Está en la página 1de 23

Kematian Tersangka Pelaku Pemerkosaan dalam Sel Tahanan Polsek

Kelompok D9

Stella Wentinusa (102011245)


Nico Stefan (102012010)
Ivana Theresia (102012111)
Asnawati (102012202)
Alvan Aresto (102012295)
Yunita (102012387)
Yudha Ramdani (102012393)
Aini Izzati (102012493)

Email : Semester7kelompokD9@gmail.com

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi :

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

1
SKENARIO 1
Sesosok mayat dikirimkan ke Bagian Kedokteran Forensik FKUI/RSCM oleh sebuah Polsek di
Jakarta. Ia adalah tersangka pelaku pemerkosaan terhadap seorang remaja putra yang kebetulan
anak dari seorang pejabat kepolisian. Berita yang dituliskan di dalam surat permintaan visum et
repertum adalah bahwa laki-laki ini mati karena gantung diri di dalam sel tahanan Polsek.
Pemeriksaan yang dilakukan keesokan harinya menemukan bahwa pada wajah mayat terdapat
pembengkakan dan memar, pada punggungnya terdapat beberapa memar berbentuk dua garis
sejajar (railway hematoma) dan di daerah paha di sekitar kemaluannya terdapat beberapa luka
bakar berbentuk bundar berukuran diameter kira-kira satu sentimeter. Di ujung penisnya terdapat
luka bakar yang sesuai dengan jejas listrik. Sementara itu, terdapat pula jejas jerat yang
melingkari leher dengan simpul di daerah kiri belakang yang membentuk sudut ke atas.
Pemeriksaan bedah jenazah menemukan resapan darah yang luas di kulit kepala, perdarahan
yang tipis di selaput keras otak, sembab otak besar, tidak terdapat resapan darah di kulit leher
tetapi sedikit resapan darah di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan gondok sisi kiri, sedikit
busa halus di dalam saluran napas, dan sedikit bintik-bintik perdarahan di permukaan kedua paru
dan jantung. Tidak terdapat patah tulang. Dokter mengambil beberapa contoh jaringan untuk
pemeriksaan laboratorium.
Keluarga korban datang ke dokter dan menanyakan tentang sebab-sebab kematian korban karena
mereka mencurigai adanya tindakan kekerasan selama di tahanan Polsek. Mereka melihat sendiri
adanya memar-memar di tubuh korban.

PENDAHULUAN
Di masyarakat, kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan
nyawa manusia. Peristiwa ini akan mendatangkan perkara hukum, yang dimulai dari pengusutan
dan penyelidikan masalah sampai pada akhirnya berlanjut pada pemutusan perkara di
pengadilan. Dalam hal terdapat korban manusia, baik yang masih hidup maupun yang meninggal
akibat peristiwa tersebut, diperlukan penjelasan dari seorang ahli dalam bidang kedokteran
kepada aparat penegak hukum sebagai dasar pertimbangan peristiwa tersebut. Dokter akan
memberikan laporan dalam bentuk tertulis yang disebut sebagai visum et repertum.
Salah satu cabang ilmu kedokteran yang membantu peradilan dalam rangka penegakkan
hukum adalah ilmu kedokteran forensik. Pihak yang menengani suatu kasus peradilan tentunya
boleh meminta keterangan ahli dari para ahli forensik ini. Objeknya sendiri bisa korban yang
masih hidup maupun sudah meninggal. Dengan adanya kedokteran forensik ini, nantinya akan
para penegak hukum mampu mempertimbangkan dan menjunjung tinggi keadilan berdasarkan
dengan temuan-temuan yang memiliki objektivitas yag tinggi. Diharapkan pelaku, dapat
ditemukan secara akurat sehingga akan mempermudah proses hukum.

2
PEMBAHASAN
Aspek Hukum dan Medikolegal
1.Kewajiban Dokter Membantu Peradilan
Pasal 133 KUHAP
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan
atau pemeriksaan bedah mayat.
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label
yang memuat identitas mayat, dilak dengan cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau
bagian lain badan mayat.
Penjelasan Pasal 133 KUHAP
(2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.
Pasal 179 KUHAP
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau doktera tau ahli
lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenanar-benarnya menurut pengetahuan
dalam bidang keahliannya.1
2. Bentuk Bantuan Dokter Bagi Peradilan Dan Manfaatnya
Pasal 183 KUHAP
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannnya1.

3
Pasal 184 KUHAP
(1)Alat bukti yang sah adalah: Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan terdakwa

Pasal 186 KUHAP


Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Pasal 180 KUHAP
(1)Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, Hakim ketua siding dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan
bahan baru oleh yang berkepentingan.
(2)Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hokum terhadap
hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim memerintahkan agar hal itu
dilakukan penelitian ulang.
(3)Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat (2)1
2. Sangsi Bagi Pelanggar Kewajiban Dokter
Pasal 216 KUHP
(1)Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat
berdasarkan tugasnya. Demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak
pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2)Disamakan dengan pejabat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-
undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum.
(3)Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang
menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidanya dapat ditambah sepertiga1.
Pasal 222 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan
mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah1.

4
Pasal 224 KUHP
Barangsiapa yang dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa,
dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban yang menurut undang-undang harus
melakukannya:
1. Dalam perkara pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan.
2. Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 bulan

Pasal 522 KUHP

Barangsiapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau jurubahasa, tidak datang
secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Rahasia Jabatan dan Pembuatan SKA/ V et R


Peraturan Pemerintah No 26 tahun 1960 tentang lafaz sumpah dokter
Saya bersumpah/ berjanji bahwa:
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perkemanusiaan
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan
martabat pekerjaan saya.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena
keilmuan saya sebagai dokter.dst.

Peraturan Pemerintah no 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia Kedokteran.

Pasal 1 PP No 10/1966
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang
tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan
kedokteran.

Pasal 2 PP No 10/1966
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3,
kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada PP ini menentukan
lain.

Pasal 3 PP No 10/1966
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan1.
Pasal 4 PP No 10/1966

5
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak atau
tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat
melakukan tindakan administrative berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan.
Pasal 5 PP No 10/1966
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang disebut dalam
pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan berdasarkan
wewenang dan kebijaksanaannya.

