbeda pada setiap orang dalam
hal skala atau tingkatannya.1
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi
kerusakan jaringan atau suatu keaadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. 3
Nyeri dapat timbul di bagian tubuh manapun sebagai respon terhadap stimulus
yang berbahaya bagi tubuh, seperti suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin,
tertusuk benda tajam, patah tulang, dan lain-lain. Rasa nyeri timbul apabila terjadi
kerusakan jaringan akibat luka, terbentur, terbakar, dan lain sebagainya.
1
sebagai penunjang diagnostik, karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu,
proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya nyeri yang
dirasakan oleh seseorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien
tersebut menderita radang usus buntu.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan
ujung saraf sensoris dan simpatik.
b. Nyeri neurogenik
3
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada
sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf
perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf
perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk
dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada
perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya allodynia. Hal
ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari
noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained
pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini
sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik
konvensional.
c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.
a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi,
hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah :
menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut dapat berupa:
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang
tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit atau operasi) atau
awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri
ini disebabkan oleh :
4
2. Non kanker akibat trauma, proses degenerasi dan lain-lain
Nyeri timbul akibat adanya suatu rangsangan oleh zat-zat algesik pada
reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada
beberapa jaringan dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi, otot
rangka dan pulpa gigi. Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung bebas serat
saraf aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini diaktifkan oleh adanya
rangsangan dengan intensitas tinggi, misalnya berupa rangsangan termal,
mekanik, elektrik atau rangsang kimiawi.
Zat-zat algesik yang akan mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H, asam
laktat, serotonin, bradikinin, histamin, dan prostaglandin. Selanjutnya, setelah
resepto-reseptor nyeri diaktifkan oleh zat-zat algesik tersebut, impuls nyeri
disalurkan ke sentral melalui beberapa saluran saraf.4
5
Gambar 2.1 Fisiologi Nyeri
1. Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik
pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin,
serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam
laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-
reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas
serat-serat aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai
dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang
lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik
yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral
ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri
menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Transmisi merupakan proses penyaluran impuls nyeri melalui serabut A-
delta dan C yang merupakan lanjutan dari proses tranduksi. Implus ini
akan disalurkan oleh serabut A-delta dan serabut C sebagai neuron
pertama dari perifer ke medulla spinalis dan disini impuls tersebut
6
mengalami modulasi sebelum di teruskan ke thalamus oleh traktus
sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari talamus selanjutnya impuls
disalurkan ke daerah somatosensoris di korteks serebri melalui neuron ke
tiga dan disini impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai
persepsi nyeri.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (enkefalin, endorfin,
noradrenalin, serotonin) dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu
posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serabut A-delta dan serabut C
ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis tidak
semuanya diteruskan ke sentral melalui traktus spinotalamikus. Didaerah
ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi,
baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung
mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka
penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem
inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.
4. Persepsi
Persepsi adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik
yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada
gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal
sebagai persepsi nyeri.
7
PERCEPTION
MODULATION
TRANSMISSION
TRANSDUCTION
Sensitisasi Perifer
8
Gambar 2.3 Mekanisme Sensitisasi Perifer
Sensitisasi Sentral
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan).
Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran
sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan
saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan
menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada
daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap
rangsangan nyeri.3
9
Gambar 2.4 Mekanisme Sensitisasi Sentral
10
b. Sistem metabolisme dan endokrin
Nyeri akan menyebabkan respon hormonal bifasik, artinya terjadi pelepasan
hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin 2, hormon anti
diuretik, ACTH, GH, dan glukagon. Sebaliknya akan terjadi penekanan
sekresi hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Hormon katabolik
akan menyebabkan hiperglikemia melalui mekanisme resistensi terhadap
insulin dan proses glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein
dan lipolisis. Kejadian ini akan menyebabkan balans nitrogen negatif.
Aldosteron, kortisol, hormon anti diuretik menyebabkan retensi Na dan air.
Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah.
Dengan demikian terjadilah siklus vitriosus.
c. Sistem hematologi
Nyeri akan menimbulkan perubahan viskositas darah, fungsi platelet, terjadi
peningkatan adesivitas platelet,ditambah dengan efek katekolamin yang
menimbulkan vasokonstriksi, dan immobilisasi akibat nyeri, sehingga akan
mudah terjadi komplikasi trombosis.
d. Sistem imunitas
Nyeri akan menimbulkan limfopenia, leukositosis, depresi sistem
retikuloendotelial (RES).
e. Psikologis
Nyeri menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, tidak
mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan dan
minum, cemas, gelisah, perasaan tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan
seperti ini sangat mengganggu kehidupan normal penderita seharihari. Mutu
kehidupannya sangat rendah, bahkan sampai tidak mampu untuk hidup
mandiri layaknya orang sehat.
