Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Kelompok D9
Email : Semester7kelompokD9@gmail.com
Alamat Korespondensi :
1
SKENARIO 1
Sesosok mayat dikirimkan ke Bagian Kedokteran Forensik FKUI/RSCM oleh sebuah Polsek di
Jakarta. Ia adalah tersangka pelaku pemerkosaan terhadap seorang remaja putra yang kebetulan
anak dari seorang pejabat kepolisian. Berita yang dituliskan di dalam surat permintaan visum et
repertum adalah bahwa laki-laki ini mati karena gantung diri di dalam sel tahanan Polsek.
Pemeriksaan yang dilakukan keesokan harinya menemukan bahwa pada wajah mayat terdapat
pembengkakan dan memar, pada punggungnya terdapat beberapa memar berbentuk dua garis
sejajar (railway hematoma) dan di daerah paha di sekitar kemaluannya terdapat beberapa luka
bakar berbentuk bundar berukuran diameter kira-kira satu sentimeter. Di ujung penisnya terdapat
luka bakar yang sesuai dengan jejas listrik. Sementara itu, terdapat pula jejas jerat yang
melingkari leher dengan simpul di daerah kiri belakang yang membentuk sudut ke atas.
Pemeriksaan bedah jenazah menemukan resapan darah yang luas di kulit kepala, perdarahan
yang tipis di selaput keras otak, sembab otak besar, tidak terdapat resapan darah di kulit leher
tetapi sedikit resapan darah di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan gondok sisi kiri, sedikit
busa halus di dalam saluran napas, dan sedikit bintik-bintik perdarahan di permukaan kedua paru
dan jantung. Tidak terdapat patah tulang. Dokter mengambil beberapa contoh jaringan untuk
pemeriksaan laboratorium.
Keluarga korban datang ke dokter dan menanyakan tentang sebab-sebab kematian korban karena
mereka mencurigai adanya tindakan kekerasan selama di tahanan Polsek. Mereka melihat sendiri
adanya memar-memar di tubuh korban.
PENDAHULUAN
Di masyarakat, kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan
nyawa manusia. Peristiwa ini akan mendatangkan perkara hukum, yang dimulai dari pengusutan
dan penyelidikan masalah sampai pada akhirnya berlanjut pada pemutusan perkara di
pengadilan. Dalam hal terdapat korban manusia, baik yang masih hidup maupun yang meninggal
akibat peristiwa tersebut, diperlukan penjelasan dari seorang ahli dalam bidang kedokteran
kepada aparat penegak hukum sebagai dasar pertimbangan peristiwa tersebut. Dokter akan
memberikan laporan dalam bentuk tertulis yang disebut sebagai visum et repertum.
Salah satu cabang ilmu kedokteran yang membantu peradilan dalam rangka penegakkan
hukum adalah ilmu kedokteran forensik. Pihak yang menengani suatu kasus peradilan tentunya
boleh meminta keterangan ahli dari para ahli forensik ini. Objeknya sendiri bisa korban yang
masih hidup maupun sudah meninggal. Dengan adanya kedokteran forensik ini, nantinya akan
para penegak hukum mampu mempertimbangkan dan menjunjung tinggi keadilan berdasarkan
dengan temuan-temuan yang memiliki objektivitas yag tinggi. Diharapkan pelaku, dapat
ditemukan secara akurat sehingga akan mempermudah proses hukum.
2
PEMBAHASAN
Aspek Hukum dan Medikolegal
1.Kewajiban Dokter Membantu Peradilan
Pasal 133 KUHAP
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan
atau pemeriksaan bedah mayat.
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label
yang memuat identitas mayat, dilak dengan cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau
bagian lain badan mayat.
Penjelasan Pasal 133 KUHAP
(2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.
Pasal 179 KUHAP
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau doktera tau ahli
lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenanar-benarnya menurut pengetahuan
dalam bidang keahliannya.1
2. Bentuk Bantuan Dokter Bagi Peradilan Dan Manfaatnya
Pasal 183 KUHAP
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannnya1.
3
Pasal 184 KUHAP
(1)Alat bukti yang sah adalah: Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan terdakwa
4
Pasal 224 KUHP
Barangsiapa yang dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa,
dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban yang menurut undang-undang harus
melakukannya:
1. Dalam perkara pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan.
2. Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 bulan
Barangsiapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau jurubahasa, tidak datang
secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 1 PP No 10/1966
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang
tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan
kedokteran.
Pasal 2 PP No 10/1966
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3,
kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada PP ini menentukan
lain.
Pasal 3 PP No 10/1966
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan1.
Pasal 4 PP No 10/1966
5
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak atau
tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat
melakukan tindakan administrative berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan.
Pasal 5 PP No 10/1966
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang disebut dalam
pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan berdasarkan
wewenang dan kebijaksanaannya.
Pasal 17 PP No 18/1981
Dilarang memperjual belikan alat dan atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18 PP No 18/1981
Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ke
dan dari luar negeri.
