Está en la página 1de 27

MAKALAH SISTEM SENSORI DAN PERSEPSI I

GANGGUAN KORNEA DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN KERATITIS

Disusun oleh kelompok 8:

1. Adelita Ratu F.V (121.0001)


2. Fitri Lailiyah (121.0039)
3. Prasdiana Heny P. (121.0077)
4. Reni Susanti (121.0083)
5. Zulfikar Albaits M. (121.0113)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH


SURABAYA
PRODI S1-2A
TAHUN AJARAN 2013-2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan

i
makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul GANGGUAN KORNEA DAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KERATITIS.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT. senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

Surabaya, 19 April 2014

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................i
Daftar Isi...........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................2
1.3 Tujuan............................................................................................2
1.4 Manfaat..........................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi..........................................................................................3
2.2 Histologi.........................................................................................3
2.3 Perdarahan dan persarafan..............................................................4
2.4 Gangguan kornea............................................................................4
2.5 Patofisiologi....................................................................................23
2.6 Manifestasi klinis............................................................................23
2.7 Tanda dan gejala.............................................................................24
2.8 Pemeriksaan penunjang..................................................................24
2.9 Penatalaksanaan..............................................................................24

BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Asuhan Keperawatan Keratitis......................................................26

BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan....................................................................................33
4.2 Saran .............................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan merupakan
jaringan transparan yang dilalui oleh berkas cahaya saat menuju retina. Sifat
tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskular,
dan deturgenses. Deturgens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi
sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam
mekanisme dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih
berat daripada cedera pada epitel.

3
Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya
sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya menyebabkan edema
lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah
beregenerasi. Penguapan air dari film air mata prakornea berakibat film air
mata menjadi hipertronik. Proses penguapan air dari film air mata prakornea
dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma
kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.
Mata dapat terkena berbagai kondisi. Beberapa diantaranya bersifat
primer, sekunder akibat kelainan pada sistem organ tubuh lain. Kebanyakan
kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi awal, dapat dikontrol dan
penglihatan dapat dipertahankan (Brunner dan Suddarth, 2001).
Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme pada jaringan tubuh,
terutama yan menyebabkan cedera selular lokal akibat kompetisi
metabolisme, toksin, replikasi intraselular/respon antigen antibodi
Inflamasi dan infeksi dapat terjadi pada beberapa struktur mata dan
terhitung lebih dari setengah kelainan mata. kelainan-kelainan yang umum
terjadi pada mata orang dewasa meliputi radang/inflamasi pada kelopak
mata, konjungtiva, kornea, koroid badan ciriary dan iris. Katarak
disebabkan karena kekeruhan lensa. Glaukoma terjadi karena peningkatan
tekanan dalam bola mata (IOP). Retina robek/lepas
Tetapi sebagian orang mengira penyakit radang mata/mata merah hanya
penyakit biasa cukup diberi tetes mata biasa sudah cukup. Padahal bila
penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan
kerusakan pada mata/gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi
seperti Glaukoma, katarak maupun ablasi retina.
Untuk itu kali ini penulis memusatkan pada macam-macam gangguan
kornea dan asuhan keperawatan infeksi/radang mata keratitis. Jika tidak
ditangani dengan cepat, penyakit mata tersebut akan menyebar di
sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan keratitis?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan keratitis.

1.4 Manfaat
Agar mahasiswa mampu mengetahui macam-macam gangguan pada
kornea dan asuhan keperawatan pada pasien dengan keratitis.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan,
berukuran 11 - 12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki
indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara
dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia.
Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus
humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf
terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva (AAO, 2008). Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550
m, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm
(Riordan-Eva, 2010).

2.2 Histologi
Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu
lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan
endotel (Riordan-Eva, 2010).
Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran
limitans anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea
(substansi propia). Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel
yang membentuk lamella tipis dan lapisan-lapisan fibroblas gepeng dan
bercabang (Eroschenko, 2003).
Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel
posterior yang juga merupakan endotel kornea. Membran Descemet
merupakan membran basal epitel kornea (Eroschenko, 2003) dan memiliki
resistensi yang tinggi, tipis tetapi lentur sekali (Hollwich, 1993).

2.3 Perdarahan dan Persyarafan


Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh-pembuluh darah limbus,
humor aqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari
cabang pertama (ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus (Riordan-
Eva, 2010). Saraf trigeminus ini memberikan sensitivitas tinggi terhadap
nyeri bila kornea disentuh (Hollwich, 1993).

2.4 Gangguan Kornea


2.4.1 Gangguan Pada Integritas Struktur Jaringan Kornea
1. Kelainan Kongenital Kornea
Dysgenesis kornea adalah kelainan pertumbuhan embrional
kornea yang berasal dari ektoderm permukaan dan mesoderm
yang termanifestasi sebagai malformasi kongenital, misalnya
anomali Peters.
2. Kelainan Herediter Kornea

5
Distrofi kornea adalah adanya deposit abnormal yang disertai
oleh perubahan arsitektur kornea, bilateral, tanpa sebab yang
diketahui. Proses dimulai pada usia bayi 1-2 tahun dpat menetap
atu berkembang lambat dan bermanifestasi pada usia 10-12 tahun.
Secara anatomis dibedakan atas distrofi anterior meliputi epitel
dan membran Bowman (distrofi Meesman, Cogan), distrofi
stroma (distrofi Groenouw), dan distrofi posterior meliputi
membran Descemet dan endotel (distrofi Fuchs).
3. Infeksi Kornea (Keratitis)
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya
diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena, yaitu
keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel atau
Bowman dan keratitis profunda atau keratitis interstisialis (atau
disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan
stroma.

a. Keratitis Superfisialis
1) Keratitis pungtata superfisialis: berupa bintik-bintik putih
pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit infeksi virus antara lain virus herpes
simpleks, herpes zoster, dan vaksinia.
2) Keratitis flikten: benjolan putih yang bermula di limbus
tetapi mempunyai kecenderungan untuk menyerang
kornea.
3) Keratitis sika: suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh
kurangnya sekresi kelenjar lakrimal atau sel gobet yang
berada di konjungtiva.
4) Keratitis lepra: suatu bentuk keratitis yang diakibatkan
oleh gangguan trofik saraf, disebut juga keratitis
neuroparalitik.
5) Keratitis nummularis: bercak putih berbentuk bulat pada
permukaan kornea biasanya multipel dan banyak
didapatkan pada petani.

b. Keratitis Profunda
1) Keratitis interstisial leutik atau keratitis sifilis kongenital.
2) Keratitis sklerotikans.

