Está en la página 1de 17

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/311594011

Analisis Daya Saing Indonesia Tahun 2016-2017


: Sebuah Analisis Kebijakan Manajemen
Keuangan Internasional

Article December 2016

CITATIONS READS

0 427

1 author:

Gusstiawan Raimanu
Sintuwu Maroso University
4 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Postgraduate Student of Tadulako University View project

All content following this page was uploaded by Gusstiawan Raimanu on 13 December 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ANALISIS DAYA SAING INDONESIA TAHUN 2016-2017
GUSSTIAWAN RAIMANU

Program Studi Magister Manajemen


Program Pascasarjana
Universitas Tadulako
Daftar Isi

Pendahuluan .........................................................................................................................1
Analisis Daya Saing ................................................................................................................2
Gambaran Umum Daya Saing Tahun 2016 ...........................................................................4
Faktor Penentu Daya Saing Indonesia ..................................................................................5
Penghambat Daya Saing .......................................................................................................9
Menurunnya Daya Saing Indonesia ......................................................................................11
Daya Saing Provinsi di Indonesia ...........................................................................................12
Kesimpulan ............................................................................................................................14
Referensi ...............................................................................................................................14

Daftar Gambar
Gambar 1. Struktur Faktor Daya Saing Global ......................................................................3
Gambar 2. Bobot Subindeks Menurut Tahapan Pembangunan ...........................................3
Gambar 3. Peta Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2016 ..........................................13

Daftar Tabel
Tabel 1. Sepuluh Negara Berdaya Saing Tinggi 2016 ............................................................4
Tabel 2. Peringkat Daya Saing Negara ASEAN Tahun 2016 ..................................................5
Tabel 3. Peringkat Daya Saing Indonesia Menurut Kelompok Pilar 2015 dan 2016 .............6
Tabel 4. Perubahan Peringkat Daya Saing Indonesia Menurut Kelompok Pilar 2013-2016 .6
Tabel 5. Perubahan Peringkat Daya Saing Indonesia Menurut Pilar 2013-2016 ..................7
Tabel 6. Peringkat Indikator Terbaik Indonesia Tahun 2016 ................................................8
Tabel 7. Peringkat Indikator Terburuk Indonesia Tahun 2016 .............................................8
Tabel 8. Faktor Penghambat Daya Saing Bisnis di Indonesia Tahun 2016 ............................9
Tabel 9. Lima Faktor Penghambat Utama Daya Saing Bisnis
di Indonesia Tahun 2013-2016 ...............................................................................10
Tabel 10. Lima Faktor Penghambat Utama Daya Saing Bisnis
di Beberapa Negara ASEAN Tahun 2013-2016 ......................................................10
Tabel 11. Peringkat Daya Saing Provinsi Indonesia Tahun 2015-2016 .................................12
ANALISIS DAYA SAING INDONESIA TAHUN 2016-2017 :
Analisisis Kebijakan Keuangan Internasional
Oleh : Gusstiawan Raimanu1

Pendahuluan

Daya saing suatu negara merupakan sebuah bahan kajian yang menarik, baik dari aspek ekonomi,
politik, sosial maupun teknologi. Daya saing sebuah negara dianggap sebagai salah satu sumber dari
ketahanan suatu negara dalam menghadapi tantangan dalam membangun peradaban bangsa. Sebab
peradaban hanya dapat dibangun melalui kekuatan ekonomi, politik, dan budaya yang unggul.
Dengan daya saing tinggi, negara dapat menjaga pertumbuhan ekonominya dan mulai membangun
kehidupan negara yang teratur dan saat itu pembangunan peradaban dimulai. Pembangunan
peradaban tidak dapat dilakukan tanpa adanya kekuatan eknomi. Dan kekuatan ekonomi tidak dapat
ditegakkan tanpa adanya daya saing. Dengan demikian, daya saing menjadi sangat penting selain
untuk keberlanjutan perekonomian dan peradaban suatu bangsa.

Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki peradaban yang tinggi selalu disokong
oleh kekuatan ekonomi yang hebat. Kerajaan-kerajaan yang berada di sekitar Laut Tengah dan Timur
Tengah muncul karena kekuatan ekonomi dan kemudian militernya. Terkadang dengan kekuatan
militernya suatu negara menyerang negara lain untuk mengambil alih kekuatan ekonominya.
Sehingga negara tersebut menjadi semakin kuat baik secara ekonomi dan militer. Dengan cara ini,
daya saing suatu negara dalam berdagang tidaak saja didasarkan atas unggulnya produksi mereka
tetapi juga ancaman militer yang senantiasa menakutkan negara lain. Namun demikian,
perdagangan yang selalu membangun kekuatan ekonomi suatu negara bukan kekuatan militernya.
Oleh sebab itu, banyak negara tetap mengandalkan kekuatan perdagangan untuk membangun
ekonominya dan selalu menjaga daya saingnya agar selalu eksis dalam perdagangan dunia.

Perusahaan multinasional (MNC) juga dalam melakukan keputusan penanaman modal asing
melakukan serangkaian analisis yang kompleks yang meliputi seperangkat strategi, perilaku dan
pertimbangan ekonomi (Yulianti & Prasetyo, 2005). Dalam proses ini sudah pasti sebuah MNC turut
memperimbangkan pula daya saing suatu negara sebagai bagian dari sekumpulan variabel yang
menjadi pertimbangan analisis perusahaan. Dalam melakukan investasi luar negeri, MNC melakukan
setidaknya lima pertimbangan strategik yang meliputi: (1) mencari pasar, (2) mencari bahan baku,
(3) mengejar efisiensi produksi, (4) mencari pengetahuan, (5) mencari kestabilan politik. Olehnya
informasi mengenai peringkat daya saing dan produktivitas negara-negara menjadi penting dalam
menunjang pengambilan keputusan strategis perusahaan MNC.