Pasal 322 KUHP


1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan
atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Sembilan ribu
rupiah.
2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu1.
Pasal 48 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

Bedah Mayat Klinis, Anatomis dan Transplantasi


Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
Pasal 2 PP No 18/1981
Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut:
a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah
penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan
pasti;
b. Tanpa a penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya.
c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya terdekat, apabila dalam jangka waktu 2 x
24 jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang kerumah sakit1.
Pasal 14 PP No 18/1981
Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari
korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persetujuan tertulis keluarga yang
terdekat.

Pasal 17 PP No 18/1981
Dilarang memperjual belikan alat dan atau jaringan tubuh manusia.

Pasal 18 PP No 18/1981
Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ke
dan dari luar negeri.

Pasal 19 PP No 18/1981
Larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dan pasal 18 tidak berlaku untuk keperluan
penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
6
Pasal 70 UU Kesehatan
(2) Bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat1.

ASPEK HUKUM
Kejahatan Terhadap Tubuh dan Jiwa Manusia

Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti:
-jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut;
- tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
- kehilangan salah satu pancaindra;
- mendapat cacat berat;
- menderita sakit lumpuh;
-terganggunya daya piker selama empat minggu lebih;
-gugur atau matinya andungan seorang perempuan1

Pasal 338 KUHP


Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan, dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 339 KUHP


Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,
ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun1.

Pasal 340 KUHP


Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh lima tahun.

Pasal 351 KUHP


1) Penganiyaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak 4500 rupiah.

7
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama7 tahun.
4) Dengan penganiyaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353 KUHP


(1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Pasal 354 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam, karena melakukan
penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibat kan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun.
Pasal 355 KUHP
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama 12 tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama
15tahun.1

Tempat Kejadian Perkara

Tempat kejadian perkara adalah tempat ditemukannya benda bukti dan/ atau tempat
terjadinya peristiwa kejahatan atau yang diduga kejahatan menurut suatu kesaksian. Meskipun
kelak terbukti bahwadi tempat tersebut tidak pernah terjadi suatu tindak pidana, tempat tersebut
tetap disebut sebagai TKP. Disini hanya akan dibicarakan TKP yang berhubungan dengan
manusia sebagai korban, seperti kasus penganiyaan, pembunuhan dan kasus kematian mendadak
(dengan kecurigaan).2

Dasar pemeriksaan adalah hexameter, yaitu menjawab 6 pertanyaan; apa yang terjadi,
siapa yang tersangkut, di mana dan kapan terjadi, bagaimana terjadinya dan dengan apa
melakukannya, serta kenapa terjadi peristiwa tersebut? Pemeriksaan kedokteran forensik di TKP
harus mengikuti ketentuan yang berlaku umum pada penyidikan di TKP, yaitu menjaga agar
tidak mengubah keadaan TKP. Semua benda bukti yang ditemukan agar dikirim ke laboratorium
setelah sebelumnya diamankan sesuai prosedur. Selanjutnya dokter dapat memberikan
pendapatnya dan mendiskusikannya dengan penyidik untuk memperkirakan terjadinya peristiwa
dan merencanakan langkah penyidikan lebih lanjut.

Bila korban masih hidup maka tindakan yang utama dan pertama bagi dokter adalah
menyelamatkan korban dengan tetap menjaga keutuhan TKP. Bila korban telah mati, tugas
dokter adalah menegakkan diagnosis kematian, memperkirakan saat kematian. Memperkirakan
sebab kematian, memperkirakan cara kematian, menemukan dan mengamankan benda bukti

8
biologis dan medis.Saat kematian diperkirakan pada saat itu dengan memperhatikan prinsip-
prinsip perubahan tubuh pasca mati. Cara kematian memang tidak selalu mudah diperkirakan,
sehingga dalam hal ini penyidik menganut azas bahwa segala yang diragukan harus dianggap
mengarah ke adanya tindak pidana lebih dahulu sebelum nanti dapat dibuktikan
ketidakbenarannya.2

Pemeriksaan dimulai dengan membuat foto dan sketsa TKP, termasuk penjelasan
mengenai letak dan posisi korban, benda bukti dan interaksi lingkungan. Mayat yang ditemukan
dibungkus dengan plastik atau kantung plastik khusus untuk mayat setelah sebelumnya kedua
tangannya di bungkus plastik sebatas pergelangan tangan. Pemeriksan sidik jari oleh penyidik
dapat dilakukan sebelumnya.

Benda bukti yang ditemukan dapat berupa pakaian, bercak mani, bercak darah, rambut,
obat, anak peluru, selongsong peluru, benda yang diduga senjata diamankan dengan
memperlakukannya sesuai prosedur, yaitu di'pegang' dengan hati-hati serta dimasukkan ke dalam
kantong plastik, tanpa meninggalkan jejak sidik jari baru. Benda bukti yang bersifat cair
dimasukkan ke dalam tabung reaksi kering. Benda bukti yang berupa bercak kering di atas dasar
keras harus dikerok dan dimasukkan ke dalam amplop atau kantong plastik, bercak pada kain
diambil seluruhnya atau bila bendanya besar digunting dan dimasukkan ke dalam amplop atau
kantong plastik. Benda-benda keras diambil seluruhnya dan dimasukkan ke dalam kantong
plastik.
Semua benda bukti di atas diberi label dengan keterangan tentang jenis benda, lokasi penemuan,
saat penemuan dan keterangan lain yang diperlukan.

Mayat dan benda bukti biologis/medis, termasuk obat atau racun, dikirimkan ke Instalasi
Kedokteran Forensik atau ke Rumah Sakit Umum setempat untuk pemeriksaan lanjutan. Apabila
tidak tersedia sarana pemeriksaan laboratorium forensik, benda bukti dapat dikirim ke
Laboratorium Kepolisian atau ke Bagian Kedokteran Forensik. Benda bukti bukan biologis dapat
langsung dikirim ke Laboratorium Kriminal/Forensik Kepolisian Daerah setempat. Perlengkapan
yang sebaiknya dibawa pada saat pemeriksaan di TKP adalah kamera, film berwarna dan hitam-
putih (untuk ruangan gelap), lampu kilat, lampu senter, lampu ultra violet, alat tulis, tempat
menyimpan benda bukti berupa amplop atau kantong plastik, pinset, skalpel, jarum, tang, kaca
pembesar, termometer rektal, termometer ruangan, sarung tangan, kapas, kertas saring serta alat
tulis (spidol) untuk memberi label pada benda bukti.2

Tanatologi

Tanatologi merupakan ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kematian
yaitu: definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi kematian dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.

Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi sirkulasi dan
respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya perkembangan teknologi ada alat yang
bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian
berkembang menjadi kematian batang otak. Mati adalah kematian batang otak. Dalam tanatologi
dikenal beberapa istilah tentang mati yaitu :

9
a. Mati somatis : terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem pernafasan, yang menetap. Secara
klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak
terdengar, tidak ada gerak pernafasan dan suara nafas tidak terdengar pada auskultasi.
b. Mati suri : adalah terhentinya ketiga sistim kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat
kedokteran sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa
ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan
obat tidur,tersengat listrik dan tenggelam.
c. Mati seluler: adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah
kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda,
sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan.
Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ.
d. Mati serebral : adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak
dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu pernafasan dan kardiovaskular masih
berfungsi dengan bantuan alat.
e. Mati otak : adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neronal intrakranial yang
ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak maka dapat
dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi sehingga alat bantu
dapat dihentikan.2

A. Tanda kematian tidak pasti


1. Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi,palpasi,auskultasi)
2. Terhentinya sirkulasi dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba
3. Kulit pucat tetapi bukan tanda yang dapat dipercaya karena mungkin terjadi spasme agonal
sehingga wajah tampak kebiruan
4. Tonus otot menghilang. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul
sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat
dihilangkan dengan meneteskan air.2

B. Tanda pasti kematian


1. Lebam mayat (livor motis).
Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya tarik
bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula membntuk bercak berwarna merah ungu (livide)
pada bagian terbawah tubuh kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras. Lebam
mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah
dan menjadi lengkap dan menetap selama 8-12 jam. Lebam mayat dapat digunakan untuk
tanda pasti kematian memperkirakan sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah terang
pada keracunan CO atau CN, warna kecoklatan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, sulfonal
mengetahui perubahan posisi mayat yang dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang
menetap dan memperkirakan saat kematian.lebam mayat terdapat pada bagian tubuh yang
terletak rendah. Bila terdapat penekanan, pembukuh darah di daerah tersebut tertutup dan
karena nya tidak dapat terisi darah dan darah tersebut akan bebas dari lebam mayat. Pada
kedua jenasah pada kasus meninggal nya pengusaha dan istri nya ditemukan adanya lebam
mayat berwarna merah terang .

10
2. Kaku mayat (rigor motis).
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler
masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi. Kaku
mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Dimana pada pemeriksaan pada kedua
jenasah pengusahan dan istri nya tersebut ditemukan adanya kaku mayat. Kaku mayat mulai
tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke
arah dalam (sentripetal).

3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis).


Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda ke benda
yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.

4. Pembusukan (decomposition, putrefaction).


Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan kerja bakteri.
Autolisis adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril. Setelah
seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera masuk ke jaringan.
Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk bertumbuh. Pembusukan baru
tampak kira-kira 24 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu
daerah sekum yang isinya lebih cair dan penih dengan bakteri serta terletak dekat dinding
perut. Selanjutnya rambut menjadi mudah dicabut dan kuku mudah terlepas wajah
menggembung dan berwarna ungu kehijauan kelopak mata membengkak pipi tembem bibir
tebal lidah membengkak dan sering terjulur diantara gigi. Larva lalat akan dijumpai setelah
pembentukan gas pembusukan nyata yaitu kira-kira 36-48 jam pasca mati. Pada kasus kedua
jenasah tersebut yaitu si pengusaha dengan istri nya belum ditemukan ada nya pembusukan
tersebut.

5. Adiposera atau lilin mayat.


Dimana terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau berminyak berbau tengik
yang terjadi didalam jaringan lunak tubuh pasca mati. Adiposera dapat terbentuk di sebarang
lemak tubuh, bahkan di dalam hati, tetapi lemak superfisial yang pertama kali terkena.
Biasanya perubahan berbentuk bercak, dapat terlihat di pipi, payudara atau bokong, bagian
tubuh atau ekstremitas. Jarang seluruh lemak tubuh berubah menjadi adiposera.

6. Mummifikasi.
Proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi
pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat mengehentikan pembusukan. Jaringan berubah
menjadi keras dan kering, berwarnagelap berkeriput dan tidak membusuk karena kuman
tidak dapat berkembang pada lingkungan yang kering.2

Traumatologi

Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta hubungannya
dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang dimaksudkan dengan luka adalah suatu
keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. Berdasarkan sifat serta
penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan yang bersifat mekanik, fisika dan kimia.

11
1. Mekanik
a. Kekerasan oleh benda tajam
b. Kekerasan oleh benda tumpul
c. Tembakan senjata api
2. Fisika
a. Suhu (dingin dan panas)
b. Listrik dan petir
c. Perubahan tekanan udara
d. Akustik
e. Radiasi
3. Kimia
a. Asam atau basa kuat

Luka akibat Kekerasan Benda Tumpul

1. Memar (kontusio, hematom)


Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kutis/kulit akibat pecahnya kapiler
dan vena yang disebabkan oleh kekerasan tumpul. Letak, bentuk dan luas memar dipengaruhi
oleh besarnya kekerasan, jenis benda penyebab, kondisi dan jenis jaringan, usia, jenis kelamin,
corak dan warna kulit, kerapuhan pembuluh darah serta penyakit yang diderita. Bila kekerasan
benda tumpul mengenai jaringan longgar seperti di daerah mata, leher atau pada bayi dan usia
lanjut, maka memar cenderung lebih luas. Adanya jaringan longgar juga memungkinkan
berpindahnya memar ke daerah yang lebih rendah akibat gravitasi seperti kekerasan benda
tumpul pada dahi menimbulkan hematom palpebra. Informasi mengenai bentuk benda tumpul
dapat diketahui jika ditemukan adanya perdarahan tepi seperti bila tubuh korban terlindas
ban.2,3

