Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Pendahuluan
Secara umum fungsi ginjal diketahui adalah sebagai alat untuk membersihkan tubuh dari
bahan-bahan sisa metabolisme baik yang dari hasil pencernaan maupun dari hasil
metabolisme. Selain fungsi tersebut diatas ginjal memiliki fungsi yang lebih banyak lagi
untuk mempertahankan homeostasis tubuh manusia, seperti: 1) Ekskresi produk sisa
metabolic dan bahan kimia asing, 2) Pengaturan Keseimbangan air dan elektrolit, 3)
Pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, 4) Pengaturan tekanan arteri,
5) pengaturan keseimbangan asam-basa, 6) Pengaturan Produksi Eritrosit, 7) Sekresi,
metabolism, dan ekskresi hormone, 8) Glukoneogenesis.1
Pada penyakit ginjal kronik, terjadi kerusakan pada jaringan ginjal sehingga lama
kelamaan fungsi diatas mulai terganggu. Penyakit ginjal kronik secara garis besar adalah
suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fugsi
ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.2
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin, hal lain yang dapat berperan
dalam terjadinya anemia pada pasien gagal ginjal kronik adalah defisiensi Fe, kehilangan
darah, masa hidup eritrosit yang memendek, defisiensi asam folat, serta proses inflamasi akut
dan kronik.2 World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan komsentrasi
hemoglobin < 13,0 gr/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada
wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada
pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal
adalah 11,5 gr/dl pada wanita dan 13,5 gr/dl pada laki-laki 70 tahun dan 12,0 gr/dl pada
laki-laki > 70 tahun. The National Kidney Foundations Kidney Dialysis Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar
hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematocrit < 33%) pada wanita premonopause dan pasien
prepubertas, dan <12,0 gr/dl (hematocrit < 37%) pada laki-laki dewasa dan wanita
postmeopause. Sedangkan menurut Pernefri 2011, dikatakan anemia pada penyakit ginjal jika
Hb 10 gr/dl dan Ht 30%.2,3
1
Etiologi
Anemia pada penyakit ginjal kronik adalah jenis anemia normositik normokrom, yang
khas selalu terjadi pada sindrom uremia. Bisanya hematokrit menurun hingga 20-30% sesuai
derajat azotemia. Komplikasi ini biasa ditemukan pada penyakit ginjal kronik stadium 4, tapi
kadang juga ditemukan sejak awal stadium 3. Tabel 1.2,4
Tabel 1. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik1
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt) Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan LGF 90 -
normal
2 Kerusakan ginjal dengan 60-89 Tekanan darah mulai naik
penurunan LGF ringan
3 Penurunan LGF sedang 30-59 Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia
4 Penurunan LGF berat 15-29 Malnutrisi
Asidosis metabolik
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia
5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung
Uremia
Penyebab utama anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah kurangnya
produksi eritropoietin (EPO) karena penyakit ginjalnya. Faktor tambahan termasuk
kekurangan zat besi, peradangan akut dan kronik dengan gangguan penggunaan zat besi
(anemia penyakit kronik), hiperparatiroid berat dengan konsekuensi fibrosis sumsum tulang,
pendeknya masa hidup eritrosit akibat kondisi uremia. Selain itu kondisi komorbiditas seperti
hemoglobinopati dapat memperburuk anemia. Untuk lebih lengkapnya, perhatikan Tabel
2.2,4,5
Patofisiologi
Pandangan Umum
Ketika terjadi gangguan pada glomerulus maka fungsi ginjal pun terganggu, termasuk
fungsi endokrinnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dikaitkan dengan konsekuensi
patofisiologik yang merugikan, termasuk berkurangnya transfer oksigen ke jaringan dan
penggunaannya, peningkatan curah jantung, dilatasi ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.4
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang
memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi
tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari
fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan penyakit ginjal
yang berat. Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien
penyakit ginjal kronik. Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang
menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas
penyakit ginjalnya. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay
menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien
anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin
yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek
tambahan terjadi defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit
reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal
terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif. Defisiensi
eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi
glomerulus. Selain itu, telah terbukti juga bahwa racun uremik juga dapat menginaktifkan
eritopoietin atau menekan respon sumsum tulang terhadap eritropoietin.3,6
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor
eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat
pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang
dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi
reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan
kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi
yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH.
Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak
hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis
dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikan, leukopenia, dan trombositopenia bukan
merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak
memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik.
Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih
kontroversi jika dikatakan bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada eritropoesis.
Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari
kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH
dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH
pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH
seperti fibrosis sumsum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab
dalam hubungan antara hiperparatiroid dan anemia pada gagal ginjal.7
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh
karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini
adalah dari hemodialisis. Pada suatu penelitian, dibuktikan pasien-pasien hemodialisis dapat
kehilangan darah rata-rata 4,6 L/tahun. Kehilangan darah melalui saluran cerna, sering
diambil untuk pemeriksaan laboratorium dan defisiensi asam folat juga dapat menyebabkan
anemia. Kekurangan asam folat bisa bersamaan dengan uremia, dan bila pasien mendapatkan
terapi hemodialisis, maka vitamin yang larut dalam air akan hilang melalui membran dialisis.
Kecendrungan terjadi perdarahan pada uremia agaknya disebabkan oleh gangguan kualitatif
trombosit dan dengan demikian menyebabkan gangguan adhesi.6,7
Kekurangan zat besi dapat disebabkan karena kehilangan darah dan absorbsi saluran
cerna yang buruk (antasida yang diberikan pada hiperfosfatemia juga mengikat besi dalam
usus). Selain itu, proses hemodialisis dapat menyebabkan kehilangan 3 -5 gr besi per tahun.
Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari, sehingga kehilangan besi pada pasien-
pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.6,7
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang
masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit
ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem
transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan
cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik.7
Masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup
eritrosit normal. Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh kelainan
lingkungan kimia plasma dan bukan karena cacat pada sel darah itu sendiri. Hemolisis pada
gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup
eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang
hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.
Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang
ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah
merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki
waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase
membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupakan
mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat
shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan
kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi
semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga
menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau
normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in
vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat
menekan produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung
penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui
percobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi
respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang
menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan
uremia.3,7
Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang
mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler
(hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan
penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis
dapat timbul akibat kompliksai dari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan
kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan
teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup,
bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi
filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin,
penghambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat
disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan
kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenisme
merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis
sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darah merah
yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa
mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi
pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis
pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali
atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi
maligna.3,7
Penyebab lain yang mempengaruhi eritropoiesis pada pasien dengan gagal ginjal
terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh
konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung
aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serumnya
meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut
kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesisnya belum sepenuhnya
dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium
pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine.
Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme
besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui
terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.3,7
Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi
transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan
tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti
interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada
pasien-pasien gagal ginjal terminal.8
Diagnosis
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya berkaitan
dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat dijadikan diagnosis
setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan eritrosit lainnya. Evaluasi
terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10% atau hematokrit 30%.2,3,4,13
Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi penambah
eritrosit, yaitu : 2,3,4,13
- Darah lengkap
- Pemeriksaan darah tepi
- Hitung retikulosit
- Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin, serum
feritin)
- Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
- Kadar vitamin B12
- Hormon paratiroid
Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit
terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan apus
darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi, anemia ini bersifat
hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi menunjukkan burr cell. Perubahan
morfologi sel darah merah menampilkan proses hemolitik primer, mikroangiopati atau
hemoglobinopati. Jumlah total retikulosit secara umum menurun. Mean corpuscular volume
meningkat pada defisiensi asam folat, defisiensi B 12 dan pasien dengan kelebihan besi.
Mean corpuscular volume menurun pada pasien dengan thalasemia, defisiensi besi yang
berat, dan intosikasi aluminium yang berat.4,13
1
0
Universitas Sumatera Utara
Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuEPO), penilaian terhadap
simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangat diperlukan. Pada
keadaan dimana tidak ada faktor yang memperberat seperti penyakit inflamasi , penyakit hati,
1
0
Universitas Sumatera Utara
atau respons yang buruk dari rHuEPO, feritin serum merupakan indikator yang tepat dari
simpanan besi tubuh. Jika simpanan menurun, nilai feritin serum menurun sebelum saturasi
transferin. Walaupun penyakit kronik dapat menurunkan besi dan transferin, pasien dengan
saturasi transferin kurang dari 20% dan feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi
defisiensi besi. Di sisi lain pasien memiliki saturasi lebih dari 20% yang gagal berespons
terhadap replacement besi harus diperkirakan mengalami intoksikasi aluminium atau
hemoglobinopati. Walaupun serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi dengan
spesifisitas, untuk memastikan penyebabnya membutuhkan berbagai jalur kehilangan besi
pada pasien tersebut termasuk saluran gastro intestinal (4-5 ml blood loss / hari atau 5 ml
kehilangan besi/ hari), prosedur dialisis (4-50 ml/ terapi dimana mungkin disebabkan karena
antikoagulan yang inadequat dan teknik penggunaan kembali dialister yang buruk), flebotomi
yang rutin untuk kimia darah dan konsumsi besi pada terapi rHuEPO.13
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht >
30%, baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi
konservatif, target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO. Dampak anemia
pada gagal ginjal terhadap kemampuan fisik dan mental dianggap dan menggambarkan
halangan yang besar terhadap rehabilitasi pasien dengan gagal ginjal. Walaupun demikian
efek anemia pada oksigenasi jaringan mungkin seimbang pada pasien uremia dengan
penurunan afinitas oksigen dan peningkatan cardiac output saat hematokrit dibawah 25 %.
