Está en la página 1de 7

http://al-atsariyyah.com/45-kaidah-tafsir-al-quran.

html

45 Kaidah Tafsir Ibnu Taimiah


October 4th 2009 by Abu Muawiah |

45 Kaidah Tafsir Ibnu Taimiah

Ilmu itu bisa berupa nukilan yang dibenarkan dari Al-Mashum dan bisa juga berupa
pendapat yang mempunyai dalil yang jelas. Adapun selain dari itu maka kadang dia adalah
igauan yang tertolak ataukah sesuatu yang mauquf (tidak jelas), tidak diketahui apakah dia
bahraj (kotor) ataukah manqud (bersih).

telah menjelaskan kepada paraWajib untuk diketahui bahwa Nabi sahabatnya makna-
makna Al-Qur`an sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada mereka lafazh-lafazhnya. Ini
sebagaimana dalam firman Allah Taala, Agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka. (QS. An-Nahl: 44)
Penjelasan di sini mencakup ini (maknanya) dan itu (lafazhnya).
Karenanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat dalam tafsir Al-Qur`an sangat
sedikit. Dan perbedaan pendapat ini di kalangan tabiin -walaupun lebih banyak terjadi jika
dibandingkan dengan kalangan sahabat- akan tetapi dia lebih sedikit jika dibandingan
perbedaan yang terjadi di kalangan orang-orang setelah mereka (tabiin).

Kapan sebuah zaman itu lebih mulia maka persatuan, kesatuan, ilmu, dan penjelasan juga
lebih banyak.

Khilaf di kalangan para ulama salaf dalam masalah tafsir jumlahnya sedikit, sementara
khilaf (perbedaan pendapat) mereka dalam masalah hukum-hukum (fiqhi) lebih banyak
jumlahnya daripada khilaf mereka dalam masalah tafsir. Itupun kebanyakan khilaf yang betul
terjadi di antara mereka, kebanyakannya kembali kepada khilaf yang bersifat tanawwu bukan
khilaf yang bersifat tadhad (bertolak belakang). Khilaf yang bersifat tanawwu ini ada dua
bentuk:
Bentuk yang pertama: Setiap pihak di antara mereka yang berbeda pendapat mengungkapkan
apa yang mereka maksudkan dengan ibarat yang berbeda dengan ibarat pihak lainnya, yang
mana semua ibarat mereka (yang berbeda) itu menunjukkan suatu makna yang berbeda
dengan makna ibarat yang lainnya, padahal sesuatu yang mereka semua coba
mengungkapkannya adalah sesuatu yang sama. Hal ini seperti pada nama-nama yang al-
mutakafi`ah yang berada di antara jenjang al-mutaradifah dan al-mutabayinah.

Setiap nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas zat-Nya sekaligus menunjukkan sifat-
sifat yang terkandung dalam nama tersebut, dan juga menunjukkan sifat yang dikandung oleh
nama lainnya dengan metode al-luzum (kelaziman).
Ini adalah kaidah dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Jika yang dimaksudkan oleh seorang penanya adalah penentuan al-musamma (pemilik
nama) maka kita bisa mengungkapkannya dengan nama yang mana saja dari nama-nama
yang ada jika zat pemilik nama ini sudah diketahui.
Jika yang menjadi tujuan sang penanya adalah mengetahui sifat khusus bagi Allah yang
terkandung dalam nama-Nya, maka harus ada keterangan tambahan yang lebih dari sekedar
menentukan (menyebutkan) al-musamma (pemilik nama). Misalnya dia bertanya dengan Al-
Quddus, As-Salaam, Al-Mu`min, padahal dia sudah mengetahui kalau semua ini adalah
(nama) Allah, hanya saja dia bertanya: Apa makna dari Allah itu Quddus, Salam, Mu`min,
dan semacamnya.

Jika hal ini sudah diketahui maka ketahuilah bahwa para ulama salaf sangat sering
mengungkapkan sesuatu dengan sebuah ibarat yang menunjukkan akan sesuatu tersebut,
walaupun pada ibarat tersebut terdapat sifat yang tidak terdapat pada nama yang lainnya.
Sudah dimaklumi bahwa hal seperti ini bukanlah khilaf tadhad sebagaimana yang
disangkakan oleh sebagian orang.

