Está en la página 1de 22

PEMILIHAN INVESTASI PROYEK

Metode-Metode Evaluasi Proyek

Keputusan investasi merupakan keputusan manajemen keuangan yang paling penting di


antara ketiga keputusan jangka
panjang yang diambil manajer keuangan. Disebut penting, karena selain penanaman modal
pada bidang usaha yang membutuhkan modal yang besar, juga keputusan tersebut
mengandung risiko tertentu, serta langsung berpengaruh pada nilai perusahaan.

Pada umumnya, langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pengambilan keputusan


investasi adalah sebagai berikut:
1. Adanya usulan investasi (proposal investasi).
2. Memperkirakan arus kas (cash flow) dari usulan investasi tersebut.
3. Mengevaluasi profitabilitas investasi dengan menggunakan beberapa metode penilaian
kelayakan investasi.
4. Memutuskan menerima atau menolak usulan investasi tersebut.

Untuk menilai profitabilitas rencana investasi dikenal dua macam metode, yaitu metode
konvensional dan metode non-konvensional (discounted cash flow). Dalam metode
konvensional dipergunakan dua macam tolok ukur untuk menilai profitabilitas rencana
investasi, yaitu payback period dan accounting rate of return, sedangkan dalam metode non-
konvensional dikenal tiga macam tolok ukur profitabilitas, yaitu Net Present Value (NPV),
Profitability Index (PI), dan Internal Rate of Return (IRR).

NET PRESENT VALUE (NPV)

NPV merupakan selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskon dengan
menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata lain
merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskontokan pada
saat ini. Untuk menghitung NPV diperlukan data tentang perkiraan biaya investasi, biaya
operasi, dan pemeliharaan serta perkiraan manfaat/benefit dari proyek yang direncanakan.
Jadi perhitungan NPV mengandalkan pada teknik arus kas yang didiskontokan.

Menurut Kasmir (2003:157) Net Present Value (NPV) atau nilai bersih sekarang merupakan
perbandingan antara PV kas bersih dengan PV Investasi selama umur investasi. Sedangkan
menurut Ibrahim (2003:142) Net Present Value (NPV) merupakan net benefit yang telah di
diskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital (SOCC) sebagai discount
factor.
Pada tabel berikut ditunjukkan arti dari perhitungan NPV terhadap keputusan investasi yang
akan dilakukan.

Langkah menghitung NPV:

(1) Tentukan nilai sekarang dari setiap arus kas, termasuk arus masuk dan arus keluar, yang
didiskontokan pada biaya modal proyek,

(2) Jumlahkan arus kas yang didiskontokan ini, hasil ini didefinisikan sebagai NPV proyek,

(3) Jika NPV adalah positif, maka proyek harus diterima, sementara jika NPV adalah negatif,
maka proyek itu harus ditolak. Jika dua proyek dengan NPV positif adalah mutually
exclusive, maka salah satu dengan nilai NPV terbesar harus dipilih .

NPV sebesar nol menyiratkan bahwa arus kas proyek sudah mencukupi untuk membayar
kembali modal yang diinvestasikan dan memberikan tingkat pengembalian yang diperlukan
atas modal tersebut. Jika proyek memiliki NPV positif, maka proyek tersebut menghasilkan
lebih banyak kas dari yang dibutuhkan untuk menutup utang dan memberikan pengembalian
yang diperlukan kepada pemegang saham perusahaan.

Keunggulan NPV = menggunakan konsep nilai waktu uang (time value of money).

> Maka sebelum penghitungan/penentuan NPV hal yang paling utama adalah mengetahui
atau menaksir aliran kas masuk di masa yang akan datang dan aliran kas keluar.

Di dalam aliran kas ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :

(1) Taksiran kas haruslah didasarkan atas dasar setelah pajak,


(2) Informasi terebut haruslah didasarkan atas incremental (kenaikan atau selisih) suatu
proyek. Jadi harus diperbandingkan adanya bagaimana aliran kas seandainya dengan dan
tanpa proyek. Hal ini penting sebab pada proyek pengenalan produk baru, bisa terjadi bahwa
produk lama akan termakan sebagian karena kedua produk itu bersaing dalam pemasaran,

(3) Aliran kas ke luar haruslah tidak memasukkan unsur bunga, apabila proyek itu
direncanakan akan dibelanjai/didanai dengan pinjaman. Biaya bunga tersebut termasuk
sebagai tingkat bunga yang disyaratkan (required rate of return) untuk penilaian proyek
tersebut. Kalau kita ikut memasukkan unsur bunga di dalam perhitungan aliran kas ke luar,
maka akan terjadi penghitungan ganda.
INTERNAL RATE OF RETURN (IRR)

Metode ini untuk membuat peringkat usulan investasi dengan menggunakan tingkat
pengembalian atas investasi yang dihitung dengan mencari tingkat diskonto yang
menyamakan nilai sekarang dari arus kas masuk proyek yang diharapkan terhadap nilai
sekarang biaya proyek atau sama dengan tingkat diskonto yang membuat NPV sama dengan
nol.