Pasal 19 PP No 18/1981
Larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dan pasal 18 tidak berlaku untuk keperluan
penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
6
Pasal 70 UU Kesehatan
(2) Bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat1.
ASPEK HUKUM
Kejahatan Terhadap Tubuh dan Jiwa Manusia
Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti:
-jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut;
- tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
- kehilangan salah satu pancaindra;
- mendapat cacat berat;
- menderita sakit lumpuh;
-terganggunya daya piker selama empat minggu lebih;
-gugur atau matinya andungan seorang perempuan1
7
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama7 tahun.
4) Dengan penganiyaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Tempat kejadian perkara adalah tempat ditemukannya benda bukti dan/ atau tempat
terjadinya peristiwa kejahatan atau yang diduga kejahatan menurut suatu kesaksian. Meskipun
kelak terbukti bahwadi tempat tersebut tidak pernah terjadi suatu tindak pidana, tempat tersebut
tetap disebut sebagai TKP. Disini hanya akan dibicarakan TKP yang berhubungan dengan
manusia sebagai korban, seperti kasus penganiyaan, pembunuhan dan kasus kematian mendadak
(dengan kecurigaan).2
Dasar pemeriksaan adalah hexameter, yaitu menjawab 6 pertanyaan; apa yang terjadi,
siapa yang tersangkut, di mana dan kapan terjadi, bagaimana terjadinya dan dengan apa
melakukannya, serta kenapa terjadi peristiwa tersebut? Pemeriksaan kedokteran forensik di TKP
harus mengikuti ketentuan yang berlaku umum pada penyidikan di TKP, yaitu menjaga agar
tidak mengubah keadaan TKP. Semua benda bukti yang ditemukan agar dikirim ke laboratorium
setelah sebelumnya diamankan sesuai prosedur. Selanjutnya dokter dapat memberikan
pendapatnya dan mendiskusikannya dengan penyidik untuk memperkirakan terjadinya peristiwa
dan merencanakan langkah penyidikan lebih lanjut.
Bila korban masih hidup maka tindakan yang utama dan pertama bagi dokter adalah
menyelamatkan korban dengan tetap menjaga keutuhan TKP. Bila korban telah mati, tugas
dokter adalah menegakkan diagnosis kematian, memperkirakan saat kematian. Memperkirakan
sebab kematian, memperkirakan cara kematian, menemukan dan mengamankan benda bukti
8
biologis dan medis.Saat kematian diperkirakan pada saat itu dengan memperhatikan prinsip-
prinsip perubahan tubuh pasca mati. Cara kematian memang tidak selalu mudah diperkirakan,
sehingga dalam hal ini penyidik menganut azas bahwa segala yang diragukan harus dianggap
mengarah ke adanya tindak pidana lebih dahulu sebelum nanti dapat dibuktikan
ketidakbenarannya.2
Pemeriksaan dimulai dengan membuat foto dan sketsa TKP, termasuk penjelasan
mengenai letak dan posisi korban, benda bukti dan interaksi lingkungan. Mayat yang ditemukan
dibungkus dengan plastik atau kantung plastik khusus untuk mayat setelah sebelumnya kedua
tangannya di bungkus plastik sebatas pergelangan tangan. Pemeriksan sidik jari oleh penyidik
dapat dilakukan sebelumnya.
Benda bukti yang ditemukan dapat berupa pakaian, bercak mani, bercak darah, rambut,
obat, anak peluru, selongsong peluru, benda yang diduga senjata diamankan dengan
memperlakukannya sesuai prosedur, yaitu di'pegang' dengan hati-hati serta dimasukkan ke dalam
kantong plastik, tanpa meninggalkan jejak sidik jari baru. Benda bukti yang bersifat cair
dimasukkan ke dalam tabung reaksi kering. Benda bukti yang berupa bercak kering di atas dasar
keras harus dikerok dan dimasukkan ke dalam amplop atau kantong plastik, bercak pada kain
diambil seluruhnya atau bila bendanya besar digunting dan dimasukkan ke dalam amplop atau
kantong plastik. Benda-benda keras diambil seluruhnya dan dimasukkan ke dalam kantong
plastik.
Semua benda bukti di atas diberi label dengan keterangan tentang jenis benda, lokasi penemuan,
saat penemuan dan keterangan lain yang diperlukan.