Pada perdarahan tepi perdarahan tidak dijumpai pada lokasi yang bertekanan, tetapi
perdarahan akan menepi sehingga bentuk perdarahan sesuai dengan bentuk celah antara kedua
kembang yang berdekatan (cetakan negatif). Umur memar dapat dilihat dari perubahan
warnanya. Pada saat perlukaan, memar berwarna merah, lalu berubah menjadi ungu atau hitam
dan setelah 4 sampai 5 hari akan berwarna hijau yang kemudian berubah menjadi kuning dalam
7 sampai 10 hari dan akhirnya menghilang dalam 14 sampai 15 hari. Perubahan warna terjadi
mulai dari tepi ke arah tengah. Hematom antemortem dapat dibedakan dari lebam mayat dengan
melakukan penyayatan kulit. Pada hematom antemortem akan dijumpai adanya pembengkakan
dan infiltrasi darah merah kehitaman dalam jaringan, sedang pada lebam mayat warna merah
tampak merata. 2

2. Luka Lecet (ekskoriasi, abrasi)


Merupakan luka kulit yang superficial, akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan
dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing.2 Walaupun kerusakannya minimal
tetapi luka lecet dapat memberikan petunjuk kemungkinan adanya kerusakan yang hebat pada
alat-alat dalam tubuh. Sesuai mekanisme terjadinya luka lecet dibedakan dalam 4 jenis,
antaranya luka lecet gores yang diakibatkan oleh benda runcing yang menggeser lapisan
permukaan kulit. Dari gambaran kedalaman luka pada kedua ujungnya dapat ditentukan arah
kekerasan yang terjadi. Luka lecet serut, adalah luka lecet yang terjadi akibat persentuhan kulit
dengan permukaan yang kasar dengan arah kekerasan sejajar/miring terhadap kulit. Arah
12
kekerasan ditentukan dengan melihat letak tumpukan epitel. Luka lecet tekan, disebabkan oleh
penekanan benda tumpul secara tegak lurus terhadap permukaan kulit. Bentuk luka lecet tekan
umumnya sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut. Kulit pada luka lecet tekan
tampak berupa daerah kulit yang kaku dengan warna lebih gelap dari sekitarnya dan luka lecet
geser disebabkan oleh tekanan linier pada kulit disertai gerakan bergeser, misalnya pada kasus
gantung atau jerat.

3. Luka robek (Vulnus laceratum)


Merupakan luka terbuka yang terjadi akibat kekerasan tumpul yang kuat sehingga
melampaui elastisitas kulit atau otot. Ciri luka robek bentuk tidak beraturan, tepi tidak rata,
tampak jembatan jaringan antara kedua tepi luka, bentuk dasar luka tidak beraturan, akar rambut
tampak hancur atau tercabut bila kekerasannya di daerah yang berambut dan sering tampak luka
lecet atau memar di sekitar luka.

Pada cedera kepala, tulang tengkorak yang tidak terlindung oleh kulit hanya mampu
menahan benturan sampai 40pound/inch2, tetapi bila terlindung oleh kulit, maka dapat menahan
sampai 425 900 pound/inch2. Selain kelainan pada kulit kepala dan patah tulang tengkorak,
cedera kepala dapat pula mengakibatkan perdarahan dalam rongga tengkorak berupa perdarahan
epidural, subdural dan subarachnoid, kerusakan selaput otak dan jaringan otak.2

Perdarahan epidural sering terjadi pada usia dewasa sampai usia pertengahan, dan sering
dijumpai pada kekerasan benda tumpul di daerah pelipis (kurang lebih 50%) dan belakang kepala
(10-15%), akibat garis patah yang melewati sulcus arteria meningea, tetapi perdarahan epidural
tidak selalu disertai patah tulang.

Luka akibat Suhu

Luka bakar terjadi akibat kontak kulit dengan benda bersuhu tinggi. Kerusakan kulit yang
terjai bergantung pada tinggi suhu dan lama kontak. Kontak kulit dengan uap air panas selama 2
detik mengakibatkan suhu kulit pada kedalaman 1mm dapat mencapai 65 derajat Celcius,
sedangkan pada ledakan bensin dalam waktu singkat mencapai suhu 47 derajat Celcius. Luka
bakar sudah dapat terjadi pada suhu 43-44 derajat Celcius bila kontak cukup lama. Luka bakar
dapat dikategorikan ke dalam 4 derajat luka bakar, yaitu :

I. Eritema
II. Vesikel dan bullae
III. Nekrosis koagulatif
IV. Karbonisasi2,3

Luka akibat Trauma Listrik

Faktor yang berperan pada cedera listrik ialah tegangan (Volt), kuat arus (ampere),
tahanan kulit (ohm), luas dan lama kontak. Banyaknya arus listrik yang mengalir menuju tubuh
manusia menentuka juga fatalitas seseorang. Makin besar arus, makin berbahaya pada

13
kelangsungan hidup. Kuat arus yang masih memungkinkan bagi tangan yang memegangnya
untuk melepaskan diri disebut let go current yang besarnya berbeda-beda untuk setiap individu.

Pada luka akibat trauma listrik, gambaran makroskopis jejas listrik pada daerah kontak
berupa kerusakan lapisan tanduk kulit sebagai luka bakar dengan tepi yang menonjol di
sekitarnya terdapat daerah yang pucat dikelilingi oleh kulit yang hiperemi. Bentuknya sering
sesuai dengan benda penyebabnya. Jejas listrik bukanlah tanda intravital karena dapat juga
ditimbulkan pada kulit mayat atau pasca mati, namun tanpa daerah hiperemi.

Asfiksia mekanik

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara
pernafasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbon dioksida (hiperkapnea).2,3 Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen
(hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Dari segi etiologi asfiksia dapat disebabkan oleh hal
berikut:
1. Penyebab alamiah : misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkn emboli udara vena, emboli lemak,pneumotoraks bilateral; sumbatan atau
halangan pada saluran nafas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya
barbiturat,narkotika.

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang memasuki
saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya :
a. Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas : pembekapan (smothering) dan penyumbatan
(gagging dan choking)
b. Penekanan dinding saluran pernafasan : penjeratan (strangulation), pencekikan (manual
strangulation, throttling) dan gantung (hanging)
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
d. Saluran pernafasan terisi air (drowning)

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan dalam 4 fase yaitu :
1. Fase dispnea : penurunan kadar oksigen sel darah merah dan pemnimbunan CO2 dalam plasma
akan merangsang pusat pernafasan di medula oblongata sehingga amplitudo dan frekuensi
pernafasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda
sianosis terutama pada muka dan tangan.
2. Fase konvulsi : akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik.
3. Fase apnea : depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan dapat
berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan
sperma,urin, dan tinja.