IRR yang merupakan indikator tingkat efisiensi dari suatu investasi. Suatu proyek/investasi
dapat dilakukan apabila laju pengembaliannya (rate of return) lebih besar dari pada laju
pengembalian apabila melakukan investasi di tempat lain (bunga deposito bank, reksadana
dan lain-lain). IRR digunakan dalam menentukan apakah investasi dilaksanakan atau tidak,
untuk itu biasanya digunakan acuan bahwa investasi yang dilakukan harus lebih tinggi dari
Minimum acceptable rate of return atau Minimum atractive rate of return (MARR) .
MARR adalah laju pengembalian minimum dari suatu investasi yang berani dilakukan oleh
seorang investor.

Dengan rumus umum sebagai berikut :

Penerimaan atau penolakan usulan investasi ini adalah dengan membandingkan IRR dengan
tingkat bunga yang disyaratkan (required rate of return). Apabila IRR lebih besar dari pada
tingkat bunga yang disyaratkan maka proyek tersebut diterima, apabila lebih kecil diterima.

IRR adalah nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol. Discount
rate yang dipakai untuk mencari present value dari suatu benefit/biaya harus senilai dengan
opportunity cost of capital seperti terlihat dari sudut pandangan si penilai proyek. Konsep
dasar opportunity cost pada hakikatnya merupakan pengorbanan yang diberikan sebagai
alternatif terbaik untuk dapat memperoleh sesuatu hasil dan manfaat atau dapat pula
menyatakan harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya.
DISKUSI MENGENAI PERBANDINGAN NPV DAN IRR

(1)

Pada umumnya pengambilan kepu-tusan investasi berdasarkan NPV dan IRR akan
memberikan hasil yang sama, artinya apabila suatu usulan investasi dinilai layak
berdasarkan NPV, maka usulan investasi tersebut juga dinilai layak berdasarkan IRR.

Namun demikian, menurut kalangan akademisi, NPV dianggap lebih unggul dibandingkan
IRR, karena NPV dapat mengatasi fenomena multiple IRR dan conflict ranking projects,
sedangkan IRR tidak dapat mengatasi fenomena tersebut. Meskipun demikian, NPV juga
memiliki kelemahan, yaitu NPV tidak memiliki safety margin (sedangkan IRR memiliki
safety margin) dan NPV kalah populer dibandingkan dengan IRR (para investor pada
umumnya lebih tertarik menggunakan IRR, karena IRR dapat segera dibandingkan dengan
cost of capital).

(2)

NPV dan IRR sama-sama termasuk kelompok discounted cash flow, penganut nilai waktu
dan proceeds selama total usia proyek. Berdasarkan kesamaan demikian, NPV IRR akan
memberikan keputusan yang sama dalam menilai usul investasi. Andaikan berbasis NPV usul
investasi layak diterima maka demikian pula IRR.

NPV danIRR akan memberikan keputusan yang sama., tetapi sebenarnya terkandung sebuah
pengecualian di dalamnya. Pengecualian yang dimaksudkan berkaitan saat menilai salah satu
dari dua atau lebih usul investasi bersifat mutually exclusive. Untuk kondisi seperti begitu
NPV, IRR dapat bertolak belakang memberikan jawaban secara khusus sering terjadi pada
susunan peringkat usul investasi.

Hal tersebut, dikarenakan perbedaan asumsi yang melekat terkait tingkat reinvestasi dana
bebas. IRR berasumsi dana bebas diinvestasikan kembali dengan tingkat rate of returnnya
selama periode sisa usia. Sebaliknya NPV berpegang konsisten besarnya tingkat reinvestasi
adalah tetap sebesar tingkat diskonto yang ditetapkan sebelumnya.

Namun NPV pada umumnya dipandang unggul ketimbang IRR. Hal ini disebabkan NPV
konsisten, yaitu mempertimbangkan perbedaan skala investasi dari pernyataan secara absolut
dalam rupiah tidak seperti IRR yang memiliki pernyataan berbentuk persentase sehingga
skala investasi terabaikan.

(3)
Kenapa IRR didapat dari mencari discount rate yg membuat NPV = 0? Karena itu
menggambarkan ekspektasi investor akan tingkat pengembalian investasinya.

Jika IRR tinggi, artinya ruang utk ekspektasi thd tingkat pengembalian investasinya cukup
lebar. Jika IRR rendah, maka rentang tsb sempit.

(4)

Kelompok yang proNPV mengatakan bahwa Cash is King. NPV adalah indicator yang
sebenarnya dalam merefleksikan tujuan dari bisnis yaitu menghasilkan uang sebanyak-
banyak.. Selain itu disebutkan IRR punya kelemahan yaitu tidak bisa memberikan nilai IRR
yang sebenarnya apabila cashflow nya multi-signs dan tidak menggambarkan konsep Time
Value of Money.

Kelompok yang pro IRR mengatakan bahwa bahwa NPV tidak menggambarkan optimasi dan
efisiensi penggunaan sumber daya dana investasi dalam kaitannya dengan rate dari
pengembaliannya (rate of return).

Contohnya nilai NPV Proyek A sebesar Rp 100 juta dan Proyek B sebesar Rp 10 juta. Secara
naluri mungkin kita akan memilih Proyek A karena nilainya 10x lebih besar. Tapi kalau
Proyek A membutuhkan investasi sebesar Rp 75 juta sedangkan Proyek B hanya sebesar Rp 1
juta, Proyek B dapat dikatakan mempunyai nilai resiko yang lebih kecil (exposure dana
perusahaan dalam kegiatan investasi yang lebih kecil) dan tingkat pengembalian yang lebih
besar (IRR besar).

