Está en la página 1de 108

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah
mencapai pengetahuan. Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata
melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai
atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya
ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai. Sekarang mana
yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan
pada keterikatan nilai? Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang
ontologis, epistomologis dan aksiologi, Pembahasan aksiologi menyangkut masalah
nilai kegunaan ilmu. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus
disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai
kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya
meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan
bencana.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian aksiologi?

2. Apa fungsi aksiologi ?

3. Apa saja pendekatan pendekatan dalam aksiologi?

4. Apa kaitan aksiologi dengan filsafat ilmu?

Tujuan

1. Untuk menjelaskan pengertian aksiologi

2. Untuk mengetahui fungsi aksiologi

3. Untuk mengetahui pendekatan-pendekatan dalam aksiologi

4. Untuk mengetahui kaitan aksiologi dengan filsafat ilmu


BAB II

AKSIOLOGI ILMU

Pengertian Aksiologi Ilmu

Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai
teori nilai. Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat
nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai
yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi
apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu sebagaimana kehidupan
kita yang menjelajahi kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil, dan
kawasan simbolik yang masing-masing menunjukan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih
dari itu, aksiologi juga menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di
dalam menerapkan ilmu kedalam praksis.[1] Menurut Suriasumantri aksiologi
adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh. Menurut kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu :

1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus,
yaitu etika

2. Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan


keindahan

3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan


filsafat sosial politik.

Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan


utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki
manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori
tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek
formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula
bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik
di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-
norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan
yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan
buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan
tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang
konsisten untuk perilaku etis.[2]

Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai


dapat dijawab dengan tiga macam cara yaitu:

Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut


pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung dari pengalaman.

Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi,
namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi
logis dan dapat diketahui melalui akal.

Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun


kenyataan.

Fungsi Aksiologi
Aksiologi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi perkembangan
dan teknologi (IPTEK) tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya
kerja aksiologi antara lain :

1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan menemukan kebenaran


yang hakiki.

2. Dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis, tidak


mengubah kodrat manusia, dan tidak merendahkan martabat manusia.

3. Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan taraf


hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta memberikan
keseimbangan alam lewat pemanfaatan ilmu.[3]

Pendekatan-Pendekatan dalam Aksiologi

Pendekatan-pendekatan dalam aksiologi dapat dijawab dengan tiga macam cara,


yaitu :

1. Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-
nilai merupaka reaksi-reaksi yang diberkan oleh manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka.

2. Nilai-Nilai merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari segi ontologi


namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.

3. Nilai-Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.[4]

Hubungan Aksiologi dengan Filsafat Ilmu

Kaitan Antara Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu adalah Nilai itu bersifat objektif, tapi
kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung
pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada
objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak
tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas
fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi
penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian.

Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang


dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau
tidak suka, senang atau tidak senang. Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah
menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus
bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah
dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya.

Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan


kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah
bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-
eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja
ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya
menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif .

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai
teori nilai. Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat
nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992).

Kaitan Antara Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu adalah Nilai itu bersifat objektif, tapi
kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung
pada subjek atau kesadaran yang menilai.

Aksiologi membberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-
kaidah nilai. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma nilai.

B. Saran

Seorang pendidik hendaknya tahu akan pentingya hakekat nilai yang akan diajarkan
kepada para anak didiknya, sehingga anak didik mengetahui etika keilmuan yang
bermoral dalam ilmu yang dipelajarinya.

Semoga makalah ini bisa menjadi bahan acuan dan semangat untuk mengkaji dan
membuat makalah yang semakin baik. Pembahasan makalah ini mungkin masih
kurang sempurna. Oleh karena itu penulis masih membutuhkan saran dan
perbaikan dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

http://laily-muttoharoh.blogspot.com/2011/12/dimensi-aksiologi

http://ganjureducation.wordpress.com/2010/12/28/aksiologi-ilmu-pengetahuan

Louis o. Kattsoff. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara wacana yogya

Risieri Frondizi. 2007. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta : Pustaka pelajar

[1] Louis o. Kattsoff. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara wacana yogya). 2004.
Hlm: 319

[2] http://ganjureducation.wordpress.com/2010/12/28/aksiologi-ilmu-
pengetahuan.hlm.1

[3] http://laily-muttoharoh.blogspot.com/2011/12/dimensi-aksiologi.html

[4] Risieri Frondizi. Pengantar Filsafat Nilai. (yogyakarta : 2007). Hlm: 167

AKSIOLOGI : Ilmu dan Moral,Tanggungjawab Sosial Ilmuwan, dan


Revolusi Genetika
A.Pendahuluan

Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi umat manusia, karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Merupakan suatu
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban man usia sangat berhutang pada ilmu.
Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, dan
berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa
merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, komunikasi dan lain sebagainya.
Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) disatu sisi memang berdampak
positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industry,
komunikasi, dan transportasi, misalnya terbukti amat bermanfaat. Tetapi disisi lain, tak jarang
iptek berdampak negative karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat
manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hirosima dan Nagasaki pada
tahun 1945.

Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat
manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan , manusia dapat
menciptakan berbagai bentuk teknologi . Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk
memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negative
yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, ilmu harus
diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab,
jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan
pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan
dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan
membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab
seorang ilmuan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggungjawab
akademis, dan tanggungjawab moral.

Seperti yang sudah diketahui bahwa sejak pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan
masalah moral. Ketika Copernicus (1473 1543) mengajukan teorinya tentang alam semesta dan
menemukan bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya seperti
yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang
bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelahari alam sebagaimana adanya,sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada peryataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran diluar bidang
keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral terseebut timbullah konflik
yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisi Galileo
pada tahun 1663. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa
bumi berputar mengelilingi matahari (Suriasumantri:233).
Dalam makalah ini penulis membicarakan Ilmu dan Moral, Tanggungjawab Sosial
Ilmuwan dan Revolusi Genetika.

B. Ilmu dan Moral


Pengertian ilmu menurut kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu

bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang(pengetahuan) itu. Menurut Endrotomo (2004) ilmu
merupakan suatu aktivitas tertentu yang menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan
pengetahuan tertentu.

Pengertian moral menurut kamus bahasa Indonesia adalah ajaran tentang baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak, budi pekerti; susila
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu

semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan
merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
kepada ilmu (Suriasumantri,2007). Dengan kata lain, ilmu merupakan sarana untuk membantu
manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

Menurut Suriasumantri (2007) : ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral


namun dalam perpektif yang berbeda. Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat
manusia, tetapi bisa juga menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada
awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang
bersifat negative yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu sendiri, seperti bom yang
terjadi di Bali (Endrotomo, 2004). Oleh sebab itu, ilmu harus diletakkan secara proporsional dan
memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-
nilai kebaikan, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan
pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam
memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk
tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi factor-faktor yang
terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Disinilah
masalah moral muncul kembali namun dalam kaitannya dengan factor lain. Kalau dalam tahap
kotemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisiska maka dalam tahap manipulasi ini
maslalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara Filsafati
dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuwan.

Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Seperti yang telah diutarakan
diatas bahwa ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya tidak
bermoral atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tetapi, sebaliknya ilmu
akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat serta
mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seorang
ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-
nilai moral, seorang ilmuwan bisa menjadi monster yang setiap saat bisa menerkammanusia,
artinya bencana kemanusian bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang
berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan dengan kejahatan orang yang tidak
berilmu.

Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhan dimensi etis sebagai


pertimbangan dan mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan lebih lanjut ilmu dan
teknologi. Tanggungjawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan keilmuan maupun
pengunaan ilmu, yang berarti dalam pengembangannya harus memperhatikan kodrat dan
martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bersifat universal, bertanggung jawab pada
kepentingan umum, dan kepentingan generasi mendatang.

Tanggungjawab ilmu menyangkut juga hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu
dimasa lalu, sekarang maupun masa mendatang, berdasarkan keputusan bebas manusia dfalam
kegiatannya. Penemuan baru dalam ilmu terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan nilai-
nilai hidup baik alam maupun manusia. Hal ini tentu menuntut tanggungjawab untuk selalu
menjaga agar yang diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang
terbaik bagi perkembangan ilmu itu sendiri maupun perkembangan eksistensi manusia secara
utuh.

Tanggungjawab moral tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu secara tepat dalam
kehidupan manusia, melainkan harus menyadari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak
dilakukan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia, baik dalam hubungannya
secara pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang
bertanggung jawab terhadap khaliknya.

Secara umum pandangan yang ada mengenai moralitas adalah penilaian sesuatu itu baik
atau buruk. Filosof Yunani Aristoteles (Kurtiness dan Gerwitz,1993) menyatakan bahwa
moralitas adalah hidup yang tertuang dalam perilaku yang benar, yaitu perilaku yang benar
dalam hubungannya dengan orang lainmaupun dengan dirinya sendiri. Sedangkan, Immanuel
Kant dalam metafisika kesusilaan (Tjahjadi,1991) mengartikan moralitas sebagai kesesuaian
sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum bahtinia kita, yakni apa yang kita pandang
sebagai kewajiban kita. Oleh sebab itu, ilmu secara moral haus ditujukan untuk kebaikan
manusia tanpa merendahkan martabat atau merubah hakikat kemanusiaan.

Perkembangan ilmu akan mempengaruhi nilai-nilai kehidupan manusia tergantung dari


manusianya sendiri, Karena ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia.
Kemajuan di bidang ilmu memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya,
karena tugas terpenting ilmu adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-
sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya.
C. Tanggungjawab Sosial Ilmuwan

Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam
penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi
bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi diperhatikan sebaik-
baiknya. Ilmuwan tidak berhenti pada penelahan dan keilmuan secara individual namun ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
(Suriasumantri,2007).
Ilmu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat
merubah wajah dunia. Berkaitan dengan ini, Francis Bacon dalam Suriasumantri menyatakan
bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Apakah kekuasaan itu merupakan berkah atau justru
malapetaka bagi umat manusia? Kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita
tidak bisa mengatakan bahwa itu kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi
manusia untuk mencapai kebahagian hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral. Ilmu tidak
mengenal baik atau buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.

Ilmu sebagai karya tertinggi mnusia (ilmuwan) adalah sesuatu yang terus dan akan
mengikuti pola dan model si pemilikrnya (ilmuwan), ilmu bisa saja menjadi momok yang
menakutkan bila disalahgunakan. Di sinilah keharusan bagi ilmuwn untuk mampu mnilai mana
yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan
mempunyai landasan yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan merupakan seorang hantu atau
serigala yang menakutkan bagi manusia lainnya. Seperti yang terjadi di Irak, Bali, Afganistan
dan lain sebagainya.

Ilmu merupakan hasil karya seseorang yang dikomunikasikan dan dikaji secara luas oleh
masyarakat. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka karya ilmiah itu
akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Oleh sebab itu, ilmuwan
memiliki tanggungjawab besar, bukan saja karena ia adalah warga masyarakat, tetapi karena ia
juga memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Fungsinya sebagai ilmuwan, tidak hanya
sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi bertanggungjawab atas hasil penelitiannya agar dapat
digunakan oleh masyarakat, serta bertanggungjawab dalam mengawal hasil penelitiannya agar
tidak disalahgunakan.

Etika keilmuan merupakan etika normative yang merumuskan prinsip-prrinsip etis yang
dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ikmu pengetahuan.
Tujuan etika keilmuan adalah agarseorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral,
yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya, sehinggah
dapat menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku ilmiahnya. Etika normative
menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan
apa yang seharusnya dikerejakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang
bertentantangan dengan yang seharusnya terjadi.

Etika keilmuan selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah moral, yaitu hati
nurani,kebebasan dan tanggungjawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan).
Maka, bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadin
penentu,apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum. Dengan demikian, penerapan
ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, maupun
teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai
kemanusian, nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebaginya. Ini artinya,
bahwa ilmu sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas
dan masyarakat akan mengujinya.

Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak,
para ilmuwan terbagi kedalam dua golongan pendapat (Suriasumantri, 2007), yaitu :

1. Golongan pertama menginginkan ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu

secara ontologism maupun aksiologi. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan
pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan
digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin
melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo.

2. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada

metafisika keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-


nilai moral. Golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis
berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat.
Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni :

(1) Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang
dibuktikan dengan adanya perang dunia yang mempergunakan teknologi
keilmuwan.
(2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih
mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan.
(3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu
dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus
revolusi genetika dan teknik perubahan social (social engineering).

Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral
harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau merubah hakikat
kemanusiaan.
Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak

terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi
ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuwan serta masalah
bebas nilai. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuwan secara individual
namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwannya sampai dan dapat dimanfaatkan
masyarakat.

Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat


dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan
perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif
dapat dimungkinkan. Maka, ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusian (Suriasumantri,2007).

Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi


opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini,
berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara
dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja
mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.

Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur
dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa
pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir
orang awam.Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang
menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat
sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru,
dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.

Dibidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi


informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat
obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian
yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini berserta sifat-sifat lainnya,
merupakan implikasi etis dari dari berbagai proses penemuan ilmiah. Tugas seorang ilmuwan
harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis
yang tepat.

Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau
penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan
bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik
pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.

Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk


kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalagunakan. Untuk itulah tanggung jawab
ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan
tanggung jawab moral. Maka, pendidikan moral sebagai unsur yang terlupakan oleh para
ilmuwan. Karena IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) tanpa iman dan taqwa (IMTAQ) atau
agama akan menghancurkan manusia, sedangkan berbekal IMTAQ saja kita akan tertinggal jauh
dari masyarakat modern. Contoh: Dalam tanggungjawab sosialnya para ilmuwan seperti Andre
Sakharove dari Rusia elah melaksanakan tugas sosialnya dengan menyarankan kepada
pemerintahnya dalam proyek nuklir dan proyek-proyek lainnya yang membahayakan umat
manusia. Walaupun pada akhirnya dia harus mendekam dalam penjara dengan kerja paksa
(Suseno,1989). Namun, demi rakyat semua ia relakan.
D. Rekayasa Genetika

Ilmu dalam persfektif sejarah kemanusiaan mempunyai puncak kecemerlangan masing-


masing, namun seperti kotak Pandora yang terbuka kecemerlangan itu membawa malapetaka.
Perang dunia 1 menghadiahkan bom kuman yang menjadi kutukan ilmu kimia dan perang dunia
2 muncul bom atom produk fisika, dan kutukan apa yang akan dibawa oleh revolusi genetika
(Suriasumantri, 2007).

Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab
sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaah itu sendiri.dengan
penelitian genetika ini menjadi sangat lain kita tidak lagi menelaah organ- organ manusia
melainkan manusia itu sendiri yang menjadi objek penelitian yang menghasilkan bukan lagi
tekhnologi yang memberikan kemudahan melainkan teknologi yang mengubah manusia itu
sendiri, apakah perubahan itu akan dibenarkan dengan moral, yaitu sikap yang sudah dimiliki
seorang ilmuan?

Jawabannya yaitu tinggal dikembalikan lagi kepada hakikat manusia itu sendiri, karena
sudah kita ketahui bahwa ilmu itu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu dalam
mencapai tujuan hidupnya, tujuan hidup ini berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu
sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah.

Penemuan dan riset genetika akan digunakan dengan itikad yang baik untuk keluhuran
manusia, dan bagaimana sekiranaya riset tersebut jatuh pada tangan yang tidak bertanggung
jawab dan mempergunakan penemuan ilmiah ini untuk kepentingannya sendiriyang bersifat
destruktif? Apa yang akan diberikan bahwa pengetahuan ini tidak akan dipergunakan untuk
tujuan- tujuan seperti itu? Dari pertanyaan itu kita melihat dari sudut ini makin meyakinkan kita
bahwa akan lebih banyak keburukannya dibandingkan dengan kebaikannya sekiranya hakikat
kemanusiaan itu sendiri mulai dijamah.

Rekayasa yang cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan (dehumanisme) dan


mengubah hakikat kemanusiaan menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang
penjelajahan sains, disamping tanggungjawab dan moral ilmuan. Jika sains melakukan telaahan
terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal barangkali hal itu tidak menjadi
masalah terutama jika kajian itu bermuara pada penciptaan teknologi yang dapat merawat atau
membantu fungsi- fungsi organ tubuh manusia. Tapi jika sains mencoba mengkaji hakikat
manusia dan cenderung mengubah proses penciptaan manusia seperti kasus dalam kloning hal
inilah yang menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang penjelajahan sains. yang jadi
pertanyaan sekarang sejauh mana penjelajahan sains dan teknologi?

Dengan peneltian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak menelaah
organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan
bagi kita, tetapi melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaahan yang akan
menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknlogi untuk
merubah manusia itu sendiri. Apakah perubahan-perubahan yang dilakukan di atas moral dapat
dibenarkan (Suriasumantri, 2007).

Berkaitan dengan pertanyaan diatas dimana kaitan ilmu dengan moral, nilai yang menjadi
acuan seorang ilmuan, dan tanggungjawab sosial ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu pada
posisi yang sangat penting karena itu salah satu aspek pembahasan mendasar dalam integrasi
keilmuan adalah aksiologi yang sebelumnya telah dibahas.
. Kesimpulan

1.Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan


penelitiannilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkab secara keilmuan.Ilmu
menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya
dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi
manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaikbaiknya.

2. Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu berkembang secara optimal, tetapi ketika
dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhtikan segi kemanusian
baik pada tataran individu maupun kelompok. Tanggungjawab moral menyangkut pemikiran
bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Ilmu
harus diapplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia. Maka,Peranan
moral sangat menentukan dalam penerapan teknologi bagi kemaslahatan umat manusia..

3. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab agar produk keilmuannya dapat


dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat manusia.

4. Penelitian genetika yang menjadikan manusia sebagai objek penelitian harus ditolak.
Karena tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta


Endrotomo. 2004. Ilmu dan Teknologi. Information system ITS, Surabaya
Kurtines, William M. dan Gerwitz. 1993. Moralitas, Perilaku Moral, dan
Perkembangan Moral

Universitas Indonesia Press, Jakarta


Suriasumantri,Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar
Harapan,

Jakarta
Suseno, Franz Magnis. 1989. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Penerbit
Kanisius, Jakarta

AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA (Bab 10)

BAB 10

AKSIOLOGI

ILMU PENGETAHUAN

DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA

A. HAKIKAT AKSIOLOGI

Aksiologi yaitu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum.
Sebagai landasan ilmu aksiologi mempertanyakan untuk pengetahuan yang berupa
ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan ntara cara penggunaan itu dan kaidah
moral? Bagaimana penentuan jek yang ditelaah berdasarkan pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural yang merupakan operasionaliaasi
metode ilmiah dan norma-norma moral atau profesional? Aksiologi merupakan
cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan
ilmunya. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S. Suriasumantri (2010)
mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan penggunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Menurut Francia Bacon dalam Jujun bahwa
"pengetahuan adalah kekuasaan" apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau
justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang
diaebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan
ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal
baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunaannya.

Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, layak,
pantas, patut dan Logos yang berarti teori, pemikiran. Jadi Aksiologi adalah "teori
tentang nilai". Aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian.
Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin
khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini
melahirkan keindahan (seni/estetika). Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan
sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Jadi, aksiologi yaitu teori
tentang nilai-nilai ketiga aspek ini, yakni moral, keindahan, dan sosial politik.

Lebih lanjut, menurut John Sinclair dalam Jujun S. Suriasumantri (2010),


dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti
politik, sosial, dan agama. Adapun nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga,
yang diidamkan oleh setiap insan. Aksilogi adalah ilmu yang membicarakan tentang
tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi, Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelaiari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan
sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfadtkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan
yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu
pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.

Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak


bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus diaesuaikan
dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan
ilmu itu dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan
kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.

Aksiologi bisa juga diaebut sebagai the theory of value atau teori nilai.
Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi merupakan kegunaan ilmu pengetahuan
bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Jadi, Aksiologi
yaitu bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and
bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and
objective). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsiaten untuk
perilaku etis.

Dewasa ini perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari hakikatnya,


dimana ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai
tujuan hidupnya, melainkan bahkan kemungkinan menciptitakan tujuan hidup itu
sendiri. Di sinilah moral sangat berperan sebagai landasan normatif dalam
penggunaan ilmu, serta dituntut tanggung jawab sosial ilmuwan dengan kapasitas
keilmuannya dalam menuntun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga tujuan hakiki dalam kehidupan manusia bisa tercapai.

Nilai suatu ilmu berkaitan dengan kegunaan. Guna suatu ilmu bagi
kehidupan manusia akan mengantarkan hidup semakin tahu tentang kehidupan.
Kehidupan itu ada dan berproses yang membutuhkan tata aturan. Aksiologi
memberikan jawaban untuk apa ilmu itu digunakan. Ilmu tidak akan menjadi sia-sia
jika kita dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik
pula.

B. KATEGORI DASAR AKSIOLOGI

Menurut Susanto (2011) mengatakan, ada dua kategori dasar aksiologi:


Pertama, objectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya
sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua, subjectiviam, yaitu penilaian terhadap
sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan). Dari sini
muncul empat pendekatan etika, yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori
nilai alamiah, dan teori nilai emotif teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran
objektivia, sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subjektivia.

1. Teori Nilai Intuitif (The Intuitive Theory of Value)

Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk
mendefimisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimana pun juga suatu
perangkat nilai yang absolut itu eksia dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai
ditemukan melalui intuisi, karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka
menegaskan bahwa nilai eksia sebagai piranti objek atau menyatu dalam hubungan
antar-objek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku
manusia. Sekali mengakui dan menemukan seseorang nilai itu melalui proses
intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras
dengan preskripsi moralnya.
2. Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of Value)

Menurut teori ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat obiektif dan
murni independen dari manusia. Nilai ini ditemukan sebagai hasil dari penalaran
manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu
dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau
yang lalat yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu
Tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran Tuhan nilai ultimo, objektif, absolut yang
seharusnya mengarahkan perilakunya.

3. Teori Nilai Alamiah (The Naturaliatic Theory of Value)

Menurut teori ini nilai, diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan dan
hasrat yang dislaminya. Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia yang
diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan
membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalia mencakup teori nilai
instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut tetapi bersifat relatif. Nilai secara
umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.

4. Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of Value)

Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status


kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah
keputusan 43 faktual melainkan hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku.
Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa
penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.

C. NILAI DAN KEGUNAAN ILMU (AKSIOLOGI ILMU)

Erliana Hasan (2011) mengatakan, bahwa nilai (value) termasuk dalam


pokok bahasan penting dalam filsafat ilmu, diaamping itu digunakan juga untuk
menunjuk kata benda yang abstrak dan dapat diartikan sebagai keberhargaan
(worth) atau kebaikan (goodness). Menilai berarti menimbang, yakni suatu kegiatan
menghubungkan sesuatu dengan yang lain yang kemudian dilanjutkan dengan
memberikan keputusan. Keputusan ini menyatakan apakah sesuatu itu bernilai
positif atau sebaliknya. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada
manusia, yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaannya. Dengan demikian,
nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bemanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku.

Terdapat empat pengelompokan nilai, yaitu: (1) kenikmatan, (2) kehidupan,


(3) kejiwaan, dan (4) kerohanian. sesuatu dikatakan material apabila sesuatu itu
berguna bagi jasmani manusia. Demikian juga sesu'tu dikatakan bernilai vital ketika
ia berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan, dan sesuatu bernilai
kerohanian apabila ia berguna bagi rohani manusia.

Dalam Encliclopedya of Philosophy dijelaskan, aksiologi value and valuation


ada tiga bentuk:

a. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih
sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
Penggunaan nilai yang lebih luas merupakan kata benda asli untuk seluruh macam
kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain, dan ia
berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi ialah bagian dari etika. Lewia
menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai
instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren
atau kebaikan seperi estetis dari suatu karya seni, sebagai nilai intrinsik atau
menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor atau nilai yang
merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.

b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata suatu nilai atau
nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti
nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang
memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak
dianggap baik atau bernilai.

c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai,
dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal itu secara aktif
digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dia hal tentang menilai,
ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.

Dari defimisi mengenai aksiologi yang dikemukakan, Amsal Bakhtiar (2011)


menyimpulkan, bahwa permasalahan yang utama dalam aksiologi itu mengenai
nilai. Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang siapa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Selanjutnya. dikatakan
Surajiyo (2010), pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang didalam dirinya
memiliki karakteristik kritia, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan
suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu,
masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan
yang kuat yaitu masalah kegunaan ilmu telah membawa manusia. Memang tidak
dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan yang
cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kukuh, kuat, dan mendasar itu
menjadi penyelamat manusia, bukan sebaliknya. Di sinilah letak tanggung jawab
seorang ilmuwan, moral dan akhlak sangat diperlukan. Oleh karena itu, penting bagi
para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.

Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk
apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat
sebagai tiga hal sebagaimana dikemukakan Idzan Fautanu (2012), yaitu:

1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia


pemikiran.

Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang
membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau
sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori filsafatnya.
Inilah kegunaan mempelajari teori filsafat ilmu.

2. Filsafat sebagai pandangan hidup.

Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenarannya
dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya
yaitu untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.

3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.

Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan pintu,
setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan
akan dijalani lebih enak bila masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara
menyelesaikan masalah, multi dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit.
Bila cara yang digunakan sangat sederhana, maka biasanya masalah tidak terse-
lesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap
semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.

Adapun dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan aksiologi dinamakan


dengan value and valuation:

1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih
sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.

2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata suatu nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti
nilainya atau nilai dia.

3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, atau
dinilai. Dari defimisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan
utama yaitu mengenai nilai. Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki
manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori
tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.

Pandangan Susanto (2011) mengatakan, filsafat ilmu menyelidiki dampak


pengetahuan ilmiah pada hal-hal berikut: Pertama, persepsi manusia akan
kenyataan. Kedua, pemahaman berbagai dinamika alam. Ketiga, saling keterkaitan
antara logika dan matematika, dan antara logika dan antara matematika pada satu
sisi dan kenyataan pada sisi lain. Keempat, berbagai keadaan dari keberadaan
teoretis. Kelima, berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya.
Keenam, hakikat manusia, nilai-nilainya, tempat dan posisinya di tengah-tengah
semua keberadaan lain, paling sedikit yang berada di lingkungan dekatnya.

Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika di mana makna etika memiliki dua arti, yaitu suatu kumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai
untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.

Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan


objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat
individu, tetapi pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif apabila
subjek berperan dalam memberi penilaian, kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian.

Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan


yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka
atau tidak suka, senang atau tidak senang. Kemudian bagaimana dengan nilai
dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah
menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu
selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan
penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan
kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa
memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia,
tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia
pada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang
demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana
adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan.

Selanjutnya dikatakan berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat


dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia,
dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Makna etika dipakai dalam
dua bentuk arti: pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai
penilaian terhadap perbuatan manusia. Seperti ungkapan "saya pernah belajar
etika". Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-
hal, perbuatan, atau manusia yang lain. Seperti ungkapan "ia bersifat etis atau
seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila.

Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat jika dikatakan bahwa
objek formal etika yaitu norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula
bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik
di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-
norma. Adapun estetika berkaitan dengan nilai pengalaman keindahan yang dimiliki
oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.

Nilai itu objektif atau subjektifkah sangat tergantung dari hasil pandangan
yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif apabila subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau
eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun
fisik. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan. Intelektualitas dan
nilai hasil subjektif selalu mengarah pada sesuatu suka atau tidak suka, senang
atau tidak senang. Misalnya seseorang melihat matahari terbenam di sore hari.
Akibat yang dimunculkannya yaitu menimbulkan rasa senang karena melihat
betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari
seseorang dengan orang lain akan memiliki kualitas yang berbeda. Nilai itu objektif
jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif
muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Ini
beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang
memiliki kadar realitas benar-benar ada. Misalnya kebenaran tidak bergantung pada
pendapat individu, tetapi pada objektivitas fakta, kebenaran tidak diperkuat atau
diperlemah oleh prosedur. Demikian juga dengan nilai orang yang berselera rendah
tidak mengurangi keindahan suatu karya seni.

Gagasan aksiologi dipelopori juga oleh Lotze Brentano, Husserl, Scheller,


dan Nocolai Hatmann. Scheller mengontraskan dengan praeksologi, yaitu
pengertian umum mengenai hakikat tindakan, secara khusus bersangkutan dengan
dientologi, yaitu teori moralitas mengenai tindakan yang benar. Dalam penilaiannya
terdapat dua bidang yang paling populer saat ini, yaitu yang bersangkutan dengan
tingkah laku keadaan atau tampilan fisik. Dengan demikian, kita mengenai aksiologi
alam dua jenis, yaitu etika dan estetika. Etika yaitu bagian filsafat yang
mempersoalkan penilaian atas perbuatan manusia dari sudut baik atau jahat. Etika
dalam bahasa Yunani ethos, yang artinya kebiasaan atau habit atau custom.
Estetika merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari
sudut indah dan jelek, secara umum estetika mengkaji mengenai apa yang
membuat rasa senang.

Dagobert Runes mengemukakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan


nilai yang menyangkut hakikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, dan status metafisika
nilai. Mengenai hakikat nilai banyak dikemukakan diantaranya teori valuntariame.
Teori ini mengemukakan bahwa nilai yaitu suatu pemuasan terhadap suatu
keinginan atau kemauan. Menurut kaum hedoniame menyatakan bahwa hakikat
nilai yaitu "pleasure" atau kesenangan. Semua manusia mengarah pada
kesenangan. Menurut forma-lism nilai yaitu kemauan yang bijaksana yang
didasarkan pada akal

rasional. Menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan
memiliki nilai instrumental, sebagian alat untuk mencapai tujuan.

Adapun tipe nilai dapat dibedakan antara lain intrinsik dan nilai in-
strumental. Nilai intrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan
nilai instrumental merupakan alat untuk mencapai nilai intrinsik. Sebagai contoh
nilai intrinsik yaitu nilai yang dipancarkan oleh suatu lukisan, dan shalat lima waktu
merupakan nilai intrinsik dan merupakan suatu perbuatan yang sangat luhur. Nilai
instrumentalnya bahwa dengan melaksanakan shalat akan mencegah perbuatan
yang keji atau jahat, yang dilarang oleh Allah dan tujuan akhirnya mendapat
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Yang dimaksud dengan kriteria nilai yaitu sesuatu yang menjadi ukuran nilai,
bagaimana nilai yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik. Kaum hedoniame
menemukan nilai sejumlah "kesenangan" (pleasure) yang dicapai oleh individu atau
masyarakat. Bagi kaum pragmatic, kriteria nilai yaitu "kegunaannya" dalam
kehidupan bagi individu atau masyarakat. Adapun yang dimaksud metafisik nilai
yaitu bagaimana hubungan nilai-nilai itu dengan realitas, dan dibagi menjadi tiga
bagian: Pertama, subjektivisme: value ia entirely dependent on and relative to hu-
man experience of it. Kedua, logikal objektivisme, value are logical essences for
subsiatences, independent of their being known, yet not eksistensial status of
action in relity. Ketiga, metaphysical objektivisme, values or norm or ideals are
integral objective an active constituents of the Metaphysical real.

Dalam pandangan objektivisme, nilai itu berdiri sendiri namun bergantung


dan berhubungan dengan pengalaman manusia. Pertimbangan terhadap nilai
berbeda antara manusia yang satu dan yang lainnya. Menurut objektivisme logis,
nilai itu suatu kehidupan yang logis tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya,
namun tidak memiliki status dan gerak di dalam kenyataan. Menurut objektivisme
metafisik, nilai yaitu sesuatu yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif
dari realitas metafisik.

D. KARAKTERISTIK NILAI AKSIOLOGI

Erliana Hasan (2011) mengatakan ada dua karakteristik yang berkaitan


dengan teori nilai, yaitu: Pertama, nilai objektif atau subjektif. Nilai itu objektif jika ia
tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Sebaliknya nilai itu subjektif
jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada realisasinya subjek
yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau
fisik. Suatu nilai dikatakan objektif apabila nilai itu memiliki kebenarannya tanpa
memperhatikan pemilihan dan penilaian manusia. Contohnya, nilai-nilai baik, jika
benar, cantik, merupakan realitas alam, yang merupakan bagian dari sifat yang
dimiliki oleh Benda atau tindakan itu. Nilai itu subjektif apabila memiliki preferensi
pribadi, dikatakan baik karena dinilai oleh seseorang. Kedua, nilai dikatakan absolut
atau abadi. Apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau
dan akan berlaku secara absah sepanjang masa serta akan berlaku bagi siapa pun
tanpa memperhatikan atau kelas sosial.

Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan
harapan dan keinginan manusia yang selalu berubah, maka nilai itu pun
mengungkapkan perubahan itu. Nilai berubah merespons dalam kondisi baru,
ajaran baru, agama baru, penemuan baru dalam sains dan teknologi, kemajuan
dalam pendidikan, dan lainnya.

Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan
estetika. Etika yaitu cabang filsafat yang membahas secara kritia dan sistematis
masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada perilaku, norma, dan adat istiadat
manusia. Etika merupakan salah satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah
menjadi pembahasan menarik sejak masa ocrates dan para kaum sofia. Di situ
dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan, dan sebagainya.
Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnin Suseno
diartikan sebagai pemikiran kritia, sistematis, dan mendasar tentang ajaran dan
pandangan moral. Isi dari pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan diatas
norma-norma, adat, wejangan, dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma
itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan,
tatapi suatu pemikiran yang kritia dan mendasar tujuan dari etika yaitu agar
manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.

Aspek aksiologi merupakan aspek yang membahas tentang untuk

ilmu itu digunakan. Selanjutnya Erliana mengutip pendapat Bramel,

alam aspek aksiologi ini ada moral conduct, estetic expresion, dan sosiolitical.
Setiap ilmu bisa untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan. Namun salah satu
tanggung jawab seorang ilmuwan yaitu dengan melakukan sosialiaasi tentang
penemuannya, sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan hasil penemuan itu.
Dan, moral yaitu hal yang paling susah dipahami ketika sudah mulai banyak orang
yang meminta permintaan, moral yaitu suatu tuntutan. Ilmu bukanlah sekadar
pengetahuan (knowledge). Ilmu memang berperan tetapi bukan dalam segala hal.
Sesuatu dapat dikatakan ilmu apabila objektif, metodis, sistematis, dan universal.
Dan, knowledge yaitu keahlian maupun keterampilan yang diperoleh melalui
pengalaman maupun pemahaman dari suatu objek.

Pandangan lain Amsal Bakhtiar (2011) mengatakan, sains merupakan


kumpulan hasil observasi yang terdiri dari perkembangan dan pengujian hipotesis,
teori, dan model yang berfungsi menjelaskan data. Dihadapkan dengan masalah
dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke
dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus
bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis.
Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada
orang lain untuk menggunakannya, apakah akan diguanakan untuk tujuan yang
baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi
kenetralan ilmu secara total. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua
mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: (a) ilmu secara faktual telah
digunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua
perang dunia yang menggunakan teknologi keilmuan; (b) ilmu telah berkembang
dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang
ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan; (c) ilmu telah berkembang
sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah
manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika
dan teknik perbuatan sosial.

E. KORELASI ANTARA FILSAFAT ILMU DAN AKSIOLOGI

Dalam kaitan antara nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu
agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Nilai
itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur
suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu,
tetapi pada objekitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif apabila subjek
berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan pengarah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan


diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu
faktor yang membedakan antara pernyataan ilmiah dan anggapan umum yaitu
terletak pada objektivitasnya. Seorang ilmuwan harus melihat realitas emperis
dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat ideologis, agama, dan budaya.
Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas
melakukan eksperimen. Ketika Seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju kepada
proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai
aktif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.

Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika di mana makna etika memiliki dua arti, yaitu merupakan satu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat
yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai
itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergangu pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu
gagasan ada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian.
Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjeknya berperan
dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan
demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki
akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak
suka, senang atau tidak senang.

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia

sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi sains dan teknologi
dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman.
Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan
teknologi, karena itu kita tidak bisa dimungkiri peradaban manusia berutang budi
pada sains dan teknologi. berkat sains dan teknologi pemenuhan kebutuhan
manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik
dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah
mempermudah kehidupan manusia.

Sejak dalam tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang, di
samping itu ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi
teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia,
namun sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang
melampaui perkembangan budaya dan peradaban manusia.

F. SIKAP DAN TANGGUNG JAWAB ILMUWAN

Sikap seorang ilmuwan dilihat dari sudut atau cara berpikirnya, yang pada
hakikatnya adalah mereka yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja
jalan pikirannya yang mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap
materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan teliti. Di sinilah kelebihan
seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam.