Walaupun manusia (para ulama, pent.) berbeda pendapat mengenai lafazh umum yang
datang menerangkan sebuah sebab, apakah lafazh umum itu hanya berlaku untuk sebab itu
saja ataukah tidak? akan tetapi tidak ada seorang ulama kaum muslimin pun yang
berpendapat bahwa keumuman Al-Kitab dan As-Sunnah hanya berlaku khusus pada orang
tertentu. Akan tetapi paling tinggi dikatakan, Keumuman dalil tersebut hanya berlaku pada
jenis orang (yang keadaannya, pent.) seperti itu, sehingga keumumannya berlaku dengan
orang yang keadaannya mirip dengan keadaan orang tersebut, dan keumumannya tidak hanya
berdasarkan lafazhnya. Ayat yang (turunnya) mempunyai sebab tertentu jika dia berupa
perintah atau larangan maka ayatnya berlaku bagi orang tersebut dan selainnya yang sama
keadaannya dengan dirinya, dan jika ayatnya berisi pengabaran berupa pujian atau celaan
maka ayatnya mencakup orang tersebut dan selainnya yang sama keadaannya dengan dirinya.

Ucapan mereka, Ayat ini turun berkenaan dengan ini, kadang bermakna itu adalah sebab
turunnya dan kadang bermakna hal itu tercakup dalam makna ayat walaupun bukan
merupakan sebab turunnya, sama halnya kalau dikatakan, Yang dimaksudkan dengan ayat
ini adalah ini.

Jika salah seorang di antara mereka menyebutkan sebuah sebab turunnya sebuah ayat lalu
selainnya menyebutkan sebab yang lainnya maka bisa saja keduanya benar, bahwa ayat
tersebut turun setelah terjadinya sebab-sebab yang mereka sebutkan itu, ataukah ayat tersebut
turun sebanyak dua kali, pertama karena sebab yang ini dan yang kedua karena sebab yang
itu. Kedua jenis pembagian tafsir yang telah kami sebutkan ini -yaitu terkadang dengan
beragamnya nama dan sifat, dan terkadang dengan penyebutan sebahagian dari bagian-bagian
dan macam-macam al-musamma (lafazh), misalnya penyebutan contoh-contohnya-, kedua
jenis inilah yang sangat sering dijumpai dalam penafsiran para pendahulu umat ini, yang
disangka oleh sebagian orang bahwa penafsiran mereka berbeda. Di antara bentuk perbedaan
pendapat yang ada di tengah-tengah mereka adalah pada lafazh yang mengandung dua
kemungkinan makna, apakah karena lafazh itu termasuk lafazh yang musytarik dalam bahasa
Arab, seperti lafazh qaswarah yang bisa bermakna orang yang melempar dan bisa bermaka
singa dan juga lafazh asas yang bisa bermakna datangnya malam dan bisa juga bermakna
berlalunya malam. Ataukah karena lafazh itu pada dasarnya adalah lafazh yang mutawathi` ,
akan tetapi yang dimaksudkan darinya adalah salah satu di antara dua bentuknya atau salah
satu dari dua perkara yang menjadi maknanya, misalnya seperti dhamir-dhamir (kata ganti)
pada firman-Nya, Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. maka jadilah dia
dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (QS. An-
Najm: 8-9)
Karena at-taradif dalam bahasa Arab itu sedikit, adapun dalam Al-Qur`an maka kalau bukan
jarang maka at-taradif seperti itu tidak ada ditemukan.

Dan orang-orang Arab biasa memasukkan (arab: at-tadhmin) ke dalam sebuah fiil (kata
kerja), makna fiil yang lain dan menjadikannya mutaaddi (butuh kepada objek) dengan
taaddi dari fiil yang lain. Dari sini diketahui kelirunya orang yang menjadikan sebagian
huruf bisa menggantikan kedudukan huruf lainnya.