(4)

Terminology NPV & IRR, sebenarnya merupakan indicator kelaikan project, yg dapat
diproyeksi pada tahap feasibility studi. Secara umum, dapat disebutkan indikator2 dasar,
yaitu:

1. Net Present Worth/Value, adalah perbedaan antara nilai sekarang dari penerimaan total dan
nilai sekarang dari pengeluaran sepanjang umur proyek pada discount rate yang diberikan.
Pendekatannya adalah pada konsep cash flow (cash in/cash out), project dikatakan laik
apabila NPV>0.

2. Rate of Return (ROR) atau Return on Investment (ROI), adalah discount rate yang
memberikan harga NPV = 0. ROR merupakan perolehan per tahun dari investasi suatu
proyek. ROR sendiri ada dua macam, yaitu:

> Eksternal ROR, yaitu return yang diperoleh apabila investasi dilakukan di luar organisasi.
Contoh: suatu perusahaan menyimpan dananya di Bank atau membeli saham perusahaan lain.

> Internal ROR (atau IRR), yaitu return yang diperoleh apabila investasi dilakukan di dalam
perusahaan sendiri. Contoh, suatu perusahaan melakukan pengeboran untuk menambah
kapasitas produksi, atau melakukan fracturing untuk meningkatkan produksi sumur.
(5)

Terdapat dua instrumen evaluasi investasi yang umum digunakan untuk menilai apakah suatu
investasi akan dilakukan atau tidak. Instrumen tersebut adalah Net Present Value (NPV) dan
yang kedua adalah Internal Rate of Return (IRR). Dalam melakukan investasi tentunya harus
dilakukan perbandingan antara investasi yang satu dengan yang lainnya misalnya uangnya
diinvestasikan di bank saja, karena bunganya lebih menarik. Investasi terbaik akan didapat
apabila NPV dan IRR sama-sama bernilai tinggi. Pada kasus tertentu sering dinyatakan
bahwa IRR dengan nilai yang tinggi akan lebih menguntungkan daripada investasi dengan
nilai IRR yang lebih rendah, walaupun tidak demikian, karena pada kondisi tertentu IRR bisa
menyesatkan.

Pada NPV, semua future cash flow dikonversikan menjadi suatu nilai ekuivalen pada waktu
tahun ke nol dengan menggunakan teknik diskounting. NPV merupakan penjumlahan dari
masing-masing present value dari net income yang diproyeksikan tiap tahun. Setiap future
income didiskon, artinya dibagi dengan bilangan yang merepresentasikan oppurtunity cost
dari memiliki modal mulai tahun ke nol hingga tahun dimana income diterima atau
dibelanjakan. Oppurtunity cost dapat berupa berapa banyak uang yang dapat diterima apabila
diinvestasikan di tempat lain atau berapa banyak bunga yang akan dibayar apabila kita
meminjam uang.

Rumus:

NPV = I0 + I1/(1+r) + I2/(1+r)^2 + I3/(1+r)^3 + .+ In/(1+r)^n

dimana:

I0 adalah investasi tahun ke-0

In merupakan net income tahun ke-1, 2, 3, .n

r merupakan discount rate

NPV > 0, proyek diterima

NPV < 0, proyek ditolak

Dari rumusan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan:

makin tinggi income, makin tinggi NPV

makin lebih awal datangnya income, makin tinggi NPV

makin tinggi discount rate, makin rendah NPV

Untuk membandingkan dua proyek yang mana akan dipilih dapat dilakukan dengan
membandingkan kedua nilai NPV proyek, dimana NPV proyek yang lebih besar yang akan
diambil.
IRR atau Internal Rate of Return, merupakan instrument evaluasi yang digunakan untuk
memutuskan apakah suatu pemilik modal ingin melakukan investasi atau tidak.

IRR > tingkat keuntungan yang diisyaratkan, proyek diterima

IRR < tingkat keuntungan yang disyaratkan, proyek ditolak

IRR lebih merupakan suatu indikator efisiensi dari suatu investasi, berlawanan dengan NPV,
yang mengindikasikan value atau suatu besaran uang. IRR merupakan effective compounded
return rate annual yang dapat dihasilkan dari suatu investasi atau yield dari suatu investasi.
Suatu proyek/investasi dapat dilakukan apabila rate of returnnya lebih besar daripada return
yang diterima apabila kita melakukan investasi di tempat lain (bank, bonds, dll). Jadi IRR
harus dibandingkan dengan alternatif investasi yang lain.

IRR memiliki kelemahan dimana IRR umumnya digunakan untuk pengambilan keputusan
untuk single project bukan mutually exclussive project (proyek yang saling menghilangkan).
Untuk mutually exclusive project, kriteria NPV lebih dominan digunakan dimana proyek
dengan NPV lebih besar akan dipilih walaupun memiliki IRR yang lebih kecil. Dari grafik,
suatu proyek mungkin akan memiliki beberapa discount rate yang membuat nilai NPV = 0
(ada net income negatif di sela-sela tahun net income positif), sehingga nilai IRR bisa lebih
dari satu atau kita dihadapkan pada beberapa pilihan nilai IRR. Dari segi reinvestasi, IRR
juga memiliki kelemahan sehingga digunakan MIRR (Modified Rate of Return).