Ilmu merupakan hasil karya seorang ilmuwan yang dikomunikasikan dan


dikaji secara luas. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka
karya ilmiah itu akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat
luas. Maka jelaslah, jika ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar bukan saja
karena ia merupakan warga masyarakat, melainkan karena ia juga memiliki fungsi
tertentu dalam masyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak hanya sebatas
penelitian bidang keilmuan, tetapi juga bertanggung jawab atas hasil penelitiannya
agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta bertanggung jawab dalam mengawal
hasil penelitiannya agar tidak disalahgunakan.

Selain itu pula, dalam masyarakat sering kali terdapat berbagai masalah
yang belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang
terpandang, dengan daya analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan
dari masalah itu. Seorang ilmuwan dengan kemampuan berpikirnya mampu
memengaruhi opini masyarakat terhadap suatu masalah. Ilmuwan mempunyai
kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang
mudah dicerna. Tanggungjawab sosial seorang ilmuwan yaitu memberikan
perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian
yang objektif apat dimungkinkan.

Tanggung jawab sosial lainnya dari seorang ilmuwan yaitu dalam bidang
etika. Dalam bidang etika ilmuwan harus memosisikan dirinya sebagai pemberi
contoh. Seorang ilmuwan haruslah bersifat objektif, terbuka, menerima kritik dan
pendapat orang lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui
kesalahannya. Semua sifat ini beserta sifat lainnya merupakan implikasi etis dari
berbagai proses penemuan ilmiah. Seorang ilmuwan pada hakikatnya merupakan
manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak
menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat.
Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang
awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah
yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara
kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa
yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus
dibayar untuk kekeliruan itu. Sudah seharusnya pula terdapat dalam diri seorang
ilmuwan sebagai suri teladan dalam masyarakat.

Dengan kemampuan pengetahuannya, seorang ilmuwan harus dapat


memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah yang seyogianya mereka sadari.
Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan
esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam.
Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya
analisianya, melainkan juga integritas kepribadiannya. Di bidang etika, tanggung
jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi melainkan memberi
contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka,
menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang di-
nggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus
menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan
metodologis yang tepat. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan
hasil penelitian atau penemuannya digunakan untuk menindas bangsa lain
meskipun yang menggunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat, para
ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut
anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Pengetahuan merupakan
kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau
sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan harus
dipupuk subur kembangkan dan berada pada tempat yang tepat, baik tanggung
jawabnya secara akademis maupun tanggung jawab moral dan sosial masyarakat.

G. HIERARKI DAN ASPEK NILAI DALAM PENGETAHUAN

Sutardjo Wiramihardja (2007) menguraikan ada tiga pandangan yang


berkaitan dengan hierarki nilai: Pertama, kaum idealis berpandangan secara pasti
terhadap tingkatan nilai, di mana nilai spiritual lebih tinggi daripada nonspiritual
(nilai material). Mereka menempatkan nilai religi pada tingkat yang tinggi karena
nilai religi membantu manusia dalam menemukan akhir hidupnya, dan merupakan
kesatuan dengan nilai spiritual. Kedua, kaum realis juga berpandangan bahwa
terdapat tingkatan nilai, di mana mereka menempatkan nilai rasional dan emperis
pada tingkatan atas, sebab membantu manusia realitas objektif, hukum alam dan
aturan berpikir logis. Ketiga, kaum pragmatis menolak tingkatan nilai secara pasti.
Menurut mereka suatu aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya apabila
memuaskan kebutuhan yang penting dan memiliki nilai instrumental.

Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang


ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam
melakukan eksperimen. Kebebasan inilah nantinya akan dapat mengukur kualitas
kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, ia hanya tertuju pada proses kerja
ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya
menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti
nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, dan nilai adat. Bagi seorang ilmuwan
kegiatan ilmiahnya dan kebenaran ilmiahnya sangat penting.

Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan


berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian?
Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan berkah dan penyelamat bagi
manusia. Manusia terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan
kesengsaraan. Memang dengan jalan mempelajari teknologi seperti pembuatan
bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi dan
keselamatan manusia tetapi di pihak lain hal ini juga bisa berakibat sebaliknya,
yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan
malapetaka.

Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya


sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa ebenarnya nilai itu
digunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuwan harus
berpaling pada hakikat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat pada persoalan nilai-
nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nilai-nilai moral (agama) sebenarnya sudah
terbantahkan ketika Conpernicus mengemukakan teorinya "Bumi berputar
mengelilingi matahari" sementara ajaran agama menilai sebaliknya maka timbullah
interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonota&i metafisik, sedangkan di pihak
lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan yang terdapat
dalam ajaran di luar bidang keilmuan, di antaranya agama. Timbul konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang berkulmiasi pada pengadilan inkuisisi
Galileo, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih
2,5 abad memengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu
ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam
sebagaimana adanya dengan semboyan "ilmu yang bebas nilai", setelah
pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh
keotonomian ilmu. Artinya, kebebasan dalam melakukan penelitian dalam rangka
mempelajari alam sebagaimana adanya.

Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap misi yang
bersifat dogmatis, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan. Lirinya baik dalam
bentuk abstrak maupun konkret, seperti teknologi. eknologi tidak diragukan lagi
manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan
teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah ini merupakan
masalah kebudayaan atau masalah moral? Apakah teknologi itu menimbulkan akses
yang negatif terhadap masyarakat.

Dihadapkan dalam masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak, para ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat. Golongan
pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu
secara ontologis maupun aksiologis, dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan
pengetahuan dan terserah pada orang lain untuk menggunakannya, apakah akan
digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini
ingin melajutkan tradisi ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo. Golongan
yang kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya terbatas
pada metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan
nilai-nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal,
yakni: Pertama, ilmu secara faktual telah digunakan secara deduktif oleh manusia
yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi
keilmuan. Kedua, ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteris hingga
kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila
terjadi penyalahgunaan. Ketiga, ilmu telah berkembang pesat sedemikian rupa di
mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki, seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik
perbuatan sosial.

Berdasarkan hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu


secara moral harus ditunjukkan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan
hakikat dan mengubah kemanusiaan. Dari kedua pendapat golongan di atas,
kelihatannya netralitas ilmu terletak pada epiatemologisnya saja, artinya tanpa
berpihak pada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Adapun secara
ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana
yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai
landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan
seorang momok yang menakutkan.

Etika keilmuwan merupakan etika yang normatif yang merumuskan prinsip-


prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat
diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuwan yaitu agar seorang
ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan yang
menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya. Sehingga ia
menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku ilmiahnya. Etika
normatif menetapkan kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap
perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta
menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.

Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada "elemen-


elemen" kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan serta tanggung jawab nilai
dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini yaitu
penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku
manusia.

Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan yaitu nilai dan
norma nilai. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai
moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi seseorang, ia
akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, dan budaya;
yang paling utama dalam nilai moral yaitu yang terkait dengan tanggung jawab
seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk
dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan
menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.

Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan,


apakah itu berupa teknologi ataupun teori emansipasi masyarakat dan sebagainya
itu, mestilah memerhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan
sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan itu sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu
sudah berada di tengah-tengah mayarakat luasdan masyarakat akan mengujinya.

Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan penerapan
teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal positif. Namun tidak semua
teknologi dan ilmu pengetahuan mempunyai dampak positif ketika berada di tengah
masyarakat. Kadang kala teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat
menolak atau mengklaim suatu teknologi bertentangan atau tidak sejalan dengan
keinginan atau pandangan yang telah ada sebelumnya, seperti rekayasa genetik
(cloning manusia), yang dapat dianggap bertentangan dengan kodrat manusia atau
ajaran agama. Dalam persoalan ini perlu ada penjelasan lebih lanjut. Bagi seorang
ilmuwan, apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu, ia harus berjiwa besar,
bersifat terbuka untuk menerima kritik dari masyarakat. Tugas seorang ilmuwan
harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan
metodologi yang tepat.

Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan bukan lagi memberi


informasi melainkan harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka,
menerima kritik dan menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang
dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini merupakan
implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di
mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil di depan.
Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya
keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang
membangun, seorang ilmuwan harus bersikap seperti seorang pendidik dengan
memberikan contoh yang baik.

Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu pengetahuan yang terkait dengan


nilai-nilai? Suwardi Endraswara (2012) mengemukakan, ilmu pengetahuan harus
terbuka pada konteksnya dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama
mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas
alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat
penciptaan dirinya dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada tataran
praksis, pada kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan Al-Qur'an
terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai yaitu dengan cara
mengembagikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi
berkah dan rahmat kepada manusia dan alam, bukan sebaliknya membawa
mudarat.

Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang
tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk
mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat
tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan hanya untuk mendesak
kemanusiaan melainkan kemanusiaan yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk
kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat
antara filsuf dan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri
merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan hal
ini dengan ungkapan ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni,
sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan
hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri.
Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan
merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk menambah kesenangan manusia dalam kehidupan yang ter-
batas di muka Bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu
untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang,
karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi.
Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah,
seperti kebutuhan sandang, pangan, energi, dan kesehatan. Adapun pendapat yang
lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan
kebudayaan dan kemajuan umat manusia secara keseluruhan.

Lebih jauh Suwardi mengemukakan ilmuwan perlu menjaga kredibilitas ilmu


yang dimiliki. Ilmu pengetahuan perlu diraih dengan langkah-langkah yang tepat,
jauh dari plagiarisme. Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang
kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi
suatu teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak
terlepas dari moral ilmuwannya. Untuk seorang ilmuwan akan dihadapkan pada
kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan
etika keilmuan Serta masalah bebas nilai.

Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada
pada tempat yang tepat. Tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral
mengenal apa yang dimaksud aksiologi. Dengan kemampuan pengetahuannya
seorang ilmuwan harus dapat memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah
yang seyogianya mereka sadari. Dalam hal ini, ilmuwan bukan saja mengandalkan
pengetahuannya dan daya analisisnya, melainkan juga integritasnya. Seorang
ilmuwan tidak menolak dan menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran
yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara
berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan
cermat. Inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti
berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka
keliru, dan apa yang membuat mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa
yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.

Berbicara tentang aspek nilai dalam ilmu pengetahuan, Suwardi Endraswara


(2012) mengatakan nilai-nilai kehidupan menjadi wilayah garapan dalam aksiologi.
Nilai akademik selalu membingkai perilaku keilmuan. Nilai akan mengukur, apakah
seseorang melanggar etika akademik atau tidak. Nilai merupakan konsep abstrak
mengenai masalah dasar baik yang merupakan sifat maupun sikap, perilaku
perbuatan seseorang atau kelompok yang sangat penting dan berguna bagi
kehidupan manusia dan masyarakat lahir dan batin.

Keingintahuan seseorang dalam bidang ilmu, jika tanpa nilai, akan berjalan
tidak wajar. Akibatnya banyak yang menerjang etika keilmuan. Rasa keingintahuan
manusia ternyata menjadi titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai.
Namun rasa ingin tabu itu perlu diimbangi dengan etika tertentu. Etika yaitu
bangunan nilai, yang diterapkan untuk mengukur perilaku manusia. Hal inilah yang
kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesis awal manusia terhadap inti
dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat merupakan titik awal sejarah
perkembangan pemikiran manusia di mana manusia berusaha untuk mengorek,
memerinci, dan melakukan pembuktian yang tak lepas dari kungkungan. Kemudian
dirumuskanlah suatu teori pengetahuan di mana pengetahuan menjadi terklasifikasi
menjadi beberapa bagian. Melalui pembedaan inilah kemudian lahir suatu konsep
yang dinamakan ilmu.

Kemudian Suwardi menjelaskan lebih jauh bagaimana dengan nilai dalam


ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah
menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu
selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan
penyelamat bagi manusia, terbebas dari malapetaka dan kesengsaraan? Memang
mempelajari teknologi seperti bom atom nuklir, manusia bisa memanfaatkan
wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi di pihak
lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia pada pencip-
taan bom atom yang menimbulkan malapetaka bagi manusia. Di sinilah fungsi ilmu
teruji keberadaannya, apakah dia bernilai atau tidak bagi kemaslahatan manusia,
atau sebaliknya menjadi malapetaka bagi kehidupan makhluk dan manusia.

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu
sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat
mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francia Bacon seperti
yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri, yaitu bahwa "pengetahuan yaitu
kekuasaan", apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi
umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu,
kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu
sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi
pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk tetapi ter-
gantung pada pemilik atau manusia dalam menggunakannya.

H. ASPEK PENELITIAN DALAM PEMANFAATAN

DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


Solly Lubis (2012) mengatakan dasar pendekatan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan adalah sama, tetapi di dalam perkembangan
metode yang digunakan mengalami perbedaan dalam penggunaan pendekatan
metode penelitian. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan, pertumbuhan dan
perkembangan bidang-bidang ilmu pengetahuan itu sendiri. Metode ilmiah untuk
pengembangan dapat berbeda-beda antara ilmu sosial dan yang lainnya. Adapun
metode penelitian pada hakikatnya sama untuk semua bidang ilmu pengetahuan.
Penelitian dapat berperan dalam ilmu pengetahuan di dalam hal berikut: Pertama,
menemukan bidang baru pengetahuan dengan penemuan dan motivasi. Kedua,
memantapkan dan mengukuhkan bidang baru itu melalui pengujian atas hipotesis
yang relevan dengan bidang ilmu yang dikaji. Ketiga, mengembangkan jangkauan
wewenang ilmu itu dengan teori dan disiplin.

Adapun peran konkret penelitian dalam pengembangan ilmu, kata Solly


yaitu: Pertama, penyusunan teori (teoretisasi). Dari hasil penelitian atas fakta,
diperoleh penjelasan yang berupa pengertian tentang fenomena alamiah, dan diberi
generalisasi dari fenomena itu. Dari generalisasi ini disusun prinsip yang merupakan
hubungan antara fenomena yang satu dan yang lainnya, dan selanjutnya jika ini
telah mapan, ia akan menjadi hukum atau aturan main. jika hukum ini telah berlaku
umum, tidak tergantung kepada waktu dan tempat ditemukannya fenomena ala-
miah tersebut, pertama kali ia akan dibangun menjadi teori atau hipotesis umum
dari bidang ilmu. Teori ini harus terdiri dari aksioma, yakni ketentuan yang berupa
anggaran dasar, teorama atau dalil, hipotesis, yang merupakan kesimpulan dan
metode. Ada tiga syarat agar suatu teori dapat meningkat menjadi ilmu yaitu
bahwa teori itu harus mengandung suatu statement, metode tertentu, dan
hipotesis, yang semuanya itu harus teruji kebenarannya.

Kedua, verifikasi (memeriksa). Dari teori ilmu pengetahuan yang kadang-


kadang seorang ilmuwan menemukan gejala atau fenomena ada, kadang yang
relevan dengan teori tertentu, tetapi ia merasakan adanya ketidakcocokan yang
untuknya merupakan keadaan problematik. Dari keadaan ini ia memformulasikan
masalahnya. Sebagaimana hal yang logis dalam ilmu pengetahuan, maka ia akan
menyusun suatu kesimpulan sementara atau hipotesis dari fenomena itu. Oleh Jujun
S. Suriasumantri (2010) dan proses ilmu pengetahuan melalui metode ilmiah ini
disebut dengan logico, hipotetico, dan verifikasi.

Tindak selanjutnya dari ilmuwan itu yaitu mengumpulkan informasi dari


berbagai sumber yang relevan dengan masalah tersebut. Tindakan ini yang
sebenarnya merupakan penelitian, akan memberikan hasil yang dapat mendukung
hipotesis atau menolak hipotesis itu. Dari hasil penolakan atau dukungan atas
hipotesisnya, si ilmuwan dapat menerima atau tidak dapat menerima teori
pengetahuan tentang fenomena alamiah ilmu.

Pernikiran rasional yaitu setiap pemikiran yang sesuai dengan norma-norma


logika. Yang dimaksud di sini yaitu membedakan benda-benda tidak identik dan
diikuti dengan proses penalaran silogistik tentang hubungan dari benda atau
sesuatu. Tetapi rasionalitas logis tidak mempunyai hubungan satu-satu dengan ilmu
pengetahuan, sebab rasionalitas juga menjadi sumber yang lainnya, seperti
keindahan, rasa, dan etik. Ilmu pengetahuan hanya ada jika sesuatu yang
tersedia untuk dirasakan

oleh indra kita atau oleh instrumen ilmiah. Oleh karena itu ilmu pengetahuan harus
rasional dan empiris.

Fungsi utama ilmu pengetahuan yaitu sebagai himpunan ide siatematik dan
umum yang merupakan inti dari ilmu pengetahuan modern yang telah
berkembang. Yang dimaksud dengan skema konseptual yaitu sistem umum
proposisi dari acuan empiris yang menyatakan kondisi penentu di mana fenomena
empiris berhubungan satu sama lain. Skema konseptual yang baik merupakan
komponen kumulatif yang utama dari ilmu pengetahuan.

Bentuk ideal dari skema konseptual yaitu yang memiliki generalitas yang
luas, yakni yang didalamnya jumlah dari kategori konseptual atau variabel kecil
dalam artian proporsi umum yang abstrak. Hal seperti ini hanya terdapat dalam
ilmu pengetahuan alam, tetapi tidak demikian dalam ilmu pengetahuan sosial.
Tetapi skema konseptual memiliki acuan kepada data empiris, maka harus ada
teknik untuk mengumpulkan data dan teknik lain untuk menyusun data itu kepada
kategori konseptual yang sesuai. Hubungan antara skema konseptual dan teknik
bukanlah sesuatu yang sederhana, kendatipun ada ketergantungan satu sama lain.

Di sana juga ada kebebasan satu sama lain. Skema konseptual dengan penalaran
deduktif dapat secara independen meramalkan data di mana teknik yang ada
tidak mampu mengobservasinya.

Sebaliknya, teknik observasi dan penyusunan data yang ada dapat


mengumpulkan data yang tidak cocok ke dalam skema konseptual. Hal ini sesuatu
yang lumrah dalam ilmu pengetahuan, dan keadaan ini sering kali menimbulkan
stimulasi untuk rekonstruksi skema konseptual yang ada, yang merupakan jalan ke
kemajuan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan tidak hanya merupakan kumpulan dari sejumlah besar


fakta. Tetapi ia merupakan kumpulan dan susunan fakta dalam kaitan satu skema
konseptual, yakni skema yang selalu direkonstruksi jika penggunaannya atau
digunakannya teknik pengumpulan data dan menghasilkan fakta baru. Skema
konseptual dan teknik mungkin sekali tidak terpadu secara sempurna dan sering
kali dari kesenjangan ini fakta yang dapat mengkonstruksi skema konseptual yang
lebih umum dan sistematis.