Sebuah lembaga non profit internasional yaitu Forum Ekonomi Dunia atau lebih dikenal dengan
nama World Economic Forum (WEF) secara berkala melakukan penilaian daya saing secara global
melalui laporan tahunan daya-saing global, yaitu The Global Competitiveness Report. Di tengah
ketidakpercayaan kepada globalisasi, sebagai dampak miring Brexit serta suara negatif capres AS
Donald Trump mengenai perdagangan bebas, World Economic Forum kembali menerbitkan hasil
survei mengenai persaingan global untuk tahun 2016-2017, laporan itu dilansir di tengah
pertumbuhan ekonomi masih rendah akibat jatuhnya harga-harga komoditas, meningkatnya
ketidakseimbangan eksternal, serta tertekannya keuangan pemerintah. WEF berharap agar
dokumen rutin yang dipublikasikan setiap tahun sejak 30 tahun yang lalu ini mempermudah

1
Graduate Student of Management Science, Graduate School of Tadulako University
g.raimanu@unsimar.ac.id

1
penilaian potensi produktivitas setiap negara. Dengan menyajikan berbagai faktor kunci pendorong
pertumbuhan ekonomi, diharapkan dapat dipahami mengapa suatu negara dapat lebih berhasil
dibandingkan negara lain dalam meningkatkan pendapatannya. Dengan perkataan lain, laporan ini
diharapkan dapat menjadi masukan dalam menyusun kebijakan ekonomi nasional suatu negara,
maupun pengambilan keputusan manajemen keuangan internasional sebuah perusahaan MNC.

Melihat begitu pentingnya analisis daya saing suatu negara, tulisan ini bermaksud mengkaji lebih
jauh posisi daya saing Indonesia beserta indikator yang mempengaruhinya pada tahun 2016-2017
dan membandingkannya dengan negara-negara lainnya di ASEAN menyusul telah diberlakukannya
ASEAN Economic Community (AEC) pada akhir tahun 2015 yang lalu.

Analisis Daya Saing

Analisis daya saing bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai posisi, performa dan
kapabilitas sebuah negara pada pasar ekspor, serta faktor yang berguna untuk mengukur daya saing
(Reis & Thomas, 2012). Pasar ekspor umumnya memiliki tingkat persaingan yang tinggi sehingga
negara yang berdaya saing tinggi pada ekspor umumnya juga lebih unggul pada faktor domestiknya.
Hal itu sejalan dengan hubungan timbal balik antara perdagangan dan produktivitas.

Beberapa waktu yang lalu World Economic Forum (WEF) kembali mempublikasikan laporan tahunan
mengenai daya saing global, yaitu The Global Competitiveness Report 2016-2017. Laporan ini
dipublikasikan pada saat meningkatnya ketimpangan pendapatan, meningkatnya ketegangan sosial
politik, perasaan ketidakpastian tentang masa depan. Tingkat pertumbuhan cenderung konstan
rendah dengan jatuhnya harga komoditas sebagai dampak perdangangan. Prospek pertumbuhan
masa depan dibatasi oleh tren jangka panjang. Banyak negara berjuang dengan tantangan ganda
yaitu pelambatan pertumbuhan produktivitas dan meningkatnya ketimpangan pendapatan, yang
diiringi dengan semakin cepatnya proses penuaan masyarakat (aging societies).

Laporan WEF tahun 2016 ini menghimpun data-data ekonomi dari 138 negara. Data-data ekonomi
tersebut diolah untuk menghasilkan peringkat daya-saing negara-negara. Daya saing didefinisikan
sebagai kondisi institusi, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas
ekonomi suatu negara. Produktivitas yang tinggi mencerminkan daya saing tinggi, dan daya saing
tinggi berpotensi memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan selanjutnya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat negara tersebut.

Terdapat banyak determinan pendorong produktivitas, yang oleh WEF dikelompokkan kedalam 12
pilar daya saing, yaitu: (1) institusi, (2) infrastruktur, (3) makroekonomi, (4) kesehatan dan
pendidikan dasar, (5) pendidikan tinggi, (6) efisiensi pasar barang, (7) efisiensi pasar kerja, (8) pasar
keuangan, (9) kesiapan teknologi, (10) besaran pasar, (11) kecanggihan bisnis, dan (12) inovasi.
Selanjutnya ke 12 pilar tersebut dikelompokkan kedalam 3 kelompok pilar, yaitu kelompok
persyaratan dasar, kelompok penopang efisiensi, dan kelompok inovasi dan kecanggihan bisnis.
Gambar 1 menunjukkan lebih jelas mengenai pilar daya saing dan kelompok pilar.

2
Gambar 1 : Struktur Faktor Daya Saing Global (WEF, 2016)

Dalam memperkirakan tingkat daya saing negara, setiap pilar mendapat bobot yang berbeda,
tergantung pada kemajuan ekonomi negara tersebut, dengan pertimbangan bahwa indikator yang
sama mempunyai pengaruh yang berbeda pada negara-negara dengan tahapan kemajuan ekonomi
yang berbeda (Gambar 2). Tahapan ekonomi yang dimaksud adalah : pada tahap awal ekonomi lebih
didorong oleh faktor-faktor alam (seperti sumber daya alam dan tenaga kerja tidak terampil),
kemudian pada tahap selanjutnya oleh faktor efisiensi, dan pada tahap terakhir oleh faktor inovasi.
Untuk tahun 2016, Indonesia termasuk negara dengan kategori pengembangan pada tahap kedua
(faktor efisiensi) bersama dengan 30 negara lainnya termasuk China, Brazil, dan Thailand.

Stage of Development
Transition Stage 2 : Transition from Stage 3 :
Stage 1 :
from Stage 1 Efficiency- Stage 2 to Innovation-
Factor Driven
to Stage 2 driven Stage 3 Driven
GDP per capita (US$) thresholds* <2.000 2.000-2.999 3.000-8.999 9.000-17.000 >17.000
Weight for basic requirements 60% 40-60% 40% 20-40% 20%
Weight for efficiency enhancers 35% 35-50% 50% 50% 50%
Weight for innovation and sophistication 5% 5-10% 10% 10-30% 30%
factors
Gambar 2. Bobot Subindeks Menurut Tahapan Pembangunan (WEF, 2016)

