Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
A. Judul Laporan
Pemeriksaan Aktivitas Enzim -Amylase Saliva
B. Tanggal Praktikum
Kamis, 25 Maret 2015
C. Tujuan
1. Mahasiswa akan dapat melakukan pemeriksaan untuk mengetahui aktivitas
enzim amylase pada saliva.
2. Mahasiswa akan dapat mengetahui aktivitas enzim amylase saliva dengan
bantuan praktikum yang dilakukan.
3. Mahasiswa akan dapat melakukan diagnosa dini penyakit apa saja yang
berkaitan aktivitas enzim amylase saliva abnormal (patologis) dengan
bantuan hasil praktikum yang dilakukan.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1
A. Definisi Enzim
2
Amilase merupakan salah satu enzim yang sering digunakan di
dalam bidang industri. Amilase adalah enzim yang mempunyai
kemampuan untuk menghidrolisis pati, amilosa dapat menghidrolisis
pati untuk menghasilkan produk bervariasi seperti maltosa, dekstrim,
dan terutama molekul glukosa sebagai unit terkecil. Enzim amilase
dapat berasal dari berbagai sumber yaitu tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme. Pada mikroorganisme merupakan salah satu sumber
enzim yang sangat menguntungkan karena pertumbuhannya lebih
cepat dari pada hewan dan manusia (Novitasari, 2014).
Umumnya suhu kritis enzim enzim terletak antara 50C
sampai 60C. Hal ini berpengaruh pada struktur dan kreativitas enzim
yang sama optimum pada suhu dimana suhu tubuh saya mempunyai
suhu optimalnya (Srajjudin, 2011).
3
substrat/kelajuan enzim ini tidak berbentuk hiperbola melainkan berbentuk S.
(Panil, 2008)
4
inihibitor mengubah konformasi enzim, sehingga menghalangi pengikatan
substrat. Pada inhibisi kompetitif, kelajuan maksimal reaksi tidak berubah,
namun memerlukan konsentrasi substrat yang lebih tinggi untuk mencapai
kelajuan maksimal tersebut, sehingga meningkatkan Km.
b) Inhibitor Nonkompetitif
Pada inhibisi tak kompetitif, inhibitor tidak dapat berikatan dengan
enzim bebas, namun hanya dapat dengan komples ES. Kompleks EIS yang
terbentuk kemudian menjadi tidak aktif. Jenis inhibisi ini sangat jarang,
namun dapat terjadi pada enzim-enzim multimerik.
Inhibitor non-kompetitif dapat mengikat enzim pada saat yang sama
substrat berikatan dengan enzim. Baik kompleks EI dan EIS tidak aktif.
Karena inhibitor tidak dapat dilawan dengan peningkatan konsentrasi
substrat, Vmax reaksi berubah. Namun, karena substrat masih dapat
mengikat enzim, Km tetaplah sama.
c) Inhibisi campuran
Inhibisis jenis ini mirip dengan inhibisi non-kompetitif, kecuali
kompleks EIS memiliki aktivitas enzimatik residual.
Oleh karena inhibitor menghambat fungsi enzim, beberapa racun yang
diserap organisme dari lingkungan bekerja dengan cara menginhibisi enzim.
Misalnya, peptisida DDT dan parathion adalah inhibitor enzim-enzim utama
dalam sistem saraf. Banyak antibiotik adalah inhibitor enzim spesifik pada
bakteri. Misalnya, penisilin akan membatasi tempat aktif suatu enzim yang
digunakan oleh banyak bakteri untuk membuat dinding selnya. (Campbell,
2010)
Dengan menyebut inhibitor enzim yang merupakan racun pada proses
metabolisme, maka inhibisi enzim umumnya memberi kesan abnormal dan
berbahaya. Pada kenyataannya, inhibisi dan aktivasi enzim yang selektif oleh
molekul yang secara alami ditemukan dalam sel merupakan mekanisme
penting dalam kontrol metabolisme. (Campbell, 2010)
Sebagai contoh, berdasarkan penelitian telah dilaporkan bahwa tanaman
memiliki aktivitas inhibisi -amilase dan mungkin relevan dengan
pengobatan diabetes tipe 2. Sekitar 800 spesies tanaman telah dilaporkan
5
memiliki sifat antidiabetes . Berbagai prinsip yang diturunkan dari tanaman
milik senyawa, terutama alkaloid, glikosida, karet galactomannan,
polisakarida, hypoglycans, peptidoglikan, guanidin, steroid, glikopeptida dan
terpenoid, telah menunjukkan bioaktivitas terhadap hiperglikemia. (Michelle
et.al, 2012)
6
(misalnya glukosa menjadi glikogen dalam hati) dan pembuangan limbah
yang meracuni jalur (misalnya siklus urea yang mencegah NH4) biasanya
diatur untuk mempercepat ketika substrat yang tersedia lebih (Allan
Marks. 2005).