Dari penjelasan di atas dan perkembangannya, di dunia ilmu pengetahuan


ada dua pandangan tentang ilmu pengetahuan yakni pandangan statis dan dinamis.
Dari sudut pandangan statis, ilmu pengetahuan yaitu suatu kegiatan yang
menyajikan informasi secara sistematis kepada dunia. Tugas seorang ilmuwan
hanya menemukan fakta baru dan kemudian menambahkannya kedalam informasi
yang telah ada. Jadi, ilmu pengetahuan hanya merupakan kumpulan fakta dan cara
untuk menjelaskan fenomena yang diamati.

Solly Lubis (2012) mengatakan lebih jauh, ada dua pandangan tentang
fungsi ilmu pengetahuan. Pertama, untuk seorang praktisi, ilmu pengetahuan
merupakan satu disiplin atau kegiatan yang diarahkan untuk memperbaiki sesuatu
dalam membuat kemajuan. Maka fungsi ilmu pengetahuan yaitu membuat
penemuan mempelajari fakta, demi untuk mengembangkan pengetahuan atau
memperbaiki sesuatu.

Adapun pandangan kedua dari kalangan teoretisi, di mana fungsi ilmu


pengetahuan membentuk hukum umum yang meliputi perilaku dari peristiwa
emperis atau objek, sehingga kita mampu mengembangkan pengetahuan atas
peristiwa yang terpisah, dan dapat membuat ramalan atas peristiwa yang belum
diketahui.

Secara definitif, teknokrat merupakan tokoh yang memiliki kemampuan


teknis berdasarkan disiplin ilmu tertentu yang dikuasainya dan sekaligus ia terlibat
dalam kegiatan berkuasa dan memerintah. Dari hal ini terdapat fungsi ganda pada
kalangan teknokrat, yakni: Pertama, selaku teoretisi, ia menganggap bahwa fungsi
ilmu pengetahuan yaitu membentuk hukum umum dari temuan peristiwa empiris
atau objek, yaitu mengembangkan pengetahuan, selain menjelaskan apa hakikat
peristiwa yang diamatinya, dan membuat prediksi ke depan. Kedua, selaku praktisi,
teknokrat itu memandang ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin kegiatan
berpikir dan bertindak menganalisis fakta, dengan tujuan untuk menawarkan solusi
sejauh diperlukan.

Dalam konteks sikap terhadap ilmu pengetahuan, Suwardi Endraswara


(2012) mengungkapkan bahwa setiap sikap dan perilaku terkait dengan ilmu
pengetahuan harus ada nilai-nilai yang berhubungan dengan seluruh keyakinan. Di
dalam ilmu sendiri sebenarnya terdapat proses keyakinan. Standar pengujian nilai
dipengaruhi aspek psikologis dan logis. Berbagai ragam nilai akan menawarkan
pilihan bagi kehidupan. Manusia harus menjatuhkan pilihan sesuai keinginan. Pilihan
nilai itu berkaitan pula dengan percobaan manusia untuk mewujudkan rasa ingin
tabu terhadap ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki dalam
kehidupan manusia. Dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa
terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Merupakan kenyataan bahwa
peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah
wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan
berbagai kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa
merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, dan
komunikasi. Singkatnya, ilmu merupakan sarana membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya. (Bakhtiar, 2004:162)

Ilmu pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu
dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup
manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat, dan kelestarian
manusia. Mengenai pemanfaatan ilmu, Suriasumantri (2010:249) mengemukakan:
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk
kemaslahatan manusia.

Pertanyaan kemudian timbul: apakah ilmu selalu merupakan berkah dan


penyelamat bagi manusia? Memang sudah terbukti dengan kemajuan ilmu
pengetahuan manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya,
pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun
kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan
malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali. Masalah yang
terjadi, ilmu yang tadinya diciptakan sebagai sarana membantu manusia, ternyata
kemudian tersebut justru menambah masalah bagi manusia.

Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan


diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi
yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari
ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan
pribadi ataukah kepentingan masyarakat, akan membawa pada persoalan moral
keilmuan serta tanggung jawab seorang ilmuwan.

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri atau yang dikenal dengan revolusi
genetika (Suriasumantri, 2009:231). Revolusi genetika merupakan babakan baru
dalam sejarah keilmuan manusia dimana manusia itu sendiri menjadi objek
penelaahan yang akan meng-hasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan
kemudahan melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Kutukan apa
yang mungkin dibawa oleh revolusi genetika? Apakah perubahan-perubahan yang
dilakukan di atas secara moral dapat dibenarkan?

Berdasarkan kenyataan di atas, pada makalah ini akan dibahas masalah: apa
manfaat atau kegunaan ilmu, bagaimana hubungan ilmu dengan moral, dan
tanggung jawab seorang ilmuwan terhadap pemanfaatan ilmu tersebut termasuk
dalam pemanfaatannya di bidang revolusi genetika. Semua permasalahan ini
menjadi bidang kajian filsafat dalam kaitannya dengan aksiologi.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka yang hendak
ditelaah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Apakah yang dimaksud dengan aksiologi?

2. Bagaimanakah hubungan ilmu dan moral?

3. Apa tanggung jawab sosial ilmuwan?

4. Bagaimanakah sikap ilmuwan terhadap pemanfaatan revolusi genetika?

C. Tujuan

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan:

1. aksiologi;

2. ilmu dan moral;

3. tanggung jawab sosial ilmuwan;

4. sikap ilmuwan terhadap pemanfaatan revolusi genetika.

D. Manfaat

Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat secara:

1. teoritis, yaitu untuk mengkaji pemahaman mengenai aksiologi, hubungan ilmu


dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan, dan revolusi genetika.

2. praktis, dapat bermanfaat bagi:

mahasiswa supaya memahami pengetahuan mengenai aksiologi, ilmu dan moral,


tanggung jawab sosial ilmuwan, dan revolusi genetika agar dapat
memanfaatkannya kelak dalam mempertimbangkan dan memberi keputusan dalam
menerapkan suatu karya atau temuannya nanti (terkait dengan fungsinya sebagai
seorang ilmuwan).

PEMBAHASAN

A. Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, dan logos
yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. (Bakhtiar,
2004:163)

Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh (Suriasumantri, 2010:234). Selanjutnya Sutanto (2011:116)
mengatakan, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,
yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Aksiologi juga
menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan
ilmu ke dalam praktis.

Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa


permasalahan yang utama adalah mengenai nilai/guna. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang
apa yang dinilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Nama lain dari bidang kajian aksiologi ini adalah disebut teori nilai. Teori nilai ini
membahas mengenai kegunaan atau manfaat pengetahuan. Untuk menggunakan
kegunaan filsafat, kita dapat melihatnya dari tiga hal: 1) filsafat sebagai kumpulan
teori, 2) filsafat sebagai pandangan hidup, dan 3) filsafat sebagai metode
pemecahan masalah.

Sebagai kumpulan teori, filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia
pemikiran. Sedangkan sebagai pandangan hidup, filsafat digunakan sebagai
pedoman dalam menjalani kehidupan. Yang terpenting adalah filsafat sebagai
metodologi memecah-kan masalah. Sesuai dengan sifatnya, filsafat ada untuk
menyelesaikan masalah secara mendalam, artinya ia memecahkan masalah dengan
cara mencari penyebab munculnya masalah terlebih dahulu. Universal artinya
melihat masalah dalam hubungan yang seluas-luasnya, yakni memandang setiap
permasalahan dari banyak sudut pandang. Dengan demikian, kegunaan filsafat itu
amat luas dan urgen sekali, di manapun dan kapan pun filsafat diterapkan di sana
pasti ada gunanya.

Aksiologi ini dipergunakan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa.


Misalnya: Mengapa pengetahuan yang berupa ilmu itu diperlukan? Mengapa
pemanfaatan ilmu pengetahuan itu perlu memperhatikan kaidah-kaidah moral?
Semuanya menunjukkan bahwa aksiologi diperuntukkan dalam kaitannya untuk
mengkaji tentang kegunaan, alasan, dan manfaat ilmu itu sendiri. Dalam sejarah
lahirnya, aksiologi ini muncul belakangan dan menjadi perbincangan yang hangat,
khususnya setelah terjadinya perang dunia kedua di mana kemajuan ilmu dan
teknologi tampak digunakan secara kurang terkontrol.

B. Ilmu dan Moral


Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran,
makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia yang
mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi
analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai
pula kita berdusta? Menyimak masalah ini, ada baiknya kita memperhatikan
imbauan Profesor Ace Partadiredja dalam pidato pengukuhannya selaku guru besar
ilmu ekonomi di Universitas Gajah Mada yang mengharapkan munculnya ilmu
ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan. (Taufik Ismail dalam Suriasumantri,
2009:229)

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka
pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah
di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti
kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Namun dalam
kenyataannya apakah ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk yang
membawa malapetaka dan kesengsaraan?

Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan


tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga
untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Bukan saja bermacam-
macam senjata pembunuh berhasil dikembangkan namun juga berbagai teknik
penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, perkembangan ilmu
sering melupakan faktor manusia, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang
seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya:
manusialah akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi (Jaques Ellul
dalam Suriasumantri, 2009:231). Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang
memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk
tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang harus dibayar mahal
oleh manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiaannya. Manusia sering
dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi
teknologi, yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya.

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri (Suriasumantri, 2009:231). Jadi, ilmu
bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan
lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan
perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.

Menghadapi kenyataan ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagai-
mana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: Untuk apa
sebenar-nya ilmu itu harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan
keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan
semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus,
Galileo dan ilmuwan seangkatannya: namun bagi ilmuwan yang hidup dalam abad
kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam
bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat
dielakkan. Untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat
moral.

Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-


masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa Bumi
yang berputar mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya seperti apa yang
dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral
(yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik
ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain,
terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-
nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan di antaranya
agama (Burt dalam Suriasumantri, 2009:233). Timbullah konflik yang bersumber
pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisasi Galileo
pada tahun 1633. Galileo (15641642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa
untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.

Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mem-
pengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya
mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar
bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan yang ingin menjadikan
nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan. Dalam kurun ini para ilmuwan
berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana
adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas Nilai. Setelah pertarungan kurang lebih
dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan kemenangan. Setelah
saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka
mempelajari alam sebagaimana adanya.

Konflik ini bukan saja terjadi dalam ilmu-ilmu alam namun juga dalam ilmu-ilmu
sosial di mana berbagai ideologi mencoba mempengaruhi metafisik keilmuan.
Kejadian ini sering terulang kembali dimana sebagian metafisik keilmuan
dipergunakan das Sollen dari ajaran moral yang terkandung dalam ideologi
tertentu, dan bukan das Sein sebagaimana dituntut oleh hakikat keilmuan.
Mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik ini
maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pe-ngembangan
konsepsional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan
konsep-konsep ilmiah kepada masalah-masalah praktis. Konsep inilah yang bersifat
abstrak menjelma dalam bentuk kongkrit yang berupa teknologi. Teknologi di sini
diarti-kan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah
praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak
(software). Dalam tahap ini ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala
alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi, bertujuan
memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol
dan mengarahkan proses yang terjadi. Berbekal konsep mengenai kaitan antara
hutan gundul dan banjir, umpamanya, ilmu mengembang-kan teknologi untuk
mencegah banjir. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan
ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi. (Bertrand Russel dalam Suriasumantri,
2009:234)

Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalam
kaitan dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral berkaitan
dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral
berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Secara filasafati dapat
dikatakan, dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang
ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep
terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ontologi diartikan
sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek yang ditelaah dalam
membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Seperti diketahui setiap
pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar yakni ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk mendapatkan
pengetahuan; yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah.

Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih


merupakan masalah kebudayaan daripada masalah moral. Artinya, dihadapkan
dengan ekses teknologi yang bersifat negatif ini, maka masyarakat harus
menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana
yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus
menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai
budaya yang dijunjungnya.

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi
yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-
nilai baik itu secara ontologism maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan
adalah menemukan penge-tahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya; apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang
baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Golongan kedua sebaliknya
berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya-lah terbatas pada
metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek
penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap
tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita
me-nyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita. (dalam Suriasumantri,
2010:235)
Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti
pada waktu era Galileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan
kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat.
Golongan kedua men-dasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: (1) ilmu
secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan
dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi
keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga
kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila
terjadi penyalahgunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusia-an
yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan
sosial. Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu
secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan
martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.

Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan
kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk
mempertahan kan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan
dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam
mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan
Sokrates dipaksa meminum racun dan John Huss dibakar. Sejarah tidak berhenti
disini. Kemanusiaan tak pernah urung dihalangi untuk menemukan kebenaran.
Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan
prostitusi intelektual (Suriasumantri, 2009:236). Penalaran secara rasional yang
telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan
proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran.

Ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut tanggung jawab terhadap hal-hal


yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa
lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan bebas
manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun
manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggung jawab untuk selalu menjaga agar
apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan
yang terbaik bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh. (Zubair dalam
Putra, 2007:149)

C. Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan

Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat
keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan
digunakan oleh masyarakat tersebut. Dengan kata lain, penciptaan ilmu bersifat
individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Peranan
individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu di mana penemuan seorang
seperti Newton atau Edison dapat mengubah wajah peradaban. Kreativitas individu
yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses
pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif.

Jelas kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang
terpikul di bahunya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang
kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting
adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan
keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk
keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dalam hal ini berarti
ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan
ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi
mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia
bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. (Surajiyo, 2010:148)

Secara historis fungsi sosial dari kaum ilmuwan telah lama dikenal dan diakui. Raja
Charles II dari Inggris mendirikan The Royal Society yang bertindak selaku penawar
bagi fanatisme di masyarakat waktu itu. Para ilmuwan pada waktu itu bersuara
mengenai toleransi beragama dan pembakaran tukang-tukang sihir. Akhir-akhir ini
dikenal nama seperti Andre Sakharov yang bukan saja mewakili sikap pribadinya
namun pada hakikatnya mencerminkan sikap kelembagaan profesi keilmuan dalam
menanggapi masalah-masalah sosial.

Untuk membahas ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab seorang ilmuwan
maka hal ini dapat dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Sikap sosial
seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang
dilakukan. Sering dikatakan orang bahwa ilmu itu terbebas dari sistem nilai. Ilmu itu
sendiri netral dan para ilmuwanlah yang memberinya nilai. Dalam hal ini maka
masalah apakah ilmu itu terikat atau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua itu
tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan
kepada proses keilmuan secara keseluruhan. Katakanlah umpamanya seorang
ilmuwan di bidang hukum bersuara mengenai praktik ketidakadilan di bidang proses
hukum dan bersikap lantang agar masalah ini dijadikan objek penyelidikan. Bisakah
kita katakan bahwa dia tidak didorong oleh nilai-nilai tertentu yang menyebabkan
dia terikat oleh masalah tersebut?

Semua penelaahan ilmiah dimulai dengan menentukan masalah dan demikian juga
halnya dengan proses pengambilan keputusan dalam hidup bermasyarakat. Apakah
mungkin suatu masalah diselesaikan sekiranya masyarakat itu sendiri tidak sadar
akan pentingnya masalah tersebut? Beberapa masalah sedemikian rumit sehingga
masyarakat tidak dapat meletakkan dalam proporsi yang sebenarnya. Katakanlah
saja umpamanya mengenai keselamatan sistem pembangkit tenaga listrik yang
mempergunakan tenaga nuklir. Sukar bagi masyarakat awam untuk menyadari
seberapa jauh tindakan pengamanan telah dilakukan? Apakah lokasinya telah dapat
ditinjau dari tempat pemukiman yang padat? Bahaya apakah yang mungkin
menimpa? Tindakan penyelamatan apakah yang harus dilakukan? Perlukah
masyarakat mengetahui tindakan-tindakan penyelamatan ini.

Pada masalah seperti di atas maka peranan ilmuwan menjadi sesuatu yang
imperatif. Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk
dapat menempat-kan masalah tersebut pada proporsi yang sebenarnya. Oleh sebab
itu dia mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan hal itu kepada
masyarakat banyak dalam bahasa yang dapat mereka cerna. Menghadapi masalah
yang kurang mereka mengerti biasanya masyarakat bersikap ekstrim. Pada satu
pihak mereka bisu karena ketidaktahuan mereka, sedangkan di pihak lain mereka
bersikap radikal dan irasional. Sikap terakhir ini umpama-nya dicerminkan dengan
keinginan untuk menghancurkan sistem pembangkit tenaga listrik tersebut apa
pun juga alasan eksistensinya. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan dalam hal
ini adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan ruginya, baik dan
buruknya; sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.

Mungkin pula terjadi masyarakat telah merasakan adanya masalah tertentu yang
perlu dipecahkan namun karena satu dan lain hal masalah itu belum muncul ke
permukaan dan mendapatkan dukungan. Dalam hal seperti ini maka seorang
ilmuwan harus tampil ke depan dan berusaha mempengaruhi opini masyarakat
terhadap masalah tersebut. Seorang ilmuwan terpanggil dalam tanggung jawab
sosial mengenai hal ini karena dia mempunyai kemampuan untuk bertindak
persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuannya yang dia miliki.

Pada bidang lain mungkin terjadi bahwa masalah itu baru akan timbul yang
disebab-kan proses yang sekarang sedang berjalan. Ilmuwan berdasarkan
pengetahuannya memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi.
Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu dan teknologi kita di masa
depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang. Apakah sistem
pendidikan kita memungkinkan negara kita mengejar keterbelakangan di bidang
ilmu dan teknologi di masa yang akan datang? Sekiranya tidak maka apakah yang
harus kita lakukan? Kerugian apakah yang akan timbul sekiranya tindakan
pencegahan tidak dilakukan? Demikianlah pertanyaan yang serupa dapat
dikemukakan dalam berbagai bidang seperti kependudukan, energi, sumber alam,
dan pemukiman.

Kemampuan analisis seorang ilmuwan mungkin pula menemukan alternatif dari


objek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Bertrand Russel
umpamanya mengemukakan sebagai contoh betapa uang yang dipakai untuk
persenjataan dapat dipergunakan untuk meningkatkan dan medistribusikan bahan
makanan serta mengurangi ledakan penduduk (dalam Suriasumantri, 2009:241).
Kemampuan analisis seorang ilmuwan dapat dipergunakan untuk mengubah
kegiatan nonproduktif menjadi kegiatan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat
banyak.