14
4. Fase akhir : terjadi paralisis pusat pernafasan yang lengkap. Pernafasan berhenti setelah
kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat
setelah pernafasan berhenti.

Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir,ujung-ujung jari dan
kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk
lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO 2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisisn
dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Terdapat busa halus pada
hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernafasan pada fase 1 yang disertai
sekresi selaput lendir saluran nafas bagian atas. Gambaran perbendungan pada mata berupa
pelebaran pembuluh darah konjungtivas bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Selain itu
hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan
pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.2,3 Kapiler
yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar misalnya pada konjungtiva
bulbi,pelpebra dan subserosa kadang dijumpai pada kulit wajah.

Pada pembedahan jenazah korban mati akibat asfiksi, kelainan yang umum ditemukan adalah :
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer karena fibrinolisin darah yang meningkat pasca mati
2. Busa halus di dalam saluran pernafasan
3. Perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat, berwarna
lebih gelap, dan pengirisan banyak mengeluarkan darah
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung
daerah aurikuloventrikular,subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika
dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam.
5. Edema paru
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring langsung atau tidak
langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid .

Pada kasus penjeratan atau strangulation, yang dilakukan adalah penekanan benda asing
berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen,kawat, kabel , kaos kaki dan sebagainya. Melingkari
leher atau mengikat leher yang makin lama makin kuat sehingga saluran pernafasan tertutup.
Penjeratan biasanya adalah pembunuhan, berbeda dengan gantung diri yang biasanya bunuh diri.
Mekanisme kematian pada penjeratan adalah akibat asfiksia atau refleks vaso-vagal. Pada
gantung diri, semua arteri di leher mungkin tertekan, sedangkan pada penjeratan, arteri
vertebralis biasanya tetap paten. Hal ini disebabkan oleh karena kekuatan atau beban yang
menekan pada penjeratan biasanya tidak besar.
Bila jerat masih ditemukan melingkari leher, maka jerat tersebut harus disimpan dengan
baik sebab merupakan benda bukti dan dapat diserahkan kepada penyidik bersama-sama dengan
Visum et Repertumnya. Terdapat dua jenis simpul jerat, yaitu simpul hidup dan simpul mati yang
lingkarnya tidak dapat diubah. Jejas penjeratan pada leher biasanya mendatar, melingkari leher
dan terdapat lebih rendah daripada jejas jerat pada kasus gantung. Jejas biasanya terletak setinggi
atau di bawah rawan gondok. Dengan kematian yang disebabkan pembunuhan, pengikatan
biasanya dengan simpul mati dan sering terlihat bekas luka pada leher.

Kasus gantung, hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat pada asal tenaga
yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat. Pada kasus gantung, tenaga berasal dari
15
berat badan korban sendiri manakala penjeratan, tenaga berasal dari luar. Mekanisme kematian
pada kasus gantung adalah kerusakan pada batang otak dan medulla spinalis akibat dislokasi atau
fraktur vertebra ruas leher, misalnya pada hukum gantung. Dapat juga terjadi asfiksia disebabkan
terhambatnya aliran udara pernafasan, iskemia otak akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher
dan refleks vagal.

Autopsi
Autopsi berasal dari kata auto = sendiri dan opsis = melihat. Yang dimaksudkan dengan
autopsy adalah pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian dalam, dengan tujuan
menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-
penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari hubungan sebab akibat antara
kelainan-kelainan yang ditemukan beberapa jenis kelainan bersama-sama, maka dilakukasn
penentuan kelainan mana yang merupakan penyebab kematian, serta apakah kelainan yang lain
turut mempunyai andild alam terjadinya kematian tersebut.4

Berdasarkan tujuannya, dikenal dua jenis autopsy, yaitu autopsy klinik dan autopsy
forensic/ autopsy mediko-legal. Autopsi klinik dilakukan terhadap mayat seseorang yang
menderita penyakit, dirawat di Rumah Sakit tetapi kemudian meninggal. Untuk autopsy klinik
ini mutlak diperlukan izin dari keluarga terdekat mayat yang bersangkutan. Untuk mendapatkan
hasil yang maksimal, yang terbaik adalah melakukan autopsi klinik yang lengkap, meliputi
pembukaan rongga tengkorak, dada dan perut/panggul, serta melakukan pemeriksaan terhadap
seluruh alat-alat dalam/ organ.4

Namun bila pihak keluarga keberatan untuk dilakukannya autopsi klinik lengkap, masih
dapat diusahakan untuk melakukan autopsi klinik parsial, yaitu yang terbatas pada satu atau dua
rongga badan tertentu. Apabila ini masih ditolak, kiranya dapat diusahakan dilakukannya suatu
needle necropsy terhadap organ tubuh tertentu, untuk kemudiasn dilakukan pemeriksaan
histopatologik. Autopsi forensik atau autopsi mediko-legal dilakukan terhadap mayat seseorang
berdasarkan peraturan undang-undang, dengan tujuan:
a. Membantu dalam hal penentuan identitas mayat
b. Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian serta memperkirakan
saat kematian
c. Mengumpulkan serta mengenali benda-benda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab serta identitas perilaku kejahatan
d. Membuat laporan tertulis yang objektif dan berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum
e. Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu dalam penentuan terhadap orang
yang bersalah.

Untuk melakukan autopsi forensik ini, diperlukan suatu Surat Permintaan Pemeriksaan/
Pembuatan visum et repertum dari yang berwenang, dalam hal ini pihak penyidik. Izin keluarga
tidak diperlukan, bahkan apabila ada seseoranng yang menghalangi dilakukannya autopsi

16
forensik, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang-undang yang berlaku. Mutlak
diperlukan pemeriksaan yang lengkap, meliputi pemeriksaan tubuh bagian luar, pembukaan
rongga tengkorak, rongga dada dan rongga perut/ panggul. Seringkali perlu pula dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain pemeriksaan toksikologi forensic, histopatologik
forensik, serologi forensik dan sebagainya. Pemeriksaan yang tidak lengkap, yaitu autopsi parsial
atau needle necropsy dalam ranghka pemeriksaan ini tidak dapat dipertanggungjawabkan,
karerna tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas.Autopsi forensik harus
dilakukan oleh dokter, dan ini tidak dapt diwakilkan kepada mantra atau perawat.4

Baik dalam melakukan autopsi klinik maupun autopsi forensik, ketelitian yang maksimal
harus diusahakan. Kelainan yang betapa kecilpun haru dicatat. Autopsi sendiri harus dilakukan
sedini mungkin , karena dengan lewatnya waktu, pada tubuh mayat dapat terjadi perubahan yang
mungkin akan menimbulkan kesulitan dalam menginterpretasikan kelainan yang ditemukan.