Pada konsentrasi konstan enzim, laju reaksi meningkat dengan
peningkatan konsentrasi substrat sampai kecepatan maksimal tercapai
(Berg, 2002).
4. Kofaktor
Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh kofaktor, yaitu komponen non
protein dari enzim yang menentukan aktivitas katalitiknya. Kofaktor ini
dapat berupa senyawa organik yang disebut koenzim atau senyawa non
organik seperti ion logam Fe2+, Mn2+, Zn2+ dan Ca2+ (Lehningher, 1995).
Ion-ion logam ini umumnya ditambahkan dalam bentuk garam,
misalnya ion Ca2+ dalam bentuk garam klorida. Kation-kation lain yang
telah diketahui dapat mengaktifkan enzim adalah Na +, K+, Rb+, Cs+, Mg2+,
Zn2+, Cu2+, Fe2+, Co2+, Ni2+, dan Al3+ (Palmer, 1995).
5. Inhibitor
Aktivitas enzim dapat dihambat oleh ikatan molekul kecil spesifik dan
ion. Ini menghambat aktivitas enzim yang berfungsi sebagai mekanisme
kontrol utama dalam sistem biologi. Pengaturan alosterik enzim
menggambarkan beberapa macam kontrol. Selain itu, beberapa obat-
obatan dan bahan beracun bertindak dengan menghambat enzim.
Penghambatan oleh bahan kimia tertentu dapat menjadi sumber
mekanisme kerja enzim: inhibitor spesifik sering digunakan untuk
mengidentifikasi residu penting untuk katallisis.
Penghambatan enzim dapat berupa reversible atau irreversible.
Inhibitor ireversibel memisahkan dari target enzim sangat lambat karena
telat mempunyai ikatan dengan enzim, baik kovalen maupun non kovalen.
Beberapa inhibitor irreversible adalah obat yang penting. Penisilan
bertindak dengan kovalen memodifikasi transpeptidase enzim, sehingga
mencegah sintesis dinding sel bakteri dan dengan demikian membunuh
bakteri.
Inhibitor reversible berbeda dengan irreversible, ditandai dengan
disosiasi cepat inhibitor enzim yang kompleks. Dalam inhibitor kompetitif,
7
enzim dapat mengikat substrat (menbentuk kompleks ES) atau inhibitor
(EI) tapi tidak keduanya (ESI). Inhibitor kompetitif menyerupai substrat
dan mengikat ke situs aktif enzim. Sehingga mencegah substrat mengikat
ke situs aktif yang sama. Inhibitor kompetitif dapat dihilangkan dengan
meningkatkan konsentrasi substrat.
Inhibitor non kompetitif bertidak dengan mengurangi jumlah omset
bukan dengan mengirangi proporsi molekul enzim yang terikat ke substrat.
Inhibitor non kompetitif, kontras denngan inhibitor kompetitif, tidak dapat
diatasi dengan meningkatkan konsentrasi substrat. Pola lebih kompleks,
atau inhibisi campuran, diproduksi ketika kedua inhibitor tunggal
menghambat pengikatan substrat dan penurunan jumlah omset enzim.
G. Kofaktor Enzim
Enzim merupakan senyawa protein dengan berat molekul sekitar
10.000 sampai dengan 2.000.000 D. Sebagian besar enzim dalam
molekulnya memiliki bagian-bagian yang bukan merupakan polipeptida
yang biasanya memegang peran penting dalam mekanisme kerja enzim.
