Está en la página 1de 2

Perihal

Masa Depan yang Misterius


(bagian 1)

Karyati namanya, 69 tahun usianya. Perempuan yang sehari-hari bekerja


sebagai pemulung barang-barang bekas ini tinggal di sebuah perdesaan.
Letaknya di Desa Pondok Wuluh, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo,
Jawa Timur. Kendatipun penghasilan nenek renta ini tidaklah seberapa, ia
dapat menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Jerih payahnya membawa
nasibnya ke kota impian, Mekah.
Ah, rasanya itu mustahil...! Tapi, sayangnya, Karyati adalah sosok yang
sungguh-sungguh nyata. Situs resmi PBNU NU-Online menayangkan laporan
sosok ini empat tahun lalu dengan judul Kisah Seorang Pemulung Naik Haji
menjelang keberangkatannya ke Mekkah, 29 September 2013, melalui
Embarkasi Juanda, Surabaya. Wartawan media tersebut mengutip langsung
penuturan nenek kita:
Memang untuk mewujudkan impian naik haji ini penuh perjuangan. Karena
saya harus menabung selama 20 tahun lamanya. Tetapi saya yakin Allah
pasti mengabulkan doa saya untuk bisa melihat Kabah secara langsung.
(NU-Online, 19 September 2013; tambahan cetak miring oleh saya sendiri)
Penuturan Karyati itu amatlah menarik bagi kita. Dunia adalah ayat
kehidupan. Kisahnya adalah sebuah kesaksian. Sejarahnya adalah hikmah
yang mengandung pelajaran. Begitulah, kalau tidak keliru, rangkaian kalimat
dari orang-orang bijak di masa lampau. Lantas, apa pelajaran yang dapat
kita ambil dari kisah hidup Karyati?
Saat remaja/muda, Karyati mungkin tidak pernah membayangkan dirinya
dapat berada di Mekah. Maklum, dia tinggal di kampung yang berjarak
ribuan kilometer dari kota Mekah, di negara Saudi Arabia. Ia juga tidak
sedang berada di Mekah, sehingga tidak pernah melihat Kota Mekah. Nyaris
tidak ada gambaran apapun bahwa dia dapat sampai di Mekah. Bahkan,
mungkin, Mekah adalah kota yang tak terpikirkan, tanah yang tak
terbayangkan di benaknya untuk dikunjungi, kecuali saat dia mengaji tata
cara melaksanakan ibadah haji. Singkat kata, di benak Karyati tidak ada
gambaran tentang masa depan.
Entah bagaimana, menurut laporan NU-Online, sejak 2002 nenek kita ini
memendam impian (dreaming), keinginan, cita-cita naik haji. Jelas Karyati
belum pernah ke Mekah selama periode itu , tetapi ada ruang di benaknya
dimana gambaran untuk naik haji, bisa melihat Kabah secara langsung, di
masa depan muncul dan mulai ia rawat. Selama 20 tahun, cita-cita itu
terpendam di benaknya. Ia terus memelihara gambaran naik haji di masa
depan, seolah-olah masa depan itu tanpa henti menarik dirinya.
Dus, Anda dan kita lalu dapat memahami secara lebih mendalam bahwa
Karyati memiliki persepsi bahwa di dalam kehidupan ini ada dua jenis
realitas, yakni: kenyataan yang faktual terjadi (factual reality) dan kenyataan
yang mungkin terjadi (possible reality). Kenyataan yang faktual adalah
kenyataan bahwa ia sekarang tidak/belum naik haji; sedangkan kenyataan
yang mungkin terjadi adalah kenyataan bahwa ia dapat naik haji di esok hari,
entah kapan.
Karyati menyadari bahwa pengalaman spiritual naik haji tidak dapat terjadi
di masa kini (disini dan sekarang saat impian itu muncul), dan sudah pasti
mustahil terjadi di masa lampau yang sudah jauh lewat (saat ia masih
remaja). Meminjam ungkapan Ziauddin Sardar, waktu masa depan-lah satu-
satunya wilayah dimana gambaran naik haji di benak Karyati tersebut
bersifat mungkin. Gambaran tentang masa depan yang mungkin (an image
of the possible) seperti energi bagi Karyati yang menarik dirinya untuk
membuat yang mungkin menjadi yang faktual.
Pengalaman Karyati ini nampaknya juga dialami oleh pribadi-pribadi lain dan
masyarakat dimanapun. Untuk membangun masa depan, individu dan
masyarakat membutuhkan sebuah gambaran, sebuah visi, mengenai masa
depannya. Bahkan di dalam perkembangan budaya dan kehidupan umat
manusia, gambaran atau visi tentang masa depan ini mengambil peranan
yang amat penting. Masyarakat kontemporer misalnya, tidak bisa dijelaskan
sekadar sebagai hasil dorongan dari masa lampau. Tetapi ia juga amat
dipengaruhi oleh tarikan masa depan yang menawarkan aneka kemungkinan
yang baru dan lebih menggairahkan.
Kenyataan faktual yang telah/sedang terjadi, umpamanya luka traumatik
masa lalu, kekurangan-kekurangan diri, ketakutan-ketakutan sosial dan
kecemasan-kecemasan politik yang terjadi pada masa kini turut memberikan
daya dorong kepada individu dan masyarakat tersebut untuk keluar dari
keadaan diri yang telah/sedang dialami. Sementara sebuah gambaran atau
visi mengenai masa depan lebih baik yang diinginkan (preferable future)
oleh mereka mempunyai peranan penting di dalam menyediakan suatu
magnet menuju kemajuan. Mungkin daya magnetik ini laksana sebuah
tarikan kerinduan. [bersambung)

Mh Nurul Huda, Dosen Sosiologi UNU Jakarta

También podría gustarte