Singkatnya dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat


mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya
mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat ilmuwan
yang elitis dan esoterik, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna
oleh orang awam. Dia harus bersikap seperti apa yang disebutkan Norman Denzin
selaku seorang salesman. Untuk itu maka dia bukan saja mengandalkan
pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
(Suriasumantri, 2010: 243)

Karakteristik lain dari ilmu terletak dalam cara berpikir untuk menemukan
kebenaran. Manusia dalam usaha untuk menemukan kebenaran itu ternyata
menempuh cara yang bermacam-macam sehingga menimbulkan pemeo: kepala
sama berbulu namun pendapat berlain-lain.

Memang kita harus bangga dengan julukan kita selaku manusia: Homo sapiens,
makhluk yang berpikir. Segera terbayang di benak kita, makhluk yang tercenung
dengan tinju di dagu, menghadapi berbagai masalah secara rasional. Namun
bayangan ini kemudi-an luntur. Kemanusiaan berhutang budi kepada Sigmund Freud
yang menyadarkan kita bahwa manusia itu bukan saja pandai membikin rasional
namun juga cerdas membikin rasionalisasi (yaitu, dorongan-dorongan yang
sebenarnya dilarang oleh superego dicarikan penalaran sedemikian rupa, sehingga
seolah-olah dapat dibenarkan). (Sarwono, 2000:183)

Pikiran manusia bukan saja dapat dipergunakan untuk menemukan dan memper-
tahankan kebenaran namun sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menemukan
dan mempertahankan hal-hal yang tidak benar. Seorang manusia biasa berdalih
untuk menutup-nutupi kesalahannya baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
orang lain. Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara
sistematis dan meyakinkan. Dalih semacam ini bisa memukau apalagi bila didukung
oleh sarana seperti kekuasaan. Tidak sedikit para ilmuwan yang terbius oleh Hitler
dengan persepsi Jerman sebagai bangsa Aria, dan kaum Jahudi sebagai pengotor
ras Aria. Keadaan seperti ini bukan saja berlaku di bidang politik namun juga di
bidang-bidang lain seperti ekonomi.

Bagaimana sikap seorang ilmuwan menghadapi cara berpikir yang keliru ini?
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan
teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang
teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji
dengan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu
saja tanpa suatu pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan
dibandingkan dengan cara berpikir seorang awam.

Seorang awam kadang-kadang mempercayai asumsi yang tidak benar karena


secara sepintas lalu memang hal itu kelihatannya masuk akal. Proses rasionalisasi
didasarkan kepada jalan pikiran yang keliru juga menimpa pula kalangan para
ilmuwan kita.

Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Kaum ilmuwan
tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi itu alpha dan omega dari
segala-galanya; masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga
peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran
lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang
hakiki. Namun bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik
secara intelektual maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat
modern itu akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini
merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Kita tidak bisa lari daripadanya
sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun
kita tidak akan pernah bisa melarikan diri lagi dari kita sendiri.

D. Revolusi Genetika

Ilmu dalam perspektif sejarah kemanusiaan mempunyai puncak kecemerlangan


masing-masing, namun seperti kotak Pandora yang terbuka, kecemerlangan itu
sekaligus membawa malapetaka. Kimia merupakan kegemilangan ilmu yang
pertama yang dimulai sebagai kegiatan pseudo-ilmiah yang bertujuan mencari obat
mujarab untuk hidup abadi dan rumus campuran kimia untuk mendapatkan emas.
Setelah itu menyusul fisika yang mencapai kulminasi pada teori fisika nuklir.
Sekarang kita di ambang kurun genetika dengan awal revolusi di bidang genetika.

Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan dalam kedua bidang kimia dan fisika mem-
bawa manfaat yang banyak untuk kehidupan manusia. Namun di samping berkah
ini kemajuan ilmu sekaligus membawa kutuk yang berupa malapetaka. Perang
Dunia I meng-hadirkan bom kuman sebagai kutukan ilmu kimia dan Perang Dunia II
memunculkan bom atom sebagai produk fisika. Kutukan apa yang mungkin dibawa
oleh revolusi genetika?

Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab
sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu
sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan
ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun
penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan
teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia sebagai objek penelaahan.
Artinya, jika kita mengadakan penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini
dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan
penyakit jantung. Dengan kata lain, upaya kita diarahkan dalam mengembangkan
pengetahuan yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap proses yang
berkaitan dengan jantung, dan di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi
yang berupa alat yang memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-
gangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat
lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan
teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri
sekarang menjadi objek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi
yang memberikan kemudahan melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu
sendiri. Apakah perubahan-perubahan yang dilakukan di atas secara moral dapat
dibenarkan?

Jawaban mengenai hal ini harus dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu
berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya. Tujuan hidup ini, yang berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu
sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah. Apakah
sebenarnya tujuan hidup manusia? Dalam hal ini maka ilmu tidak berwenang untuk
menentukannya, dan dalam napas yang sama hal ini berarti, bahwa ilmu tidak
berhak menjamah daerah kemanusiaan yang akan mempunyai pengaruh terhadap
kelangsungan tujuan hidupnya. Jangan jamah kemanusiaan itu sendiri! Mungkin
inilah kesimpulan dari kerangka pemikiran ini. (Suriasumantri, 2010:254)

Analisis substantif dari jalan pikiran tersebut di atas membawa kita kepada
beberapa permasalahan yang bersifat seperti, sekiranya kita mampu membikin
manusia yang IQ-nya 160 apakah ilmu bisa memberikan jaminan bahwa dia akan
berbahagia (sekiranya diterima bahwa kebahagiaan adalah salah satu tujuan hidup
manusia)? Dalam hal ini ilmu tidak akan bisa memberikan jawaban yang bersifat
apriori (sebelumnya) sebab kesimpulan ilmiah baru bisa ditarik setelah proses
pembuktian yang bersifat aposteriori (sesudahnya). Jadi bila kita secara moral
bersedia meluluskan penciptaan manusia yang mempunyai IQ 160 maka dengan
ilmu pun tidak bisa memberikan jaminan bahwa dia berbahagia.

Kita harus mencoba dulu dan baru kita akan mengetahui jawabannya, mungkin
demikian jawabannya para ahli genetika. Hal ini membawa permasalahan moral
yang baru, apakah memperlakukan manusia selaku kelinci percobaan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral? Sampai seberapa banyak dan seberapa jauh
percobaan harus dilakukan agar ilmu memberikan pembuktian yang meyakinkan?
(Bayangkan suatu desain eksperimen dengan manusia-manusia sebagai objek agar
didapatkan kesimpulan statis yang sahih). Hal ini baru berhubungan dengan salah
satu aspek dari hakikat kemanusiaan, padahal hakikat kemanusiaan itu sangat
kompleks, yang satu dengan yang lain tidak terjalin dalam hubung-an rasional yang
dapat dianalisis secara kuantitatif yang melibatkan psikis, emosional dan
kepribadian manusia. Jadi ketetapan hati kita untuk melakukan percobaan secara
ilmiah pun akan membawa kita kepada permasalahan moral yang tidak
berkesudahan, bagai mata rantai yang jalin menjalin, di mana ilmu itu sendiri tidak
bisa memberikan jawabannya secara apriori. Dalam hal ini, manusia diibaratkan
membuka kotak Pandora, sekali dibuka berhamburanlah kutuk dan malapetaka.
Jangan sentuh kotak malapetaka itu! Mungkin inilah kesimpulan yang dapat ditarik
dari sudut argumentasi ini.

Belum lagi bila diingat bahwa secara moral mungkin saja orang tidak sependapat
bahwa keilmuan manusia tidak ada hubungannya dengan IQ 160. Kemuliaan
manusia bagi sebagian orang bukan terletak pada atribut-atribut fisik melainkan
pada amal perbuatannya. Demikian juga mungkin saja atribut-atribut fisik itu
mempunyai makna (religius) tertentu dalam perspektif kehidupan yang bersifat
teleologis. Mengapa mengutik-ngutik suatu atribut yang terkait dengan
kepercayaan seseorang yang bersifat sakral? Bahkan pun bila ilmu bisa menjawab
segudang pertanyaan mengenai kausalita fisik, ilmu tetap tidak berhak menjamah
daerah kemanusiaan ini yang bersifat transedental. Apalagi, tentu saja bila diingat
bahwa ilmu pun sama sekali buta dalam hal ini, tak satu pun jawaban yang
dipunyainya kecuali hipotesis yang ingin dibuktikannya.

Pembahasan di atas didasarkan kepada asumsi bahwa penemuan dalam riset


genetika akan dipergunakan dengan itikad baik untuk keluhuran manusia.
Bagaimana sekiranya penemuan ini jatuh kepada pihak yang tidak bertanggung
jawab dan mempergunakan penemuan ilmiah ini untuk kepentingannya sendiri
yang bersifat destruktif? Garansi apa yang bisa diberikan bahwa pengetahuan ini
tidak akan dipergunakan untuk tujuan-tujuan seperti itu? Melihat permasalahan
genetik dari sudut ini makin meyakinkan kita bahwa akan lebih banyak
keburukannya dibandingkan dengan kebaikannya sekiranya hakikat kemanusiaan
itu sendiri mulai dijamah.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari seluruh pembahasan tersebut menyatakan sikap
yang menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai objek penelitian genetika.
Menghadapi nuklir yang sudah merupakan kenyataan maka moral hanya mampu
memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana sebaiknya kita
mempergunakan tenaga nuklir untuk keluhuran martabat manusia.

Saat ini, sudah biasa apabila organisme-organisme seperti domba, babi dan kera,
didapatkan melalui teknik rekayasa genetika yang disebut kloning. Sementara itu,
pada manusia telah di lakukan pemetaan seluruh genom atau dikenal sebagai
proyek genom manusia (Human Genom Project). Proyek genom manusia yang
dipelopori oleh Amerika Serikat ini akan menguraikan 100.000 gen manusia.
Diperkirakan pada abad XXI mendatang akan muncul bidang kedokteran baru yang
disebut ilmu kedokteran prediktif (predictive medicine). Munculnya ilmu kedokteran
tersebut di mungkinkan karena pada abad XXI mendatang diperkirakan seluruh
informasi dari genom manusia yang terdiri 100.000 gen akan teridentifikasi.
Dengan diketahuinya genom manusia dapat digunakan memprediksi berbagai
penyakit, artinya dengan ilmu kedokteran prediktif dapat diketahui kemungkinan
seseorang mengalami kanker payudara atau kanker calon rental lainnya dengan
melakukan analisis terhadap kombinasi gen-gen yang dipunyai orang tersebut.

Sebagian gen yang ditemukan oleh HGP termasuklah gen yang mengendalikan
reproduksi HIV, yang menyebabkan AIDS. Para ilmuwan juga sudah menemukan
gen yang bertanggung jawab atas kerentanan seseorang menjadi gemuk dan juga
gen yang bertanggung jawab atas penyakit keturunan seperti penyakit Huntington,
penyakit Lou Gehrig, dan beberapa jenis kanker usus besar dan kanker payudara.
(Zaifbio, 2009)

Melihat dari pemanfaatan revolusi genetika di atas, mengutip pendapat Van Melsen
(dalam Surajiyo, 2010:149) dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan
manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan
teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dan
kebudayaannya. Kemajuan di bidang teknologi memerlukan kedewasaan manusia
dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk mengerti mana yang layak
dan yang tidak layak, yang buruk dan yang baik. Sebatas untuk kemaslahatan
manusia itu sendiri maka revolusi genetika dapat diterapkan pada manusia.

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Aksiologi adalah teori mengenai nilai atau guna. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang
apa yang dinilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

2. Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi para ilmuwan
terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa
ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai. Golongan kedua berpendapat bahwa
netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan,
sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka
kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Masalah moral tak bisa
dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran (ilmu
pengetahuan).

3. Tanggung jawab sosial ilmuwan:

a. Memberikan perspektif yang benar ketika ada permasalahan di masyarakat


berkaitan pemanfaatan ilmu dan teknologi: untung dan ruginya, baik dan buruknya;
sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
b. Berfungsi selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan
secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai
dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

c. Seorang ilmuwan bertanggung jawab sosial di saat akan dimanfaatkannya


suatu ilmu dan teknologi, karena dia mempunyai kemampuan untuk bertindak
persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuannya yang dia miliki.

4. Sebatas untuk kemaslahatan manusia itu sendiri maka revolusi genetika dapat
diterapkan pada manusia.

B. Saran

1. Kepada mahasiswa sebagai calon ilmuwan agar dapat memahami dengan


baik kajian aksiologi terutama berkaitan dengan ilmu dan moral, serta tanggung
jawab sosialnya kelak dalam menerapkan karyanya.

2. Seorang ilmuwan hendaknya dapat bertanggung jawab terhadap keilmuan


yang dimilikinya agar dapat dipergunakan untuk kemaslahatan kehidupan manusia.

DAFTAR ISTILAH

No.

Istilah

Arti

1.

Alpha

Yang pertama dan terakhir menandakan kekuatan Allah.

2.

Analisis Substantif

Penyelidikan terhadap sesuatu untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.

3.

Aposteriori
Setelah diketahui (dilihat, diselidiki) keadaan yang sebenarnya.

4.

Apriori

Berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki) keadaan yang


sebenarnya.

5.

Das Sein

Peristiwa konkrit yang terjadi.

6.

Das sollen

Kaidah dan norma serta kenyataan normatif seperti apa yang seharusnya dilakukan.

7.

Dehumanisme

Penghilangan harkat manusia.

8.

Destruktif

Bersifat merusak, memusnahkan, atau menghancurakan.

9.

Dogmatik

Hal ihwal ajaran serta keyakinan agama atau kepercayaan yang tidak boleh
dipersoalkan (harus diterima sebagai kebenaran)

10.

Elistis

Terpilih, terpandang (tentang kelompok di dalam masyarakat).

11.

Esoterik

Bersifat khusus (rahasia, terbatas).


12.

Ilmuwan

Orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu.

13.

Imperatif

Bersifat memerintah, memberi komando, mempunyai hak memberi komando,


bersifat mengharuskan.

14.

Kausalita

Perihal yang menyebabkan suatu kejadian, perihal sebab akibat.

15.

Kontemplasi

Renungan dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh.

16.

Kotak Pandora

Kotak berisi segala macam keburukan, seperti penyakit, wabah, kesedihan, dan
keputusasaan, serta sebuah benda berisi harapan.

17.

Kulminasi

Puncak tertinggi, tingkatan tertinggi.

18.

Manipulasi

Mengatur, mengerjakan sesuatu dengan cara yang pandai sehingga dapat


mencapai tujuan yang dikehendaki.

19.

Martir

Orang yang rela menderita atau mati karena mempertahankan, memperjuangkan


agama atau kepercayaan.
20.

Metafisika

Ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak
kelihatan.

21.

Omega

Arti dasar dari sesuatu, bagian penting.

22.

Pemeo

Ejekan, olokan, sindiran.

23.

Pseudo

Bentuk terikat semu, palsu, bukan sebenarnya.

24.

Rasionalisasi

Proses, cara, perbuatan menjadikan bersifat rasional; proses cara perbuatan


merasionalkan (sesuatu yang mungkin semula tidak rasional).

25.

Teleologis

Teori atau ajaran bahwa semua kejadian (setiap gejala) terarah pada suatu tujuan.

26.

Transedental

Menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, abstrak.

27.

Urgensi

Keharusan yang mendesak, hal sangat penting.


Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007 dan Cerita Kotak Pandora. John
William, 2011.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sarwono, Sarlito, W. 2000. Berkenalan dengan aliran-aliran dan Tokoh-tokoh


Psikologi. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia Suatu Pengantar.


Jakarta: Bumi Aksara.

Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi


Aksara.

Suriasumantri, Jujun. S. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologi,
dan Aksiologi. Jakarta: Bumi Aksara.

William, John. 2011. Kotak Pandora. (http://id.wikibooks.org/wiki/). Diunduh 24


November 2011.

Zaifbio.2009. Makalah Genetika Dasar. (http://zaifbio.wordpress.com/). Diunduh 24


November 2011.
Aksiologi: Ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan, revolusi genetika

10

OKT

2011

Tinggalkan komentar

by amanahme in FilsafatIlmu

A.Pendahuluan

Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan
kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekedar
pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan
berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan
seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut
filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai
pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi
(http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu, diakses 18 September 2010).

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi merupakan sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Sebenarnya sejak saat
pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam
perspektif atau pandangan yang berbeda (Suriasumantri Jujun S, 2000 : 231).

Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran
(agama) dan paham (ideologi)sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik
yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tujuan moral adalah
mengarahkan sikap dan perilaku manusia agar menjadi baik sesuai dengan ajaran
dan paham yang dianutnya. Manfaat moral adalah menjadi pedoman untuk
bersikap dan bertindak atau berperilaku dalam interaksi sosial yang dinilai baik atau
buruk. Tanpa memiliki moral, seseorang akan bertindak menyimpang dari norma
dan nilai sosial dimana mereka hidup dan mencari penghidupan (Prawironegoro
Darsono, 2010:247).

Tanggung jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk
mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut.
Tanggung jawab merupakan hal yang ada pada setiap makhluk hidup. Hal demikian
dapat dilihat pada manusia yang menunjukkan tanggung jawabnya dengan
merawat dan mendidik anaknya sampai dewasa. Tanggung jawab terdapat juga
pada bidang yang ditekuni oleh manusia, seperti negarawan, budayawan, dan
ilmuwan. Tanggung jawab tidak hanya menyangkut subjek dari tanggung jawab itu
sendiri, seperti makhluk hidup atau bidang yang ditekuni oleh manusia akan tetapi
juga menyangkut objek dari tanggung jawab, misalnya sosial, mendidik anak,
memberi nafkah, dan sebagainya (http://iqbalsatu.blogspot.com/2009/10/tanggung-
jawab-sosial-ilmuwan-html).

Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab
sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan itu
sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan
ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, namun penelaahan ini dimaksudkan
untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung
manusia sebagai obyek penelaahan (Suriasumantri Jujun S, 2000:253).

Artinya jika kita mengadakan penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini
dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan
penyakit jantung dan di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa
alat yang memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan
jantung.

Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi
menelaah organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang
memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi
obyek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberi
kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang :

Hubungan antara ilmu dan moral

Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat

Dalam penulisan makalah ini tentunya bertujuan supaya mahasiswa dapat


memahami hubungan antara ilmu dan moral, serta tanggung jawab ilmuwan di
masyarakat.

B.Pembahasan

Kata ilmu dalam bahasa Arab ilm yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti
memahami suatu pengetahuan (http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu).

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari
bahasa Latin scientiadari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari ,
mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian
aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya,
dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang
ingin dimengerti manusia (Ihsan Fuad, 2010:108).

Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan
dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan
pengetahuan yang sistematis. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang
dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang
baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan
ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan
pengetahuan yang sistematis (Surajiyo,2009:56-57).

Menurut Bahm (dalam Koento Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan melibatkan


enam macam komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode
(method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects)
(Ihsan Fuad,2010:111-112).
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie (1987)
mempunyai lima ciri pokok :

Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan

Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan


pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur

Objektif, pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi

Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam


bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan
dari bagian-bagian itu

Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga (Surajiyo,2009:59).

Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, apabila dipenuhi syarat-syarat yang
intinya adalah :

Ilmu harus mempunyai objek, berarti kebenaran yang hendak diungkapkan dan
dicapai adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya

Ilmu harus mempunyai metode, berarti untuk mencapai kebenaran yang objektif,
ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi

Ilmu harus sistematik, berarti dalam memberikan pengalaman, objeknya dipadukan


secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur

Ilmu bersifat universal, berarti kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak bersifat
khusus melainkan berlaku umum (Hartono Kasmadi, 1990:8-9 dalam Ihsan
Fuad,2010:115-116).

Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara
hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai.
Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada (Surajiyo,2009:147).

Frans Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral
adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber
langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang
seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, serta tulisan para
bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah
sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada
ditingkat yang sama (Surajiyo,2009:147).

Kata moral dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika.
Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam
melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang
penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan Fuad, 2010:271).

Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang
terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak memiliki moral disebut
amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai positif di mata manusia
lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral
itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika
ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan
seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang
itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima
serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai
moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan
agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap,perilaku, tindakan, kelakuan yang
dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan
pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat (http://id.wikipedia.org/wiki/moral).

Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut
ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang
menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum,
kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh
eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia (Ihsan
Fuad,2010:280).
Jadi ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan dengan
metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Manusia
harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk menerapkan ilmu
pengatahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan
untuk proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih lanjut.

1.Hubungan antara ilmu dan moral

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka
pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah
disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti
kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi (Suriasumantri
Jujun S, 2000:229).

Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah


kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada
keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga
penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk
tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak
lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor
manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang
menyesuaikan dengan kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu
manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu (Jujun S.
Suriasumantri dalam Ihsan Fuad, 2010:273).

Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan


kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi merupakan sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan
hidup itu sendiri.

Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih


merupakan masalah kebudayaan daripada masalah moral. Artinya, dihadapkan
dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus menentukan
teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak.
Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan
strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang
dijunjungnya (Suriasumantri Jujun S,2000:234).

Ilmu tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan dan berkah
kepada kehidupan manusia, melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya
sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang ironis harus dibayar mahal oleh manusia
karena kehilangan sebagian arti dari status kemanusiaannya. Manusia sering
dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi
teknologi, yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya (Jujun S.
Suriasumantri,1999 dalam Ihsan Fuad,2010:273).

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi
yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-
nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan
adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan
harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral
manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya
mengontrol pikiran kita (Suriasumantri Jujun S,2000:235).

Jadi secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam
tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi
keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari
obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmuah, mempunyai tiga dasar yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk
mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah.

2.Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat


Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan
penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Kreativitas individu yang didukung oleh
sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu
yang berjalan secara efektif. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial,
bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat
secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia
mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya
selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual
namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri Jujun S, 2000:237).

Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas perubahan sosial, maka hal itu
berarti ilmu telah mengakibatkan perubahan sosial dan juga ilmu bertanggung
jawab atas sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggung jawab tersebut bersangkut
paut dengan masa lampau dan juga masa depan (Ihsan Fuad,2010:281).

Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk meramalkan


apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu dan
teknologi kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan juga harus dapat
mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya
mereka sadari (Suriasumantri Jujun S,2000:241).

Tanggung jawab ilmu atas masa depan pertama-tama menyangkut usaha agar
segala sesuatu yang terganggu oleh campur tangan ilmu bakal dipulihkan kembali.
Campur tangan ilmu terhadap masa depan bersifat berat sebelah, karena sekaligus
tertuju kepada keseimbangan dalam alam dan terhadap keteraturan sosial.
Gangguan terhadap keseimbangan alam misalnya pembasmian kimiawi terhadap
hama tanaman, sistem pengairan, dan sebagainya. Perlu diingat bahwa
keberatsebelahan itu sebenarnya bukan hanya karena tanggung jawab ilmu saja,
melainkan juga oleh manusia sendiri (Ihsan Fuad, 2010: 282).

Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan
teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang
teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji
dengan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu begitu saja
tanpa suatu pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan
dibandingkan dengan cara berpikir seorang awam (Suriasumantri Jujun S, 2000 :
243).

Untuk memahami ihwal tanggung jawab manusia , kiranya baik juga diketengahkan
dengan singkat alam pikiran Yunani Kuno. Menurut alam pikiran Yunani Kuno, ilmu
adalah theoria, sedangkan keteraturan alam dan keteraturan masyarakat selalu
menurut kodrat Ilahi. Setiap keteraturan adalah keteraturan ilahi dan alam (karena
mempunyai keteraturan) bahkan dianggap sebagai Ilahi atau sebagai hasil
pengaturan Ilahi (Ihsan Fuad, 2010: 285).

Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan
informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya
bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh
dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui
kesalahan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan
memberinya keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang sedang
membangun maka dia harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan
memberikan suri teladan (Suriasumantri Jujun S, 2000: 244).

Jadi bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara
intelektual maupun secara moral , maka salah satu penyangga masyarakat modern
akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan itu merupakan
tanggung jawab sosial seorang ilmuwan.

Tanggung jawab juga menyangkut penerapan nilai-nilai etis setepat-tepatnya bagi


ilmu di dalam kegiatan praktis dan upaya penemuan sikap etis yang tepat, sesuai
dengan ajaran tentang manusia dalam perkembangan ilmu.

C.Kesimpulan

1.Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang
berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan
bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi hubungan
antara ilmu dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi harus
berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi dalam bersikap dan
bertindak.

2.Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan


untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial
tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena
dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di
masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi
tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak
berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat.

D.Saran

Sebagai pembelajar bukan hanya mentransper ilmu tapi juga mendidik pemelajar
agar memiliki moral dan tanggung jawab dalam bersikap maupun bertindak.
Supaya pembelajar dapat menjadi contoh bagi pemelajar dengan menunjukkan
moral yang baik sesuai ajaran agama dan ideologi, bertanggung jawab terhadap
ilmu yang disampaikan serta memberi manfaat bagi pemelajar maupun
masyarakat.

E. Daftar Pustaka

Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.

Prawironegoro Darsono, Filsafat Ilmu Pendidikan, Jakarta : Nusantara

Consulting, 2010.

Suriasumantri Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,


Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000.

Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta : Rineka Cipta,

2008.

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta :

Bumi Aksara, 2009.

http://id. Wikip a.org/wiki/ilmu.

http://id.wikipedia.org/wiki/moral.

http://iqbalsatu.blogspot.com/2009/10/tanggung-jawab-sosial-ilmuwan-html.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah
mencapai pengetahuan. Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang
ontologis, epistomologis dan aksiologi. Dalam kajian aksiologi ilmu membicarakan
untuk apa dan untuk siapa. Tulisan ini membicarajan Ilmu dan Moral, Pengertian
Aksiologi, Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan, serta Ilmu dan Agama.
Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi secara formal baru muncul pada sekitar abad
ke-19. Aksiologi mempunyai kaitan dengan axia yang berarti nilai atau berharga.
Masalah nilai ini meliputi dua hal penting yaitu ada (being) dan nilai (value).
Menurut Mautner (dalam Wiramihardja, 2006: 155), aksiologi mulai digunakan
sebagaimana adanya saat ini oleh Lotze, Brentano, Husserl Scheeler dan Nicolai
Hartmann. Dalam filsafat Yunani kuno, tema aksiologi lebih banyak berhubungan
dengan masalah-masalah yang konkret, seperti api, udara dan air.

Dalam sejarah peradaban umat manusia sejak jaman kuno hingga abad millennium
ini orang dari waktu ke waktu melakukan perbincangan mengenai sejumlah ide
agung (great idea). Ide-ide agung itu direnungkan, dibicarakan dan ditulis oleh para
cendekiawan pemikir yang terdiri dari filsuf, budayawan, ahli sosial politik, dan
sarjana dalam berbagai bidang keahlian. Pengertian ide menurut filsuf Yunani Kuno
Plato ( 428 348 sebelum Masehi) ialah objek yang budi rohani manusia dapat
memikirkannya. Secara singkat ide adalah suatu objek pemikiran (an object of
trought). Secara lebih terinci dapatlah dikatakan bahwa ide adalah isi dari pikiran
manusia yang bisa diperbincangkan dan dialihkan di antara orang yang satu
dengan orang yang lain.

Suatu ide bercorak atau berkedudukan agung kalau ide itu bersifat pokok dan
sangat perlu bagi pemahaman terhadap manusia itu sendiri, masyarakat, dan
dunianya. Jadi, suatu ide agung menjadi dasar bagi pengertian, pengetahuan
sampai pemahaman dari segenap hal yang berkisar pada diri manusia. Dan
berhubung dengan sifatnya yang mendasar itu, suatu ide agung senantiasa
merupakan titik pusat dari berbagai pertanyaan yang penting atau bahkan
menimbulkan serangkaian pokok pertikaian yang menarik di antara para
cendekiawan pemikir. Sebagai contoh ide agung yang diperbincangkan orang
sepanjang masa itu ialah kebahagiaan (happiness). Berbagai segi dan pertanyaan
yang dipersoalkan oleh para pemikir terkemuka misalnya ialah:

Apakah kebahagiaan itu (pengertian atau definisinya)

Pendambaan terhadap kebahagiaan (kewajaran dan hasrat yang universal)

Unsur-unsur dari kebahagiaan (apa isi dari suatu kehidupan yang bahagia)

Hubungan kebahagiaan dengan berbagai hal lainnya (misalnya kekayaan,


kesehatan, kenikmatan, kebajikan, kehormatan, persahabatan, cinta, pengetahuan
atau kearifan)
Pencapaian kebahagiaan (kemampuan manusia mencapainya dan kemungkinan
tercapainya)

Kebahagiaan setelah kehidupan di dunia ini (after-life).

Dari keenam butir persoalan tersebut di atas, misalnya saja persoalan pada butir
pertama mengenai definisi kebahagiaan telah diberikan perumusan yang berlain-
lainan oleh para cendekiawan yang merenungkannya. Sekedar contoh saja dua
definisi berikut tentang kebahagiaan menurut tiga orang cendekiawan:

1. Kebahagiaan adalah suatu perbandingan antara apa yang Anda harapkan dengan
apa yang Anda peroleh. (A ratio between what you expect and what you get Albert
Ellis & Robert A. Harper).

2. Suatu keadaan budi rokhani yang di dalamnya pemikiran kita adalah


menyenangkan sebagian terbesar dari waktu. (A state of mind in wich our thinking
is pleasant share of the time John A. Schindler)

Umat manusia dalam kegiatannya sejak dahulu kala hingga dewasa ini pada
umumnya mendambakan segala sesuatu yang benar, yang baik, dan yang indah.
Hal yang benar, hal yang baik, dan hal yang indah itu sebagai objek pemikiran tidak
lain adalah ide-ide kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Ketiga ide agung itu pada
umumnya menjadi dasar atau ukuran bagi seseorang dalam melakukan
pertimbangan-pertimbangan. Manusia dalam mempertimbangkan sesuatu
pengetahuan biasanya mempertanyakan apakah hal itu benar atau mengandung
kebenaran; dalam mengukur suatu tindakan biasanya mempertanyakan apakah hal
itu baik atau mempunyai kebaikan; dan dalam menilai sesuatu cerapan biasanya
mempertanyakan apakah hal itu indah atau mewujudkan keindahan. Pertimbangan-
pertimbangan manusia tertuju pada segala hal yang ada di dunia ini. Dengan
demikian, kebenaran, kebaikan, dan keindahan mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas dan medan cakupan yang amat beragam. Kebenaran, kebaikan dan
keindahan umumnya dianggap merupakan tiga serangkai ide agung karena
tergolong serumpun dan sama-sama melandasi pertimbangan-pertimbangan
manusia. Ketiganya saling berkaitan secara erat dengan kebenaran sebagai ide
yang berkedudukan utama.

Walaupun kebenaran, kebaikan, dan keindahan merupakan trirangkai ide agung,


tetapi masing-masing juga bertalian dengan suatu lingkungan tertentu atau
diperuntukkan bagi satu pokok soal tertentu. Masing-masing ide agung itu
mempunyai pula hubungan erat dengan sekelompok ide tertentu. Bahkan dapat
dikatakan bahwa kebenaran, kebaikan atau keindahan masing-masing sendiri
mempunyai pengaruh yang penting terhadap sejumlah ide agung yang relevan.

Kebenaran pada umumnya dikaitkan dengan pemikiran dan merupakan bahan


pokok permasalahan dalam logika. Perbincangan-perbincangan dalam berbagai
bidang pengetahuan khususnya pengetahuan ilmiah, dipengaruhi oleh ide
kebenaran. Orang berbicara tentang kebenaran dalam bidang-bidang ilmu
matematik, filsafat, dan logika, dalam sejarah dan sajak, dan bahkan juga
kebenaran dalam agama dan teologi.

Dalam kehidupan manusia sejak dahulu hingga sekarang nilai mempunyai peranan
yang amat penting. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada dasarnya seluruh
kehidupan manusia itu berkisar pada usaha-usaha menciptakan, memperjuangkan,
dan mempertahankan suatu atau bertbagai nilai, dari nilai biasa urusan sehari-hari
sampai nilai yang bersifat luhur dari hal-hal yang sangat penting. Sebagai contoh
bilamana seseorang sebagai pribadi bekerja keras setiap hari untuk menabung,
menyimpan kelebihan barang atau memupuk harta benda untuk kesejahteraan saat
ini maupun pada hari tuanya, usaha itu pada dasarnya ialah memperjuangkan nilai
yang tergolong sebagai nilai ekonomik. Bilamana sepasang insane membina kasih
sayang, membangun kehidupan bersama, dan membentuk suatu keluarga dengan
putra-putri dalam suka duka sama ditanggung, usaha itu pada dasarnya juga
menciptakan suatu nilai tertentu. Demikian pula, bilamana sekelompok orang
bersatu untuk mendirikan suatu Negara dan mengatur sendiri kehidupan politiknya
betapapun besar rintangan, usaha itu pada dasarnya adalah memperjuangkan nilai-
nilai yang bercorak politik. Sebuah contoh lagi, bilamana para anggota suatu
masyarakat secara khusus berdoa, bersembahyang, dan menunaikan semua
peribadatan kepada Tuhannya, maka usaha itu pada dasarnya adalah
mengembangkan atau mempertahankan berbagai nilai yang termasuk nilai
keagamaan.

Demikianlah, dari contoh-contoh di atas ternyata bahwa nilai mempunyai berbagai


perwujudan dan terdapat dalam berbagai segi kehidupan manusia. Dalam studi
tentang nilai yang disebut filsafat nilai, teori nilai atau aksiologi pengertian nilai
memang sangat bermakna ganda dan mempunyai berbagai dimensi. Nilai
mempunyai bermacam-macam makna dari yang bercorak etis, psikologis, social
sampai metafisis dan religious.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan
penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya,
pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun
kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan
malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali 6 tahun yang lalu
dan menciptakan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk mrmbunuh
sesama manusia. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak
pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada
nilai-nilai, maka yaang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan


diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang
benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari
ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan
pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika
keilmuwan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang
ilmuwan harus dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab
akademis dan tanggung jawab moral.

Dewasa ini, perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari hakikatnya, dimana
ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun bahkan kemungkinan menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Disinilah moral sangat berperan sebagai landasan normatif dalam penggunaan ilmu
serta dituntut tanggung jawab sosial ilmuwan dengan kapasitas keilmuwannya
dalam menuntun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tujuan
hakiki dalam kehidupan manusia bisa tercapai.

Rumusan Masalah

Apa itu aksiologi ?

Untuk apa ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya
dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang
digunakan dengan norma-norma moral dan professional?
PEMBAHASAN

Pengertian Aksiologi

Bidang-bidang kajian Filsafat, apabila digambarkan adalah sebagaimana bagan


berikut:

BEING
EPISTEMOLOGI

AKSIOLOGI

Gambar 1: Bidang Kajian Filsafat

Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Pascasarjana Universitas Indonesia.

Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana


manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi berasal dari kata Yunani axion (nilai) dan
logos (teori) yang berarti teori tentang nilai.

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud
adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang apa yang dinilai.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil intisari pengertian aksiologi sebagai
berikut.

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berhubungan macam-macam dan kriteria


nilai serta keputusan atau pertimbangan dalam menilai, terutama dalam etika atau
nilai-nilai moral.

Aksiologi merupakan paradigma yang berpengaruh penting dalam penelitian ilmiah.

Menurut Suriasumantri (1987: 234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa
Indonesia (1955: 19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu :

1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu
etika

2. Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan

3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat
sosial politik.

Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan


utama mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang
nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika
menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal
etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa
etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di
dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-
norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan
yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.

Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran
atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan
bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian
terhadap satu institusi dapat terwujud. Ilmu merupakan sesuatu yang paling
penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan
manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
kepada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas
penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagaai wajah kehidupan yang sulit lainnya.
Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti
transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi dan lain sebagainya. Simgkatnya
ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya.

Aksiologi Matematika
Aksiologi matematika sendiri terdiri dari etika yang membahas aspek kebenaran,
tanggungjawab dan peran matematika dalam kehidupan, dan estetika yang
membahas mengenai keindahan matematika dan implikasinya pada kehidupan
yang bisa mempengaruhi aspek-aspek lain terutama seni dan budaya dalam
kehidupan. Jadi, jika ditinjau dari aspek aksiologi, matematika seperti ilmu-ilmu
yang lain, yang sangat banyak memberikan kontribusi perubahan bagi kehidupan
umat manusia di jagat raya nan fana ini. Segala sesuatu ilmu di dunia ini tidak bisa
lepas dari pengaruh matematika.

Dimulai dengan pertanyaan dasar untuk apa penggunaan pengetahuan ilmiah?