Mayat dan benda bukti biologis/medis, termasuk obat atau racun, dikirimkan ke Instalasi
Kedokteran Forensik atau ke Rumah Sakit Umum setempat untuk pemeriksaan lanjutan. Apabila
tidak tersedia sarana pemeriksaan laboratorium forensik, benda bukti dapat dikirim ke
Laboratorium Kepolisian atau ke Bagian Kedokteran Forensik. Benda bukti bukan biologis dapat
langsung dikirim ke Laboratorium Kriminal/Forensik Kepolisian Daerah setempat. Perlengkapan
yang sebaiknya dibawa pada saat pemeriksaan di TKP adalah kamera, film berwarna dan hitam-
putih (untuk ruangan gelap), lampu kilat, lampu senter, lampu ultra violet, alat tulis, tempat
menyimpan benda bukti berupa amplop atau kantong plastik, pinset, skalpel, jarum, tang, kaca
pembesar, termometer rektal, termometer ruangan, sarung tangan, kapas, kertas saring serta alat
tulis (spidol) untuk memberi label pada benda bukti.2
Tanatologi
Tanatologi merupakan ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kematian
yaitu: definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi kematian dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi sirkulasi dan
respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya perkembangan teknologi ada alat yang
bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian
berkembang menjadi kematian batang otak. Mati adalah kematian batang otak. Dalam tanatologi
dikenal beberapa istilah tentang mati yaitu :
9
a. Mati somatis : terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem pernafasan, yang menetap. Secara
klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak
terdengar, tidak ada gerak pernafasan dan suara nafas tidak terdengar pada auskultasi.
b. Mati suri : adalah terhentinya ketiga sistim kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat
kedokteran sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa
ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan
obat tidur,tersengat listrik dan tenggelam.
c. Mati seluler: adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah
kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda,
sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan.
Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ.
d. Mati serebral : adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak
dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu pernafasan dan kardiovaskular masih
berfungsi dengan bantuan alat.
e. Mati otak : adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neronal intrakranial yang
ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak maka dapat
dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi sehingga alat bantu
dapat dihentikan.2
10
2. Kaku mayat (rigor motis).
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler
masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi. Kaku
mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Dimana pada pemeriksaan pada kedua
jenasah pengusahan dan istri nya tersebut ditemukan adanya kaku mayat. Kaku mayat mulai
tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke
arah dalam (sentripetal).
6. Mummifikasi.
Proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi
pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat mengehentikan pembusukan. Jaringan berubah
menjadi keras dan kering, berwarnagelap berkeriput dan tidak membusuk karena kuman
tidak dapat berkembang pada lingkungan yang kering.2
Traumatologi
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta hubungannya
dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang dimaksudkan dengan luka adalah suatu
keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. Berdasarkan sifat serta
penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan yang bersifat mekanik, fisika dan kimia.
11
1. Mekanik
a. Kekerasan oleh benda tajam
b. Kekerasan oleh benda tumpul
c. Tembakan senjata api
2. Fisika
a. Suhu (dingin dan panas)
b. Listrik dan petir
c. Perubahan tekanan udara
d. Akustik
e. Radiasi
3. Kimia
a. Asam atau basa kuat
Pada perdarahan tepi perdarahan tidak dijumpai pada lokasi yang bertekanan, tetapi
perdarahan akan menepi sehingga bentuk perdarahan sesuai dengan bentuk celah antara kedua
kembang yang berdekatan (cetakan negatif). Umur memar dapat dilihat dari perubahan
warnanya. Pada saat perlukaan, memar berwarna merah, lalu berubah menjadi ungu atau hitam
dan setelah 4 sampai 5 hari akan berwarna hijau yang kemudian berubah menjadi kuning dalam
7 sampai 10 hari dan akhirnya menghilang dalam 14 sampai 15 hari. Perubahan warna terjadi
mulai dari tepi ke arah tengah. Hematom antemortem dapat dibedakan dari lebam mayat dengan
melakukan penyayatan kulit. Pada hematom antemortem akan dijumpai adanya pembengkakan
dan infiltrasi darah merah kehitaman dalam jaringan, sedang pada lebam mayat warna merah
tampak merata. 2
Pada cedera kepala, tulang tengkorak yang tidak terlindung oleh kulit hanya mampu
menahan benturan sampai 40pound/inch2, tetapi bila terlindung oleh kulit, maka dapat menahan
sampai 425 900 pound/inch2. Selain kelainan pada kulit kepala dan patah tulang tengkorak,
cedera kepala dapat pula mengakibatkan perdarahan dalam rongga tengkorak berupa perdarahan
epidural, subdural dan subarachnoid, kerusakan selaput otak dan jaringan otak.2
Perdarahan epidural sering terjadi pada usia dewasa sampai usia pertengahan, dan sering
dijumpai pada kekerasan benda tumpul di daerah pelipis (kurang lebih 50%) dan belakang kepala
(10-15%), akibat garis patah yang melewati sulcus arteria meningea, tetapi perdarahan epidural
tidak selalu disertai patah tulang.