Walaupun secara akademik NPV lebih dominan dipilih, survey mengindikasikan bahwa
kalangan eksekutif lebih menyukai IRR daripada NPV. Hal ini dikarenakan para manager
ataupun pemilik modal lebih gampang membandingkan investasi/proyek yang berbeda
besaran dalam bentuk % rate of return (IRR) dibandingkan dengan besaran uang (NPV).

(5)

Seperti IRR yang memiliki beberapa kelemahan, NPV pun mengandung kekurangan.
Pertama, berbeda dengan IRR, NPV tidak dinyatakan secara relatif. Karenanya, NPV sebesar
Rp600 juta belum dapat dikatakan bagus atau tidak. Bagus jika investasi awal Rp2 miliar,
tetapi jelek jika dana yang diperlukan untuk menghasilkan NPV ini Rp10 miliar. Dalam soal
ini, IRR lebih unggul dan lebih mudah dipahami karena sudah dinyatakan secara relatif.
Tidak aneh jika IRR sangat favorit dan investor lebih suka berbicara rasio daripada nilai
rupiah.

Kedua, NPV gagal untuk mengevaluasi dua atau lebih proyek mutually exclusive yang
mempunyai umur berbeda. Misalkan kita mempunyai dua proyek yang memerlukan investasi
awal sama besar, katakan Rp1 miliar. Proyek A mampu menghasilkan arus kas Rp400 juta
selama 5 tahun, sementara proyek B sebesar Rp280 juta selama 10 tahun. Berdasarkan
kriteria NPV, proyek B yang akan dipilih karena mempunyai NPV yang lebih besar yaitu
Rp582 juta berbanding Rp442 juta pada tingkat diskonto 12%. Bahwa kedua proyek akan
selesai dalam waktu yang berbeda yaitu 5 tahun dan 10 tahun tidak diperhitungkan dalam
NPV.
Yang bijak akan menyamakan umur kedua proyek itu terlebih dahulu sebelum
membandingkan NPV-nya. Ini tentunya dengan asumsi setiap proyek dapat direplikasi.
Dalam contoh di atas, proyek A diulangi sehingga menjadi berumur 10 tahun seperti proyek
B. Pendekatan replikasi ini tentunya mempunyai keterbatasan. Untuk tiga proyek dengan
umur 7 tahun, 9 tahun, dan 13 tahun, kita harus mereplikasinya hingga 819 tahun untuk dapat
dibandingkan. Tidak mungkin, bukan? Sebagai alternatif terhadap pendekatan ini, kita
menghitung nilai tahunan ekuivalen atau equivalent annual value (EAV) yaitu arus kas
tahunan yang ekuivalen dengan NPV proyek itu.

Ketiga, NPV, IRR, dan kriteria tradisional lainnya mengasumsikan satu angka tunggal untuk
arus kas pada periode-periode mendatang. Akan lebih tepat jika kita menyiapkan analisis
skenario seperti tiga skenario berbeda untuk kondisi pesimistis, paling mungkin, dan optimis
untuk masa depan yang penuh ketidakpastian.

(6)

Metode net present value (net present value method) adalah metode yang mendasarkan pada
nilai sekarang dari pengembalian masa depan yang didiskontokan pada tarif biaya modal.
Metode NPV ini mengatasi kelemahan dalam metode payback.

Metode internal rate of return (rate of return method) adalah metode yang didasarkan pada
tingkat suku bunga yang menyeimbangkan nilai sekarang dari pengembalian masa depan
dengan total biaya investasi.

Perbedaan metode NPV dan IRR

1. Fokus NPV adalah berapa tambahan nilai proyek pada nilai perusahaan dengan asumsi
semua arus kas dapat direalisir. Fokus IRR memberikan indikasi tingkat hasil pengembalian
proyek jika sesuai dengan yang diharapkan.

2. Jika kedua metode digunakan untuk menilai satu proyek maka kedua metode ini selalu
memberikan kesimpulan yang sama karena NPV positif dari suatu proyek akan memberikan
IRR yang lebih besar dari biaya modal.

3. Jika proyek yang dinilai bersifat eksklusif (mutually exclusive) kedua metode NPV dan
IRR dapat menghasilkan penilaian (kesimpulan) yang berbeda. Konflik antara kedua metode
NPV dan IRR terjadi karena profil NPV dari proyek berbeda, misalnya biaya investasi
berbeda dan umum proyek lebih panjang dari yang lain.

Metode NPV lebih baik secara teoritis jika dibandingkan dengan metode IRR, tetapi Metode
NPV lebih baik secara toeritis jika dibandingkan dengan metode IRR jika dalam kenyataan
lebih banyak perusahaan menggunakan metode IRR dibandingkan dengan metode NPV. Hal
ini disebabkan bahwa metode IRR dikembangkan lebih dahulu dari metode NPV dan metode
IRR sudah lama digunakan.
(7)

Dua kriteria utama investasi dalam aset riil adalah net present value (NPV) dan internal rate
of return (IRR). Logika dasar yang perlu dipahami tentang NPV dan IRR adalah keduanya
memerlukan tiga input utama yaitu arus kas, timing, dan risiko.