Sebab kematian, cara kematian dan mekanisme kematian


Sebab mati adalah penyakit atau cedera/ luka yang bertanggungjawab atas terjadinya
kematian. Cara kematian adalah macam kejadian yang menimbulkan penyebab kematian. Bila
kematian terjadi sebagai akibat suatu penyakit semata-mata, maka cara kematian adalah wajar
(natural death) bila kematian terjadi sebagai akibat cedera atau luka, atau pada seseorang yang
semula telah mengidap suatu penyakit kematiannya dipercepat oleh adanya cedera atau luka,
maka kematian demikian adalah kematian tidak wajar (unnatural death) kematian tidak wajar ini
dapat terjadi sebagai akibat kecelakaan, bunuh diri atau pembunuhan. Kadangkala pada akhir
suatu penyidikan, penyidik masih belum dapat menentukan cara kematian dan yang
bersangkutan, maka dalam hal ini kematian dinyatakan sebagai kematian dengan cara yang tidak
tertentukan. Mekanisme kematian adalah gangguna fisiologik dan atau biokimiawi yang
ditimbulkan oleh penyebab kematian sedemikian rupa sehingga seseorang tidak dapat terus
hidup.4

Teknik Autopsi
Hampir setiap Bagian Ilmu Kedokteran Forensik atau Bagian Patologi Anatomik
mempunyai teknik autopsi sendiri-sendiri, namun pada umumnya teknik autopsi masing-masing
hanya berbeda sedikit/ merupakan modifikasi dari 4 teknik autopsi dasar. Perbedaan terutama
dalam hal pengangkatan keluar organ, baik dalam hal urutan pengangkatan maupun jumlah/
kelompok organ yang dikeluarkan pada satu saat, serta bidang pengirisan pada organ yang
diperiksa.4,5

Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensik, pemeriksaan
harus dilakukan dengan cermat, meliputi segala sesuatu yang telihat, tercium maupun terba, baik
terhadap benda yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan, sepatu dan lain-lain juga terhadap
tubuh mayat itu sendiri.
Agar pemeriksaan dapat terlaksana dengan secermat mungkin, pemeriksaan harus mengikuti
suatu sistimatika yang telah ditentukan.
1. Label mayat
Mayat yang dikirimkan untuk pemeriksaan kedokteran forensik seharusnya diberi label
dari pihak kepolisian, biasanya merupakan sehelai karton yang diikatkan pada ibu jari

17
kaki mayat serta dilakukan penyegelan pada tali pengikat tersebut, untuk menjamin
keaslian dari benda bukti. Label mayat ini harus digunting pada tali pengikatnya, serta
disimpan bersama berkas pemeriksaan. Perlu dicatat warna dan bahan label tersebut.
Dicatat pula apakah terdapat materai/ segel pada label ini, yang biasanya terbuat dari lak
berwarna merah dengan cap dari kantor kepolisisan yang mengirim mayat. Isi dari label
mayat ini juga dicatat selengkapnya. Adalah kebiasaan yang baik, bila dokter pemeriksa
dapat meminta keluarga terdekat dari mayat untuk sekali lagi melakukan pengenalan/
pemastian identitas.
2. Tutup mayat
Mayat seringkali dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan ditutupi oleh sesuatu.
Catatlah jenis/ bahan, warna serta corak dari penutup ini. Bila terdapat pengotoran pada
penutup, catat pula letak pengotoran serta jenis/ bahan pengotoran tersebut.
3. Bungkus mayat
Mayat kadang-kadang dikirimkan pada pemeriksa dalam keadaan terbungkus. Bungkus
mayat ini harus dicatat jenis/ bahannya, warna, corak, serta adanya bahan yang
mengotori. Dicatat pula tali pengikatnya bila ada, baik mengenai jenis/ bahan tali
tersebut, maupun cara pengikatan serta letak ikatan tersebut.
4. Pakaian
Pakaian mayat dicatat dengan teliti, mulai dari pakaian yang dikenakan pada bagian
tubuh sebelah atas sampai tubuh sebelah bawah, dari lapisan yang terluar sampai lapisan
yanag terdalam.
Pencatatan meliputi: bahan, warna dasar, warna dan corak/ motif dari tekstil,
bentuk/model pakaian, ukuran, merek/ penjahit, cap binatu, monogram/ inisial serta
tambalan atau tisikan yang ada. Bila terdapat pengotoran atau robekan pada pakaian,
maka ini juga harus dicatat dengan teliti dengan mengukur letaknya yang tepat
menggunakan koordinat, serta ukuran dari pengotoran dan atau robekan yang ditemukan.
Pakaian dari korban yang mati akibat kekerasan atau yang belum dikenal, sebaiknya
disimpan untuk barang bukti.
Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku inio harus diperiksa dan dicatat isinya
dengan teliti pula.
5. Perhiasan
Perhiasan yang dipakai oleh mayat harus dicatat pula dengan teliti. Pencatatan meliputi
jenis perhiasan, bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda
perhiasan tersebut.
6. Benda disamping mayat
Bersamaan dengan pengiriman mayat, kadangkala disertakan pengiriman benda
disamping mayat, misalnya bungkusan atau tas. Terhadap benda di samping mayat
inipun dilakukan pencatatan yang teliti dan lengkap
7. Tanda kematian
Disamping untuk pemastian bahwa korban yang dikirimkan untuk pemeriksaan benar-
benar telah mati, pencatatan tanda kematian ini berguna pula untuk penentuan saat
kematian. Agar pencatatan terhadap tanda kematian ini bermanfaat, jangan lupa mencatat
waktu/ saat dilakukannya pemeriksaan terhadap tanda kematian ini
8. Identifikasi umum