Luka bakar terjadi akibat kontak kulit dengan benda bersuhu tinggi. Kerusakan kulit yang
terjai bergantung pada tinggi suhu dan lama kontak. Kontak kulit dengan uap air panas selama 2
detik mengakibatkan suhu kulit pada kedalaman 1mm dapat mencapai 65 derajat Celcius,
sedangkan pada ledakan bensin dalam waktu singkat mencapai suhu 47 derajat Celcius. Luka
bakar sudah dapat terjadi pada suhu 43-44 derajat Celcius bila kontak cukup lama. Luka bakar
dapat dikategorikan ke dalam 4 derajat luka bakar, yaitu :
I. Eritema
II. Vesikel dan bullae
III. Nekrosis koagulatif
IV. Karbonisasi2,3
Faktor yang berperan pada cedera listrik ialah tegangan (Volt), kuat arus (ampere),
tahanan kulit (ohm), luas dan lama kontak. Banyaknya arus listrik yang mengalir menuju tubuh
manusia menentuka juga fatalitas seseorang. Makin besar arus, makin berbahaya pada
13
kelangsungan hidup. Kuat arus yang masih memungkinkan bagi tangan yang memegangnya
untuk melepaskan diri disebut let go current yang besarnya berbeda-beda untuk setiap individu.
Pada luka akibat trauma listrik, gambaran makroskopis jejas listrik pada daerah kontak
berupa kerusakan lapisan tanduk kulit sebagai luka bakar dengan tepi yang menonjol di
sekitarnya terdapat daerah yang pucat dikelilingi oleh kulit yang hiperemi. Bentuknya sering
sesuai dengan benda penyebabnya. Jejas listrik bukanlah tanda intravital karena dapat juga
ditimbulkan pada kulit mayat atau pasca mati, namun tanpa daerah hiperemi.
Asfiksia mekanik
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara
pernafasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbon dioksida (hiperkapnea).2,3 Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen
(hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Dari segi etiologi asfiksia dapat disebabkan oleh hal
berikut:
1. Penyebab alamiah : misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkn emboli udara vena, emboli lemak,pneumotoraks bilateral; sumbatan atau
halangan pada saluran nafas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya
barbiturat,narkotika.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang memasuki
saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya :
a. Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas : pembekapan (smothering) dan penyumbatan
(gagging dan choking)
b. Penekanan dinding saluran pernafasan : penjeratan (strangulation), pencekikan (manual
strangulation, throttling) dan gantung (hanging)
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
d. Saluran pernafasan terisi air (drowning)
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan dalam 4 fase yaitu :
1. Fase dispnea : penurunan kadar oksigen sel darah merah dan pemnimbunan CO2 dalam plasma
akan merangsang pusat pernafasan di medula oblongata sehingga amplitudo dan frekuensi
pernafasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda
sianosis terutama pada muka dan tangan.
2. Fase konvulsi : akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik.
3. Fase apnea : depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan dapat
berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan
sperma,urin, dan tinja.
14
4. Fase akhir : terjadi paralisis pusat pernafasan yang lengkap. Pernafasan berhenti setelah
kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat
setelah pernafasan berhenti.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir,ujung-ujung jari dan
kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk
lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO 2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisisn
dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Terdapat busa halus pada
hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernafasan pada fase 1 yang disertai
sekresi selaput lendir saluran nafas bagian atas. Gambaran perbendungan pada mata berupa
pelebaran pembuluh darah konjungtivas bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Selain itu
hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan
pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.2,3 Kapiler
yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar misalnya pada konjungtiva
bulbi,pelpebra dan subserosa kadang dijumpai pada kulit wajah.
Pada pembedahan jenazah korban mati akibat asfiksi, kelainan yang umum ditemukan adalah :
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer karena fibrinolisin darah yang meningkat pasca mati
2. Busa halus di dalam saluran pernafasan
3. Perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat, berwarna
lebih gelap, dan pengirisan banyak mengeluarkan darah
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung
daerah aurikuloventrikular,subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika
dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam.
5. Edema paru
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring langsung atau tidak
langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid .
Pada kasus penjeratan atau strangulation, yang dilakukan adalah penekanan benda asing
berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen,kawat, kabel , kaos kaki dan sebagainya. Melingkari
leher atau mengikat leher yang makin lama makin kuat sehingga saluran pernafasan tertutup.
Penjeratan biasanya adalah pembunuhan, berbeda dengan gantung diri yang biasanya bunuh diri.
Mekanisme kematian pada penjeratan adalah akibat asfiksia atau refleks vaso-vagal. Pada
gantung diri, semua arteri di leher mungkin tertekan, sedangkan pada penjeratan, arteri
vertebralis biasanya tetap paten. Hal ini disebabkan oleh karena kekuatan atau beban yang
menekan pada penjeratan biasanya tidak besar.
Bila jerat masih ditemukan melingkari leher, maka jerat tersebut harus disimpan dengan
baik sebab merupakan benda bukti dan dapat diserahkan kepada penyidik bersama-sama dengan
Visum et Repertumnya. Terdapat dua jenis simpul jerat, yaitu simpul hidup dan simpul mati yang
lingkarnya tidak dapat diubah. Jejas penjeratan pada leher biasanya mendatar, melingkari leher
dan terdapat lebih rendah daripada jejas jerat pada kasus gantung. Jejas biasanya terletak setinggi
atau di bawah rawan gondok. Dengan kematian yang disebabkan pembunuhan, pengikatan
biasanya dengan simpul mati dan sering terlihat bekas luka pada leher.