Perbedaan pendapat bisa terjadi kadang dikarenakan dalilnya tersembunyi atau lupa akan
dalilnya, terkadang dalilnya belum pernah dia dengar, terkadang akibat kekeliruan dalam
memahami nash, dan terkadang karena dia meyakini ada dalil lain yang lebih kuat darinya.

Perbedaan pendapat dalam tafsir ada dua jenis: Di antaranya ada yang bersandar pada naql
(penukilan) saja dan di antaranya ada yang diketahui dengan selain itu. Karena ilmu itu ada
dua, apakah dia adalah penukilan yang benar ataukah istidlal (metode pendalilan) yang tepat.
An-naql kadang merupakan nukilan dari al-mashum (Nabi) dan kadang dari selain al-
mashum.
Tujuan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jenis-jenis nukilan, baik yang berasal dari
al-mashum maupun dari selain al-mashum, dan ini adalah jenis (ikhtilaf dalam tafsir) yang
pertama. Di antara nukilan ini ada yang bisa diketahui mana yang shahih dan mana yang
dhaif (lemah) dan di antaranya ada yang tidak bisa diketahui. Bagian kedua dari jenis nukilan
ini yaitu semua nukilan yang tidak bisa kita pastikan kebenarannya, seluruhnya adalah
masalah-masalah yang tidak ada manfaatnya dan berbicara tentangnya adalah pembicaraan
yang tidak berguna. Adapun apa butuh diketahui oleh kaum muslimin, maka Allah Taala
telah meletakkan dalil (petunjuk) dari kebenaran tersebut.

Karenanya kapan para tabiin berbeda pendapat maka ucapan sebagian mereka bukanlah
hujjah untuk menolak pendapat sebagian lainnya. Adapun israiliyat yang dinukil dari
sebagian sahabat dengan sanad yang shahih maka hati saya lebih tenang kepadanya
dibandingkan apa yang dinukil dari sebagian tabiin.

Adapun jenis yang pertama yaitu penukilan yang bisa diketahui mana yang shahih di
antaranya, maka semuanya ada pada apa saja yang dibutuhkan, walillahil hamd.

Intinya, Allah telah meletakkan dalil-dalil pada setiap nukilan-nukilan yang dibutuhkan
dalam agama, yang dengannya akan menjadi jelas mana yang shahih di antaranya dan mana
yang bukan.

Jika hadits-hadits mursal diriwayatkan dari beberapa jalan dan di dalamnya tidak ada unsur
perkumpulan dengan sengaja atau tidak sengaja (untuk mengarang hadits tersebut), maka
hadits itu pasti shahih.

Dengan metode inil bisa diketahui benarnya semua penukilan -yang jumlah sanadnya
berbilang lagi berbeda-beda- walaupun sanad kabar itu secara tersendiri tidaklah cukup (mtuk
menjadikannya shahih, pent.), apakah karena haditsnya mursal ataukah karena lemahnya
hafalan perawinya.

Kaidah asal ini hendaknya diketahui, karena dia adalah kaidah yang bermanfaat dalam
pemastian (benar tidaknya) banyak nukilan dalam hadits, tafsir, al-maghazi, serta apa-apa
yang dinukil berupa ucapan dan perbuatan orang-orang, dan selainnya.
Intinya, jika ada sebuah hadits yang panjang diriwayatkan dari dua jalan sanad yang
berbeda -misalnya- tanpa adanya kesepakatan sebelumnya maka tidak mungkin hadits itu
keliru sebagaimana tidak mungkin hadits itu adalah hadits yang palsu.

Karena mayoritas hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim adalah hadits
yang dipastikan bahwa Nabi r mengucapkannya.

Karenanya mayoritas ulama dari seluruh kelompok berpendapat bahwa riwayat satu orang,
jika umat telah sepakat untuk menerimanya, membenarkannya, dan mengamalkannya maka
hadits tersebut mengharuskan adanya ilmu (keyakinan) terhadapnya.