Walaupun demikian banyak pasien uremia memiliki hipertensi dan miokardiopati. Karena
tubuh memiliki kemampuan untuk mengkompensasi turunnya kadar hemoglobine dengan
meningkatnya cardiac output. Selain itu banyak pasien memiliki penyakit jantung koroner
yang berat dan walaupun anemia dalam derajat sedang dapat disertai dengan miokardial
iskemik dan angina. Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan simptomatik
melalui transfusi sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi ginjal.
Transfusi darah hanya memberikan keuntungan sementara dan beresiko terhadap infeksi
(virus hepatitis dan HIV) dan hemokromatosis sekunder. Peran dari transfusi sebagai
pengobatan anemi primer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan
penelitian serologic telah menjadi lebih canggih. Transplantasi ginjal pada banyak kasus,
harus menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis memenuhi
syarat.3,4,13,14,15
11
12
1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan recombinant
human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di
demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant
eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa,telah dibuktikan menyebabkan
peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar
Hb normal setelah transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang
membutuhkan transfusi reguler. Penelitian membuktikan bahwa, saat sejumlah erotropoetin
diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis merespon
dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan
menunjukkan bahwa AB yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap
penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan
darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi
ekstra korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat
terlihat. 3,4,13,14,15
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga
peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya
viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan
trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human recombinant eritropoetin
pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi
hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan
hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer karena tingginya Ht dan
peningkatan nafsu makan karena peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang
dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien
dengan peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant
human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa
kebanyakan efek samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke
normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin merupakan
manajemen yang utama pada pasien uremia. 3,4,13,14
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO14
Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain
anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
o Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%
o Tidak ada infeksi yang berat
Kontraindikasi:
Hipersensitivitas terhadap EPO
Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
a) Hipertensi tidak terkendali
b) Hiperkoagulasi
c) Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Terdapat beberapa
kriteria pengkajian status besi pada Gagal ginjal Kronis:
a. Anemia dengan status besi cukup
b. Anemia defisiensi besi:
- Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L
- Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L
- Saturasi Transferin < 20 %
1.1 Terapi Eritropoietin Fase koreksi3,15
Tujuan:
Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4
minggu.
b. Target respon yang diharapkan :
Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.
c. Pantau Hb, Ht tiap 4 minggu
d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10
g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%
g. Pemantauan status besi:
Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuai dengan
panduan terapi besi.
1.2 Terapi EPO fase pemeliharaan3,15
a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL).
- Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu
- Pantau Hb dan Ht setiap bulan
- Periksa status besi setiap 3 bulan
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup)
maka dosis EPO diturunkan 25%
Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek samping diantaranya:
a. Hipertensi:
- Tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi eritropoetin fase koreksi
- Pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatan dosis obat
antihipertensi
- Peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin tidak
berhubungan dengan kadar Hb.
b. Kejang:
- Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi
- Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak
terkontrol.
Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekuat. Respon EPO
tidak adekuat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah
pemberian EPO selama 4-8 minggu. Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang
tidak adekwat yaitu:
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering)
b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE, AIDS)
c. Kehilangan darah kronik
d. Malnutrisi
e. Dialisis tidak adekwat
f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis)
g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium,
hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam folat
dan vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).
Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi penunjang yang
berupa pemberian14:
a. Asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi fungsional yang
mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi
besi intravena
g. Preparat androgen (2-3 x/minggu)
- Dapat mengurangi kebutuhan EPO
- Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati
- Tidak dianjurkan pada wanita
4. Mengkoreksi hiperparatiroidisme
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan
merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid
dengan 1,25- dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan peningkatan anemia. 11,15
5. Terapi Androgen
Sejak tahun 1970 an androgen telah digunakan untuk terapi gagal ginjal. Efek yang positif
yaitu meningkatkan produksi eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin
yang sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester (testosteron propionat, enanthane,
cypionate), derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone, oxymetholone,
methyltestosterone), dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone
phenpropionate) telah sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Responnya
lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat
cukup diberikan dengan dosis 100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal
tetapi harus dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki
ratio anabolik: androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan
hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapat menyebabkan
priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik dapat menyebabkan
komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering pada 17 methylated steroid. Pada
keadaan meningkatnya transaminase darah yang progesif dan bilirubin serum yang
meningkat, terapi harus dihentikan. Namun, komponen 17- methylated steroid ini memiliki
ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat diberikan secara oral. Terapi dengan androgen
dapat menimbulkan gejala prostatisme atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat. Rash
kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah efek samping lainnya pada
terapi ini.3,4, 11,15
7. Suplementasi besi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi absorpsi besi pada usus. Monitoring
penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali pertahun
merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral
lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi
besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron
dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding injeksi intra muskular.
Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang menerima terapi besi parenteral. Untuk
mengurangi kejadian komplikasi yang berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit
pertama dengan dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish
penyimpanan besi dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500 mg dalam 5-10 menit setiap
harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran dan
diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.4,15
Terapi besi fase pemeliharaan4,11,15:
a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama terapi EPO
b. Target terapi:
- Feritin serum > 100 mcg/L < 500 mcg/L,
- Saturasi transferin > 20 % < 40 %
c. Dosis
IV :
- iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu
- iron dextran : IV : 50 mg/minggu
- iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu
IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu
Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari
Status besi diperiksa setiap 3 bulan
Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis
pemeliharaan.
Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%, suplementasi besi
distop selama 3 bulan.
Bila pemeriksaan setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan saturasi transferun <
40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.
Resistensi ESA
Resistensi terhadap ESA bisa disebabkan oleh terjadinya peningkatan aktivitas sel T
dan monisit, dan juga bersamaan dengan terjadinya produksi sitokin-sitokin proinflamasi di
sumsum tulang. Sitokin-sitokin ini dapat bereaksi secara lokal untuk melawan kerja dari ESA
pada tingkat seluler, sehingga menyebabkan terjadinya resistensi terhadap terapi ESA.
Peningkatan produksi sitokin pro inflamasi oleh sel T yang teraktivasi dapat
menyebabkan respon yang rendah pada ESA. Probabilitas yang rendah terhadap respon awal
ini dapat menjadi peringatan terhadap klinisi untuk segera mengkoreksi kegagalan terapi.
Strategi yang potensial terhadap terapi masa depan adalah penggunaan terapi anti sitokin
adjuvan yang spesifik. 11,15
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton Arthur C., Hall John E: Pembentukan urin oleh ginjal, dalam Buku ajar Fisiologi
kedokteran Guyton & Hall: ed.11; EGC.2007: 324-333
2. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM, Setiati S,
editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6nd ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014.p.2159-65.
3. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39: suppl 1, 2012.
4. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser AL, Loscalzo J. Harrisons Principles
of internal medicine. 18th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc;
2012.
5. Sibernagl S, Lang F. Color athlas of pathophysiologi. Stuttgart Germany: Gorg Thema Verlag;
2000.
6. Wilson LM. Penyakit ginjal kronik. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA,
editors: Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6 nd ed. Jakarta: EGC; 2012.p. 912-
45.
7. Singh AK. Anemia of Chronic Kidney Disease. Clin J Am 2008; vol. 3: 3-6.
8. National institute for Healt and Care Excellence. Anemia management in people chronic
kidney disease. Manchester: NICE clinical guideline 114. 2011.
9. National Kidney Foudation. Anemia and chronic kidney disease (stages 1-4). New York:
NKF. 2010.
10. National Kidney Foundation. KDOQI clinical practice guidelines and clinical practice
recommendations for anemia in chronic kidney disease. American Journal of Kidney Disease
May 2006; 47 (5): SUPPL 3.
11. International Society of Nephrology. Kindey disease improving global outcome: Clinical
practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney International Supplements
2012; 2: 283-335.
12. Lerma EV. Anemia of chronic disease and renal failure . Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1389854-overview#showall
13. MacGinley RJ, Walker RG. International treatment guidelines for anaemia in chronic kidney
disease: what has changed?. MJA 22 July 2013; vol 199 (2).
14. Locatelli F, Covic A, Eckardt KU, Wiecek A, Vanholder R. Anemia management in patients
with chronic kidney disease: a potion statement by the anemia working group of European
renal best practice (ERBP). Nephrol Dial Transplant 2009; 24: 348-354.
15. Singh AK, Szczech L, Tang KL, Barnhart H, Sapp S, Wolfson M, et al. Correction of anemia
with epoetin alfa in chronic kidney disease. N Engl J Med 2006; 355: 2085-98.
2
0
Universitas Sumatera Utara