Kasus gantung, hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat pada asal tenaga
yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat. Pada kasus gantung, tenaga berasal dari
15
berat badan korban sendiri manakala penjeratan, tenaga berasal dari luar. Mekanisme kematian
pada kasus gantung adalah kerusakan pada batang otak dan medulla spinalis akibat dislokasi atau
fraktur vertebra ruas leher, misalnya pada hukum gantung. Dapat juga terjadi asfiksia disebabkan
terhambatnya aliran udara pernafasan, iskemia otak akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher
dan refleks vagal.
Autopsi
Autopsi berasal dari kata auto = sendiri dan opsis = melihat. Yang dimaksudkan dengan
autopsy adalah pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian dalam, dengan tujuan
menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-
penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari hubungan sebab akibat antara
kelainan-kelainan yang ditemukan beberapa jenis kelainan bersama-sama, maka dilakukasn
penentuan kelainan mana yang merupakan penyebab kematian, serta apakah kelainan yang lain
turut mempunyai andild alam terjadinya kematian tersebut.4
Berdasarkan tujuannya, dikenal dua jenis autopsy, yaitu autopsy klinik dan autopsy
forensic/ autopsy mediko-legal. Autopsi klinik dilakukan terhadap mayat seseorang yang
menderita penyakit, dirawat di Rumah Sakit tetapi kemudian meninggal. Untuk autopsy klinik
ini mutlak diperlukan izin dari keluarga terdekat mayat yang bersangkutan. Untuk mendapatkan
hasil yang maksimal, yang terbaik adalah melakukan autopsi klinik yang lengkap, meliputi
pembukaan rongga tengkorak, dada dan perut/panggul, serta melakukan pemeriksaan terhadap
seluruh alat-alat dalam/ organ.4
Namun bila pihak keluarga keberatan untuk dilakukannya autopsi klinik lengkap, masih
dapat diusahakan untuk melakukan autopsi klinik parsial, yaitu yang terbatas pada satu atau dua
rongga badan tertentu. Apabila ini masih ditolak, kiranya dapat diusahakan dilakukannya suatu
needle necropsy terhadap organ tubuh tertentu, untuk kemudiasn dilakukan pemeriksaan
histopatologik. Autopsi forensik atau autopsi mediko-legal dilakukan terhadap mayat seseorang
berdasarkan peraturan undang-undang, dengan tujuan:
a. Membantu dalam hal penentuan identitas mayat
b. Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian serta memperkirakan
saat kematian
c. Mengumpulkan serta mengenali benda-benda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab serta identitas perilaku kejahatan
d. Membuat laporan tertulis yang objektif dan berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum
e. Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu dalam penentuan terhadap orang
yang bersalah.
Untuk melakukan autopsi forensik ini, diperlukan suatu Surat Permintaan Pemeriksaan/
Pembuatan visum et repertum dari yang berwenang, dalam hal ini pihak penyidik. Izin keluarga
tidak diperlukan, bahkan apabila ada seseoranng yang menghalangi dilakukannya autopsi
16
forensik, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang-undang yang berlaku. Mutlak
diperlukan pemeriksaan yang lengkap, meliputi pemeriksaan tubuh bagian luar, pembukaan
rongga tengkorak, rongga dada dan rongga perut/ panggul. Seringkali perlu pula dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain pemeriksaan toksikologi forensic, histopatologik
forensik, serologi forensik dan sebagainya. Pemeriksaan yang tidak lengkap, yaitu autopsi parsial
atau needle necropsy dalam ranghka pemeriksaan ini tidak dapat dipertanggungjawabkan,
karerna tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas.Autopsi forensik harus
dilakukan oleh dokter, dan ini tidak dapt diwakilkan kepada mantra atau perawat.4
Baik dalam melakukan autopsi klinik maupun autopsi forensik, ketelitian yang maksimal
harus diusahakan. Kelainan yang betapa kecilpun haru dicatat. Autopsi sendiri harus dilakukan
sedini mungkin , karena dengan lewatnya waktu, pada tubuh mayat dapat terjadi perubahan yang
mungkin akan menimbulkan kesulitan dalam menginterpretasikan kelainan yang ditemukan.
Teknik Autopsi
Hampir setiap Bagian Ilmu Kedokteran Forensik atau Bagian Patologi Anatomik
mempunyai teknik autopsi sendiri-sendiri, namun pada umumnya teknik autopsi masing-masing
hanya berbeda sedikit/ merupakan modifikasi dari 4 teknik autopsi dasar. Perbedaan terutama
dalam hal pengangkatan keluar organ, baik dalam hal urutan pengangkatan maupun jumlah/
kelompok organ yang dikeluarkan pada satu saat, serta bidang pengirisan pada organ yang
diperiksa.4,5
Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensik, pemeriksaan
harus dilakukan dengan cermat, meliputi segala sesuatu yang telihat, tercium maupun terba, baik
terhadap benda yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan, sepatu dan lain-lain juga terhadap
tubuh mayat itu sendiri.