Selanjutnya ke 12 pilar tersebut dibangun dari 103 indikator, yang dihitung dari data statistik dan
survey persepsi para eksekutif. Pada laporan tahun 2015, terdapat total 140 negara yang masuk
dalam data analisis, namun pada laporan tahun 2016 ini hanya terdapat 138 negara yang tersedia
datanya. Beberapa negara telah dimasukan kembali pada tahun 2016 ini setelah tidak dimasukkan
selama satu tahun atau lebih. Negara-negara tersebut seperti Barbados dan Yaman (terakhir masuk
pada tahun 2014) dan Brunei Darussalam (terakhir masuk pada tahun 2013). Juga untuk pertama
kalinya laporan memuat data dari Republik Demokratik Kongo. Beberapa negara tidak dimasukkan
karena tidak memenuhi persyaratan data yang ditetapkan seperti Guinea, Guyana, Haiti, Myanmar,
Seychelles, dan Swaziland. Sehingga untuk alasan ini, analisis perekonomian negara-negara ini tidak

3
termasuk dalam analisis tahun ini. Data-data yang digunakan untuk mengukur peringkat daya saing
ini memang sebagian besar berasal dari survey opini kalangan pebisnis setiap negara, hanya sekitar
sepertiga yang berdasar pada angka-angka statistic, yang umumnya diolah dari World Economic
Outlook (WEO) dari IMF. Data WEO tentunya berasal dari lembaga statistik setiap negara.

Gambaran Umum Daya Saing Tahun 2016

a. Peringkat Global

Pada tahun 2016, menurut laporan WEF peringkat daya saing dunia dalam urutan 10 teratas tetap
didominasi oleh negara-negara Eropa. Switzerland adalah negara paling kopetitif di dunia selama
dua tahun berturut-turut yang mencapai skor 5.81 meningkat lebih tinggi dari tahun 2015 yaitu 5.76.
Disusul oleh Singapura, United States, Netherlands, Germany, dll (lihat tabel 1). Singapura dan
Jepang adalah negara Asia yang berhasil masuk pada posisi 10 teratas tahun ini, walaupun Jepang
mengalami penurunan ke urutan 8 dari 6 pada tahun 2015. United States berada pada urutan ke 3,
Hong Kong SAR pada urutan 9 dan Finland pada urutan ke 10. Pada tahun 2016, Indonesia berada
pada urutan 41, turun 4 tingkat pada tahun 2015. Penurunan ini disebabkan oleh naiknya peringkat
Azerbaijan (37), berubahnya posisi Kuwait (38 dari 34), naiknya peringkat India (39 dari 55) dan
Malta (40 dari 48). Nampaknya Indonesia masih jauh dibawah negara-negara lainnya di Asean
seperti Singapore (2), Malaysia (25), dan Thailand (34).

Tabel 1. Sepuluh Negara Berdaya Saing Tinggi 2016 (WEF, 2016)

Negara Ranking Skor (1-7)


Switzerland 1 5.81
Singapore 2 5.72
United States 3 5.70
Netherlands 4 5.57
Germany 5 5.57
Sweden 6 5.53
United Kingdom 7 5.49
Japan 8 5.48
Hong Kong SAR 9 5.48
Finland 10 5.48

Switzerland (Swiss) berhasil mempertahankan posisinya di urutan pertama, seperti tahun lalu. Swiss
dinilai memiliki kapasitas sempurna untuk inovasi dan budaya bisnis yang canggih. Negara ini
menduduki peringkat 4 untuk kecanggihan bisnis dan peringkat 2 untuk kapasitas inovasi. Swiss juga
memiliki institusi riset terbaik di dunia, dan kolaborasi kuat antara sektor akademis dan bisnis. Hal ini
dikombinasi dengan pengeluaran perusahaan yang tinggi dalam sektor penelitian dan
pengembangan (R&D) untuk memastikan semakin banyak penelitian mendukung produk dan proses
bernilai. Juga diperkuat perlindungan hak intelektual dan dukungan pemerintah terhadap inovasi
dan proses pengadaan barang.Lembaga publik di Swiss juga dinilai paling efektif dan transparan di
dunia (peringkat 5), atau lebih baik dibanding tahun lalu. Struktur pemerintahan juga memastikan
playing field yang sama, meningkatkan kepercayaan bisnis, termasuk aturan hukum kuat, dan sektor
publik akuntabel. Daya saing negara ini juga ditopang oleh infrastruktur yang baik (peringkat 6),
ketersediaan barang (peringkat 4), pasar keuangan yang maju peringkat 8 dan lapangan kerja paling
efisien di dunia peringkat 2, sesudah Singapura. Ekonomi makro Swiss melemah tahun lalu, namun
bangkit kembali dan menjadi paling stabil di dunia (ranking 5) dimana saat ini banyak negara
berjuang dengan keadaan ini.

4
b. Peringkat Negara-Negara ASEAN

Diantara negara-negara ASEAN, Singapura masih bertahan pada peringkat ke 2 teratas, disusul oleh
Malaysia (peringkat 25) dan Thailand (peringkat 34). Indonesia harus turun 4 tingkat ke posisi 41.
Kinerja daya saing Indonesia masih belum mampu unggul dari Malaysia, Thailand dan Singapura
sejak tahun 2015 hingga 2016 ini. Namun jika melihat kinerja daya saing Indonesia, masih cenderung
lebih baik dibandingkan Malaysia yang turun hingga 7 tingkat. Apabila melihat pada tabel 2 dibawah
ini, terlihat bahwa hanya Kamboja yang mampu naik 1 tingkat, sementara negara ASEAN lainnya
(diluar Singapura) mengalami penurunan kinerja daya saing. Filipina dan Laos adalah negara yang
mengalami penurunan paling tinggi hingga mencapai 10 tingkat.