Sebagaimana mereka menjadikan hadits rawi yang jelek hafalannya sebagai syahid dan
itibar, maka mereka juga terkadang melemahkan hadits-hadits seorang rawi yang tsiqah,
jujur lagi kuat hafalannya -yang nampak bagi mereka kalau dalam hadits itu mereka (para
perawi tsiqah) keliru-, dengan beberapa argumen yang mereka jadikan sebagai alasan (dalam
melemahkannya). Mereka menamakan ilmu ini dengan nama ilmu ilal (cacat-cacat
tersembunyi dari) hadits, dan ini termasuk dari ilmu-ilmu mereka (para ahli hadits) yang
paling tinggi kedudukannya.

Manusia dalam masalah ini ada dua kelompok (yang keliru, pent.): Kelompok ahli kalam
dan yang semisalnya dari kalangan orang-orang yang jauh dari pengenalan terhadap hadits
dan ahli hadits, dia tidak bisa membedakan antara yang shahih dengan yang lemah, sehingga
diapun ragu akan keshahihan beberapa hadits atau ragu dalam memastikan kebenarannya
padahal hadits-hadits tersebut sudah diketahui secara pasti akan keshahihannya di kalangan
para ulama ahli hadits. Kelompok yang lain dari kalangan orang-orang yang mengklaim
mengikuti hadits dan mengamalkannya, sehingga setiap kali mereka menemukan suatu lafazh
dalam sebuah hadits yang telah diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah atau dia melihat sebuah
hadits dengan sanad yang zhahirnya shahih, dia selalu menjadikannya termasuk jenis hadits
yang dipastikan keshahihannya oleh para ulama ahli hadits. Sampai-sampai jika hadits (yang
lahiriahnya shahih) itu bertentangan dengan hadits yang shahih lagi masyhur, maka dia akan
memaksakan untuk mentakwilnya dengan takwil-takwil yang terkesan dipaksakan, atau dia
menjadikan hadits itu sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu, padahal para ulama ahli
hadits memastikan bahwa hadits semacam itu keliru.
Sebagaimana hadits mempunyai tanda-tanda yang dengannya diketahui dia benar bahkan
terkadang bisa dipastikan kebenarannya, maka demikian pula dia mempunyai tanda-tanda
yang dengannya diketahui dia dusta bahkan dipastikan kalau dia dusta.

Hadits-hadits palsu dalam ilmu tafsir jumlahnya sangat banyak, seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Ats-Tsalabi, Al-Wahidi, dan Az-Zamakhsyari dalam masalah fadha`il
semua surah dalam Al-Qur`an, surah per surah, karena para ulama sepakat bahwa dia adalah
hadits yang lemah.

Adapun jenis yang kedua dari dua sebab terjadinya ikhtilaf , yaitu penafsiran yang diketahui
dengan istidlal, bukan dengan penukilan. Kesalahan yang terjadi pada jenis ini
kebanyakannya terjadi dari dua arah (yang akan disebutkan, pent.), yang keduanya muncul
setelah penafsiran para sahabat, tabiin, dan yang mengikuti mereka dengan baik.

Sisi (kesalahan) yang pertama: Kaum yang meyakini makna-makna tertentu lalu mereka
mencoba untuk mengarahkan lafazh-lafazh Al-Qur`an kepada makna-makna tersebut.
Kedua: Kaum yang menafsirkan Al-Qur`an dengan apa saja yang diinginkan oleh orang-
orang yang berbicara dengan bahasa Arab dengan lafazh tersebut -menurut mereka-, tanpa
memperhatikan Siapa yang mengucapkan Al-Qur`an (Allah), siapa yang Al-Qur`an
diturunkan kepadanya, dan siapa yang diajak bicara dengannya (para sahabat).

Kelompok yang pertama ada dua jenis: Terkadang mereka menolak apa yang
ditunjukkannya dan yang diinginkan oleh lafazh Al-Qur`an, dan terkadang mereka
mengarahkan lafazh tersebut kepada makna yang tidak ditunjukkan dan tidak diinginkan oleh
lafazh tersebut. Dan pada kedua jenis ini, terkadang makna yang menjadi tujuan mereka
untuk ditolak atau ditetapkan adalah kebatilan sehingga kesalahan mereka dalam hal dalil dan
makna dalil, dan terkadang makna yang menjadi tujuan mereka itu benar sehingga kesalahan
mereka dalam hal dalil bukan dari makna dalil (pendalilan).