Agar pemeriksaan dapat terlaksana dengan secermat mungkin, pemeriksaan harus mengikuti
suatu sistimatika yang telah ditentukan.
1. Label mayat
Mayat yang dikirimkan untuk pemeriksaan kedokteran forensik seharusnya diberi label
dari pihak kepolisian, biasanya merupakan sehelai karton yang diikatkan pada ibu jari
17
kaki mayat serta dilakukan penyegelan pada tali pengikat tersebut, untuk menjamin
keaslian dari benda bukti. Label mayat ini harus digunting pada tali pengikatnya, serta
disimpan bersama berkas pemeriksaan. Perlu dicatat warna dan bahan label tersebut.
Dicatat pula apakah terdapat materai/ segel pada label ini, yang biasanya terbuat dari lak
berwarna merah dengan cap dari kantor kepolisisan yang mengirim mayat. Isi dari label
mayat ini juga dicatat selengkapnya. Adalah kebiasaan yang baik, bila dokter pemeriksa
dapat meminta keluarga terdekat dari mayat untuk sekali lagi melakukan pengenalan/
pemastian identitas.
2. Tutup mayat
Mayat seringkali dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan ditutupi oleh sesuatu.
Catatlah jenis/ bahan, warna serta corak dari penutup ini. Bila terdapat pengotoran pada
penutup, catat pula letak pengotoran serta jenis/ bahan pengotoran tersebut.
3. Bungkus mayat
Mayat kadang-kadang dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan terbungkus. Bungkus
mayat ini harus dicatat jenis/ bahannya, warna, corak, serta adanya bahan yang
mengotori. Dicatat pula tali pengikatnya bila ada, baik mengenai jenis/ bahan tali
tersebut, maupun cara pengikatan serta letak ikatan tersebut.
4. Pakaian
Pakaian mayat dicatat dengan teliti, mulai dari pakaian yang dikenakan pada bagian
tubuh sebelah atas sampai tubuh sebelah bawah, dari lapisan yang terluar sampai lapisan
yanag terdalam.
Pencatatan meliputi: bahan, warna dasar, warna dan corak/ motif dari tekstil,
bentuk/model pakaian, ukuran, merek/ penjahit, cap binatu, monogram/ inisial serta
tambalan atau tisikan yang ada. Bila terdapat pengotoran atau robekan pada pakaian,
maka ini juga harus dicatat dengan teliti dengan mengukur letaknya yang tepat
menggunakan koordinat, serta ukuran dari pengotoran dan atau robekan yang ditemukan.
Pakaian dari korban yang mati akibat kekerasan atau yang belum dikenal, sebaiknya
disimpan untuk barang bukti.
Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku inio harus diperiksa dan dicatat isinya
dengan teliti pula.
5. Perhiasan
Perhiasan yang dipakai oleh mayat harus dicatat pula dengan teliti. Pencatatan meliputi
jenis perhiasan, bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda
perhiasan tersebut.
6. Benda disamping mayat
Bersamaan dengan pengiriman mayat, kadangkala disertakan pengiriman benda
disamping mayat, misalnya bungkusan atau tas. Terhadap benda di samping mayat
inipun dilakukan pencatatan yang teliti dan lengkap
7. Tanda kematian
Disamping untuk pemastian bahwa korban yang dikirimkan untuk pemeriksaan benar-
benar telah mati, pencatatan tanda kematian ini berguna pula untuk penentuan saat
kematian. Agar pencatatan terhadap tanda kematian ini bermanfaat, jangan lupa mencatat
waktu/ saat dilakukannya pemeriksaan terhadap tanda kematian ini
8. Identifikasi umum
18
Catat tanda umum yang menunjukkan identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa atau
ras, umur, warna kulit, keadaan gizi, tinggi dan berat badan, keadaan zakar yang
disirkumsisi, adanya striae albicantes pada dinding perut
9. Identifikasi khusus
Catat segala sesuatu yang dapat digunakan untuk penentuan identitas secara khusus
a. Rajah/ tattoo
b. Jaringan parut
c. Kapalan (callus)
d. Kelainan pada kulit
e. Anomaly dan cacat pada tubuh
10. Pemeriksaan rambut
11. Pemeriksaan mata
12. Pemeriksaan daun telinga dan hidung
13. Pemeriksaan terhadap mulut dan rongga mulut
14. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan
15. Lain-lain
Perlu diperhatikan akan kemungkinan terdapatnya
a. Tanda perbendungan, ikterus, warna kebiru-biruan pada kuku/ ujung-ujung jari (pada
sianosis) atau adanya edema/ sembab.