Arus kas sendiri terdiri atas kas keluar yang biasanya hanya terjadi sekali saja pada awal dan
kas masuk yang dapat dihasilkan pada periode-periode berikutnya. Adapun timing adalah
berapa lama proyek investasi mampu mendatangkan kas masuk dan besarnya kas ini untuk
setiap periode. Terakhir, risiko mencerminkan ketidakpastian atau kemungkinan timbulnya
kerugian atau hasil yang tidak diharapkan. Semakin besar risiko, semakin besar batas return
yang diminta investor. Sebuah proyek yang memberikan IRR 18% akan diterima jika return
patokan adalah 15%. Tetapi jika dinilai berisiko tinggi, proyek yang sama ini akan ditolak
karena investor sangat mungkin menaikkan return minimal menjadi 20%. Dengan NPV,
semakin besar risiko sebuah proyek, semakin besar tingkat diskonto yang akan digunakan
yang berimplikasi semakin rendahnya NPV yang akan diperoleh. Dengan kata lain, proyek
yang diterima pada tingkat diskonto tertentu, karena mempunyai NPV positif, mungkin saja
ditolak karena NPV menjadi negatif jika tingkat diskonto dinaikkan untuk kompensasi
tambahan risiko yang ada.

Kesimpulan umum di atas akan berlaku sepanjang pola arus kas bersifat konvensional yaitu
kas keluar terjadi pada awal yang diikuti dengan kas masuk selama beberapa periode. Hasil
menjadi berbeda jika arus kas bersifat nonkonvensional seperti proyek pertambangan yang
kadang memerlukan kas keluar dalam jumlah besar di akhir proyek untuk reklamasi. Dalam
kondisi ini, tingkat diskonto tinggi dapat membuat NPV semakin tinggi atau malah membuat
proyek menjadi diterima. Melihat IRR-nya lebih membingungkan lagi karena proyek dengan
arus kas nonkonvensional bisa memberikan kita multipel IRR, misalkan 12% dan 20%. Jika
return patokan adalah 15%, apakah proyek ini akan diterima? Sulit untuk menjawabnya.

Hampir semua buku keuangan satu suara soal ini bahwa kriteria NPV yang sebaiknya
digunakan dan proyek A yang harus dipilih. NPV atau tambahan kekayaan sebesar Rp6 miliar
jauh lebih menarik daripada IRR 30% tetapi hanya dari Rp5 miliar. Bagaimana jika skala
proyek A dan B relatif sama, misalnya masing-masing memerlukan dana Rp10 miliar, tetapi
NPV dan IRR memberikan peringkat yang berbeda?

Jawabannya tetap kriteria NPV yang dianjurkan untuk digunakan. Kriteria ini diakui lebih
unggul daripada IRR karena adanya tiga kelemahan yang melekat dalam IRR.

Pertama, NPV selalu memberikan satu angka sementara IRR bisa menghasilkan banyak
angka.

Kedua, tingkat return reinvestasi yang digunakan dalam NPV adalah tingkat diskontonya,
sedangkan IRR mengasumsikan IRR itu sendiri.
Ketiga, Copeland et al dalam bukunya Financial Theory and Corporate Policy (2005)
menyatakan kalau kriteria IRR melanggar prinsip penambahan nilai (value additivity).

Misalkan kita mempunyai tiga proyek investasi yang menguntungkan yaitu 1, 2, dan 3.
Diketahui proyek 1 dan 2 bersifat mutually exclusive, dan proyek 3 bersifat independen. Jika
prinsip penambahan nilai berlaku, kita mestinya dapat memilih antara proyek 1 dan 2 yang
lebih baik tanpa harus dipengaruhi proyek 3 yang independen. Maksudnya adalah, jika
proyek 1 lebih baik daripada proyek 2, proyek 1+3 mestinya akan lebih baik juga daripada
proyek 2+3. Kriteria NPV mematuhi prinsip ini tetapi tidak demikian dengan IRR yang
memilih proyek 1 tetapi berubah menjadi proyek 2+3 ketika pilihan proyek 3 juga
disodorkan.

(8)

Untuk mengatasi masalah ini, maka yang harus dilakukan adalah memberikan ranking
terhadap proyek-proyek yang tersedia, kemudian mengambil keputusan berdasarkan
anggaran investasi yang tersedia.

Capital rationing dilakukan pada umumnya dengan menggunakan IRR atau NPV. Misalnya,
jika limit yang ditetapkan sebanyak 1,000,ooo, berdasarkan kriteria IRR maka proyek yang
dipilih adalah proyek A, B dan D atau B dan C. Namun, jika dilihat dari kriteria NPV, maka
yang terpilih adalah proyek A dan C.

Untuk menentukan kriteria mana yang ingin Anda gunakan, maka ini tergantung preferensi,
karena masing-masing punya keunggulan dan kelemahan tersendiri. NPV menunjukkan
kekayaan yang dihasilkan atau bertambah dari suatu investasi, sementara IRR menunjukkan
tingkat returnnya. Jadi, tergantung mana preferensi dari investor.

Namun, yang jelas NPV lebih superior dan disukai karena menunjukkan present value arus
kas yang akan diterima. Sementara, IRR sendiri hanya menunjukkan tingkat return dalam
investasi itu sendiri, yang artinya menggunakan asumsi jika arus kas yang dihasilkan
direinvestasikan lagi pada rate yang sama dengan IRR tersebut. Padahal, kenyataannya tidak
semudah itu.

(9)
Keterangan :

*mutually exclusive : in Laymans terms, two events are mutually exclusive if they cannot
occur at the same time (i.e., they have no common outcomes).

