Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsafat dalam bahasa arab berarti falsafah, dan dalam bahasa yunani philosopia yang
mempunyai arti philos adalah cinta dan sopia adalah pengetahuan atau dalam artian
philosopia adalah cinta kepada kebijaksanaan / kebenaran.
Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan tindakan, dalam filsafat juga ada yang
mempelajari tentang Aksiologi yang sangat berguna untuk berfilsafat. Keingintahuan adalah
salah satu pemicu kita untuk berfilsafat, dan begitu juga dengan keragu-raguan, filsafat
merupakan pemikiran secara rasional.
Jika mempelajari Aksiologi maka kita telah mempelajari sebagian cara berfilsafat,
dimana berfilsafat itu sangat penting dan jika kita tidak berfilsafat kita tidak akan maju, itu
dalam artian berfilsafat adalah berfikir secara abstrak.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah :
C. TUJUAN PENULISAN
5. Agar kita dapat memahami apa saja yang di bahas dalam Aksiologi serta Mengetahui
objek kajian filsafat Aksiologi.
BAB II
|1
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AKSIOLOGI
Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik,
menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai
tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai.
Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.
Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.[4]
http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html
Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk
(good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and
and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.[5]
1 http://yudiarputra05.blogspot.com/2011/08/makalah-aksiologi.html
2 http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html
3 http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html
4 http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html
5 http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html
|2
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.[6]
Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat
dijawab dengan tiga macam cara yaitu[7]:
Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi,
namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan
dapat diketahui melalui akal.
Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan suatu
subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek yang diberi
nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah perbuatan penilaian.[8]
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan
logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi
artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat,kriteria dan status metafisik dari nilai.[9]
Kodrat nilai berupa problem mengenai apakah nilai itu berasl dari keinginan,
kesenangan, kepentingan, keinginan rasio murni.
6 http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/
7 http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/
8 http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/
9 Rizal Mustansyir Dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 2001 Hal
26
10 Rizal Mustansyir Dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 2001 Hal
27
|3
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum, sebagai
landasan ilmu, aksiologi membicarakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan?.[11]
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat Nilai, pada umumnya
ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.[12]
Suatu subyek yang memberi Nilai yang sebaiknya kita namakan segi pragmatis.
Nilai-Nilai merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari segi ontologi namun tidak
terdapat dalam ruang dan waktu.
12 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 327
13 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 328
14 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 329
15Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 331
|4
Makna Nilai[16]:
a. Mengandung Nilai
b. Merupakan Nilai
c. Mempunyai Nilai
d. Memberi Nilai
Kualitas ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Dengan kata lain,
kualitas ialah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang barang
tersebut dan dapat membantu melukiskanya.[17]Kualitas empiris ialah kualitas yang dapat
diketahui melalui pengalaman.[18]
Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu segi
dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu
melukiskannya.[19]Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang diketahui atau
dapat diketahui melalui pengalaman.[20]
Jika Nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek dan
perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas Nilai-Nilai, tetapi tidak mungkin
sebaliknya. Contoh pisang itu kuning tapi saya tidak bisa mengatakan bahwa kuning itu
pisang, karna kuning bermacam-macam.[21]
16 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 332
17 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 333
18 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 333
19 [24]http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/
20 http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/
21 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 334
|5
Kenyataan bahwa Nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti Nilai tidak dapat
dipahami. Nilai bersifat subyektif, contoh si A mengatakan bahwa si gadis itu cantik, tapi si
B mengatakan bahwa si gadis itu jelek[22]
Pandangan orang Amerika dalam bukunya bahwa jika saya mengatakan x berNilai
maka dalam arti yang sama saya dapat mengatakan saya mempunyaikepentingan pada x.
Sikap setuju atau menentang tersebut oleh Perry ditunjuk dengan istilah kepentingan.[23]
Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang
dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai
berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey mengatakan
bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian nilai juga
menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan.[24]
Menurut perry jika seorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal
tersebut mempunyai Nilai,[25] jadipenulis dapat menyimpulkan bahwa Nilai ialah kepentingan.