4. Ulkus (Tukak) Kornea


Infiltrasi disertai hilangnya sebagian jaringan
kornea.terjadinya ulkus kornea biasanya didahului oleh faktor

6
pencetus yaitu rusaknya sistem barier epitel kornea oleh
penyebab-penyebab seperti:
a. Kelainan pada bulu mata (trikiasis) dan sistem air mata
(insufisiensi air mata, sumbatan saluran lakrimal), dsb.
b. Faktor eksternal yaitu luka pada kornea (erosio kornea) karena
trauma, penggunaan lensa kontak, luka bakar pada derah
muka.
c. Kelainan-kelainan kornea yang disebabkan oleh edema kornea
kronik, exposure-keratitis (pada lagoftalmos, bius umum,
koma), keratitis karena defisiensi vitamin A, keratitis
neuroparalitik, keratitis superfisialis virus.
d. Kelainan-kelainan sistemik seperti malnutrisi, alkoholisme,
sindrom Steven Johnson, sindrom defisiensi imun.
e. Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun misalnya
kortikosteroid, IDU (Idoxyuridine), anastetik lokal dan
golongan imunosupresif.

Secara etiologik ulkus kornea dapat disebabkan oleh:


1. Bakteri: kuman yang murni dapat menyebabkan ulkus kornea
adalah streptococ pneumoniae.
2. Virus: herpes simpleks, zoster, vaksinia, variola.
3. Jamur: golongan kandida, fusarium, aspergilus, sefalosporium.
4. Reaksi hipersensitifitas: terhadap staphilococcus (ulkus
marginal), TBC (keratokonjungtivitis flikten), alergen yang
tidak diketahui (ulkus cincin).

2.4.2 Edema Kornea


Secara anatomis debedakan atas edema epitel dan edema stroma.
Epitel kornea yang normal tidak terlihat dengan mikroskop slit lamp,
pada edema lapisan epitel ini kehilangan homogenitasnya dan
menjadi tampak pada pemeriksaan menggunakan slit lamp. Edema
stroma menyebabkan hilangnya transparansi kornea diterangkan oleh
terjadinya pembelokan cahaya oleh fibril stroma yang membengkak.

2.4.3 Distrofi Kornea Herediter


Adalah kelainan kornea herediter, mengenai kedua mata dan
pada dasarnya kelainannya diperkirakan sebagai akibat kekurangan
sejenis enzim.
Distrofi berasal dari bahasa latin dystrophia, trophein yang
artinya memberi makan. Kelainan akibat gangguan gizi jaringan atau
degenerasi, dikenal dalam bentuk:

7
1. Distrofi Epitel dan Membran Bowman
a. Distrofi Kornea Mikrositik dari Cogan
Degenerasi kornea berupa bercak-bercak berbentuk
koma atau bulat intra epitel. Bercak berwarna keabu-abuan
dan terletak pada permukaan kornea bagian sentral dapat pula
ditemukan kekaburan berbentuk sidik jari atau seperti peta
pada membran basalis. Penyakit ini lebih sering didapatkan
pada wanita, tajam penglihatan hanya sedikit berkurang.
b. Distrofi Kornea Reis-Buckler
Distrofi ini berbentuk arosi kornea berulang yang
terdapat pada masa anak-anak dan didasarkan pada distrofi
yang utamanya mengenai membran Bowman. Terjadi
pengkaburan membran Bowman secara perlahan-lahan
disertai lapisan epitel yang tampak tidak rata. Tajam
penglihatan biasanya terganggu, pada penyakit ini tidak
ditemukan injeksi pembuluh darah.
c. Distrofi Stroma Kornea
Terdapat tiga bentuk distrofi stroma kornea, yaitu:
1) Distrofi granular: diturunkan secara autosomal
dominan, biasanya tidak menimbulkan gejala dan
didapatkab bercak-bercak granular berwarna putih
halus pada bagian sentral kornea.
2) Distrofi makular: diturunkan secara autosomal resesif.
Distrofi ini berbentuk sebagai bercak abu-abu lebar yng
padat pada bagian sentral kornea dan cenderung untuk
menyebar ke arah bagian perifer kornea. Lesi bermula
pada membran Bowman dan berkembang ke arah
stroma. Dapat disertai erosi kornea yang berulang dan
tajam penglihatan sangat terganggu.
3) Distrofi kornea kisi-kisi (lattice corneal dystrophy):
diturunkan secara autosomal dominan dan
menimbulkan gejala pada usia dekade pertama. Gejala
berupa erosi kornea yang berulang, menurunnya tajam
penglihatan serta astigmat ireguler. Bercak stroma
adalah khas yaitu bentuk kisi-kisi yang bercabang di
dalam lapisan stroma dengan bertambahnya usia bercak
makin bertambah sehingga mengganggu penglihatan, di
samping itu ditemukan keluhan epifora dan fotobia
karena erosi yang berulang. Bercak stroma ini adalah

8
material amiloid yang berasal dari degenerasi kolagen
stroma.

d. Distrofi Kornea Groenouw


Merupakan kelainan autosomal dominan yang gejalanya
mulai terlihat pada usia dekade pertama. Terdapat 2 bentuk
yaitu:
1) Distrofi Groenouw tipe I, berupa distrofi granular
dimana terdapat kekeruhan granular (seperti butiran roti
kering) berwarna putih seperti susu yang terletak pada
bagian sentral stroma di mulai dari stroma bagian depan
secara progresif berkembang ke arah stroma di
belakangnya. Diantara butiran-butiran bercak ini masih
ditemukan bagian-bagian kornea yang jernih, sehingga
penglihatan hanya sedikit terganggu dan biasanya tidak
memerlukan tindakan keratoplasti.
2) Distrofi Grenouw tipe II, berupa distrofi makular yang
dimulai pada usia dekade pertama dan mengarah ke
gangguan tajam penglihatan yang makin parah. Stroma
kornea secara umum berkabut disertai dengan bercak-
bercak putih keabuan yang padat, batas tidak tegas dan
tidak tampak bagian kornea yang jernih, sehingga
diperlukan tindakan keratoplast.