Bagian bukan enzim ini disebut kofaktor, sedangkan bagian enzim yang
merupakan rantai polipeptida disebut apoenzim. Keseluruhan molekul
enzim, yaitu meliputi apoenzim dan kofaktor disebut holoenzim.
Kofaktor dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu koenzim, gugus
prostetik, dan aktivator ion logam. Koenzim adalah senyawa-senyawa non-
protein yang dapat terdialisa, termostabil dan terikat secara longgar
dengan bagian protein dari enzim (apoenzim). Karena terikat secara longgar
dan reversibel, kadang-kadang koenzim disebut juga ko-substrat.
Umumnya koenzim merupakan vitamin atau turunannya, antara lain
vitamin B1 (tiamin), vitamin B2 (riboflavin), vitamin B5 (asam pantotenat),
vitamin B6 (piridoksin), vitamin B12 (sianokobalamina), dan nikotinamida.
Dalam mekanisme kerja enzim, koenzim biasanya berperan sebagai
pentransfer gugus kimia tertentu dari satu reaktan ke reaktan lainnya.
Gugus kimia yang ditransferkan dapat berupa gugus sederhana, misalnya
(H+ + 2e-) yang dibawa oleh NAD atau H+ yang dibawa oleh FAD, namun
8
dapat juga berupa gugus kompleks misalnya gugus amin (-NH2) yang
dibawa oleh piridoksal fosfat. Beberapa contoh koenzim dengan gugus
yang ditransfernya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Beberapa contoh koenzim
Koenzim Gugus yang ditransfer
Tiamin pirofosfat Aldehida
Piridoksal fosfat gugus amino
Koenzim B12 (5-
atom H dan gugus alkil
deoksiadenosilkobalamin)
Biositin CO2
FADH (Flavin adenin
atom hidrogen
dinukleotida
NADH (Nikotinamida adenin
ion hidrida (H-)
dinukleotida)
Koenzim A gugus asil
Tetrahidrofolat gugus satu karbon lainnya
Gugus prostetik secara kimiawi hampir sama dengan koenzim, yaitu
senyawa non-protein yang dapat terdialisa dan termostabil, namun ikatannya
dengan apoenzim cukup kuat, sehingga biasanya tidak bersifat reversibel.
Sifat ikatannya dengan apoenzim inilah yang membedakan gugus prostetik
dengan koenzim. Tidak seperti koenzim yang dapat terikat, lepas, kemudian
diikat lagi oleh apoenzim selama kerja enzim, maka gugus prostetik
umumnya berada dalam keadaan terikat terus menerus menjadi satu dengan
bagian apoenzim. Hanya saja, dalam mekanisme kerja enzim, ia mengalami
perubahan-perubahan bentuk, misalnya dari keadaan tereduksi berubah
menjadi keadaan teroksidasi, dan kemudian berubah lagi menjadi keadaan
tereduksi, dan seterusnya. Beberapa contoh gugus prostetik adalah
molibdopterin, lipoamida dan biotin.
Kofaktor atau aktivator ion logam di antaranya adalah K+, Fe++, Fe+++,
Cu++, Co++, Zn++, Mn++, Mg++, Ca++, and Mo+++. Beberapa contoh kofaktor ion
logam beserta enzimnya disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2.2. Kofaktor ion logam pada beberapa enzim