Tabel 2. Peringkat Daya Saing Negara ASEAN Tahun 2016

Ranking Ranking
Negara Skor (1-7) Perubahan
(2016) (2015)
Singapore 2 5.81 2 0
Malaysia 25 5.16 18 -7
Thailand 34 4.64 32 -2
Indonesia 41 4.52 37 -4
Philippines 57 4.36 47 -10
Brunei Darussalam 58 4.35 n/a n/a
Vietnam 60 4.31 56 -4
Cambodia 89 3.98 90 1
Lao PDR 93 3.93 83 -10
Myanmar n/a n/a 131 n/a
Sumber : WEF (2016), diolah

Pelambatan ekonomi serta meningkatnya sejumlah permasalahan politik ditengarai menjadi pemicu
turunnya daya saing global negara-negara ASEAN. Sementara itu secara global, hambatan utama
peningkatan daya saing di dunia adalah meningkatnya perdebatan mengenai meningkatnya arus
globalisasi. Arus globalisasi dituding menjadi penyebab kesenjangan masyarakat dan memperdalam
jurang kemiskinan. Arus globalisasi kini cenderung dipolitisasi. Tingkat frustasi masyarakat di negara
maju akibat globalisasi telah meningkat pesat dan terbukti di AS serta Inggris. Proteksionisme
terutama di perdagangan internasional justru akan melemahkan pemulihan global. Penjelasan
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan daya saing Indonesia dijelaskan pada tabel
7, menenai peringkat indikator terburuk Indonesia tahun 2016-2017.

Faktor Penentu Daya Saing Indonesia

a. Analisis Menurut Kelompok Pilar

Analisis berikut ini didasarkan pada data-data peringkat daya-saing antara tahun 2016 dan 2015.
Diantara kelompok pilar daya-saing, yaitu Kelompok Persyaratan Dasar, Kelompok Penopang
Efisiensi, dan Kelompok Kecanggihan Bisnis

Indonesia turun 4 tingkat dan disusul oleh beberapa negara lain. Meskipun telah dilakukan berbagai
reformasi pada lingkungan bisnis, kinerja daya saing Indonesia tetap menurun pada tahun 2016.
Pada indikator Market Size Indonesia berada pada posisi ke 10, peringkat ke 30 pada pilar
Lingkungan Makro Ekonomi (macroeconomic pillar) dan peringkat ke 32 untuk inovasi (innovation).
WEF mencatat bahwa Indonesia telah melakukan dengan baik dalam hal pengembangan keuangan

5
(peringkat ke 42 naik 7 tingkat). Namun peringkat Indonesia pada pilar pendidikan dasar dan
kesehatan (health and basic education) berada pada urutan ke 100 turun hingga 20 tingkat,
peringkat ke 108 pada pilar labor market efficiency (naik tujuh tingkat). Indonesia juga menempati
peringkat rendah dalam pilar teknologi (peringkat 91, turun 6 tingkat) karena penetrasi ICT tetap
rendah, hanya seperlima dari populasi menggunakan internet dan hanya ada satu koneksi
broadband untuk setiap 100 orang. Namun begitu, penyereapan tenaga kerja oleh perusahaan
teknologi menjadi semakin besar (peringkat ke 53).

Tabel 3. Peringkat Daya Saing Indonesia Menurut Kelompok Pilar 2015 dan 2016

Peringkat
Kelompok Pilar Perubahan
2016 2015
Peringkat Keseluruhan 41 37 -4
Kelompok Persyaratan Dasar 52 49 -3
Kelompok Penopang Efisiensi 49 46 -3
Kelompok Inovasi dan Kecanggihan Bisnis 32 33 1
Sumber : WEF (2016), diolah

Apabila disandingkan dalam prespektif waktu yang lebih lama, antara tahun 2013 hingga 2016,
terjadi penurunan 3 peringkat daya saing Indonesia secara keseluruhan, penurunan 7 peringkat pada
kelompok persyaratan dasar, dan hanya terjadi kenaikan masing-masing 3 dan 1 peringkat pada
kelompok penopang efisiensi dan inovasi dan kecanggihan bisnis. Hal ini sangat berbeda karena
pada tahun 2013, Indonesia mengalami lompatan besar pada hampir seluruh kelompok pilar yang
ada. Lihat tabel 4.

Tabel 4. Perubahan Peringkat Daya Saing Indonesia Menurut Kelompok Pilar 2013-2016

2013- 2014- 2015- 2013-


Kelompok Pilar
2014 2015 2016 2016
Peringkat Keseluruhan 12 4 -3 -3
Kelompok Persyaratan Dasar 13 -1 -3 -7
Kelompok Penopang Efisiensi 6 6 0 3
Kelompok Inovasi dan Kecanggihan Bisnis 7 3 -3 1
Sumber : WEF (2012-2016), diolah

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal mengatakan Perubahan peringkat daya saing Indonesia
yang menurun diantaranya disebabkan oleh minimnya kebijakan ekonoi pada pemerintahan
sebelumnya lima tahun yang lalu2. Pemerintah dianggap sempat lengah saat harga komoditas tinggi.
Saat itu Indonesia mengapatkan keuntungan dari ekspor komoditas, seperti pertambangan. Namun
pada saat yang sama, negara lain yang minim komoditas bergegas mendorong perekonomian
mereka dengan berbagai kebijakan, seperti melakukan deregulasi dan modernisasi, serta membuat
perjanjian dagang dengan blok-blok negara maju seperti Eropa dan Amerika. Oleh karena itu,
melihat penurunan peringkat daya saing Indonesia saat ini, pemerintah akan mendongkrak daya
saing melalui percepatan deregulasi dan modernisasi serta membuat kemitraan-kemitraan dengan
blok-blok ekonomi maju, terutama yang berkaitan dengan perbaikan infrastruktur dan efisiensi
birorkrasi pemerintah.

2
https://m.tempo.co/read/news/2016/10/12/090811537/daya-saing-indonesia-menurun-ini-sebabnya

6
b. Analisis Menurut Pilar

Sesuai dengan indikator pendorong produktivitas, terdapat 12 pilar daya saing yang dijadikan
parameter untuk mengukur daya saing secara global. Analisis berikutnya akan membandingkan
kinerja setiap pilar daya saing dalam kelompok yang sama maupun terhadap pilar-pilar lainnya.
Kelompok Persyaratan Dasar dibangun dari pilar-pilar Institusi, Infrastruktur, Makroekonomi,
Kesehatan dan Pendidikan Dasar. Kelompok Penopang Efisiensi dibangun dari pilar-pilar Pendidikan
Tinggi, Efisiensi Pasar Barang, Efisiensi Pasar Tenaga Kerja, Pasar Keuangan, Kesiapan Teknologi, dan
Besaran Pasar. Sedangkan Kelompok Inovasi dan Kecanggihan Bisnis dibangun dari pilar-pilar
Kecanggihan Bisnis dan Inovasi.