2. Distrofi Endotel Kornea


a. Distrofi Kornea dari Fuchs
Diturunkan secara autosomal dominan. Kelainan ini
didapatkan pada usia dekade ke-3 atau ke-4 atau lebih tua.
Kelainan kornea berupa edema yang progresif akibat
kegagalan fungsi pompa dan barier endotel. Edema kornea
dimulai pada bagian sentral dan menyebar di bagian perifer
serta didapatkan edema mikrobula epitel di depan stroma
yang mengalami edema. Bila mikrobula epitel pecah
penderita merasakan mata sakit atau rasa seperti ada benda
asing. Tajam penglihatan sangat terganggu dan kelainan ini
diatasi dengan tindakan keratoplast.

2.4.4 Infeksi Kornea (Keratitis)


1. Keratitis Herpes Simpleks

9
Herpes simpleks (HSV) tipe I merupakan penyebab yang
sering dan penting pada penyakit mata. Herpes simpleks tipe II
yang menyebabkan penyakit kelamin kadang dapat
menyebabkan keratitis dan korioretinitis infantil. Infeksi primer
oleh HSV I biasanya didapatkan pada awal kehidupan akibat
kontak erat seperti berciuman. Biasanya disertai dengan:
1. Demam.
2. Lesi vasikular kelopak mata.
3. Konjungtivitis folikular.
4. Limfadenopati preaurikular.
5. Kebanyakan asimtomatik.

Kornea mungkin tidak terkena meski dapat terlihat


kerusakan epitel pungtata. Infeksi berulang terjadi akibat
aktivasi virus yang laten di ganglion trigerminal saraf kranialis
ke-5. Mungkin tidak didapatkan riwayat klinis sebelumnya.
Virus berjalan di dalam saraf menuju mata. Sering terjadi pada
pasien debil (misal penyakit psikiatri, penyakit sistemik,
imunosupresi). Ditandai oleh adanya ulkus dendritik pada
kornea. Ulkus ini biasanya menyembuh tanpa parut. Jika stroma
juga terkena akan terjadi edema yang mengakibatkan hilangnya
transparansi kornea. Keterlibatan stroma dapat mengakibatkan
parut permanen. Jika parut kornea berat, diperlukan cangkok
kornea untuk mengembalikan penglihatan. Uveitis dan
glaukoma dapat terjadi pada penyakit ini. Keratitis disiformis
merupakan reaksi imunogenik terhadap antigen herpes dalam
stroma dan muncul sebagai kekeruhan stroma tanpa ulserasi,
sering dikaitkan dengan iritis.
Lesi dendritik diobati dengan antivirus topikal yang
biasanya sembuh dalam 2 minggu. Steroid topikal tidak boleh
diberikan pada pasien dengan ulkus dendritik karena dapat
menyebabkan ulserasi kornea luas. Pada pasien dengan
keterlibatan stroma (keratitis), steroid hanya digunakan dengan
pengawasan dokter mata dan dengan perlindungan antivirus.

2. Herpes Zoster Oftalmika


Penyakit ini disebabkan oleh virus varisela-zoster yang
menyebabkan cacar air, dan mengenai bagian oftalmika saraf
trigeminus. Tidak seperti infeksi herpes simpleks, pada herpes
zoster biasanya terdapat periode prodromal dan pasien secara
sistemik tidak sehat. Manifestasi okular biasanya didahului oleh
munculnya vesikel pada distribusi bagian oftalmika saraf
trigeminus. Besar kemungkinan terjadi masalah okular bila
cabang nasisiliar dari sarf tersebut terkena (vesikel pada radiks
hidung). Tanda-tandanya adalah:
1 Pembengkakan kelopak mata.
2 Keratitis.
3 Iritis.

10
4 Glaukoma sekunder.
Reaktivasi penyakit ini sering berkaitan dengan penyakit
sistemik yang tidak berhubungan. Terapi antivirus oral (misal
asiklovir dan famsiklovir) efektif dalam mengurangi neuralgia
pascainfeksi (nyeri infeksi berat di daerah ruam) jika diberikan
dalam 3 hari sejak erupsi vesikel kulit. Penyakit okular mungkin
memerlukan antivirus topikal dan steroid.
Prognosis penyakit mata herpetik membaik sejak terjadinya
terapi antivirus. Herpes simpleks maupun herpes zoster
menyebabkan anestesia kornea. Ulkus indolen yang tidak
menyembuh bisa terjadi setelah infeksi herpes simpleks dan sulit
diterapi.

3. Keratitis Bakteri
a. Patogenesis
Sejumlah bakteri dapat meninfeksi kornea adalah:
1) Staphilococcus epidermidis
2) Staphilococcus aureus
3) Streptococcus pneumoniae
4) Koliformis
5) Pseudomonas
6) Haemophilus

Beberapa bakteri ditemukan di tepi kelopak sebagai


bagian dari flora normal. Konjungtiva dan kornea mendapat
perlindungan dari infeksi dengan:
1) Kedipan mata
2) Pembersihan debris dengan aliran air mata
3) Penjeratan partikel asing oleh mukus
4) Sifat antibakteri dari air mata
5) Fungsi sawar epitel kornea (Neisseria gonnorrhoea
merupakan satu-satunya organisme yang dapat
menembus epitel intak).