18
Catat tanda umum yang menunjukkan identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa atau
ras, umur, warna kulit, keadaan gizi, tinggi dan berat badan, keadaan zakar yang
disirkumsisi, adanya striae albicantes pada dinding perut
9. Identifikasi khusus
Catat segala sesuatu yang dapat digunakan untuk penentuan identitas secara khusus
a. Rajah/ tattoo
b. Jaringan parut
c. Kapalan (callus)
d. Kelainan pada kulit
e. Anomaly dan cacat pada tubuh
10. Pemeriksaan rambut
11. Pemeriksaan mata
12. Pemeriksaan daun telinga dan hidung
13. Pemeriksaan terhadap mulut dan rongga mulut
14. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan
15. Lain-lain
Perlu diperhatikan akan kemungkinan terdapatnya
a. Tanda perbendungan, ikterus, warna kebiru-biruan pada kuku/ ujung-ujung jari (pada
sianosis) atau adanya edema/ sembab.
b. Bekas pengobatan berupa bekas kerokan, tracheotomi, suntikan, pungsi lumbal dan
lain-lain
c. Terdapatnya bercal lumpur atau pengotoran lain pada tubuh, kepingan atau serpihan
cat, pecahan kaca, lumuran aspal dan lain-lain
16. Pemeriksaan terhadap tanda-tanda kekerasan/ luka
Pada pemeriksaan terhadap tanda kekerasan/ luka, perlu dilakukan pencatatan yang teliti
dan objektif terhadap:
a. Letak luka
Pertama-tama sebutkan region anatomis luka yang ditemukan, dengan juga mencatat
letaknya yang tepat menggunakan korrdinat terhadap garis/ titik anatomis yang
terdekat
b. Jenis luka
Tentukan jenis luka, apakah merupakan luka lecet, luka memar, atau luka terbuka
c. Bentuk luka
Sebutkan bentuk luka yang ditemukan. Pada luka yang terbuka sebutkan pula bentuk
luka setelah luka dirapatkan.
d. Arah luka
Dicatat arah dari luka, apakah melintang, membujur atau miring
e. Tepi luka
Perhatikan tepi luka apakah rata, teratur, atau berbentuk tidak beraturan
f. Sudut luka
Pada luka terbuka, perhatikan apakah sudut luka merupakan sudut runcing, membulat
atau bentuk lain
g. Dasar luka
Perhatikan dasar luka, jaringan bawah kulit atau otot, atau bahkan merupakan rongga
badan
h. Sekitar luka

19
Perhatikan adanya pengotoran, terdapatnya luka/ tanda kekerasan lain di sekitar luka
i. Ukuran luka
Luka diukur dengan teliti. Pada luka terbuka, ukuran luka di ukur juga setelah luka
yang bersangkutan dirapatkan.
j. Saluran luka
Penentuan saluran luka dilakukan in situ. Tentukan perjalan luka serta panjang luka.
Penentuan ini baru dapat ditentukan pada saat dilakukan pembedahan mayat.
k. Lain-lain
Pada luka lecet jenis serut, pemeriksaan teliti terhadap permukaan luka terhadap pola
penumpukan kulit dan yang terserut dapat mengungkapkan arah kekerasan yang
menyebabkan luka tersebut
17. Pemeriksaan terhadap patah tulang
Pemeriksaan organ/ alat dalam

Pemeriksaan organ/ alat tubuh biasanya dimulai dari lidah oesophagus, trachea dan seterusnya
sampai meliputi seluruh alat tubuh. Otak biasanya diperiksa terakhir.

Autopsi kasus kematian akibat asfiksia mekanik.

Asfiksia mekanik meliputi peristiwa pembekapan, penyumbatan, pencekikan, penjeratan


dan gantung serta penekanan pada dinding dada. Pada pemeriksaan mayat, umumnya akan
ditemukan tanda kematian asfiksia berupa lebam mayat yang gelap dan luas, pembendungan
pada bola mata, busa halus pada lubang hidung, mulut dan saluran pernafasan, pembendungan
pada alat-alat dalam serta bintik perdarahan Tardieu. Tanda-tanda asfiksia tidak akan ditemukan
bila kematian terjadi melalui makanisme non asfiksia. Untuk menentukan peristiwa mana yang
terjadi pada korban, perlu diketahui ciri khas bagi masing-masing peristiwa tersebut.4,5

Pada kasus penjeratan, kadangkala masih ditemukan jerat pada leher korban. Jerat harus
diperlakukan sebagai barang bukti dan dilepaskan dari leher korban dengan jalan menggunting
secara miring pada jerat, di tempat yang paling jauh dari simpul, sehingga simpul pada jerat
masih utuh. Pada kasus penjeratan, jerat biasanya berjalan horizontal/mendatar dengan letaknya
rendah. Jerat ini menimbulkan jejas jerat berupa luka lecet jenis tekan yang melingkari leher.
Catat keadaan jejas jerat dengan teliti, dengan menyebutkan arah, lebar serta letak jerat yang
tepat. Perhatikan apakah jenis jerat menunjukkan pola tertentu yang sesuai dengan permukaan
jerat yang bersentuhan dengan kulit leher.

Pada umumnya dikatakan simpul mati ditemukan pada kasus pembunuhan, sedangkan
simpul hidup ditemukan pada kasus bunuh diri. Namun perkecualian selalu terjadi. Penjeratan
adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat, kabel dan
sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat, sehingga saluran
pernapasan tertutup. Berbeda dengan gantung diri, yang biasanya merupakan suicide maka
penjeratan biasanya adalah pembunuhan, kecuali akibat autoerotic asphyxiation. Mekanisme
penjeratan adalah akibat asfiksia atau reflex vasovagal.