*payback period : Metode payback (payback method) adalah metode yang mendasarkan pada
jumlah tahun yang diperlukan untuk mengembalikan investasi awal. Kelemahan metode ini
adalah (1) mengabaikan penerimaan setelah payback tercapai, (2) mengabaikan konsep time
value of money

Metode Payback Period (PP)


Payback period adalah suatu metode berapa lama investasi akan kembali atau periode yang
diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan
menggunakan aliran kas, dengan kata lain payback period merupakan rasio antara initial cash
investment dengan cash flow- nya yang hasilnya merupakan satuan waktu. Suatu usulan
investasi akan disetujui apabila payback period-nya lebih cepat atau lebih pendek dari
payback period yang disyaratkan oleh perusahaan.
Metode payback period merupakan metode penilaian investasi yang sangat sederhana
perhitungannya, sehingga
banyak digunakan oleh perusahaan. Tetapi di lain pihak metode ini mempunyai kelemahan-
kelemahan, yaitu:
a) Tidak memperhatikan nilai waktu uang.
b) Mengabaikan arus kas masuk yang diperoleh sesudah payback period suatu rencana
investasi tercapai.
c) Mengabaikan nilai sisa (salvage value) investasi.

Meskipun metode payback period memiliki beberapa kelemahan, namun metode ini masih
terus digunakan secara intensif dalam membuat keputusan investasi, tetapi metode ini tidak
digunakan sebagai alat utama melainkan hanya sebagai indikator dari likuiditas dan risiko
investasi.

Keunggulan metode payback period adalah sebagai berikut:


a) Perhitungannya mudah dimengerti dan sederhana.
b)Mempertimbangkan arus kas dan bukan laba menurut akuntansi.
c) Sebagai alat pertimbangan risiko karena makin pendek payback makin rendah risiko
kerugian.
Materi Kewirausahaan - BEP (Break Even Point)

By Hanna Rosita5:42 AM2 comments

Haloreaders,kaliinisky'sblogmausharetetangbreakevenpoint,tentunyainidipelajaridi
SMKmanajemen,pemasaran,akuntansi,ataukakakkakakdiUniversitas,solet'slearn;)
A.Pengertian Break even Point
Break event point adalah suatu keadaan dimana dalam suatu operasi
perusahaan tidak mendapat untung maupun rugi/ impas (penghasilan = total biaya).
Sebelum memproduksi suatu produk, perusahaan terlebih dulu merencanakan
seberapa besar laba yang diinginkan. Ketika menjalankan usaha maka tentunya
akan mengeluarkan biaya produksi, maka dengan analisis titik impas dapat diketahui
pada waktu dan tingkat harga berapa penjualan yang dilakukan tidak menjadikan
usaha tersebut rugi dan mampu menetapkan penjualan dengan harga yang bersaing
pula tanpa melupakan laba yang diinginkan. Hal tersebut dikarenakan biaya
produksi sangat berpengaruh terhadap harga jual dan begitu pula sebaliknya,
sehingga dengan penentuan titik impas tersebut dapat diketahui jumlah barang dan
harga yang pada penjualan. Analisis break even sering digunakan dalam hal yang
lain misalnya dalam analisis laporan keuangan. Dalam analisis laporan keuangan
kita dapat menggunakan rumus ini untuk mengetahui:
1. Hubungan antara penjualan, biaya, dan laba
2. Struktur biaya tetap dan variable
3. Kemampuan perusahaan memberikan margin unutk menutupi biaya tetap
4. Kemampuan perusahaan dalam menekan biaya dan batas dimana perusahaan
tidak mengalami laba dan rugi
Selanjutnya, dengan adanya analisis titik impas tersebut akan sangat membantu
manajer dalam perencanaan keuangan, penjualan dan produksi, sehingga manajer
dapat mengambil keputusan untuk meminimalkan kerugian, memaksimalkan
keuntungan, dan melakukan prediksi keuntungan yang diharapkan melalui
penentuan
harga jual persatuan,
produksi minimal,
pendesainan produk, dan lainnya

Dalam penentuan titik impas perlu diketahui terlebih dulu hal-hal dibawah
ini agartitik impas dapat ditentukan dengan tepat, yaitu:
Tingkat laba yang ingin dicapai dalam suatu periode
Kapasitas produksi yang tersedia, atau yang mungkin dapat ditingkatkan
Besarnya biaya yang harus dikeluarkan, mencakup biaya tetap maupun biaya
variable.
B.Penjelasan break even point
Teknik break even poin analysis atau cost volume profit analysis sering
digunakan dalam menganalisis keuangan perusahaan. Model ini mencoba mencari
dan menganalisis aspek hubungan antara besarnya investasi dan besarnya volume
rupiah yang diperlukan untuk mencapai tingkat laba tertentu.
Dalam perusahaan peranan penjualan sudah jelas yaitu sebagai generating
income yaitu sumber pembentukan laba. Kita menginginkan agar penjualan dapat
menutupi biaya total yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variable.
Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak dipengaruhi oleh volume
kegiatan. Beroperasi atau tidak, biaya ini harus dikeluarkan, misalnya biaya
penyusutan, biaya sewa, biaya gaji, dan lain lain. Sebaliknya semakin banyak
volume kegiatan atau produksi semakin rendah biaya per unit biaya variable adalah
biaya yang jumlahnya tergantung pada volume kegiatan. Jika ada kegiatan pasti ada
biaya variable ini. Semakin banyak volume kegiatan maka semakin banyak biaya
variable. Namun biaya per unit relative sama. Misalnya biaya bahan, gaji tenaga
kerja langsung, komisi penjualan, dll. Pengetahuan terhadap biaya inisangat penting
dalam melakukan analisis break even.
Break even berarti suatu keadaan dimana perusahaan tidak mengalami laba
dan juga tidak mengalami rugi, artinya seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
kegiatan produksi itu dapat ditutupi oleh penghasilan penjualan. Total biaya( biaya
tetap dan biaya variable) sama dengan total penjualan, sehingga tidak terjadi laba
dan juga kerugian.