b. Bekas pengobatan berupa bekas kerokan, tracheotomi, suntikan, pungsi lumbal dan
lain-lain
c. Terdapatnya bercal lumpur atau pengotoran lain pada tubuh, kepingan atau serpihan
cat, pecahan kaca, lumuran aspal dan lain-lain
16. Pemeriksaan terhadap tanda-tanda kekerasan/ luka
Pada pemeriksaan terhadap tanda kekerasan/ luka, perlu dilakukan pencatatan yang teliti
dan objektif terhadap:
a. Letak luka
Pertama-tama sebutkan region anatomis luka yang ditemukan, dengan juga mencatat
letaknya yang tepat menggunakan korrdinat terhadap garis/ titik anatomis yang
terdekat
b. Jenis luka
Tentukan jenis luka, apakah merupakan luka lecet, luka memar, atau luka terbuka
c. Bentuk luka
Sebutkan bentuk luka yang ditemukan. Pada luka yang terbuka sebutkan pula bentuk
luka setelah luka dirapatkan.
d. Arah luka
Dicatat arah dari luka, apakah melintang, membujur atau miring
e. Tepi luka
Perhatikan tepi luka apakah rata, teratur, atau berbentuk tidak beraturan
f. Sudut luka
Pada luka terbuka, perhatikan apakah sudut luka merupakan sudut runcing, membulat
atau bentuk lain
g. Dasar luka
Perhatikan dasar luka, jaringan bawah kulit atau otot, atau bahkan merupakan rongga
badan
h. Sekitar luka
19
Perhatikan adanya pengotoran, terdapatnya luka/ tanda kekerasan lain di sekitar luka
i. Ukuran luka
Luka diukur dengan teliti. Pada luka terbuka, ukuran luka di ukur juga setelah luka
yang bersangkutan dirapatkan.
j. Saluran luka
Penentuan saluran luka dilakukan in situ. Tentukan perjalan luka serta panjang luka.
Penentuan ini baru dapat ditentukan pada saat dilakukan pembedahan mayat.
k. Lain-lain
Pada luka lecet jenis serut, pemeriksaan teliti terhadap permukaan luka terhadap pola
penumpukan kulit dan yang terserut dapat mengungkapkan arah kekerasan yang
menyebabkan luka tersebut
17. Pemeriksaan terhadap patah tulang
Pemeriksaan organ/ alat dalam
Pemeriksaan organ/ alat tubuh biasanya dimulai dari lidah oesophagus, trachea dan seterusnya
sampai meliputi seluruh alat tubuh. Otak biasanya diperiksa terakhir.
Pada kasus penjeratan, kadangkala masih ditemukan jerat pada leher korban. Jerat harus
diperlakukan sebagai barang bukti dan dilepaskan dari leher korban dengan jalan menggunting
secara miring pada jerat, di tempat yang paling jauh dari simpul, sehingga simpul pada jerat
masih utuh. Pada kasus penjeratan, jerat biasanya berjalan horizontal/mendatar dengan letaknya
rendah. Jerat ini menimbulkan jejas jerat berupa luka lecet jenis tekan yang melingkari leher.
Catat keadaan jejas jerat dengan teliti, dengan menyebutkan arah, lebar serta letak jerat yang
tepat. Perhatikan apakah jenis jerat menunjukkan pola tertentu yang sesuai dengan permukaan
jerat yang bersentuhan dengan kulit leher.
Pada umumnya dikatakan simpul mati ditemukan pada kasus pembunuhan, sedangkan
simpul hidup ditemukan pada kasus bunuh diri. Namun perkecualian selalu terjadi. Penjeratan
adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat, kabel dan
sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat, sehingga saluran
pernapasan tertutup. Berbeda dengan gantung diri, yang biasanya merupakan suicide maka
penjeratan biasanya adalah pembunuhan, kecuali akibat autoerotic asphyxiation. Mekanisme
penjeratan adalah akibat asfiksia atau reflex vasovagal.