Faktor predisposisi keratitis bakteri termasuk:


1) Keratokonjungtivatis sika (mata kering)
2) Robekan di epitel kornea (misal setelah trauma)
3) Penggunaan lensa kontak
4) Penggunaan steroid topikal jangka panjang

b. Gejala dan tanda:


1) Nyeri, biasanya berat kecuali bila kornea anestetik
2) Sekret purulen
3) Injeksi siliar
4) Gangguan penglihatan (berat jika melibatkan aksis
visual)

11
5) Kadang hipopion (satuan massa sel darah putih yang
terkumpul dibalik mata anterior)
6) Opasitas kornea berwarna putih yang sering dapat dilihat
dengan mata telanjang.

c. Terapi:
Kerokan diambil dari dasar ulkus untuk pewarnaan Gram
dan kultur. Pasien kemudian diterapi dengan antibiotik
topikal intensif, seringkali dengan terapi ganda (misal
sefuroksim untuk bakteri Gram positif dan gentamisin untuk
bakteri Gram negatif) untuk mengatasi sebagian besar
organisme. Penggunaan fluorokuinolon (misal siprofloxasin,
ofloksasin) sebagai monoterapi mulai populer. Tetes mata
diberikan setiap jam siang dan malam untuk beberapa hari
pertama dan kemudian frekuensinya dikurangi bila terlihat
perbaikan klinis.

4. Keratitis Akantamoeba
Akantamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat di
dalam air tercemar yang mengandung bakteri dan materi
organik. Infeksi ini menjadi lebih sering terjadi seiring dengan
peningkatan penggunaan lensa kontak lunak khususnya jika
memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi ini juga
ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak, setelah terpapar
air tawar atau tanah tercemar. Terjadi keratitis yang nyeri dengan
tonjolan saraf kornea. Amoeba dapat diisolasi dari kornea (dan
dari lensa kontak) dengan kerokan dan dikultur pada media
khusus yang dipenuhi dengan E.coli. Klorheksidin topikal,
poliheksamitilen biguanid (PHMB), dan propamidin digunakan
untuk mengobati kondisi ini.

5. Keratitis Jamur
Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic
keratitis (Dorland, 2000).
a. Etiologi
Menurut Susetio (1993), secara ringkas dapat dibedakan :
1) Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat
multiseluler dengan cabang-cabang hifa.
2) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp,
Aspergillus sp Cladosporium sp, Penicillium sp,
Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp,
Altenaria sp.
3) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia
sp.

12
4) Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan
pseudohifa dan tunas : Candida albicans, Cryptococcus
sp, Rodotolura sp.
5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi
sedang media pembiakan membentuk miselium :
Blastomices sp, Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp,
Sporothrix sp.

b. Gejala Klinis:
Menurut Susetio (1993) untuk menegakkan diagnosis
klinik dapat dipakai pedoman berikut:
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid
topikal lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang
ireguler dan tonjolan seperti hifa dibawah endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen.

c. Penatalaksanaan
Menurut Susetio (1993) terapi medikamentosa di
Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial
yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam
improvisasi pengadaan obat. Hal yang utama dalam terapi
keraomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang
dihadapi, dapat dibagi:
1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
Topikal amphotericin B, thiomerosal, natamycin,
golongan imidazole.
2) Jamur berfilamen
Untuk golongan II: topikal amphotericin B, thiomerosal,
natamycin (obat terpilih), imidazole (obat terpilih).
3) Ragi (yeast)
Amphoterisin B, natamycin, imidiazole.
4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur
sejati. Golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.

2.4.5 Keratitis Non-Infeksi


1. Ulkus dan Infiltrat Marginal
Kebanyakan ulkus kornea marginal bersifat jinak namun
sangat sakit. Ulkus ini timbul akibat konjungtivitis bakteri akut

13
atau menahun, khususnya blefarokonjungtivitis stafilokok dan
lebih jarang konjungtivitis Koch-Weeks (Haemophilus
aegyptus). Namun ulkus-ulkus ini bukan proses infeksi dan
kerokan tidak mengndung bakteri penyebab. Ulkus timbul
akibat sensitisasi terhadap produk bakteri, antibodi dari
pembuluh limbus bereaksi dengan antigen yang telah berdifusi
melalui epitel kornea.
Infiltrat dan ulkus marginal mulai berupa infiltrat linear atau
lonjong, terpisah dari limbus oleh interval bening, dan hanya
pada akhirnya menjadi ulkus dan mengalami vaskularisasi.
Proses ini sembuh sendiri, umumnya setelah 7 sampai 10 hari,
namun yang menyertai blefarokonjungtivitis stafilokok
umumnya kambuh. Terapi terhadap blefaritis umumnya dapat
mengatasi masalah ini, untuk beberapa kasus diperlukan
kortikosteroid topikal.

2. Ulkus Mooren
Penyebab ulkus mooren belum diketahui, namun diduga
autoimun. Ulkus mooren paling sering terdapat pada usia tua
namun agaknya tidak berhubungan dengan penyakit sistemik
yang sering diderita orang tua. Ulkus ini tidak responsif
terhadap antibiotika mupun kortikosteroid.

3. Keratokonjungtivitis Phlyctenular
Phlycten adalah akumulasi setempat limfosit, monosit,
makrofag, dan akhirnya neutrofil. Lesi ini mula-mula muncul di
limbus, namun pada serangan-serangan berikutnya akan
mengenai konjungtiva bulbi dan kornea. Phlyctenul kornea,
umumnya bilateral, berakibat sikatriks dan vaskularisasi, namun
phlyctenul konjungtiva tidak meninggalkan bekas. Phlyctenul
yang tidak diobati akan menyembuh dalam 10-14 hari, namun
terapi topikal dengan kortikosteroid secara dramatis
memperpendek proses ini menjadi 1 atau 2 hari dan sering
mengurangi timbulnya parut dan vaskularisasi.

4. Keratitis Marginal Pada Penyakit Autoimun


Bagian perifer kornea mendapat nutrisinya dari humor
akueus, kapiler limbus, dan film air mata. Bagian ini
berhubungan dengan jaringan limfoid subkonjungtival dan
pembuluh-pembuluh limfe di limbus. Konjungtiva peri-limbus
agaknya berperan penting dalam patogenesis lesi-lesi kornea
pada penyakit mta lokal atau penyakit sistemik, terutama yang
asalnya autoimun. Terdapat persamaan mencolok antara jalinan
kapiler limbus dan jalinan glomerulus ginjal. Pada membran
basal endotel kapiler kedua jaringan itu terdapat endapan
kompleks-kompleks imun yang berakibat penyakit imunologik.
Jadi kornea perifer sering terlibat pada penyakit autoimun
seperti artritis rematoid, poliarteritis nodosa, lupus eritematosus

14
sistemik, skleroderma, granulomatosis Wegener, kolitis
ulserativa, penyakit Crohn, dan polikondritis yang kambuh.
Perubahan kornea terjadi setelah peradangan sklera, dengan atau
tanpa penutupan vaskuler sklera. Tanda-tanda klinik termasuk
vaskularisasi, infiltrasi, kekeruhan, dan pembentukan lubang
perifer yang dapat berkembang sampai perforasi. Terapi
diarahkan pad pengendalian penyakit sistemik penyebab, tetapi
topikal umumnya tidak efektif dan sering diperlukan
penggunaan obat imunosupresif yang poten. Perforasi kornea
memerlukan keratoplasti.