11
ekspresi nyeri yang dirasakan. Nyeri merupakan masalah yang sangat
subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya,
sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas
nyeri, antara lain:7,8
1. Verbal Rating Scale (VRSs)
Verbal Rating Scale merupakan skala pengukuran nyeri yang
menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang
dirasakan. Pasien diminta memilih kata-kata atau kalimat yang
menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang
ada. Teknik ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari
saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan, dibagi menjadi
beberapa kategori nyeri yaitu:
12
3 Visual Analogue Scale (VAS)
Visual Analogue Scale merupakan skala pengukuran nyeri yang paling sering
digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Skala ini menggunakan garis
sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang
sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah
sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan
dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya
adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin
sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.7,8
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien
dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang
kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal
setempat.
13
Gambar 2.7 Faces Pain Scale7
4. Modalitas psikoterapi
5. Modalitas Farmakoterapi
14
Modalitas Farmakoterapi
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesik Ladder dapat diterapkan untuk
nyeri kronik maupunnyeri akut, yaitu:
Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat ditambahkan adjuvant atau
obat pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam
masing-masing taraf penanggulangan nyeri, khususnya unuk lebih
meningkatkan efektivitas analgesik dan mengatasi gejala-gejala yang
menyertai.4
15
Gambar 2.8 WHO Three Step Analgesik Ladder
16
Obat-obat pembantu (adjuvan) antara lain:
1. Kortikosteroid
Obat ini dapat bersifat mempertinggi taraf alam perasaan yang sedang
menurun, dan selanjutnya bersifat anti-infalamasi, antiemetik,
meningkatkan nafsu makan membantu mengatasi kakeksia dan
anoreksia. Perlu diketahui pula, bahwa obat ini dapat mengurangi
tekanan intrakranial dan kompresi epidural dan susunan saraf spinal.
2. Antikonvulsan
Obat ini dapat bedrmanfaat untuk meringankan nyeri neuropatik yang
sifatnya menusuk dan membakar. Sebaiknya harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien yang mejalani terapi kimia (kemoterapi) dan terapi
radiasi.
3. Antidepresan
Bermanfaat dalam mengurangi nyeri neuropatik karena memiliki efek
analgesik sehingga dapat memperkuat kasiat analgetik morfin.
4. Neuroleptik
Bermanfaat dalam membantu sindrom nyeri kronik dan memiliki sifat
antiemetik, anti cemas dan anti konstipasi.
5. Psikostimulan
Digunakan untuk mengurangi sedasi yang diakibatkan opioid, terutama
bila pengurangan dosis atau frekuensi pemberian obat opioid tidak
berhasil mengurangi sedasi.
a. NE dan 5-HT
Nyeri ditransmisikan dari lokasi perifer melalui dua sel saraf aferen yaitu
serat A delta dan C, kemudian bersinaps dengan kornu dorsalis medula
spinalis. Pada proses awal dari informasi nyeri dikonduksi terlebih dahulu
17
sebelum ditransmisikan melalui traktus ascenden menuju thalamus dan
area otak yang lebih tinggi. Neurotransmiter yang utama terlibat dalam
jalur descenden misalnya Norepineprin dan Serotonin ( NE dan 5-HT)
bekerja secara sinergis dalam mengurangi transmisi dari informasi nyeri
dari perifer menuju susunan saraf pusat. Analgesia yang dihasilkan oleh
antidepresan dimediasi melalui peningkatan aktivitas dan ketersediaan NE
dan 5-HT dalam jalur descenden. NE dan 5-HT merupakan komponen dari
analgesik endogen yang menghambat impuls nyeri pada fase modulasi.
Pada medula spinalis, sintesis dan pelepasan pain promoting
neurotransmiter seperti substansi P dan glutamat, dikurangi dan dihambat
oleh kedua neurotransmiter tersebut (NE dan 5-HT). 10
b. Opioid
Pengaruh analgesia dari antidepresan juga dapat melibatkan mekanisme
lain. Antidepresan tertentu dapat memperkuat efek opioid pada susunan
saraf pusat. Sebagai contoh analgesia morfin dapat ditingkatkan efeknya
oleh amitriptilin, imipramin, fluoxetine, sertralin, dan nefazodone. Di lain
pihak, di dalam otak antidepresan dapat mengurangi kelebihan output
limbik yang dapat berkontribusi depresi dan kecemasan yang memicu
terjadinya nyeri.10
c. Ion channel
Beberapa antidepresan seperti golongan Tricyclic antidepresan (TCA),
juga memiliki fungsi penghambat sodium channel yang dapat mengurangi
aktivitas neuron yang menyampaikan informasi nyeri dari susunan saraf
pusat, misalnya pada nyeri yang dimediasi secara simpatetik dan nyeri
neuropatik.10,11
d. Adenosin
18
Serupa dengan efek yang terjadi pada opioid, antidepresan juga bekerja
sebagai analgesik dengan cara menghambat uptake adenosin, baik pada
jalur pada spinal maupun supra spinal.10,12
Gambar 2.9 Kondisi patologi nyeri7 kronis dan depresi yang berhubungan
dengan penyakit yang berkaitan dengan noradrenalin dan serotonin.