Jejas jerat pada leher biasanya mendatar, melingkari leher dan terdapat lebih rendah
daripada jejas jerat pada kasus gantung. Jejas biasanya terletak setinggi atau di bawah rawan
gondok. Keadaan jejas jerat pada leher sangat bervariasi. Bila jerat lunak dan lebar seperti
20
handuk atau selendang sutera, maka jejas mungkin tidak dapat ditemukan dan pada otot-otot
leher bagian dalam dapat atau tidak ditemukan sedikit resapan darah. Tali yang tipis seperti kaus
kaki nylon akan meninggalkan jejas dengan lebar tidak lebih dari 2-3 mm.5
Pola jejas dapat dilihat dengan menempelkan transparent scotch tape pada daerah jejas di
leher, kemudian ditempelkan pada kaca obyek dan dilihat dengan mikroskop atau dengan sinar
ultra violet. Bila jerat kasar seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat korban melawan akan
menyebabkan luka lecet di sekitar jejas serat yang tampak jelas berupa kulit yang mencekung
berwarna coklat dengan perabaan kaku seperti kertas perkamen (luka lecet tekan). Pada otot-otot
leher sebelah dalam tampak banyak resapan darah.4,5
Pada kasus gantung, jerat pada leher menahan berat badan korban dan mengakibatkan
tertekannya leher. Jerat pada leher menunjukka ciri khas berupa arah yang tidak mendatar, tetapi
bentuk sudut yang membuka ke arah bawah serta letak jerat yang tinggi. Bila korban berada
cukup lama dalam posis gantung, distribusi lebam mayat akan menunjukkan pengumpalan darah
di ujung tangan dan kaki. Sama halnya dengan kasus perjeratan, jenis simpul tidak selalu dapat
mengungkap cara kematian. Pada pembedahan akan ditemukan resapan darah bawah kulit serta
pada otot dan alat leher di tempat yang sesuai dengan letak jekas jerat pada kulit.4,5
Lebam mayat Pada bagian bawah tubuh Tergantung posisi tubuh korban
Lokasi Tersembunyi Bervariasi
Kondisi Teratur Tidak teratur
Pakaian Rapi dan baik Tidak teratur, robek
Ruangan Terkunci dari dalam Tidak teratur, terkunci dari luar
21
VISUM ET REPERTUM
Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan korban, dokter diharapkan dapat
menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh korban, bilamana kelainan itu timbul, apa
penyebab serta apa akibat yang timbul terhadap kesehatan korban. Dalam hal korban meninggal,
dokter dihaapkan dapat menjelaskan penyebab kematian yang bersangkutan, bagaimana
mekanisme terjadinya kematian dan perkiraan cara kematian.6
Wewenang penyidik untuk meminta keterangan ahli tersebut diperkuat dengan kewajiban
dokter untuk memberikannya bila diminta seperti yang tertuang dalam Pasal 179 KUHAP yang
berbunyi, Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.. Keterangan ahli
tersebut dituangkan dalam bentuk Visum et Repertum (VeR), yaitu keterangan yang dibuat oleh
dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap
manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia,
berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan.
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati
ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah
sumpah, untuk kepentingan peradilan. Kewajiban dokter untuk membuat keterangan ahli telah
diatur dalam pasal 133 KUHAP. Pengertian keterangan ahli dipaparkan pada pasal 1 butir 28
KUHAP.6
Visum et Repertum adalah suatu alat bukti yang sah sebagaimana yang ditulis dalam
Pasal 184 KUHAP. Penyidik berwenang untuk meminta keterangan ahli berupa Visum et
Repertum melalui surat permintaan visum (SPV) dalam proses penegakan hukum pada suatu
kasus yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Hal tersebut tercantum pada pasal 133 ayat
(1) KUHAP yang berbunyi Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Yang termasuk kategori penyidik menuntut KUHAP Pasal 6 ayat (1) PP no. 27 Tahun
1983 Pasal 2 dan 3 ayat (1) yaitu Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan untuk pembantu
22
penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua. Apabila di suatu kepolisian
sektor tidak terdapat pejabat penyidik seperti diatas, maka Kepala Kepolisian Sektor yang
berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua dikategorikan pula sebagai penyidik karena
jabatannya (PP no. 27 Tahun 1983 Pasal 2 ayat (2)).
Pihak yang berhak membuat VeR adalah dokter yang sudah mengucapkan sumpah
sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, sebagaimana tertuang dalam Stb 350 Tahun 1937. VeR
memuat kop surat, terdiri atas lima bagian, yaitu Pro Justisia di bagian atas, Pendahuluan,
Pemberitaan, Kesimpulan, dan Penutup.6
KESIMPULAN
Pada pemeriksaan luar korban laki-laki, pada tubuh ditemukan luka atau tanda kekerasan tumpul,
seperti pembengkakan dan memar, serta luka bakar. Pada pemeriksaan mayat, didapatkan sebab
kematian korban adalah asfiksia. Jerat yang melingkari leher dengan simpul membentuk sudut ke
atas menunjukkan penjeratan berlaku, karena pada kasus gantung, jerat pada leher menunjukkan
ciri khas berupa arah tidak mendatar, tetapi membentuk sudut yang membuka ke arah bawah
serta letak jerat yang tinggi. Namun, perkecualian selalu terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Terkait Praktik Kedokteran, Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
Jakarta, 2014. h.1-99
2. Budyono A, Widiatmaka W, Sudiono S dkk. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.h.1-203
3. Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik. Edisi ke-1. Jakarta: Bina Rupa Aksara;
1997.h.35-47
4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. dalam: Kapita selekta
kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta.2000:187-9
5. Staf pengajar bagian kedokteran forensik. Teknik autopsi forensik. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2000. h.1-63
6. Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2013.h.1-55
23