5. Ulkus Kornea Akibat Defisiensi Vitamin A


Ulkus kornea tipikal pada avitaminosis A terletak di pusat
dan bilateral, berwarna kelabu dan indolen, disertai kehilangan
kornea di daerah sekitarnya. Kornea melunak dan nekrotik
(disebut keratomalacia), dan sering timbul perforasi. Epitel
konjungtiva berlapis keratin, yang terlihat di bintik Bitot. Bintik
Bitot adalah daerah berbentuk baji pada konjungtiva, biasanya
pada tepi temporal dengan limbus dan apeksnya melebar ke arah
chantus lateral.
Ulserasi kornea akibat avitaminosis A terjadi karena
kekurangan vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di
saluran cerna dan gangguan pemanfaatan oleh tubuh. Ulkus
dapat terjadi pada bayi yang mempunyai masalah makan, pada
orang dewasa dengan diet ketat atau tidak adekuat, atau pada
orang dengan obstruksi bilier, karena empedu dalam saluran
cerna diperlukan untuk penyerapan vitamin A. Kekurangan
vitamin A menyebabkan kreatinisasi umum pada epitel di
seluruh tubuh. Perubahan pada konjungtiva dan kornea
bersama-sama dikenal sebagai xerophtalmia. Aitaminosis A juga
menghambat pertumbuhan tulang.
Defisiensi vitamin A ringan harus diterapi. Pada orang
dewasa dengan dosis 30.000 unit/hari selama 1 minggu. Kasus
yang berat mula-mula memerlukan dosis yang jauh lebih tinggi
(20.000 unit/kg/hari). Salep sulfonamida atau antibiotika dapat
digunakan secara lokal pada mata untuk mencegah infeksi
bakteri sekunder.

6. Keratitis Neurotropik
Jika nervus trigeminus yang mempersarafi kornea terputus
karena trauma, tindakan bedah, tumor, peradangan, atau karena
cara lain, kornea akan kehilangan kepekaan dan pertahanan
terbaiknya terhadap degenerasi, ulserasi, dan infeksi yaitu
refleks berkedip. Pada tahap awal ulkus neurotropik yang khas,
larutan fluoresein akan menghasilkan bintik-bintik berwarna
pada epitel bagian superfisial. Dengan berlanjutnya proses ini,
timbullah daerah-daerah berupa bercak terbuka. Kadang-kadang
epitelnya hilang dari daerah yang luas di kornea.

15
Dengan hilangnya sensasi kornea, keratitis berat sekalipun
tidak benyak menimbulkan gangguan bagi pasien. Gejalanya
adalah adanya kemerahan pada mata, gangguan penglihatan,
atau tahi mata yang makin banyak.
Manjaga agar kornea tetap basah dengan aair mata buatan
dan salep dapat membantu melindunginya. Cara terbaik adalah
menutup mata dengan plester horizontal, dengan tarsorrhaphy,
atau dengan ptosis yang dipicu toksin botolinum A (Botox).

7. Keratitis Pajanan
Keratitis pajanan dapat timbul pada segala situasi, jika
kornea tidak cukup dibasahi dan ditutupi oleh palpebra.
Contohnya antar lain eksoftalmos karena sembarang sebab,
ektropion, sindrom palpebra lunak, hilangnya sebagian palpebra
akibat trauma, dan ketidakmampuan palpebra menutup
secukupnya seperti pada Bells palsy. Dua faktor penyebabnya
adalah kekeringan kornea dan pajanan terhadap trauma minor.
Jenis keratitis ini steril, kecuali ada infeksi sekunder. Tujuan
pengobatannya adalah memberi perlindungan dan membasahi
seluruh permukaan kornea.

2.4.6 Keratitis Epitelial


1. Keratitis Klamidia
Kelima jenis utama konjungtivitis klamidia (trakoma,
konjungtivitis inklusi, limfogranuloma venereum okuler primer,
konjungtivitis parkit atau psittacosis, dan konjungtivitis
pneumonitis kucing) disertai dengan lesi kornea. Namun hanya
trakoma dan limfagranuloma venereum, lesinya dapat
menyebabkan kebutaan atau merusak penglihatan.
Keratokonjungtivitis klamidia dapat diobati dengan sulfonamida
sistemik (kecuali infeksi C psittaci, yang resisten terhadap
sulfonamide), tetrasiklin, dan eritromisin.

2. Keratitis Epitel Induksi Obat


Keratitis epitelial tidak jarang ditemukan pada pasien yang
memakai obat anti-virus (idoxuridine dan trifluridine) dan
beberapa antibiotika spektrum luas dan spektrum sedang seperti
neomycin, gentamicin, dan tobramycin. Umumnya berupa
keratitis superfisial, terutama mengenai belahan bawah kornea
dan fissura interpalpebrae.

3. Keratokonjungtivitis Sicca (Sindrom Sjgren)


Filamen-filamen epitelial di kuadran bawah kornea
merupakan tanda utama penyakit autoimun ini, karena sekret
kelenjar lakrimalis dan kelenjar lakrimalis tambahan berkurang.
Juga terdapat keratitis epitelial berbintik-bintik yang terutama
mengenai kuadran bawah. Kasus berat menampakkan
pseudofilamen mukosa yang melengket pada epitel kornea. Pada

16
keratitis sindrom Sjgren mengakibatkan rusaknya sel goblet
dan konjungtiva. Kadang masih menghasilkan air mata tanpa
mukus. Epitel kornea membuang air mata dan tetap kering.
Pengobatannya harus menggunakan air mata pengganti dan
salep pelumas sesering mungkin. Bila sel-sel goblet telah rusak,
harus diberi mukus pengganti selain air mata buatan. Vitamin A
topikal dapat membantu mengembalikan keratinisasi epitel.