Kofaktor
Enzim Peran kofaktor
ion logam
Fe Sitokrom oksidase Redoks
9
Kofaktor
Enzim Peran kofaktor
ion logam
Katalase
Peroksidase
Cu Asam askorbat oksidase Redoks
Alkohol dehidrogenase mengikat NAD
Zn Karbonik anhidrase
DNA polimerase
Histidin ammonia liase pengambilan elektron
Mn
Arginase
Heksokinase
Mg
Glukosa-6-fosfatase
Co Glutamat mutase
Ni Urease
Mo Xanthin oksidase Redoks
V Nitrat reduktase Redoks
Se Glutation peroksidase
K Piruvat kinase
H. METODE PEMERIKSAAN
10
A. Alat dan Bahan
1. Alat:
a. Spuit 3 cc 1 buah
b. Tourniquet 1 buah
c. Vacuum med EDTA 1 buah
d. Sentrifugator 1 buah
e. Tabung reaksi 3 ml 1 buah
f. Rak tabung reaksi 1 buah
g. Mikropipet (10 l 100 l) 1 buah
h. Yellow tip 1 buah
i. Spektrofotometer 1 buah
2. Bahan:
a. Serum
b. Working reagen
B. Cara Kerja
Sampel darah 3 cc
10L 1000 L
serum reagen
Inkubasi 1 menit
11
12
I. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Probandus
a. Nama : Fauzan Hakim
b. Usia : 18 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
2. Hasil pemeriksaan kalsium darah adalah 4 mg/L.
3. Interpretasi pemeriksaan kalsium darah adalah normal, karena nilai normal
kadar fosfat anorganik adalah 2,5 5 mg/dL.
B. Pembahasan
Pada probandus yang diperiksa, didapatkan hasil yang normal, yaitu
adalah sebesar 4 mg/dL. Nilai normal kadar fosfat anorganik adalah 2,5 -5
mg/dL untuk pasien dewasa. Akan tetapi, probandus masih bisa memiliki
kemungkinan peningkatan kadar posfat anorganik walaupun hanya sedikit.
Beberapa kesalahan dalam proses pemeriksaan dapat mempengaruhi kadar
fosfat anorganik yang didapatkan, misalnya adalah kesalahan praktikan dalam
proses pengambilan sampel darah, sentrifugasi, masa inkubasi yang tidak tepat,
atau karena kesalahan dalam proses pembacaan absorbansi yang dipengaruhi
oleh operator ataupun kondisi alat yang digunakan.
Peningkatan kadar posfat dapat disebabkan oleh beberapa keadaan
tertentu, misalnya adalah keadaan gagal ginjal. Penyakit gagal ginjal dapat
menyebabkan gangguan ekskresi posfat sehingga dapat menyebabkan
peningkatan kadar posfat. Selain itu, beberapa kondisi lain yang dapat
menyebabkan timbulnya peningkatan kadar posfat adalah keadaan
hipokalsemia, hipoparatiroidisme, tumor tulang, dan obat-obatan tertentu,
misalnya penisilin, fenitoin dan heparin (Sacher & McPherson, 2004).
Penurunan kadar posfat didapatkan dalam beberapa keadaan tertentu.
Kadar posfat dapat meningkat pada kondisi setelah makan atau setelah
pemberian karbohidrat yang disebabkan karena insulin menyebabkan
pemindahan posfat dari ekstrasel ke intrasel. Obat antasida pun dapat
menurunkan kadar posfat karena obat ini dapat berikatan dengan posfat
13
sehingga posfat tidak dapat diserap. Peningkatan ekresi posfat juga dapat
menyebabkan penurunan kadar posfat. Hal ini bisa disebabkan karena adanya
asidosis sistemik dan penyalahgunaan alkohol (Sacher & McPherson, 2004).
C. Aplikasi Klinis
1. Parotitis
Parotitis ialah penyakit virus akut yang biasanya menyerang kelenjar
ludah terutama kelenjar parotis (sekitar 60% kasus). Gejala khas yaitu
pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Pada saluran kelenjar
ludah terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel, pelebaran dan
penyumbatan saluran. Pada orang dewasa, infeksi ini bisa menyerang testis
(buah zakar), sistem saraf pusat, pankreas, prostat, payudara dan organ
lainnya. Adapun mereka yang beresiko besar untuk menderita atau tertular
penyakit ini adalah mereka yang menggunakan atau mengkonsumsi obat-
obatan tertentu untuk menekan hormon kelenjar tiroid dan mereka yang
kekurangan zat Iodium dalam tubuh (Sumarmo,2008)
Parotitis biasanya dikaitkan dengan penyakit gondok atau infeksi virus
kelenjar parotis lainnya. Virus atau infeksi bakteri, penyakit endokrin, dan
obat-obatan juga bisa berpotensi menyebabkan parotitis. Hal ini biasanya