Tabel 5 membantu menjelaskan penyebab turunya posisi daya saing Indonesia pada tahun 2016 (41,
turun 4 peringkat) dengan melihat perkembangan indikator pilar-pilar daya saing sepanjang tahun
2013 hingga 2016 terutama pada Kelompok Persyaratan Dasar yang mengalami penurunan tertinggi
hingga 7 peringkat yang disebabkan oleh penurunan pada pilar Kesehatan dan Pendidikan Dasar
hingga 28 peringkat, disusul oleh penurunan pada pilar Makroekonomi yang menurun hingga 4
peringkat. Pilar Infrastruktur dan Institusi masih meningkat masing-masing 1 dan 11 peringkat dari
tahun 2013.

Beberapa pilar yang terlihat mengalami penurunan yang cukup tinggi selama rentang waktu 2013-
2016 adalah Kesehatan dan Pendidikan Dasar (turun 28 peringkat), Kesiapan Teknologi (turun 16
peringkat). Sementara itu, pilar yang mengalami perbaikan kinerja ditunjukan oleh pilar Pasar
Keuangan (naik 18 peringkat), hal ini tidak terlepas dari kinerja pemerintah dalam mewujudkan
kebijakan reformasi birokrasi pengelolaan keuangan di Indonesia melalui optimalisasi pelayanan dan
perundang-undangan melalu deregulasi kuartal keempat 2015. Hal lainnya yang turut mendukung
peraikan pilar pasar keuangan adalah sentimen positif kebijakan tax amnesty, ditambah lagi dengan
aliran dana masuk dari tax amnesty tersebut.

Tabel 5. Perubahan Peringkat Daya Saing Indonesia Menurut Pilar 2013-2016

2013- 2014- 2015- 2013-


Kelompok Indikator
2014 2015 2016 2016
Peringkat Keseluruhan 12 4 -3 -3
Kelompok Persyaratan Dasar 13 -1 -3 -7
Makroekonomi -1 -8 1 -4
Kesehatan dan Pendidikan Dasar -2 -2 -6 -28
Infrastruktur 17 5 -6 1
Institusi 5 14 -2 11
Kelompok Penopang Efisiensi 6 6 0 3
Pendidikan Tinggi 9 3 -4 1
Besar Pasar 1 0 5 5
Kesiapan Teknologi 10 -2 -8 -16
Pasar Keuangan 10 18 -7 18
Efisiensi Pasar Barang 13 2 -7 -8
Efisiensi Pasar Tenaga Kerja 17 -7 -5 -5
Kelompok Inovasi dan Kecanggihan Bisnis 7 3 -3 1
Inovasi 6 2 1 2
Kecanggihan Bisnis 5 3 -2 -2
Sumber : WEF (2012-2016), diolah

7
c. Indikator Terbaik dan Terburuk

Dari total 138 indikator, 15 diantaranya termasuk peringkat 30 terbesar dunia. Selengkapnya lihat
tabel 6.

Tabel 6. Peringkat Indikator Terbaik Indonesia Tahun 2016

No Indikator Peringkat
1 Indeks Besar Pasar Domestik 8
2 PDB (PPP) 8
3 Belanja Pemerintah untuk Produk Teknologi Canggih 12
4 Tabungan Nasional Bruto 14
5 Tersedia Kursi Penerbangan Jutaan Kilometer/Minggu 14
6 Indeks Besar Pasar Luar Negeri 18
7 Ketersediaan Modal Ventura 20
8 Kemudahan dalam Mengakses Pinjaman 26
9 Pengeluaran Perusahaan untuk R&D 26
10 Kesediaan Mendelegasikan Wewenang 27
11 Kapasitas Negara untuk Menarik Bakat 28
12 Kolaborasi Perguruan Tinggi-Industri dalam R&D 28
13 Pembiayaan Melalui Pasar Modal Lokal 29
14 Pengembangan Sentra Industri Negara 29
15 Pemborosan Pengeluaran Pemerintah 30
Sumber : WEF (2016), diolah

Sementara itu, untuk indikator dalam kategori buruk (< 100) Indonesia memiliki 18 indikator
terburuk seperti ditampilkan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Peringkat Indikator Terburuk Indonesia Tahun 2016

No Indikator Peringkat
1 Biaya Bisnis akibat Kejahatan dan Kekerasan 102
2 Angka Harapan Hidup 102
3 Angka Partisipasi Pendidikan Dasar 106
4 Pengguna Internet 107
5 Kejahatan Terorganisir 108
6 Langganan Internet Tetap Broadband (/100 pop) 108
7 Inflasi 111
8 Bandwith Internet (kb/s/pengguna) 112
9 Ekspor (% PDB) 113
10 Biaya Bisnis karena Terorisme 115
11 Dampak Bisnis akibat Tuberkulosis 122
12 Dampak Bisnis akibat HIV/AIDS 124
13 Waktu untuk Memulai Bisnis 126
14 Impor (% PDB) 129
15 Kejadian TBC 132
16 Berbagai Prosedur Memulai Bisnis 133
17 Kelebihan Biaya Mingguan Gaji 133
18 Partisipasi Perempuan dalam Angkatan Kerja (Rasio Laki-laki) 155
Sumber : WEF (2016), diolah

8
Penghambat Daya Saing

Beberapa faktor umum yang menghambat daya saing ditunjukkan pada tabel 8. Lima masalah utama
penghambat daya saing bisnis adalah masalah Korupsi, Birokrasi Pemerintah yang Tidak Efisien,
Infrastruktur yang Tidak Memadai, Akses Terhadap Pembiayaan, dan Inflasi. Korupsi dipresepsi
merupakan permasalah paling utama di Indonesia dan menempati urutan teratas dalam intensitas
masalah. Lihat tabel 8.