Jejas jerat pada leher biasanya mendatar, melingkari leher dan terdapat lebih rendah
daripada jejas jerat pada kasus gantung. Jejas biasanya terletak setinggi atau di bawah rawan
gondok. Keadaan jejas jerat pada leher sangat bervariasi. Bila jerat lunak dan lebar seperti
20
handuk atau selendang sutera, maka jejas mungkin tidak dapat ditemukan dan pada otot-otot
leher bagian dalam dapat atau tidak ditemukan sedikit resapan darah. Tali yang tipis seperti kaus
kaki nylon akan meninggalkan jejas dengan lebar tidak lebih dari 2-3 mm.5

Pola jejas dapat dilihat dengan menempelkan transparent scotch tape pada daerah jejas di
leher, kemudian ditempelkan pada kaca obyek dan dilihat dengan mikroskop atau dengan sinar
ultra violet. Bila jerat kasar seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat korban melawan akan
menyebabkan luka lecet di sekitar jejas serat yang tampak jelas berupa kulit yang mencekung
berwarna coklat dengan perabaan kaku seperti kertas perkamen (luka lecet tekan). Pada otot-otot
leher sebelah dalam tampak banyak resapan darah.4,5

Pada kasus gantung, jerat pada leher menahan berat badan korban dan mengakibatkan
tertekannya leher. Jerat pada leher menunjukka ciri khas berupa arah yang tidak mendatar, tetapi
bentuk sudut yang membuka ke arah bawah serta letak jerat yang tinggi. Bila korban berada
cukup lama dalam posis gantung, distribusi lebam mayat akan menunjukkan pengumpalan darah
di ujung tangan dan kaki. Sama halnya dengan kasus perjeratan, jenis simpul tidak selalu dapat
mengungkap cara kematian. Pada pembedahan akan ditemukan resapan darah bawah kulit serta
pada otot dan alat leher di tempat yang sesuai dengan letak jekas jerat pada kulit.4,5

Tabel 1. Perbedaan kasus gantung dan kasus jerat 2,4,5


Kasus Gantung Kasus Jerat
(bunuh diri) (pembunuhan)
Simpul Simpul hidup Simpul mati
Simpul dapat dikeluarkan melalui Simpul sulit dikeluarkan melalui
kepala(tidak terikat kuat) kepala (terikat kuat)
Bisa lebih dari 1 lilitan
Jumlah lilitan penjerat Serong ke atas Biasanya 1 buah lilitan
Arah Jauh Mendatar/horizontal
Jarak titik tumpu- Berbentuk v (lingkaran terputus) Dekat
simpul Berbentuk lingkaran penuh
Lokasi jejas Lebih tinggi Lebih rendah
Jejas jerat Meninggi ke arah simpul Mendatar
Luka perlawanan - +
Luka lain-lain Biasanya ada, mungkin terdapat Ada, sering di daerah leher
luka percobaan lain
Karakteristik simpul Jejas simpul jarang terlihat Terlihat jejas simpul
Simpul hidup Simpul
Simpul dapat dikeluarkan melalui Simpul sulit dikeluarkan melalui
kepala(tidak terikat kuat) kepala (terikat kuat)

Lebam mayat Pada bagian bawah tubuh Tergantung posisi tubuh korban
Lokasi Tersembunyi Bervariasi
Kondisi Teratur Tidak teratur
Pakaian Rapi dan baik Tidak teratur, robek
Ruangan Terkunci dari dalam Tidak teratur, terkunci dari luar

21
VISUM ET REPERTUM

Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan korban, dokter diharapkan dapat
menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh korban, bilamana kelainan itu timbul, apa
penyebab serta apa akibat yang timbul terhadap kesehatan korban. Dalam hal korban meninggal,
dokter dihaapkan dapat menjelaskan penyebab kematian yang bersangkutan, bagaimana
mekanisme terjadinya kematian dan perkiraan cara kematian.6

Wewenang penyidik untuk meminta keterangan ahli tersebut diperkuat dengan kewajiban
dokter untuk memberikannya bila diminta seperti yang tertuang dalam Pasal 179 KUHAP yang
berbunyi, Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.. Keterangan ahli
tersebut dituangkan dalam bentuk Visum et Repertum (VeR), yaitu keterangan yang dibuat oleh
dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap
manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia,
berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan.

Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati
ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah
sumpah, untuk kepentingan peradilan. Kewajiban dokter untuk membuat keterangan ahli telah
diatur dalam pasal 133 KUHAP. Pengertian keterangan ahli dipaparkan pada pasal 1 butir 28
KUHAP.6

Visum et Repertum adalah suatu alat bukti yang sah sebagaimana yang ditulis dalam
Pasal 184 KUHAP. Penyidik berwenang untuk meminta keterangan ahli berupa Visum et
Repertum melalui surat permintaan visum (SPV) dalam proses penegakan hukum pada suatu
kasus yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Hal tersebut tercantum pada pasal 133 ayat
(1) KUHAP yang berbunyi Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Yang termasuk kategori penyidik menuntut KUHAP Pasal 6 ayat (1) PP no. 27 Tahun
1983 Pasal 2 dan 3 ayat (1) yaitu Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan untuk pembantu

22
penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua. Apabila di suatu kepolisian
sektor tidak terdapat pejabat penyidik seperti diatas, maka Kepala Kepolisian Sektor yang
berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua dikategorikan pula sebagai penyidik karena
jabatannya (PP no. 27 Tahun 1983 Pasal 2 ayat (2)).

Pihak yang berhak membuat VeR adalah dokter yang sudah mengucapkan sumpah
sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, sebagaimana tertuang dalam Stb 350 Tahun 1937. VeR
memuat kop surat, terdiri atas lima bagian, yaitu Pro Justisia di bagian atas, Pendahuluan,
Pemberitaan, Kesimpulan, dan Penutup.6

KESIMPULAN

Pada pemeriksaan luar korban laki-laki, pada tubuh ditemukan luka atau tanda kekerasan tumpul,
seperti pembengkakan dan memar, serta luka bakar. Pada pemeriksaan mayat, didapatkan sebab
kematian korban adalah asfiksia. Jerat yang melingkari leher dengan simpul membentuk sudut ke
atas menunjukkan penjeratan berlaku, karena pada kasus gantung, jerat pada leher menunjukkan
ciri khas berupa arah tidak mendatar, tetapi membentuk sudut yang membuka ke arah bawah
serta letak jerat yang tinggi. Namun, perkecualian selalu terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Terkait Praktik Kedokteran, Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
Jakarta, 2014. h.1-99
2. Budyono A, Widiatmaka W, Sudiono S dkk. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.h.1-203
3. Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik. Edisi ke-1. Jakarta: Bina Rupa Aksara;
1997.h.35-47
4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. dalam: Kapita selekta
kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta.2000:187-9
5. Staf pengajar bagian kedokteran forensik. Teknik autopsi forensik. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2000. h.1-63
6. Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2013.h.1-55

23

También podría gustarte