Sejumlah hal yang telah saya perbincangkan yang bersifat penolakan terhadap teori
Nilai yang didasarkan atas kepentingan kiranya menyebabkan tampilnya teori lain, yaitu
Teori Pragmatis. Pragmatisme mendasarkan diri atas akibat-akibat, dan begitu pula halnya
dengan teori pragmatisme mengenai Nilai.[26]Jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa Teori
Pragmatis mengenai Nilai adalah akibat-akibat dari sesuatu menjadi kita anggap bernilai.
22 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 335
23 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 337
24 http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/
25Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 338
26 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 339
|6
d. Nilai Sebagai Esensi
Esensi adalah inti, sesuatu yang menjadi pokok utama, hakikat.[29] Contoh Perdamaian
merupakan sesuatu yang bernilai, maka ia memahami bahwa di dalam hakekat perdamaian
itu sendiri terdapat Nilai yang mendasarinya.[30] Jadi penulis menyimpulkan Nilai sebagi
esensi ialah Nilai tentang sesuatu yang pasti ada dalam setiap sesuatu tersebut.
Esensi tidak dapat di tangkap secara inderawi. Ini berarti bahwa nilai tidak dapat di
lakukan sebagaimana kita memahami warna.
B. AKSIOLOGI SAIN
Apa guna atau nilai dari Sain ? secara umum teori berarti pendapat yang beralasan,
sekurang-kurangnya kegunaan teori Sain ada tiga yakni[31]:
Menurut teori Sain anak-anak yang orang tuanya cerai, pada umumnya akan
berkembang menjadi anak nakal, penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat
pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya.
Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengatahui juga faktor penyebab
terjadinya gejala itu, dengan mengutak-atik faktor penyebab itu, ilmuwan dapat membuat
ramalan. Dalam bahasa ilmuwan ramalan itu di sebut prediksi.
27 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 344
28 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 345
30 Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 345
a. Mengidentifikasi masalah
3) Netralitas Sain
Artinya sain tidak memihak pada kebaikan dan juga tidak memihak pada kejahatan.[33]
C. AKSIOLOGI FILSAFAT
32 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 43-44
35 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 104
|8
D. AKSIOLOGI MISTIK
Pengetahuaan mistik tidak menyelesaikan masalah dengan proses inderawi dan tidak
juga melalui proses rasio. Mistik ialah kegiatan spiritual tanpa penggunaan rasio, sedangkan
mistik-magis adalah kegiatan mistik yang mengandung tujuan-tujuan untuk memperoleh
sesuatu yang diingini penggunanya.[37]
Mistik magis dibagi menjadi dua yaitu mistik magis putih yaitu mistik magis yang
kebanyakan digunakan untuk mengobati.[38] Pemilik mistik magis putih ini menyadari bahwa
kekuatan tuhan baik yang ada dalam diri-Nya atau yang ada dalam firmanya dapat di gunakan
oleh manusia, dan mistik magis hitam yaitu mistik yang digunakan untuk meningkatkan
harga diri dan dikatakan hitam karena penggunanya untuk kejahatan.[39]
36 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 123
37 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 125
38 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 123
39 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 124
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia.
Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi
manusia? (dalam psikologi, lihat juga The New Science of Axiological Psychology oleh
Leon Pomeory). Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan: Sejauh mana
pengetahuan ilmiah dapat digunakan?. Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran,
melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan
sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: Apakah yang bisa dilakukan
berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh dipraktikkan juga?.
Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu sendiri,
melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya adalah bahwa
pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran
moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan
permasalahan yang pelik.[42]
Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori logika. Para
hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atu besarnya kenikmatan yang dirasakan
seseorang atau masyarakat sebagai barometer dari sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan
sistem objektif mengenai norma-norma rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria. Dari
berbagai corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga
hal. Pertama, aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak ada kaitan antara
pengalaman manusia dengan sistem nilai. Kedua, objektifisme logis yang menyatakan bahwa
nilai merupakan esensi logis dan substnatif yang tidak ada kaitannya dengan status atau
tindakan eksistensi dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai
adalah norma ideal yang mengandung unsur integral objektif dan aktif dari kenyataan
metafisik.[43]
Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan
kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain
Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul
berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu itu bebas dari sistem nilai ? Atakah
sebaliknya, apakah itu itu terikat pada sistem nilai?[44]
43 A. Amyo, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: 1990, Cipta Adi Pustaka) h. 225
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hatihati dengan
mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S mengenai hal tersebut
adalah sebagai berikut.[46]
a. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka
pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu segi
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
b. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik
sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan
sejarah kemanusiaan.
c. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya
(objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak
mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri
masalah kehidupan.
d. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan
proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan
kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan
berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.
e. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia
dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan
penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila
hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan
juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu
maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.
| 11
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus
(1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian
diperkuat oleh Galileo (1564- 1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata
surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad
mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses
dengan mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau
menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung
penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya. Kohlberg menyatakan perkembangan
moral individu ada 3 tahap yaitu:
a. Punishment and obidience orientation: alasan seseorang patuh adalah untuk menghindari
hukuman.
b. Instrument and relativity orientation; perilaku atau tindakan benar karena memperoleh
imbalan atau pujian.
b. Law and order orientation: benar atau salah ditentukan loyalitas seseorang pada
lingkungan yang lebih luas seperti kelompok masyarakat atau negara.
3. Level Postconventional: pada level ini orang tidak lagi menerima saja nilai-nilai dan
norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral
yang diyakininya.
Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga dipahami sebagai
etika. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral
principles or rules of behaviour,[47] atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara
berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular.
Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral
Dalam bahasa Yunani etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan, karakter,
kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus,
mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan
moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.[49]
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal
mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak
perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan.
Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[50] Arti inilah yang menjadi latar
belakang bagi terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas
tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
48 Ibid.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Moore (dalam Kattsoff, 2004: 325) mengatakan bahwa baik merupakan pengertian
yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan apakah baik itu
Kata Nilai merupakan kata jenis yang meliputi segenap macam kebaikan dan
sejumlah hal yang lain.
Bahwa Yang-Baik itu merupakan sesuatu yang didalamnya terdapat unsur yang
bermanfaat bagi seseorang.
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Kualitas ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Dengan kata lain,
kualitas ialah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang barang
tersebut dan dapat membantu melukiskanya.Kualitas empiris ialah kualitas yang dapat
diketahui melalui pengalaman.
Menurut perry jika seorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal
tersebut mempunyai Nilai, jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa Nilai ialah kepentingan.
Teori Pragmatis mengenai Nilai adalah akibat-akibat dari sesuatu menjadi kita anggap
bernilai.
Nilai sebagi esensi ialah Nilai tentang sesuatu yang pasti ada dalam setiap sesuatu
tersebut.
a. Mengidentifikasi masalah
Netralitas SainArtinya sain tidak memihak pada kebaikan dan juga tidak memihak pada
kejahatan.
Pengetahuaan mistik tidak menyelesaikan masalah dengan proses inderawi dan tidak
juga melalui proses rasio. Mistik ialah kegiatan spiritual tanpa penggunaan rasio, sedangkan
mistik-magis adalah kegiatan mistik yang mengandung tujuan-tujuan untuk memperoleh
sesuatu yang diingini penggunanya.
Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh
panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang
mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau salah karena ia tidak dapat diuji .
Ukurannya sangat subjektif dan objek kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki
atau tidak. Berbeda dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi
rasionaldapat memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah
dari suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.
B. SARAN
| 15
Sebelumnya kami penyusun makalah ini mohon maaf apabila terdapat kesalahan
dalam penulisan kata-kata, dan makalah kami pun di sini masih belum sempurna, untuk itu
sekiranya apabila masih di rasa pembaca masih belum cukup bahasan-bahasan di dalam
makalah ini di sarankan untuk mencari sumber referensi dari buku-buku atau sumber-sumber
yang semacamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986.
Rizal Mustansyir Dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 2001
Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog
tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. (Jakarta : 1996, Gramedia media utama) h. 2
[16] Jonathan Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learners Dictionary (London: 1995,
Oxford University Press)
http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/
http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html
http://yudiarputra05.blogspot.com/2011/08/makalah-aksiologi.html
| 16