Intinya, mereka semua meyakini sebuah pendapat kemudian mengarahkan lafazh-lafazh Al-
Qur`an kepadanya, mereka tidak mempunyai salaf (pendahulu) dari kalangan para sahabat
dan yang mengikuti mereka dengan baik dan tidak pula dari para imam kaum muslimin,
dalam pendapat mereka dan tidak pula dalam penafsiran mereka.

Di antara mereka ada yang bagus ibaratnya lagi fasih dalam berbicara akan tetapi
menyusupkan bidah di dalam ucapannya -dalam keadaan banyak orang yang tidak
mengetahuinya-, seperti penulis kitab Al-Kasysyaf dan yang semacamnya. Sampai-sampai
penafsiran-penafsiran mereka yang batil ini tersebar luas dan laris di tengah orang-orang yang
tidak meyakini kebatilan.

Secara umum, barangsiapa yang berpaling dari mazhab para sahabat dan tabiin dan
berpaling dari penafsiran mereka kepada penafsiran yang bertentangan dengannya maka dia
adalah orang yang melakukan kesalahan bahkan dia adalah seorang mubtadi, tapi jika dia
seorang mujtahid maka kesalahannya diampuni.

Sudah dimaklumi bersama bahwa setiap orang yang menyelisihi ucapan mereka pastilah
akan menyebutkan suatu syubhat (kerancuan): Baik syubhat aqliyah (logika) maupun syubhat
samiyah (dalil nash), sebagaimana yang dipaparkan pada tempatnya.

Tujuan dari semua ini adalah untuk mengingatkan sebab-sebab perbedaan pendapat dalam
tafsir, bahwa di antara sebab terbesarnya adalah bidah-bidah yang batil dimana para
pelakunya mengajak untuk memalingkan Al-Qur`an dari maknanya yang sebenarnya. Mereka
menafsirkan ucapan Allah dan Rasul-Nya r dengan selain apa yang diinginkan darinya dan
mereka mentakwilnya dengan takwil yang tidak benar.

Adapun mereka yang salah dalam hal dalil tapi tidak dalam madlul maka contohnya seperti
kebanyakan orang-orang Shufiah, tukang-tukang ceramah, para fuqaha`, dan selain mereka.
Mereka menafsirkan Al-Qur`an dengan makna-makna yang benar akan tetapi Al-Qur`an (ayat
yang mereka tafsirkan tersebut, pent.) tidak menunjukkan hal tersebut.

Metode tafsir yang paling tepat dalam hal ini adalah menafsirkan (ayat) Al-Qur`an dengan
(ayat) Al-Qur`an (lainnya). Jika kamu tidak sanggup melakukan hal tersebut maka hendaknya
kamu mencari As-Sunnah.

Jika kita tidak menemukan penafsiran dari Al-Qur`an dan tidak juga dari sunnah maka kita
kembali kepada ucapan para sahabat.
Hadits-hadits israiliyat ada tiga jenis:
Yang pertama adalah: Apa yang kita ketahui kebenarannya berdasarkan dalil yang ada dalam
syariat kita yang menyatakan kebenarannya, maka hadits itu juga benar.
Yang kedua adalah: Apa yang kita ketahui kedustaannya berdasarkan syariat kita yang
bertentangan dengannya.
Yang ketiga adalah: Apa yang tidak dikomentari oleh syariat kita, bukan dari jenis yang
pertama dan bukan pula dari jenis yang kedua, maka kita tidak boleh membenarkannya dan
tidak juga mendustakannya, akan tetapi boleh menceritakannya berdasarkan dalil yang telah
berlalu. Kebanyakan hadits jenis yang ketiga ini hanya berisi hal-hal yang tidak ada
manfaatnya dalam hal keagamaan.