4. Keratitis Adenovirus
Keratitis ini umumnya menyertai semua jenis
konjungtivitis adenovirus, yang mencapai puncaknya 5-7 hari
sesudah mulainya konjungtivitis. Meskipun kekeruhan kornea
dari keratokonjungtivitis adenovirus cenderung mereda untuk
sementara dengan pemakaian kortikosteroid topikal, dan
meskipun pasien sering merasa nyaman untuk sementara waktu,
terapi kortikosteroid dapat memperpanjang penyakit kornea,
sehingga tidak disarankan. Tidak diperlukan pengobatan.

5. Keratitis Virus Lain


Keratitis epitel halus mungkin tampak pada infeksi virus
lain seperti morbili, rubella, parotis epidemika, mononukleosus
infeksiosa, konjungtivitis hemoragik akut, konjungtivitis New
Castle, dan verucca pada tepian palpebra. Keratitis epitelial
superior dan pannus sering menyertai nodeul molluscum
contagiosum pada tepian palpebra.

2.4.7 Kelainan Bentuk


1. Keratokonikus
Biasanya merupakan kelainan sporadis kadang diturunkan.
Penipisan bagian tengah kornea menyebabkan distorsi kornea
konikal. Penglihatan terganggu namun tidak terdapat nyeri. Pada
awalnya astigmatisme yang ditimbulkan dapat dikoreksi dengan
kacamata atau lensa kontak. Pada kasus berat mungkin
diperlukan cangkok kornea.

2.4.8 Degenerasi Kornea Bagian Tengah


1. Keratopati Pita
Keratopati pita merupakan deposisi subepitel kalsium fosfat
pada bagian kornea yang terpajan di mana hilangnya CO2 dan
peningkatan pH yang ditimbulkan membantu deposisinya.
Penyakit ini didapatkan pada mata dengan uveitis atau glaukoma
kronis dan dapat menyebabkan hilangnya penglihatan atau rasa
tidak nyaman bila erosi epitel terbentuk di atas pita. Jika
simtomatik maka dapat dikerok dengan bantuan agen kelasi
seperti natrium edetat. Laser excimer juga efektif dalam
mengobati pasien-pasien ini dengan mengablasi kornea yang
terkena. Keropati pita juga bisa merupakan tanda hiperkalsemia
sistemik seperti pada hiperparatiroidisme atau gagal ginjal. Lesi

17
ini kemungkinan besar terdapat di posisi jam 3 dan jam 9 pada
kornea limbus.

2.4.9 Degenerasi Kornea Perifer


1. Penipisan Kornea
Penyebab yang jarang dari penipisan kornea perifer yang
nyeri adalah ulkus mooren, suatu kondisi dengan dasar imun.
Penipisan atau pelunakan kornea juga didapatkan pada penyakit
kolagen seperti artritis reumatoid dan granulomatosis Wegner.
Terapi dapat sulit dan kedua set kelainan tersebut membutuhkan
terapi imunosupresi sistemik dan topikal. Bila terdapat mata
kering, penting untuk menjamin pembasahan kornea dan
proteksi kornea yang adekuat.

2. Arkus Lipid
Ini merupakan deposit lipid putih di perifer yang berbentuk
cincin, terpisah dari limbus dengan jelas. Paling sering terlihat
pada manula normal (arkus senilis) namun pada pasien muda
dapat merupakan tanda adanya suatu hiperlipidemia. Tidak
memerlukan terapi.

2.4.10 Cangkok Kornea


Jaringan kornea donor dapat dicangkokkan pada kornea
pejamu untuk mengembalikan kejernihan kornea atau memperbaiki
perforasi. Kornea donor dapat disimpan dan dimasukkan dalam
bank sehingga cangkok kornea dapat dilakukan pada pembedahan
rutin. Kornea pejamu yang avaskuler berfungsi sebagai tempat
khusus untuk cangkok, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.
Jaringan yang digunakan bisa bertipe HLA untuk cangkok kornea
bervaskular dengan resiko tinggi penolakan imun meski lainnya
masih belum jelas. Pasien menggunakan tetes mata steroid selama
beberapa waktu setelah operasi untuk mencegah penolakan
cangkok. Komplikasi seperti astigmatisme dapat ditangani dengan
pembedahan atau penyesuaian jahitan.

2.4.11 Penolakan Cangkok


Tiap pasien yang memiliki cangkok kornea dan yang
mengeluhkan mata merah, nyeri, atau hilangnya penglihatan harus
ditangani dengan segera oleh spesialis mata, karena hal tersebut
bisa menandakan penolakan cangkok. Pemeriksaan
memperlihatkan edema cangkok, iritis, dan garis sel T teraktivasi
yang menyerang endotel cangkok. Aplikasi steroid topikal intensif
pada tahap dini dapat mengembalikan kejernihan kornea.

18
2.5 Patofisiologi
Karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, maka kebanyakan lesi
kornea, superfisial maupun profunda (dalam) akan menimbulkan rasa sakit
dan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat oleh gesekan palpebra (terutama
palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Karena kornea
berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi
kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan terutama jika terletak di
pusat.
Fotofobia pada penyakit kornea adalah akibat kontraksi iris
mengalami radang yang sakit. Dilatasi iris adalah fenomena refleks yang
disebabkan oleh iritasi pada ujung saraf kornea. Fotofobia, yang berat pada
kebanyakan penyakit kornea dan minimal pada keratitis herpes (karena
terjadinya hipestesi pada penyait ini), juga merupakan tanda diagnostik
berharga. Meskipun mata berair dan fotofobia umumnya menyertai penakit
kornea, tetapi tidak ada kotoran mata keculi pada ulkus bakteri purulen
(Vaughan, Asbury, 2000).