Tabel 8. Faktor Penghambat Daya Saing Bisnis di Indonesia Tahun 2016


Intensitas
Faktor Permasalahan
Masalah
Korupsi 11.8
Birokrasi Pemerintah yang Tidak Efisien 9.3
Infrastruktur yang Tidak Memadai 9.0
Akses terhadap Pembiayaan 8.6
Inflasi 7.6
Ketidakstabilan Kebijakan Pemerintah 6.5
Etika Kerja Buruk 6.3
Tingkat Pajak 6.1
Tenaga Kerja Terdidik yang Memadai 5.6
Peraturan mengenai Perpajakan 4.8
Kebijakan Nilai Tukar 4.6
Ketidakstabilan Pemerintah 4.1
Pelayanan Kesehatan Publik Buruk 4.0
Kriminalitas dan Pencurian 4.0
Kekurangan Kapasitas untuk Berinovasi 3.7
Ketatnya Peraturan Tenaga Kerja 3.7
Sumber : WEF (2016), diolah

Pemerintah Indonesia terus berupaya meminimalisasi indikator penghambat daya saing ini. Korupsi
adalah hal yang paling utama dan segera ditangani, penyederhanaan birokrasi juga telah menjadi
agenda dalam sasaran 13 paket kebijakan ekonomi pemerintah. Olehnya, paket kebijakan ekonomi
tersebut harus benar-benar dapat diimplementasikan agar terwujud dalam bentuk birokrasi yang
efisien dan friendly khusunya kepada investor. Selain itu, kelemahan dari sisi infrastruktur juga
mendapatkan penanganan serius dari pemerintah saat ini, hal ini dibuktikan melalui alokasi
anggaran untuk infrastruktur yang tidak mengalami pemangkasan.

Faktor penghambat daya saing bisnis ini dapat menjadi pertimbangan perusahaan MNC dalam
melakukan keputusan investasi bisnis ke negara tujuan. Sebab keputusan untuk berinvestasi sangat
dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor sosial. Dalam teori, perusahaan harus mampu
mengidentifikasi keunggulan kompetitif yang dimilikinya. Apabila perusahaan memiliki keunggulan
kompetitif dan terdapat ketidaksempurnaan pasar, maka perusahaan akan dapat menikmati
keuntungan yang cukup besar. Namun dalam praktek, perusahaan harus mampu mendapatkan dan
memproses semua infomasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang rasional, berdasarkan
semua fakta yang terjadi.

Perusahaan MNC sangat dipengaruhi oleh situasi politik di negara tuan rumah dan perubahan
hubungan politik antara negara tuan rumah, negara asal dan negara pihak ketiga. Keadaan ini
disebut risiko negara (country risk) yang merupakan refleksi dampak negatif dari lingkungan suatu
negara atas arus kas perusahaan MNC. Keadaan yang dan kejadian politik yang mempengaruhi
perusahaan MNC dinamakan risiko politik (Yulianti & Prasetyo, 2005). Pengaruh yang timbul akibat
risiko politik tersebut dapat berupa pengaruh positif maupun negatif. Namun dalam dunia nyata,
perhatian manajer akan lebih terfokus pada pengaruh negatif yang mungkin terjadi. Risiko ini sangat
penting untuk dipertimbangkan ketika perusahaan berencana melakukan bisnis dalam suatu negara.

9
Tabel 9. Lima Faktor Peghambat Utama Daya Saing Bisnis di Indonesia Tahun 2013-2016

2013 2014 2015 2016


1
Korupsi Korupsi Korupsi Korupsi
2
Birokrasi Pemerintah Akses Pembiayaan Birokrasi Pemerintah Birokrasi Pemerintah
3
Infrastruktur Inflasi Infrastruktur Infrastruktur
4
Akses Pembiayaan Birokrasi Pemerintah Ketidakstabilan Kebijakan Akses Pembiayaan
5
Regulasi Tenaga Kerja Infrastruktur Akses Pembiayaan Inflasi
Sumber : WEF (2012-2016), diolah

Tabel 9 menunjukkan lima faktor utama penghambat daya saing dalam memulai bisnis di Indonesia
dari tahun 2013 hingga 2016. Tampaknya Indonesia memiliki masalah serius dengan masalah korupsi
yang merupakan salah satu faktor risiko politik. Hal ini akan melemahkan posisi Indonesia oleh
perusahaan MNC dalam melakukan bisnis di Indonesia, sebab korupsi dapat meningkatkan biaya
menjalankan usaha atau mengurangi pendapatan. Korupsi, Birokrassi Pemerintah, Infrastruktur,
Akses Pembiayaan dan Inflasi

Berbeda dengan Singapura, permasalahan utama melakukan bisnis di Singapura adalah ketatnya
peraturan tenaga kerja. Sedangkan faktor Korupsi adalah faktor dengan intensitas masalah hanya
0.1. Faktor Birokrasi Pemerintah juga hanya memiliki intensitas masalah 2.7, berbeda dengan
Indonesia yang mencapai 9.7. Tabel 10 menunjukkan bahwa di negara ASEAN yang dianalisis, hanya
Singapura dan Brunei Darussalam yang tidak memiliki masalah korupsi dalam lima faktor
penghambat daya saing bisnis. Berikut lima faktor penghambat daya saing bisnis di beberapa negara
ASEAN tahun 2016.

Tabel 10. Lima Faktor Peghambat Utama Daya Saing Bisnis


di Beberapa Negara ASEAN Tahun 2013-2016

Intensitas
Negara Faktor Permasalahan
Masalah
Singapore 1. Peraturan Tenaga Kerja 28.4
2. Keterbatasan Kapasitas untuk Inovasi 20.6
3. Inflasi 14.9
4. Tenaga Kerja Terdidik yang Memadai 11.0
5. Etika Kerja Buruk 6.0
Malaysia 1. Akses Pembiayaan 12.4
2. Korupsi 8.8
3. Birokrasi Pemerintah 8.4
4. Peraturan Tenaga Kerja 8.1
5. Kebijakan Nilai Tukar 7.2
Thailand 1. Ketidakstabilan Pemerintahan 16.7
2. Birokrasi Pemerintah 11.9
3. Korupsi 11.3
4. Ketidakstabilan Politik 9.9
5. Keterbatasan Kapasitas untuk Inovasi 9.9

10
Indonesia 1. Korupsi 11.8
2. Birokrasi Pemerintah 9.3
3. Infrastruktur 9.0
4. Akses Pembiayaan 8.6
5. Inflasi 7.6
Philippines 1. Birokrasi Pemerintah 18.8
2. Infrastruktur 17.8
3. Korupsi 16.9
4. Tarif Pajak 10.8
5. Peraturan Pajak 8.3
Brunei Darussalam 1. Birokrasi Pemerintah 17.4
2. Akses Pembiayaan 15.1
3. Peraturan Tenaga Kerja 13.1
4. Etika Kerja Buruk 12.4
5. Infrastruktur 12.2
Sumber : WEF (2016), diolah

Kondisi ekonomi suatu negara menjadi salah satu faktor penting yang diperhatikan perusahaan MNC
ketika akan melakukan keputusan bisnisnya. Faktor-faktor penghambat daya saing bisnis akan
mempengaruhi kondisi ekonomi suatu negara. Kondisi ekonomi akan berpengaruh pada perubahan
nilai mata uang, pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat suku bunga yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kegiatan operasi perusahaan MNC.

