Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
APBN dalam Islam disebut dengan istilah Baitul Mal. Mekanisme penyusunan APBN Islam
memiliki paradigma yang berbeda dengan APBN konvensional. Beberapa perbedaan paradigma
tersebut adalah:
3. Dalam APBN Islam, sumber pendapatan dan pos pengeluarannya telah ditetapkan oleh
syariah.
4. Dalam APBN Islam, Khalifah selaku kepala negara bisa menyusun sendiri APBN tersebut
melalui hak tabanni yang melekat pada dirinya.
5. Alokasi dana masing-masing sumber pendapatan dan pos pengeluaran dalam APBN Islam
diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah.
Dari kelima butir paradigma penyusunan APBN Islam tersebut dapat dipahami, bahwa APBN
yang telah disusun dan ditetapkan oleh Khalifah dengan sendirinya akan menjadi UU yang harus
dijalankan oleh seluruh aparatur pemerintahan. Penyusunan UU APBN Islam ini tidak
membutuhkan pembahasan dengan Majelis Umat. Penentuan alokasi dana per masing-masing
sumber pendapatan dan pos pengeluaran juga diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah
sehingga tidak memerlukan pembahasan dengan Majelis Umat. Meskipun demikian, boleh saja
Majelis Umat memberikan masukan, tetapi pendapatnya tetap tidak mengikat bagi Khalifah.
Dengan mekanisme tersebut, APBN Islam dapat dikatakan bersifat tetap dari aspek sumber-
sumber pendapatan dan pos-pos pengeluarannya, tetapi alokasi anggaran per masing-masing
sumber pendapatan dan pos pengeluarannya bersifat fleksibel. Jika di tengah jalan ternyata
penerimaannya kurang, dengan mudah Khalifah akan menggenjot penerimaan tersebut. Begitu
juga dengan pemasukannya. Jika alokasi yang dianggarkan berlebih, kelebihan tersebut tidak
harus dihabiskan, tetapi bisa dikembalikan kepada pemerintah pusat, atau ditahan di masing-
masing daerah sebagai saldo anggaran untuk dimasukkan dalam alokasi anggaran berikutnya.
Selain itu, kebijakan keuangan dalam APBN Islam ini menganut prinsip sentralisasi. Dana dari
seluruh wilayah ditarik ke pusat, kemudian didistribusikan ke masing-masing daerah sesuai
dengan kebutuhannya, bukan berdasarkan jumlah pemasukannya. Jika ada daerah yang sedang
membangun dan membutuhkan dana besar, sementara pemasukannya tidak sebesar yang
dibutuhkan, maka negara dapat menyubsidi daerah tersebut.
Hal yang sama berlaku bagi daerah yang membutuhkan dana besar karena serangan musuh atau
bencana. Dengan cara ini, tidak ada satu alokasi anggaran pun yang menguap atau tidak tepat
sasaran. Pemerataan pembangunan pun bisa dilakukan dengan baik sehingga tidak ada
ketimpangan antar daerah.
Sumber-sumber penerimaan dalam APBN Islam sangat berbeda dengan APBN konvesional.
Sebab, sumber penerimaan APBN Islam sama sekali tidak mengandalkan sektor pajak dan utang,
sebagaimana APBN konvensional. Sumber penerimaan negara untuk APBN Islam ada tiga:
(1) Dari sektor kepemilikan individu. Misal: sedekah, hibah, zakat dsb. Khusus untuk zakat tidak
boleh bercampur dengan harta yang lain.
(2) Dari sektor kepemilikan umum. Misal: pertambangan, minyak bumi, gas, kehutanan dsb.
(3) Dari sektor kepemilikan negara. Misal: jizyah, kharaj, ghanimah, fai, usyur dsb.
Dari ketiga sumber penerimaan negara tersebut selanjutnya dapat dikelompokkan lagi ke dalam
seksi-seksi. Misal: dari kepemilikan individu dibagi ke dalam seksi zakat uang dan perdagangan;
seksi zakat pertanian dan buah-buahan; seksi zakat ternak unta, sapi dan kambing. Dari
kepemilikan umum: seksi minyak dan gas; seksi listrik; seksi pertambangan; seksi sungai; laut,
perairan dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; seksi tempat khusus. Dari kepemilikan
negara: seksi ghanimah; seksi kharaj; seksi tanah; seksi jizyah; seksi fai; seksidharibah (pajak).
Untuk fakta sekarang ini, sumber penerimaan terbesar yang dapat diandalkan negara seperti
Indonesia ini adalah dari sektor kepemilikan umum seperti pertambangan, minyak dan gas,
kehutanan, kelautan dsb. Di dalam Islam, tugas negara hanyalah sebatas mengelolanya kemudian
mengembalikan hasilnya kepada rakyat sebagai pemilik asalnya, sesuai ketentuan yang sudah
digariskan oleh syariah. Dengan demikian Islam melarang kepemilikan umum tersebut dikuasai
oleh individu atau swasta, apalagi swasta asing, sebagaimana yang menimpa Indonesia saat ini.
Apabila sumber penerimaannya sudah mencukupi, negara tidak perlu memungut pajak
(dharibah) dari rakyatnya. Pemungutan pajak hanya dilakukan apabila anggaran negara dalam
kondisi defisit. Pemungutan pajak tersebut hanya bersifat sementara (temporal) dan hanya
dibebankan atas warga negara yang mampu saja.
Dalam hal pos pengeluaran APBN Islam, syariah Islam juga telah memberikan ketentuan yang
jelas, yang dapat dijadikan pegangan oleh Khalifah untuk mengalokasikan pengeluarannya. Ada
6 kaidah utama dalam pengalokasian anggaran belanja APBN Islam, yaitu:
1. Khusus untuk harta di dalam Kas APBN Islam yang berasal dari zakat, maka pos
pengeluarannya wajib hanya diperuntukkan bagi 8 ashnaf sebagaimana yang telah ditunjukkan
dalam al-Quran.
2. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari APBN Islam untuk keperluan jihad dan
menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin.
3. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari APBN Islam untuk memberikan gaji
(kompensasi) atas jasa yang telah dicurahkan untuk kepentingan negara, yaitu: pegawai negeri,
hakim, tentara, dsb.
4. Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib, dalam
arti jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemadaaratan bagi rakyat. Contoh:
pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, masjid, air bersih dsb.
5. Pos pembelanjaan wajib yang bersifat kondisional, yaitu untuk menanggulangi musibah atau
bencana alam yang menimpa rakyat. Contoh: paceklik, gempa bumi, banjir, angin topan, tanah
longsor dsb.
6. Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat tidak wajib,
dalam arti sarana tersebut hanya bersifat penambahan dari sarana-sarana yang sudah ada. Jika
sarana tambahan tersebut tidak ada, tidak akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyatnya. [Dwi
Condro Triono, Ph.D]