disebebkan oleh penyumbatan mekanis saliva sehingga mengurangi
produksi air liur, disertai dengan meningkatnya serum amilase dan pipi
kemerahan. (Jimi et.al, 2010)
Menurut Sumarmo (2008) penyakit gondong (mumps, parotitis) dapat
ditularkan melalui:
1. Kontak langsung
2. Percikan ludah (droplet)
3. Muntahan
4. Bisa pula melalui air kencing
Tidak semua orang yang terinfeksi mengalami keluhan, bahkan
sekitar 30-40% penderita tidak menunjukkan tanda-tanda sakit
(subklinikal). Mereka dapat menjadi sumber penularan seperti halnya
penderita parotitis yang nampak sakit. Masa tunas (masa inkubasi) parotitis
sekitar 14-24 hari dengan rata-rata 17-18 hari. Pada anak, manifestasi
prodromal jarang tetapi mungkin nampak bersama dengan demam, nyeri
otot (terutama pada leher), nyeri kepala, dan malaise. Mulainya biasa
14
ditandai dengan nyeri dan pembengkakan pada satu atau kedua kelenjar
parotis. (Behrman et.al, 2010)
2. Pankreatitis Akut
Pankreatitis akut merupakan suatu proses inflamasi pada pankreas yang
dihubungkan dengan beberapa kelainan lain yang dianggap sebagai etiologi
dari pankreatitis akut. Diketahui bahwa lebih dari 80% penderita
pankreatitis akut berhubungan dengan konsumsi alcohol atau adanya batu
empedu. (Morinville et al, 2010)
Keluhan yang dominan pada pankreatitis akut adalah rasa nyeri yang
timbul tiba-tiba, intens, terus menerus dan makin lama makin bertambah.
Lokasi nyeri kebanyakan di epigastrium, dapat menjalar ke punggung,
kadang-kadang ke perut bagian bawah, nyeri berlangsung beberapa hari.
Gejala lain yakni mual, muntah-muntah dan demam. (Price, 2005)
Menurut Peter et al (2012), diagnosis pankreatitis akut tegak apabila
memenuhi 2 dari 3 kriteria berikut :
(1) nyeri perut bagian atas
(2) peningkatan amilase atau lipase lebih dari tiga kali nilai batas
normal
(3) hasil pemeriksaan imaging (USG/CT scan atau MRI)
Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan pada saat pasien masuk rumah
sakit untuk mendeteksi batu empedu dan pelebaran duktus koledokus
sebagai penyebab pankreatitis akut. Tidak semua pasien dengan pankreatitis
harus menjalani pemeriksaan CT scan abdomen. Indikasi pemeriksaan CT
scan dengan contrastenhanced computed tomography (CECT) adalah (1)
untuk memastikan diagnosis pankreatitis akut apabila hasil pemeriksaan
amilaselipase atau USG masih diragukan, (2) untuk menentukan tingkat
keparahan pankreatitis akut dan mendeteksi adanya komplikasi local
pankreatitis, (3) sebagai pemandu tindakan invasive minimal pada saat
melakukan drainase cairan atau debris nekrotik. (Nishat et.al, 2011)
3. Xerostomia
Xerostomia merupakan suatu keluhan subjektif berupa mulut kering
yang disebabkan berkurangnya jumlah atau adanya perubahan kualitas dari
saliva. Sesorang dapat diindikasikan mengalami xerostomia apabila ketika
15
dilakukan pengukuran laju aliran saliva pada saat tidak distimulus <0,1
ml/menit. (Greenberg, 2008)
Menurut International Dental Federation (IDF), 50% dari populasi usia
40-50 tahun mengalami penurunan aliran saliva dan meningkat hingga 70%
pada usia 70 tahun. (Hopcraft, 2010)
Xerostomia menyebabkan mengeringnya selaput lendir, mukosa mulut
menjadi kering, mudah mengalami iritasi dan infeksi. Keadaan ini
disebabkan oleh karena tidak adanya daya lubrikasi dan proteksi dari saliva.
Proses pengunyahan dan penelanan makanan sulit dilakukan khususnya
makanan kering. Rasa pengecapan dan proses bicara juga akan terganggu.
Kekeringan pada mulut menyebabkan fungsi pembersih dari saliva
berkurang, sehingga terjadi radang dari selaput lendir yang disertai keluhan
mulut terasa seperti terbakar. Selain itu, pada penderita xerostomia fungsi
bakteriostase dari saliva berkurang sehingga menyebabkan peningkatan
proses karies gigi. (Guyton, 2008)
4. Insufisiensi Ginjal
16
J. KESIMPULAN
17