Pengobatan dengan antidepresan dapat membantu memperbaiki kondisi
tersebut.9
19
Tabel 2.2 Mekanisme kerja antidepresan9
20
2.8 Penggunaan Klinis Antidepresan sebagai Analgesia
a. Amitriptilin
Dosis lazim: 25 mg dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis
maksimum 150-300 mg sehari.
Kontra Indikasi: penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif
sumsum tulang, kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO.
Interaksi Obat: bersama guanetidin meniadakan efek antihipertensi,
bersama depresan SSP seperti alkohol, barbiturate, hipnotik atau
analgetik opiate mempotensiasi efek gangguan depresif SSP termasuk
gangguan depresif saluran napas, bersama reserpin meniadakan efek
antihipertensi.
21
Perhatian: ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi ginjal
menurun, glakuoma, kecenderungan untuk bunuh diri, kehamilan,
menyusui, epilepsi
Indikasi klinis: nyeri neuropatik seperti post-herpetic neuralgia,
diabetic peripheral neuropathy, polineuropati, nyeri fasial atipikal,
nyeri kanker, nyeri pinggang.
b. Imipramin
Dosis lazim: 75-400 mg sehari.
Kontra Indikasi: Infark miokard akut
Interaksi Obat: anti hipertensi, obat simpatomimetik, alkohol, obat
penekan SSP
Perhatian: kombinasi dengan MAO, gangguan kardiovaskular,
hipotensi, gangguan untuk mengemudi, ibu hamil dan menyusui.
Indikasi klinis: nyeri neuropatik seperti post-herpetic neuralgia,
diabetic peripheral neuropathy, polineuropati, nyeri fasial atipikal,
nyeri pinggang.
c. Klomipramin
Dosis lazim : 75-300 mg sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard, pemberian bersamaan dengan MAO,
gagal jantung, kerusakan hati yang berat, glaukoma sudut sempit
Interaksi Obat : dapat menurunkan efek antihipertensi penghambat
neuro adrenergik, dapat meningkatkan efek kardiovaskular dari
noradrenalin atau adrenalin, meningkatkan aktivitas dari obat penekan
SSP, alkohol.
Perhatian : terapi bersama dengan preparat tiroid, konstipasi kronik,
kombinasi dengan beberapa obat antihipertensi, simpatomimetik,
penekan SSP, antikolinergik, penghambat reseptor serotonin selektif,
antikoagulan, simetidin. Monitoring hitung darah dan fungsi hati,
gangguan untuk mengemudi.
22
Indikasi klinis: nyeri neuropatik seperti post-herpetic neuralgia,
diabetic peripheral neuropathy, polineuropati, nyeri fasial atipikal, nyeri
kanker, nyeri pinggang.13
b. Sertralin
23
Dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200 mg/hr.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap sertralin.
Interaksi Obat : MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik.
Perhatian : pada gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil,
menyusui, mengurangi kemampuan mengemudi dan mengoperasikan
mesin.
c. Citalopram
Dosis lazim : 20 mg/ hari, maksimum 40 mg/ hari.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat ini.
Interaksi Obat : MAO, sumatripan, simetidin.
Perhatian : kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan
bunuh diri.
Indikasi klinis : nyeri polineuropati diabetes.
Obat yang termasuk golongan ini yang biasa digunakan untuk mengatasi
nyeri kronik yakni:5,9,11
a. Venlafaxine
Dosis lazim : 75-375 mg/hari
Kontra Indikasi : penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak
< 18 tahun.
Interaksi Obat : MAO, obat yang mengaktivasi SSP lain.
24
Perhatian : riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal
atau sirosis hati
Indikasi klinis : nyeri fibromialgia, migraine, nyeri neuropatik
b. Duloxetin
Dosis lazim : 60 mg 120 mg / hari
Kotra indikasi : pasien dengan gangguan fungsi hati.
Indikasi klinis : nyeri fibromialgia, polineuropatik diabetes.
Efek anti serotonin: akibat blokade reseptor 5-HT post sinaptik dengan
bertambahnya nafsu makan dan berat badan.
25
Efek serotogenik berupa: mual, muntah, malaise umum, nyeri kepala,
gangguan tidur dan nervositas, agitasi atau kegelisahan yang sementara,
disfungsi seksual dengan ejakulasi dan orgasme terlambat.
26
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi
kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.
Garis besar terapi farmakologi terhadap nyeri mengikuti WHO Three Step
Analgesik Ladder. Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat
ditambahkan adjuvant atau obat pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant)
dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf penanggulangan nyeri, khususnya
unuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik dan mengatasi gejala-gejala yang
menyertai.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Hecke O, Torrance N and Smith BH. Chronic pain epidemiology and its
clinical relevance. British Journal of Anaesthesia. 2013;111(1): 1318
5. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 4th ed. Stamford:
Appleton and Lange, 2006, 359-73.
28
9. Blanca LC, Cristina AD, Lidia B, Juan AM, Esther B. Antidepressant Drugs
and Pain. 2012
12. Gallager RM et al. Biopsychosocial factor in Pain Medicine. In: Wallace MS,
Staats PS. Pain Medicine and Management Just Facts. Chapter 45. New York:
Mc Grawhill; 2005.244-54.
29