C.Rumus BEP
Pengetahuan akan angka break even ini sangatlah penting dalam melakukan
analisis keuangan, maupun dalam perencanaan laba dan pengambilan keputusan.
Perhitungan break even inidapat dijelaskan melalui contoh sebagai berikut:
Misalkan biaya tetap(fixed cost) Rp 40.000,-, biaya ini dikeluarkan
kendatipun tidak ada penjualan. Biaya variable Rp 1,2 per unit artinya berap unit
yang dijual biaya variabelnya dikalikan Rp 1,2. Bertambah besar volume penjualan
bertambah besar pula biaya variable. Penjualan per unit dimisalkan Rp 2.

Dari data ini dapat kita cari break even sebagai berikut:
Penjualan adalah harga x Volume (unit)
Sales = Price x Quantity
S =P.Q
S =Rp 2 . Q
P menggambarkan harga per unit, Q menggambarkan volume penjualan dalam unit,
sedangkan S menggambarkan nilai total penjualan (sales).
Total biaya adalah biaya tetap + biaya variable
TC = FC + VC
Jika FC = Rp 40.000,- maka :
TC = 40.000+ 1,2.Q
Dari rumusan ini kita dapat membuat rumus break even.
a. Rumus break even point
Kalau kita ingin mengetahui total cost atau total penerimaan dari penjualan maka
yang diperlukan hanya volume penjualan dalam unit (Q). setiap jumlah Q akan kita
dapat menghitung sales,total cost, dan juga laba/rugi.
Namun dalam BEP yang menjadi pegangan bagi kita adalah titik dimana
perusahaan tidak mengalami laba dan tidak mengalami rugi atau istilah lainnya titik
IMPAS.
Titik impas ini terjadi apabila:
TR (Sales) = P. Q
TC = FC + VC
Jadi pada titik break even:
Harga x Kuantitas Penjualan = biaya tetap + biaya variable
P.Q = FC+ VC
P .Q = FC + (V . Q )
(P. Q) (V. Q) = FC
Q (P-V) = FC
V= harga variable cost per unit
Jadi :
Q= FC / (P-V)
Dalam rumus dan contoh di atas maka break even dapat kita hitung sebagai berikut:
Q = =

Q = 50.000

b. Metode sederhana
Dari hasil perhitungan ini dapat diketahui bahwa jumlah yang harus dijual kalau
perusahaan berada pada titik impas (break even) adalah 50.000 unit.
Perhitungan dengan cara lain dapat dilihat dari table sebagai berikut:

Harga penjualan adalah Rp 2/unit.


Biaya variable Rp 1,2
Biaya tetap Rp 40.000,-
Jumlah unit Harga Biaya Tetap Biaya Total Biaya Laba
penjualan variable
1 2(1x2) 3 4.(1x1,2) 5(3x4) 6(2-5)
30.000 60.000 40.000 36.000 76.000 (16.000)
40.000 80.000 40.000 48.000 88.000 (8.000)
50.000 100.000 40.000 60.000 100.000 Break even
60.000 120.000 40.000 72.000 112.000 8.000
70.000 140.000 40.000 84.000 124.000 16.000
100.000 200.000 40.000 120.000 160.000 40.000

Dari table ini dapat dilihat bahwa titik break even adalah pada jumlah volume
penjualan sebesar 50.000 unit.
Ini berarti bahwa apabila penjualan perusahaan 50.000 unit maka perusahaan
berada dalam posisi tidak mendapat laba dan tidak mengalami rugi. Oleh karena itu
kalau ingin beruntung maka usahakan agar penjualan di atas break even tersebut.
D. Kegunaan Lain dari BEP
Break even analysis sangat bermanfaat dalam mengetahui hubungan antar cost,
volume, harga, dan laba. Misalnya kita ingin mencapai laba tertentu maka kita akan
dapat mengetahui berapa unit barang yang harus kita jual.
Apabila misalnya dalam contoh diatas kita ingin laba Rp 8.000,- maka
perhitungannya adalah sebagai berikut:
Pertama jika tidak ada laba rumusnya:
PxQ = FC + VC
Kalau kita ingin laba Rp 8.000,- maka rumusnya :
PxQ = FC + VC + 8.000
2Q = 40.000+ 1,2 Q+ 8.000
0,8Q =48.000
Q = 60.000 unit.
Untuk mendapatkan laba sebesar Rp 8.000,- maka kita harus dapat menjual 60.000
unit atau volume penjualan harus Rp 120.000,-. Rumus ini bisa juga dipakai dengan
harga per unit, dengan menggunakan rumus tersebut di atas.
Misalnya kita ingin mendapat laba sebesar Rp 8.000,- tapi menurut manajer
penjualan kita hanya dapat menargetkan penjulaan sebanyak 50.000 unit saja. Jadi
berapa harga per unit yang dapat kita jual (agar keuntungan sebesar Rp 8.000
dengan penjualan sebanyak 50.000 unit) ?
Untuk itu gunakan kembali rumusan yang sebelumnya:
P.Q = FC + VC+ 8.000
P. 50.000 = 40.000+ 0,8(50.000) +8.000
50.000 P = 8.000
P = 1,76
Jadi jika kita ambil laba Rp 8.000 dan jumlah unit yang dijual hanya 50.000 unit,
maka harga yang dapat kita ambil adalah sebesar Rp 1,76. Kalau P= 1,76 maka
laba dapat dihitung sebagai berikut:
Sales (TR) 50.000 x 1,76 = Rp
88.000,-
Biaya:
Biaya tetap = Rp 40.000,-
Biaya variable 50.000 x 0,8 = Rp 40.000,-
Total biaya = Rp
80.000,-
Laba = Rp
8.000,-
E. Kelemahan Penggunaan BEP
Dalam pemakaian analisis ini kita harus menyadari keterbatasan yang dikandung
model ini. Kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Asumsi yang menyebutkan harga jual konstan padahal kenyataannya harga ini
kadang-kadang harus berubah sesuai dengan kekuatan permintaan dan penwaran
di pasar. Untuk menutupi kelemahan itu, maka harus dibuat analisis sensitivitas
untuk harga jual yang berbeda.