Apakah manusia makin cerdas dan makin pandai dalam mencapai kebenaran
ilmiah,maka makin baik pula perbuatanya.Dengan kemajuan ilmu dan teknologi
maka pemenuhan kebutuhan dapat diperoleh secara cepat, tepat dan mudah.
tetapi ada juga yang menimbulkan bencana bagi manusia seperti perang,senjata
nuklir dan lain-lain.

Bagaimana batas wewenang penelitian keilmuwan dan kemana perkembangan ilmu


harus diarahkan,harus ditampakkan interaksi ilmu dan moral. Dari ilmu yang
abstrak berubah menjadi teknologi untuk memecahkan masalah praktis dan moral.
Begitu juga matematika kita mempelajarinya secara abstrak tetapi dapat digunakan
dalam kehidupan sehari-hari sebagai ilmu pengetahuan.

Manusia adalah makhluk yang berpikir artinya manusia selalu berpikir/memikirkan


masalah secara rasional(pemikiran logis).Sikap seorang ilmuwan didasarkan pada
etika dan agama berarti tanggungjawab terhadap Tuhan,masyarakat dan diri
sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut matematika dipandang sebagai ilmu abstrak
yang tidak bebas nilai dan moral,sehingga hasil pemikiran seorang matematikawan
bisa bermanfaat bagi umum.Tidak dapat menerima sesuatu dengan asal-asalan
tetapi harus dipikir secara mendalam dan teliti

1. Manfaat Ilmu Pengetahuan

Manfaat ilmu pengetahuan bagi manusia tidak terhitung jumlahnya. Sejak Nabi
Adam hingga sekarang, dari waktu ke waktu ilmu telah mengubah manusia dan
peradabannya. Kehidupan manusia pun menjadi lebih dinamis dan berwarna.
Dengan ilmu pengetahuan, manusia senantiasa:
mencari tahu dan menelaah bagaimana cara hidup yang lebih baik dari
sebelumnya,

menemukan sesuatu untuk menjawab setiap keingintahuannya,

menggunakan penemuan-penemuan untuk membantu dalam menjalani aktivitas


sehari-hari.

Manusia pun menjadi lebih aktif mengfungsikan akal untuk senantiasa


mengembangkan ilmu yang diperoleh dan yang dipelajarinya. Selain itu berkat ilmu
pengetahuan, manusia:

menjadi tahu sesuatu dari yang sebelumnya tidak tahu,

dapat melakukan banyak hal di berbagai aspek kehidupan,

menjalani kehidupan dengan nyaman dan aman,

2. Untuk apa belajar Matematika?

Pertanyaan tersebut lumayan sering muncul ketika beberapa orang dianjurkan


dengan paksa ataupun tidak paksa untuk belajar Matematika. Tidak tahu apakah
pertanyaan itu muncul sebagai wujud nyata dari ke-kritis-an seseorang atau justru
muncul sebagai refleksi atas ke-apatis-an seseorang terhadap Matematika?

Pertanyaan tersebut lumayan sering kita dengar sejak dulu, tetapi sepertinya kita
tidak pernah mengajukan pertanyaan tersebut mungkin karena kepasrahan dan
kekurangkritisan kita. Menurut pengalaman pribadi ditambah penuturan beberapa
teman, pertanyaan tersebut diungkapkan mulai dari anak kecil (SD) sampai
mahasiswa. Pertanyaan tersebut kelihatannya cukup sepl tapi lumayan sulit
untuk dijawab, kecuali kalau kita menjawabnya dengan prinsip pokoknya.

Ilmu Matematika diantaranya meliputi aritmatika, geometri, aljabar dll sehingga


tentu saja banyak manfaat Matematika untuk ilmu pengetahuan lain dan juga untuk
kehidupan, misalnya:
1. Kombinasi (Statistika) bisa digunakan untuk mengetahui banyaknya formasi tim
bola voli yang bisa dibentuk.

2. Aritmatika hampir digunakan setiap hari, yaitu untuk hitung-menghitung.

3. Geometri bisa digunakan para ahli sipil karena geometri salah satunya adalah
membahas tentang bangun dan keruangan.

4. Aljabar bisa digunakan untuk memecahkan masalah bagaimana memperoleh


laba sebanyak mungkin dengan biaya sesedikit mungkin.

5. Mungkin dengan logika Matematika juga bisa membantu untuk berpikir logis, tapi
tentu saja bukan hanya Matematika saja yang bisa membantu dalam berpikir logis.

Itulah beberapa manfaat belajar Matematika. Tentu saja masih banyak yang tidak
menerima, misalnya Untuk apa anak STM belajar tentang diferensial dan
integral?. Jadi sekali lagi, Untuk apa susah-susah belajar Matematika?. Namun
hal tersebut bisa kita jawab kembali dengan memperhatikan tujuan mempelajari
matematika dibawah ini.

Tujuan mempelajari matematika adalah :

1. Melatih cara berfikir dan benalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui
kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukan kesamaan, perbedaan,
konsisten dan inkonistensi.

2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan


penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu,
membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba

3. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah


4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau
memgkomunikasikan gagasan melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta,
dalam menjelaskan gagasan.

Sebagai tambahan nilai matematika juga dapat kita lihat dalam:

Digunakan dalam bidang sains dan teknik.

Untuk penelitian masalah tingkah laku manusia.

Membantu manusia dalam berdagang dan bidang perekonomian.

Ilmu matematikan juga digunakan dalam bidang komputer.

Membantu manusia berpikir secara matematis dan logis.

Dengan bilangan, manusia dapat menentukan kuantitas.

lmu dan Moral dalam Perkembangan IPTEK

Ilmu tidak saja menjelaskan gejala-gejala alam untuk pengertian dan pemahaman.
Namun lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam
gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Misal, ilmu
mengembangkan teknologi untuk mencegah banjir. Bertrand Russell menyebut
perkembangan ini sebagi peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.
Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalam
kaitan dengan factor lain. Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral
bersangkutan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini
berkaitan dengan masalah cara penggunaan pengetahuan ilmiah atau secara
filsafat dapat dikatakan, dalam tahap pengmbangan konsep terdapat masalah
moral yang di tinjau dari segi ontology keilmuan sedangkan dalam tahap
pengembangan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi
keilmuan.

Peradaban manusia bergerak seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.


Berkat kedua hal tersebut, pemenuhan kebutuhan manusia menjadi lebih mudah
dan cepat. Namun, terdapat sisi buruk dari imu yaitu sejak dalam tahap pertama
pertumbuhannnya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja
digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama
manusia dan menguasai mereka. Mendapatkan otonomi yang terbebas dari
segenap nilai yang bersifat dogmatik maka dengan leluasa ilmu dapat
mengembangkan dirinya. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam
bentuk konkret yang berupa teknologi. Ilmu tidak saja bertujuan untuk menjelaskan
gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman tetapi bertujuan untuk
memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol
dan mengarahkan proses yang terjadi.

Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena dengan ilmu
semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan
lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa
peradapan manusia sangat berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan
sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

Teknologi tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga
bisa menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya
memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang
bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti
bom yang terjadi di Bali. Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan
memihak kepada nilai-nilai, kebaikan, maka yang terjadi adalah bencana dan
malapetaka.

Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan


diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep
ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat
keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak
hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun
lebih jaun lagi memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk
mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Disinilah masalah moral muncul
kembali namun dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kotemplasi
masalah moral berkaitan dengan metafisiska maka dalam tahap manipulasi ini
masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau
secara filsafati dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari
segi aksiologi keilmuan. Kaitan ilmu dan moral telah lama menjadi bahan
pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, Wilardjo, Slamet Iman
Santoso, dan Jujun Suriasumantri (Jujun S., 1996 : 2).
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hati-hati dengan
mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S. (1996 : 15 16)
mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut.

a. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih
terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

b. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah,


baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam
lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.

c. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek


penelaahannya (objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral
yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat
manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.

d. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang


berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang
berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa
kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.

e. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan


manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan
kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya
ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah
secara komunal universal. Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya
moral tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan
ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai
perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan
kebenaran ilmiah.

D. Tanggung Jawab Sosial Ilmuan


Etika keilmuan merupakan etika normatik yang merumuskan prinsip-prinsip etis
yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam
ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat
menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang
buruk kedalam perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang
mempertanggungjawabkan keilmuannya. Etika normative menetapkan kaidah-
kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuataan-perbuatan apa
yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan
apa yang bertentangan apa yang seharusnya terjadi.

Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma
moral. Bagi seorang ilmuan nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi
penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau belum. Tugas seorang
ilmuan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar
rasionalitas dan metidologis yang tepat agar dapat dipergunakan oleh masyarakat.

Di bidang etika tangguna jawab seorang ilmuan adalah bersifat objektif, terbuka,
menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang
dianggap benar dan berani mengakui kasalahan. Ilmu menghasilkan teknologi yang
akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi
berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi
manusia. Disinilah pemanfataan pengetahuan dan teknologi diperhatikan sebaik-
baiknya.

Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses ilmu dan teknologi yang bersifat
merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat, yaitu :

1. Golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai
baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk
tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara
total, seperti pada waktu era Galileo.

2. Golongan yang berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada


metafisika keilmuwan, sedangkan dalam penggunannya harus berlandaskan nilai-
nilai moral. Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
* Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara deskrutif oleh manusia, yang
dibuktikan dengan adanya perang dunia yang mempergunakan teknologi
keilmuwan.

* Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan
lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi
penyalahgunaan

* Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa


ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada
kasus revolusi genetika dan teknik pembuatan sosial.

Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat


tidak terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-
kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada
persoalan etika keilmuwan serta masalah bebas nilai. Fungsi ilmuwan tidak berhenti
pada penelaah dan keilmuwan secara individual namun juga ikut bertanggung
jawab agar produk keilmuwannya sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat.

Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat


dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah
memberikan perspektif yang benar, untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga
penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Dengan kemampuan
pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat
terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda
dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus
berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan
bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga
integritas kepribadiannya.

Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan
teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima sesuatu secara
begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan
dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam
berpikir secara teratur dan cermat. Inilah yang menyebabkan dia mempunyai
tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia
mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru,
dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.

Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau
penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang
mempergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkti
dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka
melanggar asas-asas kemanusiaan. Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan
yang dapat dipakai untuk kemasalahatan manusia atau sebaliknya dapat pula
disalah gunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah dipupuk dan
berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab
moral.

E. Teori dan Penerapan

Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat
dijawab dengan tiga macam cara yaitu:

Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut


pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung dari pengalaman.

Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi,
namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi
logis dan dapat diketahui melalui akal.

Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun


kenyataan.

Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan
suatu subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu
obyek yang diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah
perbuatan penilaian.
Nilai mempunyai bermacam makna seperti: mengandung nilai, yang artinya
berguna merupakan nilai, yang artinya baik, benar atau indah mempunyai nilai
yang artinya merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat
menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai
tertentu memberi nilai, yang artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang
diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.

Makna yang dikandung nilai tersebut menimbulkan tiga masalah yang bersifat
umum, seperti: apakah yang dinamakan nilai itu? apakah yang menyebabkan
bahwa suatu obyek atau perbuatan bernilai, dan bagaimanakah cara mengetahui
nilai dapat diterapkan?

Nilai merupakan Kualitas Empiris yang Tidak Dapat Didefinisikan

Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu
segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat
membantu melukiskannya. Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas
yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman. Sebagai contoh
pengertian baik, artinya pengertian nilai. Moore (dalam Kattsoff, 2004: 325)
mengatakan bahwa baik merupakan pengertian yang bersahaja, namun tidak dapat
diterangkan apakah baik itu. Pendefinisisan nilai juga didasarkan pada hal-hal lain,
seperti rasa nikmat atau kepentingan. Moore menyebutnya sesat-pikir naturalistis.
Nilai tidak dapat didefinisikan maksudnya nilai-nilai tidak dapat dipersamakan
dengan pengertian-pengertian yang setara. Nilai dapat didefinisikan dengan cara-
cara lain, seperti dengan menunjukkan contohnya sehingga dapat diketahui secara
langsung. Jika nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka
obyek dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas nilai-nilai, tetapi
tidak dapat sebaliknya. Kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti
nilai tidak bisa dipahami.

Nilai sebagai Obyek Suatu Kepentingan

Seringkali orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah
jelas. Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang
lain yang dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan
dijumpai semacam keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju
atau menentang. Dalam hal ini tersedia tiga kemungkinan pilihan yaitu: sikap setuju
atau menentang tersebut sama sekali bersangkut paut dengan masalah nilai sikap
tersebut bersangkutan dengan sesuatu yang tidak hakiki sikap tersebut merupakan
sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai. Kemungkinan pertama
sudah jelas. Kemungkinan kedua berarti bahwa, misalkan sikap tersebut
ditimbulkan oleh suatu kualitas nilai tetapi bukan merupakan bagian dari
hakekatnya. Kemungkinan ketiga berarti bahwa apabila seseorang mengatakan x
bernilai maka dalam arti yang sama dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut
mempunyai kepentingan terhadap x. Sikap setuju atau menentang oleh Perry
(dalam Kattsoff, 2004: 329) disebut kepentingan. Perry juga berpendapat bahwa
setiap obyek yang ada dalam kenyataan maupun pikiran, setiap perbuatan yang
dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika berhubungan
dengan subyek-subyek yang mempunyai kepentingan.

Teori Pragmatis Mengenai Nilai

Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah


sesuatu yang dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata
sifat. Masalah nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of
Valuation, Dewey mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan
keinginan. Pemberian nilai juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan
sarana dan tujuan.

Dengan kata lain, pemberian nilai berkaitan dengan bahan-bahan faktual yang
tersedia dan berdasarkan bahan-bahan tersebut, perbuatan-perbuatan dan obyek-
obyek dapat dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang terbayang. Dapat disimpulkan
bahwa pemberian nilai adalah ketentuan-ketentuan penggunaan berkaitan dengan
kegiatan manusia melalui generalisasi-generalisasi ilmiah sebagai sarana mencapai
tujuan-tujuan yang diharapkan.

Nilai sebagai Esensi

Apabila nilai sudah sejak semula terdapat di segenap kenyataan, dapat dikatakan
bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara apa yang ada (eksistensi) dengan apa
yang seharusnya ada. Yang sungguh-sungguh ada yaitu apa yang ada kini dengan
yang mungkin ada (apa yang akan ada). Jika nilai bersifat intrinsik, maka nilai apa
yang akan ada merupakan kelanjutan belaka dari apa yang seharusnya ada. Apabila
nilai merupakan ciri intrnsik semua hal yang bereksistensi maka dunia ini
merupakan dunia yang baik, kerena di dalamnya tidak mungkin terdapat keadaan
tanpa nilai. Dengan demikian maka masalah adanya keburukan di dunia terhapus
karena memperoleh pengingkaran.

Sesungguhnya nilai-nilai ada dalam kenyataan, namun tidak bereksistensi.


Berhubung dengan itu, nilai-nilai tersebut haruslah merupakan esensi-esensi yang
terkandung dalam barang sesuatu serta perbuatan-perbuatan. Pandangan ini erat
hubungannya dengan pandangan Plato dan Aristoteles (Kattsoff, 2004: 337)
mengenai forma-forma. Sebagai esensi, nilai tidak bereksistensi, namun ada dalam
kenyataan. Nilai-nilai mendasari sesuatu dan bersifat tetap.

F. Ilmu, nilai dan keadaan bebas nilai

Pada zaman dulu pengadilan inkuisisi Galileo selam kurang lebih 25 Abad
mempengaruhi proses perkembangan berfikfir di Eropa, yang pada dasarnya
mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nila-nilai diluar
bidang keilmuan dan ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan yang ingin menjadikan
nilai-nilai sebagai penafsiran metafisik keilmuan.

Dalam kurun ini para ilmuan berjuang untuk menegakan ilmu yang berdasarkan
penafsiran alam sebagaimana adanya semboyan ilmu yang bebas nilai setelah
pertarungan kuranglebih 250 tahun, maka para ilmuan mendapatkan kemenangan.
Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam
rangka mempelajari alam sebagaimana adanya. Konflik seperti inipun terjadi
terhadap ilmu-ilmu social dimana berbagai ideology mencoba mempengaruhi
metafisik keilmuan.

Kejadian ini sering terulang kembali dimana sebagian metafisik keilmuan


dipergunakan dari ajaran moral yang terkandung dalam ideology tertentu bukan
seperti yang dituntut hakikat keilmuan. Mendapatkan otonomi terbebas dari
segenap nilai yang bersifat dogamatik ini, maka dengan leluasa ilmu dapat
mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif
kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah pada masalah-masalah
praktis. Sehingga konsep ilmiah yang bersifat abstrak dapat berwujud konkrit yang
berupa teknologi.
PENUTUP

Kesimpulan

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dalam arti tertentu, jika nilai merupakan
esensi yang dapat ditangkap secara langsung, maka sudah pasti hubungan antara
nilai dengan eksistensi merupakan bahan yang sesuai benar bagi proses pemberian
tanggapan dan memberikan sumbangan untuk memahami secara mendalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan nilai.

Aksiologi memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-
kaidah nilai. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma nilai

Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi


dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi
juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan
teknologi harus diperharikan sebaik-baiknya. Dalam filsafati penerapan teknologi
meninjaunya dari segi aksiologi keilmuwan.

Saran

Tanggung jawab ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat,
tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
Agar hendaknya produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik
oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Baktiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Noerhadi. 1998. Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Pascasarjana


Universitas Indonesia.

Salam, Burhanudin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka
Cipta

Susriasumantri, Jujun S. 1987. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan
TIM. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

http://ismalianibaru.wordpress.com/2008/04/24/aksiologi/

http://wikipediaindonesia/2011/10/filsafatilmu.html

http://wwwmatematics.blogspot.com/2009/03/filsafat-matematika.html

http://yudiarputra05.blogspot.com/2011/08/makalah-aksiologi.html

KRITERIA KEBENARAN

Jenis Teori Kebenaran

Teori Koherensi

Teori koherensi menyatakan bahwa sesuatu memiliki nilai kebenaran apabila sesuai
dan konsisten dengan teori sebelumnya.

Contoh:

Semua manusia akan meninggal. adalah suatu pernyataan yang benar, maka
pernyataan bahwa si Polan adalah seorang manusia dan si Polan pasti akan mati.
adalah benar pula.

Teori Korespondensi

Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang


diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan.
Contoh:

Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta. Pernyataan tersebut bernilai benar
karena bersifat faktual yakni Jakarta memang ibukota Indonesia.

Teori Pragmatis

Teori pragmatis menyatakan bahwa sesuatu dikatakan memiliki nilai kebenaran


apabila memiliki fungsi atau manfaat bagi kehidupan manusia (fungsional). Menurut
teori ini kebenaran tidak ada yang bersifat mutlak karena bergantung pada waktu
dan subjek.