Menurunya Daya Saing Global Indonesia

Penjelasan dan uraian sebelumnya telah menjelaskan posisi daya saing global Indonesia pada tahun
2016 yang terus mengalami penurunan dari peringkat 37 pada 2015 menjadi ke 41 pada 2016.
Meskipun diketahui bahwa dalam dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres Jusuf Kalla,
telah dikeluarkan sederet reformasi kebijakan dibidang ekonomi, namun hasilnya belum
menggembirakan, sehingga kerja keras masih harus terus diupayakan. Terkait dengan berbagai
indikator permasalahan di atas, presiden pun mengakui bahwa masih banyak hal yang belum selesai.

Melihat fenomena turunya daya saing global Indonesia, setidaknya ada tinga alasan penting
mengapa daya saing Indonesia turun. Pertama, dampak paket kebijakan ekonomi belum bisa
dirasakan. Hal ini membutuhkan konsistensi pemerintah dalam mewujudkan paket ekonomi
tersebut. Sebab dari sisi internal, ke 13 paket kebijakan ekonomi belum bisa dirasakan.

Hal kedua ialah, meski Indonesia terus berbenah, negara lain lebih cepat. Seperti diproyeksikan pada
tabel 2, diketahui bahwa hampir semua negara ASEAN mengalami penurunan peringkat, kecuali
Kamboja. Thailand turun dua peringkat, Malaysia tujuh peringkat, dan Filipina terperosok hingga 10
peringkat. Bahkan, Vietnam pun turun empat peringkat dari peringkat ke 54 menjadi peringkat ke
60. Hanya Kamboja yang naik satu peringkat menjadi peringkat ke 89. Pelambatan ekonomi global
memenuhi lingkungan makro dan berdampak pada penurunan peringkat hampir semua negara di
ASEAN.

Ketiga, dalam peringkat daya saing, terdapat banyak faktor non-struktural yang belum disentuh
reformasi. Paling tidak ada tiga pilar persoala yang perlu diperhatikan yaitu: pilar efisiensi pasar
tenaga kerja (lihat tabel 5) yang berada pada peringkat ke 108 (turun 5 peringkat), pilar pendidikan
dasar dan kesehatan yang menempati peringkat ke 100 (turun 28 peringkat) serta pilar pendidikan

11
tinggi dan pelatihan di peringkat ke 63 (naik 1 peringkat). Ketiga pilar ini menurut penulis belum
sepenuhnya tersentuh reformasi.

Hal menarik lainnya adalah indikator akses ke pembiayaan yang setiap tahun (2013-2016) masuk
sebagai indikator utama penghambat daya saing Indonesia. Selama ini, kebijakan industri termasuk
industri keuangan dianggap tidak konsisten sehingga belum mampu membangun dan meningkatkan
daya saing. Pemanfaatan daya saing komparatif Indonesia (sumber daya alam, lokasi strategis, dan
jalur pelayaran dan penerbangan yang cukup padat) tidak diimbangi dengan kebijakan moneter dan
perbankan yang baik. Justru, perbankan terlihat semakin melepaskan diri dari sektor riil sehingga
tidak mendukung pertumbuhan industri. Selain itu, pendanaan yang tidak cukup luas juga cukup sulit
diperoleh terutama untuk sektor manufaktur, infrastruktur dan pertanian.

Soy M Pardede, Anggota Dewan Penasehat Kamar Dagang dan Industri Kreatif (Kadin) Indonesia,
memandang bahwa upaya peningkatan daya saing harus dilakukan, seperti kebijakan keuangan
khususnya perbankan untuk mendukung daya saing dari aspek pembiayaan, kebijakan hilirisasi di
bidang industri jasa keuangan3. Melalui penambahan cabang bank, lembaga keuangan mikro,
lembaga keuangan non-bank dan branchless banking. Sehingga industri jasa keuangan dapat
mendukung industri produk unggulan dan industri kreatif.

Daya Saing Provinsi di Indonesia

Sebagai negara kepualauan, Indonesia memiliki 33 provinsi yang masing-masing memiliki potensi
dan keunggulan ekonomi. Asean Competitiveness Institute (ACI) Lee Kuan Yew School of Public
Policy NUS Singapore, merilis Competitiveness Analysis of ASEAN-10 Countries and Indonesian
Provinces pada tahun 2016. Tujuannya adalah memberikan gambaran umum dan informasi dalam
kemudahan melakukan bisnis di 33 provinsi di Indonesia, serta melihat tantangan regional dan
solusinya bagi daya saing Indonesia. Dalam mengukur daya saing regional Indonesia, LKY
menggunakan 4 lingkungan utama, dan 12 sub lingkungan serta 103 indikator. Keempat lingkungan
utama tersebut adalah : (1) Kestabilan Makroekonomi (Macroeconomy Stability), (2) Pemerintah dan
pengaturan Kelembagaan (Government and Institutional Setting), (3) Kondisi Tenaga Kerja, Keuangan
dan Usaha (Financial, Business and Manpower Conditions), dan (4) Pengembangan Infrastruktur dan
Kualitas Hidup (Quality of Life and Infrastructure Development).

Tabel 11. Peringkat Daya Saing Provinsi Indonesia Tahun 2015-2016

Sumber : ACI (2016)

3
https://www.merdeka.com/uang/tak-didukung-sektor-perbankan-moneter-buat-daya-saing-ri-buruk.html

12
Laporan peringkat daya saing regional Indonesia tahun 2016 yang dipublikasikan ACI menunjukkan
bahwa 5 provinsi dengan peringkat daya saing terbaik adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Daya saing ini sesuai dengan Laporan
Nusantara Bank Indonesia per Agustus 2016, yang mencatatkan peningkatan perekonomian Jawa
dari 5.31% menjadi 5.73%. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa terutama bersumber dari
konsumsi baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah.