2. Asumsi terhadap cost


Penggolongan biaya tetap dan biaya variable juga mengandung kelemahan. Dalam
keadaan tertentu untuk memenuhi volume penjualan , biaya tetap mau tidak mau
harus berubah karena pembelian mesin-mesin atau peralatan baru guna
meningkatkan volume produksi untuk penjualan. Begitu pula pada perhitungan biaya
variable per unit mengalami perubahan karena pada saat tertentu dapat terjadi
kenaikan harga bahan baku sehingga menaikkan biaya produksi perusahaan.
3. Jenis barang yang dijual tidak selalu satu jenis
4. Biaya tetap juga tidak selalu tetap pada berbagai kapasitas
5. Biaya variable juga tidak selalu berubah sejajar dengan perubahan volume
penjualan.

Namun begitu,asumsi-asumsi terhadap analisis titik impas seperti asumsi terhadap


biaya yang dianggap tetap, kapasitas produksi serta tingkat penjualan dengan
jumlah dan harga yang juga diasumsikan tetap, maupun biaya variable yang
disumsikan berubah sebanding dengan perubahan volume penjualan perlu
dilakukan karena untuk dapat membuat suatu model analisis mau tidak mau perlu
adanya asumsi yang mendasari perhitungan tersebut, agar perhitungan yang
dilakukan dapat menghasilkan hal-hal yang ingin kita prediksi. Kelemahan-
kelemahan yang terjadi merupakan resiko dari prediksi yang dilakukan sehingga
dalam pengambilan keputusan melalui analisis titik impas tetap perlu adanya kehati-
hatian dari manajer guna menghindari kesalahan yang berakibat pada kerugian
usaha.

F. ANALISIS SENSITIVITAS (SENSITIVITY ANALYSIS)


Merupakan suatu analisis untuk dapat melihat pengaruh2 yang akan terjadi akibat
keadaan yang berubah-ubah
Tujuan Analisis Sensitivitas :
1. Memperbaiki cara pelaksanaan proyek/bisnis yang sedang dilaksanakan
2. Memperbaiki design proyek/bisnis sehingga dapat meningkatkan NPV

3. Mengurangi resiko kerugian dgn menunjukkan beberapa tindakan pencegahan


yang harus diambil
Proyek pertanian sangat sensitif (berubah-ubah) akibat 4 hal, yaitu :

1. Harga Output (apabila penetapan harganya berbeda dengan kenyataan yang


terjadi)

2. Keterlambatan pelaksanaan (keterlambatan inovasi teknologi, pemesanan dan


penerimaan teknologi)
3. Kenaikan Biaya
(Input) Umumnya proyek sangat sensitif terhadap perubahan biaya terutama biaya
konstruksi

4. Hasil (memperkirakan hasil, gangguan hama/penyakit, gamgguan musim)


Perubahan keempat variabel tersebut akan mempengaruhi komponen Cashflow
(inflow ataupun outflow) yang pada akhirnya akan mempengaruhi Net benefit dan
mengubah kriteria investasi.
Cara melakukan Analisis Sensitivitas

Kita memilih sejumlah nilai yang dengan nilai tersebut kita melakukan perubahan
terhadap masalah yg dianggap penting pada analisis proyek & kemudian
menentukan pengaruh perubahan tsb terhadap daya tarik proyek.
Sejumlah nilai tersebut berdasarkan data-data yang tersedia (ada dasarnya)

Misalnya,
1. perubahan kenaikan biaya 10 persen karena
2. perubahan penurunan produksi sebesar 30 % karena hama penyakit,
3. Dll
NPV proyek irigasi pada DF 12 % adalah Rp 8.14 ribu juta rupiah

IRR = 20 + 5((0.29/(0.29-(-0.85))
= 21 persen
NPV pada DF 12 % = Rp 2.37 ribu juta
IRR = 15 + 5(0.14/1.96)
= 15 %

DAFTAR PUSTAKA
Khasmir, Pengantar Manajemen Keuangan,

Syafri Sofyan, Analisis Kritis Laporan Keuangan, Rajawali Pres, Jakarta, 2008

También podría gustarte