Contoh:

Seseorang menyatakan sebuah teori X, lalu dengan teori X tersebut dikembangkan


teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X itu adalah benar
sebab mempunyai kegunaan.

Kebenaran bermacam-macam tergantung dari sudut mana orang berpijak untuk


membaginya.

Dipandang dari Segi Perantara untuk Mendapatkannya, dibagi dalam:

Kebenaran Indriawi, ditemui dalam pengamatan pengalaman

Kebenaran Ilmiah, diperoleh lewat konsepsi akal

Kebenaran filosofis, dicapai dengan perenungan

Kebenaran Religius, diterima melalui wahyu ilahi

Dilihat dari Segi Kekuasaan untuk Menekan Orang untuk Menerimanya, dibagi
dalam:
Kebenaran Subjektif, hanya diterima oleh pengamat sendiri

Kebenaran Objektif, tidak hanya diakui oleh pengamat tapi juga oleh subjek lain

Dilihat dari Segi Luas Berlakunya, dibagi dalam:

Kebenaran yang Individual, yang berlaku bagi perseorangan

Kebenaran yang Universal, yang berlaku bagi semua orang

Dilihat dari Kualitasnya, dibagi dalam:

Kebenaran Dasar, kebenaran paling rendah

Kebenaran Nisbi, kebenarannya yang satu atau beberapa tingkst diatas kebenaran
dasar, namun belum sempurna

Kebenaran Mutlak, Kebenaran yang sempurna, yang sejati, yang hakiki

3 Hal yang disebut sebagai Kebenaran Dasar

Tidak Khilaf, yaitu tidak salah. Namun Kebenaran disini kecil sekali, karena berada
tepat dibalik kekhilafan.

Adanya Hubungan Antara Subjek dan Objek. Hubungan subjek-objek adalah


kebenaran yang tak bisa dibantah. Merupakan kebenaran minim, karena dibalik itu
ada ketiadaan hubungan yang berarti tiadanya kebenaran.

Mampu Tahu, yaitu kecenderungan orang untuk bisa berbuat atau tidak berbuat.
Tahu tidak selalu positif, akan tetapi bisa negatif.

METAFISIKA

Pengertian Metafisika

Secara etimologis metafisika berasal dari bahasa Yunani terbentuk dari kata

Meta : Sesudah, di belakang, melampaui


Fisika: Alam nyata

Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang mencari prinsip


dasar yang mencakup segala hal.

Metafisika mempelajari manusia, namun yang menjadi objek pemikirannya


bukanlah manusia dengan segala aspeknya, termasuk pengalaman yang ditangkap
oleh indra. Metafisika juga mempelajari manusia melampaui atau diluar fisik
manusia dan gejala-gejala yang dialami manusia. Metafisika mempelajari siapa
manusia, apa tujuannya, dari mana asal manusia, dan untuk apa manusia hidup di
dunia ini. Jadi, metafisika mempelajari manusia jauh melampaui ruang dan waktu.
Begitu pun pembahasan tentang kosmos maupun Tuhan, yang dipelajari adalah
hakikatnya, di luar dunia fenomenal.

Jadi, metafisika merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang mencari


prinsip dasar yang mencakup segala hal. Diibaratkan pikiran adalah roket yang bisa
meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka
metafisika adalah landasan peluncurannya. Bidang telaah filsafati yang disebut
metafisika ini, merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati,
termasuk pemikiran ilmiah.

Jenis Metafisika

Metafisika dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Ontologi

Mempersoalkan tentang segala sesuatu ada dari segala wujud sesuatu yang ada.

2. Metafisika Khusus

Mempersoalkan tentang:
Theologi: Theologi mempersoalkan pertanyaan sekitar Tuhan, dan hubungan
tuhan dengan dunia realitas.

Kosmologi: Kosmologi mempersoalkan asal dan struktur alam semesta.

Antropologi: Mempersoalkan siapakah sebenarnya manusia, bagaimana


hubungannya dengan satu sama lain, bagaimana kedudukannya di dalam kosmos
ini, dan bagaimana hubungannnya dengan Tuhan.

Tipe Metafisika

Metafisika dibagi menjadi 5 tipe, yaitu:

1. Idealisme

Idealisme bisa disebut juga spiritualisme memandang bahwa realisasi terakhir


adalah rohani, yang pada hakikatnya immaterial.

2. Animisme

Animisme, merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran-pemikiran


supranaturalisme dimana dalam hal ini mereka sangat mempercayai bahwa
terdapat roh-roh yang bersifat ghaib yang terdapat dalam setiap benda. Misalnya
seperti pohon, batu, air, tanah, dan sebagainya.

3. Materialisme

Menghilangkan jiwa termasuk Tuhan dari kerangka metafisika dan mencoba


menjelaskan sesuatu dari sudut peristiwa materi. Paha mini,berpendapat bahwa
gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib
melainkan oleh kekuatan yang terdapat pada alam itu sendiri.
4. Naturalisme

Memandang bahwa ada suatu aturan atau hukum alam yang mengatur hukum alam
ini secara cerdas. Aturan ini identik dengan atau dalam alam itu sendiri, tidak perlu
mencari hukum di luar alam , Karena hukum dan maknanya hanya dapat dicari di
alam itu sendiri.

5. Realisme

Berpendapat bahwa hakikat realisasi terdiri dari dunia fisik dan dunia roh.

Metafisika dan Pengetahuan Ilmiah

Dari semua cabang ilmu filsafat, metafisika terdengar yang paling abstrak karena
dalam penggunaannya terdapat teori yang kurang masuk akal, yang sering disebut
metafisik.

Di balik spekulasi yang membahas di luar dunia fisik, metafisika juga membuat
hipotesa yang akan diperhitungkan bagi semua pengetahuan ilmiah.

Contoh:

Kopernikus, menyusun pandangan tentang heliosentris dimana matahari


merupakan pusat sistem tata surya, sebetulnya merupakan hasil pemikiran
spekulatif yang menjadi ciri pemikiran filsafat. Namun dijadikan hipotesis oleh
Galileo, sehingga ia mencoba untuk membenarkan teori Kopernikus tersebut.

ASUMSI

Pengertian Asumsi
Asumsi merupakan anggapan/ andaian dasar tentang realitas suatu objek yang
menjadi pusat penelaahan atau pondasi bagi penyusunan pengetahuan ilmiah yang
diperlukan dalam pengembangan ilmu.

Pangkal pendapat dalam suatu entimen. Pertanyaan penting yang terkait dengan
asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab
permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga
karakteristik:

Deterministik

Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin


Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini
merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian
ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.

Pilihan Bebas

Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada


hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan
pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam
melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin
banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu
suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya.
Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu
membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan
bebas, semua tergantung ruang dan waktu.

Probabilistik

Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun


sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang
tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki
sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan
modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu
ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode
statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu
variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah
kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti
hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria
ilmu ekonomi.

Asumsi dalam ilmu

Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris:

Menganggap objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya


dalam bentuk, struktur, sifat, dan sebagainya.

Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu

Determinisme. Setiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat


kebetulan, setiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-
urutan kejadian yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebua Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil (Filsafat Ilmu Pengetahuan).Jakarta:


Rineka Cipta

Bagus, Lorens. 1991. Metafisika.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

https://id.wikipedia.org/wiki/Pragmatisme#Teori_tentang_kebenaran
http://www.filsafatilmu.com/artikel/objek-kajian/asumsi-dan-ilmu-3-asumsi-dasar-
ilmu

http://hafizahgani.blogspot.co.id/2012/02/asumsi-dalam-filsafat-ilmu.html

https://wahanaviewpoint.wordpress.com/2013/12/28/kriteria-kebenaran/

http://komunitasfilsafat.blogspot.co.id/2012/03/tentang-metafisika-dan-
beberapa.html

A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Filsafat ditegakkan atas dasar Ilmu Pengetahuan tentang matematika dan alam,
bukan atas dasar agama.

Ketahuilah apa yang akan tahu dan ketahuilah apa yang akan tidak tahu.

Filsafat berasal dari kata Philos dan Sopies yang berarti cinta kebenaran.

Filsafat mencakup tiga segi yakni

Logika yaitu Apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah.

Etika yaitu Mangapa yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk.

Estetika yaitu Apa yang termasuk indah dan yang termasuk jelek.

Kemudian bertambah lagi dengan:

Metafisika yaitu Teori tentang ada: Tentang hakekat keberadaan zat, tentang
hakekat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran.

Politik yaitu kajian mengenai organisasi sosial/pemerintah yang ideal.

Kelima cabang utama ini kemudian berkembang dengan filsafat bidang kajian yang
lebih spesifik, seperti: Efistimologi, etika, estetika, metafisika, politik, filsafat agama,
filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat hukum, filsafat sejarah dan filsafat
matematika.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari Efistimologi:

Ontologis (objek dari pengetahuan)

Efistimologi (cara memeperoleh pengetahuan)

Aksiologi (untuk apa pengetahuan itu dipergunakan).

B. Dasar-dasar Pengetahuan

1. Penalaran

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan


penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik sesuatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Dalam penalaran ini kita harus berfikir.

Ciri-ciri Penalaran :

Adanya suatu pola berpikir yang secara luas (logika)

Sifat analitik dari proses berfikirnya (analisis ada langkah-langkah dalam berfikir
yaitu harus rasional [pikiran] dan empiris [fakta-takta]).

2. Logika (cara menarik kesimpulan)

Dalam logika ada yang dilakukan secara induktif dan deduktif. Secara induktif
kesimpulan yang bersifat umum, deduktif kesimpulan yang berisifat khusus. Induktif
merupakan cara berfikir dimana ditarik ksimpulan yang bersifat umum dari kasus
yang bersifat khusus. dan Deduktif sebaliknya.

3. Sumber Pengetahuan

Pengetahuan itu didapat dalam proses penalaran baik yang berdasarkan rasio atau
dari pengalaman.

4. Kriteria Kebenaran
Ontologi (Hakekat apaya yang dikaji)

Metafisika, Asumsi, Peluang, beberapapa asumsi dalam ilmu, batas-batas


penjelajahan ilmu.

Ilmu berkembang dengan sangat pesat. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu


tersebut berkembang dari dua cabang utama yaitu Filsafat alam yang kemudian
menjadi rumpun Ilmu-ilmu Alam dan Filsafat moral yang kemudian berkembang
kedalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk
alamm semesta sedangkan ilmu sosial memperlajari tentang manusia.

Efoistimologi (Cara mendapatkan pengetahuan)

Dari pengalaman-pengalaman yang dialami atau dirasakan (intuisi)

Metoda Ilmiah

Berfikir merupakan kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.

Pengetahuan Ilmiah yaitu sifat rasional dan diuji yang memungkinkan pengetahuan
itu disusun dan dapat diadakan.

Teori Ilmiah harus memenuhi dua syarat Ilmu yaitu :

Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak


terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan dan cocok dengan
fakta-fakta empiris.

Syarat-syarat Metode Ilmiah :

1. Harus Objektif yaitu sesuai dengan objeknya melalui pengindraan dan fakta
empiris.

2. Metodik yaitu cara-cara tertentu yang teratur dan terkontrol.

3. Sistematik yaitu tersusun dalam suatu sistem tidak berdiri sendiri tapi saling
berkaitan.

4. Universal yaitu berlaku umum dimana semua orang akan memperoleh hasil yang
sama dengan eksperimen yang sama.
Langkah-langkah Metode Ilmiah

1. Perumusan Masalah

Yaitu merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya


serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait. Pertanyaan terhadap objek
(What, Why, How).

2. Penyusunan Kerangka Berfikir dalam Pengujian Hipotesa

Yaitu argumentasi yang menjelaskan hubungan yang memungkinkan terdapat


faktor yang saling berkaitan dan membentuk konstelasi permasalahan.

3. Perumusan Hipotesis

Yaitu Jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan.

4. Pengujian Hipotesis

Yaitu merupakan usaha mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesa


dengan hipotesis untuk memperlihatkan fakta-fakta pendukung.

5. Penarikan Kesimpulan

Penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan ditolak atau diterima. Hipotesis
yang diterima merupakan pengetahuan ilmiah.

Pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis.

Struktur pengetahuan ilmiah :

Konsep

Fakta

Generalisasi

Teori

Hukum yaitu kebenarannya sudah teruji dan tinkat kebenarannya tertinggi.


Aksiologi ( Nilai Guna Ilmu)

Ilmu dan moral

Tanggungjawab sosial.

Keunggulan metode ilmiah

Dapat membentuk sikap ilmiah

a. Objektif dan adil

b. Menyadari bahwa kebenaran ilmiah tidak absolut (kebenaran ilmu sifatnya


sensitif).

c. Tidak percaya pada tahyul, astrologi

d. Mendorong rasa ingin tahu lebih banyak.

e. Tidak menyebabkan berprasangka dan dapat menerima pendapat orang lain.

Keterbasan Metode ilmiah

a. Keterbatasan panca indra

b. Kekeliruan mengumpulkan fakta sehingga keliru menarik kesimpulan.

Merasa yaitu banyak menggunakan filing (berasal dari pengalaman)

Berfikir yaitu tidak menggunakan filing tapi menggunaka fakta.

Apriori yaitu penilaian terhadap fakta tanpa observasi, wawancara dan eksprimen.

Berfikir kritis yaitu berfikir dengan membuat jarak dengan objek.

Kritis yaitu membuat jarak

Subjektif yaitu menilai sesuatu sesuai dengan kita

Objektif yaitu menilai sesuatu sesuai dengan objek.

C. Islam dan Filsafat

D. Perodesasi Filsafat
1. Filsfat Barat Klasik

Filsafat barat ini berasal dari Yunani (Greece). Beberapa filosof terkenal dari Yunani
yaitu :

a. Sokrates (469 399 SM)

Sokrates mendasarkan seluruh argumentasi atas definisi yang objektif dan valid
(sah). Pemikiran Sokrates bergerak kedua arah yaitu ke luar dan ke dalam. Ke luar
untuk mencari definisi objektif dan ke dalam untuk menemukan hakikat diri, jiwa
yang menurut dia adalah sumber kebenaran.

b. Plato (427 347 SM)

Tema yang dominanmuncul adalah dualisme metafisika yaitu antara real dan aktual.
Pandangannya terhadap ketuhanan adalah bahwa Tuhan adalah dzat primordial
yang berisikan seluruh unsur asli alam.

c. Aristoteles (384 322 SM)

Beliau murid Plato selama 20 tahun, mulai sejak usia 18 tahun. Arsitoteles membagi
filsafat kepada divisi teoritis, praktis dan puitis. Filsafat teoritis terdiri dari
matematika, fisika dan methafisika. Filsafat praktis membahas praktek atau
penerapan teori etika dan politik. Sedangkan filsafat puitis menganalisa estetika,
reaksi emosional, syair, seni dan drama.

d. Plotinus (205 70 SM)

Doktrin sentral Plotinus adalah tiga realitas yaitu Jiwa (soul), Akal (nous) dan Yang
Baik (the god).

2. Filsafat Barat Skolastik

Filosof-filosof terkenal semasa Skolastik :

a. John Scotus Erigena (810 877)

b. Santo Anselm (1033 1109)

c. Roscellinus (1050 1121)

d. Peter Abelard (1079 1142)


Yang di atas adalah periode pertama yang mengarah pada Neo Platonisme,
sedangkan priode kedua adalah Aristotelianisme dengan tokoh sebagai berikut :

a. Albertus Magnus (1193 1280)

b. Thomas Aquino (1296 1650)

c. William Occam (1280 1347)

d. Roger Bacon (1214 1294)

3. Filsafat Barat Modern

Tokoh-tokohnya antara lain :

a. Francis Bacon (1561 1626)

b. Rene Descartes (1596 1650)

c. John Locke (1632 1704)

d. Jean Jaques Rousseau (1712 1778)

Aliran-aliran dalam filsafat modern :

a. Rasionalisme

b. Empirisme

c. Idealisme

d. Utilitarianisme

e. Positivisme

4. Filsafat Barat Kontemporer

Pemikiran ini adalah pragmatisme, dengan pelopornya Charles Peirce (1939


1914).

5. Filsafat Timur

Para pakar membagi pemikiran Hindu kepada emat episode :

a. Periode Weda (1500 600 SM)


Diawali dengan perkembangan Hindu yang banyak menyerap mitologi, ritual dan
doktrin.

b. Periode Wiracarita (600 200 SM)

Berkembangnya karya epik kepahlawanan, Hiakayat Ramayana dan Mahabrata


timbul pada episode ini.

c. Periode Sutra-stra (200 SM abad ke-16)

d. Periode Skolastik Modern (abad 9 sampai sekarang)

Pemikiran ini berawal dari Arab-Islam kemudian Persia dan Belakangan Barat.
Kemudian adalagi filsafat Cina yang sudah cukup tua dan dimulai jauh sebelum
Masehi. Periode ini Periode Kuno, pertengahan dan Modern Kontemporer.

Adalagi filsafat Japang yang tak kalah pentingnya yang banyak dipengaruhi oleh
Konfusianisme, peradaban Cina, Buddhieme dan Kebudayaan India, serta
belakangan banyak dipengaruhi oleh Barat.

6. Filsafat Islam

Filosofis masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli pikir
Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kemudian timbullah pusat
kebudayaan Yunani di Timur seperti Alexandria di Mesir, Antioch di Suria,
Jundisyapur di Mesopotamia dan Bectra di Persia.

Perhatian kepada filsafat meningkat pada zaman Khalifah Al Mamun (813 833 M)
putra Harun al Rasyid. Golongan yang banyak tertarik pada filsafat Yunani adalah
kaum Mutazilah seperti Abu al Huzail, al Nazzam, al Jahiz, al JubbaI dll yang dapat
dilihat dari pemikiran teologi mereka.

Filosof-filosof Islam lain yang terkenal sepeerti Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Imam
Ghazali, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd dll.

Al Ghazali berbeda dengan filosof-filosof lain, ia tidak mementingkan filsafat saja


tapi juga soal hukum, teologi dan sufisme.

E. Metode Filsafat

Sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan berbagai metode berfilsafat, tapi


yang menonjol sbb:

1. Metode Kritis
2. Metode Intuitif

3. Metode Skolastik

4. Metode Matematis

5. Metode Empiris Eksperimental

6. Metode Transedental

7. Metode Dialektis

8. Metode Fenomenologis

9. Metode Eksistensialisme

10. Metode Analitika Bahasa

También podría gustarte