Bank Indonesia melaporkan bahwa perkembangan terkini indikator perekonomian di berbagai


daerah secara agregat mengindikasikan potensi berlanjutnya peningkatan perekonomian. Perbaikan
tersebut ditopang oleh akselerasi investasi, baik investasi bangunan maupun non bangunan,
membaiknya ekspor, serta masih kuatnya konsumsi rumah tangga. Membaiknya kinerja investasi
didorong oleh berlanjutnya realisasi berbagai proyek infrastruktur pemerintah berskala besar.
Investasi swasta juga terpantau membaik seiring dengan intensifitasnya kebijakan yang ditempuh
oleh pemerintah untuk mendorong peningkatan iklim usaha di daerah.

Gambar 3. Peta Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2016 (BI)

Upaya untuk mempertahankan dan mendorong daya saing ekonomi domestic ditengah pemilihan
ekonomi global yang belum kuat yang dilakukan pemerintah melalui beragam paket kebijakan yang
bertujuan untuk melakukan kebijakan transformasi structural, kemudahan berinvestasi serta
peningkatan daya saing dan perbaikan infrastruktur. Namun berbagai kebijakan tersebut dalam
implementasinya di daerah ternyata masih menghadapi beberapa kendala. Status daerah sebagai
Daerah Otonomi menyebabkan beberapa kebijakan pemerintah pusat perlu dirumuskan kembali
dala bentuk peraturan daerah (perda).

Namun secara umum, survei yang dilakukan Bank Indonesia mengindikasikan bahwa pelaku usaha,
terutama sektor industry memiliki ekspektasi posifit pada insetif yang diberikan pemerintah melalui
paket kebijakan. Berbagai kemudahan berinvestasi melalui layanan 3 jam, insentif investasi di bidang
farmasi petrokimia, serta keterbukaan investasi asing telah dimanfaatkan sektor industry. Disisi lain,
kebijakan jaminan sistem pengupahan tenaga kerja, insentif PPh 21, perbaikan infrastruktur logistic,
serta fasilitas biaya impor bahan baku dan pajak di kawasan Inland Fre Trade Arrangement (IFTA)
turut mendorong daya saing produk industri, khususnya tujuan ekspor.

13
Periode pemerintahan sekarang yang baru 2 tahun berjalan, memang belum dapat membawa
perubahan yang signifikan terhadap perbaikan ekonomi serta peningkatan daya saing global bagi
Indonesia. Oleh karena itu, kedepan dibuthkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah guna
mendorong efektivitas pelaksanaan paket kebijakan, khususnya di tingkat Kab/Kota. Provinsi-
provinsi dengan daya saing rendah perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah, agar terjadi
pemerataan pembangunan.

Kesimpulan

Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index, GCI) yang dipublikasikan secara regular oleh
WEF merupakan informasi yang berguna bagi pemerintah dan perusahaan MNC karena dapat
menjadi sumber informasi dalam hal daya saing ekonomi.

Daya saing Global Indonesia pada tahun 2016 mengalami penurunan hingga 4 peringkat ke level 37
dari 138 negara. Hal ini terutama disebabkan oleh naiknya peringkat Azerbaijan (37), berubahnya
posisi Kuwait (38 dari 34), naiknya peringkat India (39 dari 55) dan Malta (40 dari 48). Nampaknya
Indonesia masih jauh dibawah negara-negara lainnya di Asean seperti Singapore (2), Malaysia (25),
dan Thailand (34).

Meskipun telah dilakukan berbagai reformasi pada lingkungan bisnis, kinerja daya saing Indonesia
tetap menurun pada tahun 2016. Apabila ditinjau dari tiga kelompok pilar, Indonesia antara tahun
2013 hingga 2016 terjadi penurunan 3 peringkat daya saing Indonesia secara keseluruhan,
penurunan 7 peringkat pada kelompok persyaratan dasar, dan hanya terjadi kenaikan masing-
masing 3 dan 1 peringkat pada kelompok penopang efisiensi dan inovasi dan kecanggihan bisnis.

Faktor utama penghambat daya saing dalam memulai bisnis di Indonesia dari tahun 2013 hingga
2016 adalah Korupsi. Tampaknya Indonesia memiliki masalah serius dengan masalah korupsi yang
merupakan salah satu faktor risiko politik. Hal ini akan melemahkan posisi Indonesia oleh
perusahaan MNC dalam melakukan bisnis di Indonesia, sebab korupsi dapat meningkatkan biaya
menjalankan usaha atau mengurangi pendapatan. Selain itu pada tahun 2016, lima faktor teratas
yang menjadi penghambat daya saing Indonesia adalah Korupsi, Birokrassi Pemerintah,
Infrastruktur, Akses Pembiayaan dan Inflasi.

GCI melengkapi pemeringkatan kemajuan setiap negara dibandingkan dengan negara lain dalam
banyak aspek yang semakin banyak dilakukan, seperti Corruption Preceptions Index (Transparency
International), Doing Business Indicator (Bank Dunia), Human Development Index (UNDP), The
Climate Competitiveness Index (PBB). Terdapat pula World Competitiveness Yearbook yang
dipublikasikan oleh IMD untuk pemeringkatan daya saing.

Referensi

Bank Indonesia, (2016). Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional. Laporan Nusantara, Agustus 2016.
Vol 11 Nomor 3. Bank Indonesia.
Asia Competitiveness Institute (ACI), (2016). Competitiveness Analysis of ASEAN-10 Countries and
Indonesian Provinces. Singapore: LKY
Reis, J. G., & Thomas, F. (2012). Trade Competitiveness Diagnostic Toolkit. Washington D.C.: World
Bank.
Yulianti, S. H., & Prasetyo, H. (2005). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan Internasional Edisi Ke 2.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
World Economic Forum (WEC), The Global Competitiveness Report, beberapa tahun terakhir

14

View publication stats

También podría gustarte