2.6 Manifestasi Klinis


1. Inflamasi bola mata yang jelas

2. Terasa benda asing di mata

3. Cairan mokopurulen dengan kelopak mata saling melekat saat bangun

4. Ulserasi epitel

5. Hipopion (terkumpulnya nanah dalam kamera anterior)

6. Dapat terjadi perforasi kornea

7. Ekstrusi iris dan endoftalmitis

8. Fotofobia

9. Mata berair

10. Kehilangan penglihatan bila tidak terkontrol (Brunner dan Suddarth,


2001).

2.7 Tanda dan Gejala

19
Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea.
Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan
pengobatan keratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir
dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula,
makula, dan leukoma. Adapun gejala umum adalah :

1.Keluar air mata yang berlebihan


2.Nyeri

3.Penurunan tajam penglihatan

4.Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)

5.Mata merah

6.Sensitif terhadap cahaya (Mansjoer, 2001).

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemulasan fluorescein
2. Kerokan kornea yang kemudian dipulas dengan pulasan gram maupun
giemsa
3. Kultur untuk bakteri dan fungi
4. Pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10% terhadap kerokan kornea
5. Tes Schirmer. Bila resapan air mata pada kertas Schirmer kurang dari 10
mm dalam 5 menit dianggap abnormal.
6. Tear film break up time. Waktu antara kedip lengkap sampai timbulnya
bercak kering sesudah mata dibuka minimal terjadi sesudah 15-20 detik,
tidak pernah kurang dari 10 detik.

2.9 Penatalaksanan
1. Pemberian antibiotik, air mata buatan.
2. Pada keratitis bakteri diberikan gentamisin 15 mg/ml, tobramisin 15
mg/ml, atau seturoksim 50 mg/ml. Untuk hari-hari pertama diberikan
setiap 30 menit kemudian diturunkan menjadi setiap jam sampai 2 jam
bila membaik. Ganti obatnya bila resisten atau tidak terlihat membaik.
3. Perlu diberikan siklopegik untuk menghindari terbentuknya sinekia
posterior dan mengurangi nyeri akibat spasme siliar.
4. Pada keratitis jamur, sebagai terapi awal diberikan ekonazol 1% yang
berspektrum luas.
5. Debridement.
6. Antivirus, anti inflamasi, dan analgetik. (Brunner, 2001).

20
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Asuhan Keperawatan Keratitis


3.1.1 Pengkajian
1. Anamnesa
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Suku bangsa
e. Pekerjaan
f. Pendidikan
g. Status menikah
h. Alamat
i. Tanggal MRS

2. Keluhan Utama
a. Gangguan penglihatan (visus menurun)
b. Mata sakit
c. Lakrimasi

3. Riwayat Penyakit Sekarang


a. Mata merah dan bengkak
b. Merasa kelilipan
c. Gangguan penglihatan (visus menurun)
d. Mata sakit, gatal, silau
e. Fotofobi, lakrimasi, blefarospasme
f. Adanya flikten/infiltrat pada kornea

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Pernah menderita konjungtivitis/herpes
b. Trauma

5. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
1) Hiperemi pada konjungtiva
2) Adanya flikten/infiltrat pada kornea
3) Adanya lakrimasi
4) Mata tampak merah dan bengkak

5. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemulasan fluorescen
b. Tes Schirmer
c. Keratometer
d. Fotokeratoskop
e. Topografi

3.1.2 Diagnosa Keperawatan

21
1. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan penurunan
tajam penglihatan ditandai dengan visus menurun, silau, adanya
flikten pada kornea, merasa kelilipan.
2. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan
mata terasa sakit, mata merah dan bengkan, wajah meringis,
tampak gelisah.
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang
penyakitnya ditandai dengan pertanyaan mengenai kondisinya,
tidak akurat mengikuti instruksi, takut dan gelisah.
4. Gangguan konsep diri berhubungan dengan status kesehatannya
ditandai dengan klien menarik diri, tampak diam, sering
termenung.
5. Gangguan aktivitas berhubungan dengan penurunan ketajaman
penglihatan ditandai dengan penurunan tajam penglihatan,
kelemahan umum, kebutuhan ADL klien dibantu oleh keluarga
dan perawat.
3.1.3 Intervensi Keperawatan
Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan penurunan
tajam penglihatan ditandai dengan visus menurun, silau,
adanya flikten pada kornea, merasa kelilipan.
Tujuan: cedera tidak terjadi
Kriteria hasil: visus kembali normal, tidak tampak luka cedera pada
anggota tubuh.
Intervensi Rasional
Tentukan tajam penglihatan pada Kebutuhan individu dan pilihan
kedua mata. intervensi bervariasi sebab
kehilangan penglihatan terjadi
lambat dan progresif.
Pertahankan posisi tempat tidur Memberikan kenyamanan dan
rendah, pagar tempat tidur tinggi memungkinkan pasien melihat
dan bel di samping tempat tidur. objek lebih mudah dan
memudahkan panggilan untuk
petugas bila diperlukan.
Singkirkan benda-benda yang Memberikan perlindungan diri
dapat menimbulkan cedera. terhadap cedera.
Beritahu pasien untuk tidak Mencegah terjadinya cedera pada
menggaruk mata. mata.

Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan


mata terasa sakit, mata merah dan bengkan, wajah meringis,
tampak gelisah.
Tujuan: nyeri teratasi

22
Kriteria hasil: rasa sakit pada mata berkurang, wajah tampak cerah,
tidak gelisah, mata tidak bengkak dan merah.
Intervensi Rasional
Kaji tingkat nyeri. Tingkatan nyeri dapat
memberikan gambaran untuk
intervensi selanjutnya sesuai
kebutuhan.
Kaji pernyataan verbal dan non Ketidaksesuaian antara petunjuk
verbal nyeri. verbal/non-verbal dapat
memberikan petunjuk derajat
nyeri, kebutuhan/keefetifan
intervensi.
Dorong penggunaan tehnik Memfokuskan kembali perhatian,
relaksasi misalnya: latihan nafas meningkatkan rasa kontrol dan
dalam atau ajak pasien cerita. dapat meningkatkan kemampuan
koping.
Kolaborasi untuk pemberian Analgetik menekan impuls nyeri
analgetik. sehingga rangsangan nyeri tidak
diteruskan.

Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang


penyakitnya ditandai dengan pertanyaan mengenai kondisinya,
tidak akurat mengikuti instruksi, takut dan gelisah.
Tujuan: Ansietas teratasi
Kriteria hasil: klien dapat memahami kondisinya, berpartisipasi
dalam program pengobatan, tampak rileks.
Intervensi Rasional
Identifikasi persepsi pasien Membantu pengenalan
terhadap ancaman yang ada oleh ansietas/takut dan membantu
situasi. dalam melakukan intervensi.
Dorong pasien untuk mengakui Langkah awal dalam mengatasi
dan menyatakan perasaannya. perasan adalah identifikasi dan
ekspresi, sehingga mendorong
penerimaan situasi dan
kemampuan diri untuk
mengatasi.
Berikan lingkungan tenang. Memindahkan pasien dari stress
luar meningkatkan relaksasi dan
membantu menurunkan ansietas.
Dorong pasien/orang terdekat Dukungan dapat membantu
untuk menyatakan perhatian. pasien merasa diperhatikan
sehingga tidak merasa sendiri
dalam menghadapi masalah.
Berikan informasi yang akurat Menurunkan ansietas
dan jujur. sehubungan dengan
ketidaktahuan dan memberikan
dasar untuk pilihan informasi
tentang pengobatan.

23
Bantu pasien untuk Perilaku yang berhasil dapat
mengidentifikasi perilaku dikuatkan pada penerimaan
koping. masalah/stress saat ini sehingga
meningkatkan rasa kontrol diri.

Gangguan konsep diri berhubungan dengan status kesehatannya


ditandai dengan klien menarik diri, tampak diam, sering
termenung.
Tujuan: gangguan konsep diri teratasi
Kriteria hasil: klien tidak menarik diri, wajah tampak ceria, pasien
tampak bergaul.
Intervensi Rasional
Ciptakan/pertahankan hubungan Mengembangkan rasa
terapeutik pasien-perawat. salingpercaya antara pasien dan
perawat.
Kaji interaksi antara psien dan Keluarga mungkin secara
keluarga. Catat adanya sadar/tidak memperkuat sikap
perubahan dalam hubungan negatif dan keyakinan pasien
keluarga. atau informasi yang didapat
mungkin menghambat
kemampuan untuk meangani
keadaannya
Dukung penggunaan mekanisme Konfrontasi pasien terhadap
pertahanan. situasi yang nyata dapat
mengakibatkan peningkatan
ansietas dan mengurangi
kemampuan untuk mengatasi
perubahan konsep diri.
Berikan informasi yang benar. Membantu pasien menerima
keadaannya.

Gangguan aktivitas berhubungan dengan penurunan ketajaman


penglihatan ditandai dengan penurunan tajam penglihatan,
kelemahan umum, kebutuhan ADL klien dibantu oleh keluarga
dan perawat.
Tujuan: klien dapat beraktivitas dengan baik.
Kriteria hasil: tajam penglihatan kembali normal, pemenuhan ADL
terpenuhi.
Intervensi Rasional
Kaji tingkat aktivitas klien. Kemampuan aktivitas klien
merupakan gambaran untuk
mengambil tindakan lebih lanjut.
Bantu klien untuk memenuhi Kebutuhan klien terpebuhi akan
kebutuhan pribadinya. mengurangi beban pikiran dan
kooperatif dalam pemberian
tindakan.
Dorong perawatan diri. Perawatan dirinya sendiri akan

24
meningkatkan perasaan harga
diri.
Kaji tentang pentingnya aktivitas Peningkatan aktivitas secara
secara bertahap. bertahap dapat membantu
mengurangi ketergantungan pada
perawat.
Susun tujuan dengan pasien atau Meningkatkan harapan terhadap
orang tedekat untuk peningkatan kemandirian.
berpartisipasi.
Kolaborasi dengan ahli terapi Berguna dalam
fisik. memformulasikan program
latihan berdasarkan kemampuan
klien.

3.1.4 Pelaksanaan Keperawtan (Implementasi)


Dilaksanakan sesuai dengan rencana tindakan, menjelaskan
setiap tindakan yang akan dilakukan, sesuai dengan
pedoman/prosedur teknis yang telah ditentukan.

3.1.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi hasil menggunakan kriteria evaluasi yang telah
ditentukan pada tiap tahap perencanaan keperawatan, dilakukan
secara periodik, sistematis terencana.

25
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kornea berperan penting dalam refraksi sehingga gangguan pada
kornea dapat mempengaruhi ketajaman penglihatan. Berbagai gangguan
yang dapat terjadi pada kornea antara lain infeksi, trauma, anomali
kongenital maupun tumor dapat menimbulkan berbagai gangguan khas pada
penglihatan. Karena korne banyak mengandung serabut saraf tanpa mielin,
kebanyakan lesi kornea dapat mengakibatkan nyeri, fotofobia, dan
pengeluaran air mata.

4.2 Saran
Diharapkan dalam penerapan materi gangguan pada kornea dapat
bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa. Pemberian asuhan
keperawatan yang tepat diharapkan mampu memperbaiki kondisi klien
dengan keratitis agar tidak terjadi infeksi yang lebih lanjut.

26
DAFTAR PUSTAKA

Vaughan, Daniel, Asbury, Taylor, Eva, Paul, Riodan. 2000. Oftalmologi Umum
Ed: 14. Jakarta: Widya Medika
James, Bruce, Chew, Chris, Bron, Anthony. 2006. Lecture Notes: Oftalmologi Ed:
9. Jakarta: EMS
dr. Hamurwono, Guntur, Bambang, dkk. 2002. ILMU PENYAKIT MATA: Untuk
Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran Ed: 2. Jakarta: Sagung Seto
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta Edisi-3Jjilid-1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
Ilyas, Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Engram, Barbara. 1994. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol 2.
Jakarta: EGC
Doengoes, E. Marilynn, Moorhouse, Geissler. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta: EGC
Ns. Istiqomah, N. Indriana, S.Kep. 2012. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Mata. Jakarta: EGC

27

También podría gustarte