Ini adalah metode terbaik dalam membawakan perbedaan pendapat, yaitu menyebutkan
semua pendapat yang ada dalam masalah tersebut, lalu disebutkan mana pendapat yang benar,
lalu membantah pendapat yang batil, lalu disebutkan manfaat dan hasil dari perbedaan
pendapat tersebut, agar perbedaan dan perselisihan pendapat itu tidak berkepanjangan pada
apa-apa yang tidak ada manfaatnya sehingga bisa melalaikan dari sesuatu yang lebih penting
daripada itu.
Adapun menukil perbedaan pendapat dalam sebuah masalah lalu semua pendapat tidak
disebutkan di situ maka ini adalah penukilan yang kurang, karena bisa saja kebenaran itu
terdapat pada pendapat yang dia tidak sebutkan. Atau dia menukil perbedaan pendapat dan
membiarkannya begitu saja tanpa menyebutkan mana pendapat yang benar, maka ini juga
nukilan yang kurang. Jika dia menguatkan pendapat yang tidak benar dengan sengaja maka
dia telah berdusta, atau karena kejahilan maka dia telah bersalah.
Demikian halnya orang yang menyebutkan perbedaan pendapat pada permasalahan yang
tidak ada manfaatnya atau dia menukil banyak pendapat yang berbeda-beda ibaratnya akan
tetapi sebenarnya semua pendapat ini kembalinya kepada satu atau dua pendapat saja, maka
orang seperti ini telah membuang-buang waktunya dan memperbanyak apa-apa yang tidak
benar, maka dia bagaikan orang yang memakai dua pakaian kedustaan.

Jika kamu tidak mendapatkan penafsiran sebuah ayat di dalam Al-Qur`an, tidak juga dalam
sunnah, dan kamu juga tidak mendapatkannya dari para sahabat, maka banyak di kalangan
imam yang kembali dalam masalah ini kepada ucapan-ucapan para tabiin.

Syubah bin Al-Hajjaj dan selainnya berkata, Ucapan para tabiin dalam masalah furu
(cabang/fiqhi) bukanlah dalil, maka bagaimana bisa dia menjadi dalil dalam tafsir.
Maksudnya adalah bahwa dia bukanlah dalil atas ulama lain yang menyelisihinya, dan ini
benar. Adapun jika mereka bersepakat pada suatu perkara maka tidak diragukan kalau dia
adalah dalil yang kuat.

Adapun menafsirkan Al-Qur`an sekedar dengan pendapat maka itu adalah haram.

Karenanya barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur`an dengan pendapatnya maka dia telah
membebani dirinya pada apa-apa yang dia tidak punyai ilmu padanya, dan dia telah
menempuh jalan yang dia tidak diperintahkan untuk menjalaninya. Sehingga walaupun
kebetulan ucapannya benar akan tetapi dia tetap bersalah karena dia tidak mendatangi ilmu
ini dari pintunya. Seperti orang yang menjadi hakim di tengah manusia dengan kebodohan,
maka dia berada dalam neraka walaupun hukumnya sebenarnya sudah benar, hanya saja
kesalahannya lebih ringan dibandingkan orang yang hukumnya salah, wallahu alam.
Maka semua atsar sahabat ini dan yang semisalnya dari para imam salaf diarahkan
maknanya bahwa mereka keberatan untuk berbicara dalam tafsir Al-Qur`an dengan apa yang
mereka tidak punya ilmu padanya. Adapun yang berbicara di dalamnya dengan apa yang dia
ketahui darinya dari sisi bahasa dan syariat maka tidak ada masalah baginya.
Karenanya telah diriwayatkan dari mereka semua dan selainnya, ucapan-ucapan dalam tafsir,
dan tidak ada kontradiksi di antara kedua nukilan ini, karena mereka berbicara pada apa yang
mereka ketahui dan mereka diam dari apa yang mereka tidak ketahui.

[Muqaddimah Syarh Muqaddimah fii Ushul At-Tafsir Ibnu Taimiah, syarh Asy-Syaikh Ibnu
Al-Utsaimin]

Incoming search terms:

kaidah tafsir
ilmu tafsir alquran

kaidah-kaidah tafsir

Ilmu Tafsir Al